Jl. Z.A.Pagar Alam No26 LabRatu, Bandar Lampung. 35142. Telp:0721-701979, Fax:0721
-701467
Disusun oleh:
NPM : 15121041
Pembimbing Skripsi:
1. Judul Penelitian
2.Latar Belakang
pemidanaan itu sendiri, yaitu membuat pelaku tindak pidana jera dan tidak akan
mengulangiperbuatannya lagi. Hakim tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan anak
sebagai pelakutindak pidana.Berbagai pihak yang harus bertanggung jawab dalam
menghadapi masalah anak adalah sekolah,orang tua, masyarakat sekitar, penegak hukum,
dan pemerintah. Pihak-pihak tersebut harus lebihmemberikan perhatian dan penanganan
secara khusus dengan melakukan pembinaan, pendidikan,dan pengembangan perilaku anak
tersebut. Dalam penegakan hukum, ada beberapa hal yang harusdiperhatikan yaitu kepastian
hukum, kemanfaatan, dan keadilan.4Suatu masalah tersendiri bagi hakim yang menangani
perkara pidana anak adalah dalam halperlakuan terhadap anak. Karena pelaku tindak pidana
masih termasuk anak-anak, maka perlakuanterhadap anak tersebut harus dibedakan dengan
orang dewasa pada saat proses persidangan, sebabdilihat secara fisik dan pikirannya memang
berbeda dengan orang dewasa.Penanganan perkara pidana yang pelakunya masih tergolong
anak, sebelum diberlakukannyaUndang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
dapat dikatakan hampir tidak adabedanya dengan penanganan perkara yang tersangka
atau terdakwanya adalah orang dewasa. BagirManan (dalam Gatot Supramono) mengatakan
di lapangan hukum pidana anak-anak diperlakukan
sebagai ”orang dewasa kecil”,
sehingga seluruh proses perkaranya- kecuali di LembagaPemasyarakatan- dilakukan sama
dengan perkara orang dewasa. Keadaan dan kepentingan anaksebagai anak-anak (orang
belum dewasa) kadang-kadang sedemikian rupa diabaikan tanpa adaperlakuan-perlakuan
yang khusus (Gatot Supramono, 2000: 10)Hal yang paling transparan dalam pemeriksaan,
apabila tersangka/ terdakwa anak ini dilakukanpenahanan, dari segi waktu tidak berbeda
dengan waktu penahanan yang diberlakukan bagi orangdewasa. Begitu pula petugas
pemeriksa dalam memeriksa tersangka/ terdakwa anak dengan carayang sama dengan orang
dewasa, bahkan kadang-kadang dengan cara dibentak, dipukul, ditakuti,bahkan dengan
kekerasan. Perlakuan yang berbeda hanya pada waktu pemeriksaan di sidangpengadilan.
Sidang untuk perkara anak dilakukan secara tertutup (Pasal 153 ayat (3) KUHAP)
danpetugasnya (hakim dan jaksa) tidak memakai toga. Penanganan perkara anak yang tidak
dibedakandengan perkara orang dewasa dipandang tidak tepat karena sistem yang demikian
akan merugikankepentingan anak yang bersangkutan. Anak yang mendapat tekanan ketika
pemeriksaan perkaranyasedang berlangsung, akan mempengaruhi sikap mentalnya (Gatot
Supramono, 2000 : 10).5Munculnya Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan dan Undang-Undang No. 3Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak telah
memberikan landasan hukum yang kuat untukmembedakan perlakuan terhadap anak yang
terlibat suatu tindak kejahatan. Sebelum berlakunyakedua undang-undang tersebut, terasa
masih minim sekali peraturan hukum yang menyangkuttentang peradilan anak. Peraturan
yang mengatur pengadilan anak sebelum berlakunya undang-undang tersebut adalah Pasal
45, 46 dan Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yangkemudian dicabut oleh
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. SelainUndang-Undang No.
12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan Undang-Undang No. 3 Tahun1997 Tentang
Pengadilan Anak, ada juga Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang KesejahteraanAnak
yang mengatur perlindungan terhadap anak. Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 3 Undang-Undang No.
4Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan perlindungan bagi anak didalam
lingkungannya saat keadaan bahaya. Selanjutnya Pasal tersebut berbunyi ”Anak berhak atas
perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau
menghambatpertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Dalam keadaan yang
membahayakan, anaklahyang pertama-
tama berhak mendapat pertolongan, bantuan, dan perlindungan”. Jadi yang harus
mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai dengan
kemampuannyadengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu.Pasal 6
Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak menyatakan bahwa
anakyang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan
menolongnya gunamengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan
perkembangannya. Pelayanan danasuhan tersebut juga diberikan kepada anak yang telah
dinyatakan bersalah melakukan pelanggaranhukum berdasarkan keputusan hakim. Dari pasal
tersebut telah dinyatakan dengan jelas bahwaundang-undang dengan tegas menyatakan dan
mendorong pentingnya perlindungan anak dalamrangka mengusahakan kesejahteraan anak
dan perlakuan yang adil terhadap anak.6Putusan hakim yang berisikan sanksi pidana bagi
terdakwa anak tidak boleh menimbulkan pengaruhburuk bagi sikap mental dan
kejiwaan anak, yang membuat nilai-nilai kemanusiaan anak menjadilebih rendah daripada
sebelumnya, karena penjatuhan pidana tidak berorientasi pada sifatpembalasan dan
penghukuman, tetapi lebih bertitik tolak pada kepentingan kesejahteraan anak danmasa depan
anak.Ketentuan hukum mengenai anak-anak, khususnya bagi anak yang melakukan tindak
pidana diaturdalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, baik
pembedaan perlakuan didalam hukum acara maupun ancaman pidananya. Dalam undang-
undang ini juga diatur mengenaibatas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak
seperti yang tercantum dalam Pasal 4ayat (1), yaitu sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapanbelas) tahun dan belum pernah kawin. Apabila yang
bersangkutan telah berumur 21 (dua puluh satu)tahun, maka menurut Pasal 4 ayat (2) tetap
diajukan ke sidang anak (Wagiati Soetodjo, 2006 : 29).Khusus mengenai sanksi terhadap
anak dalam undang-undang tersebut ditentukan berdasarkanperbedaan umur anak, yaitu bagi
anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai dengan 12 (duabelas) tahun hanya dikenakan
tindakan, sedangkan terhadap anak yang telah berumur 12 (duabelas) sampai dengan 18
(delapan belas) tahun dijatuhi hukuman pidana. Pembedaan perlakuantersebut didasarkan atas
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak (PenjelasanUU No. 3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak).Menurut Wagiati Soetodjo dalam bukunya Hukum Pidana
Anak, sejak adanya sangkaan ataupenyidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani
putusan tersebut, anak harus didampingioleh petugas sosial (social worker), yaitu BISPA
(Bimbingan Kemasyarakatan dan PengentasanAnak)1 yang1 Sekarang ini bukan BISPA lagi
yang mendampingi anak tetapi BAPAS,yaitu Balai Pemasyarakatan.7membuat Case Study
tentang anak dalam sidang. Pembuatan Case Study ini merupakan hal yangterpenting dalam
sidang anak karena sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak dikemudian hari,
karena di dalam memutuskan perkara anak dengan melihat Case Study dapat dilihatdengan
nyata keadaan anak. Apabila hakim yang memutus perkara anak tidak dibantu dengan
CaseStudy, maka hakim tidak akan mengetahui keadaan anak yang sebenarnya sebab hakim
hanya boleh
bertemu terbatas dalam ruang sidang. Yang tercantum dalam Case Study adalah
gambaran keadaananak, berupa masalah sosialnya, kepribadiannya, maupun latar
belakangnya, dan juga saran-sarandari petugas BISPA kepada hakim mengenai tindakan yang
sebaiknya diambil, guna kepentingan danlebih memenuhi kebutuhan anak (Wagiati Soetodjo,
2006 : 45-47).Masalah penjatuhan sanksi pidana atau penghukuman adalah wewenang hakim.
Oleh karena itu,dalam menentukan hukuman yang pantas untuk terdakwa anak, hakim harus
memiliki perasaanyang peka dalam artian hakim harus menilai dengan baik dan objektif, dan
penjatuhan hukumantersebut harus mengutamakan pada pemberian bimbingan edukatif,
disamping tindakan yangbersifat menghukum.Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis
ingin menganalisa putusan hakim yang telah in krachtuntuk mengetahui hal-hal yang menjadi
dasar pertimbangan hakim, dalam suatu penulisan hukum
dengan judul : ”ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM BERUPA PEMIDANAAN
TERHADAP PERKARATINDAK PIDANA ANAK”
3. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dasar pertimbangan yang dipergunakan olehhakim dalam menjatuhkan
putusan pemidanaan terhadap perkara tindak pidana anak?
2. Hambatan-hambatan apa saja yang dialami hakim dalam menjatuhkan putusan
secara teoretis?
4. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Subjektif
a. untuk memperoleh data yang akan dipergunakanoleh Penulis dalam
penyusunan skripsi, sebagai syarat dalam meraih derajat Sarjana dalam
IlmuHukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Tujuan Objektif
a. untuk mengetahui dasar pertimbangan yang dipergunakan oleh hakim
dalammenjatuhkan putusan pemidanaan dalam perkara tindak pidana anak.
b. untuk mengetahuihambatan-hambatan yang dialami hakim dalam menjatuhkan
putusan secara teoretis
5. Manfaat Penelitian
6.
7. bertemu terbatas dalam ruang sidang. Yang tercantum dalam Case Study adalah
gambaran keadaananak, berupa masalah sosialnya, kepribadiannya, maupun latar
belakangnya, dan juga saran-sarandari petugas BISPA kepada hakim mengenai
tindakan yang sebaiknya diambil, guna kepentingan danlebih memenuhi kebutuhan
anak (Wagiati Soetodjo, 2006 : 45-47).Masalah penjatuhan sanksi pidana atau
penghukuman adalah wewenang hakim. Oleh karena itu,dalam menentukan hukuman
yang pantas untuk terdakwa anak, hakim harus memiliki perasaanyang peka dalam
artian hakim harus menilai dengan baik dan objektif, dan penjatuhan hukumantersebut
harus mengutamakan pada pemberian bimbingan edukatif, disamping tindakan
yangbersifat menghukum.Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis ingin
menganalisa putusan hakim yang telah in krachtuntuk mengetahui hal-hal yang
menjadi dasar pertimbangan hakim, dalam suatu penulisan hukum
8. dengan judul : ”ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM BERUPA
PEMIDANAAN TERHADAP PERKARATINDAK PIDANA ANAK”
9. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian sangatlah penting,
yaitu untukmenegaskan pokok masalah atau sebagai pedoman dari masalah yang akan
diteliti sehinggamempermudah bagi penulis dalam membahas permasalahan serta
dapat mencapai sasaran, sesuaidengan apa yang8diharapkan. Berpangkal pada latar
belakang yang telah dikemukakan dimuka, maka dapatdirumuskan masalah sebagai
berikut : 1. Bagaimana dasar pertimbangan yang dipergunakan olehhakim dalam
menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap perkara tindak pidana anak?2. Hambatan-
hambatan apa saja yang dialami hakim dalam menjatuhkan putusan secara teoretis?C.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan sasaran yang ingin dicapai dalam
penelitiansebagai pemecahan masalah yang dihadapi. Berdasarkan permasalahan
yang telah dikemukakan,tujuan penelitian ini adalah : 1. Tujuan Subjektif a. untuk
memperoleh data yang akan dipergunakanoleh Penulis dalam penyusunan skripsi,
sebagai syarat dalam meraih derajat Sarjana dalam IlmuHukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. untuk menambahpengetahuan Penulis dalam
bidang hukum, khususnya dalam hal pemidanaan terhadap perkaratindak pidana anak,
dengan harapan dapat bermanfaat di kemudian hari.2. Tujuan Objektif a. untuk
mengetahui dasar pertimbangan yang dipergunakan oleh hakim dalammenjatuhkan
putusan pemidanaan dalam perkara tindak pidana anak. b. untuk
mengetahuihambatan-hambatan yang dialami hakim dalam menjatuhkan putusan
secara teoretis.D. Manfaat Penelitian Dalam setiap penelitian yang dilakukan
diharapkan dapat memberikanmanfaat, sedangkan manfaat yang dihasilkan dari
penelitian ini adalah :91. Manfaat Teoretis Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum
serta memberikan suatu pemikirandi bidang hukum pada umumnya yang didapat atau
diperoleh dari perkuliahan dengan praktek dilapangan dalam bidang Hukum Acara
Pidana, khususnya dalam Tindak Pidana Anak.2. Manfaat Praktis a.
untuk mencocokan bidang ilmu yang telah diperoleh dalam teori dengankenyataan
yang ada dalam praktek. b. hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan
sertapengetahuan bagi para pihak yang berkompeten dan berminat pada hal yang
serupa
10. Tinjauan Pustaka
Pengertian pemimpin menurut Suradinata (1997:11) adalah orang yang
memimpin kelompok dua orang atau lebih, baik organisasi maupun keluarga.
Sedangkan kepemimpinan adalah kemampuan seorang pemimpin untuk
mengendalikan, memimpin, mempengaruhi fikiran, perasaan atau tingkah laku orang
lain untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Menurut Winardi (1990:32) bahwa pemimpin terdiri dari pemimpin formal (formal
leader) dan pemimpin informal (informal leader). Pemimpin formal adalah seorang
(pria atau wanita) yang oleh organisasi tertentu (swasta atau pemerintah) ditunjuk
(berdasarkan surat-surat keputusan pengangkatan dari organisasi yang bersangkutan)
untuk memangku sesuatu jabatan dalam struktur organisasi yang ada dengan segala
hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya untuk mencapai sasaran-sasaran
organisasi tersebut yang ditetapkan sejak semula. Sedangkan kepemimpinan adalah
merupakan suatu kemampuan yang melekat pada diri seorang yang memimpin yang
tergantung dari macam-macam faktor, baik faktor intern maupun faktor ekstern.
Siagian (1986:12) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah keterampilan dan
kemampuan seseorang mempengaruhi perilaku orang lain, baik yang kedudukannya
lebih tinggi maupun lebih lebih rendah daripada nya dalam berfikir dan bertindak agar
perilaku yang semula mungkin individualistik dan egosentrik berubah menjadi
perilaku organisasional.
Teori Kepemimpinan
Tiga teori yang menjelaskan munculnya pemimpin adalah sebagai berikut
(Kartono, 1998:29) :
Teori Genetis menyatakan sebagai berikut : 1) Pemimpin itu tidak dibuat, akan
tetapilahir jadi pemimpin oleh bakatbakat alami yang luar biasa sejak lahirnya. 2)
Dia ditakdirkan lahir menjadi pemimpin dalam situasi dan kondisi yang
bagaimanapun juga, yang khusus. 3) Secara filsafat, teori tersebut menganut
pandangan deterministis.
Teori Sosial (lawan Teori Genetis) menyatakan sebagai berikut : 1) Pemimpin itu
harus disiapkan, dididik, dan dibentuk, tidak terlahirkan begitu saja. 2) Setiap orang
bisa menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan dan pendidikan serta didorong oleh
kemauan sendiri.
Teori Ekologis atau Sintetis (muncul sebagai reaksi dari kedua teori tersebut lebih
dahulu), menyatakan sebagai berikut : Seseorang akan sukses menjadi pemimpin bila
sejak lahirnya dia telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dan bakat-bakat ini
sempat dikembangkan melalui pengalaman dan usaha pendidikan; juga sesuai dengan
tuntutan lingkungan/ekologisnya.
Kelebihan Pemimpin
Menurut Stogdill dalam Lee (1989), menyatakan bahwa pemimpin itu harus memiliki
beberapa kelebihan,yaitu :
Kapasitas: kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara atau verbal
facility, keaslian,kemampuan menilai.
Prestasi (Achievement) : gelar kesarjanaan, ilmu pengetahuan, perolehan dalam
olah raga, dan atletik, dan sebagainya.
Tanggung Jawab : mandiri, berinisiatif, tekun, ulet, percaya diri, agresif, dan
punya hasrat untuk unggul.
Partisipasi : aktif, memiliki sosiabilitas tinggi, mampu bergaul, kooperatif atau
suka bekerjasama, mudah menyesuaikan diri, punya rasa humor.
Status : meliputi kedudukan sosial ekonomi yang cukup tinggi, populer, tenar.
Menurut Ishak Arep dan Tanjung (2003:93) bahwa kepemimpinan (leadership) adalah
kemampuan seseorang untuk menguasai atau mempengaruhi orang lain atau masyarakat yang
berbeda-beda manuju pencapaian tertentu. Jadi kepemimpinan atau leadership ini merupakan
sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin (leader), yang dalam penerapannya
mengandung konsekuensi terhadap diri dalam penerapannya mengandung konsekuensi
terhadap diri si pemimpin, antara lain sebagai berikut :
-Harus berani mengambil keputusan sendiri secara tegas dan tepat (decision making)
Gaya Kepemimpinan
Selanjutnya Ishak Arep dan Tanjung (2003:23) menyatakan bahwa dalam mencapai
tujuan sebagaimana telah dikemukakan diatas, yakni untuk dapat menguasai atau
mempengaruhi serta memotivasi orang lain, maka dalam penerapan Manajemen Sumber
Daya Manusia lazimnya digunakan 4 (empat) macam gaya kepemimpinan, yaitu :
Democratic Leadership adalah suatau gaya kepemimpinan yang menitikberatkan kepada
kemampuan untuk menciptakan moral dan kemampuan untuk menciptakan kepercayaan
Dictatorial atau Autocratic Leadership, yakni suatu gaya leadership yang menityikberatkan
kepada kesanggupan untuk memaksakan keinginannya yang mampu mengumpulkan
pengikutpengikutnya untuk kepentingan pribadinya dan/atau golongannya dengan kesediaan
untuk menerima segala resiko apapun. Paternalistic Leadership, yakni bentuk antara gaya
pertama (democratic) dan kedua (dictatorial) diatas. Yang pada dasarnya kehendak pemimpin
juga harus berlaku, namun dengan jalan atau melalui unsur-unsur demokratis. Sistem dapat
diibaratkan diktator yang berselimutkan demokratis. Free Rein Leadership, yakni salah satu
gaya kepemimpinan yang 100% menyerahkan sepenuhnya seluruh kebijakan pengoperasian
Manajemen Sumber Daya Manusia kepada bawahannya dengan hanya berpegang kepeda
ketentuan-ketentuan pokok yang ditetapkan oleh atasan mereka. Pimpinan disini hanya
sekedar mengawasi dari atas dan menerima laporan kebijaksanaan pengoperasian yang telah
dilaksanakan oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan ini terutama diterapkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia.
Tipe Kepemimpinan
Berdasarkan ketiga orientasi tipe pemimpin tersebut maka terdapat delapan tipe
kepemimpinan, yaitu :
a) Hal-hal yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang emosional maupun
yang rasional perlu diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.
Dengan demikian perumusan masalah tersebut dapat dibuat bagian alur yang
menggambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut :
Motivasi
(X 1 )
H1 H4
H9 H8
H10
Budaya H3 H6
Organisasi
(X 3 )
Sumber : Teman Kooesmono (2007), Anak Agung Ngurah Dermawan (2012), Ida
Ayu Brahmasari dan Agus Suprayetno (2009), Noack Pariaribo(2012), Evi Wahyuni
(2010), Agustina Risambesi (2
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah : motivasi (X1)
gaya kepemimpinan (X2),budaya organisasi (X3) kepuasan kerja (Y1) kinerja karyawan
(Y2).
12. Metode Penelitian
a. Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan pengumpulan data dengan kehadiran peneliti untuk
terjun langsung dilapangan untuk mengumpulkan data, melalui observasi, maupun
wawancara dan interview.
b. Analisis Data
Analisis data menggunakan metode kualitatif