Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUA

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang

baik (good governance), maka diperlukan peran aparat pengawasan intern

pemerintah yang berfungsi untuk memberikan keyakinan yang memadai terhadap

ketaatan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan dan fungsi instansi

pemerintah, serta berfungsi untuk memberikan peringatan apabila diketahui

adanya kejanggalan-kejanggalan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah.

Menurut Mardiasmo (2005), terdapat tiga aspek utama yang

mendukung terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance), yaitu

pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan. Untuk melakukan pengawasan

(audit) tentang pengelolaan keuangan negara, Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia (DPR RI) membentuk lembaga pengawasan yaitu Badan

Pengawas Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). BPK adalah lembaga tinggi

negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang

memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Menurut UUD NRI 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan

mandiri. Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan

Dewan Perwakilan Daerah DPD), dan diresmikan oleh Presiden. Hasil

pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD (sesuai

dengan kewenangannya). BPK mempunyai 9 orang anggota, dengan susunan 1

orang Ketua merangkap anggota, 1 orang Wakil Ketua merangkap anggota, serta

1
2

7 orang anggota. Anggota BPK memegang jabatan selama 5 tahun, dan

sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

BPK-RI diamanatkan UU No. 15/ 2004 tentang Pemeriksaan

Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan

Pemeriksa Keuangan untuk melakukan audit atas Laporan Keuangan Pemerintah

Daerah (LKPD). Pemeriksaan oleh BPK-RI tidak hanya menghasilkan opini atas

laporan keuangan dan laporan keuangan yang diaudit tetapi juga memberikan

catatan hasil temuan. Temuan tersebut menjelaskan kelemahan pengendalian

internal dan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Hasil audit

juga memberikan informasi potensi kerugian negara yang ditemukan dalam

proses audit akibat dari penyalahgunaan dan inefisiensi penggunaan

APBN/APBD. Beberapa hasil audit BPK-RI tersebut akan ditindak lanjuti

menjadi audit investigasi, kasus korupsi dan kasus pidana.

Kemampuan auditor dalam mendeteksi kesalahan pada laporan

keuangan dan melaporkannya pada pengguna laporan keuangan adalah definisi

kualitas audit oleh De Angelo (1981). Peluang mendeteksi kesalahan tergantung

pada kompetensi auditor, sedangkan keberanian auditor melaporkan adanya

kesalahan pada laporan keuangan tergantung pada independensi auditor.

Kompetensi diukur dari kemampuan auditor, misalnya tingkat pengalaman,

spesialisasi auditor, jam audit, dan lain-lain; sedangkan independensi diukur dari

sejauh mana auditor dapat bersikap independen dalam melakukan proses audit

dan memberikan opini (Fitriany, 2010). Menurut peraturan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemenpan) (2008) tersebut kualitas auditor

dipengaruhi oleh keahlian, independensi dan kepatuhan pada kode etik.


Hasil pemeriksaan audit berupa temuan audit oleh BPK-RI

menunjukkan kemampuan auditor dalam mendeteksi kesalahan yang terdapat

dalam laporan keuangan yang menunjukkan semakin bagusnya kualitas audit.

Kompetensi dan Independensi juga sudah disyaratkan dalam Standar

Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang merupakan patokan bagi pemeriksa

dalam melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban

keuangan negara. Selanjutnya Kemenpan menambahkan kepatuhan terhadap

kode etik sebagai wujud kualitas auditor.

Penelitian ini dilakukan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI)

Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penulis memilih obyek penelitian

tersebut karena berdasarkan temuan audit BPK RI Perwakilan Daerah Istimewa

Yogyakarta telah menemukan adanya indikasi penyimpangan yang berpotensi

merugikan negara di wilayah Pemerintah Kota Yogyakarta dan Pemerintah

Kabupaten Bantul. Temuan BPK atas kasus penyimpangan uang negara yang

terjadi di kedua wilayah tersebut, mengindikasikan bahwa kualitas pemeriksaan

yang dilakukan Inspektorat Pemerintah Kota Yogyakarta dan Inspektorat

Pemerintah Kabupaten Bantul yang seharusnya dapat mendeteksi dan mencegah

terjadinya penyimpangan pengelolaan keuangan Negara menjadi dipertanyakan.

De Angelo sebagaimana dikutip oleh Mulyadi (2002), bahwa

kualitas auditor adalah probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan

melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi

auditeenya. Dalam penelitiannya, Watkins dkk. (2004) telah mengidentifikasi

empat buah definisi kualitas audit dari beberapa ahli, yaitu sebagai berikut:
a. Kualitas audit adalah probabilitas nilaian-pasar bahwa laporan keuangan

mengandung kekeliruan material dan auditor akan menemukan dan

melaporkan kekeliruan material tersebut.

b. Kualitas audit merupakan probabilitas bahwa auditor tidak akan melaporkan

laporan audit dengan opini wajar tanpa pengecualian untuk laporan keuangan

yang mengandung kekeliruan material.

c. Kualitas audit diukur dari akurasi informasi yang dilaporkan oleh auditor.

d. Kualitas audit ditentukan dari kemampuan audit untuk mengurangi noise dan

bias dan meningkatkan kemurnian pada data akuntansi.

Kualitas Auditor mempunyai arti yang berbeda-beda bagi setiap

orang. Para pengguna laporan keuangan berpendapat bahwa kualitas auditor yang

dimaksud terjadi jika auditor dapat memberikan jaminan bahwa tidak ada salah

saji yang material (no material misstatements) atau kecurangan (fraud) dalam

laporan keuangan audit.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan DIY tahun 2014

memberikan sejumlah catatan terkait manajemen pencatatan aset milik Pemkot

Jogja. Dari hasil pemeriksaan BPK ditentukan adanya aset yang tidak jelas

keberadaannya sebesar Rp.3,6 miliar. Pencatatan aset menjadi bagian dari

penilaian opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK) RI juga mempersoalkan penempatan dana deposito pemerintah di PD

BPR Bank Jogja, BPK menilai berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP)

No.39/2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah, penempatan deposito

Pemkot di PD BPR Bank Jogja dinilai menyalahi aturan.


Untuk Pemerintah Kabupaten Bantul, Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK) RI Perwakilan DIY tahun 2014 mempersoalkan dana hibah pertanian

terkait dengan hibah cukai tembakau virginia dan hibah Persiba yang melibatkan

mantan bupati Bantul Idham Samawi. Kasus hibah cukai tembakau virginia yang

diduga merugikan negara sebesar Rp.420 juta tersebut berkaitan dengan adanya

ketidaksesuaian penggunaan dana hibah. Dana hibah yang sedianya untuk

intensifikasi tembakau virginia justru digunakan untuk membayar angsuran

hutang kelompok usaha bersama (KUB) tani tembakau kepada Bank.

Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY Juli 2014, menetapkan mantan

Bupati Bantul, Idham Samawi dan mantan Kepala Kantor Pemuda dan Olahraga

Bantul, Edi Bowo Nurcahyo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah

Persiba Bantul sebesar Rp.12,5 miliar. Idham Samawi selain pernah menjadi

Kepala Daerah Bumi Projotamansari selama dua periode, juga menjabat sebagai

Ketua Umum Persiba dan Ketua KONI Bantul.

Penetapan dua tersangka ini hasil dari penyelidikan yang dilakukan

sejak awal 2013. Hasil gelar perkara menyimpulkan adanya proses pencairan

dana hibah yang tidak sesuai ketentuan dan penggunaan dana di luar

peruntukannya.. Saat itu, Persiba memperoleh bantuan dana hibah dari APBD

dan APBD Perubahan masing-masing Rp.8 miliar dan Rp.4,5 miliar. Namun

dana hibah yang seharusnya untuk biaya mengikuti kompetisi Divisi Utama PSSI

2011-2012 ini justru digunakan di luar peruntukannya. Di antaranya, membayar

utang biaya kompetisi, bayar katering dan mark up biaya kegiatan yang ternyata

sudah ada pos dananya. Dalam kasus ini BPK meyakini adanya pelanggaran dan
timbulnya potensi kerugian keuangan negara.

Dalam pelaksanaan proses audit di dalam instansi Pemerintah

berpedoman pada standar audit sektorpublik yang secara garis besar mengacu

pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dan berlaku diseluruh wilayah

Indonesia. Standar umum kedua (SA Seksi 220 SPAP, 2011) menyebutkan bahwa

“Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap

mental harus dipertahankan oleh auditor”. Standar ini mengharuskan bahwa

auditor harus bersikap independen (tidak mudah dipengaruhi), karena ia

melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum.

Selain independensi, persyaratan-persyaratan lain yang harus

dimiliki oleh seorang auditor seperti dinyatakan dalam Pernyataan Standar

Auditing (SA Seksi 230S PAP, 2011) adalah keahlian. Seringkali definisi

keahlian dalam bidang auditing diukur dengan pengalaman (Mayangsari,2003).

Menurut Djaddang dan Agung (2002) dalam Rahmawati dan Winarna (2002),

auditor ketika mengaudit harus memiliki keahlian yang meliputi dua unsur yaitu

pengetahuan dan pengalaman. Pengalaman kerja dipandang sebagai suatu faktor

penting dalam memprediksi kinerja akuntan publik,dalam hal ini adalah kualitas

auditnya.

Benhard (1986) dalam Lastanti (2005: 88) mendefinisikan keahlian

merupakan pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang dimiliki oleh

auditor yang ditunjukkan dalam pengalaman bekerja sebagai auditor. Sementara

Jaafar dan Sumiyati (2005) dalam Tambunan (2010), mendefinisikan keahlian

audit merupakan keahlian yang berhubungan dalam tugas pemeriksaan serta


penguasaan masalah yang dapat diperiksanya ataupun pengetahuan yang dimiliki

sebagai dasar untuk menunjang tugas audit.

Djuni Farhan (2009:11) seorang auditor dalam melaksanakan tugas

profesinya, dibatasi oleh seperangkat aturan dan standar, berupa kode etik.

Standar moral dan etika tersebut tidak hanya mengatur bagaimana ia bertindak,

bersikap dan mentaati standar/norma, dengan parameter atau ukuran etika

profesi, dan secara moral dibenarkan. Menjunjung tinggi aturan etika profesi

dalam menjalankan tugas pemeriksaan sebagai auditor, juga merupakan salah

satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas audit. Di dalam profesi akuntan

publik, nilai-nilai atau norma-norma yang dijadikan sebagai pedoman dalam

tugas profesionalnya telah ditetapkan dan diatur oleh pemerintah dalam kode etik

profesi akuntan.

Menurut Murwanto, et al., (2008: 93) kode etik adalah seperangkat

nilai, norma, atau kaidah yang digunakan untuk mengatur perilaku moral dari

suatu profesi, melalui ketentuan-ketentuan yang bersifat tertulis serta harus

dipenuhi dan ditaati bagi setiap anggota profesi didalamnya. Melihat kode etik

dipandang sebagai wujud dari komitmen moral organisasi, kode etik wajib

berisikan aturan dari suatu hal yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh

anggota profesi, bagaimana suatu kondisi yang harus didahulukan dan mengenai

apa yang dikorbankan oleh profesi ketika dalam menghadapi situasi dalam suatu

konflik atau dilematis, cita-cita luhur profesi, tujuan dari profesi, serta berisikan

sanksi yang akan diberikan kepada bagian anggota profesi yang melanggarnya.
Dalam kode etik profesi akuntan diatur berbagai masalah, baik

masalah dalam prinsip yang harus melekat pada diri auditor, maupun standar-

standar teknis pemeriksaan yang telah ditetapkan yang harus dijalani oleh auditor

dalam tugas pemeriksaan. Hasil penelitian mengenai etika yang dilakukan oleh

Najib (2013) membuktikan bahwa etika memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap kualitas audit. Ini membuktikan bahwa dengan menjunjung tinggi

aturan etika profesi yang telah ditetapkan dapat memberikan pengaruh yang kuat

terhadap kualitas audit. Dalam hal ini, dengan memegang teguh aturan etika

profesi yang berlaku sebagai seorang auditor hal tersebut memiliki peran yang

cukup penting dalam meningkatkan kualitas audit yang dihasilkan.

Menurut Porter dkk (2003) berdasarkan konsep auditing, kualitas

audit berhubungan dengan independensi, kompetensi dan kode etik auditor.

Independensi dan kompetensi menjadi faktor penting yang harus dimiliki seorang

auditor dalam rangka pelaksanan tugas audit. Arens dan Loebecke (1996)

menyatakan Auditing adalah proses yang ditempuh oleh seseorang yang

kompeten dan independen agar dapat menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti

mengenai informasi yang terukur dari suatu entitas (satuan) usaha untuk

mempertimbangkan dan melaporkan tingkat kesesuaian dari informasi yang

terukur tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Dalam proses pelaksanaan audit, antara auditor dan auditee saling

mempunyai ketergantungan. Auditor bekerja keras membuktikan proses kegiatan

atau sistem kerja auditee sudah sesuai dengan standar yang berlaku. Pada sisi

yang lain, auditee berkepentingan ingin mengetahui hasil kerjanya apakah sudah
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Inilah yang disebut audit sebagai

proses check and balance.

Adanya persepsi yang berbeda antara auditor dengan auditee terkait

proses auditor seringkali memunculkan expectation gap diantara keduanya.

Pengertian expectiton gap (kesenjangan harapan) sangat bervariasi antar peneliti,

Shaikh dan Talha (2003) menyatakan bahwa kesenjangan harapan audit adalah

perbedaan antara apa yang dipercayai oleh publik dan pemakai jasa audit tentang

tanggung jawab auditor, dengan apa yang dipercayai auditor tentang tanggung

jawab dalam pekerjaannya.

Saha dan Baruah (2008:67) menyatakan bahwa “kepercayaan

pengguna biasanya tergantung pada dua faktor yaitu, pemahaman yang tepat

tentang kebutuhan pengguna dan yang paling penting adalah kemampuan profesi

akuntansi untuk mengadopsi teknik audit yang memuaskan untuk memenuhi

kebutuhan tersebut”. Dalam lingkungan yang berubah, bagaimanapun, harapan

para pengguna tidak bisa menjadi statis. Mereka sangat dinamis dan terus

berubah. Dengan perubahan ekspektasi, respon dari profesi akuntansi juga

berubah tetapi tidak pada kecepatan yang sama. Jadi, selalu ada kesenjangan

antara harapan perubahan dari pengguna dan respon oleh profesi dan dinyatakan

sebagai kesenjangan harapan atau audit expectation gap. Konsep audit

expectation gap ini menunjukkan bahwa non-auditor akan mengharapkan auditor

bertindak dengan cara yang berbeda dari apa yang auditor sendiri lakukan.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis

memandang perlu untuk melakukan penelitian tentang Expectation Gap atau


perbedaan persepsi antara Auditor BPK dengan Auditee. Dengan latar belakang

tersebut, penelitian ini mengambil judul ”Expectation Gap Antara Auditor

BPK Dengan Auditee Terhadap Independensi, Keahlian, Etika dan

Kualitas Auditor” (Studi Kasus Pada BPK RI Perwakilan Daerah Istimewa

Yogyakarta).

1.2. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian dan latar belakang masalah diatas, masalah yang

ingin diteliti adalah :

1. Apakah ada Expectation Gap antara Auditor BPK dengan Auditee terhadap

independensi Auditor di lingkungan Perwakilan BPK RI Daerah Istimewa

Yogyakarta?

2. Apakah ada Expectation Gap antara Auditor BPK dengan Auditee terhadap

Keahlian Auditor di lingkungan Perwakilan BPK RI Daerah Istimewa

Yogyakarta?

3. Apakah ada Expectation Gap antara Auditor BPK dengan Auditee terhadap

Etika Auditor di lingkungan Perwakilan BPK RI Daerah Istimewa

Yogyakarta?

4. Apakah ada Expectation Gap antara Auditor BPK dengan Auditee terhadap

Kualitas Auditor di lingkungan Perwakilan BPK RI Daerah Istimewa

Yogyakarta?
1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis ada Expectation Gap antara Auditor BPK dengan Auditee

terhadap independensi Auditor di lingkungan Perwakilan BPK RI Daerah

Istimewa Yogyakarta.

2. Menganalisis ada Expectation Gap antara Auditor BPK dengan Auditee

terhadap Keahlian Auditor di lingkungan Perwakilan BPK RI Daerah

Istimewa Yogyakarta.

3. Menganalisis ada Expectation Gap antara Auditor BPK dengan Auditee

terhadap Etika Auditor di lingkungan Perwakilan BPK RI Daerah Istimewa

Yogyakarta.

4. Menganalisis ada Expectation Gap antara Auditor BPK dengan Auditee

terhadap Kualitas Auditor di lingkungan Perwakilan BPK RI Daerah

Istimewa Yogyakarta.

1.4. Motivasi Penelitian

Motivasi yang mendasari penulis dalam melakukan penelitian ini

adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran secara ilmiah mengenai

Expectation Gap antara Auditor BPK dengan Auditee terhadap independensi,

Keahlian, Etika dan Kualitas Auditor di BPK RI Perwakilan Daerah Istimewa

Yogyakarta.
1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan

manfaat praktis bagi pihak-pihak sebagai berikut :

1. Bagi Kalangan Akademisi

Penelitian ini dapat menjadi tambahan masukan bagi peneliti lain yang ingin

melakukan penelitian dibidang auditing, khususnya berkaitan dengan

Expectation Gap antara Auditor BPK dengan Auditee terhadap independensi,

Keahlian, Etika dan Kualitas Auditor.

2. Bagi Regulator

Penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah pusat dan

pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan audit pemeriksaan keuangan

negara di masa yang akan datang.

3. Bagi Instansi BPK

Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi BPK RI Perwakilan Daerah

Istimewa Yogyakarta tentang Expectation Gap antara Auditor BPK dengan

Auditee terhadap independensi, Keahlian, Etika dan Kualitas Auditor.

1.6. Sistematika Penelitian

Sistematika penulisan dalam penelitian ini disajikan dalam 5 (lima)

bab sebagai berikut:


BAB 1. PENDAHULUAN.

Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan permasalahan, pertanyaan

penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, manfaat penelitian,

proses penelitian dan sistematika penulisan.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.

Bab ini berisi landasan teoritis sebagai kerangka berfikir untuk

melaksanakan investigasi dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang

relevan dengan permasalahan.

BAB 3. METODE PENELITIAN.

Bab ini berisi tentang langkah-langkah penelitian yang dilakukan. Mulai

dari rasionalitas penelitian, jenis penelitian, teknik pemilihan objek

penelitian/sampel/responden, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan

data serta metode analisis data.

BAB 4. HASIL DAN ANALISIS.

Bab ini berisi tentang hasil-hasil yang ditemukan saat penelitian. Hasil

tersebut kemudian dianalisis sesuai alat analisis yang telah ditentukan.

Kemudian tahap selanjutnya adalah menginterpretasi data agar data

mempunyai makna.

BAB 5. PENUTUP.

Bab ini berisi ringkasan penelitian, simpulan, keterbatasan penelitian, dan

rekomendasi yang merupakan aksi praktikan (secara organisasional dan

manajerial) yang sebagai bentuk tidak lanjut dari hasil penelitian.

Anda mungkin juga menyukai