Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

LATAR BELAKANG DAN TUJUAN MEMPELAJARI ILMU KALAM

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tauhid.

Dosen pengampu: Rona Ratna Pribadi, M.Pd.

OLEH :

Munif Akhsan (53010210001)


Maftuh Alfan Hidayat (53010210002)
Muhammad Cahya Khusni Baqia (53010210003)

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Latar Belakang Dan Tujuan Mempelajari
Ilmu Kalam”, guna memenuhi tugas mata kuliah Tauhid. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang
kita nanti-nantikan syafaatnya di akhirat kelak.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rona Ratna Pribadi,


M.Pd., selaku dosen mata kuliah Tauhid yang telah membimbing kami dalam
menyusun makalah ini dan pihak-pihak yang sumbernya berupa artikel-artikel dan
tulisan yang menjadi referensi kami dalam menyusun makalah ini.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam


penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran
pembaca untuk makalah ini, agar nantinya menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Demikian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya.

Belanti Jaya, 08 September 2021

Penyusun Kelompok 01

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................1

BAB I................................................................................................3

PENDAHULUAN............................................................................3
A. Latar Belakang Masalah...................................................................................................................3

B. Rumusan Masalah.............................................................................................................................3

C. Tujuan Penulisan..............................................................................................................................3

PEMBAHASAN...............................................................................4
A. Latar Belakang Munculnya Ilmu Kalam...........................................................................................4

B. Tujuan Mempelajari Ilmu Kalam.......................................................................................................7

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ilmu kalam secara garis besar ialah ilmu yang mempelajari bagaimana bertauhid
dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk Al Qur’an dan Al Hadits.Ilmu Kalam
sebagai hasil penelitian dan pengamatan ulama, tentu saja nilainya banyak tergantung
pada kemampuan dan kedalaman pengetahuan ulama itu sebagai manusia biasa. Hasil
pemikiran ulama sebagai manusia tentu saja masih relatif atau masih perlu
dikembangkan. Karena itu tidaklah heran terdapat madzhab-madzhab dalam ilmu kalam
yang kelihatannya kadang-kadang saling bertentangan, bahkan saling kafir
mengkafirkan. Madzhab-madzhab itu antara lain Madzhab Qadariyah, Jabariyah,
Mu’tazilah, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan sebagainya

Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Latar Belakang Dan Tujuan
Mempelajari Ilmu Kalam. Objek ilmu kalam itu sendiri adalah akidah yang di terangkan
dalil-dalilnya. Akidah adalah pendapat atau pikiran atau anutan yang mempengaruhi
jiwa manusia, lalu menjadi satu bagian dari manusia itu sendiri, dibela, dipertahankan
dan diitikadkan bahwa hal itu adalah benar.

B. Rumusan Masalah.

1. Latar belakang munculnya ilmu apa kalam?

2. Apa tujuan dari mempelajari Ilmu Kalam?

C. Tujuan Penulisan.

1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya Ilmu Kalam.

2. Untuk mengetahui tujuan dari mempelajari Ilmu Kalam.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Munculnya Ilmu Kalam

Adapun yang melatar belakangi munculnya persoalan-persoalan kalam adalah


peristiwa yang disebabkan faktor-faktor politik setelah Khalifah Ustman terbunuh
kemudian digantikan oleh Ali menjadi sebagai khalifah. Peristiwa menyedihkan dalam
sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnah al-Kubra (fitnah besar), merupakan
pangkal pertumbuhan masyarakat Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang
politik, sosial, dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk
pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh
dengan bertitik tolak dari fitnah besar itu.

Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab ( 634-644 )
problema keagamaan juga masih relatif kecil termasuk masalah aqidah. Tapi setelah
Umar bin Khattab wafat dan Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 M) fitnah pun
timbul. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim menjadi
salah seorang penyulut pergolakan. Kemelut yang serius terjadi di kalangan Umat Islam
setelah Ustman mati terbunuh ( 656 M).

Perselisihan di kalangan Umat Islam terus berlanjut di zaman pemerintahan Ali


bin Abi Thalib ( 656-661 M) dengan terjadinya perang saudara.Perang pertama adalah
perang antara Ali bin Abi Thalib dengan Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah
dengan Aisyah yang dikenal dengan perang Jamal. Perang kedua adalah perang antara
Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Perang Jamal dimenangkan oleh
Ali, sedangkan perang Shiffin berakhir dengan tahkim ( arbitrase ). Peristiwa ini
berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama pada lahir dan tumbuhnya aliran-aliran
teologi dalam Islam.

Masalah aqidah di Zaman Bani Umayyah ( 661-750 M menjadi perdebatan yang


hangat di kalangan umat Islam. Di zaman inilah lahir berbagai aliran teologi seperti
Murji’ah, Qadariah, Jabariah dan Mu’tazilah.

Pada zaman Bani Abbas ( 750-1258 M ) Filsafat Yunani dan Sains banyak

4
dipelajari Umat Islam. Masalah Tauhid mendapat tantangan cukup berat. Kaum Muslimin
tidak bisa mematahkan argumentasi filosofis orang lain tanpa menggunakan senjata
filsafat dan rasional pula. Untuk itu bangkitlah Mu’tazilah mempertahankan ketauhidan
dengan argumentasi-argumentasi filosofis tersebut. Namun sikap Mu’tazilah yang terlalu
mengagungkan akal malah melahirkan berbagai pendapat kontroversial menyebabkan
kaum tradisional tidak menyukainya.

Akhirnya lahir aliran Ahlussunnah Waljama’ah dengan tokoh besarnya Abu


Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Mula-mula ini hanya untuk membuat
penalaran logis oleh orang orang yang melakukan pembunuhan 'Utsman atau menyetujui
pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan
seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar
(berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan), padahal berbuat dosa besar adalah
kekafiran, dan kekafiran harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran?
Karena manusia berbuat dosa besar adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus
dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka
menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu
pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia
mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.

Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi


pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib. Ini disebutkan oleh Ibn Taymiyyah, sebagai
berikut: Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka
yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman.
Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali,
sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang
menyetujui pembunuhannya hanya sekitar seribu orang.

Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada ‘Ali, karena Khalifah ini
menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, dalam
Peristiwa Shiffin di situ ‘Ali mengalami kekalahan diplomatis dan kehilangan
kekuasaannya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru
yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (pembelot atau pemberontak).

Seperti sikap mereka terhadap ‘Utsman, kaum Khawarij juga memandang ‘Ali
dan Mu’awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang

5
salah (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan Mu’awiyah,
juga Amr ibn al-’Ash, gubernur Mesir yang membantu Mu’awiyah mengalahkan Ali
dalam “Peristiwa Shiffin” tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn
Muljam,hanya berhasil membunuh ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-
luka, dan ‘Amr ibn al-’Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang
bernama Kharijah yang disangka ‘Amr, karena rupanya mirip).

Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum


Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran
Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang
paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu’tazilah. Mereka inilah
sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan ilmu kalam seperti
yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang
menarik dari keterangan salah seorang ulama yang disebutnya Imam ‘Abdullah ibn al-
Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah sarjana itu menyatakan demikian: Agama adalah
kepunyaan ahli Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, ilmu kalam kepunyaan
kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y.

Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa ilmu kalam adalah keahlian
khusus kaum Mu’tazilah. Maka salah satu ciri pemikiran Mu’tazili ialah rasionalitas dan
paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar
menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama
Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa
manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan
Tuhan.

Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyahnya dari Aristotelianisme,


yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu
kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan
umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan
tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi seperti
perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan
bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang
berpribadi personal God.

Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali
mengenai hal-hal universal. Maka sebab mengikuti Aristoteles itu, Jahm dan para

6
pengikutnya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat
kasih, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya
sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid
yang mereka akui. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal
sebagai al-Nufat (pengingkar) atau al-Mu’aththilah (pembebas).

Kaum Mu’tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu’tazilah


justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum
Mu’tazilah disebut sebagai titisan doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum
Khawarij. Tetapi kaum Mu’tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang
mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu’tazilah meminjam
metodelogi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional. Hal ini ikut membawa kaum
Mu’tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya
kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India,
ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma’mun ibn
Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan
Falsafah.

Khalifah al-Ma’mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai


kelompok Islam, memihak kaum Mu’tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh
Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih
dari itu, Khalifah al-Ma’mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu’tashim,
melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta
menjebloskan banyak orang termasuk Ahmad ibn Hanbal ke dalam penjara.

Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah al-Qur’an, itu qadim (tak
terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits
(terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?
Khalifah al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits,
sementara kaum Hadits berpendapat al-Qur’an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.
Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.

Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali.
Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang
sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma’mun
dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali

7
dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M),
dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu
tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam,termasuk perkembangan Ilmu Kalam,
dan juga Falsafah Islam.”

Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum
Mu’tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-
Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Mu’tazilah (dan kota
Basrah memang pusat pemikiran Mu’tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia
meninggalkan paham Mu’tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis ilmu kalam yang
anti Mu’tazilah. Ilmu Kalam al-Asy’ar’i itu, yang juga sering disebut sebagai paham
Asy’ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi ilmu kalam yang paling
berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut
pandangan sebagian besar kaum Sunni.

Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa jalan keselamatan hanya


didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy’ari. Seorang pemikir
lain yang ilmu kalamnya mendapat pengakuan sama dengan al-Asy’ari ialah Abu
Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit
perbedaan dengan al-Asy ‘ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan
manusia (al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada al-
Asy’ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan sistem ilmu kalamnya
dipandang sebagai jalan keselamatan, bersama dengan sistem al-Asy’ari.

B. Tujuan Mempelajari Ilmu Kalam

Tujuan kita mempelajari ilmu kalam antara lain:

1. Untuk menguatkan keimanan


Mempelajari ilmu kalam yang didalamnya dibahas mengenai masalah
ketuhanan (allah) , rosul, alam ghaib dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
rukun iman dalam islam, sehingga dapat menguatkan keimanan seseorang. Hal ini
dikarenakan seseorang yang mempelajari ilmu kalam akan disuguhkan dalil-dalil
yang menguatkan argumen tentang akidah islam sehingga nantinya akan timbul cara
berpikir rasional atau logis yang menghubungkan keyakinan dalam beragama islam

8
ditambah dengan penguatan argumen yang didapat saat belajar ilmu kalam.
Argumen yang dimaksud adalah alasan pembelaan atau alasan dasar untuk
mengimani semua yang ada dalam rukun iman.

2. Untuk memberikan jawaban atas penyimpangan ajaran


Pada saat ini tidak sedikit masalah yang ada terkait penyimpangan ajaran
agama islam. Penyimpangan ajaran yang ada biasanya disertai dengan ideologi
ekstrim maupun mengandung kesalahan yang membelokkan kebenaran, maka dari
itu mempelajari ilmu kalam akan memberikan jawaban kebenaran ketika terdapat
fenomena penyimpangan ajaran agama di masyarakat yang bisa diakibatkan oleh
banyak faktor terutama faktor lingkungan. Manfaat ini sangat penting sebagai
pondasi keimanan seseorang agar tidak mudah terpengaruh dengan paham-paham
yang beraliran islam tetapi nyatanya berbeda sekali dengan islam yang sebenarnya.

3. Untuk memberikan pondasi keimanan


Pondasi adalah dasar untuk menguatkan. Pada masalah keimanan dalam
kehidupan beragama perlu memiliki penguatan yang tetap hal ini dimaksudkanuntuk
menghindarkan seseorang dari bahaya ideologi agama yang serupa tapi taksama
secara kasarnya bisa disebut aliran sesat.
Ilmu kalam akan memberikan pondasi atau dasar keimanan pada seseorang
yang mempelajarinya karena dalam ilmu kalam pada agama islam akan dibahas
mengenai masalah ketuhanan (allah) beserta sifat-nya, nabi dan rosul, hal-hal ghaib,
alam akhirat yang disertai penjelasam menggunakan sumber dari dalil-dalil yang
benar. Pondasi keimanan selain dibangun dari dalam diri sendiri dengan
mempercayai adanya tuhan (allah),rosul, kitab-kitab allah, malaikat, takdir, dan hari
akhir juga dibangun dari pembiasaan dalam mempelajari lebih detail mengenai
agama yang dipeluknya.

4. Untuk mengamalkan ajaran islam dengan baik


Tujuan selanjutnya yaitu seseorang yang mempelajari ilmu kalam dengan
baik diharapkan mendapatkan manfaat untuk bisa terus mengamalkan ajaran agama
islam dengan sebaik-baiknya. Selain itu diharapkan bisa terus istiqamah di jalan
Allah setelah memperoleh penguatan pondasi keimanan pada saat belajar ilmu
kalam dibandingkan hanya mempercayai sesuatu tanpa dasar ilmu pengetahuan

9
yang jelas. Hal ini akan menambah nilai positif dan membuat seseorang selalu dekat
dengan allah melalui ilmunya serta menjadi jalan pemberi ilmu bagi orang lain yang
masih belum mengerti.

5. Untuk memberikan arahan dan petunjuk


Mempelajari ilmu kalam akan membuat seseorang memiliki landasan
pengetahuan yang baik sehingga dari pengetahuan yang didapatkan setelah
mempelajari ilmu kalam dapat diamalkan kepada orang lain bisa dalam bentuk
ceramah atau memberikan nasihat pada yang membutuhkan. Terkadang ada orang
lain di sekitar yang menginginkan penjelasan tentang masalah tertentu yang
berhubungan dengan ilmu kalam sehingga sebagai seseorang yang mengetahui serta
telah mempelajari ilmu kalam kita bisa memberikan penjelasan kepada orang
tersebut.

6. Untuk menuju jalan yang benar


Ilmu kalam yang mengandung kebenenaran tentang ajaran islam yang
bersumber dari Al-quran, Hadist, dan pemikiran manusia bisa mengarahkan
seseorang yang kurang paham dengan akidah islam yang sebenarnya, menjadi
paham dan memperkuat keimanannya serta berada di dalam jalan Allah yang benar.

Dari tujuan yang beragam di atas seseorang yang mempelajari ilmu kalam
bisa mendapatkan banyak manfaat yang sangat penting bagi kehidupan beragama
islam. Salah satu manfaat terbesar yaitu dapat memperkuat keimanan dan
menambah pengetahuan sebagai orang yang berilmu. Tak lupa bahwa setelah
mempelajari ilmu kalam, ilmu tersebut bisa diamalkan kepada orang lain.

10

Anda mungkin juga menyukai