Anda di halaman 1dari 6

Keberagaman dan Kemajemukan

Budaya Nusantara

Oleh: Dr. Mulyadi, S.Ag, M.Pd.I


Dosen FKIP Universitas Jambi

Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang memiliki keragaman budaya.


Dengan latar belakang kesukuan, agama maupun ras yang berbedabeda. Selain
memiliki beragam budaya yang khas, juga memiliki 1.128 lebih suku bangsa yang
bermukim di ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke.

Fenomena kemajemukan Indonesia terlihat dari jumlah, komposisi dan sebaran


penduduk berdasarkan aspek-aspek sosial budaya. Dilihat dari komposisi
penduduknya, Suku Jawa terbesar mencapai 40,2% dari populasi penduduk
Indonesia. Diikuti Suku Sunda (15,5%), Suku Batak (3,6%), suku asal Sulawesi
selain Suku Makassar, Bugis, Minahasa dan Gorontalo, serta Suku Madura
(3,03%).

Dilihat dari pemeluk agamanya, Islam yang terbesar (87,18%), diikuti Kristen
(6,96%), Katolik (2,91%), Hindu (1,69%), Budha (0,72%), Kong Hu Cu (0,05), dan
agama lainnya. Keragaman juga terlihat dari bahasa daerahnya. Yang
menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa keseharian dan rumah tangga
79,5%, bahasa Indonesia 19,9% dan sisanya 0,3% menggunakan bahasa asing.

Selain kemajemukan budaya, kesatuan bangsa Indonesia juga didasari oleh


kesatuan pandangan, ideologi serta falsafah hidup dalam berbangsa dan
bernegara. Yang secara holistik_ tercermin dalam sila-sila Pancasila yang menjadi
dasar negara Indonesia. Dan secara eksplisit tercantum dalam lambing negara
yang bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang mengandung makna “beraneka
ragam (suku bangsa, agama, bahasa) namun tetap satu (Indonesia). Meskipun
berbeda, namun tetap sama di bidang hukum, hak dan kewajiban serta kehidupan
sosialnya yang berasaskan kekeluargaan.
Indonesia adalah negara multikultural, tapi bukan negara multikulturalis. Karena itu
multikulturalisme tidak menjadi solusi dalam pengelolaan keragaman di Indonesia.
Beberapa kategori multikulturalisme justru menjadi problem di Indonesia.
Multikulturisme akibat keberadaan masyarakat yang beragam, sebenarnya
memiliki ekses negatif berupa potensi konflik sosial. Sebagai akibat perbedaan
yang terdapat dalam masyarakat karena nilai-nilai budaya yang dilatarbelakangi
sosio kultural.

Multikulturalisme juga akan menimbulkan perilaku eksklusif berupa kecenderungan


memisahkan diri dari masyarakat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan
mendominasi masyarakat lainnya. Nilai negative lain yang harus dihindari adalah
pandangan deskriminatif berupa sikap membeda-bedakan perlakuan sesama
anggota masyarakat yang dapat menimbulkan prasangka bersifat subjektif karena
munculnya sifat/watak dari suatu golongan.

Meskipun konflik terkadang sering didominasi oleh isu-isu yang lebih bersifat politik
dan ekonomi, namun konflik karena ekses keragaman budaya tetap harus menjadi
perhatian utama. Jika tidak, kondisi masyarakat yang beragam sangat mudah
terpecah dengan isu-isu menyangkut agama, kebudayaan, ras dan lain
sebagainya.

Oleh sebab itu, konflik rasial dan konflik agama yang pernah terjadi selama ini
cepat sekali membesar dan membutuhkan penanganan serius dari pemerintah.
Konflik yang pernah terjadi mengakibatkan perubahan norma-norma sosial, pola-
pola sosial, interaksi sosial, pola perilaku, organisasi sosial, lembaga
kemasyarakatan, lapisan-lapisan masyarakat, serta susunan kekuasa an dan
wewenang.

Yang dibutuhkan dalam situasi seperti itu adalah sikap toleransi. Sikap yang
menghormati perbedaan luasnya pandangan manusia karena faktor yang
memengaruhinya dari kebudayaan, filsafat, agama, kepercayaan, tata nilai
masyarakat atau lainnya. Juga sikap menghargai perbedaan sesuai norma dan
hukum yang berlaku di masyarakat dan negara; tidak membicarakan keburukan
orang lain tanpa alasan atau pembuktian; memahami perasaan orang lain.

Selain itu, berbicara santun sesuai norma kesopanan atau adat; toleransi saat
umat lain beribadah sesuai norma agama; tidak memaksakan kehendak;
menerima perbedaan dengan saling memahami dan menjalin keberagaman
Indonesia; serta menghargai hak pribadi orang lain termasuk pilihan menentukan
agama dan kepercayaannya.
Selain berpeluang menimbulkan konflik sosial, keberagaman dan kemajemukan
budaya juga berpotensi menimbulkan perubahan sosial. Menurut Selo
Soemardjan, perubahan sosial adalah perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya,
termasuk nilainilai, sikap, dan perilaku di antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat.

John Lewis Gillin dan John Philip Gillin melihat perubahan sosial sebagai variasi
dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis,
kebudayaan material, komposisi penduduk, ideolog, maupun karena adanya difusi
atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.

Contoh perubahan sosial yang terjadi di Indonesia adalah demonstrasi. Perubahan


sosial budaya lainnya adalah modernisasi yang merujuk pada sebuah transformasi
dari keadaan yang kurang maju atau kurang berkembang ke arah yang lebih baik
dengan harapan akan tercapai kehidupan yang lebih berkembang, maju, dan
makmur.

Modernisasi tidak sekadar menyangkut aspek material, melainkan juga aspek


imateriel seperti pola pikir, tingkah laku, dan lain sebagainya. Juga fenomena
globalisasi memengaruhi seluruh aspek penting kehidupan, termasuk sosial
budaya. Selo Soemardjan menyebut globalisasi sebagai terbentuknya sistem
organisasi dan komunikasi antarmasyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti
sebuah sistem dan kaidah yang sama.

Bagaimana agar tidak terjadi gesekan dalam keberagaman budaya? Proses


asilimilasi menjadi penting. Asimilasi adalah proses perpaduan dua kebudayaan
atau lebih yang terjadi di dalam kehidupan masyakat, hingga membentuk
kebudayaan baru yang bisa diterima berbagai pihak. Menurut Koentjaraningrat
(1996), asimilasi adalah proses perubahan sosial dalam masyarakat yang terjadi
karena adanya perkembangan dan hubungan interaksi sosial yang terus menerus
dan serius.

Kondisi ini mendorong masyarakat membaurkan kebudayaan yang ada dalam


upaya mengakomodasi semua pihak dalam menata bentuk keteraturan sosial yang
sudah ada. Ciri asimilasi adalah berkurangnya perbedaan karena adanya usaha
untuk mengurangi dan menghilangkan perbedaan antarindividu atau kelompok,
mempererat kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dengan memperhatikan
kepentingan serta tujuan bersama.

Namun perlu disadari, dalam asimilasi juga terdapat faktor penghambat berupa:
masih adanya kebudayaan dalam masyarakat yang terisolasi dari perkembangan
zaman atau memilih untuk menutup diri dan tetap kokoh dengan pendiriannya;
minimnya wawasan dan pengetahuan tentang beragam kemajuan yang ada; serta
terdapatnya prasangka negatif dalam masyarakat terhadap kelompok pendatang
baru.

Selain asimilasi, ada proses akulturasi atau proses sosial yang timbul apabila
sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-
unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing itu lambat laun
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu (Koentjaraningrat: 2003:155). Akulturasi adalah cara
yang sangat efektif dalam proses penyatuan Negara Kesatuan Repubik Indonesia
(NKRI). Apalagi Indonesia adalah Negara kepulauan.

Apabila keberagaman budaya tidak disertai faktor pemersatu, dikhawatirkan akan


timbul gesekan atau benturan. Apalagi jika budaya hoaks tak terbendung. Maka
relevan apa yang disampaikan Khasdyah Dwi Dewi Setyoningtias jika akulturasi
budaya adalah hal yang sangat tepat untuk menyatukan bangsa Indonesia. Tanpa
adanya akulturasi budaya, masyarakat Indonesia akan runyam dengan sendirinya,
karena sifat etnosentrisme masyarakat Indonesia masih tinggi. Kemajemukan
budaya Indonesia juga memunculkan pluralisme.

Pendekatan pluralisme dapat dilakukan melalui penyerbukan silang antarbudaya


Pendekatan ini telah dicetuskan Eddie Lembong, tokoh keturunan etnis Tionghoa
dan pendiri Yayasan Nabil (Nation Building). Dalam mendekati pluralism di
Indonesia ide penyerbukan silang antarbudaya, menempatkan keragaman budaya
Indonesia dapat dikelola sebagai suatu strategi dalam mengelola pluralisme di
Indonesia. Budaya-budaya yang unggul diserbuk-silangkan dengan budaya unggul
etnis lain sehingga muncullah satu budaya alternatif. Penyerbukan silang
antarbudaya (cross cultural fertilization) berbeda dengan ide multikulturalisme.
Selanjutnya, dibutuhkan restorasi. Karena menurut Masrudi Ahmad Sukaepa, hal
paling berharga yang dimiliki bangsa kita adalah keragaman budaya dan
kepribadian yang luhur. Jika itu hilang, maka kehidupan bangsa akan rapuh dan
mudah goyah karena invasi negara lain.

Kita terjebak dalam hegemoni mental yang menyebabkan gaya hidup


individualistis dan hedonisme, sehingga inti kebangsaan hilang. Kehidupan
berbangsa tidak tenteram karena dikuasai budaya atau gaya hidup bangsa asing.
Itulah sebabnya restorasi budaya menjadi sangat urgen dan relevan. Bahkan,
menjadi kebutuhan bangsa dalam situasi kekinian yang sudah mulai bergeser dari
kaidah hidup yang luhur. Restorasi akan mengembalikan tata hidup menjadi pilihan
yang niscaya.

Setidaknya budaya yang lahir dari kearifan lokal akan mendistorsi transformasi
budaya asing yang begitu kuat menggerus kepribadian dasar bangsa kita yang
ramah, saling menghargai, persaudaraan yang kuat, bergotong royong,
menjunjung keadilan, beradab dan pastinya berketuhanan Yang Maha Esa.

Terkait dengan keberagaman budaya ini, para pendiri bangsa telah menyadari
akan menjadi masalah krusial dan sensitif. Untuk membentenginya yakni dengan
mengokohkan Pancasila sebagai ideologi serta menjaga tradisi lokal yang menjadi
akar budaya sumber nilai-nilai luhur bangsa kita. Tanpa menjaga dan
memeliharanya, kita tinggal menunggu waktu tumbangnya karena tidak memiliki
lagi akar yang kuat.

Sebelum negara ini berdiri, Mpu Tantular bahkan telah mencoba memaknai
keberagaman. Kemajemukan telah menginspirasi lahirnya konsep pluralisme.
Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan atas kemajemukan bangsa. Keragaman
termasuk dalam berkeyakinan harus dipahami, bukan diper tentangkan. Kalau
tidak, akan menimbulkan kebencian yang menyulut perpecahan seperti
pengalaman di Perancis kini.
Ironis memang, yang sebelumnya Perancis ter kenal sebagai negara mode, seni
dan terbuka untuk pendatang. Sekarang tertimpa prahara karena gesekan
antaragama. Kini Perancis tidak lagi kota ramah, tapi penuh amarah. Semoga
menjadi pembelajaran bagi kita semua.

Jenis keberagaman sosial budaya Keberagaman sosial budaya memiliki


empat pembagian, yakni:

1. Keberagaman bahasa 

Perbedaan letak geografis, ilmu pengetahuan dan sejarah berpengaruh pada


keberagaman bahasa daerah yang disesuaikan dengan tempat tinggalnya.
Contohnya warga Yogyakarta dan Jawa Tengah memiliki Bahasa Jawa sebagai
bahasa daerah.

2. Keberagaman rumah adat 

Perbedaan letak geografis juga berpengaruh pada beragamnya model dan jenis
rumah adat di Indonesia. Bahan pembuatannya juga harus disesuaikan dengan
kondisi geografisnya. Contoh rumah adat di Indonesia, yaitu Rumah Honai di
Papua.
3. Keberagaman upacara adat 

Kekayaan budaya di Indonesia juga memengaruhi keberagaman upacara adat


yang tergolong unik dan menarik perhatian. Contoh upacara adat di Indonesia,
yaitu Rambu Solo di Tana Toraja. 

4. Keberagaman seni daerah 

Kesenian daerah di Indonesia sangat beragam dan unik, mulai dari seni tari hingga
seni teater. Contoh kesenian daerah di Indonesia, yakni Tari Kecak dari Bali.

Anda mungkin juga menyukai