Anda di halaman 1dari 15

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER HUKUM ACARA MK

OLEH

NAMA : YUHANNA
NIM : D1A019591
KELAS : G1

PROGAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2021

1
STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-X/2012
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ( JUDICIAL REVIEW ) NOMOR 13
TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

A. LATAR BELAKANG

Pada tanggal 28 September 2012 tepatnya 8 tahun silam, Marten Boiliu (Pemohon) yang
merupakan satpam yang mengaku sudah bekerja dan menandatangani tujuh kali kontrak kerja
dengan di PT.Sandhy Putra Makmur. Marten dengan seorang diri mengajukan judicial review
pasal 96 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Saat mengajukan
judicial review, hubungan kerja marten dengan PT.Sandhy Putera Makmur sudah terhenti.
Tetapi, Menurut marten terdapat sejumlah hak yang harus dibayarkan PT.Sandhy Putra
Makmur.
Di dalam pengujian materi undang-undang atau judicial review tidak terdapat pihak
lawan atau pihak termohon. Jika terdapat pihak DPR Republik Indonesia pemerintah,atau
Lembaga negara lainnya yang diundang Mahkamah Konstitusi hadir dalam persidangan
pengujian undang-undang,sifatnya hanya sebatas sebagai pemberi keterangan.
Latar belakang diajukannya permohonan judicial review ini karena Marten merasa
mendapat perlakuan tidak adil yang dilakukan PT.Sandhy Putera Makmur. PT.Sandhy Putra
Makmur melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap 3000 karyawan
termasuk terhadap Marten Boiliu Pada bulan Juli 2009 silam. Perusahaan tersebut tidak
memberi pesangon, uang penghargaan, maupun uang penggantian hak kepada para karyawan
yang terkena pemutusan hubungan kerja. Marten ingin haknya dimasa lalu dibayarkan, namun
terhalang oleh ketentuan pasal 96 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan. Dan oleh sebab itu Marten akhirnya memutuskan untuk mengajukan
permohonan Judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan seluruh permohonannya
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

2
B. MASALAH HUKUM

Pasal 96 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan


menyatakan bahwa Tuntutan pembayaran upah/buruh dan segala pembayaran yang
timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua)
tahun sejak timbulnya hak. Menurut Marten yang bertindak selaku pemohon, ketentuan
tersebut melanggar ketentuan dari pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945 serta pasal 28I
ayat (2) yang mana,
1. Pasal 28D ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.
2. Pasal 28D ayat (2) menyatakan bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
3. Pasal 28I ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan
deskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Oleh karena hal tersebut Marten dan kawan-kawannya merasa itu tidak adil karena
hak-hak konstitusional mereka tidak terpenuhi saat masih menjadi karyawan di PT.Sandhy
Putra Makmur.

3
C. LANDASAN TEORI

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk, menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya telah diberikan oleh UUD 1945,
memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemil, dan Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945.
Berdasarkan UUD 1945 tersebut, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konsstitusi
adalah berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 ini dikenal dengan
istilah Judicial Review.
Judicial review atau hak uji materi merupakan proses pengujian peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan lebih
tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan.
Terkait dengan judicial review ini, dalam rangka melengkapi hukum acara yang
telah ada, Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan mengatur telah membentuk
Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yakni dengan PMK Nomor 06/PMK/2005
Tentang Pedoman beracara dalam perkara pengujian undang-undang.

1. Pihak yang dapat bertindak sebagai pemohon dalam Judicial Review


Dalam Hukum acara MK , yang dapat bertindak sebagai pemohon dalam judicial
review adalah pihak yang memiliki kedudukan hukum atau disebut dengan istilah
Legal standing. Menurut Harjono dalam bukunya, Legal standing adalah keadaan
dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu
mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau
sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi.
Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi ditegaskan bahwa dalam pengujian undang-undang yang dapat

4
bertindak sebagai pemohon adalah pihak yang menganggap hak atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang diantaranya :
- Perorangan Warga Negara Indonesia
- kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam Undang-Undang
- badan hukum publik atau privat
- Lembaga negara
Kerugian konstitusional yang dimaksud dalam pasal 51 ayat (1) diatas merupakan
syarat untuk dapat bertindak sebagai pemohon dalam pengujian undang-undang
(legal standing). Praktik Mahkamah Konstitusi menetapkan rincian ketentuan
dimaksud dengan syarat-syarat :
• Adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar 1945
• Bahwa hak konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh pemohon telah
dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji
• Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat khusus dan
aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi
• Adanya hubungan sebab akibat (casual verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji
• Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi

Di dalam permohonannya, pemohon harus menguraikan secara detail dan jelas


tentang kualifikasinya sebagai pihak pemohon berdasarkan ketentuan syarat-syarat
legal standing tersebut.

2. Pembuktian atau alat bukti dalam judicial review


Pembuktian yang dilakukan mengenai argumentasi atau dalil yang didasarkan atas
alat-alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan perkara, merupakan bagian yang
paling penting dalam hukum acara di pengadilan.

5
Menurut Maruarar dalam bukunya, pemohon yang mendalilkan adanya undang-
undang yang melanggar konstitusi atau kesalahan perhitungan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) dalam pemilu atau kewenangan berdasar UUD 1945 yang diambil satu
lembaga negara lain maupun pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden, wajib
meyakinkan hakim akan kebenaran dalil tersebut dengan alat-alat bukti yang sah
sebagaimana disebut di dalam undang-undang. Namun apabila pembuktian yang
diajukan dipandang tidak mencukupi atau tidak meyakinkan, maka hakim MK karena
jabatannya dapat memerintahkan saksi dan/atau ahli tertentu untuk hadir guna
didengar keteranganya di depan MK sehubungan dengan permohonan pemohon.
Berdasarkan keadaan ini, kita dapat mengatakan bahwa hukum acara MK menganut
teori pembuktian bebas karena baik luas maupun beban pembuktian diserahkan pada
hakim konstitusi.
Dalam perkara pengujian undang-undang atau judicial review, ada dua aspek
undang-undang yang dipersoalkan yaitu mengenai materi undang-undang dan hal-hal
selain materi undang-undang. Namun sebleum sampai kepada substansi atau pokok
perkara yang berkenaan dengan kedua persoalan tersebut harus dibuktikan terlebih
dahulu mengenai :
- Kedudukan Hukum pemohon (legal standing)
- Keberwenangan Mahkamah Konstitusi sendiri dalam memeriksa dan mengadili
permohonan yang diajukan.
Pasal 36 ayat (1) No 4 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjelaskan
terdapat enam jenis alat bukti yang sah yang bisa dijadikan bahan pertimbangan
hakim konstitusi dalam mengadili dan memutus perkara konstitusi yang telah
dimohonkan. Alat bukti tersebut antara lain ;
• Surat atau tulisan
• Keterangan saksi
• Keterangan ahli
• Keterangan para pihak
• Petunjuk
• Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optic atau serupa dengan itu

6
Alat bukti yang disertakan dalam permohonan itu akan diperiksa oleh hakim di
dalam sidang. Dalam pemeriksaan itu pemohon harus dapat mempertanggung
jawabkan perolehan alat bukti yang diajukan secara hukum. Pertanggungjawaban
perolehan secara hukum ini menentukan suatu alat bukti sah. Penentuan sah atau
tidaknya alat bukti itu dinyatakan dalam persidangan.

3. Putusan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara harus didasarkan pada UUD 1945
dengan berpegang pada alat bukti dan keyakinan masing-masing hakim konstitusi.
Alat bukti yang dimaksud sekurang-kurangnya dua bukti seperti hakim dalam
memutus perkara tindak pidana.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat fakta yang terungkap dalam
persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan apakah
putusannya menolak permohonan, permohonan tidak diterima atau permohonan
dikabulkan. Dalam memutuskan suatu permohonan, Mahkamah Konstitusi harus
menempuh musyawarah yang diputuskan hakim konstitusi yang berjumlah 9
(sembilan) orang dalam sidang pleno, yang jika tidak tercapai kata muyawarah maka
putusan diambil melalui voting atau suara terbanyak. Hakim konstitusi yang berbeda
pendapat tetap dimuat dalam putusan yang sering disebut dissenting opinion.

Mengenai isi putusan, terdapat tiga jenis putusan Mahkamah Konstitusi :

1) Permohonan tidak Diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard)


Permohoanan tidak diterima adalah suatu putusan yang apabila
permohonannya melawan hukum dan tidak berdasarkan hukum. Dalam
putusan ini permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Psal 50 dan 51 UU Mahkamah Konstitusi.
2) Permohonan Ditolak (Ontzigd)
Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan ditolak apabila
permohonanya tidak beralasan. Dalam hal ini UU yang dimohonkan
untuk diuji tidak bertentang dengan UUD 1945 baik mengenai
pembentukannya maupun materinya baik sebagian ataupun

7
keseluruhannya, yang dalam amar putusan menyatakan permohonan
ditolak.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan
materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian UU bertentangan dengan UUD
1945, maka amar putusan juga menyatakan materi muatan ayat, pasal
dan/atau bagian UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3) Permohoan Dikabulkan
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan
pemohon wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan sejak diucapkan. Putusan
Mahkamah Konstitusi yang telah diuji tidak dapat diuji kembali (nebis in
idem) yang merupakan asas yang juga dikenal dalam hukum pidana.

Asas putusan pengadilan bersifat erga omnes bermakna putusan pengadilan berlaku
bagi semua orang tidak hanya bagi pihak yang berperkara. Perkara yang menyangkut
kepentingan umum, putusan pengadilan bersifat erga omnes. Tidak terkecuali, putusan
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang mengadili perkara yang
menyangkut kepentingan umum bersifat erga omnes.

8
D. PEMBAHASAN

1. Kedudukan Hukum atau legal standing dari Marten Boiliu sebagai pemohon :

Berdasarkan ketentuan dari pasal 51 ayat (1) Marten Boiliu merupakan warga negara
rapublik Indonesia serta pernah bekerja pada PT.Sandhy Putra Makmur ( selanjutnya
akan disingkat menjadi PT.SPM ) sebagai seorang satpam dan telah di PHK sejak juli
tahun 2009. Atas PHK tersebut pihak PT.SPM tidak membayarkan kepada pemohon uang
pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sebagimana yang telah diatur
dalam pasal 163 ayat (2) juncto pasal 156 ayat (2),(3),dan (4) UU No 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan mengenai kewajiban pengusaha/perusahaan membayar uang
pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak dalam hal jika terjadi PHK.

Memasuki 3 tahun setelah di PHK, marten hendak mengajukan tuntutan pembayaran


uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak namun terhalang dengan
adanya ketentuan pasal 96 UU ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa tuntutan
pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembaaran yang timbul dari hubungan kerja
menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka dua tahun sejak timbulnya hak. Oleh sebab
ketentuan tersebut Marten Boiliu dan kawan-kawan tidak dapat melakukan tuntutan
mengenai uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak. Oleh karena itu
juga Marten dan kawan-kawan merasakan secara langsung dampak kerugian yang
diakibatkan oleh adanya ketentuan pasal 96 UU ketenagakerjaan.

Disamping kerugian diatas, ketentuan yang terkandung dalam pasal 96 UU


ketenagakerjaan mencerminkan deskriminasi dan perlakuan tidak adil terhadap marten
boiliu dan kawan-kawan. Deskriminasi dan perlakuan tidak adil yang dimaksud yaitu
selama bekerja di PT.SPM marten dan kawan-kawan menerima upah/gaji dari PT.SPM di
bawah standar upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur provinsi DKI Jakarta dan
berdasarkan ketentuan pasal 90 UU Ketenagakerjaan yang melarang perusahaan
membayar upah lebih rendah dari UMP yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan dan pasal 91 UU Ketenagakerjaan yang mengatur kesepakatan antara
perusahaan dengan pekerja mengenai upah tidak boleh lebih rendah dari UMP yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, kesepakatan mengenai

9
upah lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka
kesepakatan tersebut batal demi hukum dan perusahaan wajib membayar upah/gaji
pekerja menururut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal tersebut
dengan keberadaan pasal 96 UU Ketenagakerjaan, PT.SPM menjadi diuntungkan sepihak
karena lepas dari tanggung jawab membayar kekurangan upah/gaji yang seharusnya
dibayarkan kepada Marten Boiliu dan kawan-kawannya,dan di lain pihak Marten Boiliu
dan kawan-kawan setelah di PHK tidak dapat menuntut hak tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, Marten Boiliu memiliki kualifikasi kedudukan hukum atau
legal standing dan memiliki kepentingan untuk mengajukan hak pengujian pasal 96 UU
ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 karena Marten Boiliu memiliki kepentingan secara
langsung dan akan menerima dampak kerugian secara langsung dari ketentuan pasal 96
UU Ketenagakerjaan.

2. Pembuktian
Dalam perkara judicial review, sebelum sampai kepada substansi atau pokok
perkara yang berkenaan dengan kedua persoalan tersebut harus dibuktikan terlebih
dahulu mengenai Kedudukan Hukum pemohon (legal standing) dan keberwenangan
Mahkamah Konstitusi sendiri dalam memeriksa dan mengadili permohonan yang
diajukan.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi disini berdasarkan pasal 24C ayat (1) UUD
1945 juncto pasal 10 ayat (1) UU No.4 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untung menguji Undang-Undang terhadap
UUD 1945. Selain itu, pasal 7 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan
perundang-undangan, mengatur bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih
tinggi dari undang-undang. Oleh karena itu, setiap ketentuan undang-undang tidak
boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam undang-undang
yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan
untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang-undang. Oleh karena kasus yang
dialami oleh Marten Siboiliu ini, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa dan memutus permohonan pengujian undang-undang tersebut.

10
Dalam pembuktian kedudukan hukum atau legal standing dari Marten Boiliu ia
merupakan warga negara Indonesia negara Republik Indonesia berdasarkan bukti
Kartu Tanda penduduk,serta telah bekerja pada PT.SPM sejak tahun 2009
berdasarkan surat keterangan PHK yang sudah ia lampirkan. Hak atau kewenangan
dari Marten Boiliu yang dirugikan atas berlakunya pasal 96 UU No 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan yaitu ketentuan pasal tersebut yang menetukan kadaluwarsa
2 tahun untuk menuntut upah dan segala pembayaran yang timbul dalam hubungan
kerja, kadaluwarsa 2 tahun tersebut Marten Boili tidak dapat melakukan tuntutan
pembayaran pesangon, uang penghargaan, dan penggantian hak. Akibatnya hak dari
Marten Boiliu sebagai pemohon untuk mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan hak untuk menerima imbalan dan perlakuan yang adil dan layak serta hak untuk
tidak diperlakukan secara deskriminatif. Kerugian hak tersebut bersifat spesifik dan
actual,setidaknya bersifat potensial menurut penalaran yang wajar.
Martenjuga telah mengajukan bukti-bukti surat atau bukti tertulis untuk
membuktikan legal standing maupun dalil-dalil lainnya yang antara lain:
- Fotokopi UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
- Fotokopi UUD 1945
- Fotokopi Kartu Tanda Penduduk ( KTP )
- Fotokopi surat keterangan PHK
- Fotokopi surat panggilan sidang mediasi I, II, dan III dari kantor suku dinas
tenaga kerja dan transmigran
- Fotokopi surat putusan MA RI Nomor 183K/Pdt.sus/2012
- Fotokopi Peraturan gubernur provinsi DKI Jakarta Nomor 101 tahun 2008 tentang
UMP provinsi DKI Jakarta, fotokopi perhitungan kerugiannakibat tidak adanya
pembayaran kepada Marten Boiliu dan kawan-kawan atas PHK
- Fotokopi bukti slip gaji, serta
- Fotokopi berita acara pelaksanaan pekerjaan bulanan antara PT.Telkom dengan
PT.SPM
Selain bukti-bukti tulisan seperti diatas, Marten Boiliu juga mengajukan bukti lain
dengan mengajukan 2 orang saksi serta dua orang ahli.

11
Jika dilihat dari ketentuan pasal 51 ayat (1) Undang-undang nomor 24 tentang
Mahkamah konstitusi dan syarat-syarat kerugian hak/wewenang konstitusional
sebagaimana yang telah diuraikan dalam landasan teori, Marten Boiliu memiliki hak
konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang oleh marten boiliu sebagai
pemohon dianggap telah dirugikan oleh berlakunya pasal 96 UU no 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan sebagaimana yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu
Marten Boiliu memiliki kedudukan hukum atau legal standing untk mengajukan
permohonan.

3. Putusan Mahkamah Konstitusi


Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyatakan hubungan
ketenagakerjaan bukan semata-mata merupakan hubungan keperdataan karena hubungan
tersebut telah menyangkut kepentingan yang lebih luas (ribuan buruh), artinya
kepentingan publik, bahkan kepentingan negara. Ketentuan kedaluwarsa, terkait
penggunaan hak untuk menggunakan upaya hukum dan kehilangan hak untuk
menggunakan upaya hukum.
Hak Pemohon untuk menuntut pembayaran upah pekerja/buruh dan segala
pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menurut Mahkamah, merupakan hak yang
timbul karena Pemohon telah melakukan pengorbanan berupa adanya prestatie kerja
sehingga hubungan antara hak tersebut dengan Pemohon adalah sebagai pemilik hak.
Oleh karena itu, dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh
permohonan dari Marten Boiliu dan menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dan menyatakan Pasal
96 UU tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah Konstitusi secara resmi membatalkan ketentuan kadaluwarsa dua tahun
atas pembayaran upah/gaji yang diatur dalam pasal 96 Undang-undang Nomor 13 tahun
2003 tentang ketenagakerjaan yang dimohonkan oleh marten boiliu. Hal ini berarti para
buruh bisa kapanpun mengajukan tuntutan pembayaran upah dan hak lainnya yang timbul
dari hubungan kerja.

12
E. SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Simpulan

Berdasarkan studi kasus dari Marten Boiliu yang telah diuraikan, disimpulkan bahwa
Marten Boiliu merupakan seorang warga negara Indonesia sekaligus mantan pekerja di
PT.Sandhy Putra Makmur yang terkena PHK pada tahun 2009. Selang 3 tahun setelah di-
PHK, marten merasakan ketidakadilan karena hak-haknya belum terpenuhi setelah terjadi
PHK. PT.Sandhy Putra Makmur diketahui tidak memberikan uang pesangon, uang
penghargaan, maupun uang penggantian hak kepada karyawan yang terkena PHK
termasuk Marten Boiliu. Marten ingin menuntut hak-haknya yang belum terpenuhi pada
saat itu, namun terhalang oleh ketentuan pasal 96 UU No 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa Tuntutan pembayaran upah/buruh dan segala
pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui
jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak. Oleh karena itu, marten boiliu
mengajukan permohonan judicial review atau uji materi undang-undang kepada
Mahkamah Konstitusi. Menurut Marten yang bertindak selaku pemohon, ketentuan dalam
pasal 96 UU No.13 Tahun 003 tentang ketenagakerjaan melanggar ketentuan dari pasal
28D ayat (1) dan (2) UUD 1945 serta pasal 28I ayat (2).

Mahkamah konstitusi berwenang untuk memeriksa serta memutus perihal


permohonan judicial review atau uji materi undang-undang. Berdasarkan ketentuan pasal
51 ayat (1) Undang-undang nomor 24 tentang Mahkamah konstitusi dan syarat-syarat
kerugian hak/wewenang konstitusional sebagaimana yang telah diuraikan dalam landasan
teori, Marten Boiliu memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang
oleh marten boiliu sebagai pemohon dianggap telah dirugikan oleh berlakunya pasal 96
UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana yang dimohonkan
pengujian. Oleh karena itu Marten Boiliu memiliki kedudukan hukum atau legal standing
untuk mengajukan permohonan.

Dengan berdasarkan argument-argumen, berbagai alat bukti yang diajukan dan


berdasarkan beberapa pertimbangan hukum akhirnya Mahkamah Konstitusi
mengeluarkan amar putusan yaitu mengabulkan seluruh permohonan dari Marten Boiliu
yang bertindak selaku pemohon dan Mahkamah Konstitusi menyatakan menyatakan

13
Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945 dan menyatakan Pasal 96 UU tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka penulis mengajukan


rekomendasi yaitu kepada seorang warga negara,kesatuan masyarakat,badan hukum,
ataupun Lembaga negara yang ingin atau berniat untuk mengajukan permohonan judicial
review ke Mahkamah Konstitusi, hendaknya benar-benar memastikan terlebih dahulu
dengan mengumpulkan berbagai bukti yang valid dan kuat mengenai kedudukan hukum
atau legal standing yang dimiliki. Hal tersebut dikarenakan salah satu bagian penting dari
mengajukan permohonan berperkara di Mahkamah Konstitusi adalah berkedudukan
hukum atau Legal standing yang merupakan suatu dasar dari seseorang atau kelompok
orang untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah
Konstitusi. Pasal 51 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi serta
putusan perkara nomor 006/PUU-III/2005 dan 010/PUU- III/2005 yang merumuskan
secara lebih ketat adanya persyaratan hak konstitusional pemohon merupakan faktor yang
dijadikan dasar bagi hakim Mahkamah Konstitusi untuk berpendapat bahwa pemohon
memiliki atau tidak memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan pengujian
undang-undang.

14
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqqie,Jimly.2006.HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-


UNDANG,Jakarta:Konstitusi Press

Fadlil Sumady,Ahmad(2011).Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dalam Teori dan


Praktik,Jurnal Konstitusi,Vol.8,hlm.862

Indra Gunawan,Bambang(2019). URGENSI KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL


STANDING) DALAM PENGUJIAN UNDANG – UNDANG OLEH WARGA NEGARA
ASING DI MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,Jurnal Lex
Justitia,Vol.1,hlm.14

MK RI.2012.” PHK tak dibayar, satpam gugat UU Ketenagakerjaan”,


https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=7654 diakses pada 15 Juni pukul 09.42

Sahbani,Agus.2013.”MK Hapuskan Jangka Waktu Menuntut Upah”,


https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt523afd228b2f6/mk-hapuskan-jangka-waktu-
menuntut-upah/ diakses pada 15 Juni pukul 12.55

Direktoran Jendral HAM.2012.”Catatan Atas Pembatalan Aturan Daluarsa Hak


Pekerja”,https://ham.go.id/2013/10/29/catatan-atas-pembatalan-aturan-daluarsa-hak-pekerja/

http://indonesiabaik.id/infografis/mengenal-judicial-review-di-indonesia diakses pada 16 Juni


pukul 13.11

O’donnel,Sand.2012.”Ilmu Hukum : Putusan Mahkamah Konstitusi” http://tentang-ilmu-


hukum.blogspot.com/2012/04/putusan-mahkamah-konstitusi.html?m=1, diakses pada 16 Juni
pukul 21.33

15

Anda mungkin juga menyukai