Anda di halaman 1dari 11

PERAN PSIKOLOGI HUKUM DALAM PENYELESAIAN PERKARA DI

PENGADILAN AGAMA

(Tinjauan Psikologi Hukum Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

PSIKOLOGI HUKUM

Lola Rikana Putri (S20181143)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER


FAKULTAS SYARI’AH
MEI, 2021
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu hak yang dijamin oleh UUD 1945 adalah hak untuk melangsungkan
perkawinan dan memiliki anak. Perkawinan merupakan awal dari proses perwujudan dari
pembentukan suatu keluarga dalam kehidupan manusia. Keutuhan dan kerukunan rumah
tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam
rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945
(selanjutnya ditulis UUD 1945). Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah
tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini
perlu terus ditumbuh kembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.

Didalam rumah tangga, anggota keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang
merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat erat. Idealnya sebuah
keluarga dipenuhi kehangatan, kasih sayang, saling menghormati dan saling melindungi.
Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang
ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap
keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut
disharmonis apabila terjadi sebaliknya.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman dan damai merupakan
dambaan setiap orang dalam rumah tangga.Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan
tersebut sangat bergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga,terutama kadar
kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Keutuhan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat
dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga
timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup
rumah tangga tersebut.

Keluarga dan kekerasan sekilas seperti sebuah paradoks, kekerasan bersifat


merusak, berbahaya dan menakutkan sementara di lain sisi keluarga diartikan sebagai
lingkungan kehidupan manusia merasakan kasih sayang, mendapatkan pendidikan,
pertumbuhan fisik dan rohani tempat berlindung, beristirahat yang diterima keluarganya,
kerugian korban tindak kekerasan dalam keluarga, tidak saja bersifat material tetapi juga
immaterial antara lain berupa goncangan emosional dan psikologis, yang langsung atau
tidak langsung akan mempengaruhi kehidupannya.

Kekerasan dalam rumah tangga (yang selanjutnya disingkat KDRT), bukanlah


persoalan yang tidak boleh diketahui orang lain, KDRT merupakan pelanggaran hak asasi
manusia dan kejahatan terhadap 2 martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang
harus dihapuskan. Namun kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga acap kali kurang
mendapat perhatian publik, karena kasus ini seringkali masih terbungkus oleh kebiasaan
masyarakat yang meletakkan masalah ini sebagai persoalan intern keluarga, dan tidak
layak atau tabu untuk di ekspos keluar secara terbuka. Untuk mencegah, melindungi
korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat
wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan
falsafah Pancasila dan UUD 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan,
terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.

Reaksi korban tindak kekerasan yang mengancam dan menimpa mereka sebagian
besar bersifat pasif dan bahkan pasrah. Sebagai makhluk yang lemah dan secara
psikologis dalam posisi yang tertekan dan takut terhadap pelaku, pada umumnya korban
kekerasan dalam rumah tangga tidak memiliki alternatif dan keberanian yang cukup
untuk melawan situasi yang menekan mereka. Kekerasan dalam rumah tangga
penyebabnya dari banyak persoalan, seperti faktor ekonomi, sosial, pendidikan dan iman.
Faktor dominan yang menjadi penyebab KDRT ialah ekonomi. Dalam masalah ini,
setidaknya terbagi dua kelompok yang menjadi pelaku dan korban KDRT. Pertama
mereka sudah mapan 4 ekonominya, kedua masyarakat miskin. Pada masyarakat bawah,
KDRT dilakukan pada umumnya karena kesulitan ekonomi. Suami atau isteri melakukan
KDRT untuk melampiaskan depresi atau stres akibat tekanan ekonomi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan negara mengenai kasus KDRT?
2. Apakah faktor penyebab terjadinya kasus KDRT?
3. Apa saja bentuk-bentuk KDRT?
4. Bagaimana KDRT jika ditinjau dari Psikologi Hukum?
PEMBAHASAN

A. Pandangan Negara dalam Kasus KDRT

Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam


rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal
28 UUD 1945, beserta perubahannya.

 Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa: Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di
bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
 Pasal 28 H ayat (2) menyatakan bahwa : Setiap orang berhak mendapat kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.

Atas dasar tersebut, maka untuk mengimplementasikan keberadaan Pasal 28 G


ayat (1) dan Pasal 28 H ayat 92) UUD 194, maka oleh pemerintah Indonesia dibentuklah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (selanjutnya ditulis UU Penghapusan KDRT). Hal ini didasarkan pada
perkembangan dewasa ini yang menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis,
seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan
perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.1

Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis


kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan
di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota
keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa
kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak
kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata,
status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa. Tindak kekerasan pada istri dalam
rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat
tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama:
1
RAMADANI, Mery; YULIANI, Fitri. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai salah satu isu kesehatan
masyarakat secara global. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 2017, 9.2: 80-87.
ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah
tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan
kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak
kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala
keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga
legal yaitu perkawinan.2

Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan


secara sistematis pada tingkat nasional. Laporan dari institusi pusat krisis perempuan,
menunjukkan adanya pening- katan tindak kekerasan terhadap perempuan. Komisi
Perempuan (2005) mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan
sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka. Mitra Perempuan (2005) 80% dari
perempuan yang melapor pelakunya adalah para suami, mantan suami, pacar laki-laki,
kerabat atau orang tua, 4,5% dari perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun.
Pusat Krisis Perempuan di Jakarta (2005); 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan
pelayanan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan
ekonomi, dan pengabaian), hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan
reproduksi perempuan. Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadinya
karena faktor dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang
nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena
transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus nurut kata suami, bila
istri mendebat suami, dipukul. Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada istri, ada
tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh
ikut campur.

Saat ini dengan berlakunya undang- undang anti kekerasan dalam rumah tangga
disetujui tahun 2004, maka tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya urusan
suami istri tetapi sudah menjadi urusan publik. Keluarga dan masyarakat dapat ikut
mencegah dan mengawasi bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam
rumah tangga menurut Undang-undang RI Nomor. 23 tahun 2004 adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga

2
Elli N Hasbianto, Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan Perempuan Dalam Perkawinan.
Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Perlindungan Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan seksual.
UGM Yogyakarta, 6 November 1996
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 3

Kebanyakan dari korban KDRT ini terjadi pada perempuan dan anak. Kasus-
kasus rumah tangga yang memicu adanya pengani-ayaan dalam rumah tangga sering
dialami oleh anggota keluarga yang dianggap bisa dilecehkan dan kurang dihormati.
Biasanya pelaku KDRT dikarena masalah ekonomi yang tidak mencukupi kebutuhan
hidup atau perasaan yang egois dalam rumah tangga. Dari sisi etika moral syari’ah yang
didalamnya mengajarkan tentang kasih sayang dan amanah yang harus diemban dalam
institusi perkawinan, tentu tidakan kekerasan terhadap istri bertentangan dengan tujuan
pernikahan, yakni membina rumah tangga yang aman, tentram dan damai yang
melindungi tujuan-tujuan syari’ah. Hukum sebagai aturan dan pedoman dalam kehidupan
masyarakat dimaksudkan untuk mencapai keadilan dan kemanfaatan secara maksimal.
Hukum Islam disyar’at- kan oleh Allah dengan tujuan utama untuk merealisasikan dan
melindungi kemasala- hatan umat manusia. Dalam terminologi ushul fiqh, syari’at
diturunkan Allah kepada hambanya dalam rangka merealisir kemasalahatan manusia di
dunia dan diakhirat. Ini bisa diwujudkan jika syari’at tersebut bisa dipahami dan
menghindarkan diri dari dorongan hama nafsu.4

B. Faktor penyebab terjadinya KDRT

Kekerasan dalam rumah tangga bukanlah hal yang baru dihadapi oleh para istri
atau suami, akan tetapi telah ada semenjak kehiduan manusia membangun rumah tangga.
Pemahaman yang jujur dan ikhlas terhadap faktor-faktor yang mendorong terjadinya
kekerasan akan menjadi langkah strategis dalam menemukan solusi dari persolan yang
dihadapi. Banyak faktor secara empirik telah terbukti memberikan kontribusi terhadap
meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga muslim. Diantara penyebab itu adalah:

1. Sikap nusyuz istri atau suami yaitu sikap membangkang teradap kewajiban-
kewajiban dalam kehidupan perkawinan, seperti istri tidak mau melayani suami pada
hal tidak ada uzur seperti haid atau sakit.
2. Lemahnya pemahaman atau pengamalan ajaran Islam oleh individu umat Islam.
Tidak adanya ketaqwaan pada individu, lemahnya pemahaman relasi suami-istri

3
BADRIYAH KHALEED, S. H. Penyelesaian Hukum KDRT: Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan
Upaya Pemulihannya. Media Pressindo, 2018.
4
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontektual. Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, cet.1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hal. 3
dalam rumah tangga, dan karakteristik yang tempramental juga sebagai pemicu bagi
seseorang untuk melanggar hukum syari’at termasuk melakukan tindakan KDRT.
3. Disisi lain juga disebabkan adanya faktor ekonomi, pendidikan yang rendah, cemburu
dan lain sebagainya. Kekerasan dalam rumah tangga yan disebabkan faktor ekonomi,
bisa digambarkan karena minimnya penghasilan suami dalam mencukupi kebutuhan
rumah tangga. Terkadang adanya istri yang terlalu banyak menuntut untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga, baik kebutuhan sandang, pangan maupun kebutuhan
pendidikan. Dari situlah berawal pertengkaran antara suami dengan istri yang pada
akhirnya menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Kedua belah pihak tidak lagi
saling mengontrol emosinya.

C. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Menurut UU KDRT, bentuk kekerasan dalam rumah tangga ada empat yaitu :

a) Kekerasan fisik, adalah kekerasan yang mengakibatkan rasa sakit , jatuh sakit atau
luka berat;
b) Kekerasan psikis, perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang;
c) Kekerasan seksual, pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga, atau pemaksaan hubungan seksual terhadap
salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu;
d) Penelantaran rumah tangga, menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian
dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja
yang layak didalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang
tersebut.

D. KDRT ditinjau dari Psikologi Hukum


Dalam usaha mencapai kepuasan diri manusia tidak jarang menghadapi gangguan
dan rintangan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam dirinya. Rintangan yang
datang dari luar dapat diatasi dengan mudah kalau penyesuaian diri dalam lingkungan
mudah dan berhasil dilakukan. Adapun rintangan yang datang dari dalam dirinya akan
sulit diatasi karena bergantung pada proses psikis sejak lahir yang berkembang.
Kebutuhan-kebutuhan pokok manusia antara lain kebutuhan fisiologis merupakan
kebutuhan yang pemuasannya dapat menghilangkan ketegangan karena pengaruh dari
kebutuhan lainnya. Misalnya, jika seseorang merasa lapar atau haus (kebutuhan biologis),
tubuhnya akan gemetar (gangguan fisik). Untuk menghilangkan rasa lapar atau haus itu
sering timbul ketegangan sebagai akibat dari bekerjanya id, ego dan superego yang tidak
seimbang. Kalau pemenuhan kebutuhan itu tidak memuaskan, ketegangan akan tetap ada.
Usaha untuk menghilangkannya adalah melalui pemenuhan terhadap kebutuhan
biologisnya. Pada saat didalam persidangan, terdapat pemeriksaan para saksi yang salah
satunya merupakan istri dari terdakwa yang sekaligus merupakan saksi korban.

Melalui memori saksi yang dalam hal ini adalah istri terdakwa, berdasarkan
kesaksiannya dalam persidangan, saksi melaporkan suaminya karena ingin memberikan
efek jera, sejalan dengan tujuan hukum yang seharusnya dicirikan sebagai suatu
komponen hukum untuk mengendalikan perilaku manusia. Keakuratan saksi korban yang
diterangkan oleh istri dari terdakwa, telah dibenarkan oleh terdakwa. Didalam
mengidentifikasi karakteristik saksi jika ia kebetulan merupakan korban sebuah
kejahatan, memungkinkan bahwa mereka akan mengalami kesulitan dalam menaksir
detail-detail insiden bersangkutan disebabkan karena kondisi psikologis mereka ketika
diminta untuk menggambarkan atau mengidentifikasi tersangka setelah kejahatan
bersangkutan.

Meskipun demikian, dipihak lain juga memungkinkan bahwa seorang korban


kejahatan lebih termotivasi untuk memfokuskan pada wajah sipenjahat dan mengingatnya
dengan baik. Berdasarkan hasil keterangan saksi korban jumarni dalam menjawab
pertanyaan hakim, penulis berpendapat bahwa saksi jumarni termotivasi akibat perbuatan
terdaka sehingga melaporkan terdakwa ke polisi, agar terdakwa tidak mengulangi
perbuatannya lagi.

Dalam memahami beberapa hal mengenai psikologi hukum mengkaji isu-isu yang
berkaitan dengan kajian aplikasi psikologi dalam bidang hukum berkenaan dengan
persepsi keadilan (bagaimana sesuatu putusan dikatakan adil, kenapa orang berbuat
kejahatan, bagaimana mengubah perilaku orang untuk tidak berbuat kejahatan). Aplikasi
secara detail dalam bidang ini antara lain: forensik, kriminalitas, pengadilan (hakim,
jaksa, terdakwa, saksi, dll), pemenjaraan, dan yang berkaitan dengan penegakan hukum
seperti kepolisian, dan lain-lain.

Pada saat semua proses pemeriksaan telah dilakukan, maka tibalah pada
pertanggung jawaban pidana yang akan diterima oleh terdakwa. Pertanggungjawaban
tersebut ialah diantaranya menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan neyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “Telah melakukan perbuatan kekerasan fisik terhadap
istrinya”. Serta Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara
selama 9 (sembilan) bulan, serta menetapkan masa penahanan yang telah dijalani
terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Lalu memerintahkan
terdakwa untuk tetap berada dalam tahanan serta membebankan terdakwa untuk
membayar biaya perkara. Berdasarkan pertanggungjawaban pidana yang dijatuhkan
diatas, yaitu Pasal 44 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.5

Perlu diketahui bahwa batasan pengertian Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah


tangga (PKDRT) yang terdapat di dalam undang-undang No. 23 tahun 2004, adalah ;
“setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Mengingat UU tentang KDRT merupakan hukum publik yang didalamnya ada ancaman
pidana penjara atau denda bagi yang melanggarnya, maka masyarakat luas khususnya
kaum lelaki, dalam kedudukan sebagai kepala keluarga sebaiknya mengetahui apa itu
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

PENUTUP

A. Kesimpulan
5
HADIATI, Moerti. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Hukum Pidana. Perspektif, 2006, 6.2: 82-
91.
Saat ini dengan berlakunya undang- undang anti kekerasan dalam rumah tangga
disetujui tahun 2004, maka tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya urusan
suami istri tetapi sudah menjadi urusan publik. Upaya-upaya preventif yang dilakukan
untuk menekan terjadinya kasus KDRT tersebut yaitu masyarakat perlu digalakkan
pendidikan mengenai HAM (Hak Asasi Manusia) dan pemberdayaan perempuan,
menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap
perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah,
mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan, mempromosikan kesetaraan gender,
mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media.

Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari


bantuan oleh psikolog sangat diperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya
melakukan kekerasan dapat terkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani terapi
kognitif, karena tanpa adanya perubahan dalam pola piker suami dalam menerima dirinya
sendiri dan istrinya maka kekerasan akan kembali terjadi. Sedangkan bagi istri yang
mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar untuk berperilaku
asertif. Selain itu istri juga dapat meminta bantuan pada LSM yang menangani kasus-
kasus kekerasan pada perempuan agar mendapatkan perlindungan. Upaya lain yang
dilakukan juga seperti membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan
sosial bukan individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM
(Hak Asasi Manusia), sosialisasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang
tidak dapat dibenarkan dan dapat diberikan sanksi hukum.

DAFTAR PUSTAKA

RAMADANI, Mery; YULIANI, Fitri.2017, Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai
salah satu isu kesehatan masyarakat secara global. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas.
Elli N Hasbianto. 1996,Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan
Perempuan Dalam Perkawinan. Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Perlindungan
Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan seksual. UGM Yogyakarta.

BADRIYAH KHALEED, S. H. 2018, Penyelesaian Hukum KDRT: Penghapusan Kekerasan


dalam Rumah Tangga dan Upaya Pemulihannya. Media Pressindo.

Ahmad Rofiq, Fiqh Kontektual. 2004, Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, cet.1
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar)

HADIATI, Moerti.2006, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Hukum Pidana.
Perspektif.

Anda mungkin juga menyukai