Disusun oleh:
Kelompok 05
1. Ramadhana Millenio Olka Wibowo (03411840000011)
2. Salma Amalina (03411840000015)
3. Zikra Miftahul Haq (03411840000017)
4. Nunky Febilia Verany (03411840000021)
5. Alfin Alamsyah Ilman (03411840000022)
6. Reno Fadilla Rudian Putra (03411840000046)
7. Amelia Rosana Putri (03411840000047)
8. Adinda Amalia Alamsah (03411840000049)
DAFTAR ISI 2
ABSTRAK 7
BAB I 8
1.1 Latar Belakang 8
1.2 Rumusan Masalah 9
1.3 Batasan Masalah 9
1.4 Tujuan Penelitian 9
1.5 Manfaat Penelitian 9
BAB II 10
2.1 Geologi Regional 10
2.1.1 Fisiografi Regional 12
2.1.2 Tectonic Setting 12
2.1.3 Stratigrafi 14
2.1.4 Sejarah Geologi 15
2.1.5 Sistem Gunung Lumpur 16
2.2 Metode Resistivitas 2D ERT (Electrical Resistivity Tomography) 17
2.2.1 Resistivitas Batuan 18
2.2.2 Konfigurasi Wenner 19
2.2.3 Konfigurasi Dipole-dipole 19
2.2.4 Inversi Least Square 19
2.2.5 Penelitian Terdahulu 21
2.3 Metode VES (Vertical Electrical Sounding) 21
2.3.1 Konfigurasi Schlumberger 22
2.3.2 Inversi Data Metode VES 23
2.3.3 Penelitian Terdahulu 24
2.4 Metode Magnetik 25
2.4.1 Medan Magnetik 25
2.4.2 Suseptibilitas Magnetik 26
2.4.3 Upward Continuation Method 26
2
2.4.4 Reduce to Pole Method 26
2.4.5 Penelitian Terdahulu 27
2.5 Metode Gravity 28
2.5.1 Koreksi Pada Metode Gravity 28
2.5.1.1 Koreksi Apungan (Drift Correction) 28
2.5.1.2 Koreksi Pasang Surut (Tidal Correction) 29
2.5.1.3 Koreksi Lintang (Latitude Correction) 29
2.5.1.4 Koreksi Udara Bebas (Free-air Correction) 29
2.5.1.5 Koreksi Bouguer 29
2.5.1.6. Koreksi Topografi (Terrain Correction) 29
2.5.2 Penentuan Variasi Densitas Batuan 30
2.5.3 Spectral Analysis 30
2.5.4 Penelitian Terdahulu 30
2.6 Metode Seismik 32
2.6.1 Seismik Refraksi 33
2.6.1 Seismik Refleksi 33
2.6.2 Penelitian Terdahulu 34
2.7 Metode VLF (Very Low Frequency) 35
2.7.1 Prinsip Kerja Metode VLF 37
2.7.2 Jenis Pengukuran Metode VLF 38
2.7.3 Filter Pada Data Metode VLF 39
2.7.4 Penelitian Terdahulu 40
2.8 Metode GPR (Ground Penetrating Radar) 42
2.8.1 Prinsip Dasar GPR 43
2.8.1.1 Prinsip Elektromagnetik pada GPR 43
2.8.1.2 Sifat Material 44
2.8.1.3 Kecepatan Gelombang Radar 45
2.8.2 Instrumentasi GPR 46
2.8.2.1 Resolusi GPR 46
2.8.2.2 Antena GPR 47
2.8.3 Penelitian Terdahulu 47
BAB III 50
3
3.1 Diagram Alir Keseluruhan Penelitian 50
3.2 Metode Resistivitas 2D ERT 50
3.2.1 Lokasi dan Waktu 50
3.2.2 Alat dan Bahan 52
3.2.3 Workflow 52
3.2.3.1 Workflow Akuisisi Lapangan 52
3.2.3.2 Workflow Pengolahan Data 53
3.2.4 Langkah Kerja Akuisisi Lapangan 54
3.2.5 Langkah Kerja Pengolahan Data 55
3.3 Metode VES (Vertical Electrical Sounding) 55
3.3.1 Lokasi dan Waktu 55
3.3.2 Alat dan Bahan 57
3.3.3 Workflow 58
3.3.3.1 Workflow Akuisisi Lapangan 58
3.3.3.2 Workflow Pengolahan Data 58
3.3.4 Langkah Kerja Akuisisi Lapangan 59
3.3.5 Langkah Kerja Pengolahan Data 60
3.4 Metode Magnetik 61
3.4.1 Lokasi dan Waktu 61
3.4.2 Alat dan Bahan 61
3.4.3 Workflow 62
3.4.3.1 Workflow Akuisisi Lapangan 62
3.4.3.2 Workflow Pengolahan Data 62
3.4.4 Langkah Kerja Akuisisi Lapangan 63
3.4.5 Langkah Kerja Pengolahan Data 63
3.5 Metode Gravity 64
3.5.1 Lokasi dan Waktu 64
3.5.2 Alat dan Bahan 65
3.5.3 Workflow 65
3.5.3.1 Workflow Akuisisi Lapangan 66
3.5.3.2 Workflow Pengolahan Data 66
3.5.4 Langkah Kerja Akuisisi Lapangan 67
4
3.5.5 Langkah Kerja Pengolahan Data 67
3.6 Metode Seismik 68
3.6.1 Lokasi dan Waktu 68
3.6.2 Alat dan Bahan 70
3.6.3 Workflow 71
3.6.3.1 Workflow Akuisisi Lapangan 71
3.6.3.2 Workflow Pengolahan Data 72
3.6.4 Langkah Kerja Akuisisi Lapangan 72
3.6.5 Langkah Kerja Pengolahan Data 73
3.7 Metode VLF (Very Low Frequency) 74
3.7.1 Lokasi dan Waktu 74
3.7.2 Alat dan Bahan 75
3.7.3 Workflow 75
3.7.3.1 Workflow Akuisisi Lapangan 75
3.7.3.2 Workflow Pengolahan Data 76
3.7.4 Langkah Kerja Akuisisi Lapangan 77
3.7.5 Langkah Kerja Pengolahan Data 78
3.8 Metode GPR (Ground Penetrating Radar) 78
3.8.1 Lokasi dan Waktu 78
3.8.2 Alat dan Bahan 79
3.8.3 Workflow 79
3.8.3.1 Workflow Akuisisi Lapangan 79
3.8.3.2 Workflow Pengolahan Data 80
3.8.4 Langkah Kerja Akuisisi Lapangan 80
3.8.5 Langkah Kerja Pengolahan Data 81
BAB IV 82
4.1 Rincian Penyelesaian 82
4.2 Timeline Pengerjaan 82
4.3 Kurva Diagram S 83
REFERENSI 85
Metode Resistivitas 2D ERT (Electrical Resistivity Tomography) 87
Metode VES (Vertical Electrical Sounding) 88
5
Metode Magnetik 88
Metode Gravity 89
Metode Seismik 89
Metode VLF (Very Low Frequency) 90
Metode GPR (Ground Penetrating Radar) 92
6
ABSTRAK
Pasca awal munculnya semburan gas dan lumpur panas dari bawah permukaan di Kecamatan
Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, kejadian tersebut menjadi awal bencana yang terus
berkelanjutan sampai sekarang. Lumpur panas yang keluar dari bawah permukaan tersebut
diperkirakan memiliki volume 50.000 m3 per hari dan terjadi di beberapa lubang semburan.
Sejumlah upaya telah dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur panas tersebut,
diantaranya dengan membuat tanggul untuk membendung area genangan lumpur. Namun,
jumlah lumpur yang terus bertambah setiap harinya, telah merusak tanggul dan mengancam
pemukiman di sekitarnya. Untuk mengetahui informasi lebih dalam mengenai kondisi terkini
tanggul dan bawah permukaaan area lumpur sidoarjo, dapat dilakukan pengukuran dan
interpretasi metode geofisika terpadu. Integrasi metode geofisika yang dapat memberikan
informasi bawah permukaan LUSI yang baik yaitu seperti metode geolistrik 1D (VES) untuk
menentukan perubahan resistivitas tanah terhadap kedalaman yang bertujuan untuk
mempelajari variasi resistivitas batuan di bawah permukaan bumi secara vertikal, metode
geolistrik 2D untuk memperoleh gambaran mengenai lapisan tanah di bawah permukaan dan
kemungkinan terdapatnya suatu anomali, metode gravity dan magnetik untuk memberikan
informasi regional daerah penelitian, metode seismik untuk memberikan gambaran struktur
dan informasi lapisan bawah permukaan, metode VLF EM untuk mengenali dengan cepat
beda resistansi pada batuan, dan metode GPR untuk mendeteksi objek yang terkubur didalam
tanah maupun patahan yang ada di bawah permukaan dan mengevaluasi kedalamannya.
Dengan menggunakan metoda geofisika ini diharapkan dapat memetakan dan
mengindikasikan perlapisan bawah permukaan di daerah sekitar tanggul, dan mendapatkan
kemungkinan adanya anomali di bawah permukaan berdasarkan parameter-parameter yang
diukur, sehingga dapat dilakukan monitoring pada tanggul dan kajian untuk keperluan
lanjutan.
7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peristiwa keluarnya gas dan lumpur panas dari bawah permukaan di daerah
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur telah menyebabkan tergenangnya
kawasan pemukiman, pertanian, dan perindustrian di sekitar wilayah tersebut. Kejadian
tersebut menjadi awal bencana yang terus berkelanjutan hingga sampai sekarang. Lumpur
panas yang keluar dari bawah permukaan tersebut diperkirakan memiliki volume 50.000 m3
per hari dan terjadi di beberapa lubang semburan. Sejumlah upaya telah dilakukan untuk
menanggulangi luapan lumpur panas tersebut, diantaranya dengan membuat tanggul untuk
membendung area genangan lumpur. Namun, jumlah lumpur yang terus bertambah setiap
harinya, telah merusak tanggul dan mengancam pemukiman di sekitarnya. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji keadaan tanggul dan bawah permukaan untuk
memberikan informasi kondisi tanggul dan bawah permukaan.
Beberapa metode geofisika untuk penyelidikan bawah permukaan tanah yang dapat
dilakukan, diantaranya adalah metode geologi, metode gravitasi, metode magnetik, metode
seismik, metode elektromagnetik yaitu GPR dan VLF dan metode geolistrik 1D (VES) dan
2D. Masing - masing metode mempunyai kelebihan dan kekurangan, namun setiap metode
dapat menjadi pendukung interpretasi dari metode lainnya. Pemilihan metode yang akan
digunakan harus disesuaikan dengan target yang akan dicapai dalam suatu penelitian.
Penelitian mengenai geologi struktur bertujuan untuk mengetahui bentuk dan struktur geologi
khususnya struktur patahan dan lipatan di permukaan pada daerah penelitian serta proses
terbentuk dan faktor yang mempengaruhinya. Kemudian metode gravity dan magnetik
merupakan metode yang sering digunakan untuk survei pendahuluan untuk mengetahui
kondisi regional daerah penelitian. Metode gravity didasarkan pada pengukuran variasi
medan gaya berat di permukaan bumi yang disebabkan oleh adanya variasi densitas batuan di
bawah permukaan (Wulan & Setyawan, 2017). Kemudian metode magnetik bekerja
berdasarkan sifat - sifat magnetik batuan yang terdapat dibawah permukaan bumi. Metode ini
sangat efektif untuk memisahkan anomali massa yang memiliki perbedaan konduktivitas dan
suseptibilitas yang signifikan terhadap lingkungan sekitarnya (Telford et al, 1990). Lalu
metode seismik digunakan untuk mendapatkan informasi karakteristik kecepatan penjalaran
gelombang dan densitas suatu material (batuan) dimanfaatkan untuk mengetahui litologi
batuan yang berada di bawah permukaan. Kemudian metode Ground Penetration Radar
(GPR) memanfaatkan gelombang elektromagnetik untuk mendeteksi objek yang terkubur
didalam tanah maupun patahan yang ada di bawah permukaan dan mengevaluasi
kedalamannya. Metode Very Low Frequency Electromagnetic (VLF-EM) digunakan untuk
mengenali dengan cepat beda resistansi pada batuan. Setelah itu, metode geolistrik 1D (VES)
digunakan untuk menentukan perubahan resistivitas tanah terhadap kedalaman yang
bertujuan untuk mempelajari variasi resistivitas batuan di bawah permukaan bumi secara
vertikal (Telford dkk, 1990). Dan metode geolistrik 2D dimaksudkan untuk memperoleh
gambaran mengenai lapisan tanah di bawah permukaan dan kemungkinan terdapatnya suatu
anomali. Metode geolistrik ini digunakan untuk memperkirakan sifat kelistrikan medium atau
8
formasi batuan bawah permukaan, terutama dalam menganalisis kemampuan batuan tersebut
untuk menghantarkan atau menghambat listrik.
Dengan menggunakan metoda geofisika ini diharapkan dapat memetakan dan
mengindikasikan perlapisan bawah permukaan di daerah sekitar tanggul, dan mendapatkan
kemungkinan adanya anomali di bawah permukaan berdasarkan parameter-parameter yang
diukur, sehingga dapat dilakukan monitoring pada tanggul dan kajian untuk keperluan lebih
lanjut.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam kegiatan kuliah lapangan terpadu di Lumpur Sidoarjo,
Kabupaten Sidoarjo adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah proses akuisisi data metode geofisika yang dilakukan?
2. Bagaimanakah proses pengolahan data lapangan metode geofisika yang sudah
diperoleh?
3. Bagaimanakah interpretasi data hasil pengolahan metode geofisika?
1.3 Batasan Masalah
Tujuan yang akan dicapai dari laporan kuliah lapangan metode geolistrik adalah
sebagai berikut :
1. Menggunakan data akuisisi lapangan di area tanggul Lumpur Sidoarjo sebelah Timur.
2. Akuisisi dilakukan menggunakan beberapa metode geofisika antara lain metode
gravity, metode magnetik, metode seismik, metode elektromagnetik yaitu GPR dan
VLF serta metode geolistrik 1D (VES) dan 2D.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dari kuliah lapangan terpadu di Lumpur Sidoarjo,
Kabupaten Sidoarjo adalah sebagai berikut :
1. Memahami prinsip kerja akuisisi data metode geofisika yang dilakukan.
2. Memahami proses pengolahan data lapangan metode geofisika yang diperoleh.
3. Memahami karakteristik parameter fisis bawah permukaan berdasarkan tiap metode
geofisika.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dari kegiatan kuliah lapangan terpadu di Lumpur Sidoarjo, Kabupaten
Sidoarjo diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Memberikan pengetahuan terkait potensi kerawanan pada bagian tanggul di Lumpur
Sidoarjo.
2. Memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait kondisi di sekitar Lumpur
Sidoarjo dan potensi bahaya serta upaya yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi
bahayanya.
3. Menjadi salah satu referensi penelitian mengenai kajian metode geofisika yang
digunakan untuk memonitoring bagian tanggul di Lumpur Sidoarjo.
9
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Geologi Regional
Secara geologis, Jawa Timur terletak diantara tiga jenis struktural diantaranya
continental shelf di bagian utara, cretaceous accreted ophiolites dan volcanic arc rocks
(Kendeng basin) (Smyth et al., 2007; Clements et al., 2009; Hall, 2011). Kendeng basin
bagian tenggara, dimana semburan lumpur berada, mengalami fase ekstensional dari Eosen
Tengah hingga Oligosen di mana terbentuk graben dan half-graben. Hal ini juga diikuti oleh
fase tekan dari Neogen dan telah tampak thrust fault dan strike slip fault. Dari Pliosen Akhir
sampai Holosen, cekungan ini mengalami fase sedimentasi terakhir (De Genevraye dan
Samuel, 1972; Sawolo et al., 2009). Selama waktu ini bagian selatan cekungan mengalami
tektonik kompresional yang mengarah ke pembentukan horst dan daerah terangkat. Selama
fase uplift, unit magmatik memenuhi graben yang menghasilkan apa yang disebut sebagai
endapan volkanoklastik. Amblesan yang cepat yang dialami wilayah ini setelah Holosen
ditambah dengan pematangan bahan organik dan laju sedimentasi yang tinggi yang terjadi di
wilayah tersebut diperkirakan telah menyebabkan tekanan berlebih yang diukur dalam
formasi Kalibeng (Panzera, 2018).
10
tersusun oleh lapisan batuan sedimen yang terdiri dari batulanau, batulempung, batu serpih,
batu lumpur, batupasir dan batugamping. Umur batuan sedimen tersebut berkisar antara
Miosen Awal hingga Resen. Formasi-formasi batuan sedimen ini telah diendapkan secara
cepat (high sedimentation rate) dan tertekan secara kuat, sehingga membentuk
formasi-formasi batuan bertekanan tinggi (over pressured rock formations) (Istadi B.P.,
2009).
Secara geologi regional, formasi batuan di daerah Sidoarjo termasuk ke dalam zona
depresi Kendeng, yang memanjang dari bagian tengah Jawa Tengah hingga bagian timur
Jawa Timur. Zona depresi ini terbentuk dari beberapa antiklinorium, dan salah satunya adalah
antiklinorium Ngelam – Watudakon, yang melalui lokasi semburan lumpur. Daerah ini juga
telah mengalami deformasi yang kuat sehingga terbentuk bidang-bidang sesar dan retakan.
(Sawolo, N., 2009)
11
Geosyncline Jawa Timur memiliki sedimen Tersier tebal dengan perkiraan laju sedimentasi
2480 m/ma di sekitar LUSI. Laju sedimentasi yang tinggi diikuti dengan penurunan tanah
yang cepat menyebabkan pemadatan yang tidak seimbang, dan seiring dengan pematangan
bahan organik mengakibatkan tekanan sedimen yang berlebihan di dalam zona Kendeng
(Malvoisin, 2018).
2.1.1 Fisiografi Regional
Lumpur Sidoarjo terletak di Jawa Timur yang mana memiliki struktur geologi yang
cukup kompleks. Ditinjau dari fisiografinya, Jawa Timur terbagi menjadi beberapa zona
diantaranya Zona Rembang di bagian utara, Zona Randublatung yang memisahkan
perbukitan Rembang dengan Kendeng pada area sinklin, Zona Kendeng di bagian selatan,
Zona Solo yang merupakan jalur vulkanik di sebelah selatan, dan Zona Pegunungan Selatan,
penelitian (Bemmelen, 1949).
Dari daerah penelitian, wilayah fisiografi Sidoarjo termasuk dalam Zona Kendeng dan
Zona Depresi Randublatung yang didominasi oleh alluvium dan merupakan stratigrafi
termuda (Widodo, 2020). Zona yang disebutkan diapit oleh Zona Rembang dibagian Utara,
sedangkan di bagian selatan diapit oleh Zona Solo. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, wilayah Lumpur Sidoarjo terdiri dari beberapa formasi diantaranya Alluvium,
Formasi Kabuh, Pucangan dan Formasi Lidah. Pada bagian utara Sidoarjo tersingkap adanya
batuan sedimen klastika, epiklastik, piroklastik, alluvium dari Pleistosen Awal hingga
sekarang (Prahastomi, 2014).
12
setinggi lebih dari 100 m dan mempengaruhi aliran sungai Porong yang membengkokkan
bentuk “S”.
Sistem patahan Watukosek (WFS), merupakan salah satu struktur paling menarik
yang baru-baru ini dibahas untuk memahami munculnya letusan besar LUSI (Van Noorden,
2006). WFS memanjang dari kompleks vulkanik Arjuno-Welirang, memotong keluar
menciptakan tebing curam Watukosek sepanjang 3 km dan tinggi hingga 160 m, mengubah
aliran sungai Porong, dan berlanjut ke NE Pulau Jawa melintasi lokasi letusan Lusi (Mazzini
et al., 2007; Moscariello et al., 2017; Obermann et al., 2018). Mazzini et al. (2009) hal ini
diperkuat dengan bukti terdokumentasi yang mendukung pengaktifan kembali WFS setelah
gempa bumi 27 Mei 2006.
13
Gambar 2.1.5 Daerah sistem sesar Watukosek mendatar sinistral ditandai dengan
garis putus-putus berwarna putih berdasar citra satelit (Miller, 2018)
2.1.3 Stratigrafi
Ditinjau dari tatanan stratigrafinya LUSI terdiri dari sedimen aluvial, batu pasir dan
serpih Formasi Pucangan yang berselang-seling Pleistosen (kedalaman sekitar 500 m),
lempung Formasi Pucangan Pleistosen (kedalaman sekitar 1000 m), Lempung abu-abu
kebiruan Pleistosen Formasi Kalibeng Atas (kedalaman s/d 1871 m), dan Pasir vulkaniklastik
Pliosen Akhir dengan ketebalan paling sedikit 962 m. (Wibowo, 2018). Litologi di bawah
Lusi diketahui sampai kedalaman 2.833 m, mengikuti pemboran sumur Banjarpanji (Lupi et
al., 2014). Namun, ketika sumur Banjarpanji-1 mencapai kedalaman 2834 m, potongan dari
dasar sumur tidak mengandung fragmen batu kapur yang menunjukkan bahwa pengeboran
sumur Banjarpanji-1 belum mencapai target reservoar karbonat (Davies et al. 2008)
mengemukakan bahwa batuan berpori ini adalah batugamping Formasi Kujung dan formasi
adalah sumber dari cairan yang meletus di LUSI. Ini terdiri dari vulkaniklastik
Plio-Pleistosen di bagian paling bawah (antara 1871 m dan setidaknya sampai 2833 m)
dilapisi oleh lempung abu-abu kebiruan dari formasi Kalibeng Atas Pleistosen (antara 900
dan 1871m), dibatasi oleh batupasir Pleistosen dan serpih Formasi Pucangan (antara 290 dan
900 m) dan sedimen aluvial paling atas (Moscariello et al. 2017) memberikan rekonstruksi
struktural dan interpretasi tektonik lengkap dari Cekungan Jawa Timur (Dar, 2012).
14
Gambar 2.1.6 Pengaturan stratigrafi cekungan Kendeng di Kabupaten Sidoarjo (Moscariello,
2018) dan stratigrafi yang dibor oleh sumur Banjarpanji-1 dan pengaturan casing kedalaman
(Davies et al., 2008).
2.1.4 Sejarah Geologi
Sejarah geologi yang ada pada lumpur Sidoarjo sebenarnya banyak dikendalikan
dengan aktivitas tektonik dimana semburan lumpur keluar dari daerah yang mengalami
deformasi kerak kompleks akibat tektonik transpressional dan transtensional. Sejarah East
Java Basin tempat dimana lokasi penelitian berada terbagi menjadi dua fase besar yaitu fase
Eosen Tengah ke fase ekstensional Oligosen dan juga fase kompresi Neogen atau inversion
phase. Dalam lokasi ini juga terdapati adanya struktur Grabens dan Half Graben yang
berkembang selama masa ekstensional dan berlanjut sampai dengan masa Neogen.
Sedimentasi yang paling akhir ditemukan di Jawa Timur merupakan East Java Basin
yang terbentuk selama Pliosen Akhir hingga Holosen (3.6–0 Ma), selama waktu itu bagian
selatan cekungan (Zona Depresi Kendeng) dipengaruhi oleh thrust dan uplift di tepi utara.
depresi berkembang sebagai respons terhadap kompensasi isostatik dari pengangkatan busur
vulkanik Oligo Miosen selatan. Pengangkatan tersebut disertai dengan masuknya batuan
vulkaniklastik dari sumber busur vulkanik selatan dan diendapkan ke dalam depresi dan
menyebabkan depresi menjadi surut. Pada masa kini terlihat jika keadaan geologi di sekitar
lumpur Sidoarjo dipengaruhi oleh sesar Watukosek yang menunjukkan adanya gerakan
NW-SE dextral strike slip fault. Kondisi geologi di sekitar penelitian ini dapat dibuktikan
dengan perubahan topografi yang nampak khususnya di daerah zona sesar Watukosek dan
Siring (Wibowo, 2018).
15
Gambar 2.1.7 Geological cross section yang searah dengan sesar Watukosek
2.1.5 Sistem Gunung Lumpur
Lumpur Sidoarjo merupakan salah satu sistem hydrothermal yang terletak di Jawa
Timur, berjarak 10 kilometer dari gunung berapi termuda yaitu penanggungan. Dari
kompleks vulkanik Arjuno- Welirang ditemukanlah sistem sesar Watukosek (WFS). Gunung
Lumpur merupakan gas alam yang keluar yang naik ke permukaan ketika menemukan
saluran melalui rekahan dan membawa lumpur yang memiliki densitas lebih rendah
(diidentifikasi dalam seismik sebagai interval kecepatan) daripada suksesi sedimen di
sekitarnya. Cairan, gas, dan air permukaan dikeluarkan dalam bentuk kerucut seperti gunung
dan membentuk kawah, kolam lumpur (salses) dan kerucut (gryphons). Pada umumnya
struktur antiklin sering ditemukan pada gunung lumpur namun perlu diperhatikan hal itu
dapat diterjemahkan pula sebagai diapir.
Diapirisme lumpur di cekungan sedimen yang dipengaruhi oleh intrusi batuan beku
dan migrasi fluida hidrotermal (Svensen et al., 2009; Mazzini et al., 2011; Ciotoli et al.,
2016), baik di margin aktif dan pasif di mana misalnya lingkungan delta besar berkembang
(Nyantakyi et al., 2016) serta di cekungan busur belakang (Gamberi dan Xing et al., 2016)
dimana laju sedimentasi yang cepat sering menghasilkan kondisi tekanan berlebih pada
sedimen yang tidak terkonsolidasi. Tekanan pori supra-litostatik seperti itu mengacaukan
sedimen yang tidak terkonsolidasi mendorongnya ke atas melalui kerak membentuk struktur
berbentuk kubah (Somoza et al., 2012). Daerah rawan seperti LUSI apabila terganggu oleh
gempa bumi akan menyebabkan pelepasan gas kerak atau mantel dan aliran fluida skala besar
yang dipicu gempa bumi di mana fluida bertekanan tinggi yang terperangkap dilepaskan
melalui propagasi peristiwa coseismic di zona rusak yang disebabkan oleh guncangan utama
itulah sebabnya lumpur sidoarjo dapat mengeluarkan semburan lumpurnya (Wibowo, 2018).
16
Gambar 2.1.8 Struktur dasar dan elemen sistem gunung lumpur (Wibowo, 2018)
2.2 Metode Resistivitas 2D ERT (Electrical Resistivity Tomography)
Geolistrik resistivitas adalah salah satu metode geofisika yang mempelajari sifat aliran
listrik di dalam bumi. Dalam metode geolistrik resistivitas pendugaan susunan lapisan
geologi bawah permukaan berdasar pada perbedaan resistivitas batuan atau tahanan jenis
batuan. Pada metode geolistrik resistivitas atau tahanan jenis, arus listrik diinjeksikan ke
dalam bumi melalui dua buah elektroda potensial. Dari hasil pengukuran arus dan beda
potensial untuk setiap jarak elektroda tertentu, dapat ditentukan variasi harga hambatan jenis
masing-masing lapisan di bawah titik ukur (Loke, 1999).
Metode geolistrik resistivitas didasarkan pada anggapan bahwa bumi mempunyai sifat
homogen isotropis. Dengan asumsi ini, tahanan jenis yang terukur merupakan resistivitas
yang sebenarnya dan tidak tergantung pada spasi elektroda. Namun pada kenyataannya, bumi
terdiri atas lapisan-lapisan dengan tahanan jenis yang berbeda-beda, sehingga potensial yang
terukur merupakan pengaruh dari lapisan-lapisan tersebut. Dengan demikian resistivitas yang
terukur bukan merupakan harga resistivitas untuk satu lapisan saja. Dalam hal ini yang
terukur adalah resistivitas semu (apparent resistivity, ρa). Resistivitas semu dirumuskan
sebagai berikut.
(2.2.1)
Nilai dari resistivitas semu dipengaruhi oleh geometri dari konfigurasi yang digunakan, yang
biasa disebut sebagai faktor geometri K. Dengan nilai K dapat didefinisikan dengan
persamaan berikut (Reynolds, 1997; Telford et al, 1990).
17
(2.2.2)
Berdasarkan mode penyebarannya, metode resistivitas 2D ERT merupakan horizontal
transversing. Metode resistivitas horizontal transversing ditujukan untuk mempelajari variasi
resistivitas bawah permukaan secara horizontal. Oleh karena itu, jarak spasi antar elektroda
pada metode ini tetap untuk setiap titik pengukuran. Konfigurasi yang umumnya dipakai
untuk mode horizontal transversing ini yaitu wenner, wenner-schlumberger, dipol-dipol dan
lain sebagainya (Reynolds, 1997).
2.2.1 Resistivitas Batuan
Batuan tersusun dari berbagai mineral dan mempunyai sifat kelistrikan. Beberapa
batuan tersusun dari satu jenis mineral saja, sebagian kecil lagi dibentuk oleh gabungan
mineral, dan bahan organik serta bahan-bahan vulkanik. Sifat kelistrikan batuan adalah
karakteristik dari batuan dalam menghantarkan arus listrik. Batuan dapat dianggap sebagai
medium listrik seperti pada kawat penghantar listrik, sehingga mempunyai tahanan jenis
(resistivitas). Resistivitas atau tahanan jenis merupakan sifat intrinsik suatu medium atau
material murni. Faktor resistivitas batuan dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut yaitu tipe
batuan/mineral, porositas, permeabilitas, saturasi dan salinitas (Lowrie, 2007; Milsom, 2003;
Telford et al, 1990).
18
2.2.2 Konfigurasi Wenner
Metode ini diperkenalkan oleh Wenner (1915). Konfigurasi Wenner adalah salah satu
konfigurasi yang sering digunakan dalam eksplorasi geolistrik dengan susunan jarak spasi
sama panjang (r1 = r4 = a dan r2 = r3 = 2a). Skema posisi elektroda pada konfigurasi Wenner
dapat dilihat pada Gambar 2.2.1. Jarak antara elektroda arus adalah tiga kali jarak elektroda
potensial, jarak potensial dengan titik sounding-nya adalah a/ 2, maka jarak masing elektroda
arus dengan titik soundingnya adalah 3a/2 . Target kedalaman yang mampu dicapai pada
metode ini adalah a/2. Dalam akuisisi data lapangan susunan elektroda arus dan potensial
diletakkan simetri dengan titik sounding (Wijaya, A.S., 2015).
Gambar 2.2.1 Skema posisi elektroda pada konfigurasi Wenner (Wijaya, A.S., 2015)
2.2.3 Konfigurasi Dipole-dipole
Metode pengukuran resistivitas pada konfigurasi dipole-dipole, dilakukan dengan
kedua elektroda arus dan elektroda potensial terpisah dengan jarak a. Elektroda arus dan
elektroda potensial pada bagian dalam sistem konfigurasi terpisah sejauh na, dengan n adalah
bilangan bulat. Skema posisi elektroda pada konfigurasi dipole-dipole dapat dilihat pada
Gambar 2.2.2 (Utiya, J. dkk, 2015).
Gambar 2.2.2 Skema posisi elektroda pada konfigurasi dipole-dipole (Utiya, J. dkk, 2015)
2.2.4 Inversi Least Square
Semua metode inversi pada dasarnya mencoba untuk menentukan model untuk bawah
permukaan yang responnya sesuai dengan data yang diukur dengan batasan tertentu. Dalam
metode berbasis sel yang digunakan oleh program RES2DINV, parameter model adalah nilai
resistivitas sel model, sedangkan data adalah nilai resistivitas semu yang diukur. Hubungan
19
matematis antara parameter model dan respons model untuk model resistivitas 2-D
disediakan oleh metode finite-difference atau pun finite-element (Loke, 2004).
Dalam semua metode optimasi, model awal dimodifikasi secara iteratif sehingga
perbedaan antara respon model dan nilai data yang diamati berkurang. Himpunan data yang
diamati dapat ditulis sebagai vektor kolom y yang diberikan oleh
y = col(y1, y2 ,....., ym ) (2.2.3)
di mana m adalah jumlah pengukuran. Respon model f dapat ditulis dalam bentuk yang sama.
f = col( f1, f2 ,....., fm ) (2.2.4)
Untuk problem resistivitas, secara umum digunakan logaritma dari nilai resistivitas semu
untuk data yang diamati dan respon model, dan logaritma dari nilai model sebagai parameter
model. Parameter model dapat diwakili oleh vektor berikut
q = col(q1,q2,.....,qn) (2.2.5)
di mana n adalah jumlah parameter model. Perbedaan antara data yang diamati dan respon
model diberikan oleh vektor perbedaan g yang didefinisikan oleh
g=y-f (2.2.6)
Dalam metode optimasi least-square, model awal dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
sum square error E dari perbedaan antara respons model dan data diminimalkan.
(2.2.7)
Untuk mengurangi nilai error di atas, digunakan persamaan Gauss-Newton berikut untuk
menentukan perubahan parameter model yang seharusnya mengurangi sum square error.
(2.2.8)
di mana q adalah vektor perubahan parameter model, dan J adalah matriks Jacobian
(berukuran m kali n) dari turunan parsial. Elemen-elemen dari matriks Jacobian diberikan
oleh
(2.2.9)
yaitu perubahan respon model ke-i karena perubahan parameter model ke-j. Setelah
menghitung vektor perubahan parameter, model baru diperoleh dengan
(2.2.10)
Dalam prakteknya, persamaan simple least-square (2.2.8) jarang digunakan dengan
sendirinya dalam inversi geofisika. Dalam beberapa situasi produk matriks JTJ mungkin
tunggal, dan dengan demikian persamaan least-square tidak memiliki solusi untuk q. Untuk
mengatasinya, digunakan modifikasi Marquardt-Levenberg pada persamaan Gauss-Newton.
Yaitu dengan menambahkan parameter matriks identitas I dan faktor pengali λ yang disebut
Marquardt factor atau damping factor.
(2.2.11)
20
dimana damping factor tersebut secara efektif akan membatasi rentang nilai sehingga
komponen – komponen perubahan parameter vector diperkecil secara optimal dan
menyertakan Δq dalam perhitungan (Loke, 2004).
2.2.5 Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang digunakan sebagai bahan acuan dan perbandingan.
Kajian pustaka yang dilakukan mencakup beberapa penelitian terdahulu terkait metode
resistivitas 2D ERT dan lokasi penelitian yang dicantumkan dalam tabel 2.2.2 berikut.
Tabel 2.2.2 Penelitian terdahulu terkait metode resistivitas 2D ERT di lokasi penelitian
21
mengubah jarak elektroda atau dengan kata lain melakukan variasi baik untuk elektroda arus
atau tegangan. Perubahan jarak elektroda dilakukan dari jarak elektroda kecil kemudian
membesar secara gradual. Jarak elektroda ini sebanding dengan kedalaman lapisan batuan
yang terdeteksi. Semakin besar jarak elektroda, semakin dalam lapisan batuan yang
terdeteksi. selanjutnya dengan cara memberikan arus listrik ke dalam tanah dan mencatat
perbedaan potensial terukur. Nilai tahanan jenis batuan yang diukur langsung di lapangan
adalah nilai tahanan jenis semu (apparent resistivity), dengan demikian nilai tahanan jenis di
lapangan harus dihitung dan dianalisis untuk mendapatkan nilai tahanan jenis sebenarnya
(true resistivity) dengan metode sesuai konfigurasi. Output yang diperoleh dari pengukuran
VES adalah kurva resistivitas. Secara umum pada metode VES dikenal enam jenis kurva
yaitu kurva H, A, K, Q, HK, KH. Bentuk dari kurva H, A, K, Q, HK, KH Dari setiap kurva
akan memberikan informasi mengenai jumlah lapisan, ketebalan lapisan, dan nilai resistivitas
dari setiap lapisan batuan. (Telford, 1990)
2.3.1 Konfigurasi Schlumberger
Konfigurasi Schlumberger bertujuan mencatat gradient potensial atau intensitas
medan listrik dengan menggunakan pasangan elektroda pengukur yang berjarak rapat tidak
seperti halnya pada konfigurasi Wenner, pada konfigurasi Schlumberger jarak elektroda
potensial jarang diubah-ubah meskipun jarak elektroda arus selalu diubah-ubah. Hanya harus
diingat bahwa jarak antar elektroda arus harus jauh lebih besar dibanding jarak antar
elektroda potensial selama melakukan perubahan spasi elektroda. Misalnya, untuk kasus
aturan elektroda Schlumberger jarak r harus lebih besar dari pada b/2. Dalam hal ini, selama
pembesaran jarak elektroda arus, jarak elektroda potensial tidak perlu diubah. Hanya, jika
jarak elektroda arus relatif sudah cukup besar maka jarak elektroda potensial perlu diubah.
(Hendrajaya dkk., 1990)
Gambar 2.3.1 Skema posisi elektroda pada konfigurasi schlumberger (Hendrajaya dkk.,
1990)
Elektroda potensial (M dan N) diam pada titik tengah antara elektroda arus (A dan B),
dan kedua elektroda arus digerakkan secara simetris keluar (menjauhi elektroda pengukur)
22
dengan spasi pengukuran tertentu. Kombinasi dari jarak AB/2 dan jarak MN/2, besarnya arus
listrik yang dialirkan serta tegangan listrik yang terjadi akan diperoleh suatu harga tahanan
jenis semu.
2.3.2 Inversi Data Metode VES
Fungsi pemodelan kedepan (forward modelling) pada metode geolistrik dengan model
1-D diformulasikan sebagai persamaan integral Hankel yang menyatakan tahanan jenis semu
ρa sebagai fungsi dari tahanan jenis dan ketebalan (ρk hk) tiap lapisan, k = 1, 2, 3..., n dan n
adalah jumlah lapisan.
2.3.1
s adalah setengah jarak antar elektroda arus (AB/2 untuk konfigurasi Schlumberger),
J, adalah fungsi Bessel orde satu dan T(λ) adalah fungsi transformasi tahanan jenis yang
dinyatakan oleh formulasi rekursif Pekeris (Koefoed dalam Grandis, 2009):
2.3.2
Perhitungan persamaan (2.3.1) dapat dilakukan dengan metode filter linier yang secara umum
dinyatakan dengan persamaan berikut:
2.3.3
Dimana fk adalah harga koefisien filter linier yang diturunkan oleh Ghosh (Koefoed
dalam Grandis, 2009). Dari persamaan (2.3.1), (2.3.2) dan (2.3.3) terlihat bahwa hubungan
antara data tahanan jenis semu (ρa) dengan parameter model tahan jenis dan ketebalan lapisan
(ρk hk) adalah sangat tidak linier.
Dalam konteks pemodelan inversi geolistrik I-D data dinyatakan sebagai d = ρa] yaitu
resistivitas semu dengan i = 1,2,3, ...N dan N adalah jumlah data sesuai dengan variabel bebas
AB/2. Model tahanan jenis bawah permukaan 1-D adalah m = [ρk hk], k = 1,2,3, ..., n. Dalam
ha1 ini jumlah parameter model adalah M = 2n-1 karena pada model I-D terdiri dari n lapisan
terdapat n harga tahanan jenis dan n-l harga ketebalan lapisan (lapisan terakhir dianggap
mempunyai ketebalan tak hingga, Gambar 2.3.2). Dengan demikian parameterisasi model
bersifat tak homogen.
23
Gambar 2.3.2 Model tahanan jenis 1-D yang terdiri dari n lapisan horizontal. Masing-masing
dengan tahanan jenis homogen ρk dan ketebalan hk. Lapisan terakhir adalah half-space dengan
ketebalan tak-hingga (Grandis, 2009).
Persamaan pemodelan kedepan geolistrik 1-D secara umum dinyatakan sebagai d =
g(m). Mengingat persamaan yang menghubungkan data dengan parameter model cukup
kompleks maka turunan parsial orde pertama terhadap setiap parameter model sangat sulit
diperoleh secara analitik dan eksplisit. Oleh karena itu elemen matriks Jacobi diperoleh
melalui pendekatan beda hingga (finite difference) sebagai berikut:
2.3.4
Setiap elemen matriks Jacobi memerlukan dua kali pemodelan kedepan, pertama
untuk model m dan kedua untuk model yang sama namun dengan elemen ke-k dari m
diperturbasi dengan Delta mk. Berdasarkan persamaan (2.3.4) terlihat bahwa kolom matriks
Jacobi ke-k berasosiasi dengan perubahan respons model sebagai akibat dari perturbasi suatu
elemen parameter model mk. Baris matriks Jacobi ke-i menyatakan perubahan respons model
akibat perturbasi semua elemen parameter model dengan indeks-k. Matriks Jacobi secara
lengkap menggambarkan variasi respons model atau data perhitungan akibat pembahan
parameter model.
2.3.3 Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang digunakan sebagai bahan acuan dan perbandingan.
Kajian pustaka yang dilakukan mencakup beberapa penelitian terdahulu terkait metode
Vertical Electrical Sounding (VES) dan lokasi penelitian yang dicantumkan dalam tabel 2.3.1
berikut.
Tabel 2.3.1 Penelitian terdahulu terkait metode Vertical Electrical Sounding (VES) di lokasi
penelitian
24
Jufriadi A., Jawa Akuifer Air Asin asin dimana letaknya 51 sampai 110
(2020) Timur dan Air Tawar meter dan akuifer air tawar berada
Berdasarkan pada kedalaman 10 sampai 50 meter
Model Tahanan yang merupakan akuifer air
Jenis dan Data dangkal. Ada pula akuifer air dalam
Bor di Sidoarjo, pada kedalaman 140 sampai 170
Jawa Timur meter. selain itu dari paper ini kami
mengambil sebagai perbandingan
referensi nilai resistivitas yang ada di
daerah Sidoarjo yang divalidasi data
bor.
Medan magnet utama bumi berubah terhadap waktu sehingga untuk menyeragamkan
nilai-nilai medan magnet utama bumi, dibuat standar nilai yang disebut dengan International
Geomagnetics Reference Field (IGRF) yang diperbaharui setiap 5 tahun sekali. Nilai-nilai
IGRF tersebut diperoleh dari hasil pengukuran rata-rata pada daerah luasan sekitar 1 juta km
yang dilakukan dalam waktu satu tahun.
Untuk mendapatkan anomali medan magnetik, maka data magnetik yang diperoleh
harus dikoreksi dari pengaruh beberapa medan magnet yang lain. Secara umum beberapa
koreksi yang dilakukan dalam survei magnetik meliputi :
1. Koreksi Harian
Koreksi harian (diurnal correction) merupakan penyimpangan nilai medan magnetik
bumi akibat adanya perbedaan waktu dan efek radiasi matahari dalam satu hari.
Koreksi ini dilakukan terhadap data magnetik terukur untuk menghilangkan pengaruh
medan magnet luar atau variasi harian.
Hd = [(t line - t base1)/(t base2 - t base1)] x (H base2 - H base1)
2. Koreksi IGRF
Koreksi IGRF dilakukan untuk menghilangkan pengaruh medan utama magnet bumi
dimana medan magnet IGRF adalah referensi medan magnet di suatu tempat.
∆H = Htotal ± ∆Hharian ± H0 ; H0 adalah IGRF
25
2.4.2 Suseptibilitas Magnetik
Suseptibilitas magnetik merupakan parameter yang digunakan untuk interpretasi yang
umum digunakan dalam studi batuan. Parameter ini digunakan untuk menyelidiki besarnya
medan magnet sehingga dapat mengidentifikasi struktur dan sifat litologi batuan di bawah
permukaan. Suseptibilitas masing - masing batuan sangat bervariasi, tergantung pada
mineralogi magnetik yang menyusunnya (Rafferty, 2012).
2.4.3 Upward Continuation Method
Upward continuation merupakan langkah pengubahan data medan potensial yang
diukur pada suatu level permukaan sehingga menjadi data yang seolah-olah diukur dengan
level permukaan yang lebih tinggi. Metode ini sering digunakan sebagai filter guna
menghilangkan noise yang ditimbulkan oleh benda-benda dekat permukaan serta juga dapat
mengurangi efek dari sumber anomali dangkal. Pemisahan antara anomali regional dan
anomali lokal dalam pengolahan menggunakan upward continuation akan menghasilkan
interpretasi yang lebih akurat terhadap keberadaan anomali magnetik (Setiawan, 2009).
Salah satu cara untuk mengetahui hasil upward continuation adalah membuat model
sintesis yang hampir sama dengan di lapangan. Sehingga, hasil yang diperoleh dengan
menggunakan model sintetis dapat diterapkan pada data yang diperoleh dari pengukuran
lapangan (Ilapadila et al., 2019).
Gambar 2.4.2 Anomali magnetik dan anomali hasil RTP (Blakely, 1996)
26
Metode RTP ini merupakan suatu filter pengolahan data magnetik guna
menghilangkan pengaruh sudut inklinasi magnetik. Filter ini diperlukan karena sifat dipole
pada anomali magnetik memberikan hambatan pada interpretasi data lapangan yang
umumnya masih berpola asimetris. Filter RTP memiliki beberapa kelemahan, salah satunya
adalah penggunaan harga inklinasi dan deklinasi yang relatif sama pada seluruh daerah
pengamatan (Hiskiawan, 2016).
2.4.5 Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang digunakan sebagai bahan acuan dan perbandingan.
Kajian pustaka yang dilakukan mencakup beberapa penelitian terdahulu terkait metode
magnetik dan lokasi penelitian yang dicantumkan dalam tabel 2.4.1 berikut.
27
serpih dan lempung Formasi
Kalibeng yang diduga sebagai lapisan
pembawa lumpur yang muncul
dipermukaan.
Secara kualitatif, anomali magnetik
reduced to the pole dan
pseudogravity dapat menunjukkan
gambaran yang jelas tentang
keberadaan zona patahan yang
ditunjukkan oleh kemenerusan pola
anomali tinggi dan rendah
berorientasi hampir utara-selatan.
Akuisisi data gaya berat di suatu titik di atas permukaan bumi menekankan pada
perubahan nilai medan gaya berat yang bersumber dari variasi rapat massa lapisan di bawah
permukaan. Variasi besarnya gaya berat di bawah permukaan bumi ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti posisi lintang, pengaruh pasang surut, variasi topografi dan
ketinggian, dan variasi densitas bawah permukaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa
koreksi dalam data gaya berat untuk menghilangkan faktor-faktor yang mempengaruhi besar
nilai gaya berat untuk mendapatkan variasi densitas bawah permukaan bumi saja. Koreksi
yang dilakukan meliputi koreksi lintang/latitude correction, koreksi tidal, koreksi free-air,
koreksi drift/apungan, koreksi Bouguer, koreksi terrain (topografi).
Koreksi apungan merupakan koreksi yang diakibatkan oleh adanya guncangan pegas
pada alat gravimeter selama proses transportasi dari titik pengukuran satu ke titik pengukuran
lainnya, yang menyebabkan perbedaan pembacaan gaya berat di stasiun yang sama pada
28
waktu yang berbeda. Untuk menghilangkan efek ini, akuisisi data gaya berat didesain dalam
suatu rangkaian tertutup (loop), sehingga besar penyimpangan tersebut dapat diketahui.
Koreksi pasang surut (tidal correction) adalah koreksi yang dilakukan akibat dari efek
tarikan suatu massa yang disebabkan oleh benda-benda luar angkasa terutama bulan dan
matahari yang akan mempengaruhi pembacaan anomali gaya berat di permukaan. Pasang
surut bumi dapat mempengaruhi gravitasi hingga 0.3 mGal dengan periode ± 12 jam. Harga
koreksi ini bergantung pada posisi lintang dan waktu pengambilan data gaya berat.
Koreksi udara bebas (free-air Correction) adalah koreksi yang digunakan untuk
menghilangkan efek topografi atau efek ketinggian yang mempengaruhi nilai pembacaan
nilai gaya berat terhadap medan gravitasi bumi. Perhitungan koreksi udara bebas ini
bertujuan untuk mereduksi pengaruh elevasi (ketinggian) dan kedalaman titik pengukuran
terhadap data yang diakuisisi.
Koreksi topografi atau medan dilakukan untuk mengoreksi adanya pengaruh topografi
permukaan yang cenderung berundulasi atau kasar dengan perbedaan elevasi yang besar,
seperti adanya bukit atau lembah di sekitar titik pengukuran.
29
2.5.2 Penentuan Variasi Densitas Batuan
Variasi densitas lokal secara lateral merupakan kuantitas yang akan ditentukan pada
eksplorasi gravitasi. Secara umum densitas tidak diukur secara in situ, meskipun dapat diukur
dengan analisa batuan dari sumur pemboran. Densitas juga dapat diperkirakan dari kecepatan
seismik. Pengukuran densitas di laboratorium dengan menggunakan sampel batuan core
jarang memberikan nilai true bulk density karena sampel tersebut mungkin mengalami
pelapukan, fragmentasi, dehidrasi, atau alterasi dalam proses pengambilannya.
Besaran yang menjadi sasaran utama dalam metode gravitasi adalah rapat massa atau
kontras densitas, maka perlu diketahui distribusi harga rapat massa batuan baik untuk
pengolahan data maupun interpretasi hasil. Rapat massa batuan dipengaruhi beberapa faktor
salah satunya adalah rapat massa butir atau matriks pembentuknya, porositas, dan kandungan
fluidanya. Harga rapat massa tidak dapat ditentukan secara tunggal berdasarkan jenis
batuannya saja, namun dapat meliputi suatu distribusi harga tertentu. Harga rapat massa
batuan dapat ditentukan secara lebih spesifik apabila adanya tambahan informasi mengenai
sifat-sifat fisik dan kondisi di sekitarnya (Latifah, 2010).
Spectral analysis atau analisis spektral merupakan suatu proses yang dilakukan untuk
menentukan estimasi kedalaman suatu anomali gravitasi dalam menentukan lebar window
filter yang dianggap paling baik guna memisahkan anomali regional-lokal pada lokasi
penelitian. Pada proses ini dilakukan suatu proses transformasi fourier guna mengubah suatu
domain menjadi domain frekuensi. Sinyal gelombang pendek berasal dari sumber dangkal
dan sinyal gelombang tinggi berasal dari sumber yang lebih dalam (Rachmasari, 2020;
Setiadi et al., 2014).
Adapun penelitian terdahulu yang digunakan sebagai bahan acuan dan perbandingan.
Kajian pustaka yang dilakukan mencakup beberapa penelitian terdahulu terkait metode
gravity dan lokasi penelitian yang dicantumkan dalam tabel 2.5.1 berikut.
30
sampai bulan Oktober, didapatkan
bahwa perubahan negatif dominan
di daerah pusat semburan dan di
sebelah Barat Daya pusat
semburan menandakan bahwa
terjadi pengurangan massa
bawah permukaan. Dengan seiring
berjalannya waktu yang
berkorelasi dengan banyaknya
lumpur yang keluar maka
perubahan negatif akan menjadi
luas dari sebelumnya, berarti akan
semakin luas daerah yang
berpotensi terjadinya amblesan
tanah. Hal ini didukung bahwa
disekitar daerah Utara area luar
terdampak lumpur mempunyai
perubahan nilai positif gaya berat
mikro antar waktu menandakan
amblesan.
31
sampai dengan Ketapang, diduga
sesar tersebut mengalami
perubahan yang disebabkan oleh
semburan Lumpur Sidoarjo.
Kemudian dari analisis
anomali gayaberat residual
didapatkan kelompok anomali
rendah yang membentuk cekungan
anomali dan kelompok anomali
tinggi yang membentuk
punggungan anomali. Cekungan-
cekungan anomali tersebut
diidentifikasi sebagai sinklin dari
kelurusan anomali arahnya barat
laut – tenggara. Sedangkan
punggungan anomali yang melalui
lumpur menunjukkan bahwa
semburan tersebut berhubungan
dengan batuan yang kompak yang
mempunyai rapat massa besar dari
sekitarnya, kemungkinan batuan
tersebut adalah batuan
penudungnya atau cap rock-nya.
32
zona perambatan dan arah gerakan tanah relatif terhadap arah perambatan (Schuck,Andreas
and Lange, Gerhard., 2010).
2.6.1 Seismik Refraksi
Metode seismik terbagi menjadi dua metode, yaitu metode seismik refleksi dan
refraksi. Metode seismik refraksi merupakan metode seismik aktif yang bekerja berdasarkan
gelombang seismik yang direfraksikan atau dibiaskan mengikuti lapisan-lapisan bawah
permukaan bumi. Prinsip metode seismik refraksi atau bias adalah memanfaatkan gelombang
primer yang menjalar di bawah permukaan tanah dan membentuk sudut kritis sehingga
gelombang akan merambat pada bidang batas lapisan. Waktu tiba gelombang yang dibiaskan
oleh lapisan bawah permukaan yang kemudian direkam dalam geophone dan kemudian
diinterpretasikan sebagai struktur lapisan bawah permukaan dengan parameter fisis kecepatan
sebagai fungsi kedalaman (Ningsih, Nunung, I. D., 2018).
Seismik refraksi menitikberatkan analisis waktu tempuh gelombang pada gelombang
yang mengalami refraksi pada sudut tertentu. umumnya, hanya waktu gelombang yang
datang terlebih dahulu yang terekam pada seismogram dapat diidentifikasi dengan mudah.
Adanya algoritma telah memudahkan untuk interpretasi, dengan adanya algoritma ini waktu
tempuh hasil observasi dapat diproses menjadi sayatan geologi bawah permukaan. Sayatan
geologi ini menunjukkan struktur kecepatan gelombang seismik meliputi kedalaman batas
seismik dan kecepatan dalam lapisan (Kirsch, 2009).
Gambar 2.6.1 Seismik refraksi (kiri), dan seismik refleksi (kanan) (Kirsch, 2009).
2.6.1 Seismik Refleksi
Metode seismik refleksi merupakan metode yang sering digunakan dalam eksplorasi
minyak dan gas bumi karena kelebihan metode ini yang mempunyai resolusi tinggi . Seismik
refleksi merupakan metode yang memanfaatkan penjalaran gelombang ke dalam bumi yang
ditimbulkan dari sumber yang disebut (source) dan diterima oleh geophone yang
menggunakan beberapa Hukum penjalaran gelombang seperti hukum Snellius, Huygens dan
asas fermat (Permana, Ujang, et al., 2015).
Metoda seismik refleksi menggunakan sumber gelombang buatan (bukan gelombang
alami seperti gempa bumi). Dengan menggunakan selang waktu rambat gelombang yang
direfleksikan kembali dan tergambarkan sebagai perubahan amplitudo akan diperoleh
gambaran keadaan bawah permukaan bumi. Refleksi galombang seismik tersebut direkam
dengan alat dan menunjukkan berbagai variasi amplitudo sebagai respon dari berbagai
lapisan di bawah permukaan bumi, sehingga lapisan-lapisan tersebut akan muncul sebagai
33
horizon reflektor. Jika kecepatan masing-masing lapisan dapat dihitung dari waktu pantul
yang direkam, maka kedalaman masing-masing lapisan dapat dihitung (Santoso, 2001).
2.6.2 Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang digunakan sebagai bahan acuan dan perbandingan.
Kajian pustaka yang dilakukan mencakup beberapa penelitian terdahulu terkait metode
seismik dan lokasi penelitian yang dicantumkan dalam tabel 2.6.1 berikut.
34
sedimen dalam di daerah tepat di atas
dan di bawah karbonat Oligo-Miosen.
Di area BJP-1, sesuai dengan zona
abu-abu, terlihat sinyal seismik yang
sangat terganggu kemungkinan
disebabkan oleh efek sirkulasi fluida
dalam yang terkait dengan kondisi
predisposisi yang mengakibatkan
letusan Lusi. Bagian komposit
memungkinkan korelasi stratigrafi
antara dua sumur. Ruang bawah tanah
kemungkinan ada di dasar bagian.
Perubahan ketebalan yang penting
dari Formasi Tuban di dua daerah
yang menunjukkan kemungkinan
kontrol topografi dan tektonik selama
pengendapan unit ini.
35
Gambar 2.7.1. Peta lokasi pemancar VLF di dunia (biru) dan peta penerima VLF (merah)
Karena menghindari terjadinya resonansi, maka setiap pemancar VLF dari berbagai negara
memiliki frekuensi yang berbeda guna meminimalisir kesalahan transfer informasi. Saat
diradiasikan, pemancar VLF juga memiliki komponen-komponen yaitu untuk medan magnet
horizontal, yang tegak lurus dengan sumbu x. Pada jarak yang jauh dari sumber, medan
magnetik dapat digambarkan dengan planar dan horizontal seperti pada gambar 2.7.1 yang
sebenarnya juga termasuk dalam penggambaran prinsip kerja metode VLF. Dalam metode
VLF diperhatikan adanya medan listrik dan medan magnet yang nantinya akan
membangkitkan medan primer. Medan primer inilah yang akan menyebabkan induksi pada
lapisan bumi sehingga muncullah arus induksi atau dikenal dengan Eddy Current yang
menyebabkan adanya medan sekunder (medan magnet baru). Eddy Current akan sangat
berkesinambungan dengan Prinsip Metode VLF yang akan dibahas pada poin selanjutnya.
Jika metode VLF prinsip kerjanya hanya memanfaatkan gelombang elektromagnetik yang
ada (biasanya dibangkitkan karena adanya pemancar VLF) maka metode VLF dikategorikan
sebagai metode pasif dengan memanfaatkan frekuensi tunggal. (Nugraha, 2018).
36
2.7.1 Prinsip Kerja Metode VLF
Prinsip kerja VLF adalah sumber gelombang elektromagnetik memancarkan sinyal
berupa gelombang elektromagnetik primer ,mempunyai frekuensi 15 kHZ sampai 30 kHZ,
melalui ionosfer (Purwanto, 2015). Komponen medan elektromagnetik primer dapat
dianggap sebagai gelombang yang berjalan secara horizontal (Purwanto, 2015). Medan
elektromagnetik primer sebuah pemancar radio, memiliki komponen medan listrik vertikal Ez
dan komponen medan magnetik horizontal Hy tegak lurus terhadap arah perambatan sumbu x
(Indriyani, 2014). Pada jarak yang cukup jauh dari antena pemancar, komponen medan
elektromagnetik primer Hy dapat dianggap sebagai gelombang yang berjalan secara
horizontal (Indriyani, 2014). Mekanisme pemancar gelombang elektromagnetik untuk metode
VLF dijelaskan dengan gambar berikut.
37
Gambar 2.7.4 Induksi medan EM pada benda konduktif yang menyebabkan timbulnya arus
Eddy dan menimbulkan gelombang EM sekunder (Grant and West, 1965)
Besarnya kuat medan elektromagnetik sekunder ini sebanding dengan besarnya daya hantar
listrik batuan (rho), sehingga dengan mengukur kuat medan pada arah tertentu (Indriyani,
2014). Kedalaman jangkauan dari penetrasi radiasi gelombang elektromagnetik dinyatakan
dengan faktor skin depth (yang ditentukan oleh kondisi lingkungan di sekitar lokasi
pengukuran) (Maulidina, 2015). Kedalaman penetrasi semakin rendah pada lingkungan yang
semakin konduktif. Metode ini sangat efektif untuk memisahkan anomali massa yang
memiliki perbedaaan konduktivitas yang signifikan terhadap lingkungan sekitarnya, atau
pada kondisi overburden mass (lapisan penutup) yang relatif dangkal (Maulidina, 2015).
Medan elektromagnetik yang merambat pada konduktivitas batuan , permitivitas , dan
permitivitas berlaku persamaan Maxwell yang ditulis dalam domain frekuensi (Purwanto,
2015).
Dimana E dan H masing – masing merupakan vektor medan listrik dan medan magnet fungsi
waktu t dengan frekuensi sudut ω dan ρ adalah rapat muatan.
38
semacam ini, medan primer akan memberikan fluks yang maksimum jika memotong
struktur, sehingga memberikan kemungkinan anomali yang paling besar.
39
3. Filter Karous Hjelt : merupakan filter yang dikembangkan dari konsep medan magnet
yang berhubungan dengan aliran arus. Filter ini menghitung rapat arus pada
kedalaman tertentu yang umumnya dikenal sebagai Rapat Arus Ekivalen (RAE).
Posisi rapat arus ini dapat digunakan untuk menginterpretasi lebar dan kemiringan
sebuah benda anomali dengan kedalaman tertentu.
2.7.4 Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang digunakan sebagai bahan acuan dan perbandingan.
Kajian pustaka yang dilakukan mencakup beberapa penelitian terdahulu terkait metode VLF
dan lokasi penelitian yang dicantumkan dalam tabel 2.7.1 berikut.
40
rekahan yang jenuh oleh air dan tanah
deformasi akibat semburan lumpur
yang sedang berlangsung.
Hasil ini didukung oleh data dari
BPLS
(Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo) yang menyatakan bahwa
ada beberapa retakan dan patahan
sebelum tanggul
runtuh.
2. Lintasan 2
3. Lintasan 3
41
4. Lintasan 4
42
2.8.1 Prinsip Dasar GPR
Pada dasarnya, GPR dikenal sebagai metode yang echo-sounding yang cocok untuk
penelitian kondisi bawah permukaan yang dangkal. Frekuensi yang dipancarkan alat GPR
kurang lebih 10-1000 MHz. Prinsip kerja alat GPR adalah dengan mentransmisikan
gelombang radar (Radio Detection and Ranging) ke dalam medium target yang selanjutnya
gelombang tersebut akan dipantulkan kembali ke permukaan dan diterima oleh alat penerima
radar (receiver), dari hasil refleksi tersebut maka dapat dianalisis berbagai macam objek
dapat terdeteksi dan terekam dalam radargram. (Agung, dkk., 2011).
Gambar 2.8.1 Prinsip Kerja GPR untuk mendeteksi anomali bawah permukaan
Survei GPR dipakai dengan medan elektromagnetik yang penuh sesuai dengan
persamaan Maxwell. Persamaan Maxwell ini akan menggambarkan secara fisis bagaimana
gelombang perhitungan gelombang magnetik yang dituliskan secara matematis dan
hubungannya dengan konstitutif saat melakukan pengukuran properti ataupun anomali
lainnya. Oleh karenanya prinsip GPR dapat dituliskan secara matematis sebagai berikut
dimana Ē adalah vektor kekuatan medan listrik, B̄ adalah vektor flux densitas magnetik, D̄
adalah vektor perpindahan listrik, H̄ adalah intensitas medan magnet, q adalah muatan listrik
dan J̄adalah vektor densitas arus listrik.
43
Pada persamaan Maxwell sebenarnya memperbarui Hukum Faraday dimana
menyatakan bahwa medan magnet yang memiliki variasi waktu menyebabkan muatan listrik
bergerak sehingga menghasilkan medan listrik loop tertutup. Persamaan selanjutnya
menjelaskan mengenai bagaimana pengamatan Ampere mengenai arus listrik yang
menghasilkan medan magnet.
Gambar 2.8.2 (a) Hukum Faraday dalam Persamaan Maxwell 1 dan (b) Hukum Ampere
dalam Persamaan Maxwell 2
Persamaan ketiga menunjukkan jika muatan listrik merupakan sumber dari medan
listrik, yang mana berarti medan listrik akan memiliki variasi waktu berbentuk loop yang
tertutup ketika terjadi induksi. Medan listrik yang ada kemudian akan memancar keluar
ketika terdapat muatan bebas. Umumnya, karakter medan listrik ataupun magnet akan
bertumpangan satu sama lain sehingga akan menghasilkan variasi waktu. Teori yang
dipaparkan merupakan prinsip dasar dalam medan elektromagnetik baik induksi, gelombang
radio, resistivitas, teori rangkaian, dan lain sebagainya.
Semua orang yang hidup di bumi pasti menjumpai adanya material ataupun
komponen yang berbeda. Sebagian besar material tersusun dari air, contohnya pasir pantai
merupakan campuran butiran tanah, udara, air, dan ion-ion yang larut dalam air, dimana
44
butiran tanah umumnya menempati 60-80% dari volume keseluruhan (Jol, 2009). Dalam sifat
elektromagnetik, suatu material sangat berhubungan dengan kadar air yang dimiliki, hal ini
karena air dapat mengontrol kecepatan perambatan dan atenuasi gelombang. Perlu diketahui
nilai parameter fisis dari beberapa material yang dijadikan referensi metode GPR adalah
sebagai berikut.
Tabel 2.8.1 Nilai parameter fisis dari beberapa material (Goodman dan Piro, 2013)
Konduktivitas
Material K v (m/ns) a (dB/m)
Material (mS/m)
Udara 1 0 0.30 0
Aspal 6 1 0.123 0.08
Beton 7 0.1 0.113 0.01
Clay (basah) 12 100 0.06-0.08 1-300
Pasir (kering) 3-9 0.01-1 0.1-0.15 0.01
Pasir (basah) 20-30 0.1-1 0.06 0.03-0.3
Tanah Pasiran (kering) 2.5 0.14 0.189 0.02
Tanah Pasiran (basah) 25 7 0.06 0.26
Tanah Lempungan
2.4 0.3 0.194 0.04
(kering)
Batupasir (basah) 6 40 0.12 3.04
Batugamping 4-8 0.5-2 0.12 0.4-1
Granit 4-6 0.01-1 0.13 0.01-1
Air Laut 80 3000-4000 0.01-0.025 103
Air Tawar 80 0.5 0.033 0.1
Dimana :
v = kecepatan gelombang radio merambat dalam tanah (m/s)
c = kecepatan cahaya (m/s)
εr = konstanta dielektrik relatif
Dari persamaan diatas dapat didefinisikan bahwa ketika gelombang radar melalui
material atau benda di bawah permukaan yang memiliki konstanta dielektrik yang tinggi,
maka gelombang tersebut akan merambat dengan kecepatan yang lebih rendah dan
sebaliknya. Sebagai contoh udara yang memiliki konstanta dielektrik 1 dan air yang memiliki
45
konstanta dielektrik 80 memiliki kontras kecepatan yang sangat tinggi, dimana gelombang
radar akan memiliki kecepatan yang lebih tinggi pada udara dibandingkan pada air. Adanya
kontras konstanta dielektrik pada batas permukaan menyebabkan gelombang radar akan
terpantulkan (terefleksikan) dengan koefisien refleksi:
Besarnya penetrasi atau kedalaman yang dapat dicapai oleh gelombang radar sangat
bergantung pada besar kecilnya frekuensi yang digunakan. Semakin kecil frekuensi atau
semakin besar panjang gelombang yang digunakan, maka akan semakin besar penetrasi yang
dapat dicapai oleh gelombang dan sebaliknya. Besarnya penetrasi juga dipengaruhi oleh
konduktivitas material, dimana konduktivitas yang tinggi akan menyebabkan penetrasi lebih
dangkal karena terjadinya absorbsi oleh lapisan-lapisan yang konduktif (Mussett and Khan,
2000).
Penentuan frekuensi gelombang radar yang digunakan juga akan berpengaruh pada resolusi
hasil rekaman data. Ketika menggunakan frekuensi yang rendah akan diperoleh penetrasi
yang dalam, akan tetapi resolusi yang dihasilkan akan semakin buruk. Maka, untuk
menghasilkan resolusi yang baik digunakan frekuensi yang besar
2.8.1.4 Koefisien Refleksi Gelombang Radar
Koefisien refleksi (R) didefinisikan sebagai perbandingan energi yang dipantulkan
dengan yang datang, nilainya (R) bergantung pada konstanta dielektrik relatif ε lapisan 1 dan
lapisan 2, adalah ukuran kapasitas dari sebuah material dalam hal ini melewatkan muatan saat
medan elektromagnetik melewatinya. Koefisien Refleksi dapat dituliskan sebagai berikut.
Secara teknisnya saat pengukuran di lapangan, hasil praktis dari radiasi gelombang
elektromagnetik ke bawah permukaan untuk pengukuran GPR ditunjukkan dengan prinsip
operasi dasar. Gelombang elektromagnetik terpancar dari antena pemancar, bergerak melalui
material dengan kecepatan yang ditentukan terutama oleh permitivitas material. Gelombang
menyebar keluar dan perjalanan ke bawah hingga menabrak objek yang berbeda sifat
kelistrikannya dari medium sekitarnya, tersebar dari obyek, dan kemudian terdeteksi oleh
antena penerima.
2.8.2 Instrumentasi GPR
Resolusi merupakan aspek yang sangat penting dalam metode GPR karena resolusi ini
akan mempengaruhi hasil seorang interpreter untuk menggambarkan suatu keadaan bawah
permukaan. Resolusi GPR umumnya dikendalikan oleh bandwidth frekuensi yang
ditransmisikan oleh antena (Conyers, 2016). Resolusi ini akan mengatur frekuensi gelombang
46
radar yang digunakan dapat menyesuaikan kedalaman pengukuran GPR (Rusli, 2013).
Resolusi GPR terdiri dari dua komponen, yaitu resolusi kedalaman atau jarak dan resolusi
sudut. Resolusi kedalaman oleh Annan (2003) diasumsikan sebagai 1/100 dari kedalaman
maksimum. Persamaan resolusi georadar adalah sebagai berikut
Resolusi serta jangkauan kedalaman survei GPR dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.8.2 Resolusi dan jangkauan kedalaman survei georadar (Sumintadireja et al., 2018)
Pada sistem Ground Penetrating Radar (GPR) posisi antena umumnya berada sangat
dekat dengan permukaan tanah. Hal ini disebabkan karena karakteristik antena yang sangat
dipengaruhi oleh kondisi tanah. Karakteristik antena kemungkinan sangat bervariasi dengan
adanya variasi tanah. Analisa teori dan numerik menunjukkan bahwa kestabilan input antena
pada beberapa kondisi tanah yang berbeda dapat meningkat karena adanya pembebanan
resistif. (Rusli, 2013). Sistem GPR memiliki dua antena yaitu antena pengirim (Tx) dan
antena penerima (Rx). Dalam sistem GPR, antena pengirim harus menerjemahkan tegangan
eksitasi ke bidang temporal dan spasial yang dapat diprediksi. Antena penerima harus
mendeteksi variasi temporal komponen vektor medan elektromagnetik yang dibuat oleh
antena pengirim dan respons permukaan (Kristanto, 2020)
2.8.3 Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang digunakan sebagai bahan acuan dan perbandingan.
Kajian pustaka yang dilakukan mencakup beberapa penelitian terdahulu terkait metode GPR
dan lokasi penelitian yang dicantumkan dalam tabel 2.8.3 berikut.
47
(2020) titik menggunakan air . 62-73% terdiri dari air merembes
P75-67 metode resistivitas dan mengisi retakan tersebut. Dari
dan ground hasil survei Ground Penetrating
penetrating radar Radar didapati Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rembesan air
lumpur sudah masuk hampir ke
semua bagian tanggul Ptangbendo
titik P75-67 pada elevasi tanggul -3
hingga 6 meter.
48
di mana penurunan terlihat jelas di
permukaan, telah secara jelas retakan
dilewati oleh air dan perlu diadakan
perbaikan lebih lanjut.
49
BAB III
METODOLOGI
3.1 Diagram Alir Keseluruhan Penelitian
Berikut merupakan diagram alir keseluruhan penelitian dari awal hingga akhir
tahapan.
50
● Konfigurasi : wenner & dipol-dipol
51
Gambar 3.1.2 Lokasi titik pengambilan data geolistrik pada Line 5
3.2.2 Alat dan Bahan
Dalam tahap pengukuran metode resistivitas 2D ERT diperlukan peralatan sebagai
berikut :
1. Resistivity meter MAE
2. Elektroda arus dan potensial
3. Kabel multichannel
4. Aki
5. GPS
6. Palu
7. Meteran
8. Alat tulis
Sedangkan software yang digunakan dalam tahap processing data pengukuran resistivitas 2D
ERT meliputi :
● Microsoft Excel
● Notepad
● RES2DINV
3.2.3 Workflow
Dalam disiplin ilmu geofisika terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan dalam
prosedur penelitian. Secara sistematis prosedur yang harus dilakukan terdapat tiga tahap,
diantaranya akuisisi data, pengolahan data, dan interpretasi data. Prosedur pelaksanaan
penelitian dalam metode resistivitas 2D ERT meliputi :
3.2.3.1 Workflow Akuisisi Lapangan
Berikut adalah diagram kerja akuisisi metode resistivitas 2D ERT yang dilakukan.
52
Gambar 3.2.3 Workflow Akuisisi lapangan metode resistivitas 2D ERT
Berikut adalah diagram kerja pengolahan data metode resistivitas 2D ERT yang
dilakukan.
53
Gambar 3.2.4 Workflow pengolahan data lapangan metode resistivitas 2D ERT
3.2.4 Langkah Kerja Akuisisi Lapangan
Langkah-langkah yang dilakukan dalam akuisisi lapangan metode resistivitas 2D ERT
adalah sebagai berikut:
1. Menentukan panjang tiap lintasan pengukuran dengan menggunakan meteran.
2. Membentangkan kabel multi channel sepanjang lintasan yang telah ditentukan.
3. Memasang elektroda dengan bantuan palu pada tiap spasi 5 meter.
4. Menghubungkan elektroda dengan kabel dengan capit. Pastikan elektroda, kabel dan
capit telah terpasang dengan benar.
5. Memasang aki dan mengaktifkan resistivity meter MAE.
54
6. Melakukan elektroda test. Jika alat dan elektroda masih tidak terhubung dengan baik,
segera cek dan pastikan elektroda, kabel dan capit telah terpasang.
7. Memilih konfigurasi yang akan digunakan dalam pengukuran.
8. Melakukan akuisisi dengan mulai dilakukan injeksi ke dalam tanah.
3.2.5 Langkah Kerja Pengolahan Data
Dari hasil akuisisi lapangan, diperoleh raw data yang perlu di treatment terlebih
dahulu menggunakan software Microsoft Excel. Data tersebut kemudian diatur sebagai file
dat menggunakan bantuan Notepad sesuai format input data untuk software RES2DINV.
Format input data disesuaikan dengan jenis konfigurasi yang digunakan. Pada software
RES2DINV akan dilakukan inversi berdasarkan measured dan calculated apparent resistivity
value. Sebelum proses inversi dilakukan, perlu ditentukan beberapa parameter inversi yang
dipakai. Nilai resistivitas pada section ditampilkan dalam bentuk citra warna secara
horizontal dan mencapai kedalaman tertentu. Nilai resistivitas tersebut menunjukkan jenis
batuan yang ada di lokasi penelitian. Pembacaan nilai resistivitas berdasarkan pada beberapa
referensi nilai resistivitas batuan.
3.3 Metode VES (Vertical Electrical Sounding)
3.3.1 Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian pada Kamis, 07 Oktober 2021 dan Rabu, 13 Oktober 2021 . Waktu
pelaksanaan dilakukan selama 2 hari secara terpisah. Pengolahan data dilaksanakan di
basecamp dengan menggunakan bantuan perangkat lunak IPI2WIN, Microsoft Excel.
Lokasi penelitian dalam rangka mencari stratigrafi bawah permukaan secara regional
pada radius 8 km di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo.
55
Gambar 3.3.1 Lokasi penelitian pada google earth lintasan 5.4
Koordinat: 7°33'56.6"S, 112°43'04.5"E
56
Koordinat: 7°32'17.0"S, 112°43'37.8"E
Gambar 3.3.1, 3.3.2, 3.3.3, dan 3.3.4 menunjukkan posisi lintasan pada pengambilan data
Vertical Electrical Sounding (VES) dengan masing - masing panjang lintasan 150 meter.
57
Selain alat dan bahan yang telah disebutkan, diperlukan juga perangkat lunak untuk proses
pengolahan data selanjutnya. Adapun perangkat lunak tersebut terdiri dari :
1. Microsoft Excel yang digunakan untuk perhitungan matematis, treatment data yang
kurang memuaskan, dan interpretasi kualitatif
2. Software IP2WIN yang digunakan untuk memperoleh gambaran model penampang
grafik dan resistivity cross section.
3.3.3 Workflow
Dalam disiplin ilmu geofisika terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan dalam
prosedur penelitian. Secara sistematis prosedur yang harus dilakukan terdapat tiga tahap,
diantaranya akuisisi data, pengolahan data, dan interpretasi data. Prosedur pelaksanaan
penelitian dalam metode Vertical Electrical Sounding meliputi :
3.3.3.1 Workflow Akuisisi Lapangan
Berikut adalah diagram alir dari akuisisi data metode Vertical Electrical Sounding :
Berikut adalah diagram alir dari pengolahan data metode Vertical Electrical Sounding:
58
Gambar 3.3.6 Diagram alir pengolahan data VES
3.3.4 Langkah Kerja Akuisisi Lapangan
Berikut adalah langkah kerja akuisisi lapangan metode Vertical Electrical Sounding (VES) :
1. Survei Lapangan
Tahap ini merupakan tahap awal, dengan melakukan pemilihan lokasi serta teknis akuisisi
lapangan. Pada tahap ini juga ditentukan arah dan panjang lintasan serta lebar spasi untuk
lintasan pada masing - masing lokasi pengambilan data.
2. Akuisisi Metode Vertical Electrical Sounding (VES)
Setelah ditentukan lokasi akuisisi kemudian dilakukan proses akuisisi dengan tahap - tahap
pengambilan data lapangan sebagai berikut :
1) Membentangkan meteran sesuai panjang lintasan dan lebar spasi yang telah ditentukan.
2) Menancapkan elektroda pada permukaan tanah secara teratur sesuai dengan konfigurasi
yang sudah ditentukan.
3) Memasang kabel yang digunakan sebagai penghantar arus dan potensial yang
menghubungkan antar elektroda dengan alat resistivity meter.
4) Melakukan pengambilan data dengan cara menginjeksikan arus listrik kedalam bumi
melalui elektroda arus. Injeksi arus listrik dilakukan melalui susunan elektroda dalam
konfigurasi Schlumberger.
59
Gambar 3.3.7 Konfigurasi Schlumberger
Arus listrik mengalir dalam rangkaian yang tampak pada gambar. Pasangan elektroda arus
(C1, C2) disusun dengan jarak yang lebih besar dibandingkan pasangan elektroda
potensial (P1, P2). Jarak antar pasangan elektroda arus (AB atau L) diperbesar untuk
mengukur nilai resistivitas material yang lebih dalam. Saat beda potensial mulai sulit
terukur, sensitivitas alat berkurang sehingga jarak antar pasangan elektroda potensial (MN
atau a) harus diperbesar. Besarnya arus listrik dan beda potensial untuk masing-masing
jarak elektroda arus dan elektroda potensial dicatat untuk menghitung nilai resistivitas
semu dari material penyusun lokasi penelitian.Mencatat besar arus listrik (I) dan respon
beda potensial (V) serta hambatan (R) yang terbaca pada resistivity meter.
5) Pengambilan data setiap titik pengukuran.
6) Dengan langkah 1-6 diambil data untuk semua lintasan pengukuran.
3.3.5 Langkah Kerja Pengolahan Data
Berikut adalah langkah kerja pengolahan data metode Vertical Electrical Sounding (VES) :
60
3.4 Metode Magnetik
3.4.1 Lokasi dan Waktu
Lokasi pengukuran berada di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, tepatnya
sepanjang line 5 yang terbentang ∼8 km dengan jumlah titik ukur 17 (L5.0 hingga L5.16).
Waktu pelaksanaan dilakukan pada tanggal 13 Oktober 2021.
61
a. Medan total
b. Variasi harian
c. Medan utama bumi (IGRF)
3.4.3 Workflow
Dalam disiplin ilmu geofisika terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan dalam
prosedur penelitian. Secara sistematis prosedur yang harus dilakukan terdapat tiga tahap,
diantaranya akuisisi data, pengolahan data, dan interpretasi data. Pada penelitian ini data yang
akan dianalisa berupa anomali magnetik, geologi daerah penelitian dan kontras
suseptibilitasnya. Prosedur pelaksanaan penelitian dalam metode geomagnetik meliputi :
3.4.3.1 Workflow Akuisisi Lapangan
Berikut adalah diagram kerja pengolahan data metode magnetik yang dilakukan.
62
Gambar 3.4.3 Workflow pengolahan data lapangan metode magnetik
63
● Memastikan waktu telah dikonversi dalam satuan sekon.
2. Melakukan koreksi diurnal / harian, dengan ketentuan:
● Jika nilai variasi harian negatif, maka koreksi harian dilakukan dengan cara
menambahkan nilai variasi harian yang terekam pada waktu tertentu terhadap
data medan magnetik yang akan dikoreksi.
● Jika variasi harian bernilai positif, maka koreksi harian dilakukan dengan cara
mengurangkan nilai variasi harian yang terekam pada waktu tertentu terhadap
data medan magnetik yang akan dikoreksi.
3. Melakukan koreksi IGRF untuk untuk menghilangkan kontribusi medan magnet
utama dengan cara mengurangkan nilai IGRF terhadap nilai medan magnetik total
yang telah terkoreksi harian pada setiap titik pengukuran pada posisi geografis yang
sesuai.
4. Melakukan gridding dan plotting kontur anomali magnetic total.
5. Melakukan upward continuation agar diperoleh anomali regional dan lokal.
6. Melakukan reduce to pole dengan cara mengubah sudut deklinasi menjadi 90o dan
inklinasi menjadi 0o.
7. Slicing anomaly sebagai input data pemodelan. Melakukan pemodelan anomali
magnetik.
Lokasi penelitian dalam rangka evaluasi tanggul yang rawan akan keretakan
dilakukan di tanggul Lumpur Sidoarjo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo.
64
Gambar 3.5.1 Lokasi penelitian pada google earth
1. Gravimetri dengan jenis CG-5 : digunakan untuk mengukur nilai gravitasi observasi.
2. Kaki tiga : sebagai alas dan penahan alat gravimetri saat melakukan pengukuran.
3. Buku logbook pengukuran dan alat tulis : untuk mencatat nilai gravitasi secara
manual.
4. Laptop : Digunakan dalam transfer data dari alat dan pengolahan data gravity.
Adapun data yang diperoleh dalam proses akuisisi data di lapangan dengan
menggunakan metode gravity antara lain adalah :
3.5.3 Workflow
Dalam disiplin ilmu geofisika terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan dalam
prosedur penelitian. Secara sistematis prosedur yang harus dilakukan terdapat tiga tahap,
diantaranya akuisisi data, pengolahan data, dan interpretasi data. Prosedur pelaksanaan
penelitian dalam metode gravity meliputi :
65
3.5.3.1 Workflow Akuisisi Lapangan
Berikut adalah diagram kerja pengolahan data metode gravity yang dilakukan.
66
Gambar 3.5.3 Workflow pengolahan data lapangan metode gravitasi
1. Tahapan pertama yang dilakukan adalah membuat desain akuisisi pengukuran metode
gravitasi.
2. Kemudian melakukan kalibrasi alat.
3. Lokasi pengukuran pertama dilakukan di base yang kemudian nilai data gravitasi
yang diukur dicatat secara manual dan juga mencatat titik pengukuran dengan GPS
geodetic.
4. Kemudian apabila telah selesai melakukan pengukuran, dapat berangkat pada tempat
pengukuran selanjutnya.
5. Pengukuran dilakukan dengan tahapan yang sama seperti sebelumnya untuk seluruh
titik lokasi.
6. Apabila sudah selesai melakukan pengukuran di semua titik maka dapat dilakukan
pengukuran terakhir di base.
3.5.5 Langkah Kerja Pengolahan Data
Berikut ini merupakan langkah kerja pengolahan data gravity
1. Tahapan pengolahan data dimulai dari mempersiapkan data lapangan dan data
pendukung lainnya yaitu data geologi.
2. Data tersebut sebelumnya sudah melalui beberapa koreksi dari alat kemudian
dilakukan perhitungan kembali untuk melakukan pengecekan data gravitasi yang
dapat digunakan dan juga beberapa koreksi lain sehingga diperoleh gravitasi
observasi, dari data posisi titik pengukuran dilakukan pengolahan data untuk mencari
gravitasi teoritis.
67
3. Dengan data gravitasi observasi dan teoritis dapat diperoleh anomali Bouguer lengkap
di topografi.
4. Nilai anomali tersebut kemudian direduksi ke bidang datar dan melalui proses
kontinuasi ke atas diperoleh anomali regional.
5. Lalu dilakukan pemisahan anomali regional dan anomali residual menggunakan
software Surfer.
6. Kemudian dibuat penampang anomali regional dan anomali residual dengan
menggunakan software Surfer.
Gambar 3.6.1 Lokasi titik pengambilan data seismik pertama pada line 5
68
Gambar 3.6.2 Lokasi titik pengambilan data seismik kedua pada line 6
69
Gambar 3.6.3 Plot koordinat akuisisi lapangan
70
8. Kompas : digunakan untuk mengukur nilai azimut dan strike/dip
9. Laptop : untuk mencatat gelombang seismik yang diterima dan melakukan
pengolahan data
3.6.3 Workflow
Dalam disiplin ilmu geofisika terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan dalam
prosedur penelitian. Secara sistematis prosedur yang harus dilakukan terdapat tiga tahap,
diantaranya akuisisi data, pengolahan data, dan interpretasi data. Prosedur pelaksanaan
penelitian dalam metode seismik meliputi :
71
3.6.3.2 Workflow Pengolahan Data
Berikut adalah diagram kerja pengolahan data metode seismik yang dilakukan.
72
3. Sambung antar geophone menggunakan kabel per 4 geophone dengan kotak konektor
dan sambungkan dengan main unit GEOSAM sesuai nomor geophone.
4. Hubungkan geophone trigger dengan main unit GEOSAM.
5. Tancapkan geophone trigger dalam posisi sesuai dengan data sheet survei.
6. Pasang konektor USB dari modul GEOSAM pada Laptop, lalu cek Device Manager
1. Buka software Vista pilih project type 2D untuk data seismik 2D.
2. Input raw data receiver gather with header dengan cara klik 2D → add seismic data
to select data set (Tahan) → add seg-y→masukkan receiver gather with header.
3. Selanjutnya lakukan geometri editing untuk shot dengan cara, masukkan 2-D
Geometri data berupa shot dan receiver. Lalu atur nilai before gath form, before gath
to, after gap from, dan after gap to. Pastikan nilai Shot sama dengan Shot X-Coord.
4. Selanjutnya lakukan geometri editing untuk receiver, klik receiver spreadsheet dan
tambahkan rows sesuai dengan jumlah receiver. Lalu pastikan receiver sama dengan
STN X-Coord. Lakukan pengecekan geometri pada CMP bin defaults dengan
autocalculate dengan cara klik calculate fold/offset lalu view stacking chart. Simpan
geometri yang telah diedit.
5. Lakukan trace editing dengan cara kiling dan muting.
73
6. Buat job flow dengan cara membuat new flow file lalu Input hasil mute dan killing
trace.
7. Selanjutnya untuk tahap processing, untuk filtering terlebih dahulu menaikkan gain
amplitude, dan menyamaratakan gain amplitude data seismik agar lebih
mempermudah melihat display. Lalu apply ormsby filter dengan batas frekuensi yang
telah ditentukan.
8. Untuk mengetahui batas frekuensi telah sesuai atau tidak, klik seismic analysis
window lalu amplitude spectrum create.
9. Selanjutnya membuat job flow dengan cara memasukkan Input data → Ormsbyfilter
→ AGC → Output .
10. Mengaktifkan Job Flow agar siap di running.
11. Selanjutnya yaitu melakukan velocity analysis, dengan cara terlebih dahulu input
velocity analysis (data CMP From, CMP To, dan CMP increment) dan input CVS,
Offset Set Record and Stack, dan Semblance Analysis.
12. Lakukan analisis Interactive Velocity dan Picking
13. Tahap akhir yaitu melakukan koreksi NMO, dengan cara terlebih dahulu membuat job
flow, lalu memasukkan input NMO yakni input, CMP, dan output. Jika telah keluar
hasil maka mengatur background velocitynya sesuai dengan kebutuhan.
74
Gambar 3.7.1 Lokasi titik pengambilan data VLF-EM pada Line 4
3.7.2 Alat dan Bahan
Adapun peralatan yang digunakan dalam proses akuisisi data di lapangan dengan
menggunakan metode VLF-EM dalam penelitian ini antara lain adalah :
1. 1 Set Alat VLF – EM (Scintrex), sebagai penghitung parameter sudut tilt ataupun
eliptisitas berdasarkan pengukuran komponen vertikal terhadap komponen
horizontalnya.
2. GPS, sebagai alat plotting ataupun sebagai penanda titik koordinat pengukuran
3. Kompas Geologi, sebagai penunjuk arah.
4. Meteran, sebagai pengukur panjang lintasan (line) dalam akuisisi EM
5. Laptop, digunakan untuk menjalankan perangkat lunak misalnya MATLAB,
Microsoft Office, Google Earth, Prep VLF-V1, dan Inv2DVLD-V1.
6. Baterai, sebagai pengisi daya.
3.7.3 Workflow
Dalam disiplin ilmu geofisika terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan dalam
prosedur penelitian. Secara sistematis prosedur yang harus dilakukan terdapat tiga tahap,
diantaranya akuisisi data, pengolahan data, dan interpretasi data. Prosedur pelaksanaan
penelitian dalam metode VLF meliputi :
3.7.3.1 Workflow Akuisisi Lapangan
75
Gambar 3.7.2 Workflow Akuisisi lapangan metode VLF-EM
Berikut adalah diagram kerja pengolahan data metode VLF-EM yang dilakukan :
76
Gambar 3.7.3 Workflow pengolahan data lapangan metode VLF-EM
77
9. Melakukan iterasi pengukuran sebanyak 2 kali di setiap titik.
10. Melakukan pencatatan pada data sheet yaitu data in-phase dan quadrature.
11. Melakukan marking GPS di setiap 2 meter titik pengukuran.
12. Lakukan langkah 5 sampai 11 sampai akhir titik pengukuran.
3.7.5 Langkah Kerja Pengolahan Data
Langkah kerja pengolahan data lapangan metode VLF dijelaskan dalam beberapa tahap
seperti berikut : Mengecek data hasil akuisisi lapangan pada tanggal 10 Oktober 2021.
Kemudian data yang didapatkan dari bacaan alat dimasukkan kedalam data sheet.
1. Memindah data hasil akuisisi lapangan dari .xlsx dan .txt.
2. Running script.
3. Melakukan filtering NA MEMD.
4. Melakukan input filter fraser, filter Karous H-Jelt.
5. Jika telah terselesaikan melakukan inversi 2D untuk mendapatkan penampang
yang akan diinterpretasi.
6. Jika telah mendapatkan hasil penampang yang diharapkan, maka melakukan
interpretasi secara kualitatif dan kuantitatif.
7. Setelah melakukan interpretasi kualitatif dan kuantitatif maka melakukan
interpretasi yang terintegrasi antar keduanya.
3.8 Metode GPR (Ground Penetrating Radar)
3.8.1 Lokasi dan Waktu
Lokasi pengukuran berada di tanggul bagian timur Lumpur Sidoarjo, Kecamatan
Porong, Kabupaten Sidoarjo dengan panjang lintasan sepanjang 300 meter. Waktu
pelaksanaan dilakukan pada tanggal 14 Oktober 2021.
Lokasi penelitian dalam rangka evaluasi tanggul yang rawan akan keretakan
dilakukan di tanggul Lumpur Sidoarjo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo.
78
Gambar 3.8.1 Lokasi penelitian pada google earth
1. GPR merk GSSI Sir-4000 dengan frekuensi antena sebesar 350 Hz.
2. Perangkat keras berupa laptop untuk menjalankan pengolahan.
3. Perangkat lunak berupa RADAN 7 untuk melakukan pengolahan data.
3.8.3 Workflow
Dalam disiplin ilmu geofisika terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan dalam
prosedur penelitian. Secara sistematis prosedur yang harus dilakukan terdapat tiga tahap,
diantaranya akuisisi data, pengolahan data, dan interpretasi data. Prosedur pelaksanaan
penelitian dalam metode GPR meliputi :
Berikut adalah diagram kerja pengolahan data metode GPR yang dilakukan :
79
Gambar 3.8.2 Workflow akuisisi data lapangan metode GPR
Berikut adalah diagram kerja pengolahan data metode GPR yang dilakukan :
80
4. Lakukan pengaturan setup menu-radar untuk mengatur collect mode, scans/second,
samples/scan, scans/m, m/mark, dielectric, soil type, dan depth range.
3.8.5 Langkah Kerja Pengolahan Data
Data yang diperoleh di lapangan adalah data yang menggambarkan penampang vertikal
bawah permukaan yang disebut profil rekaman georadar. Pada penelitian ini pengolahan data
menggunakan software RADAN 7. Scanning kondisi bawah permukaan dengan GPR
menghasilkan citra dari georadar yang menggambarkan pantulan gelombang
elektromagnetik.
1. Penskalaan horizontal
2. Distance normalization,
3. Surface normalization
4. Edit block dan appending
5. Pengolahan data mentah
6. Filter frekuensi
7. Noise band removal
8. Range gain
9. Gain restoration
10. Adaptive gain
11. Migrasi
12. Pembuatan penampang 3D
13. Pembuatan penampang 2D
81
BAB IV
PROGRESS
4.1 Rincian Penyelesaian
Berikut adalah rincian progress yang telah dilaksanakan untuk tiap metode.
Berikut ini merupakan timeline pengerjaan tugas dan praktikum kuliah lapangan
terpadu.
82
Gambar 4.2.1 Timeline pengerjaan tugas
4.3 Kurva Diagram S
Kurva S menggambarkan ukuran kemajuan pekerjaan pada sumbu tegak dikaitkan
dengan satuan waktu pada sumbu mendatar. Kurva ini kami gunakan dalam mengevaluasi
kemajuan progress dengan membandingkan antara time schedule yang dibuat dan
pelaksanaan realisasi di lapangan sehingga aktivitas pengerjaan progress dapat lebih
terkontrol. Berikut adalah kurva S dari progress yang sudah terlaksana dari kelompok 5 :
83
Gambar 4.3.1 Kurva diagram S
84
REFERENSI
Geologi Regional
A. Mazzini, A. Nermoen, M. Krotkiewski, Y. Podladchikov, S. Planke, H. Svensen. (2009).
Strike-slip faulting as a trigger mechanism for overpressure release through
piercement structures. Implications for the Lusi mud volcano, Indonesia. Mar. Pet.
Geol., 26 (9) (2009), pp. 1751-1765
Adriano Mazzini, Henrik Svensen, Giuseppe Etiope, Nathan Onderdonk, David Banks.
(2011). Fluid origin, gas fluxes and plumbing system in the sediment-hosted Salton
Sea Geothermal System (California, USA). Journal of Volcanology and Geothermal
Research. Volume 205, Issues 3–4.
https://doi.org/10.1016/j.jvolgeores.2011.05.008.
Andrea Moscariello, Damien Do Couto, Fiammetta Mondino, Jacqueline Booth, Matteo
Lupi, Adriano Mazzini. 2018. Genesis and evolution of the Watukosek fault system
in the Lusi area (East Java). Marine and Petroleum Geology
https://doi.org/10.1016/j.marpetgeo.2017.09.032.
Anne Obermann, Karyono Karyono, Tobias Diehl, Matteo Lupi, Adriano Mazzini. Seismicity
at Lusi and the adjacent volcanic complex, Java, Indonesia, Marine and Petroleum
Geology. 2018. Pages 149-156, ISSN 0264-8172.
https://doi.org/10.1016/j.marpetgeo.2017.07.033.
B. Clements, M.A. Cottam. 2009. Thrusting of a volcanic arc: a new structural model for
Java Pet. Geosci., 15 (2) (2009), pp. 159-174.
Bemmelen, V. (1949) The Geology of Indonesia. Journalism Practice. doi:
10.1080/17512780701768576.
Ciotoli, G., Etiope, G., Marra, F., Florindo, F., Giraudi, C., Ruggiero, L., 2016. Tiber delta
CO2eCH4 degassing: a possible hybrid, tectonically active sediment-hosted
geothermal system near Rome. J. Geophys. Res. Solid Earth 121. https://
doi.org/10.1002/2015JB012557
Dar, Imam Ahmad. 2012. Earth Science. InTech. Rijeka, Croatia.
Davies, R., Manga, M., Tingay, M., Lusianga, S., Swarbick, R., 2010. The Lusi Mud Volcano
Controversy: Was It Caused by Drilling?. Journal of Marine and Petroleum
Geology
Francesco Panzera, Sebastiano D'Amico, Matteo Lupi, Guillaume Mauri, Karyono, Adriano
Mazzini. 2018. Lusi hydrothermal structure inferred through ambient vibration
https://doi.org/10.1016/j.marpetgeo.2017.06.017.
H.R. Smyth, P.J. Hamilton, R. Hall, P.D. Kinny. (2007). The deep crust beneath island arcs:
Inherited zircons reveal a Gondwana continental fragment beneath East Java,
Indonesia. Earth and Planetary Science Letters.
https://doi.org/10.1016/j.epsl.2007.03.044.
H.T Wibowo. 2018. The evolution of Sidoarjo hot mudflow (Lusi), Indonesia. IOP Conf.
Series: Earth and Environmental Science 212 (2018) 012050. IOP Publishing
doi:10.1088/1755-1315/212/1/012050.
Henrik Svensen, Sverre Planke, Alexander G. Polozov, Norbert Schmidbauer, Fernando
Corfu, Yuri Y. Podladchikov, Bjørn Jamtveit. Siberian gas venting and the
85
end-Permian environmental crisis. Earth and Planetary Science Letters. Volume
277, Issues 3–4. 2009, https://doi.org/10.1016/j.epsl.2008.11.015.
Istadi, B.P.; Pramono, G.H.; Sumintadireja, P.; Alam, S., (2009), Modeling study of growth
and potential geohazard for LUSI mud volcano: East Java, Indonesia, Marine and
Petroleum Geology, Vol. 26, pp. 1724-1739.)
Junhui Xing, Xiaodian Jiang, Deyong Li. 2016. Seismic study of the mud diapir structures in
the Okinawa Trough. https://doi.org/10.1002/gj.2824
Luis Somoza, Teresa Medialdea, Ricardo León, Gemma Ercilla, Juan Tomás Vázquez,
Marcel·lí Farran, Javier Hernández-Molina, Javier González, Carmen Juan, M
Carmen Fernández-Puga. 2012. Structure of mud volcano systems and pockmarks
in the region of the Ceuta Contourite Depositional System (Western Alborán Sea).
Marine Geology, Volumes 332–334, Pages 4-26,
https://doi.org/10.1016/j.margeo.2012.06.002.
Malvoisin, B., Mazzini, A. and Miller, S.A., (2018). Deep hydrothermal activity driving the
Lusi mud eruption. Earth and Planetary Science Letters, 497, pp.42-49.
Martha, Sri Widiyantoro, Phil Cummins, Erdinc Saygin dan Masturyono. (2015). Upper
crustal structure beneath East Java from ambient noise tomography: A preliminary
result. AIP Conference Proceedings 1658, 030009 (2015);
https://doi.org/10.1063/1.4915017.
N. Sawolo, E. Sutriono, B.P. Istadi, A.B. Darmoyo. (2009). The LUSI mud volcano triggering
controversy: was it caused by drilling? Mar. Petroleum Geol., 26, pp. 1766-1784
Nyantakyi, Tao Li, Wangshui Hu. (2016). Depositional model for mud-diapir controlled
intra-slope basins, deepwater Niger delta, Nigeria. Springer Link.
P. De Genevraye, L. Samuel. (1972). Geology of the Kendeng zone (central and east Java).
Proceedings of the Indonesian Petroleum Association, 1st Annual Convention
(1972), pp. 17-30
Prahastomi, M. Muhajir Saputra, Axel Derian. (2014). An Active Subsurface Geological
Structure Pattern of Mud Volcano Phenomenon as an Environmental Impact of
Petroleum Withdrawal in Sidoarjo, East Java, Indonesia. World Academy of
Science, Engineering and Technology International Journal of Chemical and
Molecular Engineering Vol:8, No:12, 2014
R. Hall. 2011. Australia–SE Asia collision: plate tectonics and crustal flow Geol. Soc. Lond.
SP, 355 (2011), pp. 75-109.
R. Van Noorden. 2006. Mud volcano floods Java Nature, 10.1038/news060828-1
Satyana, A. H. (2008), Mud diapirs and mud volcanoes in depressions of Java to Madura:
origins, natures, and implications to petroleum system, paper presented at IPA
32nd Annual Convention.
Satyana, A.H. and Armandita, C., 2004, Deep-Water play of Java, Indonesia : regional
evaluation on opportunities and risks. Proccedings International Geoscience
Conference of Deepwater and Frontier Exploration in Asia and Australasia,
Indonesian Petroleum Association (IPA) and American Association of Petroleum
Geologists (AAPG), Jakarta, p. 293-320.
86
Sawolo, N., Sutriono, E., Istadi, B.P., Darmoyo, A.B., (2009), The LUSI mud volcano
triggering controversy: Was it caused by drilling?, Marine and Petroleum Geology,
26, pp. 1766-1784.
Sciarra, A. Mazzini, S. Inguaggiato, F. Vita, A. Lupi, S. Hadi. 2017. Radon and carbon gas
anomalies along the Watukosek fault system and Lusi mud eruption. Indonesia.
Mar.
Stephen A. Miller, Adriano Mazzini. More than ten years of Lusi: A review of facts,
coincidences, and past and future studies. Marine and Petroleum Geology. 2018.
Pages 10-25, ISSN 0264-8172, https://doi.org/10.1016/j.marpetgeo.2017.06.019.
Widodo , J P G N Rochman , Perdana , F Syaifuddin. (2020). Seismic Site Effect Mapping
Based on Natural Frequency Using Microtremor Method in Sidoarjo District.
JIC-CEGE 2019. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 506 (2020)
012053.
Zainudin, A., Badri, I., Padmawijaya, T., Humaida, H., dan Sutaningsih, E., (2010),
Fenomena Geologi Semburan Lumpur Sidoarjo, Badan Geologi, Kementerian
Energi dan Sumberdaya Mineral, Bandung.
87
Metode VES (Vertical Electrical Sounding)
Agustawijaya, Didi & Krisnayanti, Bq. (2013). Penelitian Geologi Struktur Untuk Identifikasi
Kebolehjadian Sistem Panas Bumi Di Gunung Lumpur Sidoarjo, Jawa Timur.
Grandis, Hendra. 2009. Pengantar Pemodelan Inversi Geofisika. Himpunan Ahli Geofisika
Indonesia (HAGI). Bandung.
Hendrajaya, L, Arif Idam, (1990). Geolistrik Tahanan Jenis
Istadi, B.P.; Pramono, G.H.; Sumintadireja, P.; Alam, S., (2009), Modeling study of growth
and potential geohazard for LUSI mud volcano: East Java, Indonesia, Marine and
Petroleum Geology, Vol. 26, pp. 1724-1739.)
Sawolo, N., Sutriono, E., Istadi, B.P., Darmoyo, A.B., (2009), The LUSI mud volcano
triggering controversy: Was it caused by drilling?, Marine and Petroleum Geology,
26, pp. 1766-1784.
Telford, W. M., Geldart, L. P., Sheriff, R.E dan Keys, D. D. (1990). Applied Geophysics First
Edition. Cambridge University Press. Cambridge. New York.
Zainudin, A., Badri, I., Padmawijaya, T., Humaida, H., dan Sutaningsih, E., (2010),
Fenomena Geologi Semburan Lumpur Sidoarjo, Badan Geologi, Kementerian
Energi dan Sumber daya Mineral, Bandung.
Metode Magnetik
Adi, S., & Sunaryo. (2018). Investigasi Dampak Gunung Lumpur Sidoarjo (“LUSI”) bawah
permukaan menggunakan Metode Geomagnetik di Kabupaten Sidoarjo, Indonesia.
Kemajuan Bencana, 11(3).
Agustawijaya, Didi & Krisnayanti, Bq. (2013). Penelitian Geologi Struktur Untuk Identifikasi
Kebolehjadian Sistem Panas Bumi Di Gunung Lumpur Sidoarjo, Jawa Timur.
Blakely, R. J. (1996). Potential Theory In Gravity And Magnetic Applications. Cambridge
University Press.
Hiskiawan, P. (2016). PENGARUH POLA KONTUR HASIL KONTINUASI ATAS PADA
DATA GEOMAGNETIK INTERPRETASI REDUKSI KUTUB. Saintifika, 18(1),
18–26.
Ilapadila, Harimei, B., & Maria. (2019). Analysis of Regional Anomaly on Magnetic Data
Using the Upward Continuation Method. IOP Conf. Series: Earth and
Environmental Science . https://doi.org/doi:10.1088/1755-1315/279/1/012037
Istadi, B.P.; Pramono, G.H.; Sumintadireja, P.; Alam, S., (2009), Modeling study of growth
and potential geohazard for LUSI mud volcano: East Java, Indonesia, Marine and
Petroleum Geology, Vol. 26, pp. 1724-1739.)
Sawolo, N., Sutriono, E., Istadi, B.P., Darmoyo, A.B., (2009), The LUSI mud volcano
triggering controversy: Was it caused by drilling?, Marine and Petroleum Geology, 26,
pp. 1766-1784.
Setiadi, I., Darmawan, A., & Marjiyono. (2016). Investigation of Subsurface Geological
Structure in Sidoarjo Mud Volcano Affected Area Based on Geomagnetic Data Analysis.
Jurnal Lingkungan Dan Bencana Geologi, 7(3), 125–134.
88
Setiawan, S. (2009). APLIKASI KONTINUASI KE ATAS DAN FILTER PANJANG
GELOMBANG UNTUK PEMISAHAN ANOMALI REGIONAL – RESIDUAL PADA
DATA GEOMAGNETIK .
Zainudin, A., Badri, I., Padmawijaya, T., Humaida, H., dan Sutaningsih, E., (2010),
Fenomena Geologi Semburan Lumpur Sidoarjo, Badan Geologi, Kementerian
Energi dan Sumber daya Mineral, Bandung.
Metode Gravity
Agustawijaya, Didi & Krisnayanti, Bq. (2013). Penelitian Geologi Struktur Untuk Identifikasi
Kebolehjadian Sistem Panas Bumi Di Gunung Lumpur Sidoarjo, Jawa Timur.
Istadi, B.P.; Pramono, G.H.; Sumintadireja, P.; Alam, S., (2009), Modeling study of growth
and potential geohazard for LUSI mud volcano: East Java, Indonesia, Marine and
Petroleum Geology, Vol. 26, pp. 1724-1739.)
Latifah, I. (2010). Penentuan Anomali Bouguer dan Densitas Rata-Rata Batuan Berdasarkan
Data Gravitasi di Daerah Semarang.
Padmawidjaja, T., (2013). Analisis Data Gayaberat Daerah Porong Dalam Studi Kasus
Struktur dan Deformasi Geologi Bawah Permukaan. Jurnal Lingkungan dan
Bencana Geologi, vol. 4, no. 3: 237-251.
Rachmasari, D. (2020). Metode Gravitasi dalam Analisis Cekungan Hidrokarbon. HMGF
UGM.
https://hmgf.fmipa.ugm.ac.id/metode-gravitasi-dalam-analisis-cekungan-hidrokarb
on/
Sawolo, N., Sutriono, E., Istadi, B.P., Darmoyo, A.B., (2009), The LUSI mud volcano
triggering controversy: Was it caused by drilling?, Marine and Petroleum Geology,
26, pp. 1766-1784.
Setiadi, I., Diyanti, A., & Ardi, N. D. (2014). INTERPRETASI STRUKTUR GEOLOGI
BAWAH PERMUKAAN DAERAH LEUWIDAMAR BERDASARKAN
ANALISIS SPEKTRAL DATA GAYA BERAT. Jurnal Geologi Dan Sumberdaya
Mineral, 15(4), 205–214.
Wulan, I. A. & Setyawan A., (2017). Monitoring Perubahan Massa Area Lumpur Lapindo
Dengan Metode Gayaberat Antar Waktu: Studi Kasus Porong Jawa Timur.
Youngster Physics Journal, vol. 6, no. 4, hal. 331-338.
Zainudin, A., Badri, I., Padmawijaya, T., Humaida, H., dan Sutaningsih, E., (2010),
Fenomena Geologi Semburan Lumpur Sidoarjo, Badan Geologi, Kementerian
Energi dan Sumber daya Mineral, Bandung.
Metode Seismik
Agustawijaya, Didi & Krisnayanti, Bq. (2013). Penelitian Geologi Struktur Untuk Identifikasi
Kebolehjadian Sistem Panas Bumi Di Gunung Lumpur Sidoarjo, Jawa Timur.
Istadi, B.P.; Pramono, G.H.; Sumintadireja, P.; Alam, S., (2009), Modeling study of growth
and potential geohazard for LUSI mud volcano: East Java, Indonesia, Marine and
Petroleum Geology, Vol. 26, pp. 1724-1739.)
89
Malvoisin, B., Mazzini, A. and Miller, S.A., 2018. Deep hydrothermal activity driving the
Lusi mud eruption. Earth and Planetary Science Letters, 497, pp.42-49.
N. Sawolo, E. Sutriono, B.P. Istadi, A.B. Darmoyo. 2009. The LUSI mud volcano triggering
controversy: was it caused by drilling? Mar. Petroleum Geol., 26, pp. 1766-1784
Ningsih, Nunung, I. D., 2018. Uji Kinerja Handyviewer Mc-Seis 3 Channel Untuk
Pendeteksian Lapisan Dibawah Permukaan. Integrated Lab Journal ISSN
2339-0905. Doi : 10.5281/zenodo.1904601
Permana, Ujang, et al., 2015. Pengolahan Data Seismik Refleksi 2D Untuk Memetakan
Struktur Bawah Permukaan Lapangan X Prabumulih Sumatera Selatan.
ALHAZEN Journal of Physics Vol. 2, No.1, Issue 1. ISSN 2407-9073
Reynolds, J. M. (2011). An introduction to applied and environmental geophysics. John
Wiley & Sons.
Sawolo, N., Sutriono, E., Istadi, B.P., Darmoyo, A.B., (2009), The LUSI mud volcano
triggering controversy: Was it caused by drilling?, Marine and Petroleum Geology,
26, pp. 1766-1784.
Sismanto. (2006). Dasar-Dasar Akuisisi dan Pemrosesan Data Seismik. Laboratorium
Geofisika, Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Gadjah Mada
Telford, W., Geldart, L., & Sheriff, R. (1990). Seismic Methods. In Applied Geophysics (pp.
136-282). Cambridge: Cambridge University Press.
doi:10.1017/CBO9781139167932.008 Schuck,Andreas and Lange, Gerhard.
Seismic Methods. Environmental Geology, 4 Geophysics Riyanto, Budi. 2010.
Inversi Seismik Simultan untuk Mengekstrak Sifat Petrofisika Reservoar Gas :
Kasus Lapangan Black-Foot. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam .
Skripsi. Diterbitkan. Universitas Indonesia : Jakarta
Zainudin, A., Badri, I., Padmawijaya, T., Humaida, H., dan Sutaningsih, E., (2010),
Fenomena Geologi Semburan Lumpur Sidoarjo, Badan Geologi, Kementerian
Energi dan Sumber daya Mineral, Bandung.
Agustawijaya, Didi & Krisnayanti, Bq. (2013). Penelitian Geologi Struktur Untuk Identifikasi
Kebolehjadian Sistem Panas Bumi Di Gunung Lumpur Sidoarjo, Jawa Timur.
Churniawati, Very D. (2009). Pengukuran Distribusi Rapat Arus dengan Menggunakan
Metode VLF (Very Low Frequency) di Daerah Kabuh (Jombang). Skripsi. Tidak
Diterbitkan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Jember
: Jember
Grant, F. S. and West. (1965). Interpretation Theory in Applied Geophysics, McGraw Hill
Corporation
Indriyani, Dita D. (2014). Pemetaan Distribusi Aliran Sungai Bawah Tanah Menggunakan
Metode Geofisika VLF (Very Low Frequency) Daerah Karst Pracimantoro
Kabupaten Wonogiri. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Semarang : Semarang
90
Istadi, B.P.; Pramono, G.H.; Sumintadireja, P.; Alam, S., (2009), Modeling study of growth
and potential geohazard for LUSI mud volcano: East Java, Indonesia, Marine and
Petroleum Geology, Vol. 26, pp. 1724-1739.)
Kartini. (2018). Pemetaan Aliran Sungai Bawah Tanah Bribin Menggunakan Metode Very
Low Frequency (VLF) di Daerah Sindon, Dadapayu, Gunungkidul. Skripsi. Tidak
Diterbitkan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri
Yogyakarta:Yogyakarta
Maulidina, Miftakhul. (2015). Analisa Struktur Bawah Permukaan Tanah di Sekitar Candi
Gambar Wetan, Kabupaten Blitar dengan Metode Very Low Frequency
Electromagnetic (VLF-EM). Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Sepuluh Nopember : Surabaya
Nugraha, Edu D. (2018). Aplikasi Metode VLF untuk Identifikasi Pola Aliran Sungai Bawah
Tanah Daerah Karst Ngargoharjo Wonogiri. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Semarang : Semarang
Purwanto, Eko H., et al. (2015). Aplikasi Metode Very Low Frequency Electromagnetic
(VLF-EM) untuk Karakteristik Bawah Permukaan di Daerah Kapur Desa Melirang
Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik. Jurnal Fisika Indonesia No. 55, Vol XIX.
ISSN : 1410-2994
Rismaningsih, Febri. (2017). Estimasi Keterhubungan Sungai Bawah Tanah Antara Seropan
dan Bribin dengan Metode Geofisika Very Low Frequency di Daerah Gunungkidul,
Yogyakarta. Poster 025. Seminar Nasional Sains dan Teknologi. P-ISSN :
2407-1846
Sawolo, N., Sutriono, E., Istadi, B.P., Darmoyo, A.B., (2009), The LUSI mud volcano
triggering controversy: Was it caused by drilling?, Marine and Petroleum Geology,
26, pp. 1766-1784.
Shofyan, Muhammad & Hilyah, Anik & Rochman, Juan Pandu Gya Nur. (2016). Aplikasi
Filter Multivariate Empirical Mode Decomposition (MEMD) Untuk Mereduksi
Noise pada Data VLF-EM. JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN:
2337-3539.
Shofyan, Muhammad & Hilyah, Anik & Rochman, Juan Pandu Gya Nur. (2016). Penerapan
Metode Very Low Frequency Electromagnetic (VLF-EM) Untuk Mendeteksi
Rekahan Pada Daerah Tanggulangin, Sidoarjo. Jurnal Geosaintek. 2. 129.
10.12962/j25023659.v2i2.1927.
Suyanto, Imam. (2007). Analisis Data VLF (Very Low Frequency) untuk Mengetahui
Kemenerusan Pipa Gas Bawah Permukaan di Gresik, Jawa Timur. Jurnal Fisika
Indonesia, No. 34, Vol. XI. ISSN : 1410-2994
Wijayanto, Totok & Santosa, Bagus & Desa Warnana, Dwa & Candra, Arya. (2015).
Penerapan Metode Very Low Frequency Electromagnet (Vlf-Em) Untuk
Menafsirkan Bidang Longsoran, Studi Kasus Desa Jombok, Kecamatan Ngantang,
Kabupaten Malang, Jawa Timur. Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya. 16. 11.
Yadi, Khairul et al. (2017). Interpretasi Filter Fraser dan Karous-Hjelt Pada Data VLF-EM
Untuk Mengidentifikasi Air Lindi di Area TPA Ngipik. JURNAL TEKNIK ITS
Vol. 6, No. 2. ISBN : 2337-3520 (2301-928X Print)
91
Yoku, Rosdiana. (2015). Penentuan Struktur Bawah Permukaan Daerah Taman Wisata
Pemandian Air Panas Tahura R Soerjo Cangar Menggunakan Metode VLF EM.
Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember : Surabaya
Zainudin, A., Badri, I., Padmawijaya, T., Humaida, H., dan Sutaningsih, E., (2010),
Fenomena Geologi Semburan Lumpur Sidoarjo, Badan Geologi, Kementerian
Energi dan Sumber daya Mineral, Bandung.
92
Rusli. (2013). DESAIN ANTENA MIKROSTRIP UNTUK APLIKASI GROUND
PENETRATING RADAR (GPR) .
Sawolo, N., Sutriono, E., Istadi, B.P., Darmoyo, A.B., (2009), The LUSI mud volcano
triggering controversy: Was it caused by drilling?, Marine and Petroleum Geology,
26, pp. 1766-1784.
Sumintadireja, P., Arif, J., & Tim LEGG FTIB-ITB. (2018). Penelitian Geofisika GPR &
Magnet Candi Blandongan dan Candi Lempeng.
Zainudin, A., Badri, I., Padmawijaya, T., Humaida, H., dan Sutaningsih, E., (2010),
Fenomena Geologi Semburan Lumpur Sidoarjo, Badan Geologi, Kementerian
Energi dan Sumberdaya Mineral, Bandung.
93