Anda di halaman 1dari 34

Agama Islam 2

(Kuliah Ke-10/Rabu, 20 Mei 2020)


Agama dan Sains (Ilmu Pengetahuan)

a. Kuliah ke 10 (Agama dan Sains/Ilmu Pengetahuan) berisi tugas: mereview satu di antara
artikel berikut.
b. Review artikel diketik, dikirim dalam format pdf.
c. Mereview artikel yang dipilih dengan bantuan beberapa pertanyaan berikut:
 Menurut hasil pembacaanmu; sebutkan beberapa poin kelebihan artikel!
 Menurut hasil pembacaanmu; sebutkan beberapa poin kekurangan artikel!
 Jika kamu sepaham dan atau sepakat dengan artikel, sebutkan beberapa poin yang kamu
sepaham dan atau sepakat dengan alasan dan penguatan kesepahaman dan atau kesepa-
katanmu dari berbagai sumber lain. Juga sebaliknya; jika ada beberapa poin kamu tidak
sepaham dan atau tidak sepakat, sebutkan beberapa poin yang kamu tidak sepaham dan
atau tidak sepakat dengan alasan dan penguatan dari berbagai sumber
d. Lembar jawab (review) dilengkapi dengan identitas.
e. Sampel lembar jawab ada di bawah ini.
LEMBAR JAWAB
TUGAS REVIEW ARTIKEL
Nama :
NPM :
Kelas :
PRODI : Pendidikan Matematika
Artikel no :
Judul artk :
Penulis :
Artikel No. 1

SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN


DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN
Jamal Fakhri
Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung
Alamat: Jl. Raden Intan No. 23 Tanjungkarang, Lampung

Abstract: Islam deeply appreciate science and technology. The inspiration of science
and technology can be found in many of Qur’anic verses. At least, there are four of
science principles in Qur’an. Among of them are: istikhlaf, equilibrium, and taskhir
principles. The concept of science and technology in Qur’an is also applicable and
relevant to be applicated in learning process at Islamic education institution. But,
there is still a problem in it, i.e. the problem of educational dichotomy. The problem
can be solved by integration project in education. It can be elaborated in three issues:
1) curriculum integration, 2) learning integration, and 3) science integration
(islamization of sciences).
Keywords: science, technology, al-Qur’an learning, integration of education

A. Pendahuluan
Pendidikan Islam yang mengalami masa tunas pada masa Dinasti Bani
Umayyah mencapai puncaknya pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. Kemajuan
pendidikan Islam pada masa ini dikarenakan penguasa dari Dinasti Bani
Abbasiyah mengambil kebijakan dengan mengangkat orang-orang Persia
menjadi pejabat-pejabat penting di istana, terutama dari keluarga Baramikah,
sebuah keluarga yang telah lama bersentuhan dengan filsafat dan ilmu
pengetahuan Hellenisme yang mempengaruhi umat Islam untuk belajar dan
mengembangkan pemikiran Islam. Hal ini semakin nyata setelah penguasa dari
Dinasti ini memproklamirkan aliran Mu’tazilah, sebuah aliran teologi rasional
sebagai mazhab resmi negara. Pada masa ini pendidikan Islam mencapai zaman
keemasannya. Filsafat Islam, ilmu pengetahuan, sains dan pemikiran Islam
mencapai kemajuan yang sangat pesat sehingga menjadikan Islam sebagai pusat
keilmuan yang tiada tandingnya di dunia dan filsafat serta ilmu pengetahuannya
menjadi kiblat dunia pada saat itu.
Perseteruan antara agama dan ilmu pengetahuan (sains) merupakan isu
klasik yang sampai saat ini masih berkembang di dunia Barat dalam wujud
sekularisme. Tetapi, Islam tidak mendekati persoalan sains ini dari perspektif
tersebut karena al-Qur’an dan al-Sunnah telah memberikan sistem yang lengkap
dan sempurna yang mencakup semua aspek kehidupan manusia, termasuk
kegiatan-kegiatan ilmiah atau penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Jadi, kegiatan
ilmiah merupakan bagian yang integral dari keseluruhan sistem Islam di mana
masing-masing bagian memberikan sumbangan terhadap yang lainnya. Al-
Qur’an sangat menekankan pentingnya membaca (baca: mengamati) gejala
alam dan merenungkannya. Al-Qur’an mengambil contoh dari kosmologi, fisika,
biologi, ilmu kedokteran dan lainnya sebagai tanda kekuasaan Allah untuk
dipikirkan oleh manusia. Tidak kurang dari tujuh ratus lima puluh ayat –sekitar
seperdelapan al-Qur’an– yang mendorong orang beriman untuk menelaah alam,
merenungkan dan menyelidiki dengan kemampuan akal budinya serta berusaha
memperoleh pengetahuan dan pemahaman alamiah sebagai bagian dari
hidupnya. Kaum muslim zaman klasik memperoleh ilham dan semangat untuk
mengadakan penyelidikan ilmiah di bawah sinar petunjuk al-Qur’an, di samping
dorongan lebih lanjut dari karya-karya Yunani dan sampai batas-batas tertentu
oleh terjemahan naskah-naskah Hindu dan Persia. Dengan semangat ajaran al-
Qur’an, para ilmuwan muslim tampil dengan sangat mengesankan dalam setiap
bidang ilmu pengetahuan. Pengaruh al-Qur’an ini tidak saja diakui oleh
kalangan ilmuwan muslim zaman dahulu, seperti al-Ghazali, (1983:45-48) dan
al-Suyuthi, (Dhahabi, 1961: 420) bahkan sarjana Baratpun mengakuinya,
seperti R. Levy (1975:400) (1975: 400) dan George Sarton. (tt:23).

B. Sains dan Teknologi dalam Al-Quran


Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan
satu sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia
tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui
penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap
data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam.
Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia tentang proses-
proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka
kegiatan yang produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60).
Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan
yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an bukanlah
ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu
secara gamblang.
Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an
memberikan informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang
cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78).
Bahkan, pesan (wahyu) paling awal yang diterima Nabi SAW mengandung
indikasi pentingnya proses investigasi (penyelidikan). Informasi alQur’an
tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik
perhatian manusia kepada Pencipta alam Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana
dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta
mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993).
Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh
sebab itu, pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat
kepada Tuhannya.
Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari
pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada
tingkatan yang hampir sama dengan iman seperti tercermin dalam surat al-
Mujadalah ayat 11:
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara
kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia mencari ilmu atau
menjadi ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah yang
berkaitan dengan hal ini. Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan, dan
mengamati kejadian-kejadian (Fathir: 27; al-Hajj: 5; Luqman: 20; alGhasyiyah:
17-20; Yunus: 101; al-Anbiya’: 30), membaca (al- ‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui
suatu kejadian (al-An’am: 97; Yunus: 5), supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15),
menjadi yang berpikir atau yang menalar berbagai fenomena (al-Nahl: 11;
Yunus: 101; al-Ra’d: 4; al-Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-Jatsiyah: 5, 13), menjadi
ulu al-albab (Ali ‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar: 18), dan mengambil pelajaran
(Yunus: 3).
Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat
diketahui dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang
Maha Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis
baca). Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5)
Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti
menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan,
menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik
yang tertulis maupun tidak. Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu
mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh manusia. (Shihab,
1996:433).
Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu
agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya
paling lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang
bereperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan umatnya. Berkaitan
dengan hal ini, Ghulsyani mengajukan beberapa alasan untuk menolak dikotomi
ilmu agama dan ilmu non agama sebagai berikut:
1. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul
dalam maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat al-Zumar:
“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-
orang yang tidak mengetahui.” Beberapa ayat lain yang senada di antaranya
QS 2:31; QS 12:76; QS 16: 70.
2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak
hanya berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya,
firman Allah pada surat Fathir ayat 27-28:
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu
Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya.
Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang
beraneka ragam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian
(pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang
ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah “ulama”.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."
Dengan jelas kata ulama (pemilik pengetahuan) pada ayat di atas
dihubungkan dengan orang yang menyadari sunnatullah (dalam bahasa
sains: “hukum-hukum alam”) dan misteri-misteri penciptaan, serta merasa
rendah diri di hadapan Allah Yang Maha Mulia.
3. Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. “Qarun berkata:
Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-
Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44- 45).
Di samping itu, subyek yang dituntut oleh wahyu pertama (al-‘Alaq: 1-5)
adalah manusia, karena potensi ke arah itu hanya diberikan oleh Allah swt.
kepada jenis makhluk ini. Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari
fungsi dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah di atas muka bumi.
Sedangkan bumi dan langit beserta isinya telah ‘ditundukkan’ bagi kepentingan
manusia. Mari perhatikan firman Allah di dalam surat al-Jatsiyah ayat 13:
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi semuanya (sebagai rahmat dari-Nya). Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”
Kata sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau kata yang semakna
dengan itu banyak ditemukan di dalam alQur’an yang menegaskan bahwa Allah
swt. menundukkan semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-peraturan-Nya,
sehingga manusia dapat mengambil manfaat sepanjang manusia mau
menggunakan akal dan pikirannya serta mengikuti langkah dan prosedur yang
sesuai dengan sunnatullah itu. Misalnya, menurut Baiquni, (1997: 15- 16)
tertiupnya sehelai daun yang kering dan pipih oleh angin yang membawanya
membumbung tinggi ke atas adalah karena aliran udara di sekitarnya. Orang
yang melakukan pengamatan dan penelitian untuk menemukan jawaban atas
pertanyaan: “bagaimana daun itu diterbangkan?”, niscaya akan sampai kepada
sunnatullah yang menyebabkan daun itu bertingkah laku seperti yang tampak
dalam pengamatannya. Pada dasarnya, sebuah benda yang bentuknya seperti
daun itu, yang panjang dan bagian pinggir dan lebarnya melengkung ke bawah,
akan mengganggu aliran udara karena pada bagian yang melengkung itu aliran
udara tidak selancar di tempat lain. Akibatnya, tekanan udara di lengkungan itu
lebih tinggi dari pada bagian lainnya sehingga benda itu terangkat. Orang yang
melakukan pengamatan dan penelitian itu menemukan sunnatullah yang dalam
ilmu pengetahuan disebut aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap
dalam bidang aerodinamika dan pengetahuan tentang sifat-sifat material
tertentu manusia mampu menerapkan ilmunya itu untuk membuat pesawat
terbang yang dapat melaju dengan kecepatan tertentu.
Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam semesta ini,
manusia telah dibekali oleh Allah SWT dua potensi penting, yaitu potensi
fitriyah (di dalam diri manusia) dan potensi sumber daya alam (di luar diri
manusia). Di samping itu, al-Qur’an juga memberikan tuntunan praktis bagi
manusia berupa langkah-langkah penting bagaimana memahami alam agar
dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara penghampiran yang sederhana
dalam mempelajari ilmu pengetahuan ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-
Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup proses kagum, mengamati, dan
memahami. Dalam konteks sains, al-Qur’an mengembangkan beberapa langkah
berikut.
1. Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk mengenali secara
seksama alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat dan proses-proses
alamiah yang terjadi di dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan di dalam
surat Yunus ayat 101:
“Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa yang ada
di langit dan di bumi….”
Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni memahaminya tidak sekedar
memperhatikan dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian yang
seksama terhadap kebesaran Allah SWT dan makna dari gejala alam yang
diamati (Baiquni, 1997:20). Perintah ini tampak lebih jelas lagi di dalam
firman Allah di surat al-Ghasyiyah ayat 17-20:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (dengan nazhor) onta bagaimana
ia diciptakan. Dan langit bagaimana ia diangkat. Dan gunung-gunung
bagaimana mereka ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dibentangkan.”
2. Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan peng-
ukuran terhadap gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam surat al-
Qamar ayat 149:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.”
3. Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang mendalam terhadap
fenomena alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat untuk
mencapai kesimpulan yang rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam surat al-
Nahl ayat 11-12.
“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanamantanaman zaitun,
korma, anggur, dan segala macam buahbuahan. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka
yang mau berpikir. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan
bulan untukmu; dan bintang-bintang itu ditundukkan (bagimu) dengan
perintah-Nya. Sebenarnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang menalar.”
Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur’an itulah yang sesungguhnya
yang dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu observasi (pengamatan), peng-
ukuran-pengukuran, lalu menarik kesimpulan (hukum-hukum) berdasarkan
observasi dan pengukuran itu.
Meskipun demikian, dalam perspektif al-Qur’an, kesimpulan-kesimpulan
ilmiah rasional bukanlah tujuan akhir dan kebenaran mutlak dari proses
penyelidikan terhadap gejala-gejala alamiah di alam semesta. Sebab, seperti
pada penghujung ayat yang menjelaskan gejala-gejala alamiah, kesadaran
adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna menjadi tujuan hakiki
di balik fakta-fakta alamiah yang dinampakkan.
Memahami tanda-tanda kekuasaan Pencipta hanya mungkin dilakukan
oleh orang-orang yang terdidik dan bijak yang berusaha menggali rahasia-
rahasia alam serta memiliki ilmu (keahlian) dalam bidang tertentu. Ilmu-ilmu
kealaman seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, biologi, geologi dan
lainnya merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk memahami
fenomena alam semesta secara tepat. Dengan bantuan ilmu-ilmu serta didorong
oleh semangat dan sikap rasional, maka sunnatullah dalam wujud keteraturan
tatanan (order) di alam ini tersingkap.

C. Prinsip-Prinsip Dasar Kagiatan Ilmiah dalam Al-Quran


Atas dasar pandangan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan (sains dan
teknologi), dapat dirumuskan beberapa prinsip dasar yang menopang dan
memantapkan kegiatan ilmiah manusia sebagai berikut.
1. Prinsip Istikhlaf: merupakan salah satu prinsip dasar yang digariskan oleh al-
Qur’an dalam mendukung dan memantapkan kegiatan imiah. Konsep istikhlaf
ini berkaitan erat dengan fungsi kekhalifahan manusia. Dalam Islam, konsep
kekhalifahan memiliki sifat yang multi dimensi.
Pertama, konsep kekhalifahan telah menempatkan manusia sebagai pengatur
dunia ini dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu, imanusia
dibekali dengan dua kekuatan pokok, wahyu Allah dan kemampuan berpikir
(akal). Apabila dua kekuatan itu dipergunakan sebagaimana mestinya, maka
manusia akan meraih keberhasilan dalam kehidupan kini dan kehidupan
nanti.
Kedua, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang paling
bertanggung jawab terhadap Allah dibandingkan makhluk-makhluk lainnya.
Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari anugerah kemampuan
dan kekuatan yang dimilikinya.
Ketiga, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang memiliki
peranan penting untuk mengolah potensipotensi alam semesta. Manusia
paling berperan dalam mengelola seluruh aspek kehidupan, baik aspek fisik,
sosial, dan spiritual yang didasarkan pada hukum-hukum Allah.
Sungguhpun demikian, karena pusat kehidupan alam semesta ini adalah
Allah (Dia menciptakan, menggerakkan segala sesuatu, dan mengawasinya),
bukan manusia, maka manusia memiliki kemampuan terbatas.
2. Prinsip Keseimbangan: prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh al-Qur’an
adalah keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, spiritual
dan material. Prinsip ini dibahas secara luas dan mendalam di dalam al-
Qur’an dengan mengambi berbagai bentuk ungkapan. Manusia disusun oleh
Allah dengan susunan dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan bumi ini
dengan kehendak-Nya untuk memenuhi kebutuhan susunan yang memben-
tuk manusia itu. Dengan demikian, al-Qur’an menghendaki terwujudnya
keseimbangan yang adil antara dua sisi kejadian manusia (spiritual dan
material) sehingga manusia mampu berbuat, berubah dan bergerak secara
seimbang.
3. Prinsip Taskhir: Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk
pandangan al-Qur’an tentang alam semesta (kosmos). Dan, tidak dapat
dipungkiri, manifestasi prinsip ini ke dalamkehidupan riil manusia harus
ditopang oleh ilmu pengetahuan. Alam semesta ini (langit, bumi, dan
seisinya) telah dijadikan oleh Allah untuk tunduk kepada manusia. Allah
telah menentukan dimensi, ukuran, dan sunnah-sunnah-Nya yang sesuai
dengan fungsi dan kemampuan manusia dalam mengelola alam semesta
secara positif dan aktif. Tetapi, bersamaan dengan itu, al-Qur’an juga
meletakkan nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur hubungan antara
manusia dan alam semesta. Oleh sebab itu, al-Qur’an sangat mengecam
ekspoitasi yang melampaui batas. Prinsip taskhir yang ditopang oleh
penguasaan ilmu pengetahuan dan metodologinya merupakan faktor
kondusif bagi manusia dalam membangun bentuk-bentuk peradaban yang
sesuai dengan cita-cita manusia dan kemanusiaan.
4. Prinsip Keterkaitan Makhluk terhadap Khalik: Prinsip penting lainnya adalah
keterkaitan antara sistem penciptaan dengan Sang Pencipta Yang Maha
Agung. Ilmu pengetahuan adalah alat yang mutlak untuk memberikan
penjelasan dan mengungkapkan keterkaitan itu. Para ilmuwan Muslim klasik
telah menghabiskan sebagian besar umurnya untuk mengadakan peng-
amatan dan penelitian terhadap fenomena alam dan akhirnya mereka sampai
kepada kesimpulan yang pasti dan tidak dapat dipungkiri bahwa se-
sungguhnya di balik semua realitas yang diciptakan (makhluk) pasti ada yang
menciptakan. Proses penciptaan yang berada pada tingkat sistem yang begitu
rapih, teliti, serasi, tujuannya telah ditentukan, dan keterikatannya terarah,
pastilah bersumber dari kehendak Yang Maha Tinggi, Maha Kuasa, dan Maha
Mengatur. Berdasarkan empat prinsip di atas, maka jelaslah bahwa ilmu
pengetahuan (sains dan teknologi) merupakan kebutuhan dasar manusia
yang Islami selama manusia melakukannya dalam rangka menemukan
rahasia alam dan kehidupan serta mengarahkannya kepada Pencipta alam
dan kehidupan tersebut dengan cara-cara yang benar dan memuaskan.

D. Sains dan Teknologi Modern: Pertimbangan Epistemologis


Berdasarkan prinsip-prinsip al-Qur’an di atas, beberapaisu penting di
seputar epistemologi sains dan teknologi modernpatut dipertimbangkan.
Persoalan apakah sains dan teknologi itu netral ataukan sarat nilai menjadi
perhatian dan polemik di kalangan ilmuwan Barat sejak Spengler menerbitkan
bukunya The Decline of the West setelah Perang Dunia I.
Argumen bahwa sains itu netral –bahwa sains bisa digunakan untuk
kepentingan yang baik atau buruk; bahwa pengetahuan yang mendalam tentang
atom bisa digunakan untuk menciptakan bom nuklir dan juga bisa me-
nyembuhkan penyakit kanker; bahwa ilmu genetika bisa dipergunakan untuk
mengembangkan teknoogi pertanian dan juga bisa dipergunakan untuk
“menyaingi Tuhan” (ingat rekayasa genetika)– semua tampak amat meyakinkan.
Tetapi, benarkah sains dapat dipisahkan dari penerapannya (teknologi)?
Padahal, sejak masa renaissance (masa kelahiran sains modern) tujuan sains
adalah untuk diterapkan dengan menempatkan manusia sebagai penguasa alam
dan memberinya kebebasan untuk mengeksploitasi alam untuk kepentingan
manusia sendiri, apapun akibat yang ditimbulkannya.
Dampak-dampak fisis dari penerapan sains ini tentunya sudah dirasakan
dalam realitas kehidupan dahulu dan saat ini. Dengan demikian, pada
hakekatnya sains tidak dapat dipisahkan dari penerapannya, baik atau buruk,
sehingga sains tidak netral. Pernyataan ini, sudah barang tentu, mengundang
pertanyaan: “sistem nilai siapa yang mempengaruhi sains?”
Berdasarkan penelitian Shaharir, (1992: 20) ada indikasi kuat bahwa sains
banyak dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut komunitas ahli sains yang
terkait, yang setengahnya tidak serasi dengan nilai Islam. Oleh sebab itu, nilai-
nilai yang menyertai sains modern harus diantisipasi secara cermat agar kita
tidak terperangkap dalam nilai-nilai yang tidak Islami itu.
Di sisi lain, sejak awal kemunculannya, sains telah mengembangkan suatu
pola di mana rasionalisme dan empirisme menjadi pilar utama metode ke-
ilmuan (scientific method). Pola berpikir sains ini ternyata telah berpengaruh
luas pada pola pikir manusia di hampir semua bidang kehidupannya. Sehingga,
penilaian manusia atas realitasrealitas – baik realitas sosial, individual, bahkan
juga keagamaan – diukur berdasarkan kesadaran obyektif di mana eksperimen,
pengalaman empiris, dan abstraksi kuantitatif adalah cara-cara yang paling bisa
dipercaya. Akibatnya, seperti pengalaman AB Shah (1987) (ilmuwan India) yang
ingin memanfaatkan sains untuk memajukan masyarakat India, sains telah
memungkinkan manusia untuk memandang setiap persoalan secara obyektif
dan membebaskan manusia dari ikatan-ikatan takhayul. Akan tetapi, sayangnya,
sains juga membebaskan manusia dari agamanya. Tampaknya, menurut AB
Shah, dunia pengalaman kita sudah semakin sempit. Yang nyata adalah yang
empiris, rasional. Selain itu, termasuk agama, adalah mitos, obsesi dan khayalan.
Di samping itu, sains juga membawa nilai-nilai sekularisme. Sains
memisahkan secara jelas antara dunia material dengan spiritual, antara
pengamat dengan yang diamati, antara subyek dengan obyek, antara manusia
dengan alam. Akibatnya, karena sains hanya mengamati fakta dan aspek yang
dapat diukur, sifat ruhaniah dari alam dan bendabenda yang ada di dalamnya
dihilangkan. Inilah yang disebut sekularisme oleh Naquib al-Attas. (1991).
Belum diketahui secara persis sejauh mana dampak nilai-nilai yang
menyertai perkembangan sains itu terhadap masyarakat Muslim. Akan tetapi,
apa yang dikemukan di atas (bahkan mungkin lebih dari itu) bukanlah rekaan
dan mengada-ada. Inilah ancaman serius bagi generasi sekarang dan generasi
mendatang, yang oleh Ziauddin Sardar (1987: 86) digambarkan sebagai
imperialisme epistemologis. Dalam ungkapannya: “Epistemologi peradaban
Barat kini telah menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian yang dominan
dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif lainnya. Jadi, semua
masyarakat Muslim, dan bahkan sesungguhnya seluruh planet ini, dibentuk
dengan citra manusia Barat.”
Perangkap epistemoogi peradaban (termasuk di dalamnya sains dan
teknologi) Barat demikian kuatnya yang, tampaknya, tidak memungkinkan bagi
siapapun untuk menghindar darinya. Bagi umat Muslim, sungguhpun belum
mampu menciptakan epistemologi alternatif sebagai tandingan, dalam kapasitas
kemampuan masing-masing umat harus kembali kepada al-Qur’an seraya
mencermati pesan-pesan ilahiyah yang terkandung dalam fenomena alam
semesta.
Harus diyakini sepenuhnya bahwa semua yang diciptakan oleh Allah
memiliki kerangka tujuan ilahiyah. Berpijak pada ajaran Tauhid –di mana Allah
adalah Pencipta alam semesta, segala sesuatu berasal dari-Nya dan kembali
kepada-Nya– seyogyanya setiap langkah yang diambil ditujukan untuk
memperoleh keridlaan-Nya dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Pe-
nyelidikan untuk menyingkap rahasia alam semesta tanpa terkecuali terkait
dengan kerangka tujuan ini.
Al-Qur’an tidak menghendaki penyelidikan terhadap alam semesta hanya
untuk pemuasan keinginan (science for science), seperti yang berlaku di Barat.
Menurut al-Qur’an, sains hanyalah alat untuk mencapai tujuan akhir.
Pemahaman seseorang terhadap alam harus mampu membawa kesadarannya
kepada Allah Yang Maha Sempurna dan Maha Tak Terbatas. Dalam perspektif
inilah al-Qur’an menampakkan dimensi spiritual dalam kisah Nabi Ibrahim a.s.
di dalam surat al-An’am: 76-79.
Keyakinan Tauhid yang kokoh akan membuka cakrawala peneliti kepada
pandangan alam yang lebih komprehensif. Ia tidak lagi melihat alam secara
parsial dan sebagai bagian yang terpisah dari dirinya, melainkan saling terkait
dalam kesatuan di balik keragaman. Inilah yang diisyaratkan al-Qur’an bahwa
setiap benda yang diciptakan oleh Allah berada dalam satu kerangka tujuan,
sehingga benda terkecilpun memiliki nilai.
Ajaran Tauhid juga dapat membimbing manusia kepada kesadaran adanya
realitas supranatural di luar realitas eksternal yang dapat diindera. Oleh sebab
itu, ada banyak hal yang tidak bisa diraih lewat indera dan dengan demikian
tumbuh suatu kesadaran bahwa pada hakekatnya pengetahuan manusia itu
sangat terbatas.

E. Implikasi Pandangan Al-Quran tentang Sains dalam Proses Pembelajaran


Merujuk kepada pandangan Barbour tentang relasi agama dan sains,
secara umum ada empat pola yang menggambarkan hubungan tersebut.
Keempat hubungan itu adalah berupa konflik, independensi, dialog, dan
integrasi. Hubungan yang bersifat konflik menempatkan agama dan sains dalam
dua sisi yang terpisah dan saling bertentangan. Pandangan ini menyebabkan
agama menjadi terkesan menegasi kebenaran-kebenaran yang diungkap dunia
sains dan sebagainya.
Persepsi yang menggambarkan hubungan keduanya sebagai inter-
dependensi menganggap adanya distribusi wilayah kekuasaan agama yang
berbeda dari wilayah sains. Keduanya tidak saling menegasi. Ilmu pengetahuan
bertugas memberi jawaban tentang proses kerja sebuah penciptaan dengan
mengandalkan data publik yang obyektif. Sementara agama berkuasa atas nilai-
nilai dan kerangka makna yang lebih besar bagi kehidupan.
Yang ketiga adalah persepsi yang menempatkan sains dan agama
bertautan dalam model dialog. Model ini menggambarkan sains dan agama itu
memiliki dimensi irisan yang bisa diperbandingkan satu sama lain. Pertanyaan
sains bisa dipecahkan melalui kajian-kajian agama dan sebaliknya.
Keempat, hubungan antara sains dan agama itu dinyatakan sebagai
hubungan terintegrasi. Integrasi ini bisa digambarkan dalam dua bentuk yakni
teologi natural (natural theology) yang memandang bahwa temuan-temuan
ilmiah itu merupakan sarana mencapai Tuhan, dan teologi alam (theology of
nature) yang menganggap bahwa pertemuan dengan Tuhan harus senantiasa
di-up grade sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan (Barbour, 2005).
Sejak pertama kali diturunkan, al-Quran telah mengisyaratkan pentingnya
ilmu pengetahuan dan menjadikan proses pencariannya sebagai ibadah. Di
samping itu, al-Quran juga menegaskan bahwa satu-satunya sumber ilmu
pengetahuan adalah Allah SWT. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya
tidak ada dikotomi ilmu dalam pandangan al-Quran. Tidak ada satu ayat pun di
dalam al-Quran, yang secara tegas maupun samar, yang memberi petunjuk
bahwa agama dan sain merupakan dua sisi yang berbeda. Dengan demikian,
dalam pandangan al-Quran, sains dan agama merupakan dua hal yang ter-
integrasi.
Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses mengamati,
menemukan, memahami, dan menghayati sunnatullah, yang berupa fenomena
alamiah maupun sosial, kemudian mengaplikasikan pemahaman tersebut bagi
kemaslahatan hidup manusia dan lingkungannya serta menjadikan kesadaran
adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna sebagai tujuan hakiki
dari kegiatan pembelajaran. Tujuan ini akan membimbing peserta belajar
kepada kesadaran adanya realitas supranatural di luar realitas eksternal yang
dapat ia indera Oleh sebab itu, prinsip-prinsip dasar kegiatan ilmiah yang
digariskan al-Quran, (istikhlaf, keseimbangan, taskhir, dan keterkaitan antara
makhluk dengan Khalik) harus dijadikan titik tolak dalam mempelajari subyek
apapun.
Pada tataran praktis, proses pembelajaran di lembagalembaga pendidikan
formal, dari jenjang tingkat dasar hingga perguruan tinggi, masih menghadapi
perosalan serius yang bermuara pada dikotomi pandidikan. Ada beberapa
persoalan yang signifikansi dampak dari dikotomi pendidikan ini, yaitu: 1)
munculnya ambivalensi orientasi pendidikan yang berdampak pada munculnya
split personality dalam diri peserta didik; 2) kesenjangan antara sistem
pendidikan dengan ajaran Islam berimplikasi pada out put pendidikan yang jauh
dari citacita pendidikan Islam. Untuk meretas persoalan dikotomi tersebut,
maka perlu dilakukan upaya integrasi dalam pendidikan, sebagaimana yang
telah di lakukan sekelompok ahli pendidikan atau cendekiawan Muslim yang
peduli pada persoalan tesebut. Ada tiga tahapan upaya kerja integrasi yang
telah di kembangkan yaitu: 1) integrasi kurikulum, 2) integrasi pembelajaran, 3)
integrasi ilmu (Islamisasi ilmu).
Integrasi kurikulum mencakup integrasi nilai-nilai ilahiyah dalam
keseluruhan materi pelajaran, mulai dari perumusan standar kompetensi
sampai dengan evaluasi pembelajaran. Integrasi pembelajaran yang dimaksud
adalah menanamkan motivasi dan pandangan al-Quran tentang sains kepada
peserta didik di saat proses pembelajran berlangsung. Dua langkah awal
(integrasi kurikulum dan integrasi pembelajaran) merupakan langkah strategis
ke arah integrasi ilmu.
Kalaupun upaya integrasi di atas belum bisa dilakukan, setidaknya,
pembelajaran sains (kealaman maupun sosial) harus mampu menghantarkan
peserta didik kepada kesadaran yang permanen tentang keberadaan Allah.
Sementara pembelajaran agama harus mampu memotivasi peserta didik untuk
melakukan kegiatan ilmiah secara terus-menerus. Inilah yang sesungguhnya
yang menjadi inti pandangan al-Quran tentang sains.

F. Penutup
Islam pernah menjadi ahli dan penemu di berbagai bidang sains dan
teknologi pada masa klasik, namun sekarang kemajuan sains dan teknologi
dalam berapa dasawarsa abad XX telah menempatkan negara-negara yang
penduduknya mayoritas Muslim dalam posisi pinggiran.
Langkah awal yang harus ditempuh adalah membongkar kembali
pemahaman umat Islam terhadap agama yang dianutnya. Misalnya, beberapa
terminologi keagamaan seperti jihad, ilmu, taqwa, amal shalih, dan ihsan perlu
ditafsirkan dalam konteks yang lebih luas dari sekedar terminologi ibadah
dalam arti sempit.
Terminologi jihad yang sementara ini dipahami dalam konteks ‘perang’
melawan orang kafir dengan harapan pahala dan mati syahid, harus diperluas
dalam konteks jihad menuntut ilmu.
Persepsi umat Islam tentang ilmu dan persepsi-persepsi lain yang terkait
dengan ilmu, seperti sekolah agama dan ulama, harus diluruskan. Islam tidak
mengenal dikotomi ilmu agama (ilmu naqli) dan ilmu non agama (ilmu aqli).
Persepsi yang membuat dikotomi itu telah menjauhkan umat Islam dari
kemajuan sains dan teknologi. Sains yang maknanya adalah ilmu dianggap
begitu asing dalam pemikiran sebagian besar umat Islam masa kini. Akibatnya,
karena kata ulama (yang memiliki akar kata yang sama dengan ilmu) dipersepsi
sebatas orang yang berilmu di bidang pengetahuan agama, tidak mengherankan
apabila tokoh-tokoh sains Muslim tidak dikenali sebagaimana tokoh-tokoh
ulama (agama).
Demikian pula dengan terminologi amal shalih dan ihsan amat perlu
diterjemahkan dalam konteks yang meliputi karya sains dan teknologi, bukan
kebajikan dalam arti sempit. Umpamanya, seseorang yang mencipta teori baru
di bidang sains dan teknologi yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan
harus dihargai sebagai orang yang berbuat shalih.
Pengembangan pemahaman umat Islam terhadap agamanya itu mudah
mudahan dapat memotivasi untuk menekuni sains dan teknologi dengan
landasan nilai-nilai al-Qur’an.

Daftar Pustaka
Attas, Syed Naquib al-. 1991. Islam dan Sekularisme, Bandung: Pustaka Salman.
Baiquni, Achmad (a). 1995. Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Baiquni, Achmad (b). 1997. Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman,
Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa.
Barbour, Ian G. 2005. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama,
Bandung: Mizan.
Dzahabi, al-. 1961. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid II, Kairo: Daar al-Kutub al-
Haditsah.
Ghulsyani, Mahdi. 1993. Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Bandung: Mizan.
Levy, R. 1975. The Social Structure of Islam, Cambridge.
Sardar, Ziauddin. 1987. Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka Salman.
Sarton, George. tanpa tahun. Introduction to the History of Science, Jilid 1.
Shah, A.B. 1987. Metodologi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Yayasan Obor.
Zain, Shaharir bin Mohamad. 1992. “Islam dan Pembangunan Sains dan
Teknologi” , Makalah, disampaikan dalam Konggres “Menjelang Abad 21:
Islam dan Wawasan 2020, di Kuala Lumpur tahun 1992. Shihab, Quraish.
1996. Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan.
Artikel No. 2
AGAMA DAN SAINS;
KAJIAN TENTANG RELASI DAN METODOLOGI

Oleh: Syarif Hidayatullah


Fakultas Fislafat, Universitas Gadjah Mada

Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dua masalah yang telah
dirumuskan, yaitu: pertama, bagaimana bentuk-bentuk relasi sains dan agama?,
dan, kedua, bagaimana metode-metode dalam relasi sains dan agama?. Oleh sebab
itu, objek material dari penelitian yang dilakukan adalah persoalan-persoalan
seputar hubungan antara sains dan agama, terlebih khusus berkaitan dengan
bentuk-bentuk relasi dan aspek-aspek metodologisnya, yang dikaji dari pemikiran
sejumlah ilmuwan yang latar keagamaan berbeda, khususnya Kristen Barat dan
Muslim. Selain itu,dalam mencari jawaban atas dua permasalahan penelitian, akan
digunakan filsafat ilmu sebagai perspektifnya sekaligus menjadi objek formal
penelitian. Dari hasil penelitian terungkap bahwa walaupun antara sains dan agama
merupakan dua entitas yang berbeda sebagai sumber pengetahuan dan sumber nilai
bagi kehidupan manusia, namun hubungan keduanya sangatlah dinamis, dari model
relasi yang serba konflik dan kontras, saling independen, berdialog dan saling
bertitik-sentuh (conversation) serta bersesuaian (compatible), hingga saling
konfirmasi dan integrasi serta harmonis. Metode ilmiah digunakan oleh para saintis
dengan memiliki suatu cara tertentu dalam memperoleh pengetahuan tentang
gejala alam. Namun, jika diperbandingkan dengan metode yang dikandung agama,
selain ada perbedaan unik yang dimiliki agama, maka tidak bisa dipungkiri adanya
kemiripan di antara keduanya, misalnya berkaitan dengan pengalaman dan
interpretasi, peran komunitas dan analogi serta model.
Kata Kunci: Sains, Agama, Metode, Relasi

PENDAHULUAN
Ketika memberikan kata pengantar buku karya Greg Soetomo, bertajuk Sains
Dan Problem Ketuhanan (1995), Louis Leahy tak bisa menyembunyikan
kegundahannya dengan seringnya agama dikonfrontasikan dengan sains dan
kosmologi dalam konsepsi kontemporer. Acapkali juga dilihat secara dikotomis,
apakah merupakan suatu harmoni ataukah pertentangan? Benarkah bahwa
kemajuan kemajuan sains dan teknologi bisa menjadi ancaman bagi agama?
Bagaimana kita harus menjelaskan ketika orang beragama sangat mencurigai –
bahkan merasa takut terhadap--sains dan teknik, dan begitu pun sebaliknya, tidak
sedikit para saintis dan ahli teknologi yang cenderung menolak agama dan
menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak relevan bagi kehidupan manusia, lebih
khusus dalam pengembangan sains dan teknologi?. Bagi Leahy, sikap konfrontatif
atau kecurigaan tersebut berakar pada kurangnya pengetahuan dan kompetensi
masing-masing mengenai yang terjadi dalam bidang riset ilmiah dan apa yang khas
bagi monoteisme otentik. Padahal, Leahy sangat meyakini, sains dan agama
dewasa ini sebenarnya bisa berdialog secara intensif, dan saling mendukung.
Hanya saja, masih membutuhkan partisipan yang lebih banyak dan luas lagi
(Soetomo, 1995: 1). Karena itulah, leahy mendorong banyak orang untuk terlibat
secara aktif dalam proses mendialogkan sains dan agama, sekaligus sebagai solusi
atas kurangnya pengetahuan dan kompetensi masing-masing yang selama ini
menjadi faktor mendasar dan utama yang menyebabkan situasi konfrontatif dan
saling curiga antara sains dan agama tersebut.
Dengan latar belakang seperti di atas, maka rumusan masalah yang diteliti
dalam kajian ini adalah: pertama, bagaimana bentuk-bentuk relasi sains dan
agama?, dan, kedua, bagaimana metode-metode dalam relasi sains dan agama?.
Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami:
pertama, bentuk-bentuk relasi sains dan agama, dan, kedua, metode-metode dalam
relasi sains dan agama.

DISKURSUS STUDI AGAMA DAN SAINS


Menurut kajian Greg Soetomo, secara garis besar, ada tiga hal pokok yang
dihasilkan dari riset Soetomo ini, yaitu: pertama, berkaitan dengan perkembangan
sains yang mampu memberikan bukti emperis dan matematis untuk
menyempitkan bahkan menghilangkan relijiusitas yang seringkali diikuti dengan
klaim filosofis yang sebenarnya bukan wewenang sains. Kedua, tentang adanya
kurun waktu di mana berlangsung kemajuan sains yang justru menerangi dimensi
relijiusitas, meskipun bukan diartikan bahwa persoalan iman, wahyu, keberadaan
Allah dan dimensi relijiusitas lainnya telah dianggap selesai. Ketiga, adalah bahwa
kemajuan sains ternyata juga memberikan “pekerjaan rumah” yang tidak sedikit
dalam rupa problem-problem filosofis dimensi relijius, iman, dan wahyu bagi
filsafat Ketuhanan (Soetomo, 1995: 128). Namun demikian, pergaulan filsafat dan
teologi dengan sains, menurut Louis Leahy, adalah sesuatu yang esensial agar Iman
tampak sekaligus pantas dipercayai dan relevan bagi tiap generasi yang hidup
dalam suatu visi tertentu tentang alam semesta (2006: 19). Oleh sebab itu,
berdasarkan kajiannya seputar perdebatan agama dan sains di era modern, Leahy
mendorong terjadinya kolaborasi antar disiplin, untuk mengurangi intensitas
perseteruan sains dan agama. Salah satunya adalah berharap pada kontribusi khas
para ilmuwan yang selalu berpijak pada objektivitas data-data keilmuan yang
dikumpulkan, kekokohan analisis mereka, semangat tanpa pamrih dalam
mengabdi kebenaran, dan sikap mereka yang mementingkan nilai moral,
merupakan hal yang penting sekali bahkan mutlak demi memperkuat,
memperkaya, dan melindungi sektor lain kehidupan intelektual, rohani, dan
praktis umat manusia (2006: 32).
Menurut Zaenal Abidin Bagir (2006: 3), diskursus tentang sains dan agama
menemukan bentuk baru yang subur dan sistemik dalam sekitar empat dasawarsa
terakhir. Maksud sistemik di sini adalah bahwa, seperti halnya suatu bidang kajian,
ia sudah terdapat perdebatan tentang pendekatan, metodologi dan ruang
lingkupnya, tumbuhnya forum-forum akademis yang mewadahi perdebatan
tersebut baik dalam bentuk seminar, konferensi, maupun penerbitan jurnal yang
khas, dan bahkan di beberapa perguruan tinggi mulai dirancang dan
diimplementasikan dalam bentuk matakuliah-matakuliah terkait subjek ini, serta
semakin beredarnya buku-buku teks dan referensi yang mengkaji persoalan
seputar sains dan agama.
Istilah “sains” atau “ilmu dalam pengertian lengkap dan komprehensif,
menurut The Liang Gie, adalah serangkaian kegiatan manusia dengan pikirannya
dan menggunakan berbagai tata cara sehingga menghasilkan sekumpulan
pengetahuan yang teratur mengenai gejala-gejala alami, kemasyarakatan, dan
perorangan untuk tujuan meraih kebenaran, pemahaman, penjelasan, atau
penerapan. Kata “sains” berasal Latin, scientia (“science”, bahasa Inggris), yang
berarti pengetahuan, sedangkan pada kelanjutannya berasal dari bentuk kata kerja
scire, yang berarti mempelajari, mengetahui (2003: 19). Dalam kajian Gie, istillah
“science” dalam literatur Barat, mengandung lima cakupan, yang merupakan
pertumbuhan kesejarahan dari pemikiran manusia yang saling melengkapi.
Bahkan, bisa dikatakan, dari cakupan satu ke cakupan berikutnya terjadi
penegasan makna sehingga menjadi pengertian ilmu dalam artian dewasa ini.
Cakupan ilmu yang pertama dan tertua adalah sesuai dengan asal usul dari kata
“science” yang mengacu pada “pengetahuan semata-mata mengenai apa saja”.
Dalam kelaziman Bahasa Inggris kuno hingga abad ke-17, science memang
diartikan apa saja yang harus dipelajari oleh seseorang, misalnya menjahit dan
menunggang kuda. Cakupan kedua, bahwa sesudah abad ke- 17 dan memasuki
abad berikutnya, pengertian science mengalami penghalusan dan mengacu pada
pengetahuan yang teratur. Cakupan ketiga, science sebagai ilmu kealaman, yang
hingga sekarang masih dipertahankan oleh sebagian pakar. Ilmu pengetahuan
alami dalam perkembangannya terpecah menjadi cabang-cabang ilmu, seperti
Ilmu Alam, Ilmu Hayat, dan Ilmu Kimia yang bersifat lebih khusus. Masing-masing
cabang ilmu yang khusus ini merupakan cakupan keempat. Terakhir, cakupan
kelima, pengertian ilmu seumumnya; yang muncul akibat pembahasan lebih lanjut,
misalnya, tentang peranan ilmu, rakitan ilmu, atau sejarah ilmu, yang me-
nyebabkan orang harus berbicara mengenai segenap ilmu sebagai suatu kebulatan
atau ilmu seumumnya dan bukan pada masing-masing cabang ilmu yang bersifat
khusus, seperti sebelumnya (2003: 20).
Kata “sains” dalam bahasa modern masa kini, menurut Capra (2010: 209),
diturunkan dari kata scientia bahasa Latin, yang berarti “pengetahuan”, sebuah
makna yang bertahan sepanjang Abad Pertengahan dan Renaisans. Pengertian
modern tentang sains sebagai bangunan pengetahuan yang terorganisir, diperoleh
melalui metode tertentu, muncul secara bertahap selama abad ke-18 dan ke-19.
Karakteristik metode ilmiah secara utuh baru dikenali selama abad ke-20 dan
masih sering disalahpami, terutama oleh masyarakat umum. Oleh sebab itu, terma
yang niscaya perlu dijelaskan berkaitan dengan wacana relasi sains dan agama
adalah metodologi. Metodologi, menurut Louay Safi (2001: 7), adalah bidang
penelitian ilmiah yang berkaitan dengan metode-metode yang digunakan untuk
mengkaji fenomena alam dan manusia. Sedangkan metode ilmiah adalah sejumlah
aturan yang harus diikuti oleh peneliti dalam mengkaji pokok persoalan
penelitiannya. Peran metode ilmiah sangat penting, karena ketika seorang peneliti
gagal dalam menerapkannya maka ia tidak boleh melakukan klaim tertentu dalam
ilmu. Di sinilah tugas metodologi untuk menentukan kekuatan suatu metode
ilmiah yang digunakan, sehingga apa yang dihasilkan oleh seorang peneliti dalam
hasil penelitian yang di dalamnya menggunakan metode ilmiah tersebut menjadi
bersesuaian atau tidak dengan watak kebenaran segala sesuatu. Dengan demikian,
metodologi merupakan bidang penelitian ilmiah yang berperan untuk
membenarkan, mendeskripsikan, danmenjelaskan aturan-aturan, prosedur
prosedur sebagai metode ilmiah.

KAJIAN METODOLOGIS AGAMA DAN SAINS


Dalam tradisi keilmuan Barat, science mempunyai beberapa ciri atau sifat
yang menyebabkan ia disebut sebagai ilmu, yaitu: kegiatan, tata cara, dan
pengetahuan. Pencirian ilmu sebagai kegiatan, tata cara, dan pengetahuan, tidak
saling bertentangan, bahkan merupakan kesatuan mantik yang mesti ada secara
runtut. Ilmu harus diusahakan dengan kegiatan manusia, kegiatan harus dilaksana-
kan dengan tata cara tertentu, dan, akhirnya, kegiatan yang bertata cara itu
menghasilkan pengetahuan teratur. Dengan demikian, ilmu secara nyata dan khas,
merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh para ilmuwan, yang
menggunakan pikiran, menyangkut pengertian dan pemahaman, serta mempunyai
tujuan-tujuan tertentu. Tegasnya, ilmu mengarah 108 Jurnal Filsafat, Vol. 29, No. 1
Februari 2019 pada tujuan-tujuan yang diinginkan oleh para ilmuwan (Gie, 2003:
19). Gie mengilustrasikan mantik kesatuan ciri ilmu ini dalam gambar berikut:

Pada umumnya, ilmu dikembangkan oleh para ilmuwan untuk mencapai


kebenaran mengenai sesuatu hal. Dari kebenaran itu ilmu memberikan kepada
manusia tentang alam semesta, dunia sekelilingnya, masyarakat lingkungannya,
dan, bahkan dirinya sendiri. Berdasarkan pemahaman itu, ilmu dapat memberikan
berbagai penjelasan tentang gejala alam, peristiwa kemasyarakatan, dan perilaku
manusia. Penjelasan ini bisa menjadi landasan untuk peramalan yang selanjutnya
bisa merupakan pangkal dari pengendalian terhadap alam sekelilingnya. Menurut
Gie, akhirnya ilmu dapat diarahkan juga pada tujuan penerapan, yaitu
melaksanakan berbagai pengetahuan yang telah diperoleh untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dihadapi manusia (Gie, 2003: 22).
Sedangkan pengetahuan, menurut The International Encyclopedia of Higher
Education (1977), seperti yang dikutip Gie (2003: 23), adalah keseluruhan
kenyataan, kebenaran, asas, dan keterangan yang diperoleh manusia. Setiap
pengetahuan memiliki sasaran, yaitu berbagai soal yang dipelajari dan dipaparkan.
Menurut Gie, sasaran dari pengetahuan yang merupakan ilmu ada enam macam,
yaitu: gagasan niskala, benda alami, jasad hidup, gejala kejiwaan, peristiwa
kemasyarakatan, dan tata alur tanda. Keenam sasaran ini perlu dilengkapi dengan
pusat perhatian atau titik fokus untuk menjadi sasaran yang sesungguhnya dari
ilmu, yaitu sesuatu segi yang dijadikan titik pusat yang dikaji oleh masing-masing
cabang ilmu khusus. Masing-masing cabang pengetahuan berupaya memaparkan
sasarannya dalam bentuk keterangan-keterangan, yang memuat pengetahuan
teratur dalam bentuk empat macam, yaitu: pelukisan, petunjuk, pemaparan pola,
dan penyusunan ulang kesejarahan.
Berkaitan dengan pengertian modern tentang sains sebagai bangunan
pengetahuan yang terorganisir dan diperoleh melalui metode tertentu, yang
kemudian disebut metode ilmiah, Capra menjelaskan, mengapa metode ilmiah
merepresentasikan suatu cara tertentu dalam memperoleh pengetahuan tentang
gejala alam, yaitu sebab: pertama, metode ini mensyaratkan pengamatan
sistematis atas gejala yang dipelajari dan mencatat pengamatanpengamatan ini
sebagai bukti, atau data ilmiah. Dalam beberapa cabang sains, pengamatan
sistematis mencakup pula pelaksanaan eksperimen-eksperimen yang terkontrol,
misalnya fisika, kimia, dan biologi. Namun, dalam cabang-cabang sains lain, justru
hal itu tak mungkin bisa dilakukan, misalnya dalam astronomi atau paleontologi.
Kedua, para ilmuwan mencoba untuk mengaitkan data yang ada dengan cara yang
koheren, bebas dari kontradiksi internal. Representasi yang dihasilkan dari proses
ini dikenal sebagai model ilmiah. Setiap kali dimungkinkan maka kita mencoba
merumuskan model-model kita dalam bahasa matematis, lantaran presisi dan
konsistensi internal dalam matematika. Namun dalam banyak kasus, terutama
dalam sains sosial, upaya-upaya semacam ini sangat problematis, karena
cenderung mengisolasi model-model ilmiah dalam ruang sangat sempit sehingga
kehidupan manfaat. Dalam beberapa dekade terakhir, kita menyadari bahwa baik
formulasi matematis maupun hasil-hasil kuantitatif bukan merupakan komponen
esensial dalam metode ilmiah. Ketiga, model teoritis diuji dengan pengamatan
lebih lanjut, dan jika mungkin, eksperiman tambahan. Apabila model ini konsisten
dengan semua hasil pengujian tersebut dan terutama jika model ini mampu
memprediksi hasil-hasil eksperimen baru, maka model ini secara bertahap
diterima sebagai teori ilmiah. Proses menjadikan ide dan model ilmiah sebagai
subjek bagi pengujian berulang-ulang ini adalah upaya kolektif ilmuwan, dan
penerimaan model tersebut sebagai sebuah teori dilakukan dengan konsensus
ketat atau terbuka dalam komunitas tersebut (2010: 209-210).
Namun, diamati Capra, dalam prakteknya, langkah-langkah atau tahap-tahap
ini tidak terpisah rapi dan tidak selalu berlangsung dalam urutan yang sama. Capra
mencontohkan, seorang ilmuwan bisa merumuskan sebuah generalisasi penda-
huluan, atau hipotesis, berdasarkan intuisi atau data emperis awal. Ketika
pengamatan-pengamatan berikutnya kontradiktif dengan hipotesisnya maka si
peneliti mungkin saja mencoba memodifikasi hipotesis tersebut tanpa harus
menyerah total. Ia bisa membatalkan hipotesis awal ini ketika bukti-bukti empiris
yang diperolehnya terus-menerus bertentangan dengan hipotesis atau model
ilmiah itu, kemudian menggantinya dengan hipotesis baru atau model baru, yang
selanjutnya menjadi subjek bagi pengujian berikutnya. Bahkan sebuah teori yang
sudah diterima dan mapan sekalipun bisa secara bertahap akan runtuh ketika
kemudian muncul bukti-bukti baru yang bertentangan. Metode yang mendasarkan
semua model dan teori semata-mata pada data emperis adalah esensi dari
pendekatan ilmiah (2010: 210).
Berkaitan dengan sejarah ilmu, Gaston Bachelard mengusulkan penjelasan
non-evolusioner tentang perkembangan ilmu di mana perkembangan yang terjadi
sebelumnya tidak selalu menjelaskan keadaan ilmu di masa sekarang. Ia
mencontohkan teori relativitas Einstein sebagai pengembangan dari teori fisikan
Newton, di mana doktrindoktrin baru tidak berkembang dari yang lama dan hanya
bersifat merangkum saja dari yang lama. Saat kita beralih dari teori fisikan non-
Newtonian kepada fisikan Newtonian yang terjadi adalah kita tidak menemukan
kontradiksi namun hanya mengalami kontradiksi saja. Dengan demikian, konsep
yang menghubungkan satu penemuan yang akan datang dengan penemuan-
penemuan sebelumnya, bukanlah kontinuitas, tapi diskontinuitas. Namun
demikian, bagi Bachelard, teori-teori yang dibangun di masa lalu bukan berarti
tidak lengkap dan harus ditentang, melainkan bahwa teori-teori baru cenderung
mentransendenkan sepenuhnya, atau memiliki diskontinuitas dengan, teori-teori
dan penjelasan-penjelasan tentang gejala-gejala yang sebelumnya sudah ada.
Bachelard berpendapat bahwa sebenarnya perubahan makna suatu konsep atau
ciri suatu bidang penelitianlah yang sesungguhnya mencirikan bentuk upaya-
upaya ilmiah dengan baik. Karena itu, yang baru di dalam ilmu itu selalu bersifat
revolusioner. Tentang perkembangan ilmu, ia menyatakan bahwa semua
pemikiran ilmiah pada dasarnya merupakan suatu proses objektivikasi. Ia pun
melihat pemikiran ilmiah pada zaman modern pada dasarnya bertujuan untuk
mengetahui segala fenomena secara relasional, dan tidak secara substantif, atau
sebagai yang memiliki kualitas mendasar (Lechte, 2001: 18).
Berbeda dengan Gaston Bachelar, Michel Serres, filosof kelahiran Perancis,
yanag dikenal sebagai seorang “pengelana” antara seni dan ilmu tidak pernah
menerima bahwa ilmu (apalagi ilmu-ilmu alam) menyesuaikan diri dengan
determinasi positivis pada medan penelitian yang hermetik dan homogen. Serres
menunjukkan bahwa bentuk dan gambaran dari pengetahuan itu mirip dengan
gambaran seorang badut: tokoh “gabungan” yang selalu memiliki baju lain bila
baju luarnya dilepas. Badut adalah tokoh hibrid, gabungan, hermafrodit, campuran
dari berbagai unsur, tantangan terhadap kehomogenan, sepertihalnya peristiwa
kebetulan dalam termodinamika membuka sistem energi dan mencegahnya untuk
meledak ke dalam (Lechte, 2001: 139).
Georges Canguilhem, filosof Perancis, merancang tatanan sejarah yang sangat
berbeda dengan evolusionisme yang tak terelakkan, atau dari pengertian tentang
pengetahuan sebagai suatu kemajuan. Ia mengondisikan satu generasi pemikir
pada gagasan tentang sejarah tingkatan ilmu, yaitu sejarah yang berusaha
mengkaji kesinambungan dan ketidaksinambungan yang ada dalam sejarah
kegiatan ilmiah (Lechte, 2001: 32). Michel Foucault, yang pernah dibimbing
Canguilhem dalam penulisan disertasinya tentang kegilaan, adalah satu dari
sedikit filosof yang mampu menunjukkan arah umum usaha Canguilhem dari sudut
pandang seorang strukturalis. Menurut Foucault, sebelum Canguilhem pendekatan
yang dominan terhadap sejarah ilmu adalah upaya melihat masa lalu sebagai yang
bersifat koheren, dan merupakan pendahulu masa kini dalam rangkaian
kesinambungan. Dalam pendekatan ini secara implisit terkandung pemikiran
bahwa sekali ilmu dan objek-objeknya sudah mapan, sejak itu pula ilmu akan
menjadi penjamin kebenaran. Sebab itu, disiplin ilmiah yang dimapankan dalam
abad ke-17 dan 18 akan menjadi landasan dari ilmu yang berkembang pada abad
ke-19 dan 20. Masalah yang muncul dengan pendekatan ini adalah pendasarannya
pada ilusi retrospektif. Pendekatan ini mengandaikan bahwa masa lalu itu
menghasilkan masa kini. Bahkan, ini mengandaikan bahwa masa kini bersifat statis
dan tidak pernah berubah, sehingga sejarah ilmu yang dituliskan pada masa kini
juga akan tetap absah di masa depan. Namun bagi Canguilhem, yang mencirikan
ilmu bukanlah ketertutupandan kesinambungan, melainkan keterbukaan dan
ketidaksinambungan. Bagi Canguilhem, sejarah ilmu merupakan sistem yang
terbuka, sebab ilmu setiap saat akan menbentuk ulang sejarahnya sendiri dan ia
akan menemukan norma untuk bisa memperbaiki atau mengubahnya. Karena itu,
ia cenderung menjadi suatu proses ketidaksinambungan; karena sudah menjadi
sifatnya, pluralitas norma mensyaratkan adanya ketidaksinambungan norma
(Lechte, 2001: 36).
Canguilhem menurunkan sejarah ilmu dari “ketinggian” menuju “wilayah
tengah” di mana pengetahuan dipengaruhi oleh lingkungan luar. Oleh karena itu,
yang tampak penting dan menarik adalah yang tampak demikian dari perspektif
masa kini. Ia menyatakan bahwa dalam masa kini semua masalah membangkitkan
perenungan. Karena alasan inilah maka tidak ada sejarah ilmu yang sepenuhnya
bersifat netral, dan kita pun harus mengakui bahwa: pertama, satu versi tentang
hal yang benar dan salah bisa saja salah, dan kedua, bagaimanapun, ada kesalahan
atau kekeliruan justru bisa mengungkapkan sejarah ilmu sebagai “kebenaran”.
Dengan demikian, tujuan Canguilhem bukanlah menemukan pencarian kebenaran
itu sendiri melainkan mencari suatu cara untuk mendapatkan pemahaman
bagaimana hal benar dan salah dibentuk dalam sejarah ilmu pada suatu masa.
Pada tataran ini satu cara untuk membuat dikotomi benar-salah bisa, dan sering,
tidak sambung-sinambung dengan cara lainnya. Ketidaksinambungan ini memaksi
kita untuk melihat sejarah ilmu sebagai sederetan koreksi yang dilakukan oleh
ilmu itu sendiri (Lechte, 2001: 33).
Jean Cavailles (1903- 1944), ketika merenungkan pandangan filosof Bolzano
tahun 1817 bahwa ilmu tidak bisa lagi dianggap sebagai pengantara langsung
antara pikiran manusia dan realitas eksternal, berpendapat bahwa jika suatu teori
tentang ilmu tidak lain adalah suatu teori tentang persatuan, maka persatuan
tersebut adalah persatuan dalam gerak, bukan statis— yang bukan merupakan
ilmu yang berada di luar waktu. Filosof Perancis yang dianggap sebagai salah satu
pelopor gerakan strukturalis tahun 1960-an ini beranggapan bahwa makna sejati
dari teori bukan seperti yang dipahami oleh ilmuwan itu sendiri, yang sepenuhnya
bersifat sementara, melainkan dalam kemenjadian konsep yang berlangsung pasti
(Lechte, 2001: 40). Filosof yang gugur karena peluru regu tembak Nazi ini
mempergunakan sejumalah istilah kunci. Kata kunci pertama adalah”struktur”, di
mana Cavailles berpendapat bahwa kerena meneliti bentuk ilmu itu juga
merupakan kegiatan ilmiah, maka ilmu adalah suatu “ilmu tentang ilmu”.
Pernyataannya ini tidak segera menampilkan pengaruhnya tetapi segera tampak
dalam pencerahan diri dari gerakan ilmiah. Menurut Cavailles, gerakan ini setara
dengan struktur. Oleh sebab itu, struktur merupakan manifestasi dari ilmu itu
sendiri.Kata kunci kedua Cavailles adalah “demontrasi”. Dengan demontrasi,
Cavailles berupaya untuk memahami seluruh upaya ilmiah. Dengan penggambaran
ini maka kita bisa melihat hubungan antara matematika dan fisika Sejalan dengan
epistemologi Kantian, hubungan antara matematika dan fisika dilihat sebagai
hubungan antara ilmu “murni” dan “terapannya”. Gejala-gejala baru dalam fisika
akan dijelaskan dan dipahami dalam kerangka matematika apriori. Namun di sisi
lain, ilmu sejati tidak pernah meninggalkan objek yang didemonstrasikannya.
Akibatnya, menurut Cavailles, tidak ada sisi ilmu yang sepenuhnya “murni”, seperti
juga tidak ada yang pada dasarnya bersifat “terapan’. Oleh sebab itu, suatu
demonstrasi akan dianggap benar ketika tidak melalui aktualisasi beberapa
teorema melainkan dengan tindakan niscaya dari logika. Dengan demikian, bagi
Cavailles, logika ilmu ada dalam demonstrasinya itu; yang merupakan struktur
yang berbicara dari dirinya sendiri (Lechte, 2001: 41).
Hal yang sangat penting untuk dipahami tentang sains secara kontemporer,
diakui jujur oleh Capra, adalah bahwa semua model dan teori ilmiah bersifat
terbatas dan hanya berupa perkiraan. Menurutnya, sains abad ke-20 telah berkali-
kali menunjukkan bahwa gejala alam saling berkaitan, dan bahwa ciri-ciri
esensialnya, dalam kenyataannya, dilahirkan dari hubungannya dengan gejala-
gejala lain. Kita harus memahami semua gejala lain ketika ingin menerangkan
setiap gejala tersebut secara utuh yang, bagi Capra, merupakan sesuatu yang tidak
mungkin. Wawasan semacam ini memaksa kita untuk membatalkan kepercayaan
Cartesian tentang kepastian pengetahuan ilmiah dan menyadari bahwa sains tidak
pernah bisa memberikan penjelasan utuh dan definitif. Meskipun terdengar seperti
menimbulkan frustasi, namun bagi banyak ilmuwan, fakta bahwa kita dapat
memformulasikan model-model dan teori-teori yang bersifat perkiraan untuk
menerangkan jejaring gejala yang saling berkaitan tanpa akhir, dan bahwa kita
secara sistematis masih mampu mengembangkan model-model atau perkiraan itu,
merupakan sumber kepercayaan diri dan kekuatan (2010: 211).
Dalam sejarah intelektual Barat, Renaisans, menurut Capra merupakan
penanda bagi periode transisi dari Abad Pertengahan menuju dunia modern.
Menurutnya, rentang waktu Renaisans berawal dari permulaan abad ke-15 hingga
penghujung abad ke- 16. Salah satu tokoh yang muncul pada menjelang kelahiran
fase transisi ini adalah Leonardo da Vinci, seorang seniman sekaligus saintis, yang
begitu menarik perhatian Fritjof Capra sehingga sangat berhasrat untuk
melakukan riset secara khusus dan menerbitkan hasilnya menjadi sebuah buku
bertajuk The Science of Leonardo pada 2007 (2010: xv-2). Bagi Capra, Leonardo da
Vinci adalah seorang empu pelukis dan jenius Renaisans terbesar, yang memiliki
karya besar melimpah konon mencapai 100.000 gambar dan lebih dari 6.000
halaman catatan dalam bidang yang sangat beragam, sekaligus begitu menyedot
perhatian banyak sarjana berbagai disiplin akademik dan seni untuk men-
jadikannya sebagai subyek bagi ratusan buku keilmuan dan populer.
Capra begitu yakin bahwa seratus tahun sebelum Galileo dan Bacon,
Leonardo bahkan telah menginisiasi munculnya trend baru dalam tradisi
keilmuan, sendirian tanpa teman, dengan membangun sebuah pendekatan emperis
baru terhadap sains, yang melibatkan observasi sistematis atas alam semesta,
penalaran logis, dan beberapa formulasi matematis, yang semua itu adalah ciri-ciri
utama dari apa yang kini dikenal sebagai metode ilmiah. Leonardo sangat
menyadari bahwa ia sedang membuka wilayah baru dan menyebut dirinya secara
bersahaja sebagai omo sanza lettere (seorang yang buta huruf), namun juga dengan
semacam ironi dan kebanggaan atas metode barunya ia memandang dirinya
sebagai seorang “penafsir alam semesta dan manusia”. Ke mana pun Leonardo
memandang, selalu ada temuan-temuan baru yang harus ia ciptakan. Kreativitas
ilmiahnya, yang memadukan keingintahuan intelektual penuh gairah dengan
kesabaran dan ketangkasan eksperimental, merupakan daya dorong utama
sepanjang hayatnya. Capra tidak dapat menyembunyikan ketakjubannya pada
sosok Leonardo dan mengandaikan betapa akan berbeda perkembangan sains
Barat jika saja Leonardo sempat menerbitkan seluruh traktat-traktatnya ketika ia
masih hidup. Tokoh-tokoh kunci revolusi ilmiah, seperti Galileo, Descartes, Bacon,
dan Newton, diyakini Capra (2010: 337), mereka akan memahami bahasa dan
penalaran Leonardo jauh lebih baik dari kita pada masa kini. Sebab, mereka semua
berjuang dengan masalah-masalah serupa dengan yang ditekuni dan memesona
Leonardo sepanjang hayatnya, dan, untuk itu, ia seringkali memberikan solusi-
solusi orisinal.
Menurut The Liang Gie, para ilmuwan dalam melakukan kegiatannya
menggunakan berbagai tata cara yang bersifat ilmiah. Tata cara yang demikian itu
merupakan pola atau keteraturan seperti misalnya: pelukisan, pengamanan,
penggolongan, pengukuran, penguraian, penyelidikan, percobaan, dan
perbandingan. Tata cara ilmiah terdiri dari serangkaian tata langkah yang tertib,
yang pada umumnya berupa: penentuan masalah, perumusan patokan duga
(hipotesis), pengumpulan bahan keterangan, penurunan kesimpulan, dan
pengujian hasil. Pelaksanaan pola-pola dari tata cara ilmiah biasanya memerlukan
rincian lebih lanjut berupa aneka tata kerja seperti misalnya melakukan
pemanasan atau pembekuan, wawancara, dan mengerjakan perhitungan.
Pelaksanaan suatu langkah kerja bisa menggunakan alat-alat bantu, seperti
komputer, meteran, perapian, dan timbangan. Dari proses yang sedemikian itu
maka akan terhimpunlah kumpulan-kumpulan pengetahuan yang teratur (2003:
23). Cara bertanya, dalam pandangan Hidayat Nataatmaja, sangat menentukan
jawaban yang merupakan respons terhadap pertanyaan tersebut. Seringkali
kesalahan dalam menyusun pertanyaan merupakan sumber dari kesenjangan yang
akan mencemari pikiran kita. Kesalahan seperti inilah yang banyak terjadi di
kalangan ilmuwan Barat, yang kemudian mereka terjebak dengan pertanyaan yang
diajukannya sendiri. Hanya dengan kecermatan dan kemahiran kitalah maka dapat
dicapai upaya meluruskan pertanyaan-pertanyaan itu kembali sehingga jawaban
dan pikiran yang lurus akan kita raih (1994: xi).
Ian G. Barbour dalam buku Issus in science and religion bab ke delapan
menulis tentang perbandingan metode agama dan sains yang berisi pembahasan
mengenai: pertama kemiripan agama dan sains yang berisi tentang: pengalaman
dan interpretasi, peran komunitas dan analogi dan model. Kedua menyangkut
tentang Partisipasi individu dan iman religious yang mencakup pembahasan
partisipasi individu dan konsentrasi puncak, teologi biblikal dan teologi natural,
interaksi Iman (komitmen) dan akal (penemuan) yang sama-sama tidak eksklusif,
dan komitmen religius dan pertanyaan reflektif. Ketiga, tentang Wahyu dan
keunikan yang menyangkutketergantungan agama samawi terhadap peristiwa
historis khususnya perbandingan tentang hubungan partikularitas dan
universilitas menurut teolog, ilmuwan dan sejarawan. Pada bagian pertama
Barbour menyebutkan bahwa kesamaan metode antara sains dan agama paling
tidak terdapat dalam tiga hal yaitu: dalam hubungan pengalaman dan interpretasi,
Peran komunitas agama dan paradigmanya, dan dalam penggunaan analogi dan
model. Manusia terdiri atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani secara otomatis
kedua unsur itu memiliki kebutuhan-kebutuhan tersendiri.Kebutuhan jasmani
dipenuhi oleh sains dan teknologi, sedangkan kebutuhan rohani dipenuhi oleh
agama dan moralitas. Apabila dua macam itu terpenuhi, menurut agama, dia akan
berbahagia di dunia dan di akhirat. Bahkan agama menekankan bahwa
kebahagiaan rohani lebih penting dan bernilai dari pada kebahagiaan materi.
Kebahagiaan materi menurut agama, bersifat abadi (Bagus, 2014).

MEMETAKAN RELASI AGAMA DAN SAINS


Menurut Ian G. Barbour, dalam prakata bukunya yang sangat terkenal,
menyebutkan bahwa ketika agama pertama kali berjumpa dengan sains modern
pada ke-17 ternyata keduanya menikmati perjumpaan tersebut dengan penuh
persahabatan yang erat. Pada saat itu, mayoritas penggagas revolusi ilmiah adalah
orang-orang Kristen taat yang memiliki keyakinan bahwa tujuan kerja ilmiah pada
hakikatnya adalah mempelajari ciptaan Tuhan. Perkembangan abad ke-18
diwarnai dengan munculnya beberapa ilmuwan yang berkeyakinan bahwa Tuhan
Sang Perancang alam semesta bukan lagi Tuhan yang personal, yang aktif terlibat
dalam kehidupan manusia dan alam semesta. Pada abad ke-19 mulai bermunculan
ilmuwan yang mengabaikan pentingnya agama, walaupun Darwin, sebagai
penggagas teori evolusi yang menggemparkan dan berimbas pada krisisnya
kepercayaan orang pada entitas Tuhan dan agama, masih tetap berkeyakinan
bahwa proses evolusi sesungguhnya adalah kehendak Tuhan itu sendiri.
Akibatnya, pada abad ke-20 interaksi antara sains dan agama secara perlahan
mengalami keragaman bentuk secara dinamis. Temuan-temuan baru para saintis
mengundang respon dari agamawan yang tetap berusaha mempertahankan
gagasangagasan keagamaan klasik. Sebagai bentuk responnya, sebagian tetap
berupaya berpegang pada doktrin tradisional, namun sebagian lain mulai berani
meninggalkan tradisi lama, serta sebagian yang lain berinisiatif merumuskan
kembali konsep keagamaannya secara ilmiah. Menurut Barbour, memasuki era
milenium bermunculan secara masif minat terhadap isu-isu tersebut di kalangan
saintis, teolog, media, dan masyarakat umum (2002: 3).
Dalam diskursus relasi agama dan sains secara internasional sudah muncul
beberapa nama tokoh yang bisa dijadikan rujukan. Salah satu tokoh yang menurut
Zainal Abidin Bagir tidak bisa dilewatkan untuk memahami pemikirannya adalah
Ian Barbour. Menurut Bagir, tokoh ini dianggap paling berpengaruh dalam
diskursus relasi agama dan sains, danbahkan, dianggap sebagai perintisnya ketika
memulai karyakaryanya pada 1960-an yang berbicara soal relasi ini. Pengaruh
pemikirannya sangat meluas dengan akhirnya banyak diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, misalnya buku Religion in an
Age Science pada 1990 (Bagir, 2006: 4).
Selain Barbour, ada sejumlah nama lainnya yang mengemuka, baik dari
tradisi pemikiran Barat maupun tradisi pemikiran berlatar agama-agama,
termasuk dari kalangan intelektual Muslim. Nama yang bisa disebutkan di sini
antara lain: Nacey Murphy (penulis buku Theology in the Age of Scientific
Reasoning,1990), Ted Oeters, Theology and Natural Science, 1992), Philip Hefner
(menulis buku The Human Factor, 1993), Arthur Peacock (buku Theology for a
Scientific Age, 1993), John Haught (Profesor teologi Universitas Georgetown),
Williem B. Dress (Profesor filsafat sains dan teknologi Universitas Twente
Belanda), Robert Russel (The Relevance of Tallish for the Theology and Natural
Science, 2001), Michael Stenmark, Mehdi Golshani, Arqom Kuswanjono, Harun
Yahya, Ibrahim Kalin, Pervez Hoodbhoy, dan M. Fethullah Gulen. Para tokoh ini
telah berusaha memetakan relasi agama dan sains berdasarkan sudut pandang
masingmasing, sehingga bisa kita gunakan secara komplementatif dan kom-
prehensif dalam memahami persoalan hubungan antara agama dan sains, bahkan
termasuk dengan filsafat ( Bagir, 2006: 6; Arifin, 2015: 4).
Ian Barbour, seorang saintis Kristiani Barat, memetakan relasi sains dan
agama ke dalam empat model: konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Penulis
Kristen lainnya, John Haught, mengajukan tipologi serupa namun tidak identik,
dengan empat model relasi: konflik, kontras, kontak, titik persentuhan
(conversation), dan konfirmasi. Sementara Stenmark berupaya merespon
kelemahan tipologi Barbour dan Haught, dengan menawarkan beberapa dimensi
dalam sains dan agama terlebihi dahulu dan melanjutkannya dengan
mengeksplorasi masingmasing sains dan agama dalam dimensi-dimensi tersebut.
Barbour, menurut Zaenal Abidin Bagir, sangat konsisten dan serius dalam
merumuskan empat tipologi yang dibangunnya sejak pertama kali dibangunnya
sejak ia menulis pada 1960-an hingga buku yang ditulisnya pada 2002. Dalam
tipologi konfliknya Barbour melihat sains dan agama sebagai dua hal atau pihak
yang selalu bersebrangan dan bertentangan, sehingga tidak ada pilihan bagi kita
kecuali menolak agama dan menerima sains sepenuhnya, atau sebalikya,
menerima agama secara total dan sembari menolak sama sekali sains. Dalam
model konflik ini salah satu hal yang biasanya dipertentangkan adalah antara
materialisme yang dianut sains dengan supernaturalisme agama atau literasi kitab
suci. Contoh klasik dalam pertentangan tersebut adalah, misalnya antara teori
evolusi yang diusung sains dengan teori kreasionisme yang diyakini kalangan
gereja (agama) dan sebagian kecil saintis; yang pada umumnya menolak evolusi
karena dianggap meniadakan peran Tuhan dalam alam semesta (2006: 4).
Menurut Mutamakkin Billa (2011:294), model konflik digunakan oleh tiga
tokoh utama, yaitu Barbour, Haught dan Drees. Model ini berpendirian bahwa
agama dan sains adalah dua hal yang tidak sekadar berbeda, tapi sepenuhnya
bertentangan. Karena itu, seseorang dalam waktu bersamaan tidak mungkin dapat
mendukung teori sains dan memegang keyakinan agama, karena agama tidak bisa
membuktikan kepercayaan dan pandangannya secara jelas, sedangkan sains
mampu membuktikannya. Berbeda halnya agama yang mempercayai Tuhan tidak
perlu menunjukkan bukti konkret keberadaannya, sains justru menuntut
pembuktian semua hipotesis dan teori dengan kenyataan. Keduanya dianut oleh
kelompok biblical literalism, dan kelompok scientific materialism. Biblical
Literalism adalah adalah pandangan teologis bahwa isi Alkitab harus dilihat
sebagai benar secara harfiah, sebagai lawan dari penafsiran atau yang disebut
sebagai alegori, sastra, atau mitologi. Literalisme adalah dasar dari beberapa posisi
pseudoscientific berbeda, seperti teori Young Earth Creationism, teori Deluge
(Banjir) dan Flat Earth. Sementara istilah Scientific Materialism biasanya hanya
digunakan oleh para kritikus disiplin ilmiah, seperti para pendukung teori
inttligent design. Istilah ini menjadi agak lebih umum, terutama digunakan untuk
membahas kontroversi teori evolusi. Para ilmuwan dan filsuf tidak pernah
menggunakan istilah ini, sebab bagi mereka tidak tepat, ambigu dan berkonotasi
negatif.
Bagi Barbour, konflik semacam itu bisa dihilangkan, atau setidaknya
dihindari, jika kita menyepakati tipologi kedua, yakni model independensi. Model
independensi melihat sains dan agama adalah dua bidang yang sama sekali
berbeda, menggunakan metode dan bahasa berbeda, dan seringkali juga
membicarakan tentang persosalan yang berbeda. Pandangan ini, menurut Bagir, di
satu sisi diakui bisa menghindarkan konflik, namun di sisi lain ia bisa mempersulit
dialog ketika dua bidang tersebut tidak ada persentuhan sama sekali (2006: 4).
Model independensi berpendirian bahwa agama dan sains memiliki persoalan,
wilayah dan metode yang berbeda, dan masing-masing memiliki kebenarannya
sendiri sehingga tidak perlu ada hubungan, kerjasama atau konflik antara
keduanya. Keduanya harus dipisahkan untuk bekerja dalam wilayahnya
masingmasing. Argumentasi model ini diantaranya dikemukakan oleh Langdan
Gilhey, bahwa sains berusaha menjelaskan data objektif, umum, dan berulang-
ulang, sementara agama berbicara tentang masalah eksistensi tatanan dan
keindahan dunia dan pengalaman seseorang seperti pengampunan, makna,
kepercayaan, keselamatan dan lain sebagainya. Tujuan model ini adalah untuk
menghindari konflik antara keduanya dan sebagai konsekuensi munculnya ilmu
pengetahuan baru (new knowledge) seperti penjelasan biologis atas organisme
organ (Billa, 2011: 294).
Tipologi Barbour yang ketiga adalah model dialog. Model ini bermaksud
mencari persamaan atau perbandingan secara metodis dan konseptual antara
agama dan sains, sehingga ditemukan persamaan dan perbedaan antara keduanya.
Upaya ini dilakukan dengan cara mencari konsep dalam agama yang analog,
serupa atau sebanding dengan konsep dalam sains atau sebaliknya. Suatu model
yang berbeda dengan model kedua yang menekankan perbedaan an sich. Menurut
Barbour, kesamaan antara keduanya bisa terjadi dalam dua hal, kesamaan
metodologis dan kesamaan konsep. Kesamaan metodologis terjadi, misalnya,
dalam hal sains tidak sepenuhnya objektif sebagaimana agama tidak sepenuhnya
subjektif. Secara metodologis, tidak ada perbedaan yang absolut antara agama dan
sains, karena data ilmiah sebagai dasar sain yang dianggap sebagai wujud
objektivitas, sebenarnya juga melibatkan unsur-unsur subjektivitas. Lebih dari itu,
subjektivitas sains terjadi pada asumsi teoretis yang digunakan dalam proses
seleksi, penafsiran data dan pelaporan. Barbour bahkan menambahkan bahwa
persamaan metodologis ini terletak pada prinsip hubungan antara teori dan
pengalaman. Tujuan model ini adalah agar agama dan sains dapat saling
memperluas wawasan dan pengetahuan tentang alam organ (Billa, 2011: 295).
Penganut pandangan dialog menunjukkan bahwa sesungguhnya ada titik-titik
persentuhan antara keduanya, sehingga sangat dimungkinkan dilakukan upaya
dialog untuk melihat kemungkinan teori-teori ilmiah tertentu bisa menginspirasi
dan menerangi kepercayaan-kepercayaan yang dimiliki agama, begitu pun
sebaliknya (Bagir, 2006: 4). Tipologi keempat menurut Barbour adalah model
integrasi, yang berusaha memadukan sains dan agama secara utuh. Barbour
mencontohkan dirinya dan beberapa sarjana Kristen tengah berupaya membangun
suatu “teologi evolusioner”, yaitu sebuah teologi baru yang dibangun berdasar
teologi tradisional namun telah dibayangi oleh pandangan dunia yang baru di
mana evolusi alam semesta maupun evolusi kehidupan di bumi menjadi salah satu
penggerak terpentingnya. Jadi, menurut Bagir, apabila dalam model konflik, teori
evolusi dipandang menyingkirkan Tuhan, maka dalam model integrasi, evolusi
justru dianggap sebagai salah satu cara Tuhan menciptakan alam semesta dan
isinya (2006: 5). Model integrasi dipandang sebagai yang paling ideal dalam relasi
sains dan agama. Model ini berusaha mencari titik temu pada masalah-masalah
yang dianggap bertentangan antara keduanya. Contoh model ini adalah pada
bidang Natural Theology yang menyatakan bahwa bukti adanya desain pada alam
semesta membuktikan adanya Tuhan, sementara Drees menyodorkan contoh
tentang konsep teologi evolusi ala Piere Teilhard da Chardin dan filsafat proses
Alfred N. Whitehead yang dianggap telah menghasilkan konsep metafisika yang
inklusif. Pada model ini posisi sains adalah memberikan konfirmasi (memperkuat
atau mendukung) keyakinan tentang Tuhan sebagai pencipta alam semesta (Billa,
2011: 296).
Selain Ian Barbour, penulis Kristen Barat lain yang populer dan tidak boleh
diabaikan dalam diskursus relasi sains dan agama adalah John Haught. Haught
dalam tulisan-tulisannya mendeskripsikan tipologinya diandaikan semacam
perjalanan (a journey). Menurut Bagir (2006: 5), Haught memulai perjalanannya
dengan mengambil titik start pada apa yang dia sebut sebagai conflation; yaitu
posisi yang mencampuradukkan sains dan agama, di mana agama dianggap
berbicara tentang alam dengan tingkatan yang sama dengan teori-teori ilmiah dan
sains yang dianggap berbicara mengenai hal-hal yang adi alami. Model conflation
ini dinilai Haught menjadi penyebab munculnya pertentangan keduanya, karena
asumsi yang tumpang-tindih antara wilayah sains dan agama. Pertentangan
keduanya dianalisis oleh Haught sebagai model conflict. Perjalanan relasional ala
Haugt masih terus berlanjut dengan model contras, yang diyakini akan mengatasi
dampak kurang menguntungkan relasi konflik tersebut. Caranya adalah dengan
melakukan pemisahan agar tampak kontras atau berbeda dan sekaligus
menegaskan perbedaan metodologis keduanya. Ketika pembedaan ini sudah
berhasil maka langkah berikutnya adalah dengan melakukan upaya-upaya dialogis,
dengan tujuan menemukan titik-titik persentuhan (conversation). Model
conversation ini sekilas mirip dan memiliki kesamaan dengan model dialognya
Barbour. Perjalanan relasional Haught berakhir pada apa yang disebut dengan
model confirmation. Dengan model konfirmasi, Haught percaya bahwa kita akan
menemukan kesamaan-kesamaan sains dan agama, sebab pada hakikatnya kedua
wilayah tersebut memiliki tujuan yang sama untuk mencapai pemahaman yang
benar terhadap alam, sehingga keduanya bisa saling belajar bahkan bekerja sama.
Sebagai upaya-upaya awal dan inisiasi, tentu saja apa yang dilakukan
Barbour dan Haught tersebut tak terlepas dari banyak kekurangan atau kelemahan
di sana-sini, di samping keunggulan masing-masing. Menurut Bagir, untuk
mengatasi kekurangan dan kelemahan tersebut bisa diatasi oleh tipologi-tipologi
relasional yang diajukan para ahli lainnya, salah satunya adalah Mikael Stenmark,
seorang Kristen Amerika. Dalam tipologi yang disebutnya sebagai “model
multidimensi”, Stenmark menawarkan beberapa dimensi dalam sains dan agama
terlebih dahulu, kemudian mengeksplorasi masing-masing sains dan agama dalam
dimensi-dimensi tersebut. Di sini, Stenmark mengajukan empat dimensi yang bisa
dipertimbangkan, yaitu: pertama, dimensi sosial sains dan agama. Kedua, dimensi
tujuan sains dan agama, dengan diperinci ke dalam tujuan epistemik dan praktik,
tujuan pribadi dan kolektif, dan tujuan yang tampak maupun laten. Ketiga, dimensi
epistemologi sains dan agama, dan keempat, dimensi kandungan (content) teoritis
sains dan agama. Tipologi multidimensional Stenmark ini, menurut Bagir,
sekaligus menunjukkan kepada kita pada adanya kompleksitas tinjauan mengenai
sains dan agama dan oleh sebab itu perlunya sikap hatihati dan cermat dalam
merumuskan kesimpulan-kesimpulan besar mengenai realsi sains dan agama
(2006: 6).
Dalam tradisi Muslim, diskursus tentang relasi sains dan agama juga
mengalami dinamika yang menggembirakan dan menyakinkan. Kajian yang
dilakukan Mehdi Golshani, intelektual asal Teheran, Iran, dan Arqom Kuswanjono,
Doktor filsafat Universitas Gadjah Mada, adalah dua contoh yang patut diapresiasi
dan sekaligus membuktikan pandangan Bagir serta memperkuat ajakan dan
harapan dari Leahy, sebagaimana yang sudah dipaparkan terdahulu. Golshani, di
satu pihak, mengajukan gagasan perlunya penafsiran sains secara Islam melalui
apa yang ia sebut sebagai “Sains Islam”. Dalam buku suntingan yang edisi
Indonesianya diterbitkan Penerbit Mizan dengan judul Melacak Jejak Tuhan Dalam
Sains: Tafsir Islami Atas Sains, Golshani mengatakan bahwa gagasan tentang sains
Islam telah beredar sepanjang tiga puluh tahun terakhir. Ia mendefinisikan sains
Islam sebagai jenis sains yang di dalamnya pengetahuan tentang dunia fisik
terkandung dalam pandangan Islam (2004: 22; lihat juga Hidayatullah, 2017: 64-
90).
Di pihak lain, kajian Kuswanjono justru menjadi jawaban atas hasrat yang
terkandung dalam gagasan sains Islam dengan memilih studi kasus pandangan
salah satu tokoh Islam, yaitu Mullla Sadra, dalam mendiskusikan wacana integrasi
sains dan agama. Berdasarkan hasil riset disertasinya, Koeswanjono
menyimpulkan bahwa Sadra secara cerdas dan jernih menempatkan ilmu dan
agama pada posisi yang sangat harmonis, sehingga cukup memberikan frame yang
jelas bagi perkembangan pemikiran Islam pada umumnya. Frame yang dirancang
oleh pemikir Islam kelahiran Persia ini menjadi gambaran kontras dari
perkembangan pemikiran Barat, yang cenderung menempatkan sains dan agama
secara konfrontatif, dan, bahkan, konflik. Apa yang dialami oleh Galileo Galilei,
seorang saintis yang sezaman dengan Sadra, telah mengguncang dan mengoyak
langit di Barat dengan penguatan teori heliosentrisme; sebuah teori kosmologis
yang bertentangan dengan teori geosentrisme yang telah sekian abad menjadi
kiblat keyakinan arus utama para saintis di eranya dan dibakukan melalui dogma
gereja. Perkembangan baru ini pada akhirnya memicu relasi konflik
berkepanjangan antara gereja dan para saintis, atau tepatnya agama dan sains
(2010: 5-7).
Inteletual Muslim asal Turki, M. Fethullah Gulen, memandang ilmu
pengetahuan dan iman tidak hanya bersesuaian (compatible) tetapi saling
melengkapi. Karenanya, ia mendorong penelitian ilmiah dan pengembangan
teknologi demi kebaikan umat manusia (Billa,2011: 292). Perspektif teologis Gülen
tentang hubungan Islam dan sains telah diteliti secara mendalam oleh Osman
Bakar. Menurut Bakar, beberapa isu dibahas Gülen berkaitan dengan hubungan
Islam dan sains, terutama mengenai: pertama, hubungan antara kebenaran ilmiah
dan kebenaran agama. Kedua, pandangan Islam atas pendekatan ilmiah modern
terhadap alam semesta, dan, ketiga, pendekatan Al-Qur‘ân terhadap ilmu
pengetahuan. Pandangan-pandangannya seputar masalah ini didasarkan pada
salah satu karyanya The Essentials of Islamic Faith. Dalam arti bahwa fokus utama
Gülen dalam hal ini adalah teologi, bahwa ia tertarik untuk membela posisi teologi
Islam terhadap ilmu pengetahuan yang selama ini, disimpulkan Gülen, memainkan
peran subordinatif. Agama dan sains, bagi Gülen, tidak bisa dianggap sama dalam
Islam (Billa, 2011: 296).
Gülen berupaya membangun kerangka metafisis untuk mendukung sudut
pandang ilmiah Islam tentang kebenaran, yang notabenenya berlawanan dengan
klaim materialisme. Dalam catatan Gülen, umat Islam sampai saat ini masih belum
mengembangkan konsep ilmu dalam makna sebenarnya; berdasar pada nilai-nilai
Islam dan diformulasi terutama dari al-Qur‘ân dan praktik Nabi SAW.Ia tegaskan
bahwa asumsi pemisahan wahyuakal yang selama ini dipahami, sebenarnya
merupakan asumsi keliru, justru pertentangan yang seharusnya ada adalah antara
pandangan sekuler dan religius. Sudut pandang sekuler pun, bagi Gülen,
sebenarnya dapat diintegrasikan ke dalam pandangan dunia Islam, dengan
prasyarat bersedia mengakui kegagalannya mengurai fakta-fakta penting tentang
alam semesta, termasuk sifat pra-eksistensi, akhirat, dan alam supra-duniawi.
Pandangan dunia materialis pun dapat dibenarkan dan diperkuat, jika dimasukkan
dalam kerangka yang lebih besar mecakup karakteristik metafisik alam semesta,
sebagaimana cara pandang Islam (Billa, 2011: 301).
Instrumen metodologis yang digunakan untuk mengurai realitas berikut
hubungannya dengan kemenyeluruan, pun murni penalaran Islam, yang
dikondisikan oleh petunjuk Al-Quran dan contoh praktis Nabi Muhammad SAW.
Tepatnya, bahwa pemahaman manusia tentang alam harus dimulai dengan
kesadaran akan ketergantungan pada Allah. Penalaran manusia harus menun-
jukkan kerja rasional, yang dibatasi metodologi ilmiah dan hukum logika.
Penerapan penalaran Islam mensyaratkan sifat diciptakannnya eksistensi segala
sesuatu, mensyaratkan sifat ke-Esaan Tuhan, imanensi dan kekekalan kuasa-Nya
sebagai dasar ontologis Penciptaan. Gülen mencoba menawarkan penafsiran
dinamis Islam yang kompatibel, juga kritik atas (Billa, 2011: 302).
Gülen menegaskan bahwa teologinya tidak berusaha untuk mengakomodasi
atau alih-alih minta maaf kepada konsep-konsep ilmiah modern, melainkan
mempromosikan pandangan dunia Islam yang benar. Islam yang benar
menurutnya harus mampu menyeimbangkan fungsi akal dan wahyu, mistisisme
dan ortodoksi, aktivitas di dunia dan penghargaan di akhirat, dan antara doktrin
dan praktik. Jika gagasan ini dipahami dalam kerangka Islam yang benar, maka
takkan mucul perdebatan yang tak kunjung selesai seputar akal dan wahyu, atau
ilmu pengetahuan dan Islam.36 Sebaliknya, ilmu pengetahuan modern dan Islam
bisa eksis dalam suatu hubungan saling melengkapi. Temuan sains dapat
memperdalam pemahaman tentang al-Qur‘ân dan hukum-hukum Allah tentang
alam semesta, yang memungkinkan umat Islam menata hidup mereka melalui
interpretasi yang lebih tepat dan informasi syariah yang lebih akurat. Pandangan
dunia Al-Qur‘ân, pada sisi lain, mampu memperkaya ilmu pengetahuan untuk
memahami karakter alam semesta sesungguhnya, di saat ilmu untuk memahami
karakter alam semesta sesungguhnya, di saat ilmu pengetahuan tidak mampu
mengeksplorasi persoalan-persoalan metafisika terkait sifat mukjizat, misteri
penciptaan, pra-keabadian, alasan ada dan keber-ada-an, hanya wahyu yang dapat
digunakan sebagai pedoman. Sebaliknya, beberapa ayat Al-Qur‘ân dan ajaran Islam
pun memerlukan pengetahuan dari fenomena alam dan konstanta universal.
Pengetahuan ilmiah memungkinkan umat Islam untuk memiliki pemahaman lebih
lengkap-luas dan praktis-realistis mengenai pesan-pesan Al-Qur‘ân dan teks-teks
suci-otoritatif lain (Billa, 2011: 303).
Paparan tersebut menegaskan sikap keras Gülen memposisikan kebenaran
ilmiah sebagai semata hanya pengantar menuju kebenaran agama. Jika
sebelumnya, filsafat dianggap sebagai budak/pelayan teologi, maka saat ini peran
tersebut, menurut Gülen, harus dimainkan sains. Sains harus bisa menyajikan fakta
yang dapat digunakan untuk menjelaskan faktafakta Islam. Gülen tampak sangat
kritis terhadap berbagai kecenderungan saintisme di kalangan Muslim kon-
temporer yang berusaha menjustifikasi agama atau memperkuat kredibilitas-nya
melalui fakta-fakta ilmiah modern, yang menurut Gülen, justru menegaskan
keunggulan kebenaran sains di atas kebenaran agama. Posisi Gulen sangat jelas,
bahwa Al-Qur‘ân dan Hadis adalah benar-mutlak, sehingga Sains dan fakta ilmiah
adalah benar selama bersesuaian dengan al-Qur‘ân dan hadis, dan —sebaliknya—
palsu sebab berbeda atau bahkan mengarahkan untuk keluar dari kebenaran al-
Quran dan hadis. Bahkan, fakta-fakta ilmiah tidak dapat menjadi pilar tegaknya
kebenaran iman . Menegaskan model penalaran ilmiah dalam proposisi-proposisi
metafisik seperti ini, menurut Gülen, amat diperlukan untuk membentengi diri dari
klaim tidak logis yang dibuat kaum materialis. Bagi Gulen, pemikiran metafisika
Islam merupakan upaya seorang ilmuan Muslim dalam merangkul penciptaan
sebagai keseluruhan, mencakup semua dimensi, baik yang terlihat maupun tak
terlihat. Tanpa upaya semacam ini, semuanya akan terpecah menjadi fragmen-
fragmen tak bernyawa (Billa, 2011: 306).

SIMPULAN
Sains dan agama adalah dua entitas yang berbeda sebagai sumber pengeta-
huan dan sumber nilai bagi kehidupan manusia. Meskipun secara filosofis
keduanya berbeda namun secara historis pernah dilakukan upaya-upaya
konsolidatif baik dalam konteks kontraproduktif maupun dalam konteks
mutualistik (Arifin, 2008: 173). Langkah konsolidatif ini, disimpulkan dalam riset
Zainul Arifin, dilakukan supaya di antara keduanya tidak menjadi instrumen dan
media perseteruan dan sumber konflik bagi kehidupan manusia, namun
sebaliknya, keduanya semestinya menjadi sumber inspirasi meningkatkan kearifan
dan kesadaran dinamis diri manusia dalam hubungannya dengan alam, secara
makrokosmik, dan dengan sesama manusia, secara mikrokosmik, serta dengan
Tuhan, secara transendental. Oleh sebab itu, agama dan sains perlu meniscayakan
diri untuk sama-sama mengabdi untuk kepentingan kesejahteraan dan
kemakmuran manusia (2008: 174).
Sebagaimana agamawan, saintis memiliki langkah kerja yang khas, dengan
menggunakan berbagai tata cara yang bersifat ilmiah dalam melakukan
kegiatannya, dengan tata cara yang berpola atau keteraturan tertentu. Pola kerja
ilmiah bisa saja berupa pelukisan, pengamanan, penggolongan, pengukuran,
penguraian, penyelidikan, percobaan, dan perbandingan. Tata cara ilmiah terdiri
dari serangkaian tata langkah yang tertib, yang pada umumnya berupa: penentuan
masalah, perumusan patokan duga (hipotesis), pengumpulan bahan keterangan,
penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil. Pelaksanaan pola-pola dari tata cara
ilmiah biasanya memerlukan rincian lebih lanjut berupa aneka tata kerja seperti
misalnya melakukan pemanasan atau pembekuan, wawancara, dan mengerjakan
perhitungan, dengan menggunakan alat-alat bantu tertentu hingga terhimpunnya
kumpulan-kumpulan pengetahuan yang teratur.
Metode ilmiah digunakan oleh para saintis dengan memiliki suatu cara
tertentu dalam memperoleh pengetahuan tentang gejala alam. Metode ini
mensyaratkan pengamatan sistematis atas gejala yang dipelajari dan mencatat
pengamatan-pengamatan ini sebagai bukti, atau data ilmiah. Para saintis berupaya
mengaitkan data yang ada dengan cara yang koheren, bebas dari kontradiksi
internal. Metode ilmiah digunakan untuk memroduksi teori ilmiah, setelah
mengalami proses pengujian dan pengamatan lebih lanjut, dan jika mungkin,
eksperiman tambahan, dan bahkan mampu memprediksi hasil-hasil eksperimen
baru.
Sains dengan metode ilmiahnya, kendati demikian, jika diperbandingkan
dengan metode yang dikandung agama, maka ada sejumlah hal yang bisa
disimpulkan, yaitu: adanya kemiripan agama dan sains yang berisi tentang:
pengalaman dan interpretasi, peran komunitas dan analogi dan model. Hal kedua
adalah menyangkut tentang partisipasi individu dan iman religius yang mencakup
pembahasan partisipasi individu dan konsentrasi puncak, teologi biblikal dan
teologi natural, interaksi Iman (komitmen) dan akal (penemuan) yang sama-sama
tidak eksklusif, dan komitmen religius dan pertanyaan reflektif. Ketiga, adalah
berkaitan dengan persoalan wahyu dan keunikan yang menyangkut ketergantung-
an agama samawi terhadap peristiwa historis khususnya perbandingan tentang
hubungan partikularitas dan universilitas menurut teolog, ilmuwan dan sejarawan.
Pada bagian pertama Barbour menyebutkan bahwa kesamaan metode antara
sains dan agama paling tidak terdapat dalam tiga hal yaitu: dalam hubungan
pengalaman dan interpretasi, Peran komunitas agama dan paradigmanya, dan
dalam penggunaan analogi dan model. Manusia terdiri atas dua unsur, yaitu
jasmani dan rohani secara otomatis kedua unsur itu memiliki kebutuhan-
kebutuhan tersendiri. Kebutuhan jasmani dipenuhi oleh sains dan teknologi,
sedangkan kebutuhan rohani dipenuhi oleh agama dan moralitas.
Dalam diskursus relasi agama dan sains telah melahirkan sejumlah nama
tokoh dan pemikiran-pemikiran yang bisa dipertimbangkan untuk memahami
persoalan tersebut, Para tokoh ini telah berusaha memetakan relasi agama dan
sains berdasarkan sudut pandang masing-masing, sehingga bisa kita gunakan
secara komplementaif dan komprehensif dalam memahami persoalan hubungan
antara agama dan sains, bahkan termasuk dengan filsafat. Sebut saja, Ian G.
Barbour; yang sangat populer dengan empat model: konflik, independensi, dialog,
dan integrasi. Demikian pula, John Haught, yang mengajukan tipologinya yang khas
dengan model relasi: konflik (yang bermula dari conflation), kontras, kontak
(conversation), dan konfirmasi. Mikael Stenmark, adalah nama lain, yang berupaya
memetakan relasi sains dan agama, dengan menawarkan tipologi yang disebutnya
sebagai “model multidimensi”, di mana ia menawarkan beberapa dimensi dalam
sains dan agama terlebih dahulu, kemudian mengeksplorasi masing-masing sains
dan agama dalam dimensi-dimensi tersebut.
Sementara itu, dari kalangan saintis atau penulis yang berlatar Islam, juga
mengalami dinamika yang menggembirakan dan menyakinkan. Misalnya, Mehdi
Golshani, mengajukan gagasan perlunya penafsiran sains secara Islam melalui apa
yang ia sebut sebagai “Sains Islam”. Sedangkan dari hasil riset disertasinya, Arqom
Koeswanjono, menyetujui pandangan Mullla Sadra, yang telah secara bernas
berhasil mengharmoniskan sains dan agama, sehingga cukup memberikan frame
yang jelas bagi perkembangan pemikiran Islam pada umumnya. Selain keduanya,
kita bisa menemukan nama M. Fethullah Gulen, intelektual Muslim asal Turki, yang
memandang ilmu pengetahuan dan iman tidak hanya bersesuaian (compatible)
tetapi saling melengkapi, sehingga ia mendorong penelitian ilmiah dan
pengembangan teknologi demi kebaikan umat manusia.
Pada akhirnya, mengenal dan memahami tipologi-tipologi relasional antara
sains dan agama, sekaligus meodologinya, seperti dikemukakan di atas, termasuk
dari keragaman perspektif dan latar belakang para penulis dan pemikirnya,
menurut Zaenal Abidin Bagir (2006:6), adalah sangat bermanfaat untuk segera
menyadarkan kita bahwa ternyata ada banyak pilihan yang bisa dipertimbangkan
dan diambil dalam melihat hubungan sains dan agama. Dengan demikian,
setidaknya, kita tidak bisa sebegitu mudahnya untuk langsung mengatakan bahwa,
misalnya, keduanya bertentangan atau, sebaliknya, selalu harmonis hanya dengan
menyebut beberapa contoh teori ilmiah atau episodeepisode tertentu dalam
sejarah relasi antara sains dan agama begitu saja.
Di luar itu semua, Bagir (2006:6) mengingatkan dari sejumlah tipologi-
tipologi, khususnya ala Barbour dan Haught, sebagian besar masih terfokus pada
satu wilayah saja dalam wacana sains dan agama, yakni fokus pada persoalan
teologis, semisal masalah penciptaan, dan fokus kepada ilmu-ilmu alam tertetu,
seperti teori evolusi dan kosmologi. Masih ada aspekaspek lain yang belum
tersentuh apalagi tergarap serius, misalnya, persoalan etika dalam sains, menurut
Bagir, sama sekali belum tersentuh padahal agama menyediakan diri sebagai
sumber etika yang terpenting dan patut dipertimbangkan. Contoh lain, aspek
epistomologi dari internal sains itu sendiri pun belum tergarap maksimal. Dengan
demikian, kita bisa memahami untuk mengekplorasi relasi sains dan agama
ternyata memiliki peluang untuk menghadirkan, bahkan membutuhkan satu
sahabat lagi dari keduanya, yakni filsafat, terutama untuk mengekplorasi aspek
etika dan epistemologi sains dan agama.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul, 2008. “ Model-Model Relasi Agama dan Sains”, PsikoIslamika vol. 5
no2 , 2008, Malang: Fakultas Psikologi UIN Malang: 174).
Bagir, Zaenal Abidin. 2006, “Sains dan Agama-Agama: Perbandingan Beberapa
Tipologi Mutakhir”, dalam Zainal Abidin Bagir, Lik Wilardjo, Arqom
Kuswanjono, dan Muhammad Yusuf (eds.), Ilmu, Etika, Dan Agama, Menyingkap
Tabir Alam dan Manusia, Yogyakarta: CRCS UGM, hal. 3-18.
Barbour, Ian G., 2002, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, terj. E.R.
Muhammad, Bandung: Penerbit Mizan.
Billa, Mutamakkin, 2011. “Pemaknaan Teologis M. Fethullah Gulen tentang Relasi
Agama dan Sains, Teosofi, Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Volume 1
Nomor 2 2011. Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, Surabaya.
Capra, Fritjof. 2010, Sains Leonardo Menguak Kecerdasan Terbesar Masa Renesains,
terj. An. Ismanto, Yogyakarta: Jalasutra.
Gie, The liang.2003, Sejarah Ilmu-Ilmu,Yogyakarta: PUBIB Yogyakarta dan Sabda
Persada Yogyakarta Golshani, Mehdi. 2004, Melacak Jejak Tuhan Dalam Sains:
Tafsir Islami Atas Sains, Bandung: Penerbit Mizan.
Hidayatullah, Syarif. 2017, “Relasi Agama Dan Sains Dalam Pandangan Mehdi
Golshani, Jurnal Filsafat, Vol. 27, No. 1, Februari 2017 : 64-90.
Koeswanjono, Arqom. 2010, Integrasi Ilmu dan Agama Perspektif Filsafat Mulla
Sadra, Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM
Leahy, Louis. 2006, “Sains dan Agama dalam Perdebatan”, dalam Zainal Abidin
Bagir, Lik Wilardjo, Arqom Kuswanjono, dan Muhammad Yusuf (eds.), Ilmu,
Etika, Dan Agama, Menyingkap Tabir Alam dan Manusia, Yogyakarta: CRCS
UGM, hal. 19-33.
Lechte, John. 2001, 50 Filsuf Kontemporer Dari Strukturalisme Sampai
Posmodernisme, terj. A. Gunawan Admiranto, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Nataatmaja, Hidayat. 1994, Krisis Manusia Modern, Surabaya: alIkhlas Safi, Louay.
2001, Ancangan Metodologi Alternatif (The Foundation of knowledge: a
comparative study in Islam and Western method of inquiry), terj. Imam Khoiri,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Soetomo,Greg. 1995, Sains & Problem
Ketuhanan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai