Anda di halaman 1dari 19

REFRAT RSOP

PENYEMBUHAN PATAH TULANG DITINJAU


DARI SEGI BIOLOGI MOLEKULER

Oleh:
Endika Rachmawati G9911112063
Marwan Sofyan G9911112092
Juwita Resty H.N. G0006101

Pembimbing:
Dr. Ismail Mariyanto, Sp.OT

KEPANITERAAN KLINIK SMF ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSOP PROF. DR. R. SOEHARSO
SURAKARTA
2012
HALAMAN PENGESAHAN
Refrat ini disusun untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Refrat dengan judul:

PENYEMBUHAN PATAH TULANG DITINJAU


DARI SEGI BIOLOGI MOLEKULER

Oleh :
Endika Rachmawati G9911112063
Marwan Sofyan G9911112092
Juwita Resty H.N. G0006101

Pembimbing

dr. Ismail Mariyanto, Sp.OT


BAB I
PENDAHULUAN

Diperkirakan terjadi sebanyak dua juta fraktur tulang panjang setiap tahunnya di
seluruh dunia saat ini. Sebagian besar data tersebut berasal dari kejadian kecelakaan lalu-
lintas di negara-negara yang telah berkembang. Di samping itu fraktur dapat pula terjadi
akibat kecelakaan industri, olahraga, dan kegiatan rekreasi. Usaha yang optimal diperlukan
dari semua pihak yang terlibat di dalam penyembuhan suatu fraktur tulang agar
pengobatannya mencapai hasil yang memuaskan.
Untuk mencapai hasil penyembuhan fraktur tulang yang memuaskan yaitu
kembalinya kontinuitas tulang secara anatomis dan fungsi tulang sebagai alat gerak dengan
deformitas yang minimal, maka diperlukan pemahaman proses penyembuhan fraktur tulang
yang komprehensif oleh setiap pihak yang terlibat dalam perawatan fraktur tulang.
Proses penyembuhan fraktur tulang merupakan suatu kombinasi dari faktor-faktir
fisik, biokimia, biomekanik dan listrik yang menghasilkan penyembuhan fraktur tulang tanpa
disertai pembentukan jaringan parut, sampai dengan saat ini diketahui dua faktor penting
yang berperanan di dalam penyembuhan tersebut yaitu suplai pembuluh darah dan stabiliti.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini, kesemua faktor tersebut
dapat diterjemahkan ke dalam proses biomolekuler yang berupa pelepasan berbagai mediator
biokimiawi yang bekerja dalam penyembuhan fraktur tulang.
Tulisan ini akan membahas prinsip-prinsip dasar penyembuhan fraktur tulang
terutama ditinjau dari konsep biologi molekuler.
BAB II

PROSES BIOLOGI MOLEKULER YANG MENYERTAI PENYEMBUHAN


FRAKTUR TULANG

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang. Pada suatu fraktur yang
complete akan terjadi diskontinuitas pada seluruh jaringan tulang termasuk dengan
periosteum maupun endosteumnya, sedangkan pada fraktur yang incomplete, diskontinuitas
tidak terjadi pada seluruh ketebalan tulangnya, dan periosteum dan atau endosteumnya dapat
masih utuh. Pada saat terjadinya trauma, energi yang diserap mengakibatkan kegagalan
mekanis dan struktural jaringan tulang. Sebagai akibatnya pembuluh darah tulang yang
fraktur dan jaringan lunak di sekitarnya seperti jaringan ikat, fascia,lemak dan jaringan otot
serta pembuluh darah disekitarnya mengalami kerusakan. Adanya kerusakan pada jaringan
lunak tersebut juga ikut mempengaruhi proses penyembuhan fraktur tulang.
Proses penyembuhan fraktur tulang meliputi berbagai jaringan yaitu hematoma yang
disertai dengan proses inflamasi, jaringan granulasi, jaringan ikat, jaringan fibrokartilago,
proses mineralisasi dan proses pembentukan tulang (ossifikasi), serta tulang yang mengalami
remodelling pada bagian tulang cancelous maupun cortical. Dengan demikian, proses
penyembuhan tulang tidak lain juga merupakan suatu proses penyembuhan luka yang
melibatkan berbagai jaringan, baik jaringan tulang sendiri maupun berbagai jenis jaringan
lain di sekitarnya. Proses tersebut merupakan suatu proses yang kompleks dan berjalan secara
bertahap dan simultan yang menghasilkan suatu jaringan yang semula lebih elastis dan tidak
rigid menjadi jaringan tulang yang keras, rigid dan kurang elastis. Proses ini juga merupakan
serangkaian perubahan seluler, matriks tulang dan vaskuler yang melibatkan berbagai
mediator kimiawi sebagai respon inflamasi terhadap trauma.

HEMATOMA
Hematoma timbul beberapa detik setelah gaya yang menyertai trauma menyebabkan
fraktur dan kerusakan pembuluh darah yang kemudian menimbulkan perdarahan, baik di
sekitar tulang maupun di ujung-ujung fragmen fraktur itu sendiri. Di samping itu pula
jaringan lunak, otot, dan periosteum mengalami kerusakan. Pembuluh darah yang ruptur
tersebut akan mengalami vasokonstriksi akibat dilepaskannya katekolamin, bradykinin, dan
serotonin oleh sel Mast yang berada di jaringan sekitarnya. Akibat pelepasan faktor-faktor
pembekuan oleh trombosit maka terbentuklah benang-benang fibrin yang akan membentuk
hematoma pada celah di antara fragmen-fragmen fraktur, medulla tulang dan di bawah
periosteum yang terangkat. Sedangkan tulang pada bagian ujung-ujung fragmen fraktur
tersebut akan mengalami nekrosis sampai ke tempat terdapatnya pembuluh darah kolateral
yang terdekat. Sel-sel yang nekrosis tersebut mengeluarkan pula enzim lisosom yang
menyebabkan degenerasi sel lebih lanjut.
Bersamaan dengan proses ini reaksi inflamasi mulai timbul dengan dilepaskannnya
berbagai mediator oleh trombosit, sel-sel yang mati dan mengalami kerusakan. Mediator-
mediator tersebut menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, dan eksudasi cairan plasma
yang berisi sel-sel inflamasi yang masuk ke bagian yang mengalami fraktur tersebut. Sel-sel
inflamasi tersebut meliputi sel-sel leukosit PMN, yaitu terutama pada tahap 24 jam pertama
serta makrofag dan limfosit pada tahap selanjutnya. Di samping itu pula sel-sel mesenkim
(sel-sel “osteoprogenitor”) yang berasal dari periosteum, endosteum, transformasi sel-sel
endotel dari medulla dan osteoinduksi jaringan otot dan lunak di sekitarnya turut bermigrasi.
Eksudat yang terbentuk mempunyai peran yang sangat penting di dalam migrasi, mitosis,
dan diferensiasi sel-sel tersebut. Hal ini disebabkan di dalam eksudat itu pula terdapat
senyawa hyaluronat dan fibronektin yang merangsang migrasi dan proliferasi sel, pada tahap
ini pula lingkungan di sekitar fraktur bersifat asam yang mempengaruhi aktivitas sel-sel di
dalamnya. Tekanan oksigen di tempat hematoma pun rendah sedangkan aliran darahnya
menurun, keadaan relatif hipoksia tersebut baik bagi pembentukan tulang seperti yang telah
dibuktikan secara invitro.
Mediator-mediator kimiawi yang berperanan dalam proses inflamasi tersebut berupa
cytokine, zat morfogenik dan zat-zat eicosanoid seperti prostaglandin (PGE2). Cytokine yang
dilepaskan oleh trombosit yang berada di dalam bekuan darah tersebut adalah Platelet
Derived Growth Factor (PDGF), Transforming Growth Factor –β (TGF- β) yang berfungsi
untuk merangsang sel-sel mesenkim yang terutama terdapat pada periosteum dan belum
berdiferensiasi untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel fibroblas, osteoblas dan chondrosit.
TGF-β membentuk pula jenis cytokine lainnya yang bersifat osteokonduktif dan osteoindusif
yaitu Bone Morphogenic Protein (BMP) dan Osteogenic Protein-1 (OP-1) yang berfungsi
mempercepat proses penyembuhan tulang.
BMP adalah noncolagenous glikoprotein yang berada di dalam tulang dan berfungsi
menstimulasi sel mesenkim untuk berdiferensiasi menjadi osteoblas. Diferensiasi tersebut
dirangsang pula oleh berbagai jenis mediator, juga dilepaskan oleh sel-sel inflamasi yang
berkumpul di sekitar jaringan hematoma tersebut. Di antara mediator-mediator tersebut
adalah cytokine interleukin-1. Mediator ini mempunyai efek sistemik maupun lokal. Efek
sistemik adalah produksi reaktan pada fase akut di hepar, peninggian LED, febris melalui
mid brain, resorpsi tulang, dan produksi serta migrasi limfosit ke tempat trauma. Sedangkan
efek lokalnya adalah atrofi otot, peningkatan sekresi PGE2 dari sel-sel otot, peningkatan
kecepatan mitosis sumsum tulang dan thymus setelah fraktur dan trauma jaringan lunak, dan
peningkatan jumlah osteoclast pada metafisis yang tidak rusak sesudah suatu fraktur. TGF-
β tersebut akan terus dihasilkan oleh osteoblast dan chondrosit selama proses penyembuhan
berlangsung.
PGE2 dihasilkan oleh tulang yang mengalami fraktur dan jaringan otot di sekitarnya,
PGE2 meningkatkan pembentukan tulang melalui pelepasan cAMP, cGMP dan GF yang
mengatur proses resorpsi dan deposisi tulang pada proses remodelling, salah satu GF yang
dirangsangnya adalah TGF- β yang berfungsi menginduksi pembentukan jaringan granulasi.
PGE2 pun mempunyai efek merangsang migrasi sel dan pembentukan pembuluh darah.
Insulin Growth Factor pun dirangsang produksinya oleh PGE2. IGF berfungsi untuk
menstimulasi proliferasi sel-sel tulang dan matriks kartilago, produksi PGE2 pada tulang
dapat dihambat oleh obat anti inflamasi non steroid yaitu indomethacin, pemberian obat ini
akan menyebabkan kallus yang terbentuk menjadi lemah, namun demikian, ibuprofen , salah
satu jenis lain obat AINS tidak berpengearuh terhadap sintesa prostaglandin.
Hematoma diduga pula berfungsi sebagai media atau ruang yang dibentuk oleh
spasme dan kontraktur jaringan sekitar fraktur sehingga nantinya callus akan menempati
tempat tersebut, ukuran besarnya hematoma menentukan pula ukuran callus yang terbentuk,
disamping faktor stabiliti (pergerakan) ujung-ujung fragmen fraktur. Reaksi inflamasi ini
akan berlangsung dalam waktu antara 4 hari sampai 1 minggu.

JARINGAN GRANULASI

Setelah fase inflamasi selesai pada hematoma maka selanjutkan akan terbentuk
jaringan ganulasi, bersamaan dengan tahap ini, sel-sel yang nekrotik dan eksudat akan
diresopsi dan akan digantikan oleh sel-sel osteoprogenitor yang telah berdiferensiasi seperti
sel-sel fibroblast, fibrosit, sel-sel mononuklear dan endotel pembuluh darah kapiler. Jaringan
granulasi lebih kuat dan kaku daripada hematoma.
Pada tahap ini proses neovaskularisasi berlangsung dengan bantuan angiogenetic
factor. Sel-sel endotel pembuluh darah di daerah fraktur maupun di jaringan otot dan lunak
sekitarnya akan mengalami penonjolan sitoplasma sehingga pembuluh drah baru terbentuk
dengan cara migrasi dan reduplikasi. Pembuluh darah yang terbentuk ini berjalan paralel satu
sama lainnya dan tegak lurus terhadap fraktur. Pada fase awal neovaskularisasi tersebut lebih
banyak terdapat di sekitar pembuluh darah periosteum, sedangkan pada fase selanjutnya
pembuluh darah arteri nutricia dari medulla lebih memegang peranan penting. Fibroblas
growth factor (FGF) adalah mediator yang terpenting pada proses angiogenesis
penyembuhan fraktur tulang dan dhasilkan oleh makrofag. Apabila fraktur yang terjadi
adalah fraktur direk dan disertai kerusakan jaringan lunak serta otot yang luas, maka
pembentukan neovaskularisasi tersebut akan terganggu sehingga dapat terjadi delayed atau
non union pada penyembuhan fraktur tulang. Sedangkan bila frakturnya disebabkan oleh
trauma yang indirek, kerusakan jaringan lunak yang ditimbulan tidak masif sehingga
pembuluh darah dan sel-sel osteoprogenitor akan tumbuh dengan baik. FGF ini juga pada
fase-fase selanjutnya akan dihasilkan oleh sel-sel osteoblas dan chondrocyte.
Salah satu jenis protein yang terdapat di pembuluh darrah yaitu laminin, juga akan
meningkat di sekitar jaringan granulasi. Protein ini berperanan di dalam pembentukan
jaringan granulasi. Kemudian osteoclast pun mulai dengan aktif meresorpsi sel-sel yang
nekrotik. Proses resorpsi ini banyak dipengaruhi oleh PGE2 dengan cara meningkatkan
aktivitas osteoclast dan penambahan jumah sel-sel osteoclast.

JARINGAN IKAT

Proses penyembuhan atau regenerasi tulang berlangsung terus dan jaringan granulasi
akan mengalami transformasi menjadi jaringan ikat yang terdiri dari serabut-serabut kolagen.
Jaringan ikat ini akan lebih kuat lagi dibandingkan jaringan granulasi dan kekuatannya
bervariasi tergantung pada jenis jaringan ikatnya.
Fase ini juga dikenal sebagai fase mesenkimal karena sel-sel yang dominan pada
tahapan ini adalah sel-sel fibroblast, chondrobalst dan makrofag. Chondrocyte yang pertama
kali terbentuk adalah yang terletak di dekat tulang kortikal dan berasal dari diferensiasi sel-
sel mesenkim yang berasal dari lapisan periosteum, serabut kolagen yang disintesa adalah
kolagen tipe I dan II. Sedangkan fibroblast mensistensa serabut kolagen tipe III dan tipe V
yang didapatkan pada daerah jaringan ikat yang bersama dengan pembuluh darah. Pada tahap
ini serabut kolagen tipe I yang dominan, disamping kolagen, jaringan ini juga terdiri dari
matriks yang meliputi glykosaminoglikan dan proteoglikan.
Pada fase ini kadar alkaline phospatase dan protein spesifik pada tulang akan terus
meningkat. Protein tulang yang spesisfik ini meliputi proteoglycan core protein, kolagen tipe
II, bone Glia protein dan osteocalcin. Kadar air dan lipid berada dalam konsentrasi yang
tinggi pada stadium ini.

JARINGAN FIBROKARTILAGO

Secara biomolekuler, fase ini merupakan kelanjutan dari fase mesenkimal yaitu fase
chondroid dan chondroid-osteoid. Setelah jaringan ikat terbentuk maka secara bertahap sel-
sel mesenkim yang telah berdiferensiasi berubah menjadi chondroblas yang kemudian
mendesposisi matriks kolagen dan berubah menjadi chondrosyte yang merupakan sel yang
dominan di sekitar fraktur maupun lapisan kambium periosteum. Serabut kolagen yang
dominan disintesa pada tahap ini adalah kolagen tipe II dan IX. Kolagen tipe II akan
dideposisi pada area kartilago yang telah matur, sedangkan tipe IX berfungsi menstabilisasi
serabut-serabut kolagen II. Hexosamine, hyproxyproline dan hydroxylisine mencapai puncak
konsentrasinyanya pada fase ini, yang kemudian akan berkurang pada fase selanjutnya,
sedangkan kadar mineral mulai meningkat pula. Dengan terbentuknya jaringan kolagen yang
matur dan mulai terbentuknya sel-sel osteoid pada fase chondroid-osteoid yang mengikuti
fase chondroid, maka pada daerah fraktur mulai terbentuk jaringan callus yang dapat dibagi
menjadi soft callus dan hard callus. Bersamaan dengan itu pula kadar proteoglycan pada
matriks ekstraseluler akan meningkat dan terdiri dari dua jenis yaitu dermatan sulfate oleh
fibroblast dan chondroitin 4-sulfate selama minggi kedua oleh sel-sel chondrosyte. Jaringan
ini dapat menahan gaya kompresi dan mulai mempunyai gaya tegangan (tension).
Kalsium yang mulai terdapat di dalam fraktur callus ternyata banyak ditemukan pada
mitokondria sel-sel chondrosite. Sel-sel ini menjadi reservoir kalsium dan sejalan dengan
dimulainya proses mineralisasi kartilago, kalsium secara bertahap akan dilepaskan oleh
mytochonria. Kalsifikasi ini dimulai di antara dan pada vesikel matriks, serabut kolagen, dan
agregat proteoglycan yang mulai kolass atau terpisah (disagregasi).
Soft callus terbentuk pada daerah sentral inflamasi yaitu disekitar medulla dan daerah
interfragmen fraktur dan jaringan kartilago merupakan bagian lebih dominan, daerah-daerah
ini memiliki tekanan oksigen yang rendah, tulang selanjutnya pada bagian ini akan terbentuk
melalui proses osifikasi endochondral. Pada proses ini sel-sel mesenkimyang telah bermigrasi
dari jaringan lunak sekitar fraktur mengalami diferensiasi menjadi sel-sel chondroid dan sel-
sel ini dikenal sebagai inducible progenitor cells (IOPC). Di sini akan terbentuk kartilago
jenis kartilago hyalin. Kemudian pada saat proses mineralisasi berlangsung maka akan
terbentuk woven bone (tulang imatur) yang selanjutnya akan mengalami remodelling
menjadi lamellar bone. Perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor mekanik,
listrik dan humoral serta interaksi antar molekul yang sangat mempengaruhi jumlah callus
yang terbentuk,
Hard callus akan terbentuk sebagai respon kallus primer yaitu dengan proses
proliferasi sel-sel osteoprogenitor di daerah periosteum dan sumsum tulang dan sel-sel
tersebut dikenal dengan nama determined osteoprogenitor cells (DOPC). Sel-sel ini secara
langsung membentuk osifikasi intramembranosa dan tulang yang terbentuk berupa
mineralised bone trabeculae. Bila kallus yang terbentuk sangat kurang atau tidak terbentuk
sama sekali maka proses penyembuhan tulang akan gagal.
Pada proses pembentukan kallus, enzim alkaline phospatase, kolagen tipe II dan
protein spesifik tulang akan terus meningkat konsentrasinya. Agar terbentuk matriks protein
pada kallus fraktur tersebut maka chondrosite dan osteoblas harus mengaktifkan gen-gen
protein tersebut. Pengaturan ekspresi gen-gen pada sel-sel tersebut sangat menentukan proses
penyembuhan tulang. Proses chondrogenesis, ossifikasi endochondral, dan ossifikasi
intramembranosa pada kallus fraktur ditentukan oleh ekspresi gen-gen yang dipengaruhi oleh
adanya mediator-mediator lokal, dan variasi lingkungan mikro, termasuk stres. Kompresi
menghambat ekspresi gen untuk pembentukan jaringan ikat. Gaya robekan (shear force)
meningkatkan kalsifikasi pada jaringan fibrokolagen dan stres hidrostatik yang intermiten
mengurangi proses tersebut. Mediator lokal yang berpengaruh adalah acidic fibroblast growth
factor (FGF), basic FGF, dan TGF-β yang berfungsi untuk menstimulasi proliferasi
chondrocyte, pembentukan kartilago, proliferasi osteoblast, dan sintesa tulang. Sintesa TGF-β
juga berhubungan dengan hipertrofi kartilago dan kalsifikasi pada ossifikasi endochondral.
Pada keadaan tekanan oksigen yang rendah akan terbentuk kartilago yang diduga disebabkan
oleh jauhnya letak pembuluh darah, sedangkan pada tekanan yang lebih tinggi jaringan tulang
akan terbentuk.
Beberapa growth factor lainnya juga ikut berperanan di dalam pembentukan kallus
dan inisiasi mineralisasi pada kallus fraktur. Collagenase, gelatinase, dan stromelysin adalah
enzim yang menguraikan protein dan menjadi komponen matriks ekstraseluler pada kallus
dan berfungsi di dalam mempersiapkan proses mineralisasi. Interleukin-1 juga mengatur
penghancuran kallus fraktur dan merangsang pembentukan kallus yang terkalsifikasi.
Prostaglandin yang walaupun merangsang osteoclast, berperanan di dalam proses ossifikasi
selanjutnya, karena resopsi tulang adalah prekursor pembentukan tulang. BMP (bone
morphogenic protein) seperti misalnya BMP-3 atau osteogenin berfungsi mengubah fenotip
sel mesenkim menjadi osteoblast. Insulin-like growth factor-II (IGF-II) adalah rantai tunggal
polipeptida yang berfungsi di dalam menstimulasi proliferasi sel-sel tulang dan matriks
kartilago. Produksi IGF-II distimulasi oleh hormon parathyroid dan 1,25 dihidroksi vitamin
D3.
Sifat biomekanik kallus fraktur tergantung kepada materi kallus yang terbentuk.
Setelah soft callus terbentuk, gambaran radiologis kallus eksternal adalah prediktor yang
buruk bagi kekuatan kallus dan tidak mencerminkan jumlah komposisi kimiawi kallus.
Perbaikan kekuatan dan kekakuan tulang yang fraktur ditentukan oleh jumlah tulang yang
terbentuk yang menjembatani fragmen tulang, bukan oleh kallus yang terbentuk. Kekuatan
kallus berhubungan dengan kadar kalsium yang terdapat di dalamnya. Kekuatan tegangan
kallus berhubungan dengan rasio callus dengan area tulang kortikal. Gerakan interfragmen
sangat berpengaruh terhadap penyembuhan tulang. Gerakan interfragmen akan semakin
berkurang apabila penyembuhan berlangsung dengan baik. Apabila stabilitas mekanis cukup
baik dan ujung-ujung fragmen menempel, maka soft kallus yang terbentuk akan minimal,
namun hard kallus yang tipis akan cepat diganti oleh proses pembentukan sistem Haversi
(ossifikasi endochondral) yang cepat. Sebaliknya bila imobilisasi antar fragmen inadekuat,
maka akan terbentuk exuberant cartilaginous callus. Apalagi jika keadaan ini disertai juga
dengan jarak antar fragmen yang jauh, maka dapat terjadi non union karena jaringan yang
persisten atau kallus yang tidak membentuk kallus yang osteogenik.

PROSES MINERALISASI DAN OSSIFIKASI

Fase berikutnya adalah fase osteogenik yaitu fase kallus fraktur mengalami
mineralisasi. Proses ini dimulai pada minggu ketiga setelah fraktur terjadi, yaitu dengan
mulai dilepaskannya kalsium oleh mitokondria dan mulai berkurangnya proteoglikan beserta
agregat-agregatnya.
Proses mineralisasi kallus fraktur berlangsung dalam suatu urutan berbagai aktivitas
sel. Sel-sel chondrocyte akan mensintesa serabut kolagen tipe I yang mempunyai suatu ruang
yang disebut hole zone dan membuat kondisi yang akan mempromosikan deposisi kristal-
kristal kalsium hidroksiapatit di antara serabut-serabut kolagen. Proses ini memerlukan dua
fungsi sel. Yang pertama adalah menghilangkan matriks fibrokartilaginous callus dan
tingginya konsentrasi proteoglycan yang menghambat mineralisasi. Untuk mencapai hal ini
sel-sel chondrocyte akan mensekresikan neutral proteoglycanase yang akan mendegradasi
molekul-molekul proteoglycan pada saat mineralisasi. Cara yang kedua adalah setelah sel-sel
mempersiapkan matriks untuk mineralisasi, chondrocyte dan selanjutnya osteoblast akan
melepaskan prepackaged kompleks kalsium fosfat ke dalam matriks dengan jalan melepaskan
kuncup-kuncup vesikel matriks dari membran sel. Vesikel-vesikel tersebut akan membawa
neural protease yang terdiri dari endopeptidase, alanyl β-narthylaminase, serta aminipeptidase
dan enzim alkaline phosphatase yang akan mendegradasi matriks yang kaya proteglycan dan
menghidrolisa ATP dan ester fosfat yang kaya energi untuk menyediakan ion fosfat yang
berguna bagi pengendapan kalsium. Bersamaan dengan mineralisasi kallus, aktivitas kedua
enzim tersebut akan meningkat.
Selama proses mineralisasi berlangsung, ujung-ujung fragmen tulang secara
berangsur-angsur menjadi diselimuti oleh massa kallus yang fusiformis yang berisi woven
bone yang terus meningkat. Semakin banyak mineral yang telah dideposisi, semakin keras
pula kallus yang terbentuk. Stabilitas fragmen fraktur terus meningkat dan clinical union
terjadi, yaitu bagian yang fraktur menjadi tidak nyeri lagi dan tampak tulang yang
menghubungkan fragmen-fragmen fraktur secara radiologis. Meskipun demikian, proses
penyembuhan belum selesai karena bagian ini masih lebih lemah dibandingkan tulang yang
normal. Kekuatan yang sama dengan tulang normal akan tercapai setelah proses remodelling
berlangsung.

PROSES REMODELLING

Pada tahap akhir penyembuhan luka akan terbentuk lamellar bone dari woven bone
yang sudah terbentuk pada fase sebelumnya, disertai dengan resopsi kalus yang diperlukan.
Proses remodelling ini berlangsung bertahun-tahun, lama setelah pasien memperoleh kembali
fungsi yang normal dan secara radiologis sudah tampak union yang lengkap dan terjadi pada
periosteum, endosteum, tulang kortikal, dan trabeculae.
Proses pergantian woven bone oleh lamellar bone terdiri dari proses resorpsi
osteoclastik pada trabeculae tulang yang berlebihan dan lokasi yang tidak benar dan lokasi
yang tidak benar dan pembentukan tulang sesuai dengan garis gaya yang bekerja pada tulang
oleh osteoblast paa daerah yang telah diresopsi. Di samping itu, kanal medulla mulai
terbentuk kembali. Selanjutnya osteoblast akan tertanam di dalam matriks menjadi osteocyte.
Bone Modelling Unit (BMU) adalah satu grup sel-sel yang saling terkait dan berpartisipasi di
dalam remodelling pada suatu area tulang tertentu melalui aktivitas sel yang terdiri dari
aktivasi, resorpsi, dan formasi.
Stabiliti mekanik yang dicapai pada fase ini semakin meningkat. Progresifitas stabiliti
bagian fraktur ini dapat dilukiskan ke dalam empat stadium.
Stadium I : tulang yang mengalami penyembuhan dan dikenakan gaya torsi akan rusak
melalui garis fraktur dengan kekakuan yang rendah (low stiffness) dan berbentuk seperti
karet (rubbery pattern)
Stadium II : tulang akan rusak melalui daerah fraktur dengan kekakuan yang tinggi (high
stiffness) dan terbentuk seperti jaringan yang keras (hard tissue pattern)
Stadium III : tulang akan rusak melalui bagian fraktur dan sebagian pada tulang yang intak
sebelumnya dengan kekakuan yang tinggi (high stiffness) dan berbentuk jaringan keras (hard
tissue pattern)
Stadium IV : bagian yang mengalami kerusakan tidak berhubungan lokasi fraktur dan terjadi
pada bentuk yang sangat kaku (high stiffness pattern), yang menunjukkan bahwa remodelling
telah selesai yang diukur pada restorasi kekuatan asal mekanisnya.

Berbagai faktor mempengaruhi proses remodelling ini. Rangsang listrik yang


disebabkan oleh adanya stress akibat pembebanan titik berat badan tubuh yang mengikuti
hukum Wollf, menyebabkan proses osteoblastik pada bagian dengan muatan listrik negatif
dan osteoclastik pada bagian dengan muatan listrik yang positif.
Selain rangsang listrik dan mekanik, volume tulang yang terbentuk juga dipengaruhi
oleh keseimbangan antara resorpsi dan deposisi tulang yang diatur oleh kontrol sistemik
melalui hormon parathyroid yang mengatur keseimbangan kalsium, fosfat dan faktor lokal
yaitu growth factor. Sedangkan daktor lokal yang berperanan adalah insulin-like growth
factor II (IGF II), bone morphogenic protein (BMP), dan prostaglandin.
TAHAPAN PENYEMBUHAN TULANG

Secara ringkas tahapan penyembuhan tulang secara klinis, proses biomolekuler, dan
kronologis dapat dilihat pada tabel berikut.
Stadium Durasi (lamanya) Proses yang terjadi
Stadium impak Beberapa detik Energi diserap, comminution,
(stage of impact) periosteal stripping, soft
tissue injury
Stadium inflamasi 1-2 minggu Sel-sel inflamasi tertarik oleh
(stage of inflammation) hematoma, sitokin dilepaskan
untuk merangsang sel
mesenkim
Stadium kalus lunak Beberapa minggu - bulan Terbentuk jaringan granulasi,
(stage of soft callus) tulang yang nekrosis
diresorpsi, proliferasi
osteoblast di perifer, dan
pembentukan kartilago di
sentral
Stadium kalus keras Beberapa minggu – bulan Kalsifikasi kartilago, secara
(stage of hard callus) bertahap digantikan oleh
pembentukan tulang, clinical
union terjadi
Stadium remodelling Beberapa bulan - tahun Tulang menuju bentuk
(remodelling stage) normal karena faktor stress
mekanik, medulla terbentuk
kembali

PENYEMBUHAN FRAKTUR TULANG DENGAN STABILISASI YANG RIGID

Apabila pada fraktur tulang dilakukan stabilisasi yang rigid dan kontak di antara
ujung-ujung fragmen fraktur meliputi seluruh permukaan fraktur, maka kallus tidak akan
terbentuk. Berbeda dengan penyembuhan yang melalui pembentukan kallus terlebih dahulu,
maka penyembuhan jenis ini dikenal sebagai penyembuhan fraktur primer. Sedangkan
penyembuhan yang melalui pembentukan kallus dikenal sebagai penyembuhan fraktur tulang
sekunder.
Schenk dan Willnegger menggambarkan dua tahap penyembuhan fraktur primer,
yaitu gap healing (penyembuhan jarak antar fragmen) dan haversian remodelling
(pembentukan sistem Haversi). Syarat bagi terbentuknya proses penyembuhan ini adalah
reduksi yang benar, fiksasi yang stabil, dan suplai pembuluh darah yang adekuat. Sampai
pada keadaan tertentu tahapan-tahapan ini menunjukan fase penyembuhan dan remodelling
fraktur yang tidak distabilisasi dengan rigid. Mereka mendapatkan compression platting yang
menunjukkan tidak semua ujung tulang kortikal saling berhubungan, sehingga meninggalkan
jarak dalam berbagai ukuran dan oleh karena itu mekanisme, struktur, dan kecepatan
pembentukan tulang tergantung pada besarnya jarak tersebut. Apabila terdapat kontak
hubungan langsung di antaranya, maka lamellar bone akan langsung terbentuk sepanjang
garis fraktur, sejajar dengan aksis panjang tulang dengan cara menghasilkan osteon. Di sini
osteoclast akan memotong garis fraktur, sedangkan osteoblas sesudahnya akan mendeposisi
tulang yang baru serta pembuluh darah akan menyertai osteoblast tersebut. Matriks tulang
yang baru terbentuk tersebut menyelimuti osteocyte dan pembuluh darah sehingga
membentuk sistem Haversi atau disebut primary osteon (osteon primer). Keseluruhan proses
ini disebut contact healing dan dimulai pada minggu ke-4 sesudah fraktur.
Pada jarak yang kecil yaitu antara 150 s.d. 200 um atau kira-kira sebesar diameter luar
osteon, sel-sel akan membentuk lamellar bone secara tegak lurus pada sumbu tulang. Proses
ini akan berlangsung pada minggu ke-4. Pada jarak yang lebih besar, yaitu antara 200 um s.d.
1mm, sel-sel akan mengisi defek tersebut dengan woven bone. Sesudah terjadi gap healing
tersebut pembentukan sistem Haversi akan dimulai, dan akan membentuk anatomi konrteks
yang normal. Bagian kerucut pemotong (cutting cones) yang terdiri dari osteoclast beserta
pembuluh darahnya akan memotong bagian tersebut, sedangkan osteoblast akan menembus
jarak fraktur yang terbentuk dan kemudian beserta dengan pembuluh darahnya mendeposisi
lamellar bone dan membentuk anatomi tulang kortikal yang normal. Haversian remodelling
ini akan mengikuti jalur pembuluh darah yang nekrotik dan juga memotong bagian yang telah
mengalami neovaskularisasi, apabila segmen tulang kortikal yang nekrotik cukup besar, cap
healing dengan cara pembentukan psteon akan berlangsung, namun dalam kecepatan yang
lebih lambat dan area tulang kortikal yang nekrotik tidak akan mengalami remodelling dalam
jangka waktu yang lama.
Perren dan kawan-kawan menemukan bahwa kompresi pada fraktur akan
mengeliminasi proses resorpsi ujung-ujung tulang kortikal seperti yang terlihat pada
penyembuhan yang normal. Proses resorpsi ini berhubungan dengan micro motion (gerakan
mikro) dan regangan pada daerah fraktur. Dengan demikian mereka berhasli
mendemonstrasikan pentingnya stabilitas untuk pembentukan primer tulang. Apabila
stabilitas tidak dipertahankan, maka gerakan mikro tersebut akan menstimulasi resorpsi oleh
osteoclast dan menghambat contact healing dan gap healing. Compression plating yang
berhasil dan disertai dengan friksi dan preloading akan menghilangkan gerakan mikro dan
regangan. Meskipun demikian gerakan antar fragmen yang sedikit dapat menguntungkan
karena akan mempercepat dan memperkuat union. Terdapat dua teori remodelling pada
penggunaan plate dan screw, yaitu teoti gangguan pada vaskularisasi dan perlindungan
terhadap stres. Adanya proses revaskularisasi pada pembentukan osteon sekunder dan stres
yang disebabkan oleh plating dan screw menyebabkan porositas pada tulang kortikal dan
dinding korteks yang tipis, sehingga memudahkan terjadinya refraktur setelah impant dicabut.
Oleh karena itu jarak pemasangan plating dan screw harus seoptimal mungkin sehingga tidak
merusak pembuluh darah medulla tulang.
Pada penggunaan jenis fiksasi yang lain yaitu intramedullar nailing ataupun fiksasi
eksterna, proses yang terjadi juga dapat secara pembentukan osteon primer maupun sekunder
setelah melalui pembentukan kallus. Pada intramedullary nailing pertumbuhan periosteal
kallus yang menonjol berbeda dengan plating yang endosteal kallusnya yang lebih utama.
Demikian pula pada pemakaian fiksasi eksterna. Fiksasi eksterna biasanya kurang rigid
dibandingkan dengan plating, sehingga pembentukan kallus dapat terjadi melalui periosteal
kallus. Rigiditas komposit yang digunakan untuk memfiksasi sangat menentukan proses
union pada penyembuhan fraktur. Pin loosening dapat terjadi apabila fiksasi kurang rigid dan
pergerakan pada jarak fragmen-fragmen fraktur.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN FRAKTUR

Berbagai faktor lokal, sistemik, dan lingkungan eksternal mempengaruhi proses


penyembuhan fraktur. Faktor-faktor lokal yang berpengaruh adalah kerusakan yang luas pada
tulang dan jaringan lunak di sekitar fraktur, terputusnya suplai pembuluh darah, terdapatnya
imposisi jaringan lunak di antara fragmen fraktur, imobilisasi dan reduksi yang inadekuat,
adanya infeksi atau proses keganasan, dan tulang yang nekrotik akibat avaskularitas, radiasi,
truma panas dan kimiawi, atau infeksi. Faktor-faktor sistemik yang berpengaruh adalah umur,
hormon, aktivitas fungsional, fungsi saraf dan nutrisi.
Faktor mekanis juga mempengaruhi penyembuhan fraktur. Apabila kompresi yang
diberikan pada tulang terlalu kuat maka sel-sel tulang akan nekrosis. Juga stress yang
inadekuat di antara fragmen-fragmen fraktur akan gagal menimbulkan respon osteogenik,
kompresi sirkuler pada pemakaian weight bearing cast atau cast brace akan menguntungkan
jika digunakan dengan cara dan waktu yang tepat.
Bila jaringan tulang tidak terbentuk pada garis fraktur atau terbentuk tidak sesuai
dengan waktu yang diharapkana maka dapat terjadi non union atau delayed union. Fraktur
mengalami non union bila belum terjadi jaringan tulang sampai dengan 6-8 bulan setelah
trauma. Sedangkan delayed union bila jaringan tulang belum terbentuk setelah antara 3-9
bulan. Secara patologis pada non union didapatkan penghubungan jaringan lunak yang terdiri
dari kartilago, jaringan ikat atau keduanya, tanpa diertai cairan. Fibrous union akan sulit
sembuh dan biasanya membutuhkan bone grafting, sedangkan hypertrophic non union yang
didominasi oleh fibrokartilago hanya membutuhkan stabilisasi.

BAB III
KESIMPULAN

Penyembuhan fraktur tulang adalah proses regenerasi sel-sel tulang setelah suatu
fraktur yang sangat dipengaruhi oleh faktor suplai pembuluh darah dan stabiliti fragmen
fraktur. Proses tersebut dapat dijelaskan secara biomolekuler, yaitu merupakan suatu kaskade
fenomena seluler dengan peranan berbagai mediator kimiawi seperti prostaglandin,
morphogen, dan growth factor, yang dilepaskan oleh sel-sel tulang, otot, jaringan ikat, dan
sel-sel inflamasi pada daerah fraktur.
Terdapat dua jenis penyembuhan fraktur yaitu penyembuhan secara primer dan
sekunder melalui pembentukan kallus yang masing-masing mempunyai tahapan aktivitas
seluler. Proses ini dipengaruhi oleh terapi yang diberikan pada berbagai jenis fraktur dan
faktor-faktor sistemik maupun lokal.

DAFTAR PUSTAKA
Lukman, Kiki. 1997. Penyembuhan Patah Tulang Ditinjau dari Sudut Ilmu Biologi
Molekuler. Bandung : Universitas Padjadjaran
http://www.exogen.com/physicians/how-it-works/
http://www.bonefixator.com/bone_fracture/bone_fracture_healing_stage.jpg

Anda mungkin juga menyukai