PENDAHULUAN
Retradasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau
tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh adanya hendaya (impairment)
keterampilan (skills), selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua
tingkat intligensia, yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial
(Lumbangtobing, 2006). Anak merupakan suatu kesatuan individu yang sangat unik.
Factor genetic dan lingkungan yang berbeda menjadi pengaruh dalam pertumbuhan
dan pencapaian kemampuan perkembangannya, tetapi akan tetap menurut patokan
umum. Namun hal ini tidak berlaku pada anak dengan pembentukan intelektual yang
rendah atau dikenal dengan retradasi mental. Anak dengan kondisi retradasi mental
merupakan seorang anak dengan tingkat fungsi intelegensi yang secara signifikan
berada dibawah rata – rata, sebagaimana diukur oleh test intelegensi yang
dilaksanakan secara individual. Selain intelegensinya rendah, anak dengan retradasi
mental juga sulit menyesuaikan diri, susah berkembang dan disertai oleh defisit fungsi
adaptasi, seperti kegagalan mengurus diri sendiri sehingga mengalami defisit
perawatan diri yang pastinya akan berdampak pada kesehatan fisik anak tersebut
dalam artian anak akan lebih sering sakit karena buruknya personal hygine pada anak
tersebut.
Keluarga merupakan tempat pertama anak mendapatkan pendidikan, orang tua
pada umumnya memberikan pelayanan kepada putra dan putrinya sesuai dengan
kebutuhan mereka. Ada kalanya orang tu sangat memanjakan, adapula yang bertindak
keras. Namun demikian, bagi keluarga yang mengerti tentang kesehatan mental akan
mendidik putra putrinya sesuai dengan perkembangan kemampuan dan kesenangan
serta kepuasan mereka. Sehingga pola asuh yang dipakai dalam keluarga sangatlah
berpengaruh terhadap kesehatan anak retradasi mental. Kekerasan yang terjadi pada
anak retradasi mental di semarang ( 01/11/2012) merupakan salah satu contoh betapa
pentingnya peran keluarga dalam mempengaruhi tiap tahap kehidupan yang dialami
oleh anak dengan keterbatasan mental ini. Dalam suara merdeka cetak-semarang
metro, psikolog RSUD tugu, Paula Budi Surjaningtyas, Psi mengatakan bahwa
retradasi mental sering menjadi korban maupun pelaku kejahatan yang dikarenakan
ketidak mampuan secara kognitif.
Beban yang ditimbulkan oleh gangguan mental sangat besar. Hasil studi Bank
dunia menunjukkan, Global Burden of Desease akibat masalah kesehatan mental
mencapai 8,1%. Menurut WHO tahun 2012, berdasarkan standard skor dari
kecerdasan kategori AAMR (American Association of Mental Retradation) gangguan
mental manual klasifikasi penyakit menempati urutan kesepuluh didunia. Prevalensi
retradasi mental pada tahun 2012 menurut laporan kongres tahunan ( Annual Report
of Congres) menyebutkan 1,92% anak usia sekolah menyandang retradasi mental
dengan perbandingan laki-laki 60% dan perempuan 40%, dilihat dari kelompok usia
sekolah Indonesia belum mempunyai angka data pasti mengenai jumlah penderita
retradasi mental. Berdasarkan data Depdiknas tahung 2009 terdapat 50.000 anak
retradasi mental yang terdaftar pada sekolah luar biasa diseluruh Indonesia. Prevalensi
retradasi mental di Indonesia berkisar 1-3% dari jumlah penduduk Indonesia
mengalami retradasi mental, baik ringan, sedang, maupun berat yang merupakan salah
satu factor penghambat dalam pencapaian tujuan pembangunan nasional (Marramis,
1995). BPS (2010) memperkirakan bahwa 0,40% jumlah penduduk Indonesia atau
sekitar 824.000 orang menderita cacat mental. Selanjutnya penemuan ilmiah nasional
mengenai gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) tanggal 4-5 november 2010,
menyatakan bahwa saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 120.000 anak mengalami
kreatinisme dalam bentuk retradasi mental, tubuh pendek, bisu tuli, atau lumpuh.
Status kesehatan anak retradasi mental menunjukkan bahwa 28,3% anak retradasi
mental sering diare, panas, batuk, flu, dan ISPA (infeksi saluran pernafasan atas)
menurut data dan informasi (pusdatin) kesejahteraan sosial departemen RI tahun
2012, di jawa timur tercatat sebanyak 37 juta anak penyandang keterbelakangan
mental dimana tiap tahun lahir sebanyak 462 orang anak dengan syndrome down di
jawa timur.
Sedangkan survey awal yang peneliti lakukan di SDLB Negeri bugih pamekasan,
sebanyak 25 orang anak usia 6-12 tahun yang mengalami retradasi mental.
Berdasarkan survey awal peneliti yang dilakukan terhadap 10 keluarga dari 25
keluarga terdapat penderita retradasi mental usia 6-12 tahun di SDLB Negeri Bugih
Pamekasan, 3 keluarga mengatakan kesehatan anaknya baik karena keluarga mengerti
dan mengetahui tentang masalah kesehatan, cara memberikan perawatan pada
keluarga yang sakit dan memfasilitasi lingkungan. Sedangkan 7 keluarga mengatakan
kesehatan anaknya kurang karena keluarga belum mengetahui tentang masalah
kesehatan dan cara merawat keluarga yang sakit ditandai dengan anaknya sering sakit
seperti demam dan diare. Selain hal tersebut kurangnya perhatian dan pengetahuan
dari keluarga dapat menjadi salah satu factor.
Dalam masyarakat, anak dengan retradasi mental ini dianggap sebagai anak yang
memiliki keterbatasan kemampuan (bai kemampuan belajar maupun sosial). Selain
itu, anak dengan keterbatasan mental sering dikucilkan akibat kondisinya yang tidak
normal, diamana hal tersebut menuntut adanya dukungan keluarga untuk tetap
mempertahankan rasa percaya diri pada anak dengan retradasi mental ini. Hal ini
diatas dapat disebabkan pola asuh keluarga dalam merawat anak retradasi mental,
misalnya ketidak mampuan keluarga untuk menerima dan memahami keadaan anak
yang berbeda dengan anak normal pada umumnya, akibat keluarga tidak memiliki
keterkaitan terhadap kebutuhan khusus yang seharusnya didapatkan anak retradasi
mental. Hal tersebut diatas juga dapat berpengaruh terhadap perawatan penderita
retradasi mental dalam keluarga, karena kemungkinan besar keluarga tidak
mengetahui kebutuhan dan menentukan terapi terhadap retradasi mental. Selain itu
kurangnya pengetahuan keluarga dalam merawat dan mendidik anak retradasi mental
menjadi factor buruknya pola asuh yang dipakai oleh keluarga.
Akibatnya sering kali keluarga hanya menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak
kepada sekolah sehingga keluarga tidak dapat memantau proses pembelajaran anak di
rumah dan anak hanya mendapat pendidikan di sekolah dan tidak terlalu
memperhatikan kebutuhan anaknya yang mempunyai kebutuhan khusus, terutama
pada kesehatan anak.
Keluarga merupakan tempat tumbuh kembang seorang anak, maka keberhasilan
pembangunan sangat ditentukan oleh kualitas dari individu yang terbentuk dari norma
yang dianut oleh keluarga sebagai Patokan berperilaku setiap hari. Lingkungan
keluarga secara langsung berpengaruh dalam mendidik seorang anak karena pada saat
lahir dan untuk masa berikutnya yang cukup panjang anak memerlukan bantuan dari
keluarga dan orang lain untuk melangsungkan hidupnya. Keluarga yang mempunyai
anak cacat akan memberikan suatu perlindungan yang berlebihan pada anaknya
sehingga anak mendapat kesempatan yang terbatas untuk mendapat pengalaman
sesuai dengan tingkat perkembangannya (Grahacendikia, 2009). Peran perawat dalam
keluarga sangat diperlukan untuk mengatasi masalah dihadapi keluarga dengan anak
retradasi mental dengan cara memberikan penyuluhan bagaimana cara yang tepat dan
benar cara memberikan pola asuh pada anak retradasi mental. Sesuai dengan latar
belakang tersebut peneliti tertarik untuk mengambil judul penelitian “Hubungan Pola
asuh Keluarga dengan Kesehatan Anak Retradasi Mental pada Usia Sekolah (6-12
tahun) di SLDB Negeri Bugih Pamekasan”