Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN KEJANG DEMAM PADA ANAK

DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD AMBARAWA

NAMA :
NIM :

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2021-2022
LAPORAN PENDAHULUAN
KEJANG DEMAM

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 380 C) (Riyadi & sukarmin, 2009). Kejang demam
adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Biasanya
terjadi pada anak usia 6 bulansampai 5 tahun. Bila terjadi pada usia kurang dari
6bulan harus dipikirkan penyebab lain seperti infeksi susunan saraf pusat,
maupun epilepsi yang terjadi bersama demam (Pusponegoro dkk, 2006).
Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik dan sering
dijumpai pada anak-anak usia 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya
suatu awitan hyperthermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri/ virus
(Price & Wilson, 2012).

2. Etiologi
a. Disebabkan oleh suhu yang tinggi
b. Timbul pada permulaan penyakit infeksi (extra Cranial), yang disebabkan
oleh banyak macam agent :
1) Bakteriel:
a) Penyakit pada Tractus Respiratorius: pharingitis, tonsilitis, otitis
media, laryngitis, bronchitis, pneumonia.
b) Pada G. I. Tract: Dysenteri Baciller
c) Pada tractus Urogenitalis: Pyelitis, cystitis, pyelonephritis
2) Virus : terutama yang disertai exanthema: varicella, morbili, dengue,
exanthemasubitung.
3) Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
(Mansjoer, 2010)
3. Klasifikasi
Menurut Hasan, A, (2005), kejang demam di bagi menjadi dua
kelompok yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.

No Klinis KD sederhana KD kompleks


1 Durasi < 15 menit ≤ 15 menit
2 Tipe kejang Umum Umum/fokal
3 Berulang dalam satu episode 1 kali >1 kali
4 Defisit neurologis - ±
5 Riwayat keluarga kejang demam ± ±
6 Riwayat keluarga kejang tanpa demam ± ±
7 Abnormalitas neurologis sebelumnya ± ±

Sebagian besar (63%) kejang demam berupa kejang demam sederhana dan
35 % berupa kejang demam.

4. Manifestasi klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh
infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta,
bronkitis, furunklosis dan lain-lain.
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu
demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-
klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri.
Begitu kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak,
tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali
tanpa adanya kelainan saraf.
1. Kejang demam sederhana
Yaitu kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum. Adapun
pedoman untuk mendiagnosa kejang demam dapat diketahui melalui
criteria Livingstone, yaitu :
a. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun
b. Kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit
c. Kejang bersifat umum
d. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam
e. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
f. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu
normal tidak menunjukkan kelainan.
g. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Ciri–ciri kejang sederhana, yaitu :
a. Kejang berlangsung singkat < 15 menit
b. Kejang umum tonik / klonik
c. Umumnya berhenti sendiri
d. Tanpa gerakan fokal / berulang dalam 24 jam
2. Kejang kompleks
Kejang kompleks adalah tidak memenuhi salah satu dari lebih dari ketujuh
kriteria Livingstone. Menurut Mansyur (2000 : 434) biasanya dari kejang
kompleks ditandai dengan kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit,
fokal dan multiple (lebih dari 1 kali dalam 24 jam). Di sini anak
sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurologi atau riwayat kejang
dalam atau tanpa kejang dalam riwayat keluarga. Ciri–ciri kejang
kompleks
a. Kejang lama >15 menit
b. Kejang fokal/parsial 1 sisi atau kejang umum didahului kejang
parsial
c. Berulang/lebih dari 1 kali dalam 24 jam
(Berman, 2009)

5. Patofisiologi
Kenaikan suhu tubuh merupakan mekanisme dari tubuh ketika ada
toksin maupun mikroorganisme yang masuk kedalam tubuh. Kenaikan suhu
1’C saja akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan
kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Dalam keadaan normal membrane sel
neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh
ion natrium dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi
kalium dalam sel neuron tinggi sedangkan natrium rendah. Sementara di luar
sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Sehingga terjadi gangguan pada proses
konduksi ion pada neuron.
Kenaikan suhu dapat mengubah keseimbangan dari membrane sel
neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion
natrium melalui membrane tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Apabila terjadi pelepasan muatan listrik berlebih pada neuron maka ion
yang masuk pada jaringan otot pun juga tidak terkendali sehingga
menyebabkan otot berkontraksi tidak terkontrol atau kejang.
Perubahan–perubahan metabolic terjadi selama dan segera setelah
kejang. Sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolic meningkat secara
drastic, lepas muatan listrik sel–sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000mV per detik. Metabolisme otak menurun yang berakibat pada gangguan
transport oksigen serta pasien mengalami penurunan kesadaran atau penurunan
respon dari luar. Oleh karena pasien mengalami penurunan kesadaran, hal ini
perlu diwaspadai saat terjadinya kejang ialah otot-otot pada tubuh pasien
berkontraksi secara terus menerus lewat gerakan kejang, lama kelamaan tonus
otot pun dapat menurun termasuk otot lidah yang dapat mengakibatkan lidah
tertekuk menutupi jalan nafas yang berakibat untuk resiko terjadinya sumbatan
jalan nafas.
Kejang demam yang terjadi singkat pada umumnya tidak berbahaya
dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama
(lebih dari 15 menit ) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh metabolisme
anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu
tubuh makin meningkat yang disebabkan oleh makin meningkatnya aktivitas
otot, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.

(Price & Wilson, 2012)


6. Pathways

Kondisi patologis
Ekstracranial

Intoksikasi Gg. Metab

Toksik Menyebar Gg. Keseimbangan Elektrolit

Gg. Hemodinamik Gg. Konduksi Ion Pd Neuron

Kenaikan Suhu Tubuh Neuron Lebih Peka Thd Asetilkolin

Potensial Membran Sel


Mk: Hipertermi
Muatan Listrik Terlepas Berlebih

Menjalar Ke Jaringan Otot


Mll Neurrotransmitter

Otot Berkontraksi Tak Terkontrol


Kebutuhan Energi (Kejang)

Kebutuhan Metab
< 15 Menit Kontraksi Otot Scr Terusmenerus
Respirasi > 15 Menit
Tidak Meninggalkan Gejala Sisa
Kerja Pernafasan

Tonus Otot Kesadaran Metab.Otak


(Lidah, Mulut)
Transport O2 Terganggu
Pe Respon dr Luar
Mk:Resti Obs. Hipoksemia
Jalan Nafas
Mk: Resti Cidera
Mk: Gg. Perfusi
Mk: Pola Nafas Tidak Jaringan
Efektif

7. Komplikasi
a. Kerusakan otak. Terjadi karena terganggunya konduksi ion di neuron. Di
mana ketika ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang merusak sel neuron
secara irreversible
b. Retardasi mental. Dapat terjadi karena deficit neurologis pada demam
neonatus.
c. Epilepsy. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak yang terjadi hingga epilepsy.

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektro ensefalo gram (EEG) :dipakai untuk membantu menetapkan jenis
dan focus dari kejang.
b. Pemindaian CT: menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitive dari
biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) :menghasilkan bayangan dengan
menggunakan lapangan magnetic dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah–daerah otak yang tidak jelas terlihat bila
menggunakan pemindaian CT.
d. Pemindaian Positron Emission Tomography (PET) : untuk mengevaluasi
kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan
metabolic atau aliran darah dalam otak.
e. Uji laboratorium :
1) Pungsi lumbal: menganalisis cairan serebrovaskuler, berhubungan
dengan infeksi yang terjadi pada system saraf.
2) Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematokrit, untuk
memantau perdarahan intraventricular.
3) Skrining toksik dari serum dan urin
4) AGD, Kadar kalsium darah, Kadar natrium darah, Kadar magnesium
darah dilakukan bagi pasien yang memiliki riwayat kejang lama.

9. Penatalaksanaan
1. Tindakan mandiri Non-Farmakologi
a. Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasien.
b. Baringkan pasien di tempat yang rata.
c. Semua pakaian ketat dibuka.
d. Penghisapan lender bila perlu dan diberikan oksigen.
e. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung.
f. Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen,
bila perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi.
g. Berikan kompres untuk membantu menurunkan suhu tubuh.
h. Setelah pasien sadar, segera ukur dan catat suhu tubuhnya lalu berikan
air hangat.
2. Penatalaksanaan Farmakologi
- Beri diazepam iv pelan-pelan dengan dosis 0,3-0,5 mg/menit dengan
kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis
maksimal 20 mg. Obat yang praktis diberikan yaitu diazepam rectal
dengan dosis 0,5-0,75 mg/kg. Atau :
 Diazepam rectal 5 mg untuk anak dengan BB kurang dari 10 kg.
 Diazepam rectal 10 mg untuk BB lebih dari 10 mg.
 Diazepam rectal 5 mg untuk anak dibawah 3 tahun.
 Diazepam rectal 7,5 mg untuk anak diatas 3 tahun.
- Bila setelah pemberian diazepam rectal kejang belum berhenti, dapat
diulang dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rectal masih kejang,
dianjurkan ke RS, agar dapat diberikan diazepam intravena dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kg.
- Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara IV dengan
dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau
kurang 50 mg/menit. Bila kejang berhenti, dosis selanjutnya adalah 4-
8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.
- Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat
diruang rawat intensif.
Antipiretik
 Kejang demam terjadi akibat demam, maka tujuan utama pengobatan
adalah mencegah demam meningkat. Berikana setaminofen 10-15
mg/kg/hari setiap 4-6 jam atau ibuprofen 5-10 mg/kg/haritiap 4-6 jam.
Anti Kejang
 Berikan diazepam oral 0,3 mg/kg/haritiap 8 jam saat demam atau
diazepam rectal 0,5 mg/kg/hari setiap 12 jam bila demam diatas 38oc.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
1. Riwayat Penyakit
Demam ini (suhu rectal diatas 38’C) dilatarbelakangi adanya penyakit lain
yang terdapat pada luar cranial seperti tonsillitis, faringitis, dan
sebagainya. Sebelum serangan kejang pada pengkajian status kesehatan
biasanya anak tidak mengalami kelainan apa-apa. Anak masih menjalani
aktivitas sehari-hari seperti bermain dengan teman sebaya, pergi sekolah,
dan sebagainya.
2. Pengkajian Tumbuh Kembang Anak
Secara umum, kejang demam tidak mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan anak. Jika anak sering terjadi kejang (1 tahun lebih dari 4
kali) atau terdapat penyakit lain yang melatar belakangi timbulnya kejang
seperti tonsilitis, faringitis, dsb. Maka anak dapat mengalami :
a. Keterlambatan pertumbuhan, misal BB yang kurang karena ketidak
cukupan asupan nutrisi sebagai dampak anoreksia, TB kurang dari
umur semestinya sebagai akibat penurunan asupan mineral.
b. Gangguan perkembangan seperti penurunan kepercayaan diri akibat
sering kambuhnya penyakit sehingga anak lebih banyak diam diri
bersama ibunya kalau di sekolah, tidak mau berinteraksi dengan
temannya.
c. Gangguan perkembangan lain seperti penurunan kemampuan motorik
kasar seperti berlari, meloncat, dsb.
3. Pemeriksaan Fisik :
a. Tanda – tanda vital
1) Suhu
2) Pernapasan
3) Denyut jantung
4) Tekanan darah
5) Tekanan nadi
b. Hasil pemeriksaan kepala
1) Fontanel : menonjol, rata, cekung
2) Lingkar kepala : di bawah 2 tahun
3) BentukUmum
c. Reaksi pupil
1) Ukuran
2) Reaksi terhadap cahaya
3) Kesamaan respon
d. Tingkat kesadaran
1) Kewaspadaan : respon terhadap panggilan
2) Iritabilitas
3) Letargi dan rasa mengantuk
4) Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain
e. Afek
1) Alam perasaan
2) Labilitas
f. Aktivitas kejang
1) Jenis
2) Lamanya
g. Fungsi sensoris
1) Reaksi terhadap nyeri
2) Reaksi terhadap suhu
h. Refleks
1) Refleks tendo superfisial
2) Reflek patologi
i. Kemampuan intelektual
1) Kemampuan menulis dan menggambar
2) Kemampuan membaca
2. Diasgnosa Keperawatan
1. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan peningkatan kerja
pernafasan.
2. Resiko tinggi obstruksi jalan nafas b.d penutupan faring oleh lidah, spasme
otot bronkus.
3. Perfusi jaringan tidak efektif b.d penurunan volume oksigen darah dalam
jaringan.
4. Hipertermi b.d proses infeksi.
5. Resiko tinggi cedera (jatuh, terkena benda tajam) b.d penurunan respon
terhadap lingkungan.

3. Rencana Keperawatan
1. Diagnosa 1
Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan peningkatan kerja
pernafasan.
Pembahasan :
Masalah ini muncul karena pada saat kejang terjadi gerakan yang tidak
terkontrol yang membutuhkan energi, sehingga kebutuhan metabolisme
meningkat, sehingga memacu aliran darah dan oksigen yang lebih banyak
pada jaringan tersebut sehingga terjadi peningkatan kerja pernapasan
ditandai dengan penggunaan otot bantu nafas ataupun nafas tersengal–
sengal.
Tujuan :
Klien (anak) dapat mempertahankan pernafasan yang efektif dengan jalan
nafas paten setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria hasil :
Klien mempunyai kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal

Intervensi :
a. Anjurkan klien untuk mengkosongkan mulut dari benda untuk
menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala
awal.
Rasional : menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing
ke faring.
b. Letakkan klien pada posisi miring, permukaan diatas, miringkan kepala
selama kejang.
Rasional : meningkatkan aliran (drainse) secret, mencegah lidah jatuh dan
menyumbat jalan nafas.
c. Tangggalkan pakaian pada daerah leher/dada dan abdomen.
Rasional : untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada.
Intervensi kolaborasi :
a. Berikan tambahan oksigen/ventilasi manual sesuai kebutuhan pada fase
postical.
Rasional : dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirculasi
yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vascular selama
serangan kejang.
2. Diagnosa 2
Resiko tinggi obstruksi jalan nafas b.d penutupan faring oleh lidah, spasme
otot bronkus.
Pembahasan :
Masalah ini muncul karena pada saat kejang berlangsung lama dan terus
menerus, lama kelamaan tonus otot pun dapat menurun termasuk otot lidah
yang dapat mengakibatkan lidah tertekuk menutupi jalan nafas yang berakibat
untuk resiko terjadinya sumbatan jalan nafas.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi obstruksi jalan nafas.
Kriteria Hasil :
- Frekuensi nafas turun
- Irama nafas regular
- Tidak terlihat terengah-engah
Intervensi :
a. Monitor jalan nafas, frekuensi nafas, irama nafas, tiap 15 menit pada saat
penurunan kesadaran.
Rasional : frekuensi pernafasan yang meningkat tinggi dengan irama
cepat sebagai salah satu indikasi sumbatan jalan nafas oleh benda asing,
misal: lidah.
b. Posisikan klien pada posisi semifowler dengan kepala hiperekstensi.
Rasional : posisi semifowler akan menurunkan tahanan tekanan
abdominal terhadap paru-paru. Hiperektensi membuat jalan nafas dalam
posisi lurus bebas dari hambatan.
c. Bebaskan klien dari pakaian ketat.
Rasionalisasi : mengurangi tekanan terhadap rongga thoraks sehingga
tidak terjadi keterbatasan pengembangan paru.
Kolaborasi :
a. Pemberian anti kejang. Misal: diazepam rata-rata 0,3 mg/kgBB/x
pemberian.
Rasional : diazepam, bekerja menurunkan fase depolarisasi yang cepat di
SSP sehingga dapat terjadi penurunan spasme pada otot dan saraf perifer.
3. Diagnosa 3
Perfusi jaringan tidak efektif b.d penurunan volume oksigen darah dalam
jaringan.
Pembahasan :
Masalah ini muncul karena pada saat kejang, terjadi peningkatan aliran darah
ke otak untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.
Tujuan :
a. Klien dapat mempertahankan aliran darah satu arah, dan pada tekanan
yang sesuai melalui pembuluh darah besar dari sirkulasi pulmonal dan
sistemik.
b. Klien dapat menerima, memproses, dan merespon stimulus internal serta
eksternal yang dilakukan oleh system saraf perifer dan pusat.
Kriteria hasil :
a. Klien terbebas dari aktivitas kejang.
b. Klien menunjukkan status sirkulasi, ditandai dengan indicator berikut :
- TD sistolik dan diastolic dalam rentang yang diharapkan
- Tidak ada hipotensi orthostatic
Intervensi :
a. Kaji tingkat pengisian kapiler perifer.
Rasional :kapiler kecil mempunyai volume darah yang relative kecil dan
cukup sensitive sebagai tanda terhadap penurunan oksigen darah.
b. Hindarkan klien dari rangsangan berlebihan baik suara, mekanik, maupun
cahaya.
Rasional :rangsangan akan meningkatkan fase eksitasi persarafan yang
dapat menaikkan kebutuhan oksigen jaringan.
c. Tempatkan klien pada ruangan dengan sirculasi yang baik
Rasional : meningkatkna jumlah udara yang masuk dan mencegah
hipoksemia.
Kolaborasi :
a. Pemberian Oksigen dengan memakai masker atau bicanul dengan dosis
rata-rata 3l/menit.
Rasional : oksigen tabung mempunyai tekanan lebih tinggi dari oksigen
lingkungan sehingga mudah msuk ke paru-paru.
Pemberian dengan masker karena mempunyai presentase sekitar 35%
yang dapat masuk ke dalam saluran pernafasan.
4. Diagnosa 4
Hipertermi b.d proses infeksi.
Pembahasan :
Masalah ini muncul karena adanya proses infeksi, di mana kenaikan suhu
tubuh merupakan mekanisme tubuh ketika ada toksik maupun
mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan hipertermi dapat teratasi.
Kriteria Hasil :
a. Suhu tubuh klien dalam rentang normal (36,5’C - 37,5’C).
b. Meminimalkan terjadinya kejang demam.
Intervensi :
a. Pantau suhu tubuh klien tiap setengah jam.
Rasionalisasi : agar tidak terjadi hipertermi lebih lanjut.
b. Beri pakaian anak yang tipis.
Rasionalisasi : mengurangi tekanan sehingga tidak terjadi keterbatasan
pengembangan paru.
c. Kompres dengan air hangat.
Rasionalisasi : untuk mengurangi suhu tubuh.
Kolaborasi :
a. Pemberian antipiretik, antibiotic.
5. Diagnosa 5
Resiko tinggi cedera (jatuh, terkena benda tajam) b.d penurunan respon
terhadap lingkungan.
Masalah keperawatan ini muncul karena pada saat kejang klien mengalami
gerakan yang abnormal involunter seperti menggigit lidah, jari dan rahang
tertutup, ataupun jatuh.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dapat meminimalkan faktor
resiko.
Kriteria hasil :
a. Klien dapat mengidentifikasi resiko yang meningkatkan kerentanan
terhadap cedera.
b. Klien dapat menghindari cedera fisik.
Intervensi :
a. Selama kejang : berikan privasi dan perlindungan pada klien dari orang
lain yang ingin tahu.
Rasional : adanya privasi yang optimal dapat menurunkan sensasi aura
(penanda ancaman kejang) yang memerrlukan waktu untuk mencari
tempat yang aman dan pribadi.
b. Letakkan dan amankan klien ke lantai, bila memungkinkan.
Rasional : menghindari risiko cedera musculoskeletal akibat
kecenderungan klien untuk jatuh dari tempat tidur
c. Lindungi kepala dengan bantal.
Rasional : mencegah cedera akibat benturan kepala ke lantai
d. Lepaskan pakaian klien yang ketat.
Rasional : melindungi klien dari fiksasi abdomen yang ketat.
e. Singkirkan perabot terdekat yang berbahaya.
Rasional : menghindarkan resiko cedera yang berlebihan dan tidak perlu
terjadi.
f. Jika klien ditempat tidur, singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat
tidur.
Rasional : mengurangi risiko jatuh.
g. Jika aura terdeteksi sebelum kejang, pasang spatel lidah
Rasional : menghindari trauma gigitan pada lidah pada saat terjadi
kejang.

DAFTAR PUSTAKA
Berman, Audrey. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Edisi Kelima. Jakarta:
EGC: Penerbit Buku Kedokteran.
Corwin, Elizabeth.2009.Buku Saku Patofisiologi.Jakarta:EGC
Hasan R, Alatas H. 2007. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FK UI; 2007
Hidayat, A. Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika
Mansjoer, A. (2010). Kapita selekta kedokteran. Jakarta: EGC.
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC; 2012.
Soegijanto, Soegung. 2002. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan ed. 1.
Jakarta : Salemba Medika
Wilkinson, Judith M.2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi Nic
dan Kriteria Hasil Noc.Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai