Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS JURNAL

EFEKTIVITAS HEAD UP BED 30O, SLOW DEEP BREATHING, GUIDE

IMAGERY RELAXATION, DAN TERAPI OKSIGENASI NASAL PRONG

SEBAGAI INTERVENSI KEPERAWATAN PADA PENGELOLAAN

PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA DI RUANG INSTALASI GAWAT

DARURAT (IGD)

OLEH KELOMPOK 5

MERY ANDRIANY YUNUS

SISILIA HIMAM

ARIYATI PAKAYA

SRI RAHMWATY LALU

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang

disertai atau tanpa perdarahan interstisial dalam substansi otak tanpa diikuti

terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala merupakan adanya pukulan atau

benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran

(Wijaya & Putri, 2013).

Cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan

kematian yang menjadi masalah kesehatan utama karena korban gawat darurat

yang menyerang sebagian orang sehat dan produktif (Sartono, 2014). Salah

satu penyebab paling sering terjadinya cedera kepala adalah kecelakaan lalu

lintas, yang mana banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita (Smeltzer,

S.C & Barre, B.G, 2018).

Kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab trauma dan cedera bahkan

kematian nomor 8 pada semua kelompok usia di seluruh dunia. Berdasarkan

data dari World Health Organization (WHO), angka kematian akibat

kecelakaan lalu lintas terus meningkat dari tahun sebelumnya hingga

mencapai angka 1.35 juta kematian setiap tahun (WHO, 2018).

Menurut Riskesdas tahun 2018, prevalensi kejadiaan cedera kepala di

Indonesia berada pada angka 11,9%. Berdasarkan prevalensi kejadian per tiap

daerah menurut riskesdas Provinsi Gorontalo prevalensi cedera kepala berada


pada angka 17,9% dibandingkan Provinsi Sumatera Utara yakni 10%

(Riskesdas, 2018).

Trauma kepala atau cedera kepala baik ringan, sedang, sampai berat

dapat memberikan dampak pada fungsi otak. Dampak cedera kepala yakni

nyeri kepala serta gangguan pada memori, gangguan keseimbangan, gangguan

koordinasi, terganggunya kemampuan berbahasa dan berbicara, kejang-

kejang, kelumpuhan serta kehilangan kesadaran bisa sampai koma (Manurung,

N., 2018). Proteksi otak adalah serangkaian tindakan yang harus dilakukan

untuk mencegah atau mengurangi kerusakan sel-sel otak yag diakibatkan oleh

keadaan iskemia. Iskemia otak adalah satu gangguan hemodinamik yang akan

menyebabkan penurunan aliran darah otak sampai ke suatu tingkat yang akan

menyebabkan kerusakan otak yang irreversibel (Bachtiar, 2013).

Pengelolaan cedera kepala yang baik harus dimulai dari tempat

kejadian, selama transportasi, di instalasi gawat darurat hingga dilakukannya

terapi definitif. Pengelolaan yang benar dan tepat akan mempengaruhi

outcome pasien. Tujuan utama dari pengelolaan cedera kepala adalah

mengoptimalkan pemulihan dari cedera kepala primer dan mencegah cedera

kepala sekunder (Bachtiar, 2013).

Ada berbagai tindakan atau intervensi keperawatan yang dapat

diberikan dalam pengelolaan cedera kepala saat korban atau pasien telah

sampai di Rumah Sakit. Beberapa intervensi telah didukung oleh artikel

penelitian.
Pengelolaan yang dilakukan pada pasien dengan cedera kepala yakni

menjaga jalan napas pasien dengan salah satu cara oksigenasi. Oksigenasi

pada pasien dapat diberikan dengan cara memposisikan pasien head-up bed

30o. Menurut Bahrudin (2008), posisi head-up bed 30 o merupakan posisi untuk

menaikkan kepala dari tempat tidur dengan sudut sekitar 30o dan posisi tubuh

dalam keadaan sejajar. Posisi head-up bed 30o bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan oksigenasi di otak sehingga menghindari terjadinya hipoksia pasien

dan menjaga tekanan intrakranial tetap stabil karena dengan pemberian posisi

head-up bed 30o sesuai dengan posisi anatomis dari tubuh manusia.

Selain pemberian head-up bed 30o, menurut Takatelide dkk (2017)

yakni pemberian oksigenasi pada pasien cedera kepala dapat diberikan dengan

terapi oksigenasi nasal prong. Nasal prong adalah salah satu jenis alat yang

digunakan dalam pemberian oksigen. Alat ini adalah dua lubang “prong”

pendek yang menghantar oksigen langsung ke dalam lubang hidung. Prong

menempel pada pipa yang tersambung ke sumber oksigen, humidifier, dan

flow meter. Manfaat sistem penghantar tipe ini meliputi cara pemberian

oksigen yang nyaman dan gampang dengan konsentrasi oksigen yang

didapatkan sebanyak 44%, peralatan ini juga lebih murah dan memudahkan

aktivitas/mobilitas pasien sehingga untuk pemakaian jangka lama lebih

praktis.

Selain pengelolaan oksigenasi pada pasien, pengelolaan untuk nyeri

yang dirasakan pasien juga perlu.


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dirumuskan “Efektivitas

Beberapa Intervensi Keperawatan Pada Pengelolaan Pasien Dengan Cedera

Kepala Di Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD)”.

1.2 Tujuan

Untuk menganalisis jurnal tentang Efektivitas Beberapa Intervensi

Keperawatan Pada Pengelolaan Pasien Cedera Kepala di Ruang Instalasi

Gawat Darurat (IGD).

1.3 Manfaat

A. Manfaat Praktis

1. Bagi Program Studi Ners

Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan tambahan materi,

teori dan bahan bacaan tentang intervensi pada pasien Ccedera kepala.

2. Bagi Perawat

Diharapkan dapat memberikan alternatif untuk dapat dijadikan

sebagai bahan masukan bagi perawat dalam melakukan intervensi.

B. Manfaat Teoritis

1. Diharapkan analisis jurnal ini dapat memberikan suatu pengetahuan

tentang beberapa intervensi yang dapat diberikan dalam pengelolaan

pasien dengan cedera kepala.

2. Diharapkan bisa menjadi konstribusi yang baik bagi dunia ilmu

pengetahuan pada umumnya dan juga memberikan ilmu khusus bagi

keperawatan.
BAB II

METODE DAN TINJAUAN TEORITIS

2.1. Metode Pencaharian

Analisis jurnal dilakukan dengan mengumpulkan artikel hasil

publikasi ilmiah tahun 2017-2021 dengan penelusuran menggunakan data

based Google cendekia/scholar. Peneliti memasukkan kata kunci

“Intervensi, Cedera Kepala, Gawat Darurat”. Hasil skrining artikel

dilakukan dengan memilih beberapa artikel yang sesuai dengan kategori

yakni tahun terbit artikel, penanganan untuk pasien cedera kepala, cedera

kepala ringan dan sedang.

2.2. Konsep Tentang Tinjauan Teoritis

2.2.1 Definisi

Cedera kepala adalah (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang

secara langsung maupun tidak langsung mengenai kepala yang

mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan

selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan

gangguan neurologis (Sjahrir, 2012). Cedera kepala merupakan suatu

proses terjadinya cedera langsung maupun deselerasi terhadap kepala yang

dapat menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce dan Nail, 2014).

Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang

disertai atau tanpa pendarahan interstitial dalam substansi otak tanpa

diikuti terputusnya kontinuitas otak (Pretyana D A, 2017). Cedera kepala


merupakan adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan

atau tanpa kehilangan kesadaran (Febriyanti dkk, 2017).

Cedera otak adalah salah satu penyebab kematian.Secara global

insiden cedera otak meningkat dengan tajam terutama karena peningkatan

penggunaan kendaraan bermotor (Ucha & Rekha, 2016).

2.2.2 Klasifikasi

Cedera otak dapat dibagi menjadi 3 menurut Prasetyo, (2016) yaitu :

a. Cedera Otak Ringan

Glaslow Coma Scale > 12, tidak ada kelainan dalam CT-Scan,

tiada lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit. Trauma

otak ringan atau cedera otak ringan adalah hilangnya fungsi neurologi

atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya.

Cedera otak ringan adalah trauma kepala dengan GCS : 15 (sadar

penuh) tidak kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala,

hematoma, laserasi dan abrasi. Cedera otak ringan adalah cedera otak

karena tekanan atau terkena benda tumpul. Cedera otak ringan adalah

cedera otak tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran

sementara. Pada suatu penelitian kadar laktat rata-rata pada penderita

cedera otaka ringan 1,59 mmol/L.

b. Cedera Otak Sedang

Glaslow Coma Scale 9-12, lesi operatif dan abnormalitas dalam

CT-Scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit. Pasien mungkin

bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah


sederhana (GCS 9-13). Pada suatu penelitian cedera otak sedang

mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L.

c. Cedera Otak Berat

Glaslow Coma Scale < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit.

Hampir 100% cedera otak berat dan 66% cedera otak sedang

menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat

terjadinya cedera otak primer sering kali disertai cedera otak sekunder

apabila proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera

dicegah dan dihentikan. Penelitian pada penderita cedera otak secara

klinis dan eksperimental menunjukan bahwa pada cedera otak berat

dapat disertai dengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak

dan cairan serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis

otak. Pada suatu penelitian penderita cedera otak berat menunjukan

kadar rata-rata asam laktat 3,25 mmol/L.

2.2.3 Etiologi

Etiologi cedera otak menurut Amin & Hardhi, (2013) yaitu:

1. Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang

tidak bergerak

2. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek

diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala

membentur kaca depan mobil

3. Cedera akselerasi-deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan

kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik


4. Cedera coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur yang

menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat

mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala

yang pertama kali terbentur

5. Cedera rotasional terjadi jika pukulan menyebabkan otak berputar

dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau

robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh

darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak

2.2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari cedera kepala (Yessie dan Andra, 2013) :

1. Cedera kepala ringan-sedang

a. Disoerientasi ringan

Disorientasi adalah kondisi mental yang berubah dimana

seseorang yang mengalami ini tidak mengetahui waktu atau

tempat mereka berada saat itu, bahkan bisa saja tidak mengenal

dirinya sendiri.

b. Amnesia post traumatik

Amnesia post traumatik adalah tahap pemulihan setelah cedera

otak traumatis ketika seseorang muncul kehilangan kesadaran

atau koma.

c. Sakit kepala

Sakit kepala atau nyeri dikepala, yang bisa muncul secara

bertahap atau mendadak.


d. Mual dan muntah

Mual adalah perasaan ingin muntah, tetapi tidak mengeluarkan isi

perut, sedangkan muntah adalah kondisi perut yang tidak dapat

dikontrol sehingga menyebabkan perut mengeluarkanisinya

secara paksa melalui mulut.

e. Gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran adalah salah suatu keadaan yang

umumnya disebabkan oleh factor usia atau sering terpapar suara

yang nyaring atau keras.

2. Cedera kepala sedang-berat

a. Oedema pulmonal

Edema paru adalah suatu kondisi saat terjadi penumpukan cairan

diparu-paru yang dapat mengganggu fungsi paru-paru. Biasanya

ditandai dengan gejala sulit bernafas.

b. Kejang Infeksi

Kejang infeksi adalah kejang yang disebabkan oleh infeksi kumandi

dalam saraf pusat.

c. Tanda herniasi otak

Herniasi otak adalah kondisi ketika jaringan otak dan cairan otak

bergeser dari posisi normalnya. Kondisi ini dipicu oleh

pembengkakan otak akibat cedera kepala, stroke, atau tumor otak.

d. Hemiparase

Hemiparase adalah kondisi ketika salah satu sisi tubuh mengalami


kelemahan yang dapat mempengaruhi lengan, kaki, dan otot wajah

sehingga sulit untuk digerakkan.

e. Gangguan akibat saraf cranial

2.2.5 Patofisiologi

Trauma yang disebabkan oleh benda tumpul dan benda tajam atau

kecelakaan dapat menyebabkan cedera kepala. Cedera otak primer adalah

cedera otak yang terjadi segera setelah trauma. Cedera kepala primer dapat

menyebabkan kontusio dan laserasi. Cedera kepala ini dapat berlanjut

menjadi cedera sekunder. Akibat trauma terjadi peningkatan kerusakan sel

otak sehingga menimbulkan gangguan autoregulasi. Penurunan aliran

darah ke otak menyebabkan penurunan suplai oksigen ke otak dan terjadi

gangguan metabolisme dan perfusi otak. Peningkatan rangsangan simpatis

menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler sistematik dan peningkatan

tekanan darah. Penurunan tekanan pembuluh darah di daerah pulmonal

mengakibatkan peningkatan tekanan hidrolistik sehingga terjadi kebocoran

cairan kapiler. Trauma kepala dapat menyebabkan odeme dan hematoma

pada serebral sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial.

Sehingga pasien akan mengeluhkan pusing serta nyeri hebat pada daerah

kepala (Padila, 2012).


2.2.6 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan cedera otak menurut

Pretyana D A (2017), antara lain:

1. Deficit neurologis

2. Infeksi sistemik (pneumonia, septikemia)

3. Infeksi bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis,

ventrikulitis, abses otak)

4. Osifikasi heterotrofik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang

menunjang berat badan)

5. Epidural hematoma (EDH) adalah berkumpulnya darah di dalam

ruang epidural di antara tengkorak dan dura meter. Keadaan ini

sering di akibatkan karena terjadi fraktur tulang tengkorak yang

menyebabkan arteri meningeal tengah terputus atau rusak

(laserasi) dimana arteri ini berada diantara dura meter dan

tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal

dan terjadi hemoragik sehingga menyebabkan penekanan pada

otak.
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Penulis & Tahun Judul Metode Hasil


Endah Penerapan slow deep Jenis penelitian ini adalah quasi Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil uji paired
Setianingsih, , breathing terhadap exsperiment dengan pendekatan pre- sample t-test pada pair 1 diperoleh nilai sig.(2-tailed) =
Putra Agina WS, nyeri ckr di igd rumah test-post-tes control group design. 0,000, karena nilai sig < 0,05 maka dapat disimpulkan
Reza Nuurdoni sakit pku Populasi pada penelitian ini bahwa ada perbedaan dari hasil pre-test intervensi dengan
(2019) muhammadiyah berjumlah 40 responden yang terbagi post-test intervensi, sedangkan pada pair 2 diperoleh nilai
gombong menjadi dua kelompok, yaitu sig.(2-tailed) = 0,021, karena nilai sig < 0,05, maka dapat
kelompok intervensi dan kelompok disimpulkan bahwa ada perbedaan dari hasil pre-test kontrol
kontrol yang masing-masing terdiri dengan post-test kontrol. Berdasarkan hasil yang diperoleh
dari 20 responden, dengan dalam penelitian ini terlihat bahwa kelompok yang diberi
pengambilan sampel consecutive perlakuan slow deeb breathing mempunyai pengaruh yang
sampling. signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Wahidin & Penerapan teknik head Jenis penelitian ini adalah penelitian Setelah diberikan terapi peninggian kepala 30o pada Tn. A
Supraptini, N. up 30o terhadap deksriftif menggunakan metode dan Tn.I tidak mengalami sesak dibuktikan dengan RR
(2020) peningkatan perfusi pendekatan studi kasus. Subyek dalam batas normal dan peningkatan kesadaran.
jaringan otak pada dalam penelitian ini adalah 2 orang
pasien yang mengalami klien yang mengalami cedera kepala
cedera kepala sedang. sedang.
Febriyanti W. Pengaruh Terapi Desain penelitian yang digunakan Hasil penelitian menggunakan paired t test SaO2 sebelum
Takatelide, Oksigenasi Nasal Prong adalah quasi eksperimen dengan dan sesudah 10 menit pertama, 10 menit pertama dan 10
Lucky T. Kumaat Terhadap Perubahan rancangan time series. Teknik menit kedua didapat nilai p- value = 0,000 < α 0,05. Hasil uji
Reginus T. Malara Saturasi Oksigen Pasien pengambilan sampel yaitu antara 10 menit kedua dan 10 ketiga didapat nilai p-value =
(2017) Cedera Kepala consecutive sampling dengan jumlah 0,005 < α 0,05 serta uji repeated ANOVA. Terdapat
16 sampel. pengaruh terapi oksigenasi nasal prong terhadap perubahan
saturasi oksigen pasien cedera kepala.
Agnes Silvina efektivitas guide Penelitian ini menggunakan desain Berdasarkan hasil uji statistik Paired Sampel t-test diperoleh
Marbun , Leni imagery relaxation experimental (pre experiment design) bahwa pada uji rata-rata untuk dua sampel yang berpasangan
Simatupang , terhadap nyeri kepala dengan rancangan “one group pre- sebelum dilakukan terapi guide imagery relaxation adalah
Siska Evi Martina pada pasien cedera post test only design” yang bertujuan sebesar 7,8 % dan sesudah dilakukan terapi guide imagery
Simanjuntak kepala ringan untuk mengetahui efektivitas guide relaxation adalah sebesar 2,2 %. Data tersebut menunjukkan
(2020) imagery relaxation terhadap nyeri bahwa terjadi penurunan rata-rata respon nyeri setelah
kepala pada pasien cedera kepala dilakukan guide imagery relaxation.
ringan.
3.2 Pembahasan

Penelitian oleh Wahidin & Supraptini dengan judul “Penerapan

teknik head up 30o terhadap peningkatan perfusi jaringan otak pada pasien

yang mengalami cedera kepala sedang” didapatkan bahwa gambaran perfusi

jaringan serebral subyek sebelum diberikan terapi head up 30o pada klien

ke-1 terdapat ketidakefektifan perfusi jaringan serebral dengan hasil RR

28x/menit, suara nafas tidak ada sumbatan, nafas cepat dan terdapat cuping

hidung. Sedangkan pada klien ke-2 terdapat ketidakefektifan perfusi

jaringan serebral RR 27x/menit, tidak ada sumbatan suara nafas, dan nafas

cepat. Menurut Black & Hawks (2009), bahwa pasien dengan cedera kepala

sedang mengalami ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan

dengan trauma kepala.

Hasil yang didapatkan setelah diberikan terapi head up 30o gambaran

perfusi jaringan serebral subyek yakni klien 1 dan 2 tidak mengalami sesak.

Peningkatan kesadaran juga terjadi setelah diberikan terapi tersebut yakni

pada klien ke-2 nilai GCS meningkat yang sebelumnya GCS 12 (somnolen)

menjadi GCS 15 atau dikatakan sadar penuh. Pemberian oksigen melalui

masker sederhana dan posisi kepala 30° merupakan tindakan yang tepat

pada klasifikasi cedera kepala sedang untuk melancarkan perfusi oksigen ke

serebral sehingga membantu peningkatan status kesadaran. Keseimbangan

oksigen otak dipengaruhi oleh aliran darah otak. Proteksi otak merupakan

serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi

kerusakan sel-sel otak yang diakibatkan oleh keadaan iskemia. Iskemia otak
adalah suatu gangguan hemodinamik yang akan menyebabkan penurunan

aliran darah otak sampai ke suatu tingkat yang akan menyebabkan

kerusakan otak yang irevesibel. Metode dasar dalam melakukan proteksi

otak adalah dengan cara membebaskan jalan nafas dan oksigenasi yang

adekuat (Wahidin & Supraptini, 2020). Posisi head-up 30 derajat bertujuan

untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi di otak sehingga menghindari

terjadinya hipoksia pasien, dan tekanan intrakranial menjadi stabil dalam

batas normal. Selain itu, posisi ini lebih efektif untuk mempertahankan

tingkat kesadaran karena sesuai dengan posisi anatomis dari tubuh manusia

yang kemudian mempengaruhi hemodinamik pasien (Batticaca, F.B., 2008).

Penelitian Febriyanti W. Takatelide, Lucky T. Kumaat Reginus T.

Malara dengan judul” Pengaruh Terapi Oksigenasi Nasal Prong Terhadap

Perubahan Saturasi Oksigen Pasien Cedera Kepala” Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa dengan terapi oksigenasi nasal prong dapat

mengembalikan saturasi oksigen dari kondisi hipoksia sedangberat ke

hipoksia ringan-sedang dan hipoksia ringan-sedang ke kondisi normal

secara bermakna. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang

dikemukakan oleh Hudak & Gallo (2010) dalam Widiyanto & Yamin

(2014) disebutkan bahwa meningkatkan FiO2 (presentase oksigen yang

diberikan) merupakan metode mudah dan cepat untuk mencegah terjadinya

hipoksia jaringan, dimana dengan meningkatkan FiO2 maka juga akan

meningkatkan PaO2 yang merupakan faktor yang sangat menentukan

saturasi oksigen, dimana pada PaO2 tinggi hemoglobin membawa lebih


banyak oksigen dan pada PaO2 rendah hemoglobin membawa sedikit

oksigen.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden datang ke rumah sakit dengan keadaan hipoksia ringan–sedang

dengan SaO2 90% - < 95%. Setelah pemberian oksigenasi nasal prong

selama 30 menit berada dalam kondisi normal dengan saturasi oksigen 95%

- 100%. Semakin lama pemberian oksigenasi nasal prong semakin

meningkatkan saturasi oksigen. Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji

t dependen dan uji repeated ANOVA, didapat HO ditolak, yang dapat

disimpulkan bahwa terapi oksigenasi nasal prong berpengaruh terhadap

perubahan saturasi oksigen pasien cedera kepala.

Penelitian oleh Endah, dkk (2019) dengan judul “Penerapan slow

deep breathing terhadap nyeri ckr di igd rumah sakit pku muhammadiyah

gombong” didapatkan bahwa didapatkan hasil uji paired sample t-test pada

pair 1 diperoleh nilai sig.(2-tailed) = 0,000, karena nilai sig < 0,05 maka

dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan dari hasil pre-test intervensi

dengan post-test intervensi, sedangkan pada pair 2 diperoleh nilai sig.(2-

tailed) = 0,021, karena nilai sig < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada

perbedaan dari hasil pre-test kontrol dengan post-test kontrol. Berdasarkan

hasil yang diperoleh dalam penelitian ini terlihat bahwa kelompok yang

diberi perlakuan slow deeb breathing mempunyai pengaruh yang signifikan

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada kelompok kontrol juga ada

penurunan skala nyeri karena beberapa faktor yaitu responden mungkin


sudah pernah mengalami nyeri hebat sebelumnya sehingga responden ada

yang dapat mengontrol nyerinya, sehingga dapat menurunkan nyerinya

walaupun tanpa diberikan terapi slow deeb breathing.

Menurut Wijayasakti (2015) Pada cedera kepala ringan, nyeri kepala

merupakan keluhan yang sering terjadi, yaitu sekitar 82%. Keadaan nyeri

terjadi akibat adanya peningkatan tekanan intrakranial dan akibat adanya

perubahan organik atau kerusakan serabut otak, odema otak yang

dikarenakan sirkulasi serebral yang tidak adekuat. Menurut Tarwoto (2011)

Mekanisme latihan slow deep breathing dapat meningkatkan suplai oksigen

ke otak dan dapat menurunkan metabolisme kerja otak sehingga kebutuhan

oksigen keotak terpenuhi, hal tersebut membuat respon nyeri dapat

berkurang, karena dipengaruh latihan slow deep breathing ini membuat

pasien cidera kepala ringan merasakan releks dan nyaman karena suplai

oksigen keotak tercukupi. Intervensi yang dilakukan efektif dalam

menurunkan intetitas nyeri yang terjadi pada pasien, baik nyeri ringan

maupun nyeri sedang.

Penelitian oleh Agnes Silvina Marbun , Leni Simatupang , Siska Evi

Martina Simanjuntak dengan judul “efektivitas guide imagery relaxation

terhadap nyeri kepala pada pasien cedera kepala ringan” Berdasarkan hasil

pengukuran, respon nyeri sebelum dilakukan intervensi ternyata diketahui

bahwa sebagian besar responden masih mengalami nyeri pada skala 7-9

dengan intensitas nyeri berat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh

Andarmoyo (2013) yang menyatakan nyeri sebagai apapun yang


menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada

kapanpun individu mengatakannya. Jumlah pasien yang mengalami nyeri

sebelum diberikan intervensi sebanyak 100% dan ini masih mengalami

nyeri berat, setelah diberikan intervensi terdapat 60% yang mengalami nyeri

sedang, dalam hal ini terjadi penurunan nyeri setelah diberikan intervensi,

sesuai yang dikemukakan oleh Prabu (2015) bahwa guide imagery

relaxation dapat menurunkan tegangan dan mengurangi nyeri area trauma.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 10 responden sebelum dan

sesudah dilakukan terapi guide imagery relaxation didapatkan nilai t hitung

> t tabel dimana t hitung 34,293 dan nilai t tabel = 0,45 hasil uji t-test

menghasilkan nilai p=0,000 berarti p<0,05 Hal ini berarti ada beda rerata

respon nyeri sebelum dan sesudah pemberian terapi guide imagery

relaxation. guided imagery dapat menurunkan tegangan area insisi dan

mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan berkenaan dengan gerakan otot.

Rasa nyeri bisa timbul setiap jenis tindakan operasi, bila tidak diatasi dapat

menimbulkan efek yang membahayakan yang akan mengganggu proses

penyembuhan. Pada proses operasi digunakan anastesi agar pasien tidak

merasakan nyeri pada saat dibedah, namun setelah operasi selesai pasien

mulai sadar dan ia akan merasakan nyeri pada bagian tubuh yang

mengalami nyeri dapat menurunkan tegangan area insisi dan mengurangi

nyeri dan ketidaknyamanan berkenaan dengan gerakan otot.


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari empat intervensi yang dianalisis tentang efektivitas beberapa

intervensi keperawatan pada pengelolaan pasien dengan cedera kepala di

ruang instalasi gawat darurat (igd) dapat disimpulkan bahwa ke empat

intervensi yang dianalisis memiliki pengaruh dalam penangan atau

pengelolaan pada pasien cedera kepala.

4.2 Saran

Diharapkan dengan adanya analisis jurnal tentang efektivitas

beberapa intervensi keperawatan pada pengelolaan pasien dengan cedera

kepala ini dapat diterapkan dirumah sakit.


DAFTAR PUSTAKA

Agnes Silvina Marbun , Leni Simatupang , Siska Evi Martina Simanjuntak

(2020) efektivitas guide imagery relaxation terhadap nyeri kepala pada

pasien cedera kepala ringan. Jurnal Kesehatan Surya Nusantara Vol. 9 No

2.

Amin, Hardhi, 2013, Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa

Medis & NANDA NIC NOC, Jilid 1,2, Yogyakarta : MediAction

Publishing

Batticaca, F.B. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Endah S, Putra A.WS, Reza N (2019) Penerapan Slow Deep Breathing

Terhadap Nyeri CKR Di IGD Rumah Sakit Pku Muhammadiyah

Gombong. Jawa Tengah.

Prasetyo, JokoWareng, Purwanti, oktisri, 2016, Pengaruh Terapi Hypoanalgesia

pada Nyeri Post Operasi Fraktur di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta,

http://v1.eprints.ums.ac.id/archive/etd/44867/6

Pretyana D. A, 2017, Asuhan Keperawatan Pada Pasien Yang Mengalami

Cedera Kepala Ringan Dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas Di

Igd Rsud Karanganyar, Program Studi D3 Keperawatan Sekolah Tinggi

Ilmu Kesehatan Kusuma Husada Surakarta.

Takatelide, F.W. dkk.2017. Pengaruh Terapi Oksigenasi Nasal Prong Terhadap

Perubahan Saturasi Oksigen Pasien Cedera Kepala. e-jurnal keperawatan

(e-Kp) Volume 5 Nomor 1.


Tarwoto. (2011). Pengaruh Latihan Slow Deep Breathing Terhadap Intensitas

Nyeri Kepala Akut Pada Pasien Cedera Kepala Ringan. Universitas

Indonesia.

Wahidin & Supraptini, N. 2020. Penerapan Teknik Head Up 30o Terhadap

Peningkatan Perfusi Jaringan Otak Pada Pasien Yang Mengalami Cedera

Kepala Sedang. Nursing Science Journal Vol. 1 (1): 7-13.

Wijayasakti, R. (2015). Glasgow Coma Scale (GCS) dengan Keluhan Nyeri

Kepala Pasca Trauma pada Pasien Cedera Kepala di Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah Karanganyar. Skripsi

Yessie dan Andra, 2013, Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cidera Otak

Sedang (Cos ) Dengan Masalah Nyeri Akut (Di Ruang High Care Unit

Rsud Bangil Pasuruan, Program Studi Diploma III Keperawatan Sekolah

Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang.

Anda mungkin juga menyukai