Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT PENDIDIKAN NASIONAL

Dosen Pengampu:

Drs. Irwan, M.Pd.

Dona Sariani, S.Pd. M.Pd.

Disusun oleh:

1. Apriliana

2. Sinta wahidha asshalikhah

3. Beti zania

4. Aulia arma putri

5. Romi dian sari

6. Romi ardiansah

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidyah-Nya,penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pancasila Sebagai Filsafat Pendidikan Nasional”
dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan. Selain itu, makalah
ini bertujuan menambah wawasan tentang pancasila sebagai sistem filsafat bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Irwan dan Ibu Dona selaku dosen Mata Kuliah
Pancasila yang telah memberikan tugas ini sehingga mendapat pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang penulis tekuni.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapakan demi kesempurnaan makalah ini.

Jambi, 24 Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................................1

KATA PENGANTAR ................................................................................................................2

DAFTAR ISI ...............................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah .........................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................................4

1.3 Tujuan Makalah .....................................................................................................................5

1.4 Manfaat Makalah ...................................................................................................................5

1.5 Sistematika Makalah ..............................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Sejarah Filsafat Pancasila ..............................................................................7

2.2 Landasan Filosofis Filsafat Pancasila ....................................................................................13

2.3 Pancasila sebagai Weltanschauung Bangsa Indonesia ...........................................................20

2.4 Pendidikan dalam Perspektif Filsafat Pancasila .....................................................................22

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................................27

3.2 Saran .......................................................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................28

3
BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Pada umumnya di dunia ini terdapat berbagai macam dasar negara yang menyokong negara itu
sendiri agar tetap berdiri kokoh, teguh, serta agar tidak terombang ambing oleh persoalan yang
muncul pada masa kini. Pada hakikatnya ideologi merupakan hasil refleksi manusia berkat
kemampuannya mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya. Maka terdapat sesuatu yang
bersifat dialektis antara ideologi dengan masyarat negara. Di suatu pihak membuat ideologi
semakin realistis dan pihak yang lain mendorong masyarakat mendekati bentuk yang ideal.
Ideologi mencerminkan cara berpikir masyarakat, bangsa maupun negara, namun juga
membentuk masyarakat menuju cita-citanya. Indonesia pun tak terlepas dari hal itu, dimana
Indonesia memiliki dasar negara yang sering kita sebut Pancasila. Pancasila sebagai ideologi
menguraikan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara dan karakteristik Pancasila sebagai
ideologi negara. Sejarah indonesia menunjukan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat
Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam
mengejar kehidupan yang layak dan lebih baik, untuk mencapai masyarakat Indonesia yang adil
dan makmur.

Pancasila merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, karena dalam masingmasing sila tidak
bisa di tukar tempat atau dipindah. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan pandangan
hidup bangsa dan negara Indonesia. Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan
sebagai dasar negara seperti tercantum dalam pembukaan UndangUndang Dasar 1945
merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan
dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yangmampu memisahkan
Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia. Mempelajari Pancasila lebih dalam menjadikan kita
sadar sebagai bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan harus diwujudkan dalam pergaulan
hidup sehari-hari untuk menunjukkan identitas bangsa yang lebih bermatabat dan berbudaya
tinggi. Melalui makalah ini diharapkan dapat membantu kita dalam berpikir lebih kritis
mengenai arti Pancasila.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian dan sejarah filsafat pancasila?
2. Apa landasan filosofis filsafat pancasila?
3. Apa yang dimaksud pancasila sebagai weltanschauung bangsa Indonesia?
4. Bagaimana pendidikan dalam perspektif filsafat pancasila?

4
1.3 TUJUAN MAKALAH

Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui:

1. Pengertian dan Sejarah Filsafat Pancasila

2. Landasan Filosofis Filsafat Pancasila

3. Pancasila sebagai Weltanschauung Bangsa Indonesia

4. Pendidikan dalam Perspektif Filsafat Pancasila

1.4 MANFAAT MAKALAH

a.       Bagi Peneliti

Menambah wawasan dan pengetahuan tentang pancasila sebagai filsafat pendidikan nasional
yang harus dijalankan oleh warga negara Indonesia.

b.      Bagi Dosen

Mendapat gambaran dan dapat dijadikan informasi serta tambahan pengetahuan dosen untuk
diterapkan dalam proses pembelajaran.

1.5 SISTEMATIKA MAKALAH

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Makalah

1.4 Manfaat Makalah

1.5 Sistematika Makalah

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Sejarah Filsafat Pancasila

2.2 Landasan Filosofis Filsafat Pancasila

5
2.3 Pancasila sebagai Weltanschauung Bangsa Indonesia

2.4 Pendidikan dalam Perspektif Filsafat Pancasila

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

6
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Sejarah Filsafat Pancasila

A. Pengertian filsafat Pancasila

Pengertian filsafat berdasarkan watak dan fungsinya yang dikemukakan Titus, Smith & Nolan
sebagai berikut:

1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara tidak kritis. (arti informal)

2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat
dijunjung tinggi. (arti formal)

3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. (arti komprehensif).

4) Filsafat adalah analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. (arti
analisis linguistik).

5) Filsafat adalah sekumpulan problematik yang langsung mendapat perhatian manusia dan
dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat. (artiaktual-fundamental).

Filsafat berasal dari kata Philosophy yang secara epistimologis berasal dari philos atau
phileinyang artinya cintadan shopia yang berarti hikmat atau kebijaksanaan. Secara epistimologis
bermakna cinta kepada hikmat atau kebijaksanaan (wisdom) (Sutrisno, 2006:16). Pancasila juga
merupakan sebuah filsafat karena pancasila merupakan acuan intelektual kognitif bagi cara
berpikir bangsa, yang dalam usaha usaha keilmuan dapat terbangun ke dalam sistem filsafat yang
kredibel. Menurut Abdulgani (Ruyadi, 2003:16), Pancasila merupakan filsafat negara yang lahir
sebagai collective ideologie (cita-cita bersama) dari seluruh bangsa Indonesia. Pancasila
merupakan hasil perenungan jiwa yang dalam, yang kemudian dituangkan dalam suatu “sistem”
yang tepat. Sedangkan Notonagoro (Ruyadi, 2003:16) menyatakan, Filsafat Pancasila memberi
pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakekat dari Pancasila. Pancasila sebagai suatu
sistem filsafat, memiliki dasar ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis tersendiri,
yang membedakannya dengan sistem filsafat lain. Secara ontologis, kajian Pancasila sebagai
filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakekat dasar dari sila-sila Pancasila.
Notonagoro (Ganeswara, 2007:7) menyatakan bahwa hakekat dasar ontologis Pancasila adalah
manusia, sebab manusia merupakan subjek hukum pokok dari Pancasila. Selanjutnya hakekat

7
manusia itu adalah semua kompleksitas makhluk hidup baik sebagai makhluk individu sekaligus
sebagai makhluk sosial. Secara lebih lanjut hal ini bisa dijelaskan, bahwa yang berkeTuhanan
Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia,
yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial adalah manusia. Kajian epistemologis
filsafat Pancasila, dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakekat Pancasila sebagai suatu
sistem pengetahuan. Menurut Titus (Kaelan, 2007:15) terdapat tiga persoalan mendasar dalam
epistemologi yaitu :
a. tentang sumber pengetahuan manusia;
b. tentang teori kebenaran pengetahuan manusia
c. tentang watak pengetahuan manusia. Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana
diketahui bahwa Pancasila digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri serta dirumuskan
secara bersama-sama oleh “The Founding Fathers” kita. Jadi bangsa Indonesia merupakan Kausa
Materialis-nya Pancasila. Selanjutnya, Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki
susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-silanya maupun isi arti dari sila-
silanya. Susunan sila-sila Pancasila bersifat hierarkhis piramidal. Selanjutnya, sila-sila Pancasila
sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologinya yaitu nilai- nilai
yang terkandung dalam Pancasila pada hakekatnya juga merupakan suatu kesatuan.

Pengertian Filsafat Pancasila Menurut Ahli

1. IR. Soekarno
Menurut Soekarno, filsafat Pancasila merupakan filsafat asli dari Indonesia yang diambil dari
budaya dan tradisi Indonesia dan akulturasi budaya India (Hindu-Budha), Barat (Kristen), dan
Arab (Islam).
2. Soeharto
Filsafat Pancasila mulai mengalami perubahan, melalui para filsuf yang lahir dari Depdikbud.
Semua elemen Barat disingkirkan dan diganti dengan interpretasi dalam budaya Indonesia
(Pancasila truly Indonesia).
3. Ruslan Abdulgani
Menurut Ruslan Abdulgani, Pancasila itu adalah filsafat dari negara yang terlahir sebagai
ideologi kolektif (cita-cita bersama) seluruh rakyat dan bangsa Indonesia.
4. Notonagoro

8
Notonagoro mengatakan bahwa filsafat Pancasila memberikan pengetahuan dan pengertian
ilmiah mengenai hakikat Pancasila. Menurutnya, secara ontologi, kajian Pancasila sebagai
filsafat dimaksudkan untuk mengetahui hakikat dasar sila-sila yang terkandung di dalam
Pancasila.
Fungsi Filsafat Pancasila
1.Sebagai Jiwa Bangsa Indonesia
Setiap bangsa di dunia memiliki jiwanya sendiri. Hal ini disebut dengan istilah Volkgeish, yang
berarti 'jiwa bangsa' atau 'jiwa rakyat'. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila adalah jiwa yang telah
memainkan peranan penting dalam kehidupan.

2.Sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia

Filsafat Pancasila berfungsi sebagai kepribadian dan ciri khas bangsa Indonesia serta menjadi ciri
pembeda di antara bangsa lain di dunia.

3.Sebagai Sumber dari Semua Sumber Hukum

Indonesia adalah negara hukum yang menerapkan hukum secara adil berdasarkan peraturan yang
berlaku. Dalam hal ini, fungsi filsafat Pancasila merupakan sumber dari seluruh sumber daya
hukum di Indonesia.
Masing-masing dari sila yang terkandung dalam Pancasila berfungsi sebagai nilai dasar,
sedangkan hukum adalah nilai instrumental atau keterangan tentang sila Pancasila.

4.Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia

Filsafat Pancasila juga berfungsi sebagai cara hidup dari Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila
merupakan pedoman dan instruksi dalam kehidupan sehari-hari.

5.Menjadi Falsafah Hidup Bangsa

Filsafat Pancasila memiliki fungsi kesatuan bangsa. Hal ini dikarenakan pandangan bahwa
Pancasila mengandung nilai kepribadian yang paling tepat dan sesuai dengan bangsa Indonesia.
Pancasila juga dianggap sebagai nilai yang paling bijaksana, paling adil, dan paling tepat untuk
menyatukan seluruh rakyat Indonesia.

6.Sebagai Dasar Negara

Filsafat Pancasila berfungsi sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan atau penyelenggaraan
negara. Segala sesuatu yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia, baik rakyat, pemerintah,
wilayah maupun aspek negara lainnya, harus didasarkan pada Pancasila.

7.Memberi Hakikat Kehidupan Bernegara

9
Filsafat Pancasila memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan mendasar atau sangat
mendasar, seperti sifat kehidupan negara. Dengan filsafat Pancasila, kita dapat mengetahui sifat
kehidupan pedesaan dan semua aspek yang memiliki hubungan erat dengan kehidupan sosial dan
kelangsungan hidup negara.

8.Memberi Substansi tentang Hakikat Negara, Ide Negara ,dan Tujuan Bernegara

Dengan filsafat Pancasila kita dapat menemukan kebenaran yang penting tentang sifat negara,
gagasan negara, dan tujuan negara Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya substansi yang memiliki
kebenaran universal bagi bangsa Indonesia selama berabad-abad.

9.Menjadi Perangkat Ilmu Kenegaraan

Fungsi filsafat Pancasila yang terakhir ialah sebagai perangkat ilmu pengetahuan yang berbeda,
khususnya ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan negara. Hal ini dapat tercermin
dalam berbagai contoh Pancasila sebagai pengetahuan ilmiah.

B. Sejarah filsafat pancasila

Pancasila dikatakan sebagai sistem filsafat

Pertama; dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, Soekarno memberi judul pidatonya dengan nama
Philosofische Grondslag daripada Indonesia Merdeka. Adapun pidatonya sebagai berikut:

“Paduka Tuan Ketua yang mulia, saya mengerti apa yang Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua
minta dasar, minta Philosofische Grondslag, atau jika kita boleh memakai perkataan yang muluk-
muluk, Paduka Tuan Ketua yang mulia minta suatu Weltanschauung, di atas mana kita
mendirikan negara Indonesia itu”. (Soekarno, 1985: 7).

Noor Bakry menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan hasil perenungan
yang mendalam dari para tokoh kenegaraan Indonesia. Hasil perenungan itu semula
dimaksudkan untuk merumuskan dasar negara yang akan merdeka. Selain itu, hasil perenungan
tersebut merupakan suatu sistem filsafat karena telah memenuhi ciri-ciri berpikir kefilsafatan.
Beberapa ciri berpikir kefilsafatan meliputi: (1). sistem filsafat harus bersifat koheren, artinya
berhubungan satu sama lain secara runtut, tidak mengandung pernyataan yang saling
bertentangan di dalamnya. Pancasila sebagai sistem filsafat, bagian-bagiannya tidak saling
bertentangan, meskipun berbeda, bahkan saling melengkapi, dan tiap bagian mempunyai fungsi
dan kedudukan tersendiri; (2). sistem filsafat harus bersifat menyeluruh, artinya mencakup segala
hal dan gejala yang terdapat dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa
merupakan suatu pola yang dapat mewadahi semua kehidupan dan dinamika masyarakat di
Indonesia; (3). sistem filsafat harus bersifat mendasar, artinya suatu bentuk perenungan
mendalam yang sampai ke inti mutlak permasalahan sehingga menemukan aspek yang sangat
fundamental. Pancasila sebagai sistem filsafat dirumuskan berdasarkan inti mutlak tata

10
kehidupan manusia menghadapi diri sendiri, sesama manusia, dan Tuhan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara; (4). sistem filsafat bersifat spekulatif, artinya buah pikir hasil
perenungan sebagai praanggapan yang menjadi titik awal yang menjadi pola dasar berdasarkan
penalaran logis, serta pangkal tolak pemikiran tentang sesuatu. Pancasila sebagai dasar negara
pada permulaannya merupakan buah pikir dari tokoh-tokoh kenegaraan sebagai suatu pola dasar
yang kemudian dibuktikan kebenarannya melalui suatu diskusi dan dialog panjang dalam sidang
BPUPKI hingga pengesahan PPKI (Bakry, 1994: 13--15).

Sastrapratedja menegaskan bahwa fungsi utama Pancasila menjadi dasar negara dan dapat
disebut dasar filsafat adalah dasar filsafat hidup kenegaraan atau ideologi negara. Pancasila
adalah dasar politik yang mengatur dan mengarahkan segala kegiatan yang berkaitan dengan
hidup kenegaraan, seperti perundang-undangan, pemerintahan, perekonomian nasional, hidup
berbangsa, hubungan warga negara dengan negara, dan hubungan antarsesama warga negara,
serta usaha-usaha untuk menciptakan kesejateraan bersama. Oleh karena itu, Pancasila harus
menjadi operasional dalam penentuan kebijakan-kebijakan dalam bidang-bidang tersebut di atas
dan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa dan negara (Sastrapratedja,
2001: 1).

Sumber Historis Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Pada 12 Agustus 1928, Soekarno pernah menulis di Suluh Indonesia yang menyebutkan bahwa
nasionalisme adalah nasionalisme yang membuat manusia menjadi perkakasnya Tuhan dan
membuat manusia hidup dalam roh (Yudi Latif, 2011: 68). Pembahasan sila-sila Pancasila
sebagai sistem filsafat dapat ditelusuri dalam sejarah masyarakat Indonesia sebagai berikut.

a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, masyarakat
Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, yaitu sekitar 14 abad
pengaruh Hindu dan Buddha, 7 abad pengaruh Islam, dan 4 abad pengaruh Kristen. Tuhan telah
menyejarah dalam ruang publik Nusantara. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih
berlangsungnya sistem penyembahan dari berbagai kepercayaan dalam agama-agama yang hidup
di Indonesia. Pada semua sistem religi-politik tradisional di muka bumi, termasuk di Indonesia,
agama memiliki peranan sentral dalam pendefinisian institusi-institusi sosial (Yudi-Latif, 2011:
57--59).

b. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia dilahirkan dari perpaduan pengalaman


bangsa Indonesia dalam menyejarah. Bangsa Indonesia sejak dahulu dikenal sebagai bangsa
maritim telah menjelajah keberbagai penjuru Nusantara, bahkan dunia. Hasil pengembaraan itu
membentuk karakter bangsa Indonesia yang kemudian oleh Soekarno disebut dengan istilah
Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Kemanjuran konsepsi internasionalisme yang

11
berwawasan kemanusiaan yang adil dan beradab menemukan ruang pembuktiannya segera
setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan rekam jejak perjalanan bangsa
Indonesia, tampak jelas bahwa sila kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki akar yang kuat
dalam historisitas kebangsaan Indonesia. Kemerdekan Indonesia menghadirkan suatu bangsa
yang memiliki wawasan global dengan kearifan lokal, memiliki komitmen pada penertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan,perdamaian, dan keadilan sosial serta pada pemuliaan hak-hak asasi
manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsan Indonesia (Yudi-Latif, 2011: 201).

c. Sila Persatuan Indonesia.

Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dan
kesilaman. Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna yang menakjubkan karena kemajemukan
sosial, kultural, dan teritorial dapat menyatu dalam suatu komunitas politik kebangsaan
Indonesia. Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan peradaban Nusantara
dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar di muka bumi. Jika di tanah dan air yang kurang lebih
sama, nenek moyang bangsa Indonesia pernah menorehkan tinta keemasannya, maka tidak ada
alasan bagi manusia baru Indonesia untuk tidak dapat mengukir kegemilangan (Yudi-Latif,
2011:377).

d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/Perwakilan. Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,


dan untuk rakyat memang merupakan fenomena baru di Indonesia, yang muncul sebagai ikutan
formasi negara republik Indonesia merdeka. Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan pra-
Indonesia adalah kerajaan feodal yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Meskipun demikian,
nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu telah berkembang dalam budaya Nusantara, dan
dipraktikkan setidaknya dalam unit politik kecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat,
banjar di Bali, dan lain sebagainya. Tan Malaka mengatakan bahwa paham kedaulatan rakyat
sebenarnya telah tumbuh di alam kebudayaan Minangkabau, kekuasaan raja dibatasi oleh
ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Kemudian, Hatta menambahkan ada dua anasir
tradisi demokrasi di Nusantara, yaitu; hak untuk mengadakan protes terhadap peraturan raja yang
tidak adil dan hak untuk menyingkir dari kekuasaan raja yang tidak disenangi (Yudi-Latif, 2011:
387--388).

e. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Masyarakat adil dan makmur adalah impian kebahagian yang telah berkobar ratusan tahun
lamanya dalam dada keyakinan bangsa Indonesia. Impian kebahagian itu terpahat dalam
ungkapan “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Demi impian masyarakat yang
adil dan makmur itu, para pejuang bangsa telah mengorbankan dirinya untuk mewujudkan cita-
cita tersebut. Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia dahulunya adalah bangsa yang hidup
dalam keadilan dan kemakmuran, keadaan ini kemudian dirampas oleh kolonialisme (Yudi-Latif,
2011: 493--494).

12
2.2 Landasan Filosofis Filsafat Pancasila

1. Landasan Ontologis Filsafat Pancasila

Pancasila sebagai Genetivus Subjectivus memerlukan landasan pijak filosofis yang kuat yang
mencakup tiga dimensi, yaitu landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landasan
aksiologis. Ontologi menurut Aritoteles merupakan cabang filsafat yang membahas tentang
hakikat segala yang ada secara umum sehingga dapat dibedakan dengan disiplin ilmu-ilmu yang
membahas sesuatu secara khusus. Ontologi membahas tentang hakikat yang paling dalam dari
sesuatu yang ada, yaitu unsur yang paling umum dan bersifat abstrak, disebut juga dengan istilah
substansi. Inti persoalan ontologi adalah menganalisis tentang substansi (Taylor, 1955: 42).
Substansi menurut Kamus Latin – Indonesia, berasal dari bahasa Latin “substare” artinya
serentak ada, bertahan, ada dalam kenyataan. Substantialitas artinya sesuatu yang berdiri sendiri,
hal berada, wujud, hal wujud (Verhoeven dan Carvallo, 1969: 1256).

Ontologi menurut pandangan Bakker adalah ilmu yang paling universal karena objeknya
meliputi segala-galanya menurut segala bagiannya (ekstensif) dan menurut segala aspeknya
(intensif) (Bakker, 1992: 16). Lebih lanjut, Bakker mengaitkan dimensi ontologi ke dalam
Pancasila dalam uraian berikut. Manusia adalah makhluk individu sekaligus sosial
(monodualisme), yang secara universal berlaku pula bagi substansi infrahuman, manusia, dan
Tuhan. Kelima sila Pancasila menurut Bakker menunjukkan dan mengandaikan kemandirian
masing-masing, tetapi dengan menekankan kesatuannya yang mendasar dan keterikatan dalam
relasi-relasi. Dalam kebersamaan itu, silasila Pancasila merupakan suatu hirarki teratur yang
berhubungan satu sama lain, tanpa dikompromikankan otonominya, khususnya pada Tuhan.
Bakker menegaskan bahwa baik manusia maupun substansi infrahuman bersama dengan
otonominya ditandai oleh ketergantungan pada Tuhan Sang Pencipta. Ia menyimpulkan bahwa
segala jenis dan taraf substansi berbeda secara esensial, tetapi tetap ada keserupaan mendasar
(Bakker, 1992: 38). Stephen W. Littlejohn dan Karen A Foss dalam Theories of Human
Communication menegaskan bahwa ontologi merupakan sebuah filosofi yang berhadapan
dengan sifat makhluk hidup. Setidaknya, ada empat masalah mendasar dalam asumsi ontologis
ketika dikaitkan dengan masalah sosial, yaitu: (1) pada tingkatan apa manusia membuat pilihan-
pilihan yang nyata?; (2) apakah perilaku manusia sebaiknya dipahami dalam bentuk keadaan
atau sifat?; (3) Apakah pengalaman manusia semata-mata individual atau sosial?;(4) pada
tingkatan apakah komunikasi sosial menjadi kontekstual? (Littlejohn and Foss, 2008: 26).
Penerapan keempat masalah ontologis tersebut ke dalam Pancasila sebagai sistem filsafat
menghasilkan hal-hal berikut.

Pertama, ada tiga mainstream yang berkembang sebagai pilihan nyata bangsa Indonesia atas
kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat, yaitu (1) determinisme yang menyatakan bahwa
perilaku manusia disebabkan oleh banyak kondisi sebelumnya sehingga manusia pada dasarnya
bersifat reaktif dan pasif. Pancasila sebagai sistem filsafat lahir sebagai reaksi atas penjajahan
yang melanggar Hak Asasi Manusia, sebagaimana amanat yang tercantum dalam alinea I

13
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi,
”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
peri-keadilan”. (2) pragmatisme yang menyatakan bahwa manusia merencanakan perilakunya
untuk mencapai tujuan masa depan sehingga manusia merupakan makhluk yang aktif dan dapat
mengambil keputusan yang memengaruhi nasib mereka. Sifat aktif yang memunculkan semangat
perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan termuat dalam alinea II
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi:

“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
Kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.

Adapun butir (3) aliran yang berdiri pada posisi tengah (kompromis) yang menyatakan bahwa
manusia yang membuat pilihan dalam jangkauan yang terbatas atau bahwa perilaku telah
ditentukan, sedangkan perilaku yang lain dilakukan secara bebas. Ketergantungan di satu pihak
dan kebebasan di pihak lain tercermin dalam alinea III Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang
bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Ketergantungan dalam
hal ini adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, sedangkan kebebasan bangsa
Indonesia mengacu pada keinginan luhur untuk bebas merdeka. Persoalan kedua, terkait dengan
apakah perilaku manusia sebaiknya dipahami dalam bentuk keadaan atau sifat? Dalam hal ini,
keadaan mencerminkan kedinamisan manusia, sedangkan sifat mengacu pada karakteristik yang
konsisten sepanjang waktu (Littlejohn and Foss, 2008: 26). Keadaan dan sifat membentuk
perilaku manusia sehingga penjajahan yang dialami oleh bangsa Indonesia dalam kurun waktu
yang cukup panjang itu membentuk kedinamisan rakyat Indonesia untuk terus mengadakan
perlawanan yang tertuang dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dari masa ke masa. Sifat
yang mengacu pada karakteristik bangsa Indonesia berupa solidaritas, rasa kebersamaan, gotong
rotong, bahu-membahu untuk mengatasi kesulitan demi menyongsong masa depan yang lebih
baik. Persoalan ontologis ketiga yang dikemukakan Littlejohn and Fossterkait dengan apakah
pengalaman manusia semata-mata individual ataukah sosial? Seiring dengan sejarah perjalanan
bangsa Indonesia, harus diakui memang ada individu-individu yang menonjol, seperti para
pahlawan (Diponegoro, Imam Bonjol, Pattimura, dan seterusnya), tokoh-tokoh pergerakan
nasional (Soekarno, M. Hatta, A.A Maramis, Agus Salim, dan seterusnya) yang mencatatkan
nama-namanya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Namun, harus pula diakui bahwa
para pahlawan dan tokoh-tokoh pergerakan nasional itu tidak mungkin bergerak sendiri untuk
mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Peristiwa Sepuluh November di Surabaya ketika
terjadi pertempuran antara para pemuda, arek-arek Surabaya dan pihak sekutu membuktikan
bahwa Bung Tomo berhasil menggerakkan semangat rakyat melalui orasi dan pidato-pidatonya.

14
Dengan demikian, manusia sebagai makhluk individu baru mempunyai arti ketika berelasi
dengan manusia lain sehingga sekaligus menjadi makhluk sosial.

Landasan ontologis Pancasila artinya sebuah pemikiran filosofis atas hakikat dan raison d’etre
sila-sila Pancasila sebagai dasar filosofis negara Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman atas
hakikat sila-sila Pancasila itu diperlukan sebagai bentuk pengakuan atas modus eksistensi bangsa
Indonesia.

Sastrapratedja (2010: 147--154) menjabarkan prinsip-prinsip dalam Pancasila sebagai berikut:


(1) Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pengakuan atas kebebasan beragama, saling
menghormati dan bersifat toleran, serta menciptakan kondisi agar hak kebebasan beragama itu
dapat dilaksanakan oleh masing-masing pemeluk agama.

(2). Prinsip Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mengakui bahwa setiap orang memiliki
martabat yang sama, setiap orang harus diperlakukan adil sebagai manusia yang menjadi dasar
bagi pelaksanaan Hak Asasi Manusia.

(3). Prinsip Persatuan mengandung konsep nasionalisme politik yang menyatakan bahwa
perbedaan budaya, etnis, bahasa, dan agama tidak menghambat atau mengurangi partsipasi
perwujudannya sebagai warga negara kebangsaan. Wacana tentang bangsa dan kebangsaan
dengan berbagai cara pada akhirnya bertujuan menciptakan identitas diri bangsa Indonesia.

(4). Prinsip Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan/Perwakilan mengandung makna bahwa sistem demokrasi diusahakan
ditempuh melalui proses musyawarah demi tercapainya mufakat untuk menghindari dikotomi
mayoritas dan minoritas.

(5). Prinsip Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagaimana yang dikemukakan
Soekarno, yaitu didasarkan pada prinsip tidak adanya kemiskinan dalam negara Indonesia
merdeka, hidup dalam kesejahteraan (welfare state).

2. Landasan Epistemologis Filsafat Pancasila

Istilah epistemologi terkait dengan sarana dan sumber pengetahuan (knowledge). Epistemologi
adalah cabang filsafat pengetahuan yang membahas tentang sifat dasar pengetahuan,
kemungkinan, lingkup, dan dasar umum pengetahuan (Bahm, 1995: 5). Epistemologi terkait
dengan pengetahuan yang bersifat sui generis, berhubungan dengan sesuatu yang paling
sederhana dan paling mendasar (Hardono Hadi, 1994: 23). Littlejohn and Foss menyatakan
bahwa epistemologi merupakan cabang filosofi yang mempelajari pengetahuan atau bagaimana
orang-orang dapat mengetahui tentang sesuatu atau apa-apa yang mereka ketahui. Mereka
mengemukakan beberapa persoalan paling umum dalam epistemologi sebagai berikut: (1) pada
tingkatan apa pengetahuan dapat muncul sebelum pengalaman? (2) pada tingkatan apa
pengetahuan dapat menjadi sesuatu yang pasti? (Littlejohn and Foss, 2008: 24).

15
Problem pertama tentang cara mengetahui itu ada dua pendapat yang berkembang dan saling
berseberangan dalam wacana epistemologi, yaiturasionalisme dan empirisisme. Kaum rasionalis
berpandangan bahwa akal merupakan satu-satunya sarana dan sumber dalam memperoleh
pengetahuan sehingga pengetahuan bersifat a priori. Empirisisme berpandangan bahwa
pengalaman inderawi (empiris) merupakan sarana dan sumber pengetahuan sehingga
pengetahuan bersifat a posteriori. Pancasila sebagaimana yang sering dikatakan Soekarno,
merupakan pengetahuan yang sudah tertanam dalam pengalaman kehidupan rakyat Indonesia
sehingga Soekarno hanya menggali dari bumi pertiwi Indonesia. Namun, pengetahuan dapat
muncul sebelum pengalaman, dalam kehidupan bangsa Indonesia, yakni ketika menetapkan
Pancasila sebagai dasar negara untuk mengatasi pluralitas etnis, religi, dan budaya. Pancasila
diyakini mampu mengatasi keberagaman tersebut sehingga hal tersebut mencerminkan tingkatan
pengetahuan yang dinamakan a priori.

Problem kedua tentang pada tingkatan apa pengetahuan dapat menjadi sesuatu yang pasti
berkembang menjadi dua pandangan, yaitu pengetahuan yang mutlak dan pengetahuan yang
relatif. Pancasila dapat dikatakan sebagai pengetahuan yang mutlak karena sifat universal yang
terkandung dalam hakikat sila-silanya, yaitu Tuhan, manusia, satu (solidaritas, nasionalisme),
rakyat, dan adil dapat berlaku di mana saja dan bagi siapa saja. Notonagoro menamakannya
dengan istilah Pancasila abstrak-umum universal. Pada posisi yang lain, sifat relatif pengetahuan
tentang Pancasila sebagai bentuk pengamalan dalam kehidupan individu rakyat Indonesia
memungkinkan pemahaman yang beragam, meskipun roh atau semangat universalitasnya tetap
ada. Notonagoro menyebutnya dengan pelaksanaan Pancasila umum kolektif dan singular
konkrit. (Bakry, 1994: 45).

Landasan epistemologis Pancasila artinya nilai-nilai Pancasila digali dari pengalaman (empiris)
bangsa Indonesia, kemudian disintesiskan menjadi sebuah pandangan yang komprehensif tentang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Penjabaran sila-sila Pancasila secara
epistemologis dapat diuraikan sebagai berikut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa digali dari
pengalaman kehidupan beragama bangsa Indonesia sejak dahulu sampai sekarang. Sila
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab digali dari pengalaman atas kesadaran masyarakat yang
ditindas oleh penjajahan selama berabad-abad. Oleh karena itu, dalam alinea pertama
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
penjajahan itu tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Sila Persatuan Indonesia digali dari pengalaman atas kesadaran bahwa keterpecahbelahan yang
dilakukan penjajah kolonialisme Belanda melalui politik Devide et Impera menimbulkan konflik
antarmasyarakat Indonesia. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan digali dari budaya bangsa Indonesia yang sudah mengenal secara
turun temurun pengambilan keputusan berdasarkan semangat musyawarah untuk mufakat.
Misalnya, masyarakat Minangkabau mengenal peribahasa yang berbunyi ”Bulek aie dek
pambuluh, bulek kato dek mufakat”, bulat air di dalam bambu, bulat kata dalam permufakatan.
Sila

16
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia digali dari prinsip-prinsip yang berkembang
dalam masyarakat Indonesia yang tercermin dalam sikap gotong royong.

Dengan filsafat, kita dapat menentukan tujuan-tujuan yang akan dicapai demi peningkatan
ketenangan dan kesejahteraan hidup, pergaulan dan berwarga negara. Untuk itu, bangsa
Indonesia telah menemukan filsafat Pancasila.

1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh melalui akal atau
panca indra dan dari ide atau Tuhan. Berbeda dengan Pancasila, ia lahir tidak secara mendadak,
tetapi melalui proses panjang yang dimatangkan dengan perjuangan. Pancasila digali dari bumi
Indonesia yang merupakan dasar negara, pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, tujuan
atau arah untuk mencapai cita-cita dan perjanjian luhur rakyat Indonesia (Widjaya, 1985:176-
177). Dalam rangka pikiran seperti ini, maka cita-cita telah merupakan ideologi (lihat Deliar
Noer, 1983: 25).

2)      Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Kepribadian manusia adalah subjek yang secara potensial dan aktif berkesadaran tahu atas
eksistensi diri, dunia, bahkan juga sadar dan tahu bila di suatu ruang dan waktu “tidak ada” apa-
apa (kecuali ruang dan waktu itu sendiri). Pancasila adalah ilmu yang diperoleh melalui
perjuangan yang sesuai dengan logika. Dengan mempunyai ilmu moral, diharapkan tidak ada
lagi kekerasan dan kesewenang-wenangan manusia terhadap yang lainnya.

3)      Sila Persatuan Indonesia

Proses terbangunnya pengetahuan manusia merupakan hasil dari kerja sama atau produk
hubungan dengan lingkungannya. Potensi dasar denga faktor kondisi lingkungan yang memadai
akan membentuk pengetahuan.

4)      Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan


Perwakilan

Manusia diciptakan Allah SWT sebagai pemimpin di muka bumi ini untuk memakmurkan umat
manusia. Seorang pemimpin mempunyai syarat untuk memimpin dengan bijaksana. Dalam
sistem pendidikan nasional, pendidikan memang mempunyai peranan yang besar, tetapi itu tidak
menutup kemungkinan peran keluarga dan masyarakat dalam membentuk manusia Indonesia
seutuhnya. Jadi, dalam hal ini diperlukan suatu ilmu keguruan untuk mencapai guru yang ideal,
guru yang kompeten. Setiap manusia bebas mengeluarkan pendapat dengan melalui lembaga
penidikan. Setiap ada permasalahan diselesaikan dengan jalan musyawarah, agar mendapat kata
mufakat.

5)      Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

17
Ilmu pengetahuan sebagai perbendaharaan dan prestasi individu serta sebagai karya budaya umat
manusia merupakan martabat kepribadian manusia (IKIP Malang, 1983: 63). Dalam arti luas,
adil di atas dimaksudkan seimbang antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini didapatkan
melalui pendidikan, baik itu informal, formal dan non formal. Dalam sistem pendidikan nasional
yang intinya mempunyai tujuan yang mengejar Iptek dan Imtaq. Di bidang sosial, dapat dilihat
pada suatu badan yang mengkoordidir dalam hal mengentaskan kemiskinan, di mana hal ini
sesuai dengan butir-butir Pancasila. Kita harus menghormati dan menghargai hasil karya orang
lain, hemat yang berarti pengeluaran sesuai dengan kebutuhan.

3. Landasan Aksiologis Pancasila

Istilah “aksiologis” terkait dengan masalah nilai (value). The study of the theory of values is
axiology (Gr. Axios, of like value + logos, theory). Pure axiology is the study of values of all

types. (Hunnex, 1986: 22). Frondizi (2001:7) menegaskan bahwa nilai itu merupakan kualitas
yang tidak real karena nilai itu tidak ada untuk dirinya sendiri, ia membutuhkan pengemban
untuk berada.

Mari perhatikan beberapa contoh pernyataan sebagai berikut:

a. Berapa nilai pertandingan antara Persipura melawan Persib?

b. Berapa nilai sepeda motor Honda yang dipakainya itu?

c. Berapa nilai IPK yang Anda peroleh semester ini?

d. Lukisan Afandi dikatakan bersifat ekspresionis karena di situlah letak nilai keindahannya.

Istilah nilai yang digunakan dalam pernyataan tersebut bukan mengacu pada makna nilai (value)
dalam arti filosofis, melainkan lebih mengacu pada arti skor (a), harga (b), dan angka atau grade
(c). Nilai (value) lebih mengacu pada kualitas yang bersifat abstrak, yang melekat pada suatu
objek, sebagaimana yang tercermin pada contoh pernyataan butir (d).Littlejohn and Foss
mengatakan bahwa aksiologi merupakan cabang filosofi yang berhubungan dengan penelitian
tentang nilai-nilai. Salah satu masalah penting dalam aksiologi yang ditengarai Littlejohn and
Foss, yaitu: dapatkah teori bebas dari nilai? (Littlejohn and Foss, 2008: 27--28). Problem apakah
teori atau ilmu itu dapat bebas dari nilai, memiliki pengikut yang kuat dalam kubu positivisme.
Pengikut positivis meyakini bahwa teori dan ilmu harus bebas nilai untuk menjaga semangat
objektivitas ilmiah. Namun, perlu disadari bahwa tidak semua aspek kehidupan manusia dapat
diukur secara “ilmiah” menurut perspektif positivistik karena banyak aspek kehidupan manusia
ini yang mengandung muatan makna dan bernilai tinggi ketika dihadapkan pada masalah-
masalah yang berdimensi spiritual, ideologis, dan kepercayaan lainnya. Pancasila sebagai
ideologi bangsa Indonesia mengandung berbagai dimensi kehidupan manusia, seperti

18
spiritualitas, kemanusiaan, solidaritas, musyawarah, dan keadilan. Kelima sila tersebut
mengandung dimensi nilai yang “tidak terukur” sehingga ukuran “ilmiah” positivistik atas
kelima sila tersebut sama halnya dengan mematikan denyut nadi kehidupan atau
memekanisasikan Pancasila. Pancasila justru merupakan sumber nilai yang memberi aspirasi
bagi rakyat Indonesia untuk memahami hidup berbangsa dan bernegara secara utuh. Pancasila
sebagai sumber nilai bagi bangsa Indonesia seharusnya dikembangkan tidak hanya dalam
kehidupan bernegara, tetapi juga dalam bidang akademis sehingga teori ilmiah yang diterapkan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia berorientasi pada nilai-nlai Pancasila tersebut. Dunia
akademis tidak berkembang dalam ruang hampa nilai sebab semangat akademis harus berisikan
nilai spiritualitas untuk menggugah kesadaran tentang pentingnya keyakinan kepada Sang
Pencipta sebagai pendorong dan pembangkit motivasi kegiatan ilmiah.

Landasan aksiologis Pancasila artinya nilai atau kualitas yang terkandung dalam sila-sila
Pancasila. Sila pertama mengandung kualitas monoteis, spiritual, kekudusan, dan sakral. Sila
kemanusiaan mengandung nilai martabat, harga diri, kebebasan, dan tanggung jawab. Sila
persatuan mengandung nilai solidaritas dan kesetiakawanan. Sila keempat mengandung nilai
demokrasi, musyawarah, mufakat, dan berjiwa besar. Sila keadilan mengandung nilai kepedulian
dan gotong royong.

Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memiliki nilai-nilai: Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Nilai ideal, materiil, spiritual dan nilai
positif dan juga nilai logis, estetika, etis, sosial dan religius. Dengan demikian Pancasila syarat
akan nilai.

1) Sila Ketuhanan yang Maha Esa

Percaya kepada Allah merupakan hal yang paling utama dalam ajaran Islam. Di setiap kita
mengucapkan kalimah Allah, baik itu dalam shalat, menikahkan orang, dikumandangkan adzan,
para dai mula-mula menyiarkan Islam dengan menanamkan keimanan. Pendidikan, sejak tingkat
kanak-kanak sampai perguruan tinggi, diberikan pelajaran agama dan hal ini merupakan sub-
sistem pendidikan nasional.

2) Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Dalam kehidupan umat Islam, setiap Muslim yang datang ke masjid untuk shalat berjamaah
berhak berdiri di depan dengan tidak membedakan keturunan, ras dan kedudukan. Di mata Allah
sama, kecuali ketakwaan seseorang. Inilah sebagian kecil contoh dari nilai-nilai Pancasila yang
ada dalam kehidupan umat Islam.

3)      Sila Persatuan Indonesia

Islam mengajarkan supaya bersatu dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan, mengajarkan
untuk taat kepada pemimpin. Memang Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara yang

19
berdasarkan satu agama. Meskipun demikian demikian, warga negara kita tidak lepas dari
pembinaan dan bimbingan kehidupan beragama untuk terwujudnya kehidupan beragama yang
rukun dan damai.

4)      Sila Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan


Perwakilan

Jauh sebelum Islam datang, di Indonesia sudah ada sikap gotong-royong di musyawarah. Dengan
datangnya Islam, sikap ini lebih diperkuat lagi dengan datangnya al-Qur’an.

5)      Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Adil berarti seimbang antara hak dan kewajiban. Dalam segi pendidikan,  adil itu seimbang
antara ilmu umum dan ilmu agama di mana ilmu agama adalah sub-sistem dari sistem
pendidikan nasional.

2.3 Pancasila sebagai Weltanschauung Bangsa Indonesia

Istilah Philosphische Grondslag dan Weltanschauung merupakan dua istilah yang sarat dengan
nilai-nilai filosofis. Driyarkara membedakan antara filsafat dan Weltanschauung. Filsafat lebih
bersifat teoritis dan abstrak, yaitu cara berpikir dan memandang realita dengan sedalam-
dalamnya untuk memperoleh kebenaran. Weltanschauung lebih mengacu pada pandangan hidup
yang bersifat praktis. Driyarkara menegaskan bahwa weltanschauung belum tentu didahului oleh
filsafat karena pada masyarakat primitif terdapat pandangan hidup (Weltanschauung) yang tidak
didahului rumusan filsafat. Filsafat berada dalam lingkup ilmu, sedangkan weltanshauung berada
di dalam lingkungan hidup manusia, bahkan banyak pula bagian dari filsafat (seperti: sejarah
filsafat, teori-teori tentang alam) yang tidak langsung terkait dengan sikap hidup (Driyarkara, tt:
27).

Pancasila sebagai dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag) nilai-nilai filosofis yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila mendasari seluruh peraturan hukum yang berlaku di
Indonesia. Artinya, nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan harus
mendasari seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh: Undang-Undang No.
44 tahun 2008 tentang Pornografi. Pasal 3 ayat (a) berbunyi, ”Mewujudkan dan memelihara
tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan”. Undang-

20
undang tersebut memuat sila pertama dan sila kedua yang mendasari semangat pelaksanaan
untuk menolak segala bentuk pornografi yang tidak sesuai dengan nlai-nilai agama dan martabat
kemanusiaan. Kedua, Pancasila sebagai Weltanschauung, artinya nilai-nilai Pancasila itu
merupakan sesuatu yang telah ada dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia, yang
kemudian disepakati sebagai dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag). Weltanschauung
merupakan sebuah pandangan dunia (world-view). Hal ini menyitir pengertian filsafat oleh J. A.
Leighton sebagaimana dikutip The Liang Gie, ”A complete philosophy includes a worldview or
a reasoned conception of the whole cosmos, and a life-view or doctrine of the values, meanings,
and purposes of human life” (The Liang Gie, 1977: 8). Ajaran tentang nilai, makna, dan tujuan
hidup manusia yang terpatri dalam Weltanschauung itu menyebar dalam berbagai pemikiran dan
kebudayaan Bangsa Indonesia. Pancasila Sebagai Philosophische Gronslag (Weltanschauung)-
Padmo Adi-

Soekarno secara eksplisit di dalam pidato 1 Juni 1945 menyebut Pancasila sebagai
Philosophische Grondslag, sebab memang Pancasila dirumuskan untuk menjadi pandangan
hidup dasariah atau dasar filosofis dari Negara Indonesia Merdeka. Di atas fundamen Pancasila
inilah didirikan Negara Indonesia “merdeka dan kekal abadi”. Jerman punya Nazisme, USSR
punya Marxisme-Komunisme, Saudi Arabia punya Islam-wahabisme, Jepang punya Tenno
Koodoo Seishin, Republik Tiongkok punya San Min Chu I, Indonesia merdeka punya apa?
Indonesia punya Pancasila. bukan hanya sebagai dasar filosofis Indonesia Merdeka, Pancasila
adalah Dasar Negara:

a. dasar berdiri dan tegaknya negara


b. dasar kegiatan penyelenggaraan negara
c. dasar partisipasi warga negara
d. dasar pergaulan antara warga negara
e. dasar dan sumber dari segala sumber hukum nasional

Sebagai Philosophische Grondslag atau Weltanschauung, Pancasila akhirnya menjadi ideologi


nasional Indonesia. Sebagai ideologi, Pancasila memuat gagasan tentang bagaimana seharusnya
Bangsa Indonesia mengelola kehidupannya. Walaupun demikian, Pancasila bukanlah merupakan
suatu ideologi yang tertutup. Setiap ideologi tertutup selalu bersifat totaliter. Rumusan-rumusan
Pancasila tidak langsung operasional sebagaimana ideologi totaliter, sehingga Pancasila selalu

21
memerlukan penafsiran ulang sesuai perkembangan zaman.Soekarno pernah berkata, “Tidak ada
satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak ada perjuangan!”

2.4 Pendidikan dalam Perspektif Filsafat Pancasila

1. Peran Filsafat Pancasila Terhadap Pendidikan Di Indonesia

Pendidikan berdasarkan terminologi merupakan terjemahan dari istilah Pedagogi. Istilah ini
berasal dari bahasa Yunani yaitu Paidos dan agoo. Paidos artinya budak dan agoo artinya
membimbing. Pedagogie dapat diartikan sebagai bdak yang mengantarkan anak majikan untuk
belajar. (Jumali, dkk, 2004: 19)menjelaskan bahwa hakikat pendidikan adalah kegiatan yang
melibatkan guru, murid, kurikulum, evaluasi, administrasi yang secara simultan memproses
peserta didik menjadi lebih lebih bertambah pengetahuan, skill, dan nilai kepribadiannya dalam
suatu keteraturan kalender akademik. Filsafat pendidikan nasional Indonesia berakar pada nilai-
nilai budaya yang terkandung pada Pancasila. Nilai Pancasila tersebut harus ditanamkan pada
peserta didik melalui penyelenggaraan pendidikan nasional dalam semua level dan jenis
pendidikan. Ada dua pandanagan yang menurut (Jumali, dkk , 2004:54), perlu dipertimbangkan
dalam menetukan landasan filosofis dalam pendidikan nasional Indonesia. Pertama, pandangan
tentang manusia Indonesia. Filosofis pendidikan nasional memandang bahwa manusia Indonesia
sebagai:

a. Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan segala fitrahnya

b. Makhluk individu dengan segalahal dan kewajibannya

c. Makhluk sosial dengan segala tanggung jawab hidup dalam masyarakat yang pluralistik baik
dari segi lingkungan sosial budaya, lingkungan hidup dan segi kemajuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia di tengah-tengah masyarakat global yang senantiasa berkembang dengan
segala tantangannya.

Kedua, Pandangantentang pendidikan nasional itu sendiri. Dalam pandangan filosofis pendidikan
nasional dipandang sebagai pranata sosila yang selalu berinteraksi dengan kelembagaan sosial
lainnya dalam masyarakat. Menurut John Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu
pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir

22
(intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju ke arah tabiat manusia, maka filsafat
juga diartikan sebagai teori umum pendidikan endidikan merupakan usaha sadar yang sengaja
dan terencana untuk membantu perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfat
bagi kepentingan hidupnya sebagai individu dan sebagai warga masyarakat. Pendidikan
dipandang mempunyai peranan yang besar dalam mencapai keberhasilan dalam perkembangan
anak. Dalam sejarah pendidikan dapat dijumpai berbagai pandangan atau teori mengenai
perkembangan manusia dan hasil pendidikan, seperti :

a.Empirisme, bahwa hasil pendidikan dan perkembangan itu bergantung pada pengalaman yang
diperoleh anak didik selama hidpnya. Pengalaman itu diperolehnya di luar dirinya berdasarkan
perangsang yang tersedia baginya, John Locke berpendapat bahwa anak yang dilahirkan di dunia
ini bagaikan kertas kosong atau sebagai meja berlapis lilin (tabula rasa) yang belum ada tulisan
diatasnya.
b.Nativisme, teori yang dianut oleh Schopenhauer yang berpendapat bahwa bayi lahir dengan
pembawan baik dan pembawan yang buruk. Dalam hubungannya dengan pendidikan, ia
berpendapat bahwa hasil akhir pendidikan dan perkembangan itu ditentukan oleh pembawaan
yang sudah diperolehnya sejak lahir. Aliran ini berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat
menghasilkan tujuan yang diharapkan berhubungan dengan perkembangan anak didik. Dengan
kata lain aliran nativisme merupakan aliran Pesimisme dalam pendidikan, berhasil tidaknya
perkembangan anak tergantung pada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimilikinya.
c. Naturalisme, dipelopori oleh J.J Rousseau, ia berpendapat bahwa semua anak yang baru lahir
mempunyai pembawaan yang baik, tidak seorang anakpun lahir dengan pembawaan buruk.
Aliran ini berpendapat bahwa pendidik hanya wajib membiarkan pertumbuhan anak didik saja
dengan sendirinya, diserahkan saja selanjutnya kepada alam ( negativisme ). Pendidikan tidak
diperlukan, yang dilaksanakan adalah menyerahkan anak didik ke alam, agar pembawaan yang
baik tidak rusak oleh tangan manusia melalui proses pendidikan.
d.Konvergensi, dipelopori oleh William Stern, yang berpendapat bahwa anak dilahirkan dengan
pembawaan baik dan buruk. Hasil pendidikan itu bergantung dari pembawaan dan lingkungan.
Pendidikan diartikan sebagai penolong yang diberikan kepada lingkugan anak didik untuk
mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya pembawan yang buruk.

2. Pelaksanaan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pendidikan Berkarakter Di Negara Indonesia

23
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian,
budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah
berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh
(UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors),
motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang
berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan
dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan
perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya
sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. Dari pengertian di atas dapat
dimaknai bahwa pendidikan karakter merupakan suatu proses penanaman perilaku yang
didasarkan pada budi pekerti yang baik sesuai dengan kepribadian luhur bangsa Indonesia yang
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki
esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga
negara yang baik.
Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik
bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak
dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-
nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina
kepribadian generasi muda. Pancasila sebagai sistem filsafat bisa dilihat dari pendekatan
ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Diktat “Filsafat Pancasila” (Danumihardja, 2011)
menyebutkan secara ontologis berdasar pada pemikiran tentang negara, bangsa, masyarakat, dan
manusia. Secara epistemologis berdasar sebagai suatu pengetahuan intern struktur logis dan
konsisten implementasinya. Secara aksiologis bedasar pada yang terkandung di dalamnya,
hirarki dan struktur nilai, di dalamnya konsep etika yang terkandung.
Dasar ontologis Pancasila sebagai sistem filsafat bisa diinterpretasi bahwa adanya negara perlu
dukungan warga negara. Kualitas negara sangat bergantung pada kualitas warga negara. Kualitas
warga negara sangat erat berkaitan dengan pendidikan. Hubungan ini juga menjadi timbal-balik,
karena landasan pendidikan haruslah mengacu pada landasan negara. Esensi landasan negara
harus benarbenar memperkuat landasan pendidikan untuk mencapai tujuan bersama adanya

24
keserasian hubungan antara negara dengan warga negara. Demokrasi Pancasila menegaskan
pengakuan atas harkat dan martabat manusia sebagai makhluk masyarakat, negara dan
masyarakat bangsa ( Arbi, 1998 ). Orientasi hidup kita adalah hidup kemanusiaan yang
mempunyai ciri - ciri tertentu. Ciri - ciri kemanusiaan yang kelihatan dari Pancasila ialah
integral, etis dan religius ( Soeyatni Poeposwardoyo, 1989 ). Filsafat pendidikan Pancasila
mengimplikasikan ciri-ciri tersebut.
1. Integral Kemanusiaan yang diajarkan oleh Pancasila adalah kemanusiaan yang integral, yakni
mengakui manusia seutuhnya. Manusia diakui sebagai suatu keutuhan jiwa dan raga, keutuhan
antara manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Kedua hal itu sebenarnya adalah dua sisi
dari satu realitas tentang manusia. Hakekat manusia yang seperti inilah yang merupakan hakekat
subjek didik.
2. Etis Pancasila Merupakan Kualifikasi etis. Pancasila mengakui keunikan subjektivitas
manusia, ini berarti menjungjung tinggi kebebasan, namun tidak dari segalanya seperti
liberalisme. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
3. Religius Sila pertama pancasila menegaskan bahwa religius melekat pada hakekat manusia,
maka pandangan kemanusiaan Pancasila adalah faham kemanusiaan religius. Religius
menunjukan kecendrungan dasar dan potensi itu. Pancasila mengakui Tuhan sebagai pencipta
serta sumberkeberadaan dan menghargai religius dalam masyarakat sebagai yang bermakna.
Kebebasan agama adalah satu hak yang paling asasi diantara hak - hak asasi manusia, karena
kebebasan agama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan. Hak kebebasan agama bukan pemberian negara atau pemberian perorangan atau
golongan. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sendiri tidak memaksa
setiap manusia untuk memeluk agama tertentu. Berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat
dimakanai bahwa pendidkan karakter di Indonesia merupakan hasil dari penerapan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila adalah falsafah yang merupakan pedoman
berperilaku bagi bangsa Indonesia yang sesuai dengan kultur kita bangsa Indonesia yang
memeiliki adat ketimuran. Pendidikan karakter memang seharusnya diambil dari nilai-nilai yag
terkandung dalam Pancasila. Agar tercipta manusia Indonesia yang cerdas, berperilaku baik,
mampu hidup secara individu dan sosial, memenuhi hak dan kewajiban sebagai warga negara
yang baik serta beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semuanya telah mencakup
filsafat pendidikan Pancasila yang mempunyai ciri yaitu integral, etis dan reigius. Seorang

25
pendidik haruslah sadar akan pentingnya pendidikan karakter. Salah satu cara untuk menerapkan
pendidikan karakter adalah dengan melaksanakan nilai-nilai Pancasila. Dibawah ini ada beberapa
point yang harus dilakukan oleh pendidik dalam melaksanakan nilai-nilai pancasila.
a. Harus memahami nilai-nilai pancasila tersebut.
b. Menjadikan pancasila sebagai aturan hukum dalam kehidupan setelah alquran dan sunnah.
c. Memberikan contoh pelaksanaan nilai-nilai pendidikan kepada peserta didik dengan baik.
Dengan melaksanakan tiga point diatas, diharapkan cita-cita bangsa yang ingin melaksanakan
pendidikan berkarakter sesuai falsafah pancasila akan terwujud. Karena bagaimanapun juga
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang setiap waktu, sehingga tidak
mungkin rasanya menghambat perkembangan itu, sehingga satusatunya jalan dalam menerapkan
pendidikan berkarakter adalah dengan melaksanakan point-poin diatas.

26
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari apa yang telah dijelaskan di atas, Pancasila merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,
karena dalam masing-masing sila tidak bisa di tukar tempat atau dipindah. Bagi bangsa
Indonesia, Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia. Dan filsafat
merupakan suatu ilmu pengetahuan karena memiliki logika, metode dan sistem. Pancasila
dikatakan sebagai filsafat dikarenakan pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang
mendalam yang dilakukan oleh para pendahulu kita, yang kemudian dituangkan dalam suatu
sistem yang tepat, dimana pancasila memiliki hakekatnya tersendiri yang terbagi menjadi lima
sesuai dengan kelima sila-silanya tersebut. Adapun yang mendasari Pancasila adalah dasar
Ontologist (Hakikat Manusia), dasar Epistemologis (Pengetahuan), dasar Aksiologis
(Pengamalan Nilai-Nilainya).

3.2 Saran

Saran yang dapat dipetik dari materi ini adalah agar seluruh masyarakat mengetahui seberapa
penting Pancasila sebagai filsafat pendidikan nasional dan dapat mengamalkan nilai-nilai sila
dari pancasila dengan baik & benar, serta tidak melecehkan arti penting pancasila.

27
DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/5c7448e8e62a1a07a1c3465304771
6a2.pdf

http://www.sarang-kalong.com/2016/11/pancasila-sebagai-philosophische.html?m=1

https://m.bola.com/amp/4424273/pengertian-filsafat-pancasila-ketahui-fungsi-dan-
tujuannya

https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://osf.io/wzg26/download&ved=2ahUKEwi7-7Sfh-
bzAhUTA3IKHewsANYQFnoECAMQAQ&usg=AOvVaw37l3QRqvB6L3Jo_kt61N4f

28

Anda mungkin juga menyukai