Anda di halaman 1dari 16

ASKEP GADAR HENTI JANTUNG KONSEP TEORI HENTI JANTUNG A.

Pengertian Henti jantung adalah


terhentinya kontraksi jantung yang efektif ditandai dengan pasien tidak sadar, tidak bernafas, tidak ada
denyut nadi. Pada keadaan seperti ini kesepakatan diagnostis harus ditegakkan dalam 3 4 menit.
Keterlambatan diagnosis akan menimbulkan kerusakan otak. Harus dilakukan resusitasi jantung paru. B.
Etiologi 1. Terhentinya system pernafasan secara tiba-tiba yang dapat disebabkan karena: -
Penyumbatan jalan nafas : aspirasi cairan lambung atau benda asing. - Sekresi air yang terdapat dijalan
nafas, seperti pada saat tenggelam, edema paru, lender yang banyak. - Depresi susunan saraf pusat yang
disebabkan karena obat-obatan, racun, arus listrik tegangan tinggi, hipoksia berat, edema otak. 2.
Terhentinya peredaran darah secara tiba-tiba yang disebabkan : - Hipoksia, asidosis, hiperkapnia karena
penyakit paru atau karena henti perrnafasan secara tiba-tiba. 3. Terganggunya fungsi system saraf, yang
terjadi sebagai akibat terganggunya system pernafasan dan peredaran darah. C. Patofisiologi Henti
jantung terjadi bila jantung tiba-tiba berhenti berdenyut, akibat terjadinya penghentian sirkulasi efektif.
Semua kerja jantung berhenti atau terjadi kedutan otot yang tidak seirama ( fibrasi ventrikel ). Terjadi
kehilangan kesadaran mendadak, tidak ada denyutan dan bunyi jantung tidak terdengar. Pupil mata
mulai berdilatasi dalam 45 detik. Bias atau tidak terjadi kejang. Terdapat interval waktu sekitar 4 menit
antara berhentinya sirkulasi dengan terjadinya kerusakan otak menetap. Intervalnya dpat bervariasi
tergantung usia pasien. D. Manifestasi Klinis - Kehilangan kesadaran mendadak. - Tidak adanya denyut
karotis dan femoralis. - Henti nafas segera timbul setelahnya. E. Diagnosis Diagnosis didasarkan atas
gejala klinis sebagai berikut: - Gerakan pernafasan dan angin pernafasan yang menghilang atau sangat
lemah. - Denyut nadi dan bunyi jantung menghilang atau sangat lemah, bradikardia / takikardia yang
sangat menjolok. - Hilangnya kesadaran : dilatasi pupil. F. Penatalaksanaan

Penanganan henti jantung dilakukan untuk membantu menyelamatkan pasien / mengembalikan fungsi
cardiovascular. Adapun prinsip-prinsipnya yaitu sebagai berikut: Tahap I : - Berikan bantuan hidup dasar
- Bebaskan jalan nafas, seterusnya angkat leher / topang dagu. - Bantuan nafas, mulut ke mulut, mulut
ke hidung, mulut ke alat bantuan nafas. Jika nadi tidak teraba : Satu penolong : tiup paru kali diselingi
kompres dada 30 kali. Dua penolong : tiup paru setiap 2 kali kompresi dada 30 kali. Tahap II : - Bantuan
hidup lanjut. - Jangan hentikan kompresi jantung dan Venulasi paru. Langkah berikutnya : - Berikan
adrenalin 0,5 1 mg (IV), ulangi dengan dosis yang lebih besar jika diperlukan. Dapat diberikan Bic Nat 1
mg/kg BB (IV) jika perlu. Jika henti jantung lebih dari 2 menit, ulangi dosis ini setiap 10 menit sampai
timbul denyut nadi. - Pasang monitor EKG, apakah ada fibrilasi, asistol komplek yang aneh : Defibrilasi :
DC Shock. - Pada fibrilasi ventrikel diberikan obat lodikain / xilokain 1-2 mg/kg BB. - Jika Asistol berikan
vasopresor kaliumklorida 10% 3-5 cc selama 3 menit. Petugas IGD mencatat hasil kegiatan dalam buku
catatan pasien. Pasien yang tidak dapat ditangani di IGD akan di rujuk ke Rumah Sakit yang mempunyai
fasilitas lebih lengkap. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HENTI JANTUNG Konsep asuhan
keperawatan pada pasien yang mengalami henti jantung harus segera dilakukan tindakan keperawatan
seperti memberikan penanganan awal henti jantung. Penanganan Awal Henti Jantung (Cardiac Arrest)
Empat jenis ritme jantung yang menyebabkan henti jantung yaitu ventricular fibrilasi (VF), ventricular
takikardia yang sangat cepat (VT), pulseless electrical activity (PEA), dan asistol. Untuk bertahan dari
empat ritme ini memerlukan bantuan hidup dasar/ Basic Life Support dan bantuan hidup lanjutan/
Advanced Cardiovascular Life Support (ACLS) (American Heart Association (AHA), 2005). Ventrikel
fibrilasi merupakan sebab paling sering yang menyebabkan kematian mendadak akibat SCA. The
American Heart Association (AHA) menggunakan 4 mata rantai penting untuk mempertahankan hidup
korban untuk mengilustrasikan 4 tindakan penting dalam menolong korban SCA akibat ventrikel fibrilasi.
Empat mata rantai tersebut adalah: 1. Sesegera mungkin memanggil bantuan Emergency Medical
Service (EMS) atau tenaga medis terdekat.

2. Sesegera mungkin melakukan RJP 3. Sesegera mungkin melakukan defibrilasi 4. Sesegera mungkin
dilakukan Advanced Life Support diikuti oleh perawatan postresusitasi. Sebagaimana kondisi VF, kondisi
aritmia lain yang dapat menyebabkan SCA juga memerlukan tindakan resusitasi jantung dan paru (RJP)
yang sebaiknya segera dilakukan. Adapun algoritma dari RJP yaitu: Gambar. Algoritma BLS untuk dewasa
Prinsip penangan RJP ada 3 langkah yaitu ABC (Airway/pembebasan jalan nafas, Breathing/ usaha nafas,
Circulation/ membantu memperbaiki sirkulasi). Namun sebelum melakukan 3 prinsip penanganan
penting dalam RJP tersebut, penolong harus melakukan persiapan sebelumnya yaitu memastikan kondisi
aman dan memungkinkan dilakukan RJP. Setelah memastikan kondisi aman, penolong akan menilai
respon korban dengan cara: memanggil korban atau menanyakan kondisi korban secara langsung,
contoh: kamu tidak apa-apa? ; atau dengan memberikan stimulus nyeri. Jika pasien merespon tapi
lemah atau pasien merespon tetapi terluka atau tidak merespon sama sekali segera panggil bantuan
dengan menelepon nomor emergency terdekat. AIRWAY (Pembebasan jalan nafas) Persiapan kondisi
yang memungkinkan untuk dilakukan RJP adalah meletakan korban pada permukaan yang keras dan
memposisikan pasien dalam kondisi terlentang. Beberapa point penting dalam melakukan pembebasan
jalan nafas: 1. Gunakan triple maneuver (head tilt-chin lift maneuver untuk membuka jalan nafas bagi
korban yang tidak memiliki tanda-tanda trauma leher dan kepala). 2. Apabila terdapat kecurigaan
trauma vertebra cervicalis, pembebasan jalan nafas menggunakan teknik Jaw-thrust tanpa ekstensi
leher. 3. Bebaskan jalan nafas dengan membersihkan hal-hal yang menyumbat jalan nafas dengan finger
swab atau suction jika ada. Gambar 1. tangan kanan melakukan Chin lift ( dagu diangkat). dan tangan kiri
melakukan head tilt. Pangkal lidah tidak lagi menutupi jalan nafas. Gambar 2. manuver Jaw thrust
dikerjakan oleh orang yang terlatih Gambar 3. Tehnik finger sweep BREATHING (Cek pernafasan)

Gambar 4. Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan. Cara ini dilakukan untuk
memeriksa jalan nafas dan pernafasan. Setelah memastikan jalan nafas bebas, penolong segera
melakukan cek pernafasan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan cek pernafasan
antara lain: Cek pernafasan dilakukan dengan cara look (melihat pergerakan pengembangan dada),
listen (mendengarkan nafas), dan feel (merasakan hembusan nafas) selama 10 detik. Apabila dalam 10
detik usaha nafas tidak adekuat (misalnya terjadi respirasi gasping pada SCA) atau tidak ditemukan
tanda-tanda pernafasan, maka berikan 2 kali nafas buatan (masing-masing 1 detik dengan volume yang
cukup untuk membuat dada mengembang). Volume tidal paling rendah yang membuat dada terlihat
naik harus diberikan, pada sebagian besar dewasa sekitar 10 ml/kg (700 sampai 1000 ml). Rekomendasi
dalam melakukan nafas buatan ini antara lain: 1. Pada menit awal saat terjadi henti jantung, nafas
buatan tidak lebih penting dibandingkan dengan kompresi dada karena pada menit pertama kadar
oksigen dalam darah masih mencukupi kebutuhan sistemik. Selain itu pada awal terjadi henti jantung,
masalah lebih terletak pada penurunan cardiac output sehingga kompresi lebih efektif. Oleh karena
inilah alasan rekomendasi untuk meminimalisir interupsi saat kompresi dada 2. Ventilasi dan kompresi
menjadi sama-sama penting saat prolonged VF SCA 3. Hindari hiperventilasi (baik pernapasan mulut-
mulut/ masker/ ambubag) dengan memberikan volume pernapasan normal (tidak terlalu kuat dan
cepat) 4. Ketika pasien sudah menggunakan alat bantuan nafas (ET. LMA, dll) frekuensi nafas diberikan
8-10 nafas/menit tanpa usaha mensinkronkan nafas dan kompresi dada. Apabila kondisi tidak
memungkinkan untuk memberikan nafas buatan (misalnya korban memiliki riwayat penyakit tertentu
sehingga penolong tidak aman/resiko tertular) maka lakukan kompresi dada. Setelah pemberian
pernafasan buatan, segera lakukan pengecekan sirkulasi dengan mendeteksi pulsasi arteri carotis
(terletak dilateral jakun/tulang krikoid). Pada pasien dengan sirkulasi spontan (pulsasi teraba)
memerlukan ventilasi dengan rata-rata 10-12 nafas/menit dengan 1 nafas memerlukan 5-6 detik dan
setiap kali nafas harus dapat mengembangkan dada. CIRCULATION Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam mempertahankan sirkulasi pada saat melakukan resusitasi jantung dan paru: Kompresi yang
efektif diperlukan untuk mempertahankan aliran darah selama

resusitasi dilakukan. Kompresi akan maksimal jika pasien diletakan terlentang pada alas yang keras dan
penolong berada disisi dada korban. Kompresi yang efektif dapat dilakukan dengan melakukan kompresi
yang kuat dan cepat (untuk dewasa + 100 kali kompresi/menit dengan kedalam kompresi 2 inchi/4-5 cm;
berikan waktu untuk dada mengembang sempurna setelah kompresi; kompresi yang dilakukan
sebaiknya ritmik dan rileks). Kompresi dada yang harus dilakukan bersama dengan ventilasi apabila
pernafasan dan sirkulasi tidak adekuat. Adapun rasio yang digunakan dalam kompresi dada dengan
ventilasi yaitu 30:2 adalah berdasarkan konsensus dari para ahli. Adapun prinsip kombinasi antara
kompresi dada dengan ventilasi antara lain; peningkatan frekuensi kompresi dada dapat menurunkan
hiperventilasi dan lakukan ventilasi dengan minimal interupsi terhadap kompresi. Sebaiknya lakukan
masing-masing tindakan (kompresi dada dan ventilasi) secara independen dengan kompresi dada
100x/menit dan ventilasi 8-10 kali nafas per menit dan kompresi jangan membuat ventilasi berhenti dan
sebaliknya, hal ini khususnya untuk 2 orang penolong). Pada pencarian literature ditemukan lima
sitation: satu LOE (Level Of Evidence) 4, dan Empat LOE 6. Frekuensi tinggi (lebih dari 100 kompresi
permenit) manual CPR telah dipelajari sebagai teknik meningkatkan resusitasi dari cardiac arrest. Pada
kebanyakan studi pada binatang, frekuensi CPR yang tinggi meningkatkan hemodinamik, dan tanpa
meningkatkan trauma (LOE6, Swart 1994, Maier 1984, Kern 1986). Pada satu tambahan studi pada
binatang, CPR frekuensi tinggi tidak meningkatkan hemodinamik melebihi yang dilakukan CPR standar
(cit Tucker, 1994). Studi klinis dalam pegguaan CPR frekuensi tinggi masih terbatas. Pada sebuah uji
klinis kecil (dengan jumlah sampel 9), CPR frekuensi tinggi meningkatkan hemodinamik melebihi CPR
standar (cit Swensen 1988). Lalu, CPR frekuensi tinggi terlihat lebih menjanjikan untuk peningkatan CPR.
Hasil dari studi pada manusia diperlukan untuk menentukan keefektifan dari teknik ini dalam
manajemen pasien dengan cardiac arrest. Selain bantuan hidup dasar/ Basic Life Support, dalam
penanganan cardiac arrest juga memerlukan bantuan hidup lanjutan/ Advanced Cardiovascular Life
Support (ACLS) untuk meningkatkan harapan hidup korban. Adapun algoritma penanganan bantuan
hidup lanjutan/ Advanced Cardiovascular Life Support (ACLS) untuk pulseless arrest: DAFTAR PUSTAKA
Mustafa I, dkk. 1996. Bantuan Hidup Dasar. RS Jantung Harapan Kita. Jakarta. Sunatrio S, dkk. 1989.
Resusitasi Jantung Paru. dalam Anesteiologi. Editor Muhardi Muhiman, dkk, Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI.

Sjamsuhidajat R, Jong Wd. 1997. Resusitasi. Hal : 124-129. dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.
EGC. Jakarta.. Pengertian Cardiac Arrest adalah terhentinya pompa jantung secara mendadak yang
bersifat reversible, dan dapat bersifat irreversible jika tidak dilakukan intervensi segera(robert,2001).
Cardiac Arrest adalah jantung tidak cukup memompa darah ke otak, Cardiac Output <20%, dan nadi
carotis tidak teraba. Cardiac arrest disebut juga cardiorespiratory arrest, cardiopulmonary arrest, atau
circulatory arrest, merupakan suatu keadaan darurat medis dengan tidak ada atau tidak adekuatnya
kontraksi ventrikel kiri jantung yang dengan seketika menyebabkan kegagalan sirkulasi. Gejala dan tanda
yang tampak, antara lain hilangnya kesadaran; napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak
bernafas); tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa
pada arteri; dan tidak denyut jantung. B. Etiologi 1. Etiologi Primer : fibrilasi ventrikel dan Asystole
Fibrilasi ventrikel dan Asystole terjadi karena : a. Iskemik myocard b. Heart block c. Obat-obatan d.
Elektrik shock 2. Etiologi sekunder a. Rapid secondary cardiac arrest 1) Asphyxia, oleh karena obstruksi
jalan nafas, apnea 2) Kehilangan darah yang cepat 3) Alveola anoksia, terjadi oleh karena udem paru
akut, menghirup gas yang tidak mengandung oksigen b. Slow secondary cardiac arrest 1) Severe
hipoksemia 2) Edema paru 3) Konsolidasi paru 4) Kardiogenik shock C. Patofisiologi Patofisiologi cardiac
arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Beberapa sebab dapat menyebabkan ritme denyut
jantung menjadi tidak normal, dan keadaan ini sering disebut aritmia. Selama aritmia, jantung dapat
berdenyut terlalu cepat atau terlalu lambat atau berhenti berdenyut. Empat macam ritme yang dapat
menyebabkan pulseless cardiac arrest yaitu Ventricular Fibrillation (VF), Rapid Ventricular Tachycardia
(VT), Pulseless Electrical Activity (PEA) dan asistol (American Heart Association (AHA), 2005). Kematian
akibat henti jantung paling banyak disebabkan oleh ventricular fibrilasi dimana terjadi pola eksitasi quasi
periodik pada ventrikel dan menyebabkan jantung kehilangan kemampuan untuk memompa darah
secara adekuat. Volume sekuncup jantung (cardiac output) akan mengalami penurunan sehingga tidak
bisa mencukupi kebutuhan sistemik tubuh,

otak dan organ vital lain termasuk miokardium jantung (Mariil dan Kazii, 2008). Ventrikular takikardia
(VT) adalah takidisritmia yang disebabkan oleh kontraksi ventrikel simana jantung berdenyut > 120
denyut/menit dengan GRS kompleks yang memanjang. VT dapat monomorfik (ditemukan QRS kompleks
tunggal) atau polimorfik (ritme irregular dengan QRS yang bervariasi baik amplitudo dan bentuknya)
(desouza dan Wart, 2009). Adapun asistol dapat juga menyebabkan SCA. Asistol adalah keadaan dimana
tidak terdapatnya depolarisasi ventrikel sehingga jantung tidak memiliki cardiac output. Asistol dapat
dibagi menjadi 2 yaitu asistol primer (ketika sistem elektrik jantung gagal untuk mendepolarisasi
ventrikel) dan asistol sekunder (ketika sistem elektrik jantung gagal untuk mendepolarisasi seluruh
bagian jantung). Asistol primer dapat disebabkan iskemia atau degenerasi (sklerosis) dari nodus
sinoatrial (Nodus SA) atau sistem konduksi atrioventrikular (AV system) (Caggiano, 2009). Sedangkan
ritme lain yang dapat menyebabkan SCA adalah Pulseless Electrical Activity(PEA). Kondisi jantung yang
mengalami ritme disritmia heterogen tanpa diikuti oleh denyut nadi yang terdeteksi. Ritme bradiasistol
adalah ritme lambat, dimana pada kondisi tersebut dapat ditemukan kompleks yang meluas atau
menyempit, dengan atau tanpa nadi juga dikatakan sebagai asistol (Caggiano, 2009). Walaupun
patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun pada umumnya
mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan
berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-
organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hipoksia
cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti
bernapas normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan
selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (Kaplan, 2007). D. Pengkajian Fokus Keperawatan 1.
Primery Suvey A : Airway : berkaitan dengan kepatenan jalan nafas, adanya obstruksi, kemampuan
mengeluarkan secret. Apakah pernafasan pasien Adekuat? Apakah pola nafas efektif? Apakah ada
pergerakan kedua dinding dada? B : Breathing : berkaitan dengan pola nafas, adanya distress
pernafasan, penggunaan otot bantu nafas, adanya henti nafas. Apakah ada saturasi oksigen? C :
Circulation : berkaitan dengan pertukaran gas, peredaran cairan dalam tubuh, metabolisme, adanya
perdarahan. Bagaimana heart rate pasien? irama? Bagaimana nadi pasien? Bagaimana tekanan
darahnya? Bagaimana warna tangan dan kaki? 2. Pada pemerikasaan Pernafasan. a. Lihat pergerakan
dada, samakah?

b. Auskultasi sura nafas. c. Cek mode pemberian oksigen. d. Cek saturasi oksigen dan analisa gas darah.
3. Pada pemeriksaan Kardiovaskuler a. Tanda-tanda vital seperti heart rate, tekanan darah,
temperature, CVP. b. Auskultasi suara jantung. c. Kaji IV line. d. Cek sirkulasi perifer seperti warna
jaringan perifer, kehangatan dan nadi. 4. Pada pemerikasaan Pencernaan e. Cek Naso Gastrik Tube
(NGT) jika ada f. Cek jenis makanan, kecepatan dan tolernsi. g. Auskultasi peristaltik. h. Kapan terakhir
BAB da BAK. 5. Pada pemerikasaan Ginjal a. Cek urine output b. Cek setatus cairan dan balance
kumulatif. c. Cek kadar ureum dan kreatinin darah. 6. Pada pemerikasaan Endokrin Cek gadar gula
darah. Apa perlu insulin? 7. Pada pemerikasaan Kulit Kaji resiko pasien terhadap terjadinya area yang
tertekan dan apakah sudah menggunakan alat-alat bantu yang tepat. E. Patways F. Manifestasi Klinis

1. Pupil dilatasi (setelah 45 detik). 2. Kesadaran hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung) 3. Tak
teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brakialis pada bayi) 4. Henti
nafas atau mengap-megap (gasping) 5. Terlihat seperti mati (death like appearance) 6. Warna kulit pucat
sampai kelabu G. Penatalaksanaan Resusitasi jantung paru hanya dilakukan pada penderita yang
mengalami henti jantung atau henti nafas dengan hilangnya kesadaran.oleh karena itu harus selalu
dimulai dengan menilai respon penderita, memastikan penderita tidak bernafas dan tidak ada pulsasi.
(3) Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru harus diketahui antara lain, kapan resusitasi dilakukan
dan kapan resusitasi tidak dilakukan. 1. Resusitasi dilakukan pada : a. Infark jantung kecil yang
mengakibatkan kematian listrik b. Serangan Adams-Stokes c. Hipoksia akut d. Keracunan dan kelebihan
dosis obat-obatan e. Sengatan listrik f. Refleks vagal g. Tenggelam dan kecelakaan-kecelakaan lain yang
masih memberi peluang untuk hidup. 2. Resusitasi tidak dilakukan pada : a. Kematian normal, seperti
yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat. b. Stadium terminal suatu penyakit yang
tak dapat disembuhkan lagi. c. Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu
sesudah ½ 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP. Pada penatalaksanaan resusitasi
jantung paru penilaian tahapan BHD sangat penting. Tindakan resusitasi (yaitu posisi, pembukaan jalan
nafas, nafas buatan dan kompresi dada luar) dilakukan kalau memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan
penilaian yang tepat, setiap langkah ABC RJP dimulai dengan : penentuan tidak ada respons, tidak ada
nafas dan tidak ada nadi. H. Diagnosa 1. Pola nafas tidak efektif b.d paralisis otot pernafasan 2. Resiko
bersihan tidak efektif jalan nafas b.d penurunan kesadaran 3. Penurunan curah jantung b.d berhentinya
fungsi jantung 4. Gangguan perfusi jaringan b.d hipoksia ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran I.
Intervensi 1. Resiko bersihan jalan nafas tidak efektif b.d penurunan kesadaran Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan jalan nafas normal

Kriteria Hasil : Mempertahankan jalan nafas paten Intervensi a. Kaji jalan nafas b. Posisikan klien, kepala
ekstensi (bebaskan jalan nafas) c. Pasangkan pipa orofaringeal Rasional a. Untuk mengetahui
penanganan yang tepat untuk diberikan kepada klien b. Untuk membuka jalan nafas, agar oksigen
mudah untuk masuk ke dalam paruparu c. Menahan lidah agar tidak jatuh ke belakang menyumbat
faring 2. Pola nafas tidak efektif b.d paralisis otot pernafasan Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan pola nafas kembali normal Kriteria Hasil : Mempertahankan pola pernafasan efektif, bebas
sianosis, nafas normal (16-24X/menit), irama regular, bunyi nafas normal, PH darah normal (7,35-7,45).
PaO2 (80-100 mmhg), PaCO2 (35-40 mmhg), HCO2 (22-26). Saturasi oksigen (95-98%). Intervensi a.
Pantau frekuensi pernafasan, irama dan kedalaman pernafasan. b. Angkat kepala tempat tidur sesuai
aturan (ekstensi), posisi miring sesuai indikasi. c. Lakukan RJP jika pasien tidak ada nafas d. Auskultasi
bunyi nafas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal. e.
Kolaborasi pemberian oksigen Rasional a. Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi,pulmonal
atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak. b. Untuk memudahkan ekspansi paru dan
menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas. c. Pengembalian fungsi paru
dan jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen d. Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru
seperti atelaktasis kongesti atau obstruksi jalan nafas. e. Menentukan kecukupan pernafasan,
memaksimalkan oksigen pada daerah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. DAFTAR
PUSTAKA. 2009. Cardiac Arrest. http://pekerjaankesehatan.blogspot.com. 03/2009l. Anakkomik. 2009.
Cardiac Arrest. http://anakkomik.blogspot.com. 11/2009. Article Source:
http://ezinearticles.com/5317479 Chan, Ayummee. 2009. Forensic Cardiac Arrest.
http://ayumeechan.blog.friendster.com. 01/2009.. 2010. Curah Jantung.
http://id.shvoong.com.medicine-andhealth/1958048. 10/2010.. 2010. Henti Jantung dan Resusitasi
Jantung Paru.http://www.scribd.com. 09/2010.
. 2010. Pengkajian Fisik di ICU. http://belajaricu.blogspot.com. 09/2010. Susanto, Iwan. 2010. Penyakit
Cardiac Arrest. http://iwansusanto.com. 11/2010. HENTI JANTUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR
BELAKANG Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, bisa terjadi
pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya
tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart
Association,2010). Amerika Serikat, mengklaim sebuah 325.000 kematian setiap tahun. SCA membunuh
1.000 orang per hari atau satu orang setiap dua menit. Dan paling sering terjadi pada pasien dengan
penyakit jantung, terutama mereka yang telah gagal jantung kongestif.sebanyak 75 persen orang yang
meninggal karena tandatanda menunjukkan SCA serangan jantung sebelumnya. Delapan puluh persen
memiliki tanda-tanda penyakit arteri koroner. SCA dicatat 10.460 (75,4 persen) dari seluruh 13.873
kematian penyakit jantung pada orang berusia 35-44 tahun, dan proporsi penangkapan jantung yang
terjadi out-of-rumah sakit meningkat dengan usia, dari 5,8 persen pada orang usia 0-4 tahun 61,0 persen
pada orang usia lebih dari 85 years.orang yang memiliki penyakit jantung akan meningkatkan risiko
untuk SCA. Namun, kebanyakan SCA terjadi pada orang yang tampak sehat dan tidak memiliki penyakit
jantung atau faktor risiko lain untuk SCA. 1.2 RUMUSAN MASALAH Apakah pengertian henti jantung?
Apakah etiologi henti jantung? Bagaimana patofisiologi henti jantung? Apakah manifestasi klinis yang
terjadi pada henti jantung? Bagaimana penatalaksanaan henti jantung? Bagaimana pemeriksaan
penunjang pada henti jantung? Apakah komplikasi yang terjadi pada henti jantung?

Bagaimana asuhan keperawatan pada gangguan alam perasaan? 1.3 TUJUAN Untuk mengetahui
pengertian dari henti jantung. Untuk mengetahui etiologi henti jantung. Untuk mengetahui patofisiologi
henti jantung. Untuk mengetahui manifestasi klinis yang terjadi pada henti jantung. Untuk mengetahui
penatalaksanaan henti jantung. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada henti jantung. Unruk
mengetahui komplikasi pada henti jantung. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada gangguan
alam perasaan BAB II PEMBAHASAN 2.1 PENGERTIAN HENTI JANTUNG

Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, bisa terjadi pada
seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak
bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart
Association,2010). Jameson, dkk (2005), menyatakan bahwa cardiac arrest adalah penghentian sirkulasi
normal darah akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Berdasarkan pengertian di
atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya
fungsi jantung secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi
kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara
efektif. 2.2 ETIOLOGI Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan mempunyai
risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi: a. Adanya jejas di jantung Karena serangan
jantung terdahulu atau oleh sebab lain,jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab
tertentu cenderung untuk mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Enam bulan pertama
setelah seseorang mengalami serangan jantung adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya cardiac
arrest pada pasien dengan penyakit jantung atherosclerosis b. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy)
Karena berbagai sebab (umumnya karena tekanan darah tinggi, kelainan katub jantung) membuat
seseorang cenderung untuk terkena cardiac arrest. c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan
untuk jantung Karena beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti aritmia)
justru merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest.kondisi seperti ini disebut
proarrythmic effect. Pemakaian obat-obatan yang bisa mempengaruhi perubahan kadar potasium dan
magnesium dalam darah (misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan aritmia yang
mengancam jiwa dan cardiac arrest.

d. Kelistrikan yang tidak normal Beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal seperti Wolff-Parkinson-
White- Syndrome dan sindroma gelombang QT yang memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada
anak dan dewasa muda. e. Pembuluh darah yang tidak normal Jarang dijumpai (khususnya di arteri
koronari dan aorta) sering menyebabkan kematian mendadak pada dewasa muda. Pelepasan adrenalin
ketika berolah raga atau melakukan aktifitas fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac
arrest apabila dijumpai kelainan tadi. f. Penyalahgunaan obat Merupakan faktor utama terjadinya
cardiac arrest pada penderita yang sebenarnya tidak mempunyai kelainan pada organ jantung.
Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia (Diklat Ambulans Gawat Darurat
118, 2010) : a. Fibrilasi ventrikel Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian
mendadak,pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya,jantung hanya mampu
bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan DC shock atau
defibrilasi. b. Takhikardi ventrikel Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya karena
adanya gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya gangguan konduksi.
Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri akan memendek, akibatnya
pengisian darah keventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan menurun. VT dengan keadaan
hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih diutamakan. Pada kasus VTdengan
gangguan hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi
dengan menggunakan DC shock dan CPR adalah pilihan utama. c. Pulseless Electrical Activity (PEA)

Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan kontraktilitas atau menghasilkan
kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba.
Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus segera dilakukan. d. Asistole Keadaan ini ditandai dengan
tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung, dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti
garis lurus. Pada kondisi ini tindakan yang harus segera diambil adalah CPR. 2.3 PATOFISIOLOGI a. Akibat
dari ateroklerosis menimbulkan plak pada pembuluh darah. b. Penebalan otot jantung dan fibrilasi
ventrikel mengakibatkan jantung tidak dapat berkontraksi secara optimal c. Takikardi ventrikel terjadi
karena pembentukan impuls sehingga frekuensi nadi cepat yang mengakibatkan pengisian ventrikel
menurun. Dari ketiga penyebab diatas mengakibatkan hambatan aliran darah sehingga sirkulasi darah
terhenti terjadilah cardiac arrest.akibat cardiac arrest terjadi kemampuan pompa jantung menurun
akibatnya curah jantung menurun sehingga terjadi: a. Suplai oksigen keseluruh tubuh menurun,dimana
darah membawa oksigen otomatis kebutuhan oksigen keparu-paru tidak terpenuhi terjadilah gangguan
pertukaran gas b. Suplai oksigen ke otak tidak terpenuhi terjadilah gangguan perfusi serebral c. Suplai
oksigen ke jaringan tidak terpenuhi terjadilah gangguan perfusi jaringan 2.4 MANIFESTASI KLINIS 1.
Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen termasuk otak 2.
Hypoxia cerebral atau tidak adanya oksigen ke otak menyebabkan kehilangan kesadaran (collapse)

3. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan
terjadi kematian dalam 10 menit 4. Nafas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas)
5. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa pada arteri
6. Tidak ada denyut jantung 7. Dilatasi pupil jika terjadi kerusakan otak irreversible 50% 2.5
PENATALAKSANAAN A. Respons awal Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak
benar-benar disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada tidaknya
denyut nadi pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat menentukan dengan segera
apakah telah terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa kematian. Gerakan respirasi agonal
dapat menetap dalam waktu yang singkat setelah henti jantung B. Penanganan untuk dukungan
kehidupan dasar (basic life support) Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi
kardiopulmoner (RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation) merupakan dukungan kehidupan dasar yang
bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ sampai tindakan intervensi yang definitive dapat
dilaksanakan. Untuk penanganan awal henti jantung yaitu dengan CAB : a. Yakinkan lingkungan telah
aman, periksa ketiadaan respon dengan menepuk atau menggoyangkan pasien sambil bersuara keras
Apakah anda baik-baik saja?.jika tidak berespon berikan rangsangan nyeri. Rasionalisasi: hal ini akan
mencegah timbulnya injury pada korban yang sebenarnya masih dalam keadaan sadar. b. Apabila pasien
tidak berespon segera telfone Emergency Medical Service (EMS) c. Posisikan pasien supine pada alas
yang datar dan keras, ambil posisi sejajar dengan bahu pasien. Jika pasien mempunyai trauma leher dan
kepala, jangan gerakkan pasien, kecuali bila sangat perlu saja.

Rasionalisasi: posisi ini memungkinkan pemberi bantuan dapat memberikan bantuan nafas dan
kompresi dada tanpa berubah posisi. 1. Circulation Pastikan ada atau tidaknya denyut nadi, sementara
tetap mempertahankan terbukanya jalan nafas dengan head tilt-chin lift yaitu satu tangan pada dahi
pasien, tangan yang lain meraba denyut nadi pada arteri carotis dan femoral selama 5 sampai 10 detik.
Jika denyut nadi tidak teraba, mulai dengan kompresi dada. Berlutut sedekat mungkin dengan dada
pasien. Letakkan bagian pangkal dari salah satu tangan pada daerah tengah bawah dari sternum (2 jari
ke arah cranial dari procecus xyphoideus). Jari-jari bisa saling menjalin atau dikeataskan menjauhi dada.
Rasionalisasi: tumpuan tangan penolong harus berada di sternum, sehingga tekanan yang diberikan
akan terpusat di sternum, yang mana akan mengurangi resiko patah tulang rusuk. Jaga kedua lengan
lurus dengan siku dan terkunci, posisi pundak berada tegak lurus dengan kedua tangan, dengan cepat
dan bertenaga tekan bagian tengah bawah dari sternum pasien ke bawah, 1-1,5 inch (3,8-5 cm)
Lepaskan tekanan ke dada dan biarkan dada kembali ke posisi normal. Lamanya pelepasan tekanan
harus sama dengan lamanya pemberian tekanan. Tangan jangan diangkat dari dada pasien atau berubah
posisi. Rasionalisasi: pelepasan tekanan ke dada akan memberikan kesempatan darah mengalir ke
jantung. Lakukan CPR (Cardio Pulmonary Resusitation) dengan dua kali nafas buatan dan 30 kali
kompresi dada. Ulangi siklus ini sebanyak 5 kali(2 menit). Kemudian periksa nadi dan pernafasan pasien.
Pemberian kompresi dada dihentikan jika: a) Telah tersedia AED (Automated External Defibrillator). b)
korban menunjukkan tanda kehidupan. c) Tugas diambil alih oleh tenaga terlatih.

Rasionalisasi: bantuan nafas harus dikombinasi dengan kompresi dada. Periksa nadi di arteri carotis, jika
belum teraba lanjutkan pemberian bantuan nafas dan kompresi dada. Sementara melakukan resusitasi,
secara simultan kita juga menyiapkan perlengkapan khusus resusitasi untuk memberikan perawatan
definitive. Rasionalisasi: perawatan definitive yaitu termasuk di dalamnya pemberian defibrilasi, terapi
obat-obatan, cairan untuk mengembalikan keseimbangan asambasa, monitoring dan perawatan oleh
tenaga terlatih di ICU. CPR yang diberikan pada anak hanya menggunakan satu tangan,sedangkan untuk
bayi hanya menggunakan jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak terletak lebih tinggi dalam
rongga dada, jadi tekanan harus dibagian tengah tulang dada. 2. Airway Buka jalan nafas Head-tilt/chin-
lift maneuver : letakkan salah satu tangan di kening pasien, tekan kening ke arah belakang dengan
menggunakan telapak tangan untuk mendongakkan kepala pasien. Kemudian letakkan jari-jari dari
tangan yang lainnya di dagu korban pada bagian yang bertulang dan angkat rahang ke depan sampai gigi
mengatub. Rasionalisasi: tindakan ini akan membebaskan jalan nafas dari sumbatan oleh lidah. Jaw-
thrust maneuver : pegang sudut dari rahang bawah pasien pada masingmasing sisinya dengan kedua
tangan,angkat mandibula ke atas sehingga kepala mendongak. Rasionalisasi: teknik ini adalah metode
yang paling aman untuk membuka jalan nafas pada korban yang dicurigai mengalami trauma leher. 3.
Breathing

Dekatkan telinga ke mulut dan hidung pasien, sementara pandangan kita arahkan ke dada pasien,
perhatikan apakah ada pergerakan naik turun dada dan rasakan adanya udara yang berhembus selama
expirasi Rasionalisasi: untuk memastikan ada atau tidaknya pernafasan spontan. Jika ternyata tidak ada,
berikan bantuan pernafasan mouth to mouth atau dengan menggunakan amfubag. Selama memberikan
bantuan pernafasan pastikan jalan nafas pasien terbuka dan tidak ada udara yang terbuang keluar.
Berikan bantuan pernafasan sebanyak dua kali (masing-masing selama 2-4 detik). Rasionalisasi:
pemberian bantuan pernafasan yang adekuat diindikasikan dengan dada terlihat mengembang dan
mengempis, terasa adanya udara yang keluar dari jalan nafas dan terdengar adanya udara yang keluar
saat expirasi. Jika pasien bernafas, posisikan korban ke posisi recovery (posisi tengkurap, kepala
menoleh ke samping). C. Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support) Tindakan ini
bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat, mengendalikan aritmia jantung, menyetabilkan
status hemodinamika (tekanan darah serta curah jantung) dan memulihkan perfusi organ. Aktivitas yang
dilakukan untuk mencapai tujuan ini mencakup: 1. Tindakan intubasi dengan endotracheal tube
Pemasangan endotracheal tube (ETT) atau intubasi adalah memasukkan pipa jalan nafas buatan
kedalam trachea melalui mulut.tindakan intubasi dilakukan bila cara lain untuk membebaskan jalan
nafas (airway) gagal,perlu memberikan nafas buatan dalam jangka panjang dan ada resiko besar terjadi
aspirasi paru. 2. Defibrilasi/ kardioversi, dan/atau pemasangan pacu jantung Defibrilasi adalah suatu
tindakan pengobatan menggunakan aliran listrik secara asinkron.tindakan ini dilakukan pada pasien
dengan fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel. 3. Pemasangan lini infuse. D. Asuhan pasca resusitasi

Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti jantung. Fibrilasi ventrikel
primer pada infark miokard akut umumnya sangat responsive terhadap teknik-teknik dukungan
kehidupan (life support) dan mudah dikendalikan setelah kejadian permulaan. Pemberian infuse lidokain
dipertahankan dengan dosis 2-4 mg/menit selama 24-72 jam setelah serangan. Dalam perawatan rumah
sakit, bantuan respirator biasanya tidak perlu atau diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan
stabilisasi hemodinamik yang terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi
ventrikel sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas hemodinamika menjadi predisposisi untuk
terjadinya aritmia yang dapat membawa kematian), upaya resusitasi kurang begitu berhasil dan pada
pasien yang berhasil diresusitasi, angka rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis didominasi oleh
ketidak stabilan hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh kemampuan untuk
mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan gangguan elektrofisiologi. Disosiasi
elektromekanis, asitol dan bradiaritmia merupakan peristiwa sekunder yang umum pada pasien yang
secara hemodinamis tidak stabil dan kurang responsive terhadap intervensi. Hasil akhir (outcome)
setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang menyertai penyakit nonkardiak adalah buruk, dan
pada beberapa pasien yang berhasil diresusitasi, perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh sifat
penyakit yang mendasari serangan henti jantung tersebut. Pasien dengan kanker, gagal ginjal, penyakit
system saraf pusat akut dan infeksi terkontrol, sebagai suatu kelompok, mempunyai angka
kelangsungan hidup kurang dari 10 persen setelah henti jantung di rumah sakit. Beberapa pengecualian
utama terhadap hasil akhir henti jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien
dengan obstruksi jalan nafas transien, gangguan elektrolit, efek proaritmia obat-obatan dan gangguan
metabolic yang berat, kebanyakan mereka yang mempunyai harapan hidup baik jika mereka mendapat
resusitasi dengan cepat dan dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.

E. Pengobatan a. Epinephrine. Epinephrine hydrochloride bermanfaat pada pasien dengan cardiac


arrest, utamanya karena memiliki efek α-adrenergic reseptor-stimulating (vasokonstriktor). Efek α-
adrenergik dari epinephrine dapat meningkatkan CPP (coronary perfusion pressure/aortic relaxation
diastolic pressure minus right atrial relaxation diastolic pressure) dan tekanan perfusi cerebral selama
RJP. Untuk efek β-adrenergik dari epinephrine, masih kontoversi karena berefek meningkatkan kerja
miokardium dan mengurangi perfusi subendokardial.berdasarkan kerjanya tersebut, jadi cukup
beralasan jika pemberian 1 mg epinephrine IV setiap 3-5 menit dianjurkan pada cardiac arrest. Dosis
lebih tinggi hanya diindikasikan pada keadaan khusus, seperti pada overdosis β-blocker atau calcium
channel blocker. Jika akses vena (IV) terlambat atau tidak ditemukan, epinephrine dapat diberikan
endotrakeal dengan dosis 2 mg sampai 2,5 mg. b. Dapat diberikan adrenalin 0,5 1 mg (IV), ulangi dengan
dosis yang lebih besar jika diperlukan. Dapat diberikan Bic Nat 1 mg/kg BB (IV) jika perlu. Jika henti
jantung lebih dari 2 menit, ulangi dosis ini setiap 10 menit sampai timbul denyut nadi. c. Pada fibrilasi
ventrikel diberikan obat lodikain / xilokain 1-2 mg/kg BB. d. Jika Asistol berikan vasopresor kaliumklorida
10% 3-5 cc selama 3 menit. e. Antiaritmia Amiodarone IV berefek pada channels natrium, kalium, dan
kalsium dan juga memiliki efek α- and β-adrenergic blocking. Amiodarone dapat dipertimbangkan untuk
terapi VF (fibrilsi ventrikel) atau Pulseless VT (takikardi ventrikel) yang tidak memberikan respon
terhadap shock, RJP dan vasopressor. Dosis pertama dapat diberikan 300 mg IV, diikuti dosis tunggal 150
mg IV. Pada blinded-rcts didapatkan pemberian amiodarone 300 mg atau 5 mg/kgbb secara bermakna
dapat memperbaiki keadaan pasien VF atau Pulseless VT dirumah sakit, dibandingkan pemberian
placebo atau lidocaine 1,5 mg/kgbb.

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Elektrokardiogram Biasanya tes yang diberikan ialah dengan
elektrokardiogram (EKG). Ketika dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di
bagian tubuh lainnya misalnya tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik
jantung dan dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak
melakukan impuls listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG
dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang meningkatkan risiko
kematian mendadak. 2. Tes darah a. Pemeriksaan Enzim Jantung Enzim-enzim jantung tertentu akan
masuk ke dalam darah jika jantung terkena serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu
sudden cardiac arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting
apakah benar-benar terjadi serangan jantung. b. Elektrolit Jantung Melalui sampel darah, kita juga dapat
mengetahui elektrolit-elektrolit yang ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium.
Elektrolit adalah mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik.
Ketidak seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest. c. Test
Obat Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi aritmia, termasuk
resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-obatan terlarang. d. Test Hormon

Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai pemicu cardiac arrest. 3.
Imaging tes a. Pemeriksaan Foto Thorax Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta
pembuluh darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung. b.
Pemeriksaan nuklir Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi masalah
aliran darah ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke dalam
aliran darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif mengalir melalui jantung dan
paru-paru. c. Ekokardiogram Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran
jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah jantung telah rusak oleh
cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau
apakah ada kelainan katup. 4. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping Tes ini, jika
diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah sembuh dan jika penjelasan yang
mendasari serangan jantung belum ditemukan. Dengan jenis tes ini, mungkin mencoba untuk
menyebabkan aritmia,tes ini dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes,
kemudian kateter dihubungkan dengan electrode yang menjulur melalui pembuluh darah ke berbagai
tempat di area jantung. Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik
melalui jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk merangsang jantung
pasien untuk mengalahkan penyebab yang mungkin memicu atau menghentikan aritmia. Hal ini
memungkinkan untuk mengamati lokasi aritmia. 5. Ejection fraction testing

Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest adalah seberapa baik jantung
mampu memompa darah.ini dapat menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang
dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari ventrikel
setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari
40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac arrest.ini dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa
cara, seperti dengan ekokardiogram, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan
nuklir scan dari jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung. 6. Coronary
catheterization (angiogram) Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner terjadi penyempitan
atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang tersumbat merupakan
prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri hati
Anda melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk arteri
di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman video,
menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter diposisikan,mungkin mengobati
penyumbatan dengan melakukan angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka. 2.7
KOMPLIKASI 1. Menyebabkan kematian dini 2.8 ASUHAN KEPERAWATAN 1. PENGKAJIAN a. Kaji respon
klien Periksa ketiadaan respon dengan menepuk atau menggoyangkan pasien sambil bersuara keras
Apakah anda baik-baik saja?.jika tidak berespon berikan rangsangan nyeri.

Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah karotis
atau arteri femoralis dapat menentukan dengan segera apakah telah terjadi serangan henti jantung yang
dapat membawa kematian. b. Periksa arteri carotis,jika tidak ada denyutan segera lakukan RJP/CPR.Cek
kembali arteri carotis,jika sudah berdenyut. c. Periksa pernafasan pasien Cara pemeriksaan Look-Listen-
Feel (LLF) dilakukan secara simultan. Cara ini dilakukan untuk memeriksa jalan nafas dan pernafasan.
Setelah memastikan jalan nafas bebas, penolong segera melakukan cek pernafasan. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam melakukan cek pernafasan antara lain: Cek pernafasan dilakukan dengan cara
look (melihat pergerakan pengembangan dada), listen (mendengarkan nafas), dan feel (merasakan
hembusan nafas) selama 10 detik. Apabila dalam 10 detik usaha nafas tidak adekuat (misalnya terjadi
respirasi gasping pada SCA) atau tidak ditemukan tanda-tanda pernafasan, maka berikan 2 kali nafas
buatan (masing-masing 1 detik dengan volume yang cukup untuk membuat dada mengembang). d. Jika
pasien bernafas,maka lakukan posisikan korban ke posisi recovery (posisi tengkurap, kepala menoleh ke
samping). 2. DIAGNOSA a. Gangguan perfusi serebral berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke
otak b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai oksigen tidak adekuat c. Penurunan curah
jantung berhubungan dengan kemampuan pompa jantung menurun 3. INTERVENSI a. Dx 1 Gangguan
perfusi serebral berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke otak
Tujuan : Sirkulasi darah kembali normal sehingga transport O 2 kembali lancar Kriteria Hasil : Pasien akan
mempertahankan tanda-tanda vital dalam batas normal.warna dan suhu kulit normal.crt < 2 detik.
INTERVENSI Pantau adanya pucat, sianosis dan kulit dingin atau lembab Posisikan kaki lebih tinggi dari
jantung Berikan vasodilator misal nitrogliserin, nifedipin sesuai indikasi RASIONAL Sirkulasi yang terhenti
menyebabkan transport O 2 ke seluruh tubuh juga terhenti sehingga akral sebagai bagian yang paling
jauh dengan jantung menjadi pucat dan dingin. Mempercepat pengosongan vena superficial, mencegah
distensi berlebihan dan meningkatkan aliran balik vena Obat diberikan untuk meningkatkan sirkulasi
miokardia. b. Dx 2 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai oksigen tidak adekuat Tujuan :
Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat berlangsung Kriteria hasil : Nilai GDA
normal dan tidak ada distress pernafasan INTERVENSI Pantau pernapasan klien Pantau GDA Pasien
Berikan O2 sesuai indikasi RASIONAL Untuk evaluasi distress pernapasan Nilai GDA yang normal
menandakan pertukaran gas semakin membaik Peningkatkan konsentrasi oksigen alveolar dan dapat
memperbaiki hipoksemia jaringan c. Dx 3 Penurunan curah jantung berhubungan dengan kemampuan
pompa jantung menurun Tujuan : Meningkatkan kemampuan pompa jantung Kriteria hasil : Nadi perifer
teraba dan tekanan darah dalam batas normal INTERVENSI Pantau tekanan darah Palpasi nadi perifer
RASIONAL Pada pasien Cardiac Arrest tekanan darah menjadi rendah atau mungkin tidak ada.
Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi radial, dorsalis pedis dan postibial. Nadi
mungkin hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi Pucat menunjukkkan menurunnya perfusi

Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis Lakukan pijat jantung Berikan oksigen tambahan dengan kanula
nasal/masker dan obat sesuai indikasi (kolaborasi) sekunder terhadap tidak adekuatnya curah jantung
Untuk mengaktifkan kerja pompa jantung Meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard
untuk melawan efek hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume
sekuncup, memperbaiki kontraktilitas. 4. IMPLEMENTASI Implementasi (pelaksanaan) keperawatan
disesuaikan dengan rencana keperawatan (intervensi), menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan
dengan pedoman atau prosedur teknis yang telah ditentukan. 5. EVALUASI Evaluasi yang diharapkan : a.
Sirkulasi darah kembali normal sehingga transport O 2 kembali lancar b. Sirkulasi darah kembali normal
sehingga pertukaran gas dapat berlangsung c. Kemampuan pompa jantung meningkat dan kebutuhan
oksigen ke otak terpenuhi

BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung
secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen ke
otak dan organ vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif yang paling
sering disebabkan oleh fibrilasi ventrikel dan takikardi ventrikel.penanganan awal henti jantung dengan
metode CAB. 3.2 SARAN Diharapkan mahasiswa agar dapat meningkatkan pemahamannya terhadap
asuhan keperawatan pada pasien henti jantung. Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembacanya dan sebagai pengetahuan. Sebelum mengetahui patofisiologi dari henti jantung, diperlukan
pemahaman mengenai ritme normal dari denyut jantung. Syarat dikatakan ritme jantung normal apabila
ritme yang dihasilkan regular dengan frekuensi denyutan rata-rata adalah 60 kali permenit/1 denyut
setiap detik. Adapun penampakan dalam rekam jantung yaitu sebagai berikut:

Gambar 1. EKG ritme sinus normal yaitu: Terdapat tiga fase perubahan selama terjadi proses henti
jantung 1. Fase elektrik (0-5 menit) --> fase 5 menit awal saat mulai terjadi impuls elektrik tidak normal
dan menyebabkan aritmia dari kontraksi otot jantung. 2. Fase sirkulasi (5-10 menit) --> fase dimana
mulai terlihat akibat dari ketidakcukupan jantung dalam memenuhi kebutuhan darah seluruh tubuh.
Dengan kata lain terjadi hipoksia jaringan. 3. Fase metabolic (> 10 menit) --> ini merupakan fase yang
kurang difahami. Namun pada fase ini mulai diproduksinya toksin akibat sel-sel yang mengalami hipoksia
dan toksis tersebut beredar mengikuti aliran darah (EMS, 2008). Patofisiologi cardiac arrest tergantung
dari etiologi yang mendasarinya. Beberapa sebab dapat menyebabkan ritme denyut jantung menjadi
tidak normal, dan keadaan ini sering disebut aritmia. Selama aritmia, jantung dapat berdenyut terlalu
cepat atau terlalu lambat atau berhenti berdenyut. Empat macam ritme yang dapat menyebabkan
pulseless cardiac arrest yaitu Ventricular Fibrillation (VF), Rapid Ventricular Tachycardia (VT), Pulseless
Electrical Activity (PEA) dan asistol (American Heart Association (AHA), 2005). Kematian akibat henti
jantung paling banyak disebabkan oleh ventricular fibrilasi dimana terjadi pola eksitasi quasi periodik
pada ventrikel dan menyebabkan jantung kehilangan kemampuan untuk

memompa darah secara adekuat. Volume sekuncup jantung (cardiac output) akan mengalami
penurunan sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan sistemik tubuh, otak dan organ vital lain termasuk
miokardium jantung (Mariil dan Kazii, 2008). Gambar 2. EKG ventricular fibrilasi Ventrikular takikardia
(VT) adalah takidisritmia yang disebabkan oleh kontraksi ventrikel simana jantung berdenyut > 120
denyut/menit dengan GRS kompleks yang memanjang. VT dapat monomorfik (ditemukan QRS kompleks
tunggal) atau polimorfik (ritme irregular dengan QRS yang bervariasi baik amplitudo dan bentuknya)
(desouza dan Wart, 2009). Gambar 3. EKG ventricular tachycardia

Adapun asistol dapat juga menyebabkan SCA. Asistol adalah keadaan dimana tidak terdapatnya
depolarisasi ventrikel sehingga jantung tidak memiliki cardiac output. Asistol dapat dibagi menjadi 2
yaitu asistol primer (ketika sistem elektrik jantung gagal untuk mendepolarisasi ventrikel) dan asistol
sekunder (ketika sistem elektrik jantung gagal untuk mendepolarisasi seluruh bagian jantung). Asistol
primer dapat disebabkan iskemia atau degenerasi (sklerosis) dari nodus sinoatrial (Nodus SA) atau
sistem konduksi atrioventrikular (AV system) (Caggiano, 2009). Gambar 3. EKG asystole Sedangkan ritme
lain yang dapat menyebabkan SCA adalah Pulseless Electrical Activity (PEA). Kondisi jantung yang
mengalami ritme disritmia heterogen tanpa diikuti oleh denyut nadi yang terdeteksi. Ritme bradiasistol
adalah ritme lambat, dimana pada kondisi tersebut dapat ditemukan kompleks yang meluas atau
menyempit, dengan atau tanpa nadi juga dikatakan sebagai asistol (Caggiano, 2009). Walaupun
patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun pada umumnya
mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan
berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-
organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi

Anda mungkin juga menyukai