Anda di halaman 1dari 13

1

MAKALAH FIQH DAN USHUL FIQH


“Perwalian, Urutan dan Jenisnya”

“Dipresentasikan Dalam Diskusi Mata Kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh”

Oleh Kelompok 6 :
Winda Ayu Fietri (1610204153)

Dosen Pengampu :
Syafyalmi, S.PdI, M.Pd

JURUSAN TADRIS BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KERINCI
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
2

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas rahmat dan hidayahnya kami dapat menyusun sebuah makalah
yang membahas tentang “Perwalian, Urutan dan Jenisnya” meskipun sangat jauh
dari kesempurnaan, selanjutnya salawat dan salam kami kirimkan kepada Nabi
Besar Muhammad SAW sebagaimana beliau telah mengangkat derajat manusia
dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.
Dalam penulisan makalah, kami memberikan sejumlah materi yang terkait
dengan materi yang disusun secara langkah demi langkah, agar mudah dan cepat
dipahami oleh pembaca. Dan kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
dosen yang membimbing mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh. Bapak Syafyalmi,
S.PdI, M.Pd atas bimbingannya. Kami juga mengharapkan agar makalah ini dapat
dijadikan pedoman apabila, pembaca melakukan hal yang berkaitan dengan
makalah ini,.
Sebagai manusia biasa tentu kami tidak dapat langsung menyempurnakan
makalah ini dengan baik, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun dari dosen pembimbing maupun pembaca.

Sungai Penuh, 10 April 2020


Penulis

 Winda Ayu Fietri


3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................2
DAFTAR ISI.......................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................5
C. Tujuan Penulisan......................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Perwalian...............................................................................6
B. Syarat-Syarat Wali Dalam Pernikahan....................................................6
C. Fungsi Wali Dalam Pernikahan...............................................................7
D. Jenis-jenis Wali Dalam Pernikahan.........................................................7
E. Urutan Wali Dalam Pernikahan...............................................................9
F. Kekuasaan Wali Dalam Pernikahan.........................................................10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................12
B. Saran........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA
4

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan adalah suatu yang sakral dilakukan dan suci, merupakan
dambaan setiap pemuda dan pemudi. Untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah
mudah dan sembarangan, karena harus ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi,
apabila kurang salah satu dari syarat dan rukun maka menurut ulama fiqh tidak
sah pernikahan.
Salah satu rukun yang harus dipenuhi adalah adanya wali dari pihak
perempuan, apabila rukun ini tidak dipenuhi maka sia-sialah pernikahan yang
dilaksanakan. Pada hakikatnya seorang perempuan harus dinikahkan oleh ayahnya
yang bertindak sebagai wali, namun tidak selamanya hubungan antara keduanya
itu berjalan dengan baik, terkadang hanya karena berbeda pendapat seorang ayah
tidak mau bertindak menjadi seorang wali bagi anaknya.
Kedudukan wali hanya bisa diberikan kepada orang-orang yang telah
nyata ketaqwaannya. Sementara orang yang telah melanggar syari`at tidak dapat
diberikan kedudukan yang mulia ini. Saat ini, masih banyaknya masyarakat yang
kurang paham terhadap kedudukan wali dalam perikahan, sehingga membuat
mereka terkadang kurang memperdulikan masalah perwalian ini dalam proses
pelaksanaan akad nikah.
Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar`i
atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna karena
kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatan sendiri.
Menurut Imam Maliki dan Imam Syafi'i bahwa wali adalah salah satu rukun
perkawinan dan tidak ada perkawinan tanpa wali (Mahmud Yunus, 1964: 53). jadi
suatu perkawinan dianggap tidak sah jika tidak terdapat seorang wali yang
mengijabkan mempelai wanita kepada mempelai pria. Pada hakikatnya seorang
perempuan harus ditikahkan oleh ayahnya yang bertindak sebagai wali.1

B. Rumusan Masalah
1 Abdul Raman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 190.
5

Adapun rumusan masalah dalam makalah adalah sebagai berikut :


1. Apa pengertian dari perwalian?
2. Apa saja syarat-syarat menjadi wali dalam pernikahan?
3. Apa saja fungsi dari wali dalam pernikahan?
4. Apa saja jenis-jenis dari wali dalam pernikahan?
5. Apa saja urutan wali dalam pernikahan?
6. Bagaimana kekuasaan wali dalam pernikahan?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari dibuatnya makalah adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian dari perwalian.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat menjadi wali dalam pernikahan.
3. Untuk mengetahui fungsi dari wali dalam pernikahan.
4. Untuk mengetahui jenis-jenis wali dalam pernikahan.
5. Untuk mengetahui urutan wali dalam pernikahan.
6. Untuk memahami kekuasaan wali dalam pernikahan.

BAB II
6

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perwalian
Secara etimologis, itilah wali  diambil dari bahasa arab, dengan akar kata
waliyah-yaliyu-walyan yang artinya amat dekat kepada, mengikutinya, mengiringi
tanpa batas. Istilah ini juag ada dalam bentuk kata al-walii-wulan-waalin yang
artinya hakim, pemerintah, dan wali. Dari makna demikian di sebutkanlah bahwa
wali bagi seorang wanita ialah yang mempunyai hak/kekuasaan untuk melakukan
akad pernikahannya dan ia tidak membiarkannya diganggu oleh orang lain.
Sedangkan dalam pengertian terminologis perwalian (wilayah) ialah
kekuasaan secara syariat yang di miliki orang yang berhak untuk melakukan
tasrharuf (aktifitas) dalam kaitan dengan keadaan/urusan orang lain untuk
membantunya. Dan ada pemahaman lain tentang wali perwakilan dengan definisi
suatu wewenang syar'i atas segolongan manusia, yang di limpahkan kepada orang
yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang di kuasai tersebut,
demi kemaslahatan sendiri.  Semua pengertian ini mengacu kepada kodrat
kemanusiaan di mana perempuan sangat membutuhkan kehadiran wali.
Yang dimaksud dengan perwalian dalam perkawinan adalah seseorang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Keberadaan
seorang wali dalam akad nikah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan
yang tidak dilakukan oleh wali.2

B. Syarat-Syarat Wali
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang
dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu, maka seorang wali haruslah
memenuhi syarat, sebagai berikut:
1. Islam, tidak sah orang yang bukan muslim menjadi wali nikah.
2. Baliqh atau telah dewasa, anak kecil tidak berhak menjadi wali.
3. Berakal, orang gila tidak ada hak menjadi wali.

2 Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Jakarta Timur: Tinta Abadi Gemilang, 2013),
hlm. 371.
7

4. Laki-laki, perempuan tidak dibolehkan menjadi wali.


5. Adil, telah dikemukakan bahwa wali itu harus adil maksudnya yaitu tidak
bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orag yang tidak membiasakan diri
berbuat mungkar.3

C. Fungsi Wali
Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya
pada masalah perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil (berakal),
maka ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan
wanita, walaupun ia dimintakan persetujuannya oleh walinya, tetapi tidak
diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Suatu perkawinan sangat
mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan seseorang.
Dan dengan adanya anggapan bahwa wanita (dalam bertindak) lebih sering
mendahulukan perasaan daripada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat
melakukan sesuatu yang menimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga
akan menimpa walinya. Disamping itu pada prakteknya di masyarakat, pihak
perempuanlah yang mengucapkan ijab (penawaran), sedang pengantin laki-laki
yang diperintahkan mengucapkan qabul (penerimaan). Karena wanita itu pada
umumnya (fitrahnya) adalah pemalu, maka pengucapan ijab itu perlu diwakilkan
kepada walinya.  Hal ini berarti bahwa fungsi wali dalam pernikahan adalah untuk
menjadi wakil dari pihak perempuan untuk mengucapkan ijab dalam akad
nikahnya.4

D. Jenis-Jenis Wali
1. Wali Nasab
Wali nasab yaitu orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai
wanita dan berhak menjadi wali. Imam Syafi`i berpedapat bahwa anak laki-laki
tidak termasuk ashabah seorang wanita. Menurut Imam Syafi`i, suatu
pernikahan baru dianggap sah bila dinikahkan oleh wali yang dekat lebih dulu,

3 Anissa Rahma. 2010. Fiqh Islam. Jurnal Keagamaan UIN JAKARTA, Volume
VI, Nomor 2, hlm. 40.
4 Alimuddin Hasbi, Fiqh Muqarran, (Lhokseumawe: Sefa Bumi Persada, 2015), hlm. 93.
8

bila tidak ada yang dekat-dekat, baru dilihat urutan secara tertib. Maka
selanjutnya bila wali jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertidak sebagai
wali.
2. Wali Hakim
Wali hakim yaitu orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak
sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali
nasab apabila:
a. Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
b. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
c. Wali berada di tempat yang jaraknya sejauh perjalanan yang membolehkan
untuk shalat qashar.
d. Walinya berada dalam penjara atau tahanan yang tidak bisa dijumpai.
e. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umrah.
f. Walinya gila atau fasik.

3. Wali Muhakkam
Wali Muhakkam yaitu seseorag yang diangkat oleh kedua calon suami-
istri untuk bertidak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa
diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani,
luas ilmu fiqhnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam
dan laki-laki.
Adapun cara pengangkatannya secara tahkim adalah calon suami dan
istri mengucapkan tahkim yang sama kemudian calon hakim tersebut
menjawab. Wali muhakkam terjadi apabila:5
a. Wali nasab tidak ada.
b. Wali nasab qaib atau bepergian sejauh dua hari perjalanan serta tidak ada
wakilnya disitu.
c. Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah.

5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafido


Persada, 2000), hlm. 74.
9

4. Wali Maula
Wali maula yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya
sendiri. Laki-laki boleh menikahkan budak perempuannya yang berada dalam
kekuasaannya bilamana budak itu rela menerimanya.6

E. Urutan Wali
Jumhur ulama membagi wali menjadi dua kelompok :7
1. Wali dekat atau wali qarib
Yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek keduanya
mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan
dikawinkannya. Ia dapat mengawinkan anaknya yang masih berada dalam usia
muda tanpa meminta persetujuan dari anaknya tersebut. Wali dalam kedudukan
ini disebut wali mujbir.ketidak harusan minta pendapat dari anaknya yang
masih muda itu adalah karena orang yang masih muda tidak mempunyai
kecakapan untuk memberikan persetujuan.
2. Wali jauh atau wali ab’ad, yang menjadi wali jauh secara berurutan adalah :
a. Saudara laki-laki kandung,kalau tidak ada pindah kepada
b. Saudara laki-laki seayah,kalau tidak ada pindah kepada
c. Anak saudara laki-laki kandung,kalau tidak ada pindah kepada
d. Anak saudara laki-laki seayah,kalau tidak ada pindah kepada
e. Paman kandung ,kalau tidak ada pindah kepada
f. Paman seayah,kalau tidak ada pindah kepada
g. Anak paman kandung,kalau tidak ada pindah kepada
h. Anak paman seayah
i. Ahli waris kerabat lainya kalau ada
j. Sultan atau wali hakim yang memegang wilayah umum

Hanafi mengatakan bahwa urutan pertama perwalian itu ditangan anak


laki-laki wanita yang akan menikah itu, jika dia memang punya anak, sekalipun

6 Ibid, hlm. 75-76.


7 Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Jakarta Timur: Tinta Abadi Gemilang, 2013),
hlm. 31
10

hasil zina. Kemudian berturut-turut: cucu laki-laki (dari anak laki-laki), ayah,
kakek dari pihak ayah, saudara kandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara
laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), anak
paman dan seterusnya. Dari urutan ini, jelaslah bahwa penerima wasiat dari ayah
tidak memegang perwalian nikah, sekalipun wasiat itu disampaikan secara jelas.
Maliki mengatakan bahwa wali itu adalah ayah, penerima wasiat dari
ayah, anak laki-laki (sekalipun anak zina) manakala wanita tersebut punya anak,
lalu berturut-turut: saudara laki-laki, kakek, paman, dan seterusya, dan sesudah
semua itu tidak ada, perwalia beralih ke tangan hakim.
Urutan yang digunakan syafi`i adalah ayah, kakek dari pihak ayah, saudara
laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki,
paman, anak paman, dan seterusnya, dan bila semua itu tidak ada, perwalian itu
beralih ke tangan hakim.
Hambali member urutan: ayah, penerima wasiat dari ayah, kemudia yang
terdekat dan seterusnya, mengikut urutan yang ada dalam waris, dan baru beralih
ketangan hakim.Kemudian Hanafi mengatakan bahwa manakala ayah atau kakek
mengawinkan anak gadis mereka yang masih kecil dengan orang yang tidak
sekufu, maka akad nikahnya sah jika ia tidak dikenal sebagai pemilik yang jelek.
Akan tetapi, bila yang mengawinkannya bukan ayah atau kakeknya, dengan orang
yang tidak sepadan, maka akad nikah tidak sah sama sekali.
Sedangkan Hambali dan Maliki berpendapat bahwa seorang ayah boleh
mengawinkan anak gadisnya yang masih kecil kurang dari mahat mitsil,
sedangkan syafi`i mengatakan bahwa ayah tidak berhak atas itu, dan bila dia
melakukannya juga, maka si anak boleh menuntut mahar mitsil bagi dirinya.8

F. Kekuasaan Wali Dalam Pernikahan


Delapan persoalan yang berhubungan dengan kekuasaan wali, yaitu
sebagai berikut:
1. Gadis yang belum dewasa (masih kecil) dinikahkan oleh ayahnya.
2. Gadis yang sudah dewasa dinikahkan oleh ayahnya.

8 Ibid. hlm. 32.


11

3. Gadis yang belum dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.


4. Gadis yang sudah dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.
5. Janda yang belum dewasa dinikahkan oleh ayahnya.
6. Janda yang belum dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.
7. Janda yang dewasa dinikahkan oleh ayahnya.
8. Janda yang dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.

1. Janda
Tidak ada perbedaan pedapat ulama bahwa yang dikatakan janda adalah
wanita yang keperawanannya hilang disebabkan persetubuhan dari akad nikah
yang sah atau fasit.
2. Gadis yang belum dewasa dinikahkan oleh wali selain ayah
Wali selain ayah menikahkan gadis yang belum dewasa (dibawah
umur). Wali selain ayah dapat dibagi menjadi dua golonga, yaitu pertama datuk
(kakek), kedua wali-wali selain datuk
Syafi`i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa: jika wanita yang
baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mewakikan dirinya ada
pada wali, akan tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada keduanya. Wali tiak
boleh mengawinkan wanita janda tanpa persetujuannya sebaliknya wanita
itupun tidak boleh mengawika dirinya tanpa restu dari wali.
Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat
boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri,
baik itu gadis maupun janda. Tidak ada seorangpun yang mempuyai wewenang
atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat orang yang dipilih itu
sekufu dengannya dan maharnya tidak kurang dari dengan mahar mitsil.9

BAB III
PENUTUP

9 M.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Akasara, 1999), hlm. 25.
12

A. Kesimpulan
Wali adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai
wanita, karena wali merupakan rukun nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa
wali dinyatakan batal. Syarat wali, yaitu Islam, Baliqh, Berakal, Laki-laki, dan
Adil. Fungsi wali dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan
khususnya pada masalah perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil
(berakal), maka ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda
dengan wanita, walaupun ia dimintakan persetujuan oleh walinya, tetapi tidak
diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya sendiri.
Wali nasab yaitu orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita
dan berhak menjadi wali. Wali hakim yaitu orang yang diangkat oleh
pemerintahuntuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali
Muhakkam yaitu seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk
bertidak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Wali maula yaitu wali yang
menikahkan budaknya. Urutan wali, bapak, Kakek sebelah bapak dan seterusnya
ke atas, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki dari
saudara laki-laki kadung. anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, paman
sebapak, anak laki-laki paman kandung dan anak laki-laki paman sebapak.
Kekuasaan wali yaitu jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih
gadis, maka hak mewakikan dirinya ada pada wali. Akan tetapi jika ia janda,
maka hak itu ada pada keduanya, wali tidak boleh mengawinkan wanita janda
tanpa persetujuannya sebaliknya wanita itupun tidak boleh mengawinkan dirinya
tanpa restu dari wali.

B. Saran
Dalam penulisan makalah kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu kami senantiasa menerima saran dan kritik yang
sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
13

Hasbi, Alimuddin, Fiqh Muqarran, (Lhokseumawe: Sefa Bumi Persada, 2015)

Rahma, Anissa. 2010. Fiqh Islam. Jurnal Keagamaan UIN JAKARTA, Volume
VI, Nomor 2

Raman Ghozali, Abdul, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008)

Ramulyo, M. Idris, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Akasara, 1999)

Sabiq, Muhammad Sayyid, Fiqih Sunnah (Jakarta Timur: Tinta Abadi Gemilang,
2013)

Sayyid Sabiq, Muhammad, Fiqih Sunnah (Jakarta Timur: Tinta Abadi Gemilang,
2013)

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafido


Persada, 2000)

Anda mungkin juga menyukai