Anda di halaman 1dari 61

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

Review system Saraf ,Pengkajian sistem Saraf ,Konsep teori dan asuhan
keperawatan pada klien dewasa dengan Stroke

Desen: Ns. Erna Febriyanti, S.Kep.,MAN

Oleh:

NAMA KELOMPOK 11 :

1. PRISCA DEA KORE MONE (191111026)


2. MILTIADES NATALIA DAHUT (191111023)

KELAS : KEPERAWATAN A

SEMESTER : IV

UNIVERSITAS CITRA BANGSA

FAKULTAS KESEHATAN

KUPANG

2021
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Review system
Saraf ,Pengkajian sistem Saraf ,Konsep teori dan asuhan keperawatan pada klien dewasa dengan
Stroke " dengan baik.

Makalah ini kami susun guna untuk menambah pengetahuan dan referensi tentang sistem
saraf . Dalam penyusunan makalah ini tidak sedikit kesulitan yang kami temui. Namun berkat
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Dalam
kesempatan ini kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembina mata
kuliah ini.

DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN........................................................................................i

KATA PENGANTAR......................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.2 Latar belakang................................................................................1


2.2 Rumusan masalah...........................................................................1
3.2 Tujuan.............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Review System Persyarafan ..........................................................


2.2 Pengkajian System Saraf................................................................
2.3 Asuhan Keperawatan pada Klien Dewasa dengan Stroke..............
BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN...............................................................................
3.2 SARAN...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Cara manusia bertindak dan bereaksi bergantung pada pemrosesan neuron yang rumit.
tersusun, dan diskret. Banyak dari pola neuron penunjang kehidupan dasar, misalnya pola yang
mengontrol respirasi dan sirkulasi, serupa pada semua orang. Namun, tentu ada perbedaan halus
dalam integrasi neuron antara seseorang yang merupakan komponis berbakat dan orang yang
tidak dapat bernyanyi, atau antara seorang pakar matematika dan orang yang kesulitan membagi
bilangan. Sebagian perbedaan pada sistem saraf individu disebabkan oleh factor genetik. Namun
sisanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan pengalaman. Ketika sistem saraf imatur
berkembang sesuai cetak-biru genetiknya, terbentuk ncuron dan sinaps dalam jumlah berlebihan.
Bergantung pada rangsangan dari luar, dan tingkat pemakaiannya, sebagian dari jalur — jalur
saraf ini dipertahankan, dibentuk lebih pasti, dan bahkan meningkat, sementara yang lain
dieliminasi.

Sistem saraf merupakan salah satu bagian yang menyusun sistem koordinasi yang
bertugas menerima rangsangan, menghantarkan rangsangan ke seluruh bagian tubuh, serta
memberikan respons terhadap rangsangan tersebut. Pengaturan penerima rangsangan dilakukan
oleh alat indera. Pengolah rangsangan dilakukan oleh saraf pusat yang kemudian meneruskan
untuk menanggapi rangsangan yang datang dilakukan oleh sistem saraf dan alat indera.

Sistem koordinasi merupakan suatu sistem yang mengatur kerja semua sistem organ agar
dapat bekerja secara serasi. Sistem koordinasi itu bekerja untuk menerima rangsangan,
mengolahnya dan kemudian meneruskannya untuk menaggapi rangsangan. Sctiap rangsangan-
rangsanyan yang kita terima melalui indera kita, akan diolah di otak. Kemudian otak akan
meneruskan rangsangan tersebut ke organ yang bersangkutan.

Pematangan sistem saraf melibatkan banyak proses “pakailah. jika tidak akan hilang”.
Setelah sistem saraf terbentuk matang, tetap terjadi modifikasi karena manusia terus belajar dari
rangkaian pengalaman yang dijalani. Sebagai contoh, tindakan membaca makalah ini sedikit
banyak mengubah aktivitas saraf otak, karena ada informasi yang diserap kedalam ingatan
pembaca.

Rumusan masalah :

1. Pengkajian sistem saraf


2. Bagaimana asuhan keperawatan pada sistem persyarafan (stroke) pada dewasa dari
tinjauan teori?
3. Bagaimana asuhan keperawatan sistem persyarafan (stroke) dari tinjauan kasus?
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Review system saraf

Pengertian Sistem Saraf

Sistem saraf adalah suatu jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan saling
berhubungan satu dengan yang lain. Sistem saraf mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol
interaksi antara individu dengan lingkungan lainnya. Sistem tubuh yang penting ini juga
mengatur kebanyakan aktivitas sistem — sistem tubuh lainnya, karena pengaturan saraf tersebut
maka terjalin komunikasi antara berbagai sistem tubuh hingga menyebabkan tubuh berfungsi
berfungsi sebagai unit harmonis. Dalam sistem inilah berasal segala fenomena kesadaran,
pikiran, ingatan, bahasa, sensasi dan gerakan. Jadi kemampuan untuk dapat memahami, belajar
dan memberi respon terhadap suatu rangsangan merupakan hasil kerja integrasi dari sistem saraf
yang puncaknya dalam bentuk kepribadian dan tingkah laku individu.

Jaringan saraf terdiri Neuroglia dan Sel Schwan (sel - sel penyokong) serta Ncuron (sel - sel
saraf). Kedua jenis sel tersebut demikian erat berkaitan dan terintegrasi satu sama lainnya
sehingga bersama-sama berfungsi sebagai satu unit.

Klasifikasi Sistem Saraf Pusat

Sistem saraf pusat meliputi otak (ensefalon) dan sumsum tulang belakang (Medula
spinalis). Keduanya merupakan organ yang sangat lunak, dengan fungsi yang sangat penting
maka perlu perlindungan dari rangka.

1. Otak
Otak terdiri dari dua belahan, belahan kiri mengendalikan tubuh bagian kanan, belahan
kanan mengendalikan belahan kirilMempunyai permukaan yang berlipat-lipat untuk
memperluas permukaan sehingga dapat ditempati oleh banyak saraf-Otak juga sebagai
pusat penglihatan, pendengaran, kecerdasan, ingatan, kesadaran, dan kemauan.Bagian
dalamnya berwarna putih berisi serabut saraf, bagian luarnya berwarna kelabu berisi
banyak badan sel saraf. Otak terdiri dari 3 bagian, yaitu
2. Otak depan (Prosoncephalon)
Otak depan berkembang menjadi telencephalon dan diencephalon. Telencephalon
berkembang menjadi otak besar (Cerebrum).Diencephalon berkembang menjadi
thalamus, hipotamus
3. Otak besar (Cerebrum)
Otak besar mempunyai fungsi dalam pengaturan semua aktivitas mental. yaitu yang
berkaitan dengan kepandaian (intelegensi), ingatan (memori), kesadaran, dan
pertimbangan.Otak besar merupakan sumber dari semua kegiatan/gerakan sadar atau
sesuai dengan kehendak, walaupun ada juga beberapa gerakan refleks otak. Pada bagian
korteks otak besar yang berwarna kelabu terdapat bagian penerima rangsang (area sensor)
yang terletak di sebelah belakang arca motor yang berfungsi mengatur gerakan sadar atau
merespon rangsangan. Selain itu terdapat area asosiasi yang menghubungkan area motor
dan sensorik. Area ini berperan dalam proses belajar, menyimpan ingatan, membuat
kesimpulan, dan belajar berbagai bahasa. Di sekitar kedua area tersebut dalah bagian
yang mengatur kegiatan psikologi yang lebih tinggi. Misalnya bagian depan merupakan
pusat proses berfikir (yaitu mengingat, analisis, berbicara, kreativitas) dan emosi. Pusat
penglihatan terdapat di bagian belakang.
thalamus terdiri dari sejumlah pusat syaraf dan berfungsi sebagai “tempat penerimaan
untuk sementara" sensor data dan sinyal-sinyal motorik, contohnya untuk pengiriman
data dari mata dan telinga menuju bagian yang tepat dalam korteks. hypothalamus
berfungsi untuk mengatur nafsu makan dan syahwat dan mengatur kepentingan biologis
lainnya.
4. Otak tengah (Mesencephalon)
Otak tengah terletak di depan otak kecil dan jembatan varol. Di depan otak tengah
terdapat talamus dan kelenjar hipofisis yang mengatur kerja kelenjar-kelenjar endokrin.
Bagian atas (dorsal) otak tengah merupakan lobus optikus yang mengatur refleks mata
seperti penyempitan pupil mata, dan juga merupakan pusat pendengaran.Otak tengah
tidak berkembang dan tetap menjadi otak tengah.
5, Otak belakang (Rhombencephalon)
Otak belakang menjadi metencephalon dan mielencephalon. Metencephalon berkembang
menjadi cereebelum dan ponsvarolli. Sedangkan mielencephalon berkembang menjadi
medula oblogata.
6 Otak kecil (serebelum)
Serebelum mempunyai fungsi utama dalam koordinasi gerakan otot yang terjadi secara
sadar, keseimbangan, dan posisi tubuh.Bila ada rangsangan yang merugikan atau
berbahaya maka gerakan sadar yang normal tidak mungkin dilaksanakan.
7. Sumsum sambung (medulla oblongata)
Sumsum sambung berfungsi menghantar impuls yang datang dari medula spinalis menuju
ke otak.Sumsum sambung juga memengaruhi jembatan. refleks fisiologi seperti detak
jantung. tekanan darah, volume dan kecepatan respirasi. gerak alat pencernaan, dan
sekresi kelenjar pencernaan. Selain itu, sumsum sambung juga mengatur gerak refleks
yang lain seperti bersin, batuk, dan berkedip.
8. Jembatan varol (pons varoli)
Jembatan varol berisi serabut saraf yang menghubungkan otak kecil bagian kiri dan
kanan, juga menghubungkan otak besar dan sumsum tulang belakang..
9. Sumsum tulang belakang (medula spinalis)
Pada penampang melintang sumsum tulang belakang tampak bagian luar berwama putih,
sedangkan bagian dalam berbentuk kupu-kupu dan berwarna kelabu.Pada penampang
melintang sumsum tulang belakang ada bagian seperti sayap yang terbagi atas sayap atas
disebut tanduk dorsal dan sayap bawah disebut tanduk ventral. Impuls sensori dari
reseptor dihantar masuk ke sumsum tulang belakang melalui tanduk dorsal dan impuls
motor keluar dari sumsum tulang belakang melalui tanduk ventral menuju efektor. Pada
tanduk dorsal terdapat badan sel saraf penghubung (asosiasi konektor) yang akan
menerima impuls dari sel saraf sensori dan akan menghantarkannya ke saraf motor

Penyusun Sistem Saraf

Sistem saraf tersusun atas sel-sel saraf yang disebut neuron. Ncuron merupakan unit
struktural dan fungsional dari sistem saraf. Neuron memiliki kemampuan mersepon rangsangan
yang cukup kuat. Neuron tidak bisa mengalami pembelahan sehingga tidak dapat diganti jika
sudah rusak. Neuron bersatu membentuk jaringan untuk mengantarkan suatu impuls
(rangsangan).Berdasarkan bentuknya, satu sel saraf terdin dari badan sel, dendrit, dan akson.

1. Badan Sel
Badan sel saraf adalah bagian yang terbesar dari sel saraf. Badan sel dapat berfungsi
sebagai penerima rangsangan dani dendrit dan kemudian diteruskannya menuju ke
akson. Pada badan sel saraf terdapar inti sel, sitoplasma, mitokondria, sentrosom,
badan golgi, lisosom, dan badan nisel.
2. Dendrit
Dendrit merupakan serabut sel saraf pendek, bercabang-cabang dan perluasan dari
badan sel. Dendrit memiliki fungsi sebagai penerima dan pengantarkan rangsangan
ke badan sel. Dendrit mengandung badan Nissl dan organel. Pada umumnya neuron
terdin dani beberapa dendrite. Dendrit tidak mengandung selubung myelin maupun
neurolema.
3. Akson
Akson dikenal sebagai neurit. Neurit merupakan serabut sel saraf yang panjang dan
merupakan perjuluran dari sitoplasma pada badan sel. Benang-benang halus yang
terdapat dalam neurit dikenal sebagai neurofibril yang dibungkus oleh beberapa lapis
selaput mielin yang banyak mengandung zat lemak dan dapat mempercepat jalannya
rangsangan. Selaput mielin tersebut dibungkus oleh selsel schwann yang dapat
membentuk suatu jaringan yang menyediakan makanan untuk neurit dan juga
membantu pembentukan neunt. Lapisan myelin sebelah luar disebut neurilemma
yang melindungi akson dari resiko kerusakan. Bagian ncurit ada yang tidak
terbungkus oleh lapisan myelin dapat disebut dengan nodus ranvier, yang berfungsi
sebagai mempercepat jalannya rangsangan. Kclompok-kelompok serabut saraf,
akson dan dendrit bergabung dalam satu selubung dan membentuk urat
saraf.Sedangkan badan sel saraf berkumpul membentuk ganglion atau simpul saraf.
Berdasarkan struktur dan fungsinya, sel saraf dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu
sel saraf sensori, sel saraf motor, dan sel saraf intermediet (asosiasi).
 Sel saraf sensori
Sel saraf sensori merupakan neuron yang badan selnya bergerombol membentuk ganglia,
aksonnya pendek tetapi dendritnya panjang. Neuron sensorik berhubungan dengan alat indra
untuk menerima rangsangan. Fungsi sel saraf sensori sebagai penghantar impuls dari reseptor ke
sistem saraf pusat, yaitu otak (ensefalon) dan sumsum belakang (medula spinalis). Ujung akson
dari saraf sensori berhubungan dengan saraf asosiasi (intermediet).

 Sel saraf motor

Sel saraf motorik merupakan neuron yang memiliki dendrit yang pendek dan akson yang
panjang. Dendrit berhubungan dengan akson lain, sedangkan akson berhubungan dengan efektor
yang berupa otot atau kelenjar. Fungsi sel saraf motor sebagai pengirim impuls dari sistem saraf
pusat ke otot atau kelenjar yang hasilnya berupa tanggapan dari tubuh terhadap rangsangan.
Badan sel saraf motor berada di sistem saraf pusat. Dendritnya sangat pendek berhubungan
dengan akson saraf asosiasi, sedangkan aksonnya dapat sangat panjang.

 Sel saraf Intermedict (Neuron konektor)

Sel saraf intermediet disebut juga sel saraf asosiasi. Sel ini dapat ditemukan di dalam sistem saraf
pusat dan berfungsi menghubungkan sel saraf motor dengan sel saraf sensori atau berhubungan
dengan sel saraf lainnya yang ada di dalam sistem saraf pusat Sel saraf intermediet menerima
impuls dari reseptor sensori atau scl saraf asosiasi lainnya.

Fungsi Sistem Saraf

Sebagai alat pengatur dan pengendali alat-alat tubuh, maka sistem saraf mempunyai 3 fungsi
utama yaitu :

 Sebagai Alat Komunikasi


Sebagai alat komunikasi antara tubuh dengan dunia luar, hal ini dilakukan oleh alat
indera, yang meliputi : mata, hidung, telinga, kulit dan lidah. Dengan adanya alat-alat ini,
maka kita akan dengan mudah mengetahui adanya perubahan yang terjadi disekitar tubuh
kita.
 Sebagai Alat Pengendali
Sebagai pengendali atau pengatur kerja alat-alat tubuh, sehingga dapat bekerja serasi
sesuai dengan fungsinya. Dengan pengaturan oleh saraf, semua organ tubuh akan bekerja
dengan kecepatan dan ritme kerja yang akurat.
 Sebagai Pusat Pengendali Tanggapan
Saraf merupakan pusat pengendali atau reaksi tubuh terhadap perubahan atau reaksi
tubuh terhadap perubahan keadaan sekitar. Karena saraf sebagai pengendali atau pengatur
kerja seluruh alat tubuh, maka jaringan saraf terdapat pada seluruh alat-alat tubuh kita.

Macam - macam Sistcm Saraf

Berdasarkan strutkur dan fungsinya, Ncuron dibedakan atas tiga jenis antara lain sebagai berikut

 Neuron Scnsorik : Sel saraf Sensorik berfungsi menghantar impuls dari reseptor ke sistem
saraf pusat, yaitu otak (ensefalon) dan sumsum tulang belakang (medula spinalis). Ujung
akson dari saraf sensokrik berhubungan dengan saraf asosiasi (intermediet).

Mekanisme Penghantar Implus

Impuls adalah rangsangan atau pesan yang diterima oleh reseptor dari lingkungan luar,
kemudian dibawa oleh neuron.Impuls dapat juga dikatakan sebagai serangkaian pulsa elektrik
yang menjalari serabut saraf. Impuls yang diterima oleh reseptor dan disampaikan ke cfektor
akan menyebabkan terjadinya gerakan atau perubahan pada cfektor. Gerakan tersebut adalah
sebagai berikut.

1. Gerak sadar
Gerak sadar atau gerak biasa adalah gerak yang terjadi karena disengaja atau disadari.
Impuls yang menyebabkan gerakan ini disampaikan melalui jalan yang panjang, yaitu
dari rescptor, ke saraf sensori, dibawa ke otak, untuk selanjutnya diolah oleh otak,
kemudian hasil olahan oleh otak, berupa tanggapan, dibawa oleh saraf motor sebagai
perintah yang harus dilaksanakan oleh efektor.
2. Gerak refleks
Gerak refleks adalah gerak yang tidak disengaja atau tidak disadari. Gerak refleks
berjalan sangat cepat dan tanggapan terjadi secara otomatis terhadap rangsangan, tanpa
memertukan kontrol dari otak. Pada gerak refleks, impuls melalui jalan pendek atau jalan
pintas, yaitu dimulai dari reseptor penerima rangsang, kemudian diteruskan oleh saraf
sensori ke pusat saraf, diterima oleh set saraf penghubung (asosiasi) tanpa diolah di
dalam otak langsung dikirim tanggapan ke saraf motor untuk disampaikan ke efektor,
yaitu otot atau kelenjar. Jalan pintas ini disebut lengkung refleks. Contoh gerak refleks,
misalnya berkedip, bersin, atau batuk.

Kelainan pada Sistem Saraf

a. Stroke
Stroke adalah kematian sel-sel otak disertai fungsinya karena terganggunya aliran darah
di otak. Penyakit ini seringkali disebabkan oleh tekanan darah tinggi yang menyebabkan
pecahnya pembuluh darah di otak. Selain itu, atheroskeosis juga dapat menyebabkan
penyumbatan pembuluh darah di otak. Gejala penyakit ini bervariasi bergantung pada
hebatnya stoke dan daerah otak yang terkena, misalnya pusing-pusing, sulit bicara, tidak
melihat, pingsan, lumpuh sebelah, bahkan kematian.
b. Tumor Otak
Penyakit ini disebabkan oleh adanya pertumbuhan liar dani sel-sel saraf, maupun
jaringan penyokongnya. Adanya pertumbuhan tersebutmengakibatkan berbagai
gangguan, mulai dari pusing-pusing, kesulitan berjalan, kehilangan memori/ingatan,
sampai kematian.
c. Ayan (Epilepsi)
Penyakit ini ditandai dengan timbulnya kejang-kejang yang tidak terkendali. Penderita
epilepsy tidak diperkenankan berrada di dekat lokasi yang berbahay, seperti tepian
sungai, sumur, dan telaga. Bila berada di lokasi tersebut dan mengalami kekambuhan,
dikhawatirkan akan tenggelam karena tidak mampu mengendalikan gerak tubuhnya.
Belum ada sebab yang jelas mengapa penyakit ini bisa timbul, namun melihat gejala
kejang tersebut, diduga ada gangguan pada otak daerah motoric yang mengatur gerakan
tubuh.
d. Multiple Sclerosis
Pada orang-orang dengan Multiple Sclerosis, lapisan mnyelin yang mengelilingi serabut
saraf menjadi hilang. Sejalan dengan hal itu orang tersebut mulai kehulangan
kemampuan untuk mengontrol otot-ototnya dan akhirnya tidak mampu sama sekali.
e. Meningitis
Infeksi pada lapisan meninges, baik pada cairannya ataupun lapisannya

2.1 PENGKAJIAN UMUM SISTEM PERSYARAFAN

A. Anamnesa

1) Riwayat Kesehatan

Tujuan diperolehnya riwayat kesehatan klien adalah menentukan status kesehatan saat ini
dan masa lalu dan memperoleh gambaran kapan mulainya penyakit yang diderita saat ini.
Riwayat kesehatan ini meliputi : data biografi, keluhan utama dan riwayat penyakit saat ini,
riwayat kesehatan masa lalu, riwayat keluarga, riwayat psikososial dan pemeriksaan sistem
tubuh.

a) Data Biografi : Termasuk diantaranya adalah identitas klien, sumber informasi (klien
sendiri atau orang terdekat/significant other). Data Biografi : Perawat memperoleh
gambaran secara detail pada kondisi yang utama dialami klien. Memperoleh infomasi
tentang perkembangan, tanda-tanda dan gejala-gejala : onset (mulainya), faktor pencetus
dan lamanya. Perlu menentukan kapan mulainya gejala tersebut serta perkembangannya.
b) Riwayat kesehatan masa lalu : Mencakup penyakit yang pemah dialami sebelumnya,
penyakit infeksi yang dialami pada masa kanak-kanak, pengobatan, periode perinatal,
tumbuh kembang, riwayat keluarga, riwayat psikososial dan pola hidup. Penyakit saraf
sering mempengaruhi kemampuan fungsi-fungsi tubuh. Perawat perlu menanyakan
perubahan tingkat kesadaran, nyeri kepala, kejang-kejang, pusing, vertigo, gerakan dan
postur tubuh.
c) Masalah kesehatan utama dan hospitalisasi : Berbagai penyakit yang berhubungan
dengan perubahan akibat gangguan persarafan misalnya diabetes mellitus, anemia
pernisiosa, kanker, berbagai penyakit infeksi dan hipertensi. Penyakit hati dan ginjal yang
menahun akan mengakibatkan gangguan metabolisme misalnya gangguan keseimbangan
cairan elektrolit dan asam basa akan mempengaruhi fungsi mental
d) Pengobatan : Perawat akan memperoleh informasi sehubungan dengan obat-obatan yang
diperoleh klien. Banyak obat-obat anti alergi dan pilek yang bisa dikomsumsi dapat
mengakibatkan klien mengantuk.
e) Riwayat keluarga : Perawat akan menanyakan pada keluarga schubungan dengan
gangguan persarafan guna menentukan faktor-faktor resiko / genetik yang ada. Misalnya
epilepsi, hipertensi, stroke, retardasi mental dan gangguan psikiatri.
f) Riwayat psikososial dan pola hidup: Perawat mengajukan pertanyaan sehubungan faktor
psikososial klien seperti yang berhubungan dengan latar belakang pendidikan, tingkat
penampilan dan perubahan kepribadian. Perawat memperoleh informasi tentang aktifitas
klien sehari-hari. Juga menanyakan adanya perubahan pola tidur, aktifitas olahraga, hobi
dan rekreasi, pekerjaan, stressor yang dialami dan perhatian terhadap kebutuhan seksual.

2) Pengkajian neurologic
a. NUTRITIONAL - METABOLIC
Tanyakan tentang kebiasaan makan klien selama 24 jam. Apakah klien makan
makanan dari semua golongan makanan atau tidak adakah makanan pantang bagi
klien. Apakah klien memiliki kesukaran mengunyah atau menelan?.
b. ELIMINATION
Apakah klien mengalami perubahan pada kebiasaan bak atau bab, Apakah klien
menggunakan laksatif, suppositoria, bantuan enema, jenis apa dan seberapa sering.
Apakah klien mampu berjalan ke kamar mandi dengan bantuan atau tanpa dibantu.
Uraikan kebiasaan rutin klien.
c. ACTIVITY - EXERCISE
Jelaskan jnis aktifitas kliens selama 24 jam Apakah klien memiliki kesulitan terhadap
keseimbangan, koordinasi atau berjalan. Apakah klien menggunakan alat bantu jalan
Apakah klien menaglami kelemahan pada lengan atau kaki Apakah klien mampu
menggerakkan seluruh bagian tubuhnya Jika klien kejang, apakah klien mampu
mengidentifikasi faktor pencetusnya. Bagaimana perasaannya setelah kejang Apakah
klien memiliki pengalaman tremor'gemetar. Dimana bagian mana?
d. SLEEP-REST
Apakah masalah kesehatan ini memiliki pengaruh terhadap kemampuan tidur dan
isitrahat. Jika demikian, bagaimana ? Apakah klien pernah memilki nyeri yang timbul
pada malam hari, Jelaskan Uraikan tentang tingkat energi. Apakah tidur dan istirahat
menyimpan kekuatan dan energy.
e. COGNITIVE-PERCEPTUAL
Uraikan tentang pengalaman sakit kepala klien termasuk frekuensi, jenis, lokasi dan
faktor pencetusnya. Pemahkah klien merasakan pingsan atau pusing. Pemahkah klien
merasakan berada di ruangan pemintalan Apakah klien pemah mengalami perasaan
kebas, terbakar atau perasaan geli. Dimana areanya dan kapan Apakah klien pemah
mengalami masalah visual seperti penglihatan ganda, penglihatan seperti dibatasi
embun.
f. SELF PERCEPTION-SELF CONCEPT
Bagaimana masalah neurologik mempengaruhi perasaanmu tentang dirimu
Bagaimana masalah neurologik mempengaruhi perasaanmu tentang hidupmu
Bagaimanaperasaannmu tentang kelemahan yang mungkin disebabkan dari masalah
neurologic.
g. ROLE-RELATIONSHIP
Adakah riwayat masalah neurologik keluarga seperti alzheimer disease, tumor otak,
epilepsy Apakah klien sulit mengekspresikan dirinya. Apakah masalah neurologik
berpengaruh terhadap perannya dalam keluarganya. Bagaimana Apakah masalah
neurologik bempengaruh terhadap interaksi dengan anggota keluarga yang lain,
dengan teman-temannya, pekerjaannya, dan aktifitas sosialnya Apakah maslah
neurologik berpenganuh terhadap kemampuan kerjanya.
h. SEXUALITY-REPRODUCTIVE
Apakah aktifitas sexual klien mengalami gangguan oleh adanya masalah neurologic
Apakah klien pernah menerima informasi tentang cara lain dalam mengekspresikan
aktifitas sexual jika klien mengalami gangguan neurologic Uraikan bagaimana
masalah neurologik membuat klien merasakan dirinya laki- laki atau wanita.
i. COPING-STRESS
Uraikan apa yang klien lakukan untuk mengatasi stress Bagaimana gangguan
neurologik mempengaruhi cara klien mengatasi stress Apakah dengan stres yang
meningkat semak in memperburuk masalah neurologic Siapa dan apa yang dapat
membantu klien dalam mengatasi stres dengan masalah neurologic.

B. Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan Fisik
a) Tingkat kesadaran
 Alert :
Composmentis / kesadaran penuh Pasien berespon secara tepat terhadap
stimulus minimal, tanpa stimuli individu terjaga dan sadar terhadap diri
dan lingkungan.
 Lethargic :
Kesadaran Klien seperti tertidur jika tidak di stimuli, tampak seperti
enggan bicara. Dengan sentuhan ringan, verbal, stimulus minimal,
mungkin klien dapat berespon dengan cepat. Dengan pertanyaan kompleks
akan tampak bingung.
 Obtuned
Klien memerlukan rangsangan yang lebih besar agar dapat memberikan
respon misalnya rangsangan sakit, respon verbal dan kalimat
membingungkan.
 Stuporus
Klien dengan rangsang kuat tidak akan memberikan rangsang verbal.
Pergerakan tidak berarti berhubungan dengan stimulus.
 Koma
Tidak dapat meberikan respon walaupun diberikan stimulus
b) Glasgow Coma Scale (GCS)
Score :
3-4 : vegetatif, hanya organ otonom yang bekerja.
11 : moderate disability
15 : composmentis. Adapun scoring tersebut adalah :
 Eye ( Respon membuka mata)
4 : Spontan
3 : Dengan perintah
2 : Dengan nyeri
I : Tidak berespon.
 Verbal ( Respon verbal)
5 : Berorientasi
4 : Bicara membingungkan
3 : Kata-kata tidak tepat
2 : Suara tidak dapat dimengerti
I : Tidak ada respon
 Motorik (Respon motorik)
6 : Dengan perintah
5 : Melokalisasi nyeri
4 : Menarik area yang nyeri
3 : Menjauhi rangsangan nyeri (fleksi abnormal)/postur dekortikasi
2 : Ekstensi abnormal/postur deserebrasi
1 : Tidak berespon

2. Pemeriksaan Fisik Nervus Cranial


1. Test nervus I (Ol factory) Fungsi penciuman.
Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium benda yang baunya
mudah dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan sebagainya. • Bandingkan dengan
hidung bagian kiri dan kanan.
2. Test nervus II ( Optikus)
Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang: • Test aktifitas visual, tutup satu mata
klien kemudian suruh baca dua baris di koran, ulangi untuk satunya. • Test lapang
pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien memandang hidung
pemeriksa yang memegang pena wama cerah, gemkkan perlahan obyek tersebut,
informasikan agar klien langsung memberitahu klien melihat benda tersebut, ulangi
mata kedua.
3. Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)
Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N II). • Test N III
Oculomotorius (respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan senter kedalam tiap
pupil mulai menyinari dari arah belakang dari sisi klien dan sinari satu mata (jangan
keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena sinar. • Test N IV Trochlear, kepala tegak
lurus, letakkan obyek kurang lebih 60 cm sejajar mid line mata, gerakkan obyek
kearah kanan. Observasi adanya deviasi bola mata, diplopia, nistagmus. • Test N VI
Abducens, minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa menengok.
4. Test nervus V (Trigeminus)
 Fungsi sensasi, caranya : dengan mengusap pilihan kapas pada kelopak
mata atas dan bawah. • Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip
ipsilateral. • Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip
kontralateral. Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla dan mandibula
dengan mata klien tertutup. Perhatikan apakah klien merasakan adanya
sentuhan.
 Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa melakukan
palpasi pada otot temporal dan masseter.
5. Test nervus VII (Facialis)
 Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap asam, manis,
asin pahit, Klien tutup mata, usapkan larutan berasa dengan kapas/teteskan,
klien tidak boleh menarik masuk lidahnya karena akan merangsang pula sisi
yang sehat. • Otonom, lakrimasi dan salivasi.
 Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengancara meminta klien untuk :
tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata sementara pemeriksa berusaha
membukanya
6. Test nervus VIII (Acustikus)
Fungsi sensoris :
 Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien, pemeriksa berbisik
di satu telinga lain, atau menggesekkan jari bergantian kanan-kiri.
 Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan lurus, apakah
dapat melakukan atau tidak.
7. Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)
 N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi bagian
ini sulit di test demikian pula dengan M.Stylopharingeus. Bagian parasimpatik
N IX mempersarafi M. Salivarius inferior.
 N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula, palatum
lunak, sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak.
Test : inspeksi gerakan ovula (saat klien menguapkan "ah") apakah simetris
dan tertarik keatas. Refleks menelan : dengan cara menekan posterior dinding
pharynx dengan tong spatel, akan terlihat klien seperti menelan.
8. Test nervus XI (Accessorius)
Klien disuruh menolch kesamping melawan tahanan. Apakah Stemocledomastodeus
dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian palpasi kekuatannya.
 Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa berusaha menahan - test otot
trapezius.
9. Nervus XII (Hypoglosus)
 Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan
 Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)
 Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan cepat dan minta
untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.
1. Pemeriksaan Fisik, Fungsi Motorik dan Sensorik
a. Fungsi Motorik
Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri,
impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang tmktus pyramidal medulla
spinalis dan bersinaps dengan lower motor neuron. Pemeriksaan motorik dilakukan
dengan cara observasi dan pemeriksaan kekuatan.
 Massa otot : hypertropi, normal dan atropi.
 Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada
berbagai persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara
berganti-ganti dan berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga
yang agak menahan pergerakan pasif sehingga tenaga itu mencerminkan
tonus otot. Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan
otot disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan
tetap sama. Pada tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu
kondisi dimana kekuatan otot tidak tetap tapi bergelombang dalam
melakukan fleksi dan ekstensi extremitas klien. Sementara penderita dalam
keadaan rileks, lakukan test untuk menguji tahanan terhadap fleksi pasif sendi
siku, sendi lutut dan sendi pergelangan tangan. Normal, terhadap tahanan
pasif yang ringan / minimal dan halus.
 Kekuatan otot : Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji.
Klien secara aktif menahan tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot
yang diuji biasanya dapat dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat
kekuatan otot dengan skala Lovett's (memiliki nilai 0 – 5)
1 = tidak ada kontraksi sama sekali.
2 = gerakan kontraksi.
3 kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau
gravitasi.
4 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
5 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
6 = kekuatan kontraksi yang penuh.
b. Fungsi Sensorik
Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara pemeriksaan
sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh sebab itu sebaiknya
dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang
menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan karena pasien belum lelah dan
masih bisa konsentrasi dengan baik).
Gejala paresthesia (keluhan sensonik) oleh klien digambarkan sebagai perasaan
geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin
(coldness) atau perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan
motorik (kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan sebagainya)
disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik. Bahan yang dipakai untuk
pemeriksaan sensorik meliputi:
 Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada
perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
 Kapas untuk rasa raba.
 Botol berisi air hangat/ panas dan air dingin, untuk msa suhu. 4. Garpu
tala, untuk rasa getar.
 Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti : -
Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination. Benda-benda berbentuk
(kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk pemeriksaan
stereognosis Pen / pensil, untuk graphesthes ia.
2. Reflek Fisiologis dan Patologis
a. Reflek Fisiologis
Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks
hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :
0 = tidak ada respon
1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan ( +)
2 = normal (++)
3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++) %3D
4 = hyperaktif, dengan klonus (- (+++)
Refleks-refleks yang diperiksa adalah :
 Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih
30". Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul
dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris
yaitu ekstensi dari lutut.
 Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 90 , supinasi dan lengan
bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan
pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks
hammer.Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila
terjadi fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi
penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
 Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 ,tendon triceps diketok
dengan refleks hammer (tendon triceps bemada pada jamk 1-2 cm diatas
olekranon). Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit
meningkat bila ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut
menyebar keatas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang
sementara.
 Refleks Achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini
kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah
kontralateral. Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal
berupa gerakan plantar fleksi kaki.
 Refleks abdominal Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan
dibawah umbilikus. Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas
dan kearah daerah yang digores.
 Refleks Babinski Merupakan refleks yang paling penting , la hanya dijumpai
pada penyakit traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-
kuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan
kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul jika ibu jari
kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon yang normal
adalah fleksi plantar semua jari kaki.
b. Reflek Patologis
 Babinsky
Cara : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior.
Respon : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan jari kaki lainnya.
 Gordon
Cara : penekanan betis secara keras
Respon : seperti babinsky
 Schaefer
Cara : memencet tendon achilles secara keras
Respon : seperti babinsky
 Sucking reflex
Cara : sentuhan pada bibir
Respon : gerakan bibir, lidah dn rahang bawah seolah-olah menyusu
 Snout reflex
Cara : ketukan pada bibir atas
Respon : kontrksi otot-otot disekitar bibir / di bawah hidung
 Grasps reflex
Cara : penekanan / penekanan jari pemeriksa pada telapak tangan pasien
Respon : tangan pasien mengepal
 Palmo-mental reflex
Cara : goresan ujung pena terhadap kulit telapak tangan bagian thenar
Respon : kontaksi otot mentalis dan orbikularis oris (ipsi lateral).

Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan


pemeriksaan :

1) Kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menempel
pada dada – kaku kuduk positif (+).
2) Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain didada klien
untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala klien difleksikan kedada
secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi
panggul dan sendi lutut.
3) Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul secara
pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut.
4) Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi
lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350 terhadap tungkai atas.
Kemig + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan.

Tes Diagnostik Persarafan

Lima Prosedur diagnostik yang lazim dilakukan yaitu Lumbal Pungsi, Angiografi, Elekto
Encephalografi, Elektromiografi, Computerized Axial Tomografi Scan (CT Scan) Otak

 Lumbal Pungsi
 1) Pengertian Adalah suatu cara pengambilan cairan cerebrospinal melalui pungsi pada
daerah lumbal.
 2) Tujuan Mengambil cauran cerebrospinaluntuk kepentingan pemeriksaan/diagnostik
maupun kepentingan therapy.
 3) Indikasi Untuk diagnostic: - kecurigaan meningitis - Kecurigaan perdarahan sub
arachnoid - Pemberian media kontras pada pemeriksaan myelografi - Evaluasi hasil
pengobatan Untuk Therapi: - Pemberian obat anti neoplastik atau anti mikroba intra tekal
- Pemberian anesthesi spinal - Mengurangi atau menurunkan tekanan CS.
 4) Persiapan
a. Persiapan pasien
 Memberi penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang lumbal pungsi
meliputi tujuan, prosedur, posisi, lama tindakan, sensasi-sensasi yang akan
dialami dan hal-hal yang mungkin terjadi berikut upaya yang diperlukan untuk
mengurangi hal-hal tersebut Meminta izin dari pasien/ keluarga dengan
menadatangani formulir kesediaan dilakukan tindakan lumbal pungsi.
Meyakinkan klien tentang tindakan yang akan dilakukan.
 Persiapan Alat - Bak streil berisi janum lumbal, spuit dan jarum, sarung
tangan, kassa dan lidi kapas, botol kecil (bila akan dilakukan pemeriksaan
bakteriologis), dan duk bolong. - Tabung reaksi tiga buah Bengkok Pengalas -
Desinfektan (jodium dan alkohol) pada tempat - Plester dan gunting -
Manometer - Lidokain/Xilocain Masker. Gaun, tutup kepala
5) Prosedur pelaksanaan
 Posisi pasien lateral recumbent dengan bagian punggung di pinggir tempat tidur. Lutut
pada posisi fleksi menempel pada abdomen, leher fleksi kedepan dagunya menepel pada
dada (posisi knee chest).
 Pilih lokasi pungsi. Tiap celah interspinosus vertebral dibawah L2 dapat digunakan pada
orang dewasa, meskipun dianjurkan L4-L5 atau L5-S1 (Krista iliaca berada dibidang
prosessus spinosus L4). Beri tanda pada celah interspinosus yang telah ditentukan.
 Dokter mengenakan masker, tutup kepala, pakai sarung tangan dan gaun steril.
 Desinfeksi kulit degan larutan desinfek tans dan bentuk lapangan steril dengan duk
penutup.
 Anesthesi kulit dengan Lidokain atau Xylokain, infiltrasi jaringan lebih dapam hingga
ligamen longitudinal dan periosteum.
 Tusukkan janum spinal dengan stilet didalamnya kedalam jaringan subkutis. Jarum harus
memasuki rongga interspinosus tegak lurus terhadap aksis panjang vertebra.
 Tusukkan jarum kedalam rongga subarachnoid dengan perlahan- lahan, sampai terasa
lepas. Ini pertanda ligamentum flavum telah ditembus. Lepaskan stilet untuk memeriksa
aliran cairan serebrospinal. Bila tidak ada aliran cairan CSF putar jarumnya karena ujung
janum mungkin tersumbat. Bila cairan tetap tidak keluar. Masukkan lagi stiletnya dan
tusukka jarum lebih dalam. Cabut stiletnya pada interval sekitar 2 mm dan periksa untuk
aliran cairan CSF. Ulangi cara ini sampai keluar cairan.
 Bila akan mengetahui tekananCSF, hubungkan jarum lumbal dengan manometer
pemantau tekanan, normalnya 60 - 180 mmHg dengan posisi pasien berrbaring lateral
recumbent. Sebelum mengukur tekanan, tungkai dan kepala pasien harus diluruskan.
Bantu pasien meluruskan kakinya perlahan-lahan.
 Anjurkan pasien untuk bernafas secara normal, hindarkan mengedan.
 Untuk mengetahui apakah rongga subarahnoid tersumbat atau tidak, petugas dapat
melakukan test queckenstedt dengan cara mengoklusi salah satu vena jugularis selama 10
detik. Bila terdapat obstruksi medulla spinalis maka tekanan tersebut tidak naik tetapi
apabila tidak terdapat obstruksi pada medulla spinalis maka setelah 10 menit vena
jugularis ditekan, tekanan tersebut akan naik dan turun dalam waktu 30 detik .
 Tampung cairan CSF untuk pemeriksaan. Masukkan cairan tesbut dalam 3 tabung steril
dan yang sudah berisi reagen, setiap tabung diisi 1 ml cairan CSF. Cairan ini digunakan
untuk pemeriksaan hitung jenis dan hitung sel, biakan dan pewarnaan gram, protein dan
glukosa. Untuk pemeriksaan none-apelt prinsipnya adalah globulin mengendap dalam
waktu 0,5 jam pada larutan asam sulfat. Cara pemeriksaanya adalah kedalam tabung
reaksi masukkan reagen 0,7 ml dengan menggunakan pipet, kemudian masukkan cairan
CSF 0,5. diamkan selama 2 - 3 menit perhatikan apakah terbentuk endapan putih. Cara
penilainnya adalah sebagai berikut:
a) Cincin putih tidak dijumpai (-)
b) Cincin putih sangat tipis dilihat dengan latar belakang hitam dan bila dikocok
tetap putih (+)
c) Cincin putih sangat jelas dan bila dikocok cairan menjadi opolecement (++)
d) Cincin putih jelas dan bila dikocok cairan menjadi keruh (++ +)
e) Cincin putih sangat jelas dan bila dikocok cairan menjadi sangat keruh (+++
+).
Untuk test pandi bertujuan untuk mengetahui apakah ada peningkatan
globulin dan albumin, prinsipnya adalah protein mengendap pada larutan
jenuh fenol dalam air. caranya adalah isilah tabung gelas arloji dengan 1 cc
caimn reagen pandi kemudian teteskan I tetes cairan CSF, perhatikan reaksi
yang terjadi apakah ada kekeruhan.
 Bila lumbal pungsi digunakan untuk mengeluarkan cairan liquor pada pasien dengan
hydrocepalus berat maka maksimal cairan dikeluarkan adalah 100 cc.
 Setelah semua tindakan selesai, manometer dilepaskan masukan kembali stilet jarum
lumbal kemudian lepaskan jarumnya. Pasang balutan pada bekas tusukan

6) Setelah Prosedur
a) Klien tidur terletang tanpa bantal selama 2 - 4 jam.
b) Observasi tempat pungsi terhadap kemungkinan pengeluaran cairan CSF.
c) Bila timbul sakit kepala, lakukan kompres es pada kepala, anjurkan tekhnik relaksasi, bila
perlu pemberian analgetik dan tidur sampai sakit kepala hilang.

7) Komplikasi

a) Herniasi Tonsiler
b) Meningitis dan empiema epidural atau sub dural
c) Sakit pinggang
d) Infeksi
e) Kista epidemoid intraspinal
f) Kerusakan diskus intervertebralis

Angiografi

1) Pengertian
Melihat secara langsung sistem pembuluh darah otak. Zat kontras dimasukkan
melalui arteri. Biasanya pada arteri carotis dan arteri vertebra, atau mungkin juga
pada arteri brchialis dan arteri femoralis.
2) Angiografi dapat mendeteksi :
 Sumbatan pada pembuluh darah cerebral seperti pada stroke.
 Anomali congenital pembuluh darah
 Pergeseran pembuluh darah yang mungkin mengindikasikan SOL (Space
Ocupaying Lession)
 Malformasi vaskuler, seperti pada aneurisma atau angioma
3) Persiapan Pasien
Menciptakan rasa aman dan nyaman pada diri klien. Persiapan ini meliputi : a.
Menjelaskan prosedur pelaksanaan, sensasi yang terjadi (rasa terbakar saat
penyuntikan zat kontras yang lama kelamaan akan menghilang) b. Hal yang perlu
dilakukan setelah tindakan dilakukan c. Surat izin tindakan telah ditandatangani klien.
4) Komplikasi
 Hematom pada daerah suntikan. Dapat dicegah dengan melakukan balut tekan
pada daerah suntikan
 Keracunan zat kontras. Dapat dicegah dengan pemberian anti alergi sesuai
program
5) Setelah prosedur
 Observasi tanda-tanda vital setiap jam sampai kondisi stabil
 Kompres es pada daerah suntikan untuk menghilangkan rasa nyeri dan
mengurangi/mencegah hematom
 Klien tidur terlentang tanpa bantal selama 24 jam.d. ika penyuntikan
dilakukan pada daerah femoralis, tungkai harus tetap lurus selama 6-8 jam.
 Catat perubahan-perubahan neurologi setelah tindakan angiognfi.

Elektro Encephalografi (EEG)

1. Pengertian
Adalah suatu cara untuk merekam aktifitas listrik otak melalui tengkorak
yang utuh.
2. Prinsip Kerja
Dengan elektroda yang ditempelkan pada berbagai daerah tengkorak,
potensial permukaan otak direkam. Perekaman ini berlangsung terus menerus
untuk beberapa menit. Tegangan yang tercatat pada kertas yang bergerak
berupa gelombang-gelombang. Dengan memasang 16 elektroda pada
tengkorak aktivitas seluruh otak dapat di tekan dan diselidiki. Tegangan otak
sebesar 50 mikrovolt agar dapat direkam harus diperkuat sampai 1 juta kali.
Oleh karena itu aliran listrik dari sumber lain seperti gerakan otot kepala atau
generator listrik juga ikut tercatat (artefak) Seluruh korteks serebri merupakan
medan listrik yang diproduksi pada ujung-ujung dendrit Tegangan potensial
neuron pada setiap waktu berbeda sehingga potensial dendrit juga berubah-
ubah. Fluktuasi ini yang tercatat pada kertas EEG.
3. Indikasi Pemasangan
a.Penderita dicurigai atau dengan epilepsy
b. Membedakan kelainan otak organic
c. Mengidentifikasi infark pembuluh darah atau adanya lesi (tumor, hematom,
abses)
d. Diagnosa retardasi mental atau over dosis obat
e. Menentukan kematian jaringan otak

Elektromyegrafi (EMG)

1. Pengertian
Adalah suatu cam yang dilakukan untuk mengukur dan mencatat aliran listrik yang
ditimbulkan olch otot-otot skeletal. Dalam keadaan istirahat otot tidak melepaskan listrik,
tetapi bila oto berkontraksi secara volunter potensial aksi dapat direkam.
2. Tujuan
a. membantu membedakan antara gangguan otot primer sepernti distrofi otot dan
gangguan sekunder
b. membantu menetukan penyakit degeneratif saraf sentral
c. membantu mendiagnosa gangguan neuromuskular seperti myestania grafis

Computerized Axial Tomografi (CT Scan)

1. Pengertian
CT Scan adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan gambaran dari
berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak.
2. Pemeriksaan ini mendeteksi :
a. gambaran lesi dari tumor, hematoma dan abses
b. perubahan vaskuler : malformasi, naik turunnya vaskularisasi dan infark
c. brain contusion, brain atrofi, hydrocephalus d. inflamasi

3.1 Asuhan keperawatan pada klien dewasa dengan stroke

A. Konsep penyakit stroke

1. Definisi

Penyakit Stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda tanda klinis
yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan gejala gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya
penyebab lain selain vaskuler.

Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah.
( brunner dan suddarth 2001).

Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan neurologisyang


disebabkan oleh adanya gangguan suplai darah ke bagian dari otak. (Black dan Hawks, 2014).

Stroke adalah defisit neurologis yang mempunyai awitan tiba-tiba , berlangsung lebih
dari 24 jm, dan disebabkan penyakit serebrovaskular. Stroke terjadi saat terdapat gangguan
aliran darah kebagian otak. Aliran darah terganggu karena adanya sumbatan penbuluh darah,
karena trombus atau embolus, atau ruptur pembeuluh darah. ( Morton. et.all, 2014)

2. Etiologi

a. Trombosis
Penggumpalan (trombus) mulai terjadi dari adanya kerusakan pada bagian garis
endotelial dari pembuluh darah. Aterosklerosis yang merupakan penyebab utama
menyebabkan lemak tertumpuk dan membentuk plak pada dinding pembuluh darah yang
terus membesar dan menyebabkan penyempitan (stenosis) pada arteri. Stenosis
menghambat aliran darah sehingga darah akan berputar-putar di bagian permukaan yang
terdapat plak, menyebabkan penggumpalan yang akan melekat pada plak tersebut.
Akhirnya rongga pembuluh darah menjadi tersumbat. Trombus bisa terjadi di semua
bagian sepanjang arteri karotid atau pada cabang-cabangnya.
b. Embolisme serebral
Embolus yang paling sering terjadi adalah plak. Embolus terbentuk di bagian luar otak,
kemudian terlepas dan mengalir malalui sirkulasi serebral sampai embolus tersebut
melekat pada pembuluh darah dan menyumbat arteri. Trombus dapat terlepas dari arteri
karotis bagian dalam pada bagian luka plak dan bergerak ke dalam sirkulasi
serebral.Abnormalitas patologik pada jantung kiri (fibrilasi Atrial kronik menyebabkan
darah terkumpul di dalam atrium yang kosong, gumpalan darah yang sangat kecil
terbentuk dalam atrium kiri dan bergerak menuju jantung dan masuk kedalam sirkulasi
serebral), seperti endokarditis infektif, penyakit jantung reumatik, dan infark miokard,
serta infeksi pulmonal, adalah tempat-tempat asal emboli. Embolisme biasanya
menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya, yang merusak sirkulasi
serebral
c. Iskemia ( penurunan aliran darah ke area otak) terutama karena konstriksi ateroma pada
arteri yang mensuplai darah ke otak .
d. hemoragik

 Hemoragi serebral ( pecahnya pembuluh darah serebral dengan pendarahan ke jaringan


otak atau darah keotak) akibatnya adalah perhentian suplai darah keotak.

 Hemoragi ekstradural atau epidural biasanya diikuti dengan fraktur tengkorak denan
robekan arteri tengah atau arteri menenges lain.

 Hemoragi subdural atau hemoragi subdural akut pada dasarnya sama dengan hemoragi
epidural, kecuali bahwa hematomi subdural biasanya jembatan vena robek, karenanya
pembentukan hematoma lebih lama dan meyebabkan tekanan pada otak.

 Hemoragi subarakhnoid dapat terjadi akibat trauma dan hepertensi, tetapi penyebab yang
paling sering adalah kebocoran aneurisme pada area sirkulus willisi dan malformasi
arteri-vena kongenital pada otak.

 Hemoragi intraserebral atau pendarahan substansi dalam otak paling umum pada pasian
dengan hipertensi dan aterosklerosis serebral, karena perubahan degeneratif penyakit
biasanya menyebabkan ruptur pembuluh darah.

e.Penyebab lain

Spasme arteri serebral yang disebabkan oleh infeksi, menurunkan aliran darah ke arah
otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang menyempit. Spasme berdurasi pendek tidak
selamnaya meneybabkan kerusakan otak yang permanen. Hiperkoagulasi adalah kondisi
terjadi penggumpalan yang berlebihan pada pembuluh darah yang bisa terjadi pada
kondisi kekurangan protein C dan protein S, serta gangguan aliran gumpalan darah yang
dapat menyebabkan terjadinya stroke trombosis dan iskemik. Tekanan pada pembuluh
darah serebral bisa disebabkan oleh tumor, gumpalan darah yang besar, pembengkakan
pada jaringan otak, perlukaan pada otak, atau gangguan lain. Namun, penyebab-penyebab
tersebut jarang terjadi pada kejadian stroke

e. Faktor Risiko
Hipertensi adalah faktor risiko yang bisa dimodifikasi terpenting baik untuk stroke
iskemik maupun stroke hemoragik. Penyakit kardiovaskular dan atrial fibrilasi juga bisa
dihubungkan dengan peningkatan terjadinya stroke. Diabetes mellitus dapat
meningkatkan risiko terjadinya stroke, mekanismenya adalah perubahan makrovaskular.
Penyempitan karotis dan riwayat serangan iskemik transien (Transient ischemic attacks
[TIAs) , dengan pengenalan dini dan pengobatan untuk penyem[itan pembuluh daraha
karotis dan pengobatan TIAs dengan agen antiplatelet bisa menurunkan risiko stroke.
Selain itu hiperlipidemia, merokok, tingkat pendidikan, pekerjaan (dihubungkan dengant
stress), sosial ekonomi, konsumsi alkohol yang berlebihan, penggunaan kokain dan
kegemukan. Yang telah disebutkan merupakan faktor risiko yang bisa di modifikasi.
Sedangkan faktor risiko yang tidak bisa di modifikasi adalah jenis kelamin, kejadian
stroke pada pria sedikit lebih tinggi dibandingkan pada wanita, stroke jarang terjadi pada
wanita usia produktif. Selain itu penuaan adalah faktor risiko yang tidak dapat dicegah
dan diobati

 Patofisiologi

Saat darah yang mengalir ke setiap bagian otak terhambat akibat trombus atau embolus,
deprivasi oksigen jaringan serebral mulai terjadi. Deprivasi selama satu menit dapat
menyebabkan gejala reversibel, seperti kehilangan kesadaran. Deprivasi oksigen selama periode
yang lama dapat menyebabkan nekrosis mikroskopik pada neuron. Area nekrotik kemudian
dikatakan mengalami infark.
Deprivasi oksigen awal dapat disebabkan oleh iskemia umum (akibat henti jantung atau
hipotensi) atau hipoksia akibat proses anemia atau berada di tempat tinggi. Jike neuron hanya
hanya mengalai iskemik dan belum mengalami neksrosis, terdapat kesempatan untuk
menyelamatkannya. Situasi ini sama dengan cidera fokal yang disebabkan oleh infark
miokardium. Arteri koronaria yang tersumbat dapat menyebabkan area infark (kematian)
jaringan. Di sekeliling area infark tersebut adalah area jaringan iskemik yang mengalami sedikit
deprivasi oksigen. Jaringan iskemik ini, seperti pada otak, dapat diselamatkan dengan
pengobatan yang tepat atau mati akibat kondisi sekunder.
Iskemia serebral adalah proses kompleks yang bergantung pada keparahan dan durasi penurunan
aliran darah serebral. Kaskade iskemik mulai dalam hitungan detik hingga menit setelah
kegagalan perfusi, yang menciptakan zona infark yang ireversibeldan area sekitar dari
“penumbra iskemik" yang kemungkinan dapat diselamakan. Tujuan penatalaksanaan stroke akut
adalah menyelamatkan penumbra iskemik, atau daerah yang beresiko. Tanpa intervensi cepat,
seluruh penumbra iskemik akhirnya dapat menjadi bagian yang mengalami infark. Iskemia
dengan cepat bisa mengganggu metabolisme. Kematian sel dan perubahan yang permanen dapat
terjadi dalam waktu 3-10 menit. tingkat dasar oksigen klien dan kemampuan mengompensasi
menentukan seberapa cepat perubahan yang tidak bisa diperbaiki akan terjadi. Tekanan perfusi
serebral harus turun duapertiga dibawah nilai normal (nilai tengah tekanan arterial sebanyak 50
mmHg atau dibawahnya dianggap nilai normal) sebelum otak tidak menerima aliran darah yang
adekuat. Dalam waktu singkat, klien yang sudah kehilangan kompensasi autoregulasi akan
mengalami manifestasi dari gangguan neurologis.
Stroke karena embolus disebabkan oleh bekuan darah, pecahan plak ateromatosa, lemak, atau
udara. Embolus diotak seringkali berasal dari jantung, sekunder akibat infark miokardium atau
fibrilasi atrial. Jika perdarahan adalah etiologi stroke, hipertensi seringkali merupakan faktor
presipitasi. Kelainan pembuluh darah, seperti malformasi arteriovenosa dan aneurisma serebral,
lebih rentan mengalami ruptur dan menyebabkan perdarahan jika ada hipertensi.
Sindrom neurovaskular yang paling sering dijumpai pada stroke akibat trombus atau embolu
disebabkan oleh terkenanya arteri serebri media. Arteri ini terutama menyuplai darah ke bagian
lateral hemisfer serebral. Infark ke area otak tersebut menyebabkan defisit motorik dan sensorik
kontralateral. Jika hemisfer yang mengalami infark adalah hemisfer dominan, masalah bicara
dapat terjadi, dan disfasia mungkin muncul.

 patway
 Klasifikasi
a. Infark Ischemik (Stroke non Hemoragi).
Hal ini terjadi karena adanya penyumbatan pembuluh darah otak. Infark iskemic terbagi
menjadi dua yaitu : stroke trombotik, yang disebabkan oleh thrombus dan stroke
embolik, yang disebabkan oleh embolus. Membagi stroke non haemoragi berdasarkan
bentuk klinisnya antara lain:
1. Serangan Iskemia sepintas atau transient ischemic Attack (TIA). Pada bentuk
ini gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan
menghilang dalam waktu 24 jam.
2. Defisit Neurologik Iskemia Sepintas/ Reversible Ischemic Neurologik Defisit
(RIND). Gejala neurologik timbul ± 24 jam, tidak lebih dari seminggu.
3. Stroke Progresif (Progresive Stroke/ Stroke in evolution).Gejala makin
berkembang ke otak lebih berat.
4. Completed Stroke Kelainan saraf yang sifatnya sudah menetap, tidak berkembang lagi.

b. Perdarahan (Stroke Hemoragi).


Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi
atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial
yang seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak
dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan
menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang
mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan
edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut
menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan
otak.
 Pemeriksaan penunjang

1) pemeriksaan laboratorium : hitung sel darah lengkap, elektrolit, glukosa, dan parameter
koagulasi.
2) Scan tomografi komputer (computer tomography scan- CT-scan) idealnya CT scan
dilakukan dalam 60 menit kedatangan di unit gawat darurat sehingga keputusan
pengananan dapat diambil. CT scan dapat bermanfaat dalam membedakan antara lesi
serebrovaskular dan nonserebrovaskular. Sebagai contoh, perdarahan subdural, abses
otak, tumor, SAH, atau perdarahan intra serebral terlihat di CT scan. Akan tetapi area
infark tidak dapat terlihat pada CT scan dalam 48 jam.
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI). Teknik MRI dengan T1-wighted dan T2-wieghted,
fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR), diffusion-weighted, dan perfusision-
weighted lebih baik dalam mendeteksi infark dari CT scan. Perubahan dini normalnya
tampak dalam 24 jam pertama. Dengan menggunakan FLAIR, gambar dapat dimanipulasi
sehingga hanya area abnormal yang dikuatkan. Pemeriksaan berdasarkan ketersediaan
teknologi adalah, adalah diffusion –weighted imaging (DWI) dan perfussion-weighted
imaging (PWI). Teknik ini membanyu mengidentifikasi inti infark dan penumbra, yang
merupakan hal penting karena adanya jaringan yang dapat hidup dapat memandu
intervensi seperti reperfusi.
4) Angiografi telah menjadi standar emas untuk mengevaluasi sistem pembuluh darah
serebral. Membantu mennetukan penyebab stroke secara spesifik misalnya pertahanan
atau sumbatan arteri.
5) Ultrasonografi doppler (USG doppler). Mengidentifikasi penyakit arteriovena ( masalah
sistem arteri karotis [aliran darah atau timbulnya plak]) dan anteriosklerosis.
6) Elektroensefalogram(Electroencephalogram-EEG). Mengidentifiksai masalah pada
gelombang otak dan memperlihatkan daerah yang spesifik.
7) Sinar tengkorak. Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal daerah yang
berlawanan dari masa yang meluas, klasifikasi karotis interna terdapat pada trombosis
serebral; kalsifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subarakhnoid.
8) EKG (Elektrokardiogram) untuk mengetahui adanya aritmia atau iskemik jantung.
Fibrilasi atrial adalah aritmia dengan bekuan darah di jantung dan dapat berjalaan menuju
otak (merupakan etiologi kardioembolik). Perubahan lain yang dapat dijumpai pada EKG
adalah gelombang T inversi, depresi ST, dan elevasi serta pemanjangan QT
9) Ekhokardiogram untuk mengetahui jika dicurigai terdapat emboli atrium.
10) Carotid duplex scanning digunakan untuk mengidentifikasi stenosis atau sumbatan pada
arteri karotis

a. Penatalaksanaan
Identifikasi awal stroke
Faktor penting dalam intervensi dan pengobatan awal pada stroke adalah identifikasi stroke
yang benar dan menentukan manifestasi stroke yang benar dan menetukan manifestasi awal
serangan. Oleh karena manifestasi bisa berbeda berdasarkan lokasi dan ukuran infark, alat
pengkajian standar seperti NIHSS (Acute Sroke Quick Screen dan National Institute of Health
Stroke Score) dapat digunakan untuk mengidentifikasi dengan cepat sehingga klien bisa
mendapatkan manfaat dari terapi trombolisis. Riwayat lengkap mengenai masalah yang
menyertai dan juga riwayat kesehatan dan sosial yang terdahulu dapat memberikan data tentang
penyebab stroke.
b. Penatalaksanaan Klinis
Penatalaksanaan klinis stroke memiliki empat tujuan utama : perbaikan aliran darah
serebral (reperfusi), pencegahan trombosis berulang, perlindungan saraf, dan perawatan suportif.
Keputusan di unit gawat darurat menentukan rencana pengobatan pasien. Fokus pengobatan awal
seharusnya adalah menyelamatkan sebanyak mungkin area iskemik. Tiga hal yang diperlukan
area ini adalah oksigen, glukosa, dan aliran adarah yang adekuat.
Kadar oksigen dipantau melalui gas darah arteri dan oksigen dapat diberikan pada pasien
jika diindikasikan. Perawatan kegawatdaruratan klien dengan stroke termasuk didalamnya
mempertahankan jalan udara yang paten. Klien yang tidak sadar harus dibaringkan ke bagian
yang terkena stroke untuk meningkatkan penyaluran saliva dari jalan nafas. Kerah baju harus
dilonggarkan untuk memfasilitasi aliran balik vena. Kepala harus dielevasi, tapi leher tidak boleh
ditekuk. Klien harus tetap dalam kondisi tenang. Jika klien memperlihatkan usaha ventilasi yang
buruk, intubasi dan ventilasi mekanis mungkin dibutuhkan untuk mencegah hipoksia dan
peningkatan iskemia serebral Hipoglikemia dapat dievaluasi dengan pemeriksaan serial gula
darah. Reperfusi dapat dilakukan dengan menggunakan aktivator plasminogen jaringan (t-PA,
tissue plasminogen activator) IV. Tekanan perfusi serebral adalah refleksi tekanan darah
sistemik, TIK, fungsi autoregulasi di otak, dan frekuensi serta irama jantung. Parameter yang
paling mudah dikendalikan secara eksternal adalah tekanan darah dan frekuensi serta irama
jantung. Jika pasien adalah kandidat untuk terapi trombolitik, pengobatan dimulai di unit gawat
darurat dan kemudian dipindahkan ke ICU. Jika pasien bukan kandidat untuk terapi trombolitik,
kerumitan masalah pasien menentukan penempatannya di ICU,unit medis, atau unit khusus
stroke.
2.Penatalaksanaan Farmakologis
Agens trombolitik adalah obat eksogenus yang melarutkan bekuan. Pelarutan bekuan
memungkinkann reperfusi jaringan otak. terapi trombolitik IV harus dimulai dalam 3 jam atau
kurang dari awitan gejala neurologis. Waktunya dimulai dari saat terakhir kali opasien terlihat
sehat. Pemilihan kandidat untuk terapi ini harus dilakukan secara seksama. Risiko utama terapi
ini adalah perdarahan intraserebral namun yang menguntungkan bahwa agens ini terbukti efektif
dalam mereversi defisit neurologis dan meningkatkan kualitas hidup setelah stroke.
3.Pengendalian Hipertensi dan Peningkatan Tekanan Intrakranial
Pasien yang menderita hipertensi sedang biasanya tidak diobati secara akut. Jika tekanan
darah turun setelah otak menjadi terbiasa dengan hipertensi yang dibutuhkan agar perfusi
adekuat, tekanan perfusi otak akan turun sejalan dengan tekanan darah. Jika tekanan diastolik di
atas sekitar 105 mmHg, mungkin perlu diturunkan secara bertahap.
Jika TIK meningkat pada pasien yang pernah mengalami stroke, peningkatan biasanya terjadi
setelah hari pertama. Meskipun respon alami otak terhadap beberapa lesi serebrovaskular.
Metode pengendalian peningkatan TIK yang dapat dilakukan adalah hiperventilasi; pembatasan
cairan; elevasi kepala; menghindari fleksi leher; atau rotasi kepala berlebihan yang dapat
menghambat aliran keluar vena dari kepala; dan pemakaian diuretik osmotik (manitol) untuk
mengurangi edema serebral.
4.Penatalaksanaan Bedah
Pada pasien yang mengalami stenosis karotis, endartektomi karotis dapat dilakukan untuk
mencegah stroke. Endarterektomi karotis adalah prosedur bedah untuk mengangkat plak
aterosklerosis yang telah menumpuk di bagian dalam arteri karotis. Endaterektomi dapat
dilakukan pada pasien dengan stadium stenosis tiinggi (>70%) jika operasi dilakukan oleh
seorang bedah terampil. Manfaat pembedahan meningkat untuk pasien pria dengan riwayat
stroke sebelumnya. Pasien dengan stenosis kurang dari 50% tidak mendapat manfaat dari
pembedahan.

 Pencegahan Komplikasi

Perdarahan. Setelah pemberian rt-PA, klien dimonitor untuk potensi komplikasi dari rt-PA,
yang dapat meliputi perdarahan intrakranial dan perdarahan sistemik. Dengan mengontrol ketat
tekanan darah adalah satu-satunya tindakan yang paling penting untuk mencegah perdarahan
intrakranial setelah trombolisis.
Edema serebral. Peningkatan TIK adalah komplikasi potensial dari stroke iskemik yang luas dan
komplikasi potensial pada perdarahan intraserebral baik kondisi utama maupun sekunder dari
terapi trombolisis. Peningkatan TIK, herniasi pusat, dan perdarahan batang otak dapat
menyebabkan kematian karena penekanan pada pusat vital di medula yaitu kegagalan batang
otak.
Stroke berulang. Kejadian stroke berulang dalam empat minggu pertama setelah stroke iskemik
akut. Karena itu heparin diindikasikan untuk mencegah stroke berulang pada klien yang berisiko
emboli kardiogenik

5.Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian. Pengkajian neurologis menyeluruh sangat penting untuk mengidentifikasidefisit
yang dialami pasien. Pasien perlu di pantau dengan seksama untuk mengetahui adanya infeksi,
perubahan suhu, dan perubahan kadar glukosa, yang kesemuanya berkemungkinan memberikan
pengaruh buruk pada pasien yan pernah mengalami stroke. Perawat berada dalam posisi unik
untuk mengidentifikasi masalah an kolaborasi dengan dokter dalam melakukan ryjukan yang
tepat ke spesialis rehabilitasi dan ahli gizi.
Rencana. Perawat berperan penting dalam mencegah komplikasi yang terkait imobilitas,
hemiparesis, atau defisit neurologis lain yang disebabkan oleh stroke. Tindakan pencegahan
sangat penting dalam hal infeksi saluran kemih, aspirasi, ulkus dekubitus, kontraktur, dan
tromboflebitis.
Modifikasi emosi dan perilaku, pasien yang mengalami stroke dapat memperlihatkan masalah
emosi, dan perilaku mereka dapat berbeda dari perilaku dasarnya. Emosi dapat labil;seperti
menangis suatu saat kemudian tertawa, tanpa penjelasan atau kendali. Toleransi terhadap stress
juga dapat berkurang. Perawat membantu keluarga dalam memahami perubahan perilaku
ini.perawat juga membantu memodifikasi perilaku pasien dengan mengendalikan stimulus
lingkungan, memberikan peride istirahat sepanjang hari untuk mencegah pasien terlalu letih,
memberikan umpan balik positif, dean memberikan pengulangan saat pasien berusaha
mempelajari kembali suatu keterampilan.
Komunikasi Pasien dapat menunjukkan frustasi berat terhadap defisitnya. Kemungkinan
tidak ada satupun defisit yang menimbulkan lebih bnayak frustasi bagi pasien dan mereka yang
berusaha berkomunikasi dengannya daripada defisit yang melibatkan produksi dan pemahaman
bahasa. Disfasia dapat dapat mengenai kemampuan motorik, fungsi sensorik, atau keduanya. Jika
area cidera otak di atau dekat area Broca kiri, memori pola motorik bicara terganggau. Hal ini
menyebabkan disfasia ekspresif, yaitu pasien memahami bahasa, tetapi tidak dapat
menggunakannya dengan tepat. Disfasia reseptif biasanya disebabkan oleh cidera area wernicke
kiri, yang mengendalikan pusat pengenalan bahasa lisan. Adanya disfasia ekspresif dan disfasia
reseptif disebut disfasia global. Penting bagi staf keperawatan untuk memberi tahu keluarga
bahwa pasien mengalami disfasi tidak berarti ia mengalami gangguan kecerdasan.

A. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
Pengkajian klien stroke sangat diperlukan untuk menentukan diagnosa keperawatan. Klien
yang sadar dapat dilakukan anamnesa yang terkait dengan perubahan sensasi, gerakan tubuh, dan
defisitneuorlogis lainnya sebagai indikasi perkembangan infark atau iskemia serebral, edema
atau perdarahan. Riwayat yang lengkap tentang masalah yang terjadi saat ini, riwayat kesehatan
masa lalu, dan riwayat sosial akan memberikan informasi tentang sebab-sebab stroke.Selanjutnya
kaji status neurologis dan vital sign.
Pengkajian
1) Biodata
Pengkajian biodata :
 Nama dan Umur : karena umur di atas 55 tahun merupakan resiko tinggi terkena
penyakit stroke.
 Jenis kelamin : jenis kelamin laki-laki lebih tinggi 30% di banding wanita.
 Ras: kulit hitam lebih tinggi angka kejadiannya.
 Data penting lain yang harus di kaji adalah : pekerjaan, pendidikan, agama, suku,
alamat rumah, sumber biaya, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
 Identitas penanggung jawab yang harus dikaji adalah : nama, umur, hubungan
dengan pasien, pendidikan dan alamat.
2) Keluhan utama
Biasanya pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi penurunan
Kesadaran atau koma, disertai kelumpuhan dan sakit kepala hebat bila dalam keadaan
sadar.
3) Riwayat kesehatan sekarang (saat pengkajian) dengan PQRST : penyebab, onset,
lamanya, frekuensi, intensitas, faktor pencetus, lokasi hal yang memeperberat dan hal
yang memperingan. Tiba-tiba terjadi keluhan neurologis misal penurunan kesadaran
sampai koma dan sakit kepala hebat.

4) Riwayat penyakit dahulu


Jenis CVA bleeding memberi gejala yang cepat memburuk. Oleh karena itu klien langsung di
bawa ke rumah sakit. Perlu di kaji ada nya penyakit DM, hipertensi, kelainan jantung dan
polisitemia. Karena hal ini berhubungan dengan penurunan kualitas pembuluh darah otak
menjadi menurun.

5) Riwayat penyakit keluarga


Perlu di kaji apakah di dalam anggota keluarga ada yang mengalami penyakit stroke,
diabetes mellitus, atau hipertensi. Dengan menggunakan genogram atau penyakit yang pernah
diderita oleh anggota keluarga yang menjadi faktor risiko, 3 generasi.
6) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari karena klien mengalami kelumpuhan sampai
koma maka klien perlu memerlukan bantuan dalam memenuhi kebutuhan seharii-
hari meliputi:
 Mandi
 Makan/minum/Bab/Bak
 Berpakaian
 Berhias
 Aktivitas mobilisasi
7) Pemeriksaan fisik
i. B1 (Breathing/ pernafasan)
Perlu di kaji adanya :
 Sumbatan jalan nafas karena penumpukan sputum dan kehilangan reflek batuk.
 Adakah tanda-tanda lidah jatuh kebelakang.
 Auskultasi jalan nafas mungkin ada suara tambahan (crackles/ronkhi)
 Catat frekuensi dan irama nafas.
ii. B2 (Blood/ sirkulasi)
Deteksi adanya : tanda-tanda TIK yaitu peningkatan tekanan darah serta pelebaran nadi
dan penurunan jumlah nadi.
iii. B3 (Brain/ persarafan,otak)
Kaji adanya keluhan sakit kepala hebat. Observasi tingkat kesadaran terjadi penurunan
kesadaran secara kualitatif seperti compos mentis, somnolen, sopor, koma, atau secara kuantitatif
dengan menggunakan Skala Koma Gasglow :
Respon Membuka Mata Nilai
 Spontan 4
 Terhadap percakapan 3

 Terhadap nyeri 2

 Tidak ada respon 1


Respons Motorik
 Mematuhi perintah 6
 Menunjuk rangsang 5

 Menarik diri dari rangsang 4

 Fleksi abnormal (dekortikasi) 3


2
 Ekstensi abnormal (deserebrasi)
1
 Tidak ada respon
Respons Verbal
 Terorientasi 5
 Pembicaraan membingungkan 4

 Kata-kata tidak tepat 3

 Bunyi terbalik-balik 2
1
 Tidak ada respon

Dan pemeriksaan fungsi saraf kranial


 Saraf kranial I (saraf olfaktorius) berisi serabut sensorik untuk indra
penghidu. Dengan menutup mata klien lalu meletakan zar beraroma
didekat hidung klien (kopi, sabun, kayu manis) untuk dikenali.
Masing-masing lubang hidung diperiksa terpisah.
 Saraf kranial II (saraf opptikus) melibatkan evaluasi ketajaman
penglihatan dan lapang pandang. Memeriksa dengan meminta klien
memandag lurus kedepandengan satu mata tertutup, pemeriksa
menggerakkan satu jari dari tepi masing-masing kuadran penglihatan
ke arah pusat penglihatan klien, klien harus memberitahu saat jari
tanagn pemeriksa terlihat.
 Saraf kranial III (saraf okulomotorius), IV (saraf troklearis), dan VI
(saraf abdusens) diperiksa secara bersamaan karena semua saraf
tersebut mempersarafi otot ekstra okular. saraf okulomotorius
bertanggung jawab untuk akomodasi lensa dan ukuran pupil, saraf
okulomotorius mempersarafi otot yang mengangkat kelopak mata
dan otot yang menggerakkan mata ke atas, ke bawah dan ke tengah.
Saraf troklearis untuk menggerakkan mata ke bawah, dan ke dalam.
Dan saraf abdusen untuk menggerakkan mata kesamping. Pada
pasien sadar, meminta pasien untuk menggerakan mata mengikuti
jari tangan pemeriksa saat menggerakkan ke semua arah pandang.
 Saraf kranial V (saraf trigeminalis), mempunyai tiga bagian:
oftalmik, maksilaris, mandibularis. Bagian sensirik dari saraf ini
mengendalikan sensasi kornea dan wajah. Bagian motorik
mengendalaikan otot mengunyah.
 Saraf kranial VII (saraf fasialis), berhubungan dengan rasa di
duapertiga depan lidah, bagian motorik mengendalikan otot ekspresi
wajah.
 Saraf kranial VIII (saraf akustik), dibagi menjadi cabang koklear dan
vestibular, yang masing-masing mengendalikan pendengaran dan
keseimbangan.
 Saraf kranial IX (saraf glosofaringeus) dan X (saraf vagus), diperiksa
secara bersamaan. Saraf glosofaringeus mempersarafi serabut
sensorik hingga sepertiga belakang lidah, uvula dan palatum mole.
Saraf vagus mempersarafi laring, faring dan palatum mole setta
mengirimkan respons ke jantung, lambung, paru, dan usus halus.
 Saraf kranial XI (saraf aksesorius spinal), menegndaliakn otot
trapezius dan sternokleidomastoideus.
 Saraf kranial XII (saraf hipoglosus), mengendalikan gerakan lidah.

iv. B4 (Bladder/ perkemihan) Tanda-tanda inkontinensia urine.


v. B5 (Bowel/ pencernaan) Tanda-tanda inkontinensia alfi.
vi. B6 (Bone/ tulang dan integument) Kaji adanya kelumpuhan atau
kelemahan, kekuatan otot dan tanda-tanda dikubitus karena tirah
baring yang terlalu lama.
b. Sosial interaksi Biasanya di jumpai tanda-tanda kecemasan karena ancaman
kematian diekspresikan dengan menangis, klien dan keluarga sering bertanya
tentang pengobatan dan penyembuhannya.
8). Pemeriksaan Fisik Head To Toe :
Diisi dengan bentuk narasi hasil penegkajian dan pemeriksaan :
1) Kepala : Bentuk, Lesi, Hematoma, Benjolan
2) Rambut : Warna, Kebersihan, Distribusi, Kerontokan dan Alopesia.
3) Mata : Kesimetrisan, kelopak mata, alis, pergerakan bola mata, pupil, sclera, kornea,
konjungtiva, test penglihatan, penggunaan alat bantu
4) Telinga : Kesimetrisan, kebersihan, serumen, test pendengaran, penggunaan alat bantu

5) Hidung : Kesimestrisan, kebersihan, sekresi cairan, PCH, polip, pasase udara, penggunaan
selang oksigen, nyeri tekan, tes penciuman
6) Mulut : Warna mukosa, kesimetrisan, kelembaban, stomatitis, keutuhan gigi, karies,
gingivitis, kebersihan lidah, palatum, uvula, sekresi dahak, tes pengecapan
7) Leher : Adanya pembengkakan, benjolan, nyeri saat menelan, ROM, JVP
8) Dada : Bentuk, warna, kesimetrisan, retraksi otot dada, kondisi payudara,
benjolan/pembengkakan kelenjar, Auskultasi suara jantung paru, Perkusi jantung paru adanya
pembesaran dan cairan, Palpasi jantung paru adanya nyeri tekan
9) Abdomen : Bentuk, warna, kesimestrisan, adanya bekas luka, distensi, asites, aukultasi bising
usus dan bruit, perkusi seluruh kuadran, adanya shifting dullness, palpasi adanya nyeri
tekan/nyeri lepas dan pembesaran organ (hepar, lien, ginjal, gaster), ketok ginjal
10) Genital : Bentuk, kebersihan, adanya pembengkakan (vagina, testis, penis dan prostat),
sekresi cairan, nyeri atau keluhan lain saat BAK/BAB, frekuensi/ konsistensi/warna/bau
urine/feses, siklus menstruasi, penggunaan kateter, palpasi blader.
11) Ekstremitas Atas dan Bawah : Warna, kesimetrisan, deformitas, kontraktur, CRT, turgor
kulit, kondisi luka /dekubitus, gangrene, luka bakar (Rule of nine), ROM, Kekuatan otot,
Krepitasi, nyeri pada sendi dan tulang, penggunaan alat bantu (kruk, kursi roda, traksi, gips,
ORIF,OREF)
Kaji Refleks Biceps, Triceps, Brachialis, Achiles, Patella, Baninski
2. Diagnosa keperawatan
 Perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah serebral
karena adanya trombus, embolus, perdarahan, edema, atau spasme.
 Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan, penekanan refleks batuk,
menelan, dan penurunan kesadaran.
 Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hilangnya tonus otot berhubungan
dengan lemah paralisis atau kelemahan otot dan klien menolak untuk bergerak
karena takut mencederai diri sendiri atau tidak digunakan dalam jangka waktu yang
lama.
 Risiko hipertermia berhubungan dengan perdarahan atau edema pada hipotalamus
yang mengakibatkan iskemik pada pusat pengaturan suhu di otak.
 Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hilangnya sensai proteksi dan
penurunan kemampuan untuk bergerak meningkatkan risiko cedera pada kulit.
 Risiko terjadinya kontraktur berhubungan dengan kehilangan koneksi serebral untuk
sensori aferen dan saraf motorik eferen, kelemahan paralisis atau spastisitas.
 Defisit perawatan diri berhubungan dengan paralisis dan penurunan kognitif.
 Risiko terjadinya cedera berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran,
kelemahan, kelumpuhan, ketegangan, perilaku berlebihan, proses berpikir
terganggu, dan perubahan motorik, penglihatan, dan persepsi mengenai ruang.
 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan akibat paralisis.
 Hambatan komunikasi verbal berhubungan iskemik pada bagian serebral dominan,
mengarah pada kehilangan fungsi otot yang memproduksi bicara.
 Risiko terjadinya abrasi kornea berhubungan dengan kehilangan refleks berkedip.
 Proses berpikir terganggu berhubungan dengan perubahan gambaran diri, sensasi,
penglihatan, mobilitas, dan persepsi, edema serebral yang dapat meningkatkan
kebingungan.
 Gangguan persepsi sensori : visual berhubungan dengan iskemia pada alur penglihatan
 Negleksi unilateral berhubungan dengan kerusakan pada bagian belahan otak yang
nondominan.
 Koping tidak efektif berhubungan dengan perubahan fisiologis dan frustasi yang
dihubungkan dengan gangguan yang terjadi.
 Gangguan jiwa (gangguan proses keluarga, aktivitas diversional berkurang, kecemasan,
rasa takut, ketidakberdayaan, harga diri rendah yang situasional, dan isolasi sosial)
berhubungan dengan perubahan peran
3. Intervensi keperawatan
Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi, mengatasi
masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam diagnosa keperawatan mampu menetapkan
ncara meyelesaikan masalah dengan efektif dan efisien.
 Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan
aliran darah serebral karena adanya trombus, embolus, perdarahan,
edema, atau spasme
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan klien tidak
mengalami penaikan tekanan intra kranial.
Kriteria hasil :
Tidak terdapat tanda peningkatan tekanan intra kranial :
1. Peningkatan tekanan darah.
2. Nadi melebar.
3. Pernafasan Cheyne stokes.
4. Muntah proyektil.
5. Sakit kepala hebat

Intervensi
1. Berikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang sebab peningkatan TIK dan
Keluarga
Rasional: lebih berpatisipasi dalam proses penyembuhan akibatnya.
2. Berikan klien bed rest total dengan posisi terlentang tanpa
Bantal
Rasianal Perubahan pada tekanan intrakranilakan dapat menyebabkan resiko herniasi otak
3. Monitor tanda- tanda status neurologi dengan GCS
Rasional Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut
4. Monitot TTV seperti TD,nadi,suhu, respirasi dan hati- hati pada hipertensi
sistolik Pada keadaan norml autoregulasi
Rasional mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik berubah secara fluktuasi
5. Monitor input dan output
Rasional : Hipertemi dapat menyebabkan peningkatan IWL dan meningkatkan resiko
dehidrasi terutama pada pasien yaang tidak sadar
6. anjurkan klien untuk menghindri batuk dan mengejan berlebihan rasional : Batuk
dan mengejan dapat menyebabkan Peningkatan intrakranial dan potensial terjadi perdarahn
ulang.
 Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan, penekanan
refleks batuk dan menelan, dan penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : penurunan risiko apirasi
Kriteria hasil :
Klien mampu mengatur saliva dengan mudah, tidak tersedak atau batuk pada saat makan, tidak
ada demam, dan tidak ada bunyi crakcles atau ronkhi.
Intervensi :
1. Kaji tingkat kesadaran
Rasionalisasi : memudahkan identifikasiterjadinya aspirasi
2. Kaji manifestasi klinis akan aspirasi seperti demam, dispnea,
crakcles dan ronkhi.
Rasionalisasi : memudahkan dalam intervensi selanjutnya

3. Perhatikan saat pemberian makanan baik oral maupun enteral.


Rasionalisasi : membantu mengidentifikasi adanya aspirasi melalui pengisap aspirasi, jika
makanan enteral diberikan pewarna makanan.
4. Pantau hasil laboratorium (arteri gas darah)
Rasionalisasi : dapat mengidentifikasi bila ada penurunan PaO2.
5. Pantau hasil radiologi (thorax foto)
Rasionalisasi : lapor bila adanya infiltrasi pulmonal.
 Risiko Hipertermia berhubungan dengan perdarahan atau edema
hipotalamus dapat mengakibatkan iskemik pada pusat pengaturan suhu
di otak.
Tujuan : tidak ada hipertermia
Kriteria Hasil : terjadi penurunan risisko hipertermia atau suhu tubuh klien dalam kondisi
normal.
Intervensi :
1. Kaji suhu tubuh klien
Rasionalisasi : untuk memudahkan intervensi selanjutnya
2. Ukur suhu setiap satu jam
Rasionalisasi : untuk mengetahui dengan cepat setiap ada peningkatan suhu.
3. Kaji kulit secara rutin pada bagian yang tertekan atau cidera
karena dingin
Rasionalisasi : dingin mengakibatkan vasokonstriksi yang mengakibatkan sirkulasi dapat
terganggu.
4. Beri selimut hipotermia
Rasionalisasi : selimut hipotermia dapat digunakan untuk menurunkan suhu tubuh dengan cepat.
5. Hindarkan dari suhu ekstrim (terlalu panas atau terlalu dingin)
Rasionalisasi : suhu ekstrim dapat membuat jaringan cidera karena gangguan sirkulasi
6. Hindari klien dari menggigil
Rasionalisasi : karena aktivitas otot bisa meningkatkan suhu tubuh.
7. Jaga kaki atau akral tetap hangat
Rasionalisasi : menandakan sirkulasi yang lancar.
8. kolaborasi pemberian antipiretik dan agen fenotiazin
Rasionalisasi : antipiretik dapat mengatasi demam dan agen fenotiazin bisa digunakan untuk
menstabilkan membran neuronal jika demam dikaitkan dengan kerusakan struktur otak.
 Risiko terjadinya kontraktur berhubungan dengan kehilangan koneksi
serebral untuk sensori aferen dan saraf motorik eferen.
Tujuan : tidak terjadi kontraktur
Kriteria hasil : tidak adanya otot yang memendek dan mempertahankan ROM yang normal.
Intervensi :
1. Kaji ROM klien pada kedua bagian sendi.
Rasionalisasi : temuan ini dapat digunakan sebagai data dasar dan sebagai hasil yang di
harapkan.
2. Lakukan latihan ROM pasif dua kali sehari setelah 24 jam
pertama setelah stroke kecuali sesuai indikasi
Rasionalisasi : impuls motorik biasanya mulai kembali antara 2-14 hari setelah stroke. B agian
yang lemah menjadi spastik karena motorik sistem saraf tulang belakang membentuk otonomi
dan peningkatan kontraksi berpontensi terjadi. Sehingga latihan ROM pasif lebih sulit untuk
dilakukan jika otot yang terpengaruh mulai menegang.
3. Lakukan ROM pasif yang rutin
Rasionalisasi : untuk mencegah imobilitas sendi, kontraktur tendon, dan atropi otot,
menstimulasi sirkulasi, membantu membentuk kembali jalur neuromuskular.
4. Ajarkan klien untuk menggunakan tangan yang tidak
terpengaruh untuk mengangkat tangan yang lemah
Rasionalisasi : aktif ROM yang dilakukan pada bagian ekstremitas yang tidak terpengaruh
membantu mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot.
5. Lakukan latihan secara perlahan
Rasionalisasi : tidak memaksa ekstremitas melebihi tempat awal nyeri atau spasme yang
berlanjut.
6. Beri bantuan dengan menyokong tubuh klien dalam setiap
latihannya
Rasionalisasi : pada saat kekuatan otot meningkat, gerakan menahan bisa menguatkan otot yang
lemah dan membantu mengembalikan bentuk otot.
7. Biarkan klien duduk tegak dalam waktu yang tidak lama
Rasionalisasi : duduk dapat berkontribusi dalam deformitas panggul dan lutut.
8. Cegah kaki jatuh (footdrop)
Rasionalisasi : karena pemendekan tendon achilles dan plantifleksion, sehingga kaki harus
dijaga agar tetap dalam posisi fleksi 90 o.
9. Cegah semua posisi yang dapat menyebabkan deformitas
Rasionalisasi : jangan meletakkan bantal di bawah lutut saat posisi terlentang karena mendukung
terjadinya deformitas fleksi dan mengganggu sirkulasi. Cegah adduksi pada bahu yang
terpengaruh dengan meletakan bantal di aksila untuk menjaga lengan abduksi sekitar 60o, jaga
lengan untuk sedikit fleksi dalam posisi netral.
10. Hindari menggenggam bola karet.
Rasionalisasi : akan meningkatkan terjadinya fleksi padahal yang diinginkan adalah kondisi
ekstensi.
11. Cegah terjadinya dislokasi parsial pada sendi bahu.
Rasionalisasi : berat dari lengan yang tidaak bisa bergerak bisa menyebabkan nyeri dan gerakkan
terbatas (bahu kaku) sehingga harus dicegah dengan menyokong lengan yang sama sekali lemah
dengan bantal pada saat klien di tempat tidur atau duduk dikursi.

 Defisit perawatan diri berhubungan dengan paralisis dan penurunan


kognitif. Beberapa diagnosa keperawatan dapat digunakkan untuk
menggambarkan defisit perawatan diri termasuk gangguan mobilitas
fisik, gangguan sensoori persepsi (visual), negleksi unilateral atau
gangguan proses berpikir.
Tujuan : klien akan melakukan aktivitas harian sebanyak mungkin
Denagn di tandai : penggunaan alat bantu dan teknik adaptif
Intervensi :
1. Tutup satu mata pada klien yang mengalami diplopia saat beraktivitas
Rasionalisasi : menutup mata pada salah satu mata secara bergantian menghilangkan bayangan
kedua dan meningkatkan penglihatan yang lebih baik. Sealin itu untuk mempertahankan fungsi
dan kekuatan dari otot ekstraokuler di kedua mata.
2. Berikan perawatan mulut paling tidak tiga atau empat kali sehari.
Rasionalisasi : untuk mencegah komplikasi efek dari mulut yang kotor.
 Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan menelan akibat paralisis
Tujuan : kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
Yang ditandai dengan : mempertahankan berat yang stabil; konsumsi kalori yang adekuat untuk
usia, tinggi, dan berat badan; asupan sesuai keluaran; tingkat hemoglobindan hematokrit dalam
bats normal; jumlah limfosit, prealbumin dan albumin dalam batas normal; jika terdapst insisi
dan luka, masa penyembuhan terjadi dalam waktu 12-14 hari.
Intervensi :
1. Kaji dengan seksama diet klien dan total asupan
Rasionalisasi : untuk memastikan nutrisi yang adekuat
2. Berikan diet sesuai kemampuan klien menelan
Rasionalisasi : untuk menentukan diet yang dapat diberikan pada klien.
3. Kaji total asupan
Rasionalisasi : klien mungkin menghindari makan dan bisa tidak mendapatkan nutrisi yang
adekuat.
4. Berikan diet secara perlahan dan observasi terjadinya aspirasi
Rasionalisasi : memberi makan klien degan paralisis parsial pada lidah, mulut, dan
kerongkongan membutuhkan kesabaran dan perawataana untuk mencegah tersedak dan aspirasi
5. Buat waktu makan menyenangkan
Rasionalisasi : seringkali klien merasa takut tersedak, merasa malu, dan frustasi dengan kesulitan
makan
6. Dorong klien untuk makan
Rasionalisasi : dengan dorongan dan bantuan, klien dengan hemiplegi bersemangat dapat belajar
makan sendiri
7. Libatkan keluarga
Rasionalisasi : orang pendukung atau keluarga perlu diajarkan teknik dasar pemberian makan
dan juga diinformasikan setiap kebutuhan dan batasan individual klien
8. Pasang selang makan
Rasionalisasi : jika klien tidak dapat menelan sama sekali
9. Kolaborasi therapi okupasi
Rasionalisasi : untuk pengenalan penggunaan alat bantu ortotik
10. Atur posisi tubuh saat makan (tingkatkan kontrol kepala, rangsang memebuka dan
menutup mulut, bantu klien menelan)
Rasionalisasi : kepala harus tetap di posisi garis tengah dan sedikit fleksi ke depan untuk
mencegah terjadinya aspirasi.
 Risiko terjadinya abrasi kornea berhubungan dengan kehilangan refleks
berkedip
Tujuan : kornea lembab dan tidak terjadi abrasi
Kriteria hasil : adanya penutupan atau pengedipan mata dan mata lembab
Intervensi :
1. Kaji kondisi mata dan tingkat kelembabannya
Rasionalisasi : menentukan tindakan keperawatan selanjutnya
2. Lindungi mata dengan penutup mata jika tidak terlihat adanya kedipan
Rasionalisasi : untuk pencegahan sedini mungkin dari abrasi kornea
3. Kolaborasi dengan dokter
Rasionalisasi : untuk meresepakan therapi atau pemberian air mata buatan
 Gangguan persepsi :visual berhubungan dengan iskemia pada alur
penglihatan
Tujuan : tidak adanya gangguan persepsi penglihatan
Kriteria hasil : melakukan ADL dengan aman dan melakukan kompensasi yang aman untuk
gangguan penglihatannya melalui pemindaian atau teknik yang lain.
Intervensi :
1. Kaji lapang pandang klien
Rasionalisasi : untuk mengetahui sisi penglihatan yang terganggu
2. Dekatkan tombol pemanggil dan telepon
Rasionalisasi : memudahkan meminta bantuan
3. Ajarkan klien memosisikan kepala untuk meningkatkan lapang pandang
Rasionalisasi : klien mengetahui kondisi sekitar klien
4. Tutup mata klien dengan diplopia
Rasionalisasi : akan menghilangkan bayangan tambahan dan membantu penglihatan
5. Ciptakan lingkungan yang tenang
Rasionalisasi : lingkungan yang sibuk dan ribut akan sulit untuk diartikan dan bisa meningkatkan
kebingungan.
6. Kurangi kompleksitas dan kebutuhan untuk membuat pilihan
Rasionalisasi : klien dengan penurunan persepsi akan terbantu dengan kesederhanaan seperti
model pakaian yang sederhana dan mudah digunakan, peralatan makan yang minimal.
 Negleksi unilateral berhubungan dengan kerusakan pada bagian
belahan otak yang nondominan.
Tujuan : klien mampu mengompensasi negleksi unilateral
Kriteria hasil : klien terbebas dari cidera dan peningkatan kesadaran pada bagian tubuh yang
terabaikan
Intervensi :
1. Kaji perhatian klien pada bagian tubuh yang mengalami kelemahan
Rasionalisasi : memungkinkan klien untuk belajar kembali mencari dan menggerakkan bagian
ekstremitas tubuh yang lemah
2. Kaji lingkungan sekitar klien
Rasionalisasi : mengetahui adaptasi klien terhadap lingkungan dengan berfokus pada bagian
tubuh klien yang terpengaruh.
3. Perhatian awal pada bagian tubuh yang tidak terpengaruh selanjutnya secara
perlahan fokuskan perhatian pada bagian yang terpengaruh.
Rasionalisasi : agar klien menyadari bahwa salah satu bagian tubuhnya mangalami kelemahan
 Koping tidak efektif berhubungan dengan perubahan fisiologis dan
frustasi yang dihubungkan dengan gangguan yang terjadi.
Tujuan : klien mengembangkan strategi koping yang efektif
Kriteria hasil : modifikasi gaya hidup yang sesuai, menggunakan bantuan orang lain, interaksi
sosial sesuai.
Intervensi :
1. Kaji perasaan klien
Rasionalsasi : setelah stroke, klien mungkin mengalami kesedihan karena kehilangan
kemampuan mobilitas, ketidakmampuan berkomunikasi, perubahan sensai dan penglihatan, serta
kehilangan peran dalam masyarakat.
2. Dorong klien untuk mengekspresikan perasaannya
Raisonalisasi : klien stroke akan mengekspresikan perasaan menderita yang mendalam dan
perubahan akibat stroke, sehingga klien butuh untuk didengar dan diperhatikan.
3. Dorong klien untuk mandiri
Rasionalisasi : kehilangan kemandirian merupakan hal yang perlu diperhatikan bagi klien stroke
4. Atur lingkungan
Rasionalisasi : atur lingkungan dan antisispasi kebutuhan menurunkan rasa frustasi klien
5. Buatlah tujuan jangka panjang dan pendek
Rasionalisasi : agar klien mengetahui apa yang harus dilakukan dan dapat mengalami
keberhasilan sepanjang perawatan
6. Hargai semua keberhasilan klien walau kecil
Rasionalisasi : klien akan semangat dengan latihan yang dilakukan
7. Edukasi keluarga
Rasionalisasi : kadang terjadi perilaku tidak sesuai yang disebabkan kerusakan pada pusat untuk
mencegah (inhibitory) diotak atau bisa juga respons normal dari proses kesedihan sehingga
keluarga juga butuh bantuan untuk memahami perilaku klien.
8. Pahami status emosi klien yang mengalami afasia
Rasionalisasi : klien dengan afasia mengeluarkan status emosi dengan cara cepat marah dan
suasana hati yang berubah-ubah.
9. Pahami setiap perilaku klien
Rasionalisasi : terima perilaku tersebut dengan sikap baik tanpa membuat klien malu, karena
perasaan frustasi pada klien seringkali seperti cemas, bingung, dan tertekan.
 Keperawatan jiwa berhubungan dengan perubahan peran
Tujuan : hidup terpuaskan setelah kejadian stroke
Kriteria hasil : tidak adanya perubahan peran
Intervensi :
1. Kaji hubungan peran klien dengan keluarga terutama pasangannya
Rasionalisasi : sebagai data untuk intervensi berikutnya
2. Libatkan keluarga
Rasionalisasi : dengan melibatkan orang yang berarti bagi klien dalam rencana perawatan
membuat klien tidak merasa sendiri atau ditinggalkan oleh keluarga.
3. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan atau kondisi terkini klien
Rasionalisasi : kompleksitas peralatan dan aktivitas di ruang perawatan khususnya ICU pada
masa akut bisa membuat klien dan pasangannya takut
4. Beri dukungan dan ajak berdikusi tentang kondisi klien
Rasionalisasi : setiap dukungan yang diberikan dapat menenangkan klien dan keluarganya.
 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparesis, kehilangan
kesimbangan dan koordinasi, spastisitas, dan cedera otak.
Tujuan :
Klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan
kemampuannya.
Kriteria hasil :
1.Tidak terjadi kontraktur sendi, bertambahnya kekuatan otot.
2.Klien menunjukkan (tindakan untuk meningkatkan mobilitas).
Intervensi:
1.Pantau posisi per 2 jam atau mengubah posisi per 2 jam.
Rasional : menurunkan resiko terjadinya iskemia darah yang jelek pada daerah yang tertekan.
2.Lakukan gerakan pasif pada ektremitas yang sakit.
Rasional : otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak dilatih untuk
digerakkan.
3. Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ektremitas yang tidak sakit.
Rasional : gerakan aktif memberikan massa tonus dan kekuatan otot serta memperbaiki
fungsi jantung dan pernafasan.
4. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien
Rasional : untuk memulihkan semua anggota gerak atau meningkatkan kekuatan
otot

 Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan


dengan ketidakmampuan menelan akibat paralisi.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien tidak mengalami gangguan nutrisi.
kriteria hasi:
1. Berat badan stabil/seimbang.
2. asupan makanan adekuat.
3. Bila ada luka insisi akan mengalami penyembuhan 12 – 14 hari
4. Hb dalam batas normal.
5. limposit dalam batas normal.
1. Observasi kemampuan klien dalam mengunyah dan menelan.
Rasional : untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan pada klien.
2. Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu selama dan sesudah makan.
Rasional : untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi.
3.Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan.
Rasional : mengguatkan otot facial dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya
tersedak.
4.Kolaborasikan dengan ahli gizi.
Rasional : Rasional : agar klien mendapat makanan sesuai dengan kondisinya
 Kurang perawatan diri ( hygiene, toileting, berpindah, makan)
berhubungan dengan gejala sisa sroke.
Tujuan:
Klien akan melakukan berbagai aktifitas ADL, ditandai :
1. mengunakan alat bantu mobilitas dengan baik.
2. Menggunakan tehnik gerakan/mobilitas dengan tepat.
3. Tidak ditemukan adanya kontraktur dan kekakuan sendi.
Intervensi
a) Kaji kemampuan klien dan keluarga dalam perawatan diri.
Rasional: Jika klien tidak mampu perawatan diri perawat dan keluarga membantu dalam
perawatan diri
b) Bantu klien dalam personal hygiene.
Rasional: Klien terlihat bersih dan rapi dan memberi rasa nyaman pada klien
c) Rapikan klien jika klien terlihat berantakan dan ganti pakaian klien setiap hari
Rasional: Memberi kesan yang indah dan klien tetap terlihat rapi
d) Libatkan keluarga dalam melakukan personal hygiene
Rasional: ukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam program peningkatan aktivitas klien
 Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi
serebral: kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus kontrol otot
fasial/oral: kelemahan/kelelahan umum.
Tujuan :
Klien akan dapat berkomunikasi secara efektif, ditandai :
1. klien dapat memahami pembicaraan.
2. Klien mengucapkan kata-kata secara jelas.
3. Klien menunjukkan objek dengan tepat sesuai perintah.

. intervensi
1. Kaji tipe disfungsi misalnya klien tidak megerti tentang kata-kata atau masalah bicara
Rasionnal Membantu menentukan kerusakan area pada otak dan menentukan kesulitan
atau tidak mengerti bahasa sendiri klien dengan sebagian atau seluruh proses komunikasi
2. Bedakan afaisa dengan disartria
Rasional: Dapat menentukan pilihan intervensi sesuai dg tipe gangguan
3. Lakukan metode percakapan yang baik dan lengkap, beri kesempatan klien untuk
mengklarisifikasi
Rasional: Klien dapat kehilngan kemampuan untuk memonitor ucapnnya, komunikasinya
secara tidak sadar, dengan melengkapi dapat merealisasikan pengertian klien dan dapat
mengklerisifikasikan percakapan.
4. Katakan untuk megikuti perintah secara sederhana seperti tutup matamu dan lihat kepintu
rasional: Untuk menguji afasia reseptif
5. Perinthkan klien untu menyebutkan nama suatu benda yang diperhatikn
Rasional: Menguji afasia ekspresif mislnya klien dapat mengenal bend tsb tetapi
tidak mampu menyebutkan namanya.

3. Implementasi keperawatan
Tindakan keperawatan (implementasi) adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana
tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan
keperawatan dilakukan dan diselesaikan. Implementasi mencakup melakukan, membantu, atau
mengarahkan kinerja aktivitas kehidupan sehari-hari, memberikan asuhan perawatan untuk
tujuan yang berpusat pada klien (Potter & Perry, 2005). Pelaksanaan keperawatan merupakan
tahapan pemberian tindakan keperawatan untuk mengatasi permasalahan penderita secara terarah
dan komprehensif, berdasarkan rencana tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pelaksanaan keperawatan pada Stroke dikembangkan untuk memantau tanda-tanda vital,
melakukan latihan rentang pergerakan sendi aktif dan pasif, meminta klien untuk mengikuti
perintah sederhana, memberikan stimulus terhadap sentuhan, membantu klien dalam personal
hygiene, dan menjelaskan tentang penyakit, perawatan dan pengobatan stroke.
5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi adalah penilaian dengan cara memandingkan perubahan pada
pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
hasil yang diharapkan
1. Tidak ada peningkatan intrakranial
ii. Klien tidak adanya nyeri kepala.
iii. Tidak ada penurunan tingkat kesadaran.
iv. GCS baik.
2. Pengcapaian peningkatan mobilitas
v. Kerusakan kulir terhindar, tidak ada kontraktur
vi. Berpartisipasi dalam program latihan
vii. Mencapai keseimbangan saat duduk
viii. Pengguanaan sisi tubuh yang tidak sakit untk kompensasi hilangnya
fungsi pada sisi yang hemiplegia.
3. tanda-tanda nutrisi yang adekuat,
a. Berat badan stabil/seimbang.
b. asupan makanan adekuat.

4. Klien dapat berkomunikasi secara efektif, ditandai :


a. klien dapat memahami pembicaraan.
b. Klien mengucapkan kata-kata secara jelas.
c. Klien menunjukkan objek dengan tepat sesuai perintah.
d. Adanya peningkatan komunikasi
(brunner &suddarth 2001)
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Sistem saraf merupakan salah satu sistem koordinasi yang bertugas menyampaikan
rangsangan dari reseptor untuk dideteksi dan direspon oleh tubuh. Sistem saraf terdiri dari jutaan
scl saraf (neuron). Fungsi sel saraf adalah mengirimkan pesan (impuls) yang berupa rangsang
atau tanggapan. Sistem saraf dibagi menjadi dua, yaitu sitem saraf pusat dan sistem saraf perifer.
Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Sistem saraf perifer terdiri dari
sitem saraf sadar dan sistem saraf tidak sadar. Stroke adalah defisit neurologis yang mempunyai
awitan tiba-tiba , berlangsung lebih dari 24 jm, dan disebabkan penyakit serebrovaskular. Stroke
terjadi saat terdapat gangguan aliran darah kebagian otak. Aliran darah terganggu karena adanya
sumbatan penbuluh darah, karena trombus atau embolus, atau ruptur pembeuluh darah. ( Morton.
et.all, 2014)

DAFTAR PUSTAKA
Gibson, John.2003.Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat.Buku Kedokteran EGC :
Jakarta

Sherwood, Lauralee.2012.Fisiologi Manusia. Buku Kedokteran EGC : Jakarta

Campbell, N.A., J.B. Reece, dan L.G. Mitchell. 2002. Biologi: Edisi Kelima Jilid 1. Alih Bahasa:
Rahayu Lestari. Jakarta: Erlangga.

Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah. Jakarta : EGC Syarifussin, H. 1997.
Anatomi Fisiologi Untuk siswa Perawat. Jakarta: EGC

Suzanne C & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai