PENGADILAN AGAMA
PSIKOLOGI HUKUM
A. Latar Belakang
Salah satu hak yang dijamin oleh UUD 1945 adalah hak untuk melangsungkan
perkawinan dan memiliki anak. Perkawinan merupakan awal dari proses perwujudan dari
pembentukan suatu keluarga dalam kehidupan manusia. Keutuhan dan kerukunan rumah
tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam
rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945
(selanjutnya ditulis UUD 1945). Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah
tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini
perlu terus ditumbuh kembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.
Didalam rumah tangga, anggota keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang
merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat erat. Idealnya sebuah
keluarga dipenuhi kehangatan, kasih sayang, saling menghormati dan saling melindungi.
Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang
ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap
keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut
disharmonis apabila terjadi sebaliknya.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman dan damai merupakan
dambaan setiap orang dalam rumah tangga.Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan
tersebut sangat bergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga,terutama kadar
kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Keutuhan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat
dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga
timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup
rumah tangga tersebut.
Reaksi korban tindak kekerasan yang mengancam dan menimpa mereka sebagian
besar bersifat pasif dan bahkan pasrah. Sebagai makhluk yang lemah dan secara
psikologis dalam posisi yang tertekan dan takut terhadap pelaku, pada umumnya korban
kekerasan dalam rumah tangga tidak memiliki alternatif dan keberanian yang cukup
untuk melawan situasi yang menekan mereka. Kekerasan dalam rumah tangga
penyebabnya dari banyak persoalan, seperti faktor ekonomi, sosial, pendidikan dan iman.
Faktor dominan yang menjadi penyebab KDRT ialah ekonomi. Dalam masalah ini,
setidaknya terbagi dua kelompok yang menjadi pelaku dan korban KDRT. Pertama
mereka sudah mapan 4 ekonominya, kedua masyarakat miskin. Pada masyarakat bawah,
KDRT dilakukan pada umumnya karena kesulitan ekonomi. Suami atau isteri melakukan
KDRT untuk melampiaskan depresi atau stres akibat tekanan ekonomi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan negara mengenai kasus KDRT?
2. Apakah faktor penyebab terjadinya kasus KDRT?
3. Apa saja bentuk-bentuk KDRT?
4. Bagaimana KDRT jika ditinjau dari Psikologi Hukum?
PEMBAHASAN
Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa: Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di
bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pasal 28 H ayat (2) menyatakan bahwa : Setiap orang berhak mendapat kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.
Saat ini dengan berlakunya undang- undang anti kekerasan dalam rumah tangga
disetujui tahun 2004, maka tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya urusan
suami istri tetapi sudah menjadi urusan publik. Keluarga dan masyarakat dapat ikut
mencegah dan mengawasi bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam
rumah tangga menurut Undang-undang RI Nomor. 23 tahun 2004 adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga
2
Elli N Hasbianto, Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan Perempuan Dalam Perkawinan.
Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Perlindungan Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan seksual.
UGM Yogyakarta, 6 November 1996
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 3
Kebanyakan dari korban KDRT ini terjadi pada perempuan dan anak. Kasus-
kasus rumah tangga yang memicu adanya pengani-ayaan dalam rumah tangga sering
dialami oleh anggota keluarga yang dianggap bisa dilecehkan dan kurang dihormati.
Biasanya pelaku KDRT dikarena masalah ekonomi yang tidak mencukupi kebutuhan
hidup atau perasaan yang egois dalam rumah tangga. Dari sisi etika moral syari’ah yang
didalamnya mengajarkan tentang kasih sayang dan amanah yang harus diemban dalam
institusi perkawinan, tentu tidakan kekerasan terhadap istri bertentangan dengan tujuan
pernikahan, yakni membina rumah tangga yang aman, tentram dan damai yang
melindungi tujuan-tujuan syari’ah. Hukum sebagai aturan dan pedoman dalam kehidupan
masyarakat dimaksudkan untuk mencapai keadilan dan kemanfaatan secara maksimal.
Hukum Islam disyar’at- kan oleh Allah dengan tujuan utama untuk merealisasikan dan
melindungi kemasala- hatan umat manusia. Dalam terminologi ushul fiqh, syari’at
diturunkan Allah kepada hambanya dalam rangka merealisir kemasalahatan manusia di
dunia dan diakhirat. Ini bisa diwujudkan jika syari’at tersebut bisa dipahami dan
menghindarkan diri dari dorongan hama nafsu.4
Kekerasan dalam rumah tangga bukanlah hal yang baru dihadapi oleh para istri
atau suami, akan tetapi telah ada semenjak kehiduan manusia membangun rumah tangga.
Pemahaman yang jujur dan ikhlas terhadap faktor-faktor yang mendorong terjadinya
kekerasan akan menjadi langkah strategis dalam menemukan solusi dari persolan yang
dihadapi. Banyak faktor secara empirik telah terbukti memberikan kontribusi terhadap
meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga muslim. Diantara penyebab itu adalah:
1. Sikap nusyuz istri atau suami yaitu sikap membangkang teradap kewajiban-
kewajiban dalam kehidupan perkawinan, seperti istri tidak mau melayani suami pada
hal tidak ada uzur seperti haid atau sakit.
2. Lemahnya pemahaman atau pengamalan ajaran Islam oleh individu umat Islam.
Tidak adanya ketaqwaan pada individu, lemahnya pemahaman relasi suami-istri
3
BADRIYAH KHALEED, S. H. Penyelesaian Hukum KDRT: Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan
Upaya Pemulihannya. Media Pressindo, 2018.
4
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontektual. Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, cet.1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hal. 3
dalam rumah tangga, dan karakteristik yang tempramental juga sebagai pemicu bagi
seseorang untuk melanggar hukum syari’at termasuk melakukan tindakan KDRT.
3. Disisi lain juga disebabkan adanya faktor ekonomi, pendidikan yang rendah, cemburu
dan lain sebagainya. Kekerasan dalam rumah tangga yan disebabkan faktor ekonomi,
bisa digambarkan karena minimnya penghasilan suami dalam mencukupi kebutuhan
rumah tangga. Terkadang adanya istri yang terlalu banyak menuntut untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga, baik kebutuhan sandang, pangan maupun kebutuhan
pendidikan. Dari situlah berawal pertengkaran antara suami dengan istri yang pada
akhirnya menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Kedua belah pihak tidak lagi
saling mengontrol emosinya.
Menurut UU KDRT, bentuk kekerasan dalam rumah tangga ada empat yaitu :
a) Kekerasan fisik, adalah kekerasan yang mengakibatkan rasa sakit , jatuh sakit atau
luka berat;
b) Kekerasan psikis, perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang;
c) Kekerasan seksual, pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga, atau pemaksaan hubungan seksual terhadap
salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu;
d) Penelantaran rumah tangga, menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian
dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja
yang layak didalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang
tersebut.
Melalui memori saksi yang dalam hal ini adalah istri terdakwa, berdasarkan
kesaksiannya dalam persidangan, saksi melaporkan suaminya karena ingin memberikan
efek jera, sejalan dengan tujuan hukum yang seharusnya dicirikan sebagai suatu
komponen hukum untuk mengendalikan perilaku manusia. Keakuratan saksi korban yang
diterangkan oleh istri dari terdakwa, telah dibenarkan oleh terdakwa. Didalam
mengidentifikasi karakteristik saksi jika ia kebetulan merupakan korban sebuah
kejahatan, memungkinkan bahwa mereka akan mengalami kesulitan dalam menaksir
detail-detail insiden bersangkutan disebabkan karena kondisi psikologis mereka ketika
diminta untuk menggambarkan atau mengidentifikasi tersangka setelah kejahatan
bersangkutan.
Dalam memahami beberapa hal mengenai psikologi hukum mengkaji isu-isu yang
berkaitan dengan kajian aplikasi psikologi dalam bidang hukum berkenaan dengan
persepsi keadilan (bagaimana sesuatu putusan dikatakan adil, kenapa orang berbuat
kejahatan, bagaimana mengubah perilaku orang untuk tidak berbuat kejahatan). Aplikasi
secara detail dalam bidang ini antara lain: forensik, kriminalitas, pengadilan (hakim,
jaksa, terdakwa, saksi, dll), pemenjaraan, dan yang berkaitan dengan penegakan hukum
seperti kepolisian, dan lain-lain.
Pada saat semua proses pemeriksaan telah dilakukan, maka tibalah pada
pertanggung jawaban pidana yang akan diterima oleh terdakwa. Pertanggungjawaban
tersebut ialah diantaranya menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan neyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “Telah melakukan perbuatan kekerasan fisik terhadap
istrinya”. Serta Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara
selama 9 (sembilan) bulan, serta menetapkan masa penahanan yang telah dijalani
terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Lalu memerintahkan
terdakwa untuk tetap berada dalam tahanan serta membebankan terdakwa untuk
membayar biaya perkara. Berdasarkan pertanggungjawaban pidana yang dijatuhkan
diatas, yaitu Pasal 44 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.5
PENUTUP
A. Kesimpulan
5
HADIATI, Moerti. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Hukum Pidana. Perspektif, 2006, 6.2: 82-
91.
Saat ini dengan berlakunya undang- undang anti kekerasan dalam rumah tangga
disetujui tahun 2004, maka tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya urusan
suami istri tetapi sudah menjadi urusan publik. Upaya-upaya preventif yang dilakukan
untuk menekan terjadinya kasus KDRT tersebut yaitu masyarakat perlu digalakkan
pendidikan mengenai HAM (Hak Asasi Manusia) dan pemberdayaan perempuan,
menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap
perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah,
mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan, mempromosikan kesetaraan gender,
mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media.
DAFTAR PUSTAKA
RAMADANI, Mery; YULIANI, Fitri.2017, Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai
salah satu isu kesehatan masyarakat secara global. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas.
Elli N Hasbianto. 1996,Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan
Perempuan Dalam Perkawinan. Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Perlindungan
Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan seksual. UGM Yogyakarta.
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontektual. 2004, Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, cet.1
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
HADIATI, Moerti.2006, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Hukum Pidana.
Perspektif.