Anda di halaman 1dari 31

MASA KODIFIKASI AL-QUR'AN

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ulumul

Al-Qur’an Program Studi Hukum Tata Negara Siyasah

Fakultas Syariah & HI Semester

Oleh

Syahrul
NIM : 01184034

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE
2021
KATA PENGANTAR


Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt.
yang telah memberikan Rahmat-Nya, sehingga kami mampu menyelesaikan
penyusunan Makalah ini. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi
MuhammadSaw. yang senantiasa membawa kita kepada jalan keridhaan dan
maghfirah Allah Swt.

Tentunya dalam penyusunan ini, tak luput adanya kekurangan dan kelemahan
dari segala sisinya.Oleh karena itu, dengan hati terbuka, kami menerima saran dan
kritik dari pembaca sekalian, yang tentunya bisa menyempurnakan penyusunan
Makalah ini.

Rasa terima kasih yang terdalam kami hanturkan kepada semua pihak yang
telah ikut serta membantuu penyusunan Makalah ini.Terlebih ucapan terima kasih itu
kami sampaikan kepada dosen pembimbing.

Akhirnya, dapatlah kami menadahkan tangan kehadirat Allah Swt. seraya berdoa dan

bermunajat, semoga Makalah ini dapat bermanfaat, khususnya pada bidang pelajaran

“Kuliah Ulumul Al-Qur’an “.

Watampone, 10 Desember 2021

Penyusun,

(Syahrul)

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kodifikasi Al-Qur'an 3

B. Sejarah Kodifikasi Al-Qur'an 4

C. Pelopor Kodifikasi Al-Qur'an 10

D. Tujuan Kodifikasi Al-Qur'an 12

E. Hikmah Kodifikasi Al-Qur'an 14

F. Mushaf Al-Qur'an 15

BAB III PENUTUP

A. Simpulan 25

B. Saran 26

DAFTAR RUJUKAN 27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an sebagaimana yang dimiliki umat Islam sekarang ternyata

mengalami proses sejarah yang cukup panjang dan upaya penulisan dan pembukuan

(kodifikasi). Pada zaman Nabi Muhammad SAW, Al-Qur’an belum dibukukan ke

dalam satu mushaf. Tetapi masih terpisah-pisah penulisannya .Al-Qur’an baru ditulis

dalam menggunakan kepingan-kepingan tulang, pelapah-pelapah kurma, lempengan

batu-batu dan lain-lain, yang sesuai dengan kondisi peradaban masyarakat waktu itu

yang belum mengenal adanya alat-alat tulis menulis, seperti kertas dan pensil.

Pada hakikatnya Allah menjamin kemurnian dan kesucian Al-Qur’an, selamat

dari usaha-usaha pemalsuan, penambahan atau pengurangan-pengurangan

sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Hijr:9 dan juga dalam

surat Al-Qiyamah: 17-19. Dalam catatan sejarah dapat dibuktikan bahwa proses

kodifikasi dan penulisan Al-Qur’an dapat menjamin kesuciannya secara meyakinkan.

Al-Qur’an ditulis sejak Nabi masih hidup.Begitu wahyu turun kepada Nabi, Nabi

langsung memerintahkan para sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara

hati-hati.Begitu mereka tulis, kemudian mereka hafalkan sekaligus mereka amalkan.

Usaha pengumpulan dan kodifikasi Al-Qur’an telah dimulai sejak masa

Rasulullah saw. Secara resmi kodifikasi Al-Qur’an dimulai pada masa khalifah Abu

Bakar bin Khattab. Pada masa khalifah Utsman, Al-Qur”an kemudian diseragamkan

tulisan dan bacaannya demi menghindari beberapa hal. Mushaf yang diseragamkan

inilah yang kemudian dikenal dengan mushaf Utsmani. Mushaf Utsmani kemudian

1
2

diberi harakat dan tanda baca pada masa Ali bin Abi Thalib. Ada beberapa perbedaan

tentang urutan ayat maupun surah seperti yang dicantumkan dalam mushaf Utsmani,

hal ini dikarenakan perbedaan pendapat para penghapal Al-Qur’an dan karena

turunnya Al-Qur’an memang tidak berurutan seperti yang terdapat dalam mushaf

Utsmani.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis merumuskan beberapa

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Pengertian Kodifikasi Al-Qur'an?

2. Bagaimana Sejarah Kodifikasi Al-Qur'an?

3. Bagaimana Pelopor Kodifikasi Al-Qur'an?

4. Bagaimana Tujuan Kodifikasi Al-Qur'an?

5. Bagaimana Tantangan dalam Kodifikasi Al-Qur'an?

6. Bagaimana Hikmah Kodifikasi Al-Qur'an?

7. Bagaimana Mushaf Al-Qur'an?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis merumuskan beberapa Tujuan

Penulisan sebagai berikut :

1. Untuk Mengetahui Pengertian Kodifikasi Al-Qur'an.

2. Untuk Mengetahui Sejarah Kodifikasi Al-Qur'an.

3. Untuk Mengetahui Pelopor Kodifikasi Al-Qur'an.

4. Untuk Mengetahui Tujuan Kodifikasi Al-Qur'an.

5. Untuk Mengetahui Tantangan dalam Kodifikasi Al-Qur'an.

6. Untuk Mengetahui Hikmah Kodifikasi Al-Qur'an.


3

7. Untuk Mengetahui Mushaf Al-Qur'an.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kodifiksi Al-Qur’an

Yang dimaksud dengan pengumpulan Qur’an (jam’ul Qur’an) oleh para ulama

adalah dalam firman salah satu dari dua pengertian berikut:

1. Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul Qur’an

artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di

dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-

Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca

Al Qur’an ketika Al Qur’an itu turun kepadanya sebelum jibril selesai

membacakannya, karena ingin menghafalnya.


‫ فَا ِء َذا‬,ُ‫ إِ َّن َعلَيْنا َ َج ْم َعهُ َوقُرْ انَه‬,‫ْج َل بِ ِه‬ َ َ ‫رِّك بِ ِه لِسا‬
َ ‫نك لِتَع‬ ْ ‫الَتُ َح‬
‫ ثُ َّم إِ َّن َعلَيْنا َ بَياَن‬,ُ‫قَ َر ْأنَاهُ فَاتَّبِ ْع قُرْ انَه‬.
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al Qur’an karena

hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah

mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.

Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.

Kemudian, atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (al-Qiyamah [75]:16-19).

Ibn Abbas mengatakan: “Rasulullah sangat ingin segera menguasai Al

Qur’an yang diturunkan. Ia menggerakkan lidah dan kedua bibirnya karena

takut apa yang turun itu akan terlewatkan. Ia ingin segera menghafalnya. Maka

Allah menurunkan: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al


5

Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas

tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya; maksudnya,

‘Kami yang mengumpulkannya di dadamu, kemudian Kami

membacakannya.’ Apabila Kami telah selesai membacakannya; maksudnya,

‘apabila Kami telah menurunkannya kepadamu’ maka ikutilah bacaan itu;

maksudnya. ‘dengarkan dan perhatikanlah ia.’ Kemudian, atas tanggungan

Kamilah penjelasannya, yakni ‘ menjelaskannya dengan lidahmu.‘ Dalam lafal

yang lain dikatakan: ‘Atas tanggungan Kamilah membacakannya.’ Maka

setelah ayat ini turun bila jibril datang, Rasulullah diam. Dalam lafal lain: ‘ia

mendengarkan. ‘Dan bila jibril telah pergi, barulah ia membacanya

sebagaimana diperintahkan Allah’’.

2. Pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Al Qur’an semuanya)

baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau

menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran

secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam

lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah,

sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.1

B. Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an

1. Pengumpulan Al Quran dalam Arti Menghafalnya pada Masa Nabi.

Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan

wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti

dijanjikan Allah: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di

dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya (al-Qiyamah [75]:17). Oleh

1
Manna Kholil al-Qottan, studi ilmu-ilmu al-Qur’an. (jakarta: PT Pustaka Litera
Antarnusa,1973), h. 178
6

sebab itu, ia adalah hafiz (penghafal) Al Quran pertama dan merupakan contoh

paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan

mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Al Quran diturunkan selama

dua puluh tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan

terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam

dada dan ditempatkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati memang

mempunyai daya hafal yang kuat. Hal itu karena umumnya mereka buta huruf,

sehingga dalam penulisan berita-berita, syai-syair dan silsilah mereka dilakukan

dengan catatan dihati mereka.

2. Pengumpulan Al Quran dalam Arti Penulisannya pada Masa Nabi.

Rasulullah telah mengangkat para penulis wahyu Al Quran dari sahabat-

sahabat terkmuka, seperti Ali, Mu’awiyah, Ubaid bin Ka’ab dan Zaid bin Sabit.

Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan

tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu

membantu penghafal di dalam hati. Di samping itu sebagian sahabat pun

menuliskan Qur’an yang turun di atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah

oleh Nabi. mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun

lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binantang. Zaid

bin Sabit berkata:”Kami menyusun Quran dihadapan Rasulullaalan pada kulit

binatang.”

Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam

menuliskan Quran. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selai sarana-

sarana tersebut. Dan dengan demikian, penulisan Quran ini semakin menambah

hafalan mereka.
7

Jibril membacakan Qu’an kepada Rasululah pada malam-malam bulan

Ramadhan setiap tahunnya. Abdullah bin Abbas berkata:

“Rasulullah adalah orang paling pemurah, dan puncak kemurahannya

pada bulan Ramadhan ketika ia ditemui oleh Jibril. Ia ditemui Jibril pada setiap

malam bulan Ramadhan; Jibril membacakan Qur’an kepadanya ,dan ketika

Rasulullah ditemui oleh Jibril ia sangat pemurah sekali.”

Tulisan-tulisan Al Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu

mushaf.rasulullah berpulang ke rahmatullah disaat Qur’an telah dihafal dan

tertulis dalam mushaf dengan susunan ayat-ayat dan surah-surah dipisah-

pisahkan, atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu

lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf, tetapi Al Qur’an belum

dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap), sebab Nabi masih

selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Disamping itu terkadang

terdapat ayat yang me-nasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumya.

Susunan penulisan Al Qur’an tidak menurut tertib nuzulnya,tetapi setiap ayat

yang turun dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi. Andai

kata (pada masa Nabi) Al Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan diantara dua

sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan

bila wahyu turun lagi.

3. Pengumpulan Al Quran pada Masa Abu Bakar

Abu Bakar menjalankan urusan islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan

kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang

Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk

memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi


8

pada tahun dua belas Hijriah melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal

Quran. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin

Khattab merasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu

Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan

Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah talah

banyak membunuh para qari.

Di segi lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan di

tempat-tempat lain akan membunuh banyak qari pula sehingga Qur’an akan

hilang dan musnah. Abu Bakar menolak usulan ini dan berkeberatan melakukan

apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar tetap

membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima

usulan Umar tersebut. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Sabit,

mengingat keudukannya dalam qira’at, penulisan, pemahaman dan

kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Abu

Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya

Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu bertukar

pendapat, sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah

penulisan Qur’an itu. Zain bin Sabit memulai tugasnya yang berat ini dengan

bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra dan cacatan yang ada

pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran (kumpulan) itu disimpan

ditangan Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun tiga belas Hijri, lembaran-

lembaran itu berpindah ke tangan Umar dan tetap berada di tangannya hingga ia
9

wafat. Kemudia mushaf itu berpindah ke tangan Hafsah, putri Umar. Pada

permulaan kekhalifahan Usman, Usman memintahnya dari tangan Hafsah.2

Zaib bin Sabit berkata: “Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan

berita mengenai korban perang Yamamah. Ternyata Umar sudah ada di sana.

Abu Bakar berkata: ‘Umar telah datang kepadaku dan mengatakan, bahwa

perang di Yamamah telah menelan banyak korban dari kalangan qurra dan ia

khawatir kalau-kalau terbunuhnya para qurra itu juga akan terjadi di tempat-

tempat lain, sehingga sebagian besar Qur’an akan musnah. Ia menganjurkan agar

aku memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Quran. Maka aku katakan

kepadanya, bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah

dilakukan oleh Rasulullah? Tetapi Umar menjawab dan bersumpah, Demi allah,

perbuatan tersebut baik. Ia terus menerus membujukku sehingga Allah

membukakan hatiku untuk menerima usulnya, dan akhirnya aku sependapat

dengan Umar.”Zaid berkata lagi:”Abu Bakar kepadaku Engkau seorang pemuda

yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah

menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Oleh karena itu carilah Qur’an dan

kumpulkanlah.’’’ ‘’Demi Allah’’, kata Zaid lebih lanjut, “sekiranya mereka

memintaku memindahkan gunung, rasanya tidak lebih berat bagiku daripada

menggumpulkan Qur’an.

Karena itu aku menjawab: ‘Mengapa anda berdua inggin melakukan

sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah?’ Abu Bakar menjawab: ‘Demi

Allah, itu baik.’ Abu Bakar tetap membujukku sehingga Allah membukakan

hatiku sebagaimana Ia telah membukakan hati Abu Bakar dan Umar. Maka aku

2
Manna Kholil al-Qottan, studi ilmu-ilmu al-Qur’an. (jakarta: PT Pustaka Litera
Antarnusa,1973), h. 189
10

pun mulai mencari Qur’an. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, kepingan-

kepingan batu dan hapalan para penghapal, sampai akhirnya aku mendapatkan

akhir surah Taubah berada pada Abu Khuzaimah al-Ansari, yang tidak

kudapatkan pada orang lain, Sesungguhnya telah datang kepadamu seseorang

rasul dari kaummu sendiri... hingga akhir surah. Lembaran-lembaran (hasil

kerjaanku) tersebut kemudian disimpan ditangan Abu Bakar hingga wafatnya.

Sesudah itu pindah ketangan Umar sewaktu masih hidup, dan selanjutnya berada

di tangan Hafsah binti Umar.”

Zaid bin Sabit bertindak sangat teliti, hati-hati. Ia tidak mencukupkan

pada hafalan semata tanpa disertai dengan tulisan. Kata-kata Zaid dalam

keterangan di atas: “Dan aku dapatkan akhir dari surah Taubah pada Abu

Kuzaimah al-Ansari, yang tidakaku dapatkan pada orang lain” tidak

menghilangkan arti keberhati-hatian tersebut dan tidak pula berarti akhir surah

Taubah itu tidak mutawatir.

Ibn Abu Daud meriwayatkan melalui Yahya bin Abdurrahman bin Hatib,

yang meriwayatkan: “Umar datang lalu berkata: ‘Barang siapa menerima dari

Rasulullah sesuatu dari Qur’an, hendaklah ia menyampaikannya.’ Mereka

menuliskan Qur’an itu pada lembaran kertas, papan kayu dan pelepah kurma, dan

Zaid tidak mau menerima dari seseorang mengenai Qur’an sebelum disaksikan

oleh dua orang saksi.” Ini menunjukkan bahwa Zaid tidak merasa puas hanya

dengan adanya tulisan semata sebelum tulisan itu disaksikan oleh orang yang

menerimanya secara pendengaran (langsung dari Rasul), sekalipun Zaid sendiri

hafal. Ia bersikap demikian ini karena sangat berhati- hati.


11

Dan diriwayatkan pula oleh Ibn Abu Daud melalui Hasyim bin ‘Urwah,

dari ayahnya, bahwa Abu Bakar berkata kepada umar dan Zaid: “ Duduklah

kamu berdua di pintu mesjid. Bila ada yang datang kepadamu membawa dua

orang saksi atas semua dari Kitab Allah, maka tulislah.” Pada perawi hadis ini

orang-orang terpercaya, sekalipun hadist munqati’ (terputus). Ibn Hajar

mengatakan: “Yang dimaksudkan dengan dua orang saksi adalah hafalan dan

catatan.”

4. Pengumpulan Qur’an pada Masa Usman

Penyebaran Islam bertambah luas dan para qurra tersebar di berbagai

wilayah, dan penduduk di setiap wilayah itu mempelajari qira’at (bacaan) dari

qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (qira’at) Qur’an yang

mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan “huruf” yang

dengannya Qur’an diturunkan. Apa bila mereka berkumpul di suatu pertemuan

atau disuatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran akan adanya

perbedaan qira’at ini. Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan

penduduk Irak, di antara orang yang ikut menyerbu kedua tempat iu ialah

Huzaifah bin al-Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca

Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan; tetapi masing-masing

mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang

yang menyalahi bacaanyan dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat

kenyataannya demikian Huzaifah segera menghadap Usman dan melaporkan

kepadanya apa yang telah di lihatnya.

Usman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk

meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan Hafsah pun
12

mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Hafsah mengirimkan kepada

Usman, dan Usman memerintahkan Zaid bin Sabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id

bin ‘As dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya. Mereka pun

menyalinnya menjadi beberapa musha.

C. Pelopor Kodifikasi Al-Qur’an

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, saat Perang Yamamah (perang melawan

nabi palsu, Musailamah Alkahzab) di mana banyak para penghafal Al Quran wafat,

Umar bin Khatab khawatir jika para penghafal banyak yang wafat maka Al-Quran

tidak bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Maka ia mengajukan usul

penulisan seluruh ayat Al-Quran dalam satu buku,karena pada saat itu tidak ada satu

sahabat pun yang mempunyai catatan semua ayat Al-Quran secara lengkap. Lalu

ditunjuklah Zaid bin Tsabit sebagai ketua kodifikasi Al-Quran. Zaid dipilih karena ia

lah pembaca Al-Quran terbaik, hafal semua ayat Quran, yang diminta oleh Rasul

untuk menuliskan ayat Quran dan ia lah yang selalu hadir saat Rasul membaca

seluruh ayat Al-Quran pada Ramadhan terakhir Rasulullah.

Pada masa pemeintahan Ustman bin Affan, Islam telah menyebar ke berbagai

negeri, seperti Kufah (Iraq), Byzantium, Syria, dll. Al-Quran yang dibacakan oleh

Rasulullah terdiri dari 7 dialek, yaitu dialek suku Quraisy, Huzail, Tsaqif, Hawazin,

Kinanah, Tamim dan Yemen. Pada saat itu juga banyak orang Arab yang bangga dan

merasa superior dengan dialeknya masing-masing, maka hal ini menimbulkan

kekhawatiran terjadinya perpecahan. Terlebih lagi banyak mualaf, terutama yang dari
13

luar Arab, yang ketika salah membaca Quran tidak bisa dideteksi kesalahannya:

apakah memang karena salah baca atau apa karena baca dengan salah satu dari 7

dialek. Seorang sahabat bernama Huzaifah bin al Yaman ketika ia berada di Iraq

menyadari masalah ini. Ia khawatir akan terjadi perpecahan dan Al-Quran akan

berubah.

Lalu ia lapor kepada Khalifah Ustman bin Affan. Lalu Ustman membentuk

tim yang juga diketuai oleh Zaid bin Tsabit dengan anggota 4 ahli Quran lalu

menuliskan kembali Al-Quran dari mushaf yang ditulis pada jaman Abu Bakar yang

saat itu disimpan oleh Hafsah, putri Umar bin Khatab dan juga istri Rasulullah, ke

dalam dialek suku Quraisy yang merupakan dialek yang paling bagus. Lalu tim ini

menulis 7 salinan Al-Quran yang disebut Mushaf Ustman yang disebarkan ke 7

wilayah, yaitu: Madinah (ibu kota), Makkah, Syria, Basrah, Kufah, Yemen, Bahrayn.

Ustman juga mengirim seorang ahli Quran dengan salinan Al-Quran tersebut ke

wilayah-wilayah tersebut. Lalu ia memerinthkan untuk membakar semua kopi Al-

Quran selain 7 salinan tersebut. Selanjutnya semua salinan Al-Quran berasal dari 7

salinan Mushaf Ustmani.

Kita mungkin bertanya, mengapa Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah

dalam 7 dialek? Ternyata dengan 7 dialek ini memudahkan pembacaan dan

penghafalan Al-Quran bagi muslim yang berasal dari beberapa suku yang ada pada

saat itu, sehingga mereka dapat menghafal porsi besar ayat saat Rasul masih hidup.

Karena mayoritas orang Arab saat itu tidak bisa membaca dan menulis, maka Al-

Quran dijaga dengan cara penghafalan. Contoh perbedaan dialek adalah dalam
14

kalimat alaihim (kepada mereka) sebagian suku membacanya alaihumuu, kata siraat

(jalan) sebagian membacanya siraat, sedangkan yang lain ziraat.3

D. Tujuan Kodifikasi Al-Qur’an

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, saat Perang Yamamah (perang melawan

nabi palsu, Musailamah Alkahzab) di mana banyak para penghafal Al Quran wafat,

Umar bin Khatab khawatir jika para penghafal banyak yang wafat maka Al-Quran

tidak bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Maka ia mengajukan usul

penulisan seluruh ayat Al-Quran dalam satu buku,karena pada saat itu tidak ada satu

sahabat pun yang mempunyai catatan semua ayat Al-Quran secara lengkap. Lalu

ditunjuklah Zaid bin Tsabit sebagai ketua kodifikasi Al-Quran.

Zaid dipilih karena ia lah pembaca Al-Quran terbaik, hafal semua ayat Quran,

yang diminta oleh Rasul untuk menuliskan ayat Quran dan ia lah yang selalu hadir

saat Rasul membaca seluruh ayat Al-Quran pada Ramadhan terakhir Rasulullah.

Pada masa pemeintahan Ustman bin Affan, Islam telah menyebar ke berbagai

negeri, seperti Kufah (Iraq), Byzantium, Syria, dll. Al-Quran yang dibacakan oleh

Rasulullah terdiri dari 7 dialek, yaitu dialek suku Quraisy, Huzail, Tsaqif, Hawazin,

Kinanah, Tamim dan Yemen. Pada saat itu juga banyak orang Arab yang bangga dan

merasa superior dengan dialeknya masing-masing, maka hal ini menimbulkan

kekhawatiran terjadinya perpecahan. Terlebih lagi banyak mualaf, terutama yang dari

luar Arab, yang ketika salah membaca Quran tidak bisa dideteksi kesalahannya:

apakah memang karena salah baca atau apa karena baca dengan salah satu dari 7

dialek.

3
........., Pelopor Kodifikasi Al-Qur’an,
https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/onetea/sejarah-penulisan-dan-kodifikasi-
alquran_54f7bb75a333119d1c8b4971, dilansir pada tanggal 10 Februari 2021.
15

Seorang sahabat bernama Huzaifah bin al Yaman ketika ia berada di Iraq

menyadari masalah ini. Ia khawatir akan terjadi perpecahan dan Al-Quran akan

berubah. Lalu ia lapor kepada Khalifah Ustman bin Affan. Lalu Ustman membentuk

tim yang juga diketuai oleh Zaid bin Tsabit dengan anggota 4 ahli Quran lalu

menuliskan kembali Al-Quran dari mushaf yang ditulis pada jaman Abu Bakar yang

saat itu disimpan oleh Hafsah, putri Umar bin Khatab dan juga istri Rasulullah, ke

dalam dialek suku Quraisy yang merupakan dialek yang paling bagus.

Lalu tim ini menulis 7 salinan Al-Quran yang disebut Mushaf Ustman yang

disebarkan ke 7 wilayah, yaitu: Madinah (ibu kota), Makkah, Syria, Basrah, Kufah,

Yemen, Bahrayn. Ustman juga mengirim seorang ahli Quran dengan salinan Al-

Quran tersebut ke wilayah-wilayah tersebut. Lalu ia memerinthkan untuk membakar

semua kopi Al-Quran selain 7 salinan tersebut. Selanjutnya semua salinan Al-Quran

berasal dari 7 salinan Mushaf Ustmani.

Kita mungkin bertanya, mengapa Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah

dalam 7 dialek? Ternyata dengan 7 dialek ini memudahkan pembacaan dan

penghafalan Al-Quran bagi muslim yang berasal dari beberapa suku yang ada pada

saat itu, sehingga mereka dapat menghafal porsi besar ayat saat Rasul masih hidup.

Karena mayoritas orang Arab saat itu tidak bisa membaca dan menulis, maka Al-

Quran dijaga dengan cara penghafalan. Contoh perbedaan dialek adalah dalam

kalimat alaihim (kepada mereka) sebagian suku membacanya alaihumuu, kata siraat

(jalan) sebagian membacanya siraat, sedangkan yang lain ziraat.4

E. Hikmah Kodifikasi al-Quran

4
..........., Hikmah Kodifikasi Al-Qur’an,
https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/onetea/sejarah-penulisan-dan-kodifikasi-
alquran_54f7bb75a333119d1c8b4971, dilansir pada tanggal 10 Februari 2021.
16

Kodifikasi al-Quran mempunyai hikmah tersendiri bagi kaum muslim. Sebab,

dengan adanya kode bacaan tertentu, serta kaidah penulisan khusus, maka umat Islam

di seluruh penjuru dunia dapat melafalkan al-Quran sesuai dengan teksnya.

Berikut ini beberapa hikmah adanya kodifikasi al-Quran. 

1. Menyatukan umat Islam yang berselisih dalam masalah qiraah (bacaan).

Sebab, dengan satu kaidah, atau dengan metode bacaan yang sama, maka

tidak akan terjadi selisih perbedaan bacaan dan meminimalisasi pertentangan

antarumat. Keseragaman bacaan juga sebagai indikasi bahwa Islam

merupakan ummatan wahidah (kesatuan umat) yang tidak akan berselisih

dalam aspek apa pun.

2. Menyeragamkan dialek bacaan al-Quran. Dengan adanya kodifikasi, al-Quran

menjadi satu dialek atau ungkapan yang pada akhirnya juga lebih membangun

persatuan dan kesatuan Islam. Satu dialek, ungkapan bacaan yang sama,

merupakan indikasi bahwa Islam sangat menjaga nilai luhur persatuan dan

kesatuan.

“Dan berpegangteguhlah kalian pada tali (agama) Allah seraya

berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah

kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah

mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi

bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu

Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan

ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran:

103).
17

3. Menyatukan tertib susunan surah-surah menurut tertib urut mushaf-mushaf

yang dijumpai sekarang. Susunan surah dalam al-Quran merupakan petunjuk

khusus dari Rasulullah. Tertib urut surah dan ayat dalam al-Quran

merupakan tauqifi, yaitu petunjuk langsung dari Nabi Muhammad. Oleh

karena itu maka susunan ayat dan surat sudah tertentu dan bukan hasil ijtihad

dari para ulama. Akan tetapi merupakan petunjuk langsung dari Allah melalui

Nabi-Nya, Muhammad.5

F. Mushaf Al-Qur’an

Penulisan Mushaf al-Qur'an Pada Masa Rasulullah, Abu Bakar dan Utsman

bin Affan :

1. Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah

Al-Qur’an dikumpulkan pada dua masa, masa Rasulullah dan masa khulafaur

Rasyidin. Masing-masing tahap pengumpulan ini mempunyai keistimewaan

tersendiri. Pengumpulan pada masa Nabi mempunyai dua pengertian:

a. Menghapalkan Al-Qur’an di luar kepala.

b. Menuliskan Al-Qur’an pada benda-benda yang bisa ditulis.

Pada pengertian pertama, kita tahu bahwa sahabat-sahabat Nabi yang hafal

Al-Qur’an diluar kepala seperti Abdullah bin mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin

Ka’ab dan lain-lain. Diantara factor yang mendorong mereka menghafal Al-Qur’an

5
......., Hikmah Kodifikasi Al-ur’an, https://www.duniasantri.co/sejarah-kodifikasi-al-
quran/amp/?singlepage=1, dilansir pada tanggal 10 Februari 2021.
18

adalah kecintaan mereka terhadap Al-Qur’an dank arena keberadaan kebanyakan

mereka yang ummi menyebabkan mereka hanya mengandalkan kepada hafalan.

Factor lainnya adalah penghargaan Nabi dan sahabat lainnya terhasap mereka yang

mempunyai hafalan banyak.

Akan halnya dengan pengertian yang kedua, yaitu menuliskan Al-Qur’an,

maka dalam periwayatan disebutkan bahwa nabi selalu menyuruh para sahabatnya

menulis Al-Qur’an segara setelah al-Qur’an diturunkan. Mereka yang terlibat dalam

penulisan wahyu kurang lebih 40 orang, suatu jumlah yang cukup besar. Agar supaya

konsentrasi para sahabat hanya kepada Al-Qur’an, maka nabi melarang para

sahabatnya mencatat selain al-Qur’an. Dalam sebuah hadits disebutkan :

‫ ال‬: ‫م‬.‫عن أبي سعيد الخضري رضي هللا عنه قال رسول هللا ص‬
‫تكتبوا عني غير القرأن ومن كتب عني غير القرأن فاليمح‬
Terjemahan:

Janganlah kamu menulis ariku selain Al-Qur’an, barangsiapa menulis Al-


Qur’an, maka hapuskanlah.
Rasulullah SAW menyuruh para penulis wahyu untuk mencatat setiap wahyu

yang diterimanya, sehingga Al-Qur’an yang terhimpun didalam dada mereka masing-

masing dialihkan kedalam bentuk tulisan. Terkadang para sahabat menulis ayat-ayat

yang turun kepada beliau, meskipun Rasulallah SAW tidak menyuruh mereka.

Mereka menuliskannya di media-media tertentu, antara lain:

1) Usb jama’ dari asieb, yaitu pelepah kurma yang masih keras

2) Likhaf jama’ dari lukhfah, yaitu lempenan-lempengan batu

3) Al-Karnief jama’ dari kanaafah yaitu akar keras dari pohon saf
19

4) Riqa’ jama’ dari Riqah yaitu kulit

5) Al-‘Aqtab jama’ dari Qiatb, yaitu pelana kuda

6) Aktaf jama’ Katf, yaitu tulang keledai atau kambing yang telah kering

Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipiukul para sahabat dalam

menuliskan Al-Qur’an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain

sarana-sarana tersebut. Para sahabat senantiasa menyodorkan Al-Qur’an kepada

Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Tulisan-tulisan Al-Qur’an

pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada sesorang belum

tentu dimiliki oleh yang lain. Rasulullah berpulang keRahmatullah disaat Al-Qur’an

telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti yang disebutkan

diatas, ayat-ayat dan surah-surah dipisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan

setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf, tetapi

Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap).

Pada saat itu (sebelum nabi wafat) belum diperlukan membukukan Al-Qur’an

dalam satu m ushaf, sebab nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu

kewaktu. Sesudah berakhir masa turunnya al-qur’an dengan wafatnya Rasulullah,

maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para

khulafaturrasyidiin sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada ummat tentang

jaminan pemeliharaan Al-qur’an dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa abu

bakar atas pertimbangan usulan Umar.

2. Penulisan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar

Abu Bakar menjalankan urusan Islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan

kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab.

Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi


20

orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah terjadi pada tahun dua belas hijri

melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Al-Qur’an. Dalam peperangan ini tujuh

puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin khatab merasa sangat khawatir melihat

kondisi ini, lalu ia menghadap Abu bakar dan mengajukan usul kepadanya agar

mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah.

Abu bakar menolak usulan ini karena berkeberatan melakukan apa yang tidak

pernah dilakukan Rasulullah. Tetapi Umar terus membujuknya, sehingga Allah

membukakan hati Abu bakar untuk menerima usulan tersebut. Kemudian Abu bakar

memerintahkan Zaid bin tsabit , ia menceritakan kepadanya kekhawatian dan usulan

Umar. Pada mulanya Zaid menolak seperti halnya Abu bakar sebelum itu. Keduanya

lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada

perintah penulisan Al-Qur’an itu. Lalu mulailah Zaid mengumpulkan Al-Qur’an dan

menuliskan ayat demi ayat dengan merujuk kepada al-Qur’an yang ditulis pada

kepingan-kepingan pada masa nabi, disamping, merujuk pula pada hafalan para

sahabat nabi yang lain. Setelah selesai, akhirnya mereka menamakan tulisan tersebut

dengan mushaf atau kumpulan dari lemebaran-lembaran yang ditulis, kemudian

mushaf itu disimpan di tangan Abu Bakar.

Setelah ia wafat pada tahun 13 H, lembaran-lembaran itu berpindah ke tangan

Umar dan tetap berada di tangannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah

ke tangan Hafsah, putri Umar. Pada permulaan kekhalifahan Ustman , Ustman

memintanya dari tangan Hafsah.

3. Penulisan Pada Masa Ustman bin Affan

Pada masa sahabat Ustman bin Affan, untuk ketiga kalinya kembali al-Qur’an

ditulis. Penyebabnya adalah Mereka yang berperang itu ada prajurit dari Irak yang
21

cara membaca Al-Qur’an mereka dari sahabat nabi yang bermukim disana dan ada

prajurit dari Syiria yang cara membacanya juga berasal dari sahabat nabi yang

dikirim kesana. Kedua bacaan itu memang ada perbedaan, karena dahulu nabi

memang mengajarkannya berbeda dengan tujuan untuk memberi kemudahan,

mengingat dialek suku arab yang berbeda-beda. Namun pada generasi penerus

(Tabi’in) perbedaan cara membaca Al-Qur’an ini justru menjadi pemicu pertikaian

yang mengkhawatirkan.

Khabar pertikaian ini sampai kepada khalifah Ustman bin Affan di Madinah.

Akhirnya Ustman memprakarsai penulisan kembali Al-Qur’an dengan tujuan agar

kaum muslimin mempunyai rujukan tulisan al-Qur’an yang benar-benar bisa di

pertanggungjawabkan. Dengan kata lain Ustman ingin mempersatukan mushaf yang

ada (Tauhidul mashahif).

Ustman kemudian membentuk panitia empat yang bertugas menulis kembali

Al-Qur’an Karim, mereka adalah:

a.Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash,

b. Abdullah bin Zubair.

c.Abdurrahman bin Harits bin Hisyam,

d. Zaid bin Tsabit.

Sebagian riwayat menambahkan Ibnu abbas masuk sebagai tim.

Setelah selesai, Usman mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada

Hafsah, lalu dikirimkannya pula ke setiap wilayah masing-masing satu mushaf, dan

ditahanyya satu mushaf untuk di Madinah. Yaitu mushafnya sendiri yang dikenal

dengan nama “Mushaf Imam”. Kemudian ia memerintahkan membakar semua bentuk

lembaran atau mushaf yang selain itu.


22

Adapun lembaran-lembaran yang dikembalikan kepada Hafsah, tetap berada

ditangannya hingga ia wafat. Setelah itu lembaran-lembaran tersebut dimusnahkan,

dan dikatakan pula bahwa lembaran-lembaran tersebut diambil oleh Marwan bin

Hakam lalu dibakar.

Mushaf-mushaf yang ditulis oleh Usman itu sekarang hampir tidak ditemukan

sebuah pun juga. Keterangan yang diriwayatkan oleh Ibn Katsir dalam kitabnya

Fada’ilul Qur’an menyatakan bahwa ia menemukan satu buah diantaranya di masjid

Damsyik di Syam. Mushaf itu ditulis pada lembaran yang – menurutnya – terbuat dari

kulit unta. Dan diriwayatkannya pula mushaf Syam ini dibawa ke Inggris setelah

beberapa lama berada ditangan kaisar Rusia di perpustakaan Leningrad. Juga

dikatakan bahwa mushaf itu terbakar dalam masjid Damsyik pada tahun 1310 H.

4. Ar-Rasmul Usmany

Zaid bin Tsabit bersama tiga orang quraisy telah menempuh suatu metode

khusus dalam penulisan al-Qur’an yang disetujui oleh Ustman. Para ulama

menamakan metode tersbut dengan Ar-Rasmul Ustmany lil Mushaf, yaitu dengan

dinisbatkan kepada Ustman. Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat tentang

status hukumnya.

a. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasm Ustmani buat Al-Qur’an

ini bersifat Tauqifi yang wajib dipakai dalam penulisan Al-qur’an, dan

harus sungguh-sungguh disucikan. Mereka menisbahkan tauqifi dalam

penulisan al-Qur’an ini kepada Nabi.

Artinya: “Mereka menyebutkan bahwa Nabi pernah mengatakan

kepada Mu’awiyah, salah seorang penulis wahyu: “Letakkanlah tinta,


23

pergunakan pena, tegakkan “ya”, bedakan “sin”, jangan kamu miringkan

“mim”, baguskan tulisan lafal “Allah”, panjangkan “Ar- Rahman”,

baguskan “Ar-Rahim” dn letakkanlah penamu pada telinga kirimu, karena

yang demikian akan lebih dapat mengingatkan kamu.

Ibnu Mubarak mengutip gurunya, Abdul Aziz ad-Dabbag, yang

menyatakan bahwa, “para sahabat dan orang lain tidak campur tangan

seujung rambutpun dalam penulisan al-Qur’an karena penulisan al-Qur’an

adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi. Dialah yang memerintahkan kepada

mereka untuk menuliskannya dalam bentuk yang dikenal sekarang, dengan

menambahkan alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang

tidak dapat terjangkau oleh akal.

b. Banyak Ulama berpendapat bahwa rasm Ustmani bukan tauqifi dari Nabi,

tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Usman dan

diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib

dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Asyhab berkata: “Malik

ditanya; apakah mushaf boleh ditulis menurut ejaan (kaidah penulisan)

yang diadakan orang? Malik menjawab; Tidak, kecuali menurut tata cara

penulisan yang pertama. (“riwayat Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Muqni’).

Kemudian kata Asyhab pula: “dan tidak adaorang yang menyalahi rasm itu

diantara ulama umat Islam.” Ditempat lain Asyhab mengatakan: “malik

ditanya tentang huruf-huruf dalam al-Qur’an seperti “ wawu” dan “alif”,

bolehkah mengubah kedua huruf itu dari mushaf apabila didalam mushaf

terdapat hal seperti itu? Malik menjawab: Tidak.” Abu Amr mengatakan,

yang dimaksud disini adalah wawu dan alif tambahan dalam rasm, tetapi
24

tidak nampak dalam ucapan seperti “ ulu” ‫أولوا‬. Dan imam Ahmad

berpendapat: “haram hukumnya menyaklahi mushaf usmani dalam hal

wwu, ya’, alif atau yang lain.

c. Segolongan orang berpendapat bahwa Rasm Usmani iu adalah hanyalah

sebuah istilah, tatacara, dan tidak ada salahnya jika menyalahi bila orang

telah mempergunakan satu rasm tertentu untuk imla dan rasm itu tersebar

luas untuk mereka. Rasm usmani adalah rasm (bentuk ragam tulis) yang

telah diakui dan diwarisi oleh umat islam sejak masa usman. Dan

pemeliharaan rasm usmani merupakan jaminan kuat bagi penjagaan al-

qur’an dari perubahan dan penggantian huruf-hurufnya. Seandainya

diperbolehkan menuliskannya menurut istilah imla di setiap masa, maka

hal ini akan mengakibatkan mushaf dari masa kemasa. Bahkan kaidah-

kaidah imla itu sendiri berbeda-beda kecenderungannya pada masa yang

sama, dan bervariasi pula dalam beberapa kata diantara satu negri dengan

negri yang lain.

d. Perbaikan Rasm Usmani

Musahf usmani tidak memakai tanda baca tititk dan syakal, karena

semata-mata didasarkan pada watak pembawaan oaring-orang arab yang

masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat

dan pemberian titik. Ketika bahasa Arab mulai mengalami kerusakan

karena banyaknya percampuran (dengan bahasa non Arab), maka para

penguasa merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan

syakal. Dan lain-lain dapat membantu pambacaan yang benar.


25

Para ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama yang dicurahkan tentang

hal itu. Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal itu

adalah Abul Aswad ad-Du’ali, letak pertama kaidah-kaidah bahasa Arab, atas

permintaan Ali bin Abi Thalib.

Para ulama pada mulanya tidak menyukai usah perbikan tersebut karena

khawatir akan terjadi penambahan dalam al-Qur’an, berdasarkan ucapan Ibnu

Mas’ud: “bersihkanlah al-Qur’an dengan apapun.”

Kemudian akhirnya hal itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Daud dari Al-Hasan dan Ibnu Sirin bahwa keduanya

mengatakan: “bahwa tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf.” Dan

diriwayatkan pula Rabi’ah bin Abi rahman an-Nawawi mengatakan: “pemberian titik

dan pensyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab) karena ia dapat menjaga mushaf

dari penyimpangan dan kesalahan.” Perhatian untuk menyempurnakan mushaf kini

telah mencapai puncaknya dalam tulisan Arab (khat Arabi).6

6
......, Penulisan Mushaf Al-Qur’an, http://mymushafquran.blogspot.com/2014/11/penulisan-
mushaf-al-quran-pada-masa.html?m=1, dilansir pada tanggal 10 Februari 2021.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul

Qur’an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di

dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-Nabi

senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Al Qur’an

ketika Al Qur’an itu turun kepadanya sebelum jibril selesai membacakannya, karena

ingin menghafalnya.

Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah dalam 7 dialek? Ternyata dengan 7

dialek ini memudahkan pembacaan dan penghafalan Al-Quran bagi muslim yang

berasal dari beberapa suku yang ada pada saat itu, sehingga mereka dapat menghafal

porsi besar ayat saat Rasul masih hidup. Karena mayoritas orang Arab saat itu tidak

bisa membaca dan menulis, maka Al-Quran dijaga dengan cara penghafalan. Contoh

perbedaan dialek adalah dalam kalimat alaihim (kepada mereka) sebagian suku

membacanya alaihumuu, kata siraat (jalan) sebagian membacanya siraat, sedangkan

yang lain ziraat.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, saat Perang Yamamah (perang melawan

nabi palsu, Musailamah Alkahzab) di mana banyak para penghafal Al Quran wafat,

Umar bin Khatab khawatir jika para penghafal banyak yang wafat maka Al-Quran

tidak bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Maka ia mengajukan usul

penulisan seluruh ayat Al-Quran dalam satu buku,karena pada saat itu tidak ada satu

sahabat pun yang mempunyai catatan semua ayat Al-Quran secara lengkap.
27

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, saat Perang Yamamah (perang melawan

nabi palsu, Musailamah Alkahzab) di mana banyak para penghafal Al Quran wafat,

Umar bin Khatab khawatir jika para penghafal banyak yang wafat maka Al-Quran

tidak bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Maka ia mengajukan usul

penulisan seluruh ayat Al-Quran dalam satu buku,karena pada saat itu tidak ada satu

sahabat pun yang mempunyai catatan semua ayat Al-Quran secara lengkap.

Menyatukan tertib susunan surah-surah menurut tertib urut mushaf-mushaf

yang dijumpai sekarang. Susunan surah dalam al-Quran merupakan petunjuk khusus

dari Rasulullah. Tertib urut surah dan ayat dalam al-Quran merupakan tauqifi, yaitu

petunjuk langsung dari Nabi Muhammad. Oleh karena itu maka susunan ayat dan

surat sudah tertentu dan bukan hasil ijtihad dari para ulama. Akan tetapi merupakan

petunjuk langsung dari Allah melalui Nabi-Nya, Muhammad.

Para ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama yang dicurahkan tentang

hal itu. Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal itu

adalah Abul Aswad ad-Du’ali, letak pertama kaidah-kaidah bahasa Arab, atas

permintaan Ali bin Abi Thalib. Para ulama pada mulanya tidak menyukai usah

perbikan tersebut karena khawatir akan terjadi penambahan dalam al-Qur’an,

berdasarkan ucapan Ibnu Mas’ud: “bersihkanlah al-Qur’an dengan apapun.”

B. Saran

Demikianlah makalah yang kami berisikan tentang pengertian dan aspek

kajian Perkawinan. Makalah inipun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun

target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik serta saran digunakan

sebagai penunjang pada makalah ini.Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima

kasih.
DAFTAR RUJUKAN

Ali, K., A Study Of Islamic History. India: Idarah Adabiyah Delli, 1980.

Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Yogyakarta : Forum kajian


dan Budaya, 2001.

Bucaille, Maurice, Bibel, Alquran, dan Sains Modern, ter. Rasyidi. Jakarta: Bulan
Bintang, 1979.

Hasan, Ali, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj Arkom. Jakarta: Rajawali, 1992.

Hikmah dalam proses Kodifikasi Al-Qur’an pada kini ,


https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/onetea/sejarah-
penulisan-dan-kodifikasi-alquran_54f7bb75a333119d1c8b4971, dilansir pada
tanggal 10 Februari 2021.

Hikmah Kodifikasi Al-ur’an, https://www.duniasantri.co/sejarah-kodifikasi-al-


quran/amp/?singlepage=1, dilansir pada tanggal 10 Februari 2021.

Macam-Macam Penulisan Mushaf dalam Al-Qur’an,


http://mymushafquran.blogspot.com/2014/11/penulisan-mushaf-al-quran-
pada-masa.html?m=1, dilansir pada tanggal 10 Februari 2021.

Manna Kholil al-Qottan, studi ilmu-ilmu al-Qur’an. (jakarta: PT Pustaka Litera


Antarnusa,1973), h. 178

Manna Kholil al-Qottan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.(jakarta: PT Pustaka Litera


Antarnusa,1973

Ridho, M., Utsman Bin Affan Al-Khalifah At-Tsalitsah. Beirut: Daar Kutub, 1982.

Sejarah Para Pelopor Kodifikasi atau Pembukuan Al-Qur’an,


https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/onetea/sejarah-
penulisan-dan-kodifikasi-alquran_54f7bb75a333119d1c8b4971, dilansir pada
tanggal 10 Februari 2021.

Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus,1990.

Anda mungkin juga menyukai