PENDAHULUAN
1.1Pengantar
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti yang
tercantum pada pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara hukum ialah suatu negara yang
bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yaitu tata tertib yang pada
umumnya berdasarkan atas kesadaran hukum dalam masyarakat. 1 Salah satu
upaya untuk mencapai tujuan dari negara hukum adalah dengan menegakkan
tujuan hukum acara pidana. Tujuan hukum acara pidana pada Pedoman
Pelaksanaan KUHAP yang telah kita ketahui adalah sebagai berikut. “Tujuan dari
hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari
suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara
jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa
suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan.” Menurut Andi Hamzah, tujuan hukum pidana yang mencari
kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya ialah
mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan
dalam masyarakat. 2 Tujuan tersebut dapat dicapai dengan kerjasama antara
penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Belum
memuaskannya keadaan penegakan hukum di negara kita ini ironisnya terbentur
pada para penegak hukum yang seharusnya memberi contoh teladan kepada
masyarakat dalam mentaati hukum serta menegakkan hukum secara murni dan
konsekuen.
1.2Rumusan Masalah
1.3Tujuan
1. Untuk mengetahui pasal apa saja yang mengatur tentang pelaksaan
putusan pengadilan.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan Putusan Oleh Jaksa
3. Untuk mengetahui Biaya Perkara
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam KUHAP, hanya terdapat 7 buah pasal saja yang mengatur tentang
pelaksanaan putusan pengadilan, yaitu Pasal 270 sampai dengan Pasal 276
KUHAP.
KUHAP;
Jepang mengeluarkan suatu peraturan, yaitu Osamu Gunrei No. 1 Tahun 1942,
yang menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati dengan jalan menembak mati
terpidana. Tetapi menurut Han Bing Siong, secara yuridis, kedua cara yaitu
menggantung dan menembak mati itu berlaku paralel, karena peraturan Jepang
tersebut mengandung hukum pidana materiil pula, yaitu kejahatan terhadap
kepentingan pendudukan militer Jepang. Jadi, Pasal 11 WvS masih berlaku juga
untuk delik melanggar.
Dengan ketentuan Wvs tersebut. Pada waktu pendudukan Belanda sesudah Perang
Dunia II usai berlaku Stb 1945 Nomor 123, yang menyatakan pelaksanaan pidana
mati ditembak mati. Tetapi dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 yang
dikeluarkan oleh RI di Yogyakarta, maka dinyatakan berlaku ialah WvS voor
Nederlands Indie dan diubah namanya menjadi Wetboek van Strafrecht (saja) atau
disebut KUHP. Jadi, dengan sendirinya berlaku Pasal 11 WvS tersebut, yang
menyatakan pidana mati dijalankan dengan cara menggantung.
Undang Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia. Jadi, sejak 29 September
1958 menurut Han Bing Siong, pidana mati seharusnya dilaksanakan dengan cara
menggantung menurut Pasal 11 WvS (KUHP) itu." Tetapi sejak saat pelaksanaan
pidana mati terhadap pelaku peristiwa Cikini di tahun 1958 (Tasrif dan Saadon
dkk.) pidana mati dijalankan dengan cara ditembak. Begitu pula terhadap
Kartosuwirjo dan Dr. Soumokil. Baru pada tahun 1964 dengan Penetapan Presiden
Nomor 2 Tahun 1964 No. 38 tanggal 27 April 1964, dikeluarkan peraturan tentang
tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum dan militer. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa pelaksanaan
pidana mati dilakukan dengan ditembak mati. Jika tidak ditentukan lain oleh
Menteri Kehakiman, maka pidana mati dilaksanakan di suatu tempat dalam daerah
hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat
(1)
Kepala Polisi Komisariat Daerah (sekarang: Kadapol) tempat kedudukan
pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah mendengar nasihat Jaksa Tinggi/Jaksa
yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat
pelaksanaan pidana mati (Pasal 3). Kepala Polisi tersebutlah yang menjaga
keamanan dan menyediakan Jaksa menghadiri pelaksanaan pidana mati. Jaksa
Tinggi/Jaksa bertang- alat-alat yang diperlukan
untuk itu. Ia bersama-sama dengan Jaksa Tinggi gung jawab atas pelaksanaannya
(Pasal 4). Pidana mati dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara
sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.
Ini senada dengan KUHAP, yang menyatakan “dalam hal pidana mati,
pelaksanaannya dilakukan tidak di muka umum dan menurut ketentuan undang-
undang” (Pasal 271 KUHAP).
Dalam ayat (2) pasal tersebut, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling
lama satu bulan. Perlu diingat, bahwa jika dijatuhkan pidana denda dengan
subsidair pidana kurungan pengganti, terpidana dapat melunasi separuh dendanya
dan separuhnya lagi dijalani sebagai pidana kurungan.
Kita juga dapat melihat dalam peraturan lama (HIR) pada Pasal 379, dikatakan
bahwa “upah dan ganti kerugian bagi pokrol, penasihat atau pembela dan wakil,
tidak boleh dimasukkan dalam pidana membayar ongkos perkara, tetapi harus
ditanggung selalu oleh pihak yang minta bantuan pada orang yang demikian itu
atau berwakil kepadanya".
Oleh karena pemanggilan saksi-saksi, ahli juru bahasa, dan sebagainya untuk
menghadap di persidangan dilakukan oleh jaksa, maka jelas bahwa perhitungan
ongkos perkara pidana itu ada pada jaksa dan hakim. Perhitungan jaksa itu
seharusnya diajukan dalam tuntutannya (requisitoir).
Dalam tuntutan itu, jaksa (penuntut umum) menuntut agar erpidana dipidana pula
membayar biaya perkara dengan jumlah tertentu, sesuai Pasal 197 ayat (11)
KUHAP dan Pasal 275 KUHAP. Walaupun KUHAP tidak menyebut bahwa beban
biaya perkara itu adalah pidana seperti HIR, namun karena tidak diatur pidana
pengganti seperti halnya dengan denda, maka menjadi piutang negara dan oleh
karena itu dapat dibebankan kepada terpidana atau ahli warisnya."
Menurut pendapat penulis, praktik yang biasa dilakukan jaksa dewasa ini, jika
terpidana tidak membayar biaya perkara, agar tidak merupakan tunggakan hasil
dinas kejaksaan, jaksa meminta keterangan tidak mampu dari pamong praja bagi
terpidana untuk membebaskannya dari pemba- yaran dan menghapuskan sebagai
tunggakan, tidaklah tepat, karena hal semacam itu hanya berlaku untuk biaya
perkara perdata (Pasal 237 dan seterusnya HIR).
Terutama dalam perkara-perkara besar seperti korupsi, penyelun- dupan, dan lain-
lain, biaya perkara seharusnya dapat ditagih. Kurungan pengganti denda
seharusnya berimbang. Misalnya pidana denda satu juta rupiah (delik ekonomi,
korupsi, dan narkotika) subsidair 10 bulan kurungan berarti setiap bulan dimulai
seratus ribu rupiah. Terpidana dapat memilih, dibayar seluruh denda tersebut atau
separuhnya secara berimbang.
Dalam hal ini pun, jaksa yang melaksanakannya dengan suatu berita acara
perusakan atau pemusnahan. Misalnya dalam praktik buku-buku dan barang-
barang lain yang mudah terbakar, pemusnahannya dengan jalan, dibakar,
sedangkan senjata tajam dibuang ke laut.
B. Biaya Perkara
KUHAP hanya menyebut tentang biaya perkara tanpa memperinci bagai. mana
perhitungannya, dalam putusan yang bagaimana yang diharuskan terpidana
membayar biaya perkara, dan bagaimana menagihnya. Dua pasal yang menyebut
biaya perkara itu, yang pertama di bagian keputusan pengadilan dan yang lain di
bagian pelaksanaan putusan.
Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang mengatur apa yang harus dimuat suatu
putusan pada huruf i menyebut: “ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan,
dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti, dan ketentuan mengenai barang
bukti.”
Ketentuan kedua yaitu Pasal 275 KUHAP, menyatakan bahwa apa- bila lebih dari
satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dan/atau ganti
kerugian dibebankan kepada mereka secara berimbang.
Di sini ada perbedaan dengan peraturan lama (HIR), karena menurut HIR,
pembayaran biaya perkara ditanggung oleh terpidana secara sendiri- sendiri
(Hoofdelijk). Jadi, masing-masing bertanggung jawab membayar keseluruhan
biaya perkara.
Juga HIR jelas mengatur bahwa setiap orang yang dipidana harus dipidana pula
membayar biaya perkara (Pasal 378), jadi bersifat imperatif. Hanya orang yang
dibebaskan (vrijspraak) dan yang lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van
rechts vervolging) yang tidak membayar biaya perkara (ditanggung oleh negara).
Dalam undang-undang, baik KUHAP maupun HIR tidak mengatur sanksi jika
biaya perkara tidak dibayar. Jadi, jelas merupakan piutang negara (perdata).
PUTUSAN HAKIM
Mereka diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Kehakiman dan setelah
mendengar hakim-hakim senior Mahkamah Agung untuk masa jabatan tiga tahun,
yang dapat diperpanjang.)
Lembaga ini dikenal juga di Portugal, Italia, Jerman Barat, dan Brasilia. Di negeri
Belanda baru mulai dengan Executie Rechter (Hakim Pelaksana).
Pelaksanaan pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh