OLEH :
Penyusun Kelompok 01
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................1
BAB I................................................................................................3
PENDAHULUAN............................................................................3
A. Latar Belakang Masalah...................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................................................3
PEMBAHASAN...............................................................................4
A. Latar Belakang Munculnya Ilmu Kalam...........................................................................................4
2
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu kalam secara garis besar ialah ilmu yang mempelajari bagaimana bertauhid
dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk Al Qur’an dan Al Hadits.Ilmu Kalam
sebagai hasil penelitian dan pengamatan ulama, tentu saja nilainya banyak tergantung
pada kemampuan dan kedalaman pengetahuan ulama itu sebagai manusia biasa. Hasil
pemikiran ulama sebagai manusia tentu saja masih relatif atau masih perlu
dikembangkan. Karena itu tidaklah heran terdapat madzhab-madzhab dalam ilmu kalam
yang kelihatannya kadang-kadang saling bertentangan, bahkan saling kafir
mengkafirkan. Madzhab-madzhab itu antara lain Madzhab Qadariyah, Jabariyah,
Mu’tazilah, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan sebagainya
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Latar Belakang Dan Tujuan
Mempelajari Ilmu Kalam. Objek ilmu kalam itu sendiri adalah akidah yang di terangkan
dalil-dalilnya. Akidah adalah pendapat atau pikiran atau anutan yang mempengaruhi
jiwa manusia, lalu menjadi satu bagian dari manusia itu sendiri, dibela, dipertahankan
dan diitikadkan bahwa hal itu adalah benar.
B. Rumusan Masalah.
C. Tujuan Penulisan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab ( 634-644 )
problema keagamaan juga masih relatif kecil termasuk masalah aqidah. Tapi setelah
Umar bin Khattab wafat dan Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 M) fitnah pun
timbul. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim menjadi
salah seorang penyulut pergolakan. Kemelut yang serius terjadi di kalangan Umat Islam
setelah Ustman mati terbunuh ( 656 M).
Pada zaman Bani Abbas ( 750-1258 M ) Filsafat Yunani dan Sains banyak
4
dipelajari Umat Islam. Masalah Tauhid mendapat tantangan cukup berat. Kaum Muslimin
tidak bisa mematahkan argumentasi filosofis orang lain tanpa menggunakan senjata
filsafat dan rasional pula. Untuk itu bangkitlah Mu’tazilah mempertahankan ketauhidan
dengan argumentasi-argumentasi filosofis tersebut. Namun sikap Mu’tazilah yang terlalu
mengagungkan akal malah melahirkan berbagai pendapat kontroversial menyebabkan
kaum tradisional tidak menyukainya.
Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada ‘Ali, karena Khalifah ini
menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, dalam
Peristiwa Shiffin di situ ‘Ali mengalami kekalahan diplomatis dan kehilangan
kekuasaannya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru
yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (pembelot atau pemberontak).
Seperti sikap mereka terhadap ‘Utsman, kaum Khawarij juga memandang ‘Ali
dan Mu’awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang
5
salah (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan Mu’awiyah,
juga Amr ibn al-’Ash, gubernur Mesir yang membantu Mu’awiyah mengalahkan Ali
dalam “Peristiwa Shiffin” tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn
Muljam,hanya berhasil membunuh ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-
luka, dan ‘Amr ibn al-’Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang
bernama Kharijah yang disangka ‘Amr, karena rupanya mirip).
Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa ilmu kalam adalah keahlian
khusus kaum Mu’tazilah. Maka salah satu ciri pemikiran Mu’tazili ialah rasionalitas dan
paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar
menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama
Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa
manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan
Tuhan.
Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali
mengenai hal-hal universal. Maka sebab mengikuti Aristoteles itu, Jahm dan para
6
pengikutnya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat
kasih, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya
sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid
yang mereka akui. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal
sebagai al-Nufat (pengingkar) atau al-Mu’aththilah (pembebas).
Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah al-Qur’an, itu qadim (tak
terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits
(terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?
Khalifah al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits,
sementara kaum Hadits berpendapat al-Qur’an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.
Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.
Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali.
Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang
sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma’mun
dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali
7
dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M),
dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu
tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam,termasuk perkembangan Ilmu Kalam,
dan juga Falsafah Islam.”
Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum
Mu’tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-
Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Mu’tazilah (dan kota
Basrah memang pusat pemikiran Mu’tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia
meninggalkan paham Mu’tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis ilmu kalam yang
anti Mu’tazilah. Ilmu Kalam al-Asy’ar’i itu, yang juga sering disebut sebagai paham
Asy’ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi ilmu kalam yang paling
berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut
pandangan sebagian besar kaum Sunni.
8
ditambah dengan penguatan argumen yang didapat saat belajar ilmu kalam.
Argumen yang dimaksud adalah alasan pembelaan atau alasan dasar untuk
mengimani semua yang ada dalam rukun iman.
9
yang jelas. Hal ini akan menambah nilai positif dan membuat seseorang selalu dekat
dengan allah melalui ilmunya serta menjadi jalan pemberi ilmu bagi orang lain yang
masih belum mengerti.
Dari tujuan yang beragam di atas seseorang yang mempelajari ilmu kalam
bisa mendapatkan banyak manfaat yang sangat penting bagi kehidupan beragama
islam. Salah satu manfaat terbesar yaitu dapat memperkuat keimanan dan
menambah pengetahuan sebagai orang yang berilmu. Tak lupa bahwa setelah
mempelajari ilmu kalam, ilmu tersebut bisa diamalkan kepada orang lain.
10