Anda di halaman 1dari 13

NAMA : Windy Angraini

NIM : 192102127
PRODI : S1 KEPERAWATAN

RESUME KEPERAWATAN ANAK 2

1. HIRSCHPRUNG
 Etiologi :
Penyebab Hirschsprung
Dalam keadaan normal, saat janin berkembang di dalam kandungan, sel saraf juga akan
berkembang di usus. Dengan demikian usus dapat berkontraksi dengan baik saat ada makanan
yang masuk ke dalamnya. Tanpa ada kontraksi, feses akan terperangkap dalam usus dan tidak
bisa keluar. Pada pengidap penyakit Hirschsprung, sel saraf tersebut berhenti berkembang
sehingga ada bagian usus besar yang tidak memiliki saraf. Penyebab gangguan perkembangan
sel saraf itu hingga kini belum diketahui pasti. Pada beberapa kasus, penyakit Hirschsprung
diduga terkait dengan faktor keturunan atau genetika. Selain itu, bayi laki-laki juga ditemukan
lebih berisiko terhadap penyakit Hirschsprung dibandingkan bayi perempuan.
Faktor Risiko Hirschsprung
Ada banyak faktor risiko untuk Hirschsprung, yaitu:
 Memiliki saudara kandung yang memiliki penyakit Hirschsprung: Penyakit Hirschsprung
dapat menurun. Jika memiliki seorang anak yang memiliki kondisi ini, anak biologis
selanjutnya dapat memiliki risiko.
 Laki-laki: Penyakit Hirschsprung lebih umum terjadi pada laki-laki.
 Memiliki kondisi turunan lainnya: Penyakit Hirschsprung terkait dengan kondisi
menurun lainnya, seperti Down syndrome dan kelainan lain yang muncul sejak lahir,
seperti penyakit jantung kongenital.

 Manifestasi klinis :
Penyakit Hirschsprung memiliki gejala yang berbeda-beda, tergantung pada tingkat
keparahannya. Gejala umumnya sudah dapat dideteksi sejak bayi baru lahir, di mana bayi tidak
buang air besar (BAB) dalam 48 jam setelah lahir. Selain bayi tidak BAB, di bawah ini adalah
gejala lain penyakit Hirschsprung pada bayi baru lahir:
 Muntah-muntah dengan cairan berwarna coklat atau hijau
 Perut buncit
 Rewel
Pada penyakit Hirschsprung yang ringan, gejala baru muncul saat anak berusia lebih besar.
Gejala penyakit Hirschsprung pada anak yang lebih besar terdiri dari:
 Mudah merasa lelah
 Perut kembung dan kelihatan buncit
 Sembelit yang terjadi dalam jangka panjang (kronis)
 Kehilangan nafsu makan
 Berat badan tidak bertambah
 Tumbuh kembang terganggu

 Pemeriksaan penunjang :
 Rontgen
 Pemeriksaan kekuatan usus
 Biopsi

2. ATRESIA ANI
 Etiologi
Ada berbagai macam faktor yang bisa meningkatkan risiko atresia ani pada bayi, antara lain:

 Jenis kelamin. Atresia ani terjadi lebih banyak pada bayi laki-laki dibandingkan bayi
perempuan.

 Memiliki cacat lahir lainnya.

 Ibu menggunakan steroid inhalers selama masa kehamilan.

Penyebab Atresia Ani

Dalam kondisi normal, saluran kemih, lubang anus, dan kelamin akan terbentuk pada usia
kehamilan delapan minggu melalui proses pembelahan dan pemisahan dinding-dinding
pencernaan janin. Namun, bila terjadi gangguan pada masa perkembangan janin tersebut, hal ini
bisa memicu atresia ani. Hingga saat ini, penyebab gangguan perkembangan ini belum diketahui
secara pasti, tapi ahli menduga bahwa atresia ani disebabkan oleh faktor keturunan atau genetika.

 Manifestasi klinis :

Gejala-gejala atresia ani biasanya terlihat jelas setelah bayi lahir, antara lain:

 Bayi tidak memiliki lubang anal.

 Pada bayi perempuan, posisi lubang anal berada di tempat yang salah, seperti terlalu
dekat dengan vagina.
 Bayi tidak buang air besar selama 24 sampai 48 jam pertama kehidupan.

 Feses keluar melalui tempat yang salah, seperti uretra, vagina, skrotum, atau pangkal
penis.

 Perut bengkak.

 Pemeriksaan penunjang :

Setelah mendiagnosis atresia ani, dokter anak juga perlu menguji kelainan lainnya terkait dengan
kondisi ini. Beberapa jenis tes yang biasanya digunakan, antara lain:

 Sinar X tulang belakang untuk mendeteksi kelainan tulang.

 USG tulang belakang untuk mencari kelainan pada tubuh vertebral atau tulang belakang.

 Ekokardiogram untuk mendeteksi anomaly jantung.

 MRI untuk mencari bukti cacat esofagus seperti pembentukan fistula dengan trakea atau
batang tenggorokan.

3. ATRESIA DUCTUS

 Etiologi :

Penyebab Atresia Bilier

Penyakit ini bukanlah penyakit menurun ataupun menular. Penyebab pasti dari terjadinya atresia
bilier masih belum dapat dipastikan, namun kemungkinan terkait dengan:

 Perubahan genetik

 Gangguan sistem imun

 Gangguan perkembangan hati dan saluran empedu saat di dalam kandungan

 Paparan pada zat beracun saat dalam kandungan

 Infeksi virus atau bakteri.

 Manifestasi klinis :

Gejala Atresia Bilier

Pada bentuk perinatal, gejala biasanya timbul pada usia sebelum 2 minggu, sedangkan pada tipe
postnatal, keluhan biasanya baru tampak pada usia 2–8 minggu. Gejala awal dari atresia bilier
adalah kulit dan bagian mata yang putih (sklera) menjadi berwarna kuning yang disebut
sebagai jaundice. Hal ini terjadi akibat adanya akumulasi cairan empedu di dalam tubuh. Selain
itu, keluhan lainnya adalah perut membuncit, urine berwarna gelap, dan tinja berwarna pucat.
Biasanya tidak terjadi gangguan nafsu makan, pertumbuhan, dan berat badan.

 Pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan penunjang dapat dianjurkan untuk memastikan diagnosis, meliputi:

a. Pemeriksaan darah, seperti:

 Bilirubin serum direk dan indirek

 Alkali Fosfatase, serum aminotransferase, asam empedu serum, dan GGTP (5


nukleoridase, gamma-glutamil transpeptidase).

 Serum Alfa-antitripsin dengan Pi typing. Defisiensi serum alfa-antitripsin merupakan


salah satu tanda penyakit hati pada sumbatan empedu bayi baru lahir.

 Sweat Chloride (CI). Pemeriksaan ini untuk memeriksa adanya fibrosis kistik yang dapat
juga menyebabkan terjadinya gangguan pada saluran empedu.

b. Pemeriksaan pencitraan, seperti:

Ultrasound, Pemeriksaan ini digunakan untuk memberikan gambaran kondisi kantung empedu
dan saluran empedu.

c. Biopsi hati

Dokter akan mengambil sedikit jaringan hati (sampel) untuk dilihat di bawah mikroskop.
Pemeriksaan ini dapat membantu membedakan atresia bilier dan kondisi gangguan hati lainnya,
seperti hepatitis. Pengambilan sampel hati dapat dilakukan dengan prosedur biopsi hati perkutan
atau kolangiografi intraoperatif.

4. NEFROTIK SYNDROME (SN)

 Etiologi :
Faktor risiko sindrom Nefrotik antara lain adalah:
• Kondisi medis seperti diabetes, lupus, dan amiloidosis.
• Obat-obatan seperti anti-radang non-steroid atau beberapa antibiotik.
• Infeksi seperti HIV, hepatitis B, hepatitis C, dan malaria.
Penyebab Sindrom Nefrotik
Sindrom Nefrotik terjadi karena rusaknya ginjal (Sindrom Nefrotik Primer), atau oleh penyakit
lain (Sindrom Nefrotik Sekunder). Pada kedua kondisi ini, terjadi kerusakan pada sistem
penyaringan pada ginjal yang disebut glomerulus. Sistem tersebut merupakan pembuluh darah
kecil yang bertugas mengeliminasi zat-zat yang tidak diperlukan tubuh dan kelebihan cairan.
Saat glomerulus rusak, tidak hanya produk sisa dan kelebihan cairan yang dikeluarkan oleh
ginjal, tetapi juga protein-protein yang dibutuhkan oleh tubuh seperti albumin.
Albumin merupakan protein yang menjaga volume cairan dalam pembuluh darah. Jika terjadi
kebocoran albumin, darah kehilangan kemampuannya untuk menyerap cairan dari sel-sel tubuh
ke dalam pembuluh darah dan menyebabkan edema. Kebocoran albumin diukur dari kadar
protein dalam urine. Glomerulus yang rusak dapat mengeluarkan albumin 20 kali lebih banyak
dari normalnya, yaitu sekitar 3 gram atau lebih.
Penyebab sindrom Nefrotik Primer umumnya dikaitkan dengan kelainan genetik juga dan
biasanya disebabkan oleh formasi jaringan parut pada glomerulus. Kondisi ini disebut Focal
Segmental Glomerulosclerosis (FSGS). Penyakit ginjal umum lainnya yang menyebabkan
sindrom Nefrotik adalah nefropati membranosa atau terdapat deposit molekul imun pada
glomerulus yang menyebabkan penebalan pada glomerulus dan mengganggu fungsinya.
Penyakit perubahan minimal (minimal changes disease) dapat ditandai dengan fungsi ginjal yang
jadi tidak normal. Meski saat diamati di bawah mikroskop, glomerulus tampak normal atau
hampir normal. Kondisi inilah yang menjadi penyebab terbanyak sindrom Nefrotik pada anak.
Sindrom Nefrotik sekunder paling sering disebabkan oleh penyakit diabetes, lupus, dan
amiloidosis. Kurang lebih setengah dari sindrom Nefrotik disebabkan oleh penyakit lain yang
mendasari.
 Manifestasi klinis :
Tanda dan gejala dari sindrom Nefrotik meliputi bengkak seluruh tubuh yang disebut edema
anasarca. Edema biasanya paling jelas terlihat di mata dan pergelangan kaki. Gejala lainnya yaitu
urine yang berbusa karena banyaknya protein dalam urine dan peningkatan berat badan karena
adanya retensi atau penumpukan cairan dalam tubuh. Pengidap juga mengeluhkan kelemahan
atau kelelahan dan turunnya nafsu makan
 Pemeriksaan penunang :
• Tes urine
Urinalisis dapat memperlihatkan adanya kadar protein tidak normal dalam urine. Pengukuran
yang lebih akurat dengan cara mengumpulkan sampel urine selama 24 jam.
• Tes darah
Pada sindrom Nefrotik, tes darah mampu menunjukkan kadar albumin yang rendah
(hipoalbumin). Kehilangan albumin melalui urine dikaitkan dengan meningkatnya kadar
kolesterol dan trigliserida dalam darah yang dapat dilihat melalui pemeriksaan ini. Tes darah
meliputi pemeriksaan serum kreatinin dan urea untuk menilai fungsi ginjal.
• Biopsi ginjal

5. SYNDROME NEFRITIK AKUT (SNA)

 Etiologi :

EtiologiSNA sangatbanyak, diantaranyakelainanglomerulopatiprimer(idiopati), glomerulopati


pasca infeksi, DLE, vaskulitis dan nefritisherediter(sindromaAlport). Penyebab paling umum
adalah infeksi, gangguan sistem imun, dan radang pembuluh darah kecil di ginjal. Semua kondisi
ini bisa menyebabkan sistem penyaringan pada ginjal terganggu, sehingga terjadi kebocoran
protein dan sel darah merah.

 Manifestasi klinis :

Umumnya, gejala sindrom nefritik akut adalah sering buang air kecil, rasa panas atau perih saat
buang air kecil, nyeri panggul, warna urine yang keruh, muncul darah dan nanah pada urine, dan
nyeri di sekitar pinggang hingga perut.

Selain itu, gejala lain yang dapat timbul termasuk muntah, demam, tekanan darah tinggi, serta
pembengkakan pada wajah dan kaki.

 Pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan penunjang yang paling diperlukan adalah pemeriksaan protein urin, kadar albumin,
dan kadar kolesterol darah. Pemeriksaan protein urin dapat dilakukan dengan pemeriksaan urin
yang paling sederhana yaitu pemeriksaan urin dengan dipstik

6. GLOMERULONEFRITIS KRONIS (GNC)

 Etiologi :

Para pakar menduga bahwa glomerulonefritis merupakan kondisi autoimun, di mana sistem
kekebalan tubuh mengalami gangguan dan menyerang sel-sel yang sehat. Berikut ini adalah
beberapa kondisi yang mungkin bisa memicu inflamasi dan kerusakan pada glomeruli:

 Komplikasi dari infeksi-infeksi tertentu, misalnya infeksi tenggorok oleh bakteri


streptokokus, HIV, hepatitis B dan hepatitis C, serta endocarditis (radang katup jantung).

 Mengidap kondisi autoimun lain yang biasanya diturunkan, contohnya lupus, vaskulitis
(inflamasi pada dinding pembuluh darah), atau nefropati immunoglobulin A (IgA) yaitu
penumpukan jenis immunoglobulin A pada glomeruli ginjal.

 Mengidap penyakit kronis, seperti hipertensi atau diabetes.


 Manifestasi klinis :

Gejala Glomerulonefritis

Glomerulonefritis jarang menyebabkan gejala yang spesifik. Apabila bertambah parah, kondisi
ini bisa memicu munculnya darah pada urine. Beberapa indikasi lain yang mungkin menyertai
gejala utama tersebut meliputi:

 Urine yang berbuih.

 Hipertensi.

 Pembengkakan pada wajah, tangan, kaki, dan perut.

 Kelelahan karena anemia atau gagal ginjal.

Gejala klinik lain adalah edema yang bisa berupa wajah sembab, edempretibial atau berupa
gambaran sindroma nefrotik seperti edema yang disertai proteinuria masif,
hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia. Hipertensi dapat dijumpai pada pemeriksaan
fisik hampir semua pasien GNAPS, biasanya ringan, sedang, bahkan berat.
Pada keadaan hipertensi berat yang bersifat mengancam jiwa atau mengganggu

 Pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakan diagnosis GNAPS adalah
pemeriksaan urinalisis, darah lengkap, pemeriksaan serologis seperti titer ASTO dan CRP,
serta pemeriksaan aktivitas komplemen C3. Gambaran laboratorium glomerulonefritis
akut yang sering dijumpai antara lain ditemukan proteinuria, hematuria,leukosituria,
anemia, penurunan LFG,leukositosis, dan hipoalbuminemia.

7. TALASEMIA

 Etiologi :

Mutasi yang terjadi pada DNA yang membuat hemoglobin pembawa oksigen ke seluruh tubuh
merupakan penyebab seseorang bisa mengidap thalassemia. Penyakit ini terjadi akibat kelainan
pada faktor genetik, tetapi penyebab pasti mutasi gen ini bisa terjadi belum diketahui.

Risiko terkena komplikasi thalassemia juga bisa dikurangi dengan melakukan pemeriksaan
kesehatan secara rutin. Beberapa kemungkinan komplikasi thalassemia yang bisa saja terjadi
adalah hepatitis, osteoporosis, pubertas yang tertunda, dan gangguan pada ritme jantung

 Manifestasi klinis :

Gejala thalassemia yang dialami oleh setiap orang berbeda-beda, tergantung pada tingkat
keparahan dan tipe thalassemia yang diidap. Supaya bisa bekerja dengan normal, hemoglobin
memerlukan 2 protein alfa dan 2 protein beta.
Kelainan pada protein alfa dikenal dengan thalassemia alfa dan protein beta adalah thalassemia
beta. Jika terjadi banyak mutasi pada material genetika yang membuat hemoglobin, thalassemia
yang diidap terbilang parah. Transfusi darah akan sering dibutuhkan untuk kondisi thalassemia
yang parah. Namun, jika mutasi yang terjadi sedikit atau terbatas, maka gejala bisa lebih ringan.
Contoh gejala pengidap thalassemia adalah berat badan yang rendah, mengalami gejala anemia,
seperti sesak napas dan mudah lelah, dan sakit kuning.

 Pemeriksaan penunjang :

 Menghitung sel darah lengkap.


 Sediaan hapus darah tepi dengan cara melihat gambaran sel darah di bawah mikroskop.
 Analisis hemoglobin atau protein sel darah merah.
 Menghitung jumlah zat besi.
 Pemeriksaan gen atau DNA.

Sementara pada ibu hamil, terdapat beberapa pemeriksaan penunjang tambahan, antara lain:

 Chorionic villus sampling. Tes yang dilakukan dengan mengambil sampel jaringan
plasenta untuk dianalisis. Pemeriksaan ini bisa dilakukan saat kehamilan memasuki
minggu ke-11.
 Amniocentesis. Tes ini dilakukan dengan cara mengambil sampel air ketuban dan
dilakukan saat kehamilan sudah memasuki minggu ke-16.

8. RETINOBLASTOMA

 Etiologi :

Retinoblastoma terjadi ketika sel-sel saraf pada retina bermutasi. Mutasi ini mengakibatkan sel-
sel terus membelah dan bertambah banyak ketika sel yang sehat akan mati. Pertambahan sel-sel
yang sangat banyak ini akhirnya terakumulasi dan membentuk sebuah tumor.

Sel-sel kanker retinoblastoma dapat menyerang lebih jauh ke dalam mata dan struktur di
dekatnya. Retinoblastoma juga bisa menyebar ke organ tubuh lainnya seperti otak dan tulang
belakang.

Pada kebanyakan kasus, tidak diketahui apa yang menyebabkan mutasi genetik terjadi. Namun,
anak-anak yang terkena retinoblastoma diduga mewarisi mutasi genetik dari orangtua mereka.
Retinoblastoma herediter diwariskan oleh orangtua kepada anaknya dengan pola autosomal
dominan. Retinoblastoma herediter yang menimpa anak-anak memiliki kecenderungan untuk
muncul pada kedua mata

 Manifestasi klinis :

Karena retinoblastoma lebih sering dialami oleh bayi dan anak-anak, gejalanya jadi cukup sulit
untuk dikenali. Beberapa tanda dan gejala yang ditemukan, antara lain:
• Muncul bercak putih di tengah lingkaran mata (pupil) mata ketika disinari oleh cahaya.

• Mata merah.

• Pembengkakkan pada mata.

• Mata yang tampak seperti selalu memandang ke arah yang berlawanan.

 Pemeriksaan penunjang :

Untuk memastikan diagnosis, dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang berupa:

 Pemindaian dengan USG , OCT (optical coherence tomography), MRI pada mata,


atau CT scan pada mata dan tulang, untuk mengetahui lokasi kanker dan penyebarannya
 Tes genetik, untuk mengetahui apakah retinoblastoma diturunkan dari orang tua atau tidak

9. LEUKIMIA
 Etiologi :
Ada banyak faktor risiko untuk leukemia pada anak-anak, seperti:
 gangguan yang diwariskan seperti sindrom Li-Fraument, Down syndrome, atau sindrom
Klinefelter
 masalah sistem imun yang diwariskan seperti ataxia telangiectasia
 saudara kandung laki-laki atau perempuan penderita leukemia, terutama yang kembar
identik
 riwayat terpapar radiasi tingkat tinggi, kemoterapi, atau bahan-bahan kimia seperti
benzene (pelarut)
 riwayat penekanan sistem imun, seperti transplantasi organ

 Manifestasi klinis :
Gejala umum dari leukemia pada anak-anak adalah:
 kelelahan atau kulit pucat
 infeksi dan demam
 mudah berdarah atau memar
 kelelahan ekstrem atau kelemahan
 sesak napas
 batuk
Gejala lainnya dapat meliputi:
 nyeri tulang atau sendi
 pembengkakan perut, wajah, lengan, ketiak, sisi leher, atau selangkangan
 pembengkakan di atas tulang selangka
 kehilangan napsu makan atau penurunan berat badan
 sakit kepala, kejang, masalah keseimbangan, atau kelainan penglihatan
 ruam
 masalah gusi

 pemeriksaan penunjang :

 tes darah untuk mengukur jumlah sel-sel darah dan melihat penampakannya

 aspirasi dan biopsi sumsum tulang, biasanya diambil dari tulang panggul untuk
mengonfirmasi diagnosis leukemia

 untuk memeriksa penyebaran sel-sel leukemia dalam cairan yang memenuhi otak dan
sumsum tulang belakang

https://hellosehat.com/kanker/kanker-darah/leukemia-pada-anak/

Juvenile Diabetes

 etiologi :

Dalam keadaan normal, saat makan, tubuh akan memecah-mecah makanan yang
dikonsumsi menjadi glukosa dan diserap usus menjadi gula darah. Saat gula darah
meningkat, organ pankreas akan mengeluarkan insulin yang akan mengantarkan gula
darah tersebut ke dalam sel tubuh untuk diubah menjadi sumber energi. Pada diabetes
juvenile, urutan mekanisme tersebut tidak terjadi karena adanya gangguan sistem imun
yang menyebabkan pankreas rusak dan tidak mampu menghasilkan insulin. Karena tak
mampu menghasilkan insulin, maka gula akan menumpuk di dalam darah dan tidak dapat
masuk ke dalam sel. Hingga saat ini, penyebab diabetes juvenile belum diketahui dengan
jelas. Namun diduga faktor genetik mempengaruhi terjadinya diabetes pada anak-anak.
Penyakit ini tidak menurun dari orang tua ke anak.

 Manifestasi klinis :

Diabetes juvenile dapat terjadi secara perlahan maupun secara mendadak. Namun
biasanya pada tahap awal penyakit, diabetes juvenile tidak menunjukkan gejala apa pun
juga. Bila ada gejala yang muncul, dapat terjadi hal-hal sebagai berikut:Buang air kecil
lebih sering dari biasanya, bahkan harus terbangun beberapa kali di malam hari untuk
buang air kecil.Minum lebih banyak dari anak seusianya pada umumnya.Terlihat lemas
dan lebih cepat lelah.Berat badan turun, atau peningkatan berat badannya tak seperti yang
seharusnya. Pada anak perempuan, kadang gejala yang muncul berupa pubertas yang
terlambat, atau adanya keputihan di vagina akibat infeksi jamur.

 Pemeriksaan darah, berupa pemeriksaan gula darah puasa dan gula darah dua jam setelah
makan. Kadar gula darah yang tinggi akan memastikan adanya diabetes. Untuk
memastikan bahwa diabetes tersebut adalah diabetes juvenile, perlu dilakukan
pemeriksaan kadar C-peptida dari darah. Kadar C-peptida yang rendah memastikan
bahwa diabetes yang dialami merupakan diabetes juvenile (klikdokter, 2021).

Vijil, M., dan R. M. (2020). Biliary atresia: pathology, etiology and pathogenesis. Future Science
OA, 6(5). https://doi.org/https://dx.doi.org/10.2144%2Ffsoa-2019-0153 (Diakses pada 12
November 2021).

11. Wilms Tumor

 etiologi :

Penyebab tumor Wilms belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa faktor yang
dapat meningkatkan risiko seorang anak untuk mengalami kondisi ini, yaitu:

Faktor genetik. Jika seorang anggota keluarga memiliki riwayat tumor Wilms, maka
risiko seorang anak juga menderita tumor Wilms makin tinggi.

Kelainan bawaan (kongenital). Tumor Wilms berisiko tinggi dialami oleh bayi atau anak
yang memiliki kelainan bawaan sejak lahir, seperti:

Aniridia, yaitu kondisi ketika bagian mata yang berwarna (iris) hilang sebagian atau
seluruhnya.

Hipospadia, yaitu kondisi ketika lubang saluran kemih pada penis tidak berada posisi
yang seharusnya.

Kriptorkismus, yaitu kondisi ketika testis tidak turun ke dalam skrotum saat lahir.

Hemihypertrophy, yaitu kondisi ketika salah satu bagian tubuh lebih besar dibandingkan
bagian tubuh lainnya.

Memiliki penyakit tertentu. Beberapa jenis penyakit juga dapat membuat anak berisiko
mengalami tumor Wilms, meskipun penyakitnya juga jarang terjadi. Di antaranya:

Sindrom WAGR, gabungan dari gejala anirida, kelainan pada kelamin dan sistem kemih,
serta retardasi mental.
Sindrom Beckwith-Wiedemann, ditandai dengan berat bayi lahir di atas rata-rata (>4 kg)
dan pertumbuhan yang abnormal.

Sindrom Denys-Drash, meliputi gabungan penyakit ginjal dan kelainan pada testis
(Herndon, Jaime, MS, MPH, 2018).

 Manifestasi klinis :

Gejala utama tumor Wilms adalah nyeri dan pembengkakan pada perut. Namun, tumor
Wilms juga dapat menyebabkan gejala lain, seperti:

Demam

Rasa lelah dan lemas yang berlebihan

Nafsu makan menurun

Mual dan muntah

Konstipasi

Sesak napas

Peningkatan tekanan darah

Hematuria atau urine berdarah

Pertumbuhan tubuh yang tidak seimbang

(Stanford Children’s Health, 2018)

 Pemeriksaan Klinis

Tes darah dan urine, untuk memeriksa fungsi ginjal dan hati pasien, serta kondisi
kesehatan pasien secara keseluruhan.Tes pencitraan, untuk mendapatkan gambaran secara
lebih detail mengenai kondisi organ tubuh, terutama ginjal, serta mendeteksi penyebaran
sel tumor. Jenis tes pencitraan yang dapat dilakukan adalah USG perut, foto Rontgen, CT
scan, dan MRI.Biopsi, yaitu pengambilan sampel jaringan tumor untuk melalui proses
analisis dan evaluasi di laboratorium (Stanford Children’s Health, 2018).

Watson, S. (2017).WhatIsNephroticSyndrome?Healthline. https://www.healthline.com/health/nephrotic-


syndrome%0A (Diakses pada 12 November 2021).

Anda mungkin juga menyukai