A. Definisi
Menurut Herdman & Kamitsuru dalam Wuryaningsih, dkk (2020) isolasi sosial adalah
keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak
mampu berintegrasi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak
diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain.
Faktor predisposisi yang menyebabkan isolasi sosial diantaranya (1) faktor biologis karena
herediter, riwayat trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA, (2) faktor psikologis
berdasarkan pengalaman yang tisak menyenangkan terhadap gambaran diri, kegagalan dalam
mencapai harapan, dan kurangnya penghargaan baik dari orang sekitar, (3) faktor sosial
budaya seperti penolakan lingkungan, kegagalan dalam hubungan sosial (perceraian),
bullying dan pendidikan rendah.
Penetapan diagnosis dalam PPNI (2018) menjelaskan bahwa isolasi sosial merupakan
ketidakmampuan untuk membina hubungan yang erat, hangat, terbuka, dan interdependen
dengan orang lain. Tanda dan gejala mayor pada pasien dengan isolasi sosial pada keadaan
subjektif pasien merasa ingin sendirian, merasa tidak aman di tempat umum sedangkan
secara objektif pasien cenderung menarik diri dan tidak berminat/ menolak berinteraksi
dengan orang lain. Kemudian tanda dan gejala minor yang terjadi pada keadaan subjektif
pasien merasa berbeda dengan orang lain, merasa asyik dengan dunia sendiri, dan merasa
tidak memiliki tujuan yang jelas. Sedangkan objektifnya pasien mengalami afek datar, sedih,
menunjukan permusuhan, tidak mampu memenuhi harapan orang lain, tindakan tidak berarti,
tidak ada kontak mata saat berinteraksi, dan tidak bergairah/lesu.
Apabila pasien tidak segera ditangani, pasien akan mengalami harga diri rendah,
keputusasaan bahkan resiko bunuh diri. Hal ini diperlukan terapi aktivitas kelompok. Terapi
aktivitas kelompok merupakan suatu psikoterapi yang diberikan kepada sekelompok pasien
dengan masalah keperawatan yang sama dipimpin oleh perawat atau tenaga kesehatan.
Manfaat TAK pada pasien isolasi sosial antara lain :
Secara umum :
1. Meningkatkan kemampuan menilai dan menguji kenyataan melalui komunikasi dan
umpan balik dengan atau dari orang lain
2. Meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien
3. Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya hubungan antara reaksi emosional diri
sendiri dengan perilaku defensive (bertahan terhadap stress) dan adaptasi
4. Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti kognitif dan
afektif.
Secara khusus :
1. Meningkatkan identitas diri pasien
2. Menyalurkan emosi pasien secara konstruktif
3. Meningkatkan keterampilan hubungan sosial yang akan membantu pasien didalam
kehidupan sehari-hari
4. Bersifat rehabilitatif : meningkatkan kemampuan ekspresi diri, keterampilan
sosial, kepercayaan diri, kemampuan empati, dan meningkatkan kemampuan
tentang masalah-masalah kehidupan serta cara pemecahannya (Handayani, dkk
2020).
Terdapat tiga terapi yang dapat diberikan yaitu : terapi perilaku kognitif, terapi
perilaku sensori dan terapi aktivitas kelompok sosial. Berikut Terapi Aktivitas Kelompok
yang dapat diterapkan pada pasien dengan isolasi sosial :
1. Terapi Perilaku Kognitif
a) Definisi
Terapi perilaku kognitif adalah salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan
pada teori bahwa tanda-tanda gejala fisiologis berhubungan dengan interaksi antara
pikiran, perilaku dan emosi (Pedneault 2008).
Terapi kognitif adalah terapi jangka pendek dan dilakukan secara teratur, yang
memberikan dasar berpikir pada pasien untuk mengekspresikan perasaan negatifnya,
memahami masalahnya, mampu mengatasi perasaan negatifnya, serta mampu
memecahkan masalah tersebut (Yusuf 2015)
Terapi perilaku kognitif adalah suatu terapi psikososial yang mengintegrasikan
modifikasi perilaku melalui pendekatan restrukturisasi kognitif ( Martin 2010)
Dapat disimpulkan bahwa terapi perilaku kognitif adalah salah satu bentuk terapi
psikososial yang merubah pola pikir negatif menjadi positif sehingga perilaku mal
adaptif yang timbul akibat pola pikir yang salah juga akan berubah menjadi perilaku
yang adaptif, sehingga pada akhirnya diharapkan individu memiliki kemampuan
untuk bereaksi secara adaptif dalam menghadapi masalah atau situasi yang sulit dalam
hidup.
b) Indikasi
Terapi perilaku kognitif diberikan pada individu dengan indikasi gangguan klinis
khusus seperti
Depresi
Ansietas
Panik agrophobia
Social phobia
Bulimia
Obsessive compulsive disorder
PTSD
Psikosis
Marah
Distress HIV (Workshop Keperawatan Jiwa 2011)
c) Mekanisme
Pada proses pelaksanaan terapi perilaku kognitif dibagi dalam 5 sesi, setiap sesi
dilaksanakan selama 30-45 menit untuk setiap klien
Sesi 1 : Pengkajian
Mengungkapkan pikiran otomatis negatif tentang diri sendiri, perasaan dan
perilaku negatif yang dialami klien yang berkaitan dengan stressor yaitu
pengalaman traumatis yang dialami, mengidentifikasi hal positif yang dimiliki,
serta latihan satu pikiran otomatis negatif.
Sesi 2 : Terapi Kognitif
Mereview latihan pikiran otomatis yang negatif yang pertama yang sudah
dilatih sebelumnya dan melatih untuk mengatasi pikiran otomatis negatif yang
kedua.
Sesi 3 : Terapi Perilaku
Mengevaluasi pikiran otomatis negatif yang masih ada, mengidentifikasi
perilaku positif yang dimiliki, mengidentifikasi perilaku positif yang baru,
menyusun rencana perilaku yang ditampilkan untuk mengubah perilaku
negatif yang timbul akibat stressor kejadian traumatis dengan memberikan
konsekwensi positif atau konsekuensi negatif jika perilaku dilakukan atau
tidak dilakukan.
Sesi 4 : Evaluasi Terapi kognitif dan perilaku
Mengevaluasi kemajuan dan perkembangan terapi, mereview pikiran otomatis
negatif dan perilaku negatif, memfokuskan terapi, dan mengevaluasi perilaku
yang dipelajari berdasarkan konsekuensi yang disepakati
Sesi 5 : Mencegah Kekambuhan
Menjelaskan pentingnya psikofarmaka dan terapi modalitas lainnya disamping
terapi perilaku kognitif untuk mencegah kekambuhan dan mempertahankan
dan membudayakan pikiran positif dan perilaku positif secara mandiri dan
berkesinambungan dalam mengatasi masalah.
a. Klien isolasi sosial yang sudah mendapatkan asuhan keperawatan untuk masalah
isolasi sosial.
b. Klien isolasi sosial yang telah mulai melakukan interaksi interpersonal.
c. Klien isolasi sosial yang telah mulai berespon sesuai dengan stimulus.
d. Klien yang mengalami kerusakan komunikasi verbal yang telah berespons sesuai
dengan stimulus (Efendi, Rahayuningsih dan Muharyati, 2012).