Anda di halaman 1dari 84

BAB 1

KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM


1.1. Pendahuluan
Pemahaman yang mendalam tentang Konsep Ketuhanan dalam Islam perlu bagi manusia
agar menambah keyakinannya dalam meningkatkan ketakwaan. Alam semesta beserta seluruh
isinya dapat dijadikan sebagai bahan renungan dan pembelajaran tentang penciptaannya sekaligus
sebagai bukti kekuasaan Tuhan. Manusia diwajibkan menjadikan Allah sebagai pengawasan
melekat terhadap dirinya dalam kehidupan agar tidak berbuat dosa dan kejahatan di bumi.
Dalam bab pertama ini akan dibahas tentang: 1) Filsafat Ketuhanan dalam Islam 2) Hakikat Allah
dalam Kemahaesaan-Nya; 3). Pembuktian Keberadaan Allah dengan memperhatikan alam semesta.

1.2. Penyajian
A. Filsafat Ketuhanan dalam Islam
Filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar, meskipun kebenarannya relatif. Agama juga
mengandung kebenaran, tetapi kebenarannya mutlak. Dalam kajian perpustakaan dikenal filsafat
ketuhanan, yaitu mengkaji kekuasaan Tuhan sampai ke akar-akarnya atau dengan kata lain
mengkritisi kekuasaan Tuhan secara mendalam dan tuntas. Oleh karena itu, Tuhan Yang Maha Esa
oleh umat Islam diyakini sebagai Tuhan Pencipta alam semesta dan memiliki sifat-sifat dan nama-
nama yang baik atau dikenal dengan sebutan ”Asmaaullah al-husnaa” dijelaskan oleh Muhammad
Daud Ali (1998) dalam bukunya “Pendidikan Agama Islam” mengatakan bahwa di dalam Ilmu
Tauhid, dijelaskan dua puluh sifat Tuhan, yang disebut dengan sifat dua puluh. Sifat-sifat Allah yang
dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Ada, 2) Awal, tidak ada permualaan-Nya, 3) Kekal abadi tidak
berkesudahan. 4) Bebrbeda dengan makhluk-Nya, 5) Berdiri sendiri, 6) Maha Esa, 7) Berkuasa,
Maha Kuasa, 8) Berkehendak, 9) Maha Mengetahui, 10) Hidup, 11) Maha Mendengar, 12) Maha
Melihat, 13) Maha Berkata-kata, 14) Dalam Keadaan berkuasa, 15) Dalam keadaan Berkemauan,
16) Dalam Keadaan Berpengetahuan, 17) Dalam Keadaan Hidup, 18) Dalam Keadaan Mendengar,
19) Dalam Keadaan Melihat, dan 20) Dalam Keadaan Berkata-kata.
Sebagai mahasiswa, yang perlu diketahui adalah bahwa Allah, Tuhan yang Maha Esa itu bersifat:
1. Hidup. Ini berarti Allah, Tuhan Yang Maha Esa adalah TuhanYang Maha
Hidup. Hidupnya itu Maha Esa tanpa memerlukan makanan dan minuman, istirahat dan
sebagainya. Konsekwensi keyakinan seperti itu adalah segala sesuatu yang sifat hidupnya
memerlukan makanan, minuman, tidur dan sebagainya bagi seorang muslim bukanlah Allah dan
tidak boleh dipandang sebagai Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
2. Berkuasa. Allah adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Kekuasaan-Nya Maha Esa, tiada bertara, tidak
ada tolok banding-Nya. Ia maha Kuasa tanpa memerlukan pihak lain manapun juga dalam
kekuasaan-Nya. Ia Maha Kuasa dengan sendiri-Nya. Konsekwensi keyakinan seperti itu adalah
seorang muslim harus teguh dalam keyakinannya pada kekuasaan Allah, melampaui segala
kekuasaan selain dari kekuasaan Allah. Dan sebagai akibatnya, seorang muslim tidak boleh takut
pada kekuasaan lain yang ada di alam ini, baik kekuasaan berupa kekuatan-kekuatan alamiah
maupun kekuasaan-kekuasaan insaniah.
3. Berkehendak. Allah mempunyai kehendak. Kehendak-Nya Maha Esa dan berlaku untuk seluruh
alam semesta, termasuk manusia di dalamnya. Konsekwensi keyakinan yang demikian adalah
bahwa kehendak Allah Yang Maha Esa wajib diikuti oleh setiap muslim. Kehendak Allah yang masih
asli tercantum dalam al-Quran yang menjadi kitab suci umat Islam. Selain itu, kehendak Allah dapat
pula dijumpai pada ayat-ayat kauniyah di alam semesta berupa sunnatullah yaitu hukum-hukum
Allah yang oleh para sarjana disebut Nature of laws.

B. Hakikat Allah dalam Keesaan-Nya.


Islam mengajarkan bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Mutlak di samping sebagai Tuhan Yang
Maha Esa, dan Pemelihara alam semesta. Segala sesuatu mengenai Tuhan disebut ketuhanan.
Allah berfirman dalam Alquran surat Ali Imran ayat 3:

Artinya: “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi
terus menerus mengurus makhluk-Nya.”
Osman Raliby (1980) mengatakan bahwa konsep tentang Ketuhanan Yang Maha Esa disebut
Tauhid. Ilmunya adalah Ilmu Tauhid. Ilmu Tauhid adalah ilmu tentang Kemahaesaan Tuhan. Dalam
ilmu Tauhid dikenal istilah tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah. Tauhid uluhiyyah adalah
hanya Allah yang menerima semua ibadah manusia. Ketika manusia menyembah selain Allah maka
disebut musyrik. Misalnya menyembah roh, pohon, batu, gunung, kuburan, membawa sesajen ke
sungai atau istilah lain percaya kepada dinamisme dan animisme. Mereka meyakini bahwa hal
tersebut mempunyai kekuatan yang dapat menyelamatkan dan melindungi. Disebutkan dalam
Alquran surat annisa’ ayat 36 Allah berfirman:
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
Tauhid rububiyyah adalah meyakini bahwa yang memelihara alam beserta isinya hanyalah Allah.
Perhatikan firman Allah dalam Alqurran Surat Alfatihah ayat 2:

Artinya: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”


Makna “Rabbul ‘alamin” mengandung makna bahwa Allah adalah Tuhan Pemelihara alam semesta,
Tuhan yang mengatur manusia, tumbuh-tumbuhan serta makhluk lainnya sesuai dengan kadarnya.
Muhammad Daud Ali (1998) mengutip pendapat Osman Raliby yang mengemukakan tentang
Kemahaesaan Tuhan sebagai beikut:
1. Allah Maha Esa dalam Zat-Nya
2. Allah Maha Esa dalam Sifat-Sifat-Nya
3. Allah Maha Esa dalam Perbuatan-Perbuatan-Nya
4. Allah Maha Esa dalam wujud-Nya
5. Allah Maha Esa dalam menerima ibadah
6. Allah Maha Esa dalam menerima hajat dan hasrat manusia
7. Allah Maha Esa dalam memberi hukum
1. Allah Maha Esa dalam Zat-Nya.
Kemahaesaan Allah dalam Zat-Nya dapat dirumuskan dengan kata-kata bahwa Zat Allah tidak sama
dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Dia Unik, berbeda dalam segala-galanya. Zat Tuhan
Yang Maha Esa itu bukanlah materi yang terdiri atas beberapa unsur bersusun. Ia tidak dapat
disamakan atau dibandingkan dengan benda apa pun yang kita kenal, yang menurut ilmu fisika
terjadi dari susunan atom, molekul dan unsur-unsur berbentuk yang takluk kepada ruang dan
waktu yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, yang dapat hancur musnah dan lenyap
pada suatu masa. Allah berfirman dalam Alquran Surat Asyura ayat 11:
Artinya: “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang
Maha Mendengar dan Melihat.”
Keyakinan kepada Zat Allah Yang Maha Esa seperti itu mempunyai konsekwensi.
Konsekwensinya adalah bagi umat Islam yang mempunyai aqidah demikian, segala sesuatu yang
dapat ditangkap oleh pancaindera mempunyai bentuk tertentu, tunduk pada ruang dan waktu,
hidup memerlukan makanan dan minuman seperti manusia biasa, mengalami sakit dan mati,
lenyap dan musnah, bagi seorang muslim bukanlah Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
2. Allah Maha Esa dalam Sifat-Sifat-Nya.
Kemahaesaan Allah dalam sifat-sifat-Nya ini mempunyai arti bahwa sifat-sifat Allah penuh
kesempurnaan dan keutamaan, tidak ada yang menyamai-Nya. Sifat-sifat Allah itu banyak dan tidak
dapat diperkirakan. Namun demikian, dari Alquran dapat diketahui sembilan puluh sembilan nama
Tuhan yang biasanya disebut dengan al-Asmaaulllah al-Husnaa.: Sembilan puluh sembilan nama-
nama Allah yang indah (Muhammad Daud Ali, 1998: 23; A.Toto Suryana, 1996: 71; dan Muslim
Nurdin dkk.,1993: 86-91).
3. Allah Maha Esa dalam Perbuatan-Perbuatan-Nya
Pernyataan ini mengandung arti bahwa kita meyakini Tuhan Yang Maha Esa tiada bertara dalam
melakukan sesuatu, sehingga hanya Dialah yang dapat berbuat menciptakan alam semesta ini.
Perbuatan-Nya itu unik, lain dari yang lain, tiada taranya dan tidak sanggup pula manusia
menirunya. Kagumilah, misalnya, bagaimana Ia menciptakan diri kita sendiri dalam bentuk tubuh
yang sangat baik, yang dlengkapinya dengan pancaindera, akal, perasaan, kemauan, bahasa,
pengalaman dan sebagainya. Perhatikan pula susunan kimiawi materi-materi yang ada di alam ini.
Misalnya H20, susunan kimiawi (materi) zat cair, C02, zat asam dan sebagainya. Konsekwensi
keyakinan bahwa Allah Maha Esa dalam berbuat (perbuatan-Nya) adalah seorang muslim tidak
boleh mengagumi
perbuatan-perbuatan manusia lain dan karyanya sendiri secara berlebihan. Manusia, baik
perseorangan maupun sebagai kolektivitas, betapapun genial (hebat) , tidak boleh dijadikan obyek
pemujaan apalagi kalau disembah pula.
4. Allah Maha Esa dalam Wujud-Nya.
Allah Maha Esa dalam wujud-Nya. Ini berarti bahwa ujud Allah berbedadengan wujud alam
semesta. Ia tidak dapat disamakan dan diserupakan dalam bentuk apapun juga. Oleh karena itu,
Anthromorfisme (paham pengenaan ciri-ciri manusia pada alam seperti binatang atau benda mati
apalagi pada tuhan) tidak ada dalam ajaran Islam. Menurut keyakinan Islam, Allah Maha Esa.
Demikian Esa-Nya sehingga wujud-Nya tidak dapat disamakan dengan alam atau bagian-bagian
alam yang merupakan ciptaan–Nya ini. Keberad Wajib. Karena itu Ia disebut wajibul wujud .
Pernyataan ini mempunyai makna bahwaan Allahlah yang abadi dan wajib eksistensi atau wujud-
Nya. Selain Dia, semuanya mumkinul wujud. Artinya boleh (mungkin) ada, boleh (mungkin) tiada
seperti eksistensi manusia dan seluruh alam semeseta ini yang pada waktunya pasti akan mati atau
hancur binasa. Konsekwensi keyakinan yang demikian adalah setiap manusia muslim sebagai
bagian alam, harus selalu sadar bahwa hidupnya hanyalah sementara di dunia ini, tempat ia diuji
mengenai kepatuhan dan ketidakpatuhannya pada perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.
Pada suatu ketika kelak seluruh alam akan hancur binasa dan akan muncullah suatu hidup sesudah
mati yang sifatnya lain sama sekali dari apa yang kita lihat dan rasakan di dunia ini. Pada waktu itu
nanti di hadapan Allah Tuhan Yang Maha Adil, masing-masing manusia harus
mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya selama hidup di bumi ini. Celakalah manusia yang
bergeliman dalam dosa dan berbahagialah manusia yang beriman, yang yakin kepada Allah Tuhan
Yang Maha Esa, dan taqwa: mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya.
5. Allah Maha Esa dalam Menerima Ibadah
Allah Maha Esa dalam Menerima ibadah berarti bahwa hanya Allah sajalah yang berhak
disembah dan menerima ibadah. Hanya Dialah satu-satunya yang patut dan harus disembah dan
hanya kepada-Nya pula kita meminta pertolongan. Yang dimaksud dengan ibadah ialah segala
perbuatan manusia yang disukai Allah, baik dalam kata-kata terucapkan maupun dalam bentuk
perbuatan-perbuatan lain, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Konsekwensi keyakinan ini
adalah hanya Dialah Allah yang wajib kita sembah, hanya kepada-Nya pula seluruh salat dan ibadah
yang kita lakukan, kita niatkan dan kita persembahkan.
6. Allah Maha Esa dalam Menerima Hajat Manusia
Bila manusia hendak menyampaikan maksud, permohonan atau keinginannya kepada Allah
langsunglah sampaikan kepada-Nya, kepada Allah sendiri tanpa perantara atau media apa pun
namanya. Tidak ada system rabbaniyah atau kependetaan dalam Islam. Semua manusia, kecuali
para Nabi dan Rasul, mempunyai kedudukan yang sama dalam berhubungan langsung dengan
Tuhan Yang Maha Esa. Konsekwensi keyakinan ini adalah setiap muslim tidak memerlukan orang
lain di dunia ini dalam menyampaikan hajat dan hasratnya kepada Allah.
7. Allah Maha Esa dalam Memberi Hukum
Allah Maha Esa dalam Memberi Hukum berarti Allahlah satu-satunya Pemberi Hukum yang
tertinggi. Ia memberi hukum kepada alam, seperti hukum-hukum alam yang selama ini kita kenal
dengan sebutan hukum-hukum Archimides, Boyle, Lavoisier, hukum relativitas, thermodynamic
dan sebagainya (Ali, 1998). Ia pula memberi hukum kepada umat manusia bagaimana mereka
harus hidup di bumi-Nya ini sesuai dengan ajaran-ajaran dan kehendak-Nya yang dengan
sendirinya sesuai pula dengan hukum-hukum alam dan watak manusia, yang semuanya itu adalah
ciptaan Allah. Konsekwensi keyakinan seperti ini adalah seorang muslim wajib percaya pada
adanya hukum-hukum alam (sunnatullah) baik alam fisik maupun alam psikis dan spritual yang
terdapat dalam kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan sosial. Sebagai muslim
kita wajib taat dan patuh serta meyakini kebenaran hukum syariat Allah yang disampaikan oleh
Nabi Muhammad kepada manusia dan menjadikannya sebagai jalan hidup kita. Jalan hidup yang
dikehendaki Allah, menurut aqidah, adalah jalan hidup Islam.
Jalan hidup Islam itu disebut juga dengan istilah syariat Islam.. Dan karena syariat Islam pula
adalah hukum Allah. Konsekwensinya adalah bagi umat Islam yang secara teoritis dan praktis
dengan bebas telah memilih Islam sebagai agamanya, tidaklah ada jalan lain yang lebih baik yang
harus ditempuhnya selain berusaha sekuat tenaga mengikuti jalan hidup Islam itu sebaik-baiknya
(Osman Raliby, 1980).
C. Pembuktian keberadaan Allah
Bukti keberadaan Allah menurut Hamka (1983) dapat dilihat pada tiga pembuktian: 1)
Dalil kejadian, 2) Dalil peraturan dan pemeliharaan, dan 3) Dalil gerak. Perhatiakan uraian berikut.
1. Dalil kejadian
Manusia telah ada di dunia, namun manusia mengakui bahwasanya dia terjadi bukan atas
kehendaknya. Bukan dia yang menjadikan dirinya sendiri. Bukan dia yang membuat anak. Bumi
tempat hidupnya pun bukan dia yang membuatnya. Sejak manusia lahir sudah mendapati
keberadaan bumi. Langit pun telah menjadi atap tempat berlindung, dan tangannya tidak pernah
ikut membinanya.
Segelintir manusia mengatakan aku tuhan, meskipun mereka tidak mampu menjadikan
seekor nyamuk. Jelaslah bahwa segala sesuatu yang terjadi, dari tidak ada menjadi ada, sebaliknya
dari yang ada menjadi tidak ada, semuanya dari Allah sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa, Dialah yang
merencanakan, mengadakan dengan berbagai bentuk di alam ini.
Bangsa Arab yang mula-mula menerima Alquran dalam masyarakat yang masih sederhana,
dianjurkan melihat unta, bagaimana dia dijadikan; langit bagaimana ia ditinggikan; gunung-gunung
bagaimana ia dipancangkan; dan bumi bagaimana ia dihamparkan. Perhatikan Q.S. Al-Ghasyiah: 17-
20:
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan?. Dan langit,
bagaimana ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi bagaimana ia
dihamparkan?.”
Beberapa ayat disebutkan di atas mengandung makna bahwa dengan melihat kejadian
alam dan sekitarnya, setiap orang yang berakal akan bertanya: “Siapa yang menajdikan semua ini?
Dan jawabannya adalah Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
2. Dalil Peraturan dan Pemeliharaan
Ketika seseorang masuk ke rumah, dilihatnya meja teratur, kamar tersusun,, makanan terhidang,
tempat tidur yang bersih, dan ada pula ruang makan dan ruang tamu. Ada ruang kamar mandi dan
sebagainya. Apalagi kalau dilihat teraturnya pekarangan dan tertatanya bunga. Maka terlintaslah
dalam pikiran orang itu bahwa semua yang teratur dan tertata rapi, ini ada yang mengaturnya.
Lihatlah pula alam di sekitar kita, misalnya tetumbuhan, hewan, air dan udara semuanaya
diperuntukkan kepada manusia.
3. Dalil gerak
Matahari bersinar setiap hari, bulan pun bercahaya pada malam tertentu dan bintang yang
gemerlapan serta berbagai galaksi di angkasa luar, semuanya berjalan dan berputar pada porosnya
mengikuti sunnatullah (hukum alam) yang telah ditentukan oleh sang Pencipta, Tuhan Yang Maha
Kuasa tanpa mengalami kerusakan dan gesekan sedikit pun. Manusia bertanya: ‘Siapakah yang
mengatur dan menggerakkan semua ini, begitu indah dan tertib?. Jawaban atas pertanyaan
tersebut hanya satu dan singkat jawabannya, Dialah Allah Swt.yang mengatur dan menggerakkan
sampai waktu yang telah ditentukan pula oleh-Nya.
1.3. Penutup.
Kebenaran Alquran dan Hadis sahih Nabi atau disebut dengan wahyu sifatnya mutlak atau
tidak diragukan kebenarannya, karena sumbernya dari Allah. Lain halnya dengan kebenaran yang
digali dengan pemikiran yang mendalam dan radikal yang disebut dengan kebenaran filsafat,
sifatnya nisbi dan relatif. Mungkin kebenaran yang kedua disebutkan (kebenaran filsafat) berubah
satu atau dua dasarwarsa berikutnya.
KONSEP MANUSIA MENURUT ISLAM

2.1. Pendahuluan

Manusia dengan proses kejadiannya berjalan berdasarkan dengan sunnatullah atau hukum
alam. Sumber penciptaan dan proses kejadiannya perlu dipahami agar manusia hidup tidak
sombong dan lupa diri dalam beribadah dan sebagai khalifah Allah di bumi.

Dalam bab ini akan dibahas tentang: 1) Konsep manusia, 2) Terminologi dan Istilah manusia
manurut ilmuwan dan Al-Quran, 3). Proses kejadian manusia, 4) Sifat-sifat manusia, martabat dan
peranannya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.

2.2. Penyajian

A. Konsep Manusia
Manusia sebagai ciptaan Allah yang diamanahkan kepadanya sebagai khalifah juga sebagai
hamba-Nya. Poerwadarminta (1983) memberikan pengertian manusia, yaitu makhluk yang berakal
budi (lawan dari pada binatang)…..Berbeda pengertian manusia yang dikemukakan oleh Zakiyah
Darajat dkk (1994) bahwa manusia dalam pandangan kebendaan hanyalah merupakan sekepal
tanah di bumi. Dari bumi asal kejadiannya, di bumi dia berjalan, dari bumi dia makan dan ke dalam
bumi pula dia kembali.

Pengertian manusia kedua di atas menguraikan asal kejadian manusia, tempat dimana ia
hidup dan ke mana berakhir hidupnya pula. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Syahminan
Zaini (1984) bahwa manusia adalah bagian dari alam besar yang ada di bumi, sebagian dari
makhluk yang bernyawa….Demikian pula Abbas Mahmud al-‘Aqqad yang dikutip oleh Zaini bahwa
manusia adalah orang yang bertanggungjawab, diciptakan dengan sifat-sifat ketuhanan.

Dari beberapa pengertian manusia yang dikemukakan ilmuan di atas dapat disimpulkan
bahwa manusia adalah:

1. Makhluk yang diciptakan dari tanah kemudian berproses mengikuti sunnatullah


(hukum alam);
2. Makhluk yang bertanggungjawab atas tugas-tugas kekhalifahannya;
3. Makhluk yang mempunyai sifat-sifat ketuhanan yang terbatas;
4. Makhluk yang berakal, sedhingga akal manusialah yang membedakan dengan
makhluk lain.
B. Terminologi dan Istilah Manusia

Nama lain daripada manusia menurut ilmuwan seperti yang dikutip oleh Syahminan Zaini
(1984) dalam bukunya Mengenal Manusia Lewat Al-Quran dan Muhammad Daud Ali (1998) adalah
sebagai berikut.
1. Linneaus mengatakan: “Manusia adalah “Homo Sapiens” = makhluk yang berbudi
(berakal);
2. Raves mengatakan bahwa manusia adalah “Homo Loquen” = makhluk yang pandai
berbahasa dan menjelmakan pikiran dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun;
3. Bergson mengatakan bahwa manusia adalah “Homo Faber” = makhluk yang pandai
membuat alat pertukangan;
4. Aristoteles mengatakan manusia adalah “Zoon Politicon” = makhluk sosial;
5. Huizinga mengatakan bahwa manusia adalah “Homo Ludens” = makhluk yang suka main.
Menurut Quraisy Syihab (1996); Khaerul Umam (1986); ‘Abdul Baqi (1986) istilah manusia
menurut Al-Quran ada tiga, yaitu:

1. Menggunakan kata yang terdiri atas huruf alif, nun, dan sin semacam insan, ins, nas, unas.
Perhatikan : Q.S. al-‘Ashr: 2; Q.S. al-Zariyat: 56; dan Q.S. an-Nas: 1-3 sebagai berikut.

Artinya: “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.”

Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.”
Artinya: “Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai)
manusia. Raja manusia. Sembahan manusia.”

2. Menggunakan kata basyar. Perhatikan: surat Al-Kahfi: 110:

Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa." Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya."

3. Menggunakan kata “Bani Adam”. Perhatikan Q.S. al-Isra’: 70

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.”

Alquran memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, dan sosial. Manusia
sebagai basyar tunduk kepada takdir Allah sama dengan makhluk lain. Manusia sebagai insan
atau annas bertalian dengan roh Ilahi, memiliki kekebabasan dalam memilih tunduk atau
membangkang terhadap perintah Allah.
Murtadha Mutahhari (dalam Hasanah, 2007) berpendapat bahwa manusia adalah makhluk
serba dimensi, yaitu: 1) secara fisik hampir sama dengan hewan, membutuhkan makan, minum,
istirahat, dan menikah supaya ia dapat hidup, tumbuh, dan berkembang; 2) manusia memiliki
sejumlah emosi yang bersifat etis, yaitu ingin memperoleh keuntungan dan menghindari
kerugian; 3) manusia mempunyai perhatian terhadap keindahan; 4) manusia memiliki
dorongan untuk menyembah Allah; 5) manusia memiliki kemampuan dan kekuatan yang
berlipat ganda, karena ia dikarunia akal, pikiran dan kehendak bebas, sehingga ia mampu
menahan hawa nafsu dan dapat menciptakan keseimbangan dalam hidupnya; dan 6) manusia
mampu mengenal dirinya sendiri. Jika manusia mengenal dirinya, ia akan mencari dan ingin
mengetahui siapa penciptanya, mengapa ia diciptakan, dari apa ia diciptakan, bagaimana proses
penciptaannya, dan untuk apa ia diciptakan.

C. Proses Kejadian Manusia


Kejadian manusia dalam pandangan Islam tidak terlepas dari figur Adam sebagai manusia
pertama kata Quraisy Syihab (1996). Lebih lanjut Rifyal Ka’bah (1978:34) dalam Panji Masyarakat
no 252, 1 Agustus 1978 mengatakan bahwa Al-Quran telah menyampaikan tentang proses kejadian
manusia secara ilmiah dan terinci. Al-Quran menguraikannya dengan ungkapan yang simpel dan
mudah dipahami serta dalam waktu yang sama juga cocok dengan penemuan baru.
Quraisy Syihab (1996) tidak sependapat dengan Rifyal Ka’bah bahwa Al-Quran telah
menguraikan manusia secara rinci. Kata Quraisy Syihab, Al-Quran
hanya menyampaikan bahwa proses kejadian manusia dari segi bahan penciptaannya saja sebagai
berikut:
1. Bahan awal manusia adalah tanah;
2. Bahan tersebut disempurnakan;
3. Setelah proses penyempurnaannya selesai, ditiupkan kepada ruh Ilahi. Perhatikan: Q.S.
al-Hijr: 28-29:

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk.
Artinya: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ruh
(ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
Q.S. Shad: 71-72:

Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan
menciptakan manusia dari tanah."

Artinya: “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya."
Al-Quran menguraikan kejadian manusia dalam dua tahap. Tahap pertama adalah kejadian
manusia dari tanah, Dan tahap kedua kejadian manusia keturunan Adam.

a. Kejadian manusia pertama


Kejadian manusia pertama, al-Quran menjelaskan sebagai berikut:
1. Allah menjadikan seorang manusia, sesudah itu baru Allah
menjadikan isterinya dari bahan yang sama. Dari kedua manusia inilah dikembang-biakkan
Allah keturunannya yang banyak, seperti firman-Nya dalam Surat an-Nisaa ayat 1:

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.
2. Penciptaan manusia pada awalnya adalah jasadnya yang dijadikan dari tanah, seperti
firman-Nya dalam Surat as-Sajadah ayat 7 dan Surat al-Hijr ayat 28:

Artinya: Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah.

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk.”
3. Setelah jasad manusia sempurna Allah meniupkan ruh ke dalam jasadnya, seperti firman-Nya
dalam Surat al-Hijr ayat 29: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan
telah meniupkan ke dalam ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan
sujud.”
Dalam sebuah hadis Qudsi Allah berfirman: “Tatkala ditiupkan ruh ke dalam jasad Adam,
bergerak dan terbanglah ruh itu kepada Adam, sehingga ia bersin dan mengucapkan “al-Hamdu
lillah = segala puji bagi Allah”, lalu Allah menjawab: Allah memberi rahmat kepadamu (Hadis
riwayat Ibnu Hibban, al-Hakim dan Addhia”).
Jelaslah bahwa ruh ditiupkan ke dalam jasmani setelah sempurna kejadiannya. Tetapi, dari
apakah ruh dijadikan Tuhan?, manusia tidak mengetahuinya, karena masalah ruh urusan Allah.
Perhatikan Surat al-Israa ayat 85:

Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit."
Karena itu, manusia tidak akan pernah dapat mengetahui sifat, keadaan dan unsur pokok
ruh itu. Yang diketahui manusia dari ruh itu ialah bahwa dengan ruh itu manusia dapat
menemukan, mengingat, berpikir, mengetahui, berkehendak, memilih, mencintai, membenci.
(Sayyid Sabiq, 1984: 366).
Pakar ilmu jiwa mengatakan bahwa yang dapat diketahui tentang ruh hanya gejala-
gejalanya saja. Atas dasar itulah disusun Ilmu Jiwa. Jadi, Ilmu Jiwa bukanlah ilmu tentang
hakikat ruh, melainkan ilmu yang mengetahui gejala-gejalanya saja.
b. Kejadian manusia keturunan (dari manusia pertama).
1) Keturunan manusia ini dijadikan oleh Allah dari air mani, seperti firman- Nya dalam surat
as-Sajadah ayat 8:

Artinya: “Dia menjadikan keturunanya dari saripati air yang hina (air mani).”
2) Tentang air mani. Al-Quran menjelaskan bahwa ia dari air yang memancar, seperti firman-
Nya dalam Surat al-Qiyamah ayat 37:

Artinya: “Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim).”
Di ayat lain, surat al-insan ayat 2:

Artinya: “Kami menjadikannya dari air mani yang bercampur.”.


Kata ”Sualalah” dalam ayat di atas, dalam bahasa Arab berarti “sesuatu yang
dikeluarkan” atau “yang keluar dari yang lain” atau ”suatu bagian yang terbaik”.
Penyebab sel telur yang mendatangkan kehamilan adalah sel-sel yang sangat kecil
sekali, yang panjangnya kira-kira 1,1000 mm. Dari jutaan sel-sel yang keluar dari pria yang
normal hanya satu yang akan jadi bibit. Sel-sel yang tidak berhasil menerobos dari jalan
mulut vagina melalui terowongan menuju ke rahim tinggal di perjalanan dan penuh. Hanya
satu sel saja dari zat cair yang kompliket ini yang kemudian bisa menjadi anak manusia.
Bagaimana kita tak akan takjub menyaksikan begitu cocoknya pengetahuan modern
dengan uraian al-Quran (Panji Masyarakat, nomor 252, 1 Agustus 1978).
3) Kemudian al-Quran menjelaskan, bahwa sel yang akan menjadi manusia itu di simpan dalam
suatu tempat (qaraar). Tempat ini disekitar daerah kandungan ibu, seperti firman Allah
dalam surat al-Mukminun ayat 12-14:

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah”. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim).”

”Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik.”

4) Al-Quran menjelaskan pula bahwa Allah menjadikan manusia sejodoh, laki-laki dan
perempuan, seperti firman-Nya dalam surat an-Najmi ayat 45:

Artinya: “Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laiki-laki dan


perempuan.”
D. Sifat-Sifat Manusia, Martabat dan Peranannya sebagai Hamba dan Khalifah Allah.
Berbagai rumusan tentang manusia telah pula diberikan orang. Salah satu di antaranya,
berdasarkan studi isi Al-Quran dan Hadis berbunyi bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah
yang memiliki potensi untuk beriman kepada Allah, dengan mempergunakan akalnya mampu
memahami dan mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, bertanggungjawab atas
segala perbuatannya dan berakhlak (Rasyid, 1983: 19). Bertitik tolak dari rumusan tersebut,
menurut ajaran Islam, manusia dibandingkan dengan makhluk lain, mempunyai berbagai ciri,
antara lain ciri utamanya menurut Muhammad Daud Ali (1998: 11-19) adalah:
1. Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang baik, ciptaan Tuhan yang paling
sempurna;
2. Manusia memiliki potensi beriman kepada Allah;
3. Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya;
4. Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah-Nya;
5. Di samping akal, manusia dilengkapi Allah dengan perasaan dan kemauan;
6. Secara individual manusia bertanggungjawab atas segala perbuatannya;
7. Berakhlak.

Uraian masing-masing unsur di atas adalah sebagai berikut:


1). Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang baik, ciptaan Tuhan yang paling
sempurna.
Manusia sebagai makhluk yang paling unik di antara makhluk lainnya, seperti firman Allah
dalam Q.S. at-Tin: 4):

Artinya: “sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya.”
Karena itu pula keunikannya dari makhluk ciptaan Tuhan yang lain dapat dilihat pada
bentuk dan struktur tubuhnya, gejala-gejala yang ditimbulkan jiwanya, mekanisme yang terjadi
pada setiap organ tubuhnya, proses pertumbuhannya melalui tahap-tahap tertentu. Hubungan
timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya, ketergantungannya pada sesuatu,
menunjukkan adanya kekuasaan yang berada di luar manusia itu sendiri. Manusia sebagai
makhluk, karena itu seyogyanya menyadari kelemahannya. Kelemahan manusia berupa sifat
yang melekat pada dirinya disebutkan Allah dalam Al-Quran, di antaranya adalah sebagai
berikut.
a. Melampaui batas. Perhatikan Q.S. Yunus ayat12:

Artinya: “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan
berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia
(kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami
untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang
melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.”

b. Zalim seperti firman Allah dalam Q.S.Ibrahim: 34


Artinya: “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu
mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari
(nikmat Allah).”

c. Tergesa-gesa seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Isra’: 11

Artinya: “Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan.
Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”
d. Suka membatah seperti firman Allah dalam Q.S. al-Kahfi: 54

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini
bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak
membantah.”
e. Berkeluh kesah dan kikir seperti firman Allah dalam Q.S. al-Ma’arij: 19-21.

Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia
ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.”
f. Ingkar dan tidak berterima kasih seperti firman Allah dalam Q.S. Al-‘Adiyat: 6
Artinya: “sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada
Tuhannya.”
Namun untuk kepentingan dirinya sendiri manusia harus senantiasa berhubungan
dengan penciptannya, dengan sesama manusia, dengan dirinya sendiri, dan dengan alam
sekitarnya. Oleh karena itu, manusia mempunyai beberapa potensi sebagai berikut.
1) Manusia memiliki potensi (daya atau kemampuan yang mungkin dikembangkan) beriman
kepada Allah. Sebab sebelum ruh (ciptaan) Allah dipertemukan jasad di rahim ibunya, ruh
yang ada di alam gaib itu ditanyai Allah, apakah mereka mengakui Allah sebagai Tuhan
mereka? = Alastu birabbikum. Ruh menjawab: Balaa syahidnaa artinya Engkau Tuhan kami.
Dengan pengakuan seperti itu, sesungguhnya sejak awal, dari tempat asalnya manusia telah
mengakui Tuhan, telah bertuhan, berketuhanan. Pengakuan dan penyaksian bahwa Allah
adalah Tuhan ruh yang ditiupkan ke dalam rahim wanita yang sedang mengandung
manusia itu berarti bahwa manusia mengakui pula kekuasaan Tuhan, termasuk kekuasaan
Tuhan menciptakan agama untuk pedoman hidup manusia di dunia ini. Ini bermakna pula
bahwa secara potensial manusia percaya atau beriman kepada ajaran agama yang
diciptakan Allah Yang Maha Kuasa.
2) Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Tugas manusia untuk mengabdi
kepada Allah dengan tegas dinyatakan-Nya dalam al-
Quran surat al-Zaariyaat ayat 56:

Artinya: “Tidak Kujadikan jin dan manusia melainkan mengabdi kepada-Ku.”


Mengabdi kepada Allah dapat dilakukan manusia melalui dua jalur, jalur khusus dan
jalur umum. Pengabdian melalui jalur khusus dilaksanakan dengan melakukan ibadah
khusus yaitu segala upacara pengabdian langsung kepada Allah yang cara dan waktunya
telah ditentukan oleh Allah sendiri. Sedang rinciannya dijelaskan oleh Rasul-Nya, seperti
ibadah salat, zakat, shaum, dan haji.
Pengabdian melalui jalur umum dapat diwujudkan dengan melakukan perbuatan-
perbuatan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat, dengan niat yang ikhlas
untuk mencari keridhaan Allah.
3) Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifah-Nya di bumi. Hal itu dinyatakan Allah
dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 30:
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."

Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi. Perkataan “menjadi khalifah” dalam
ayat tersebut menurut H.M. Rasyidi (1972) mengandung makna bahwa Allah menjadikan
manusia wakil atau pemegang kekuasaan-Nya mengurus dunia dengan jalan melaksanakan
segala yang diridhai-Nya di muka bumi.

Dalam mengurus dunia, sesungguhnya manusia diuji, apakah ia akan melaksanakan


tugasnya dengan baik atau sebaliknya mereka malas. Mengurus dengan baik adalah
mengurus kehidupan dunia ini sesuai dengan kehendak Allah, sesuai dengan pola yang
telah ditentukan-Nya, agar kemanfaatan alam semesta dan segala isinya dapat dinikmati
oleh manusia dan makhluk lainnya. Kalau sebaliknya, pengurusan itu tidak baik, artinya
tidak sesuai dengan pola yang telah ditetapkan Allah. Malapetaka, sebagai akibat salah urus
akan dirasakan oleh manusia, juga oleh lingkungan hidupnya.
Untuk dapat melaksanakan tugasnya menjadi kuasa atau khalifah Allah, manusia diberi
akal pikiran dan kalbu, yang tidak diberi kepada makhluk lain. Dengan akal pikirannya
manusia mampu mengamati alam semesta, menghasilkan dan mengembangkan ilmu, yang
benihnya telah “disemaikan” Allah sewaktu mengajarkan nama-nama (benda) kepada
manusia (Adam) menjadi khalifah-Nya di bumi ini dahulu. Perhatikan firman Allah dalam
Q.S. al-Baqarah ayat 31.

Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,


kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-
Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

Dengan akal dan pemikirannya yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi,
manusia diharapkan mampu mengembangkan amanah sebagai khalifah-Nya di bumi.
Manusia diharapkan akan dapat mencapai tujuan hidupnya memperoleh keridhaan Ilahi di
dunia ini, sebagai bekal mendapatkan keridhaan Allah di akhitat nanti.
4) Di samping akal, manusia dilengkapi dengan perasaan dan kemauan. Dengan akal dan
kehendaknya manusia akan tunduk dan patuh kepada Allah, menjadi muslim; tetapi dengan
akal dan kehendaknya juga manusia tidak dapat dipercaya, tidak tunduk dan tidak patuh
kepada kehendak Allah, bahkan mengingkari-Nya (kafir). Karena itu di dalam surat al-Kahfi
ayat 29 Allah berfirman:

Artinya: “Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir."
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum
dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang
paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

Di ayat lain Surat al-Insan ayat 3 Allah berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada (manusia) yang
bersyukur tapi ada pula yang kafir.”
Allah telah menunjukkan jalan kepada manusia. Manusia dapat mengikuti jalan itu, dapat
pula tidak mengikutinya. Memang, dengan kemauan atau kehendaknya yang bebas manusia
dapat memilih jalan yang akan ditempuhnya. Namun tentang pilihannya itu, manusia wajib
mempertanggungjawabkannya kelak di akhirat, pada hari perhitungan mengenai baik
buruknya perbuatan manusia di dunia ini.
5) Secara individual manusia bertanggungjawab atas segala perbauatannya. Ini dinyatakan
Tuhan dalam firman-Nya yang kini dapat dibaca dalam Alquran surat Thur ujung ayat 21
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan Kami tiada
mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa
yang dikerjakannya.

6) Berakhlak.
Berakhlak adalah ciri utama manusia dibandingkan dengan makhluk lain. Artinya,
manusia adalah makhluk yang diberi Allah kemampuan untuk membedakan yang baik
dengan yang buruk. Dalam Islam kedudukan akhlak sangat penting, menjadi komponen
ketiga agama Islam. Kedudukan itu dapat dilihat dari Sunnah Nabi yang mengatakan bahwa
beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Suri teladan yang diberikan Nabi
semasa hayatnya merupakan contoh yang seyogyanya diikuti oleh umat Islam. Selain dari
keteladanan beliau, butir-butir akhlak banyak sekali terdapat dalam al-Quran. Ajakan
akhlak yang berasal dari al-Quran dan Hadis berlaku abadi, selama-lamanya.
Perwujudannya kelihatan pada sikap yang dilanjutkan dengan perbuatan baik atau buruk.

2.3. Penutup
Manusia pertama (Nabi Adam) diciptakan dari tanah kemudian keturunannya berkembang
dari keturunan Adam dan Hawa. Dari kedua manusia inilah, manusia berkembang biak mengikuti
ketetapan Allah, dan ditugaskan Allah sebagai khalifah di bumi dengan berpedoman kepada
hokum-hukum Allah dan rasul-Nya.
BAB III
HUKUM DAN HAM DALAM ISLAM

3.1. Pendahuluan

Hukum atau peraturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya wajib dijalankan oleh
manusia muslim agar hidupnya damai dan tertib. Selain hukum Islam, manusia sebagai bangsa dan
warga masyarakat wajib mengikuti hukum yang telah ditetapkan oleh ulil amri (pemerintah)
selama aturan dan ketetapan pemerintah tidak membawa masyarakat pada kemudaratan atau
kesesatan.

Dalam bab ini akan diuraikan: 1) Sumber-Sumber Hukum Islam, 2) Hukum Nikah, 3)
Hukum Waris, 4) Hukum Bermuamalah dengan Bank Konvensional, 5) Hukum Bermuamalah
dengan Asuransi, 6) Hukum Bermuamalah dengan Koperasi, dan Hak Azasi Manusia. dalam Islam.
Uraian masing-masing sub pokok bahasan di atas adalah sebagai berikut.

3.2. Penyajian

A. Sumber Hukum Islam

Syariah atau hukum Islam yang sumbernya secara umum ada dua: Al-Quran dan Hadis. Di
antara ulama ada yang mengatakan tiga. Selain yang dua disebutkan dimasukkan ijtihad.
Sumber hukum yang ketiga meliputi ijma’ dan qiyas. Agar jelas masing-masing sub pokok
bahasan di atas maka diuraikan sebagai berikut.

1. Al Quran
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam pertama dan utama. Menurut keyakinan umat Islam
yang diakui kebenarannya oleh penelitian ilmiah, al-Quran adalah kitab suci yang memuat firman-
firman Allah, sama benar yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai
Rasul Allah sedikit demi sedikit selama 22 tahun lebih, mula-mula di Mekah kemudian di Madinah.
Tujuannya, untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan
kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan akhirat.

Al-Quran yang menjadi sumber nilai dan norma umat Islam itu menurut Muhammad Daud
Ali (1998) terbagi ke dalam:

1. 30 juz (bagian)
2. 114 surat (bab)
3. 6666 ayat
4. 74.499 kata atau 325.345 huruf (atau lebih tepat dikatakan 325.345 suku kata bila
dilihat dari sudut pandang bahasa Indonesia)
Nasaruddin Razak (dalam Daud Ali, 1998) mengatakan bahwa Al-Quran tidak disusun
secara kronologis. Lima ayat pertama diturunkan di Gua Hira’ pada malam 17 Ramadhan tahun
pertama sebelum hijrah atau pada malam nuzulul Quran ketika Nabi Muhammad berusia 40
tahun, sekarang kelima ayat itu terletak pada awal surat al-‘Alaq 1-5.

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Ayat terkahir diturunkan di ‘Arafah, ketika Nabi Muahammad saw berusia 63 tahun
pada tanggal 9 Zulhijjah tahun ke-10 hijrah, kini ayat itu terletak pada surat al-Maidah ayat
tiga. Perhatikan Q.S. al-Maidah ayat 3:
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi
nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada
hari ini, orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa, karena kelaparan
tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat-ayat al-Quran turun dalam dua periode, Mekah dan Madinah. Ayat atau surat
yang turun sebelum Nabi hijrah ke Madinah disebut ayat atau surat Makkiyah, sedangkan
ayat atau surat yang turun sesudah Nabi hijrah ke Madinah disebut ayat atau surat
Madaniyah. Ciri-ciri kedua istilah tersebut:

1. Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya pendek-pendek. Jumlah juz, surat dan ayatnya
19/30, 86/114, dan 4.780 ayat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah pada umumnya
panjang-panjang. Jumlah juz, surat dan ayatnya 11/30, 28/114 dan 1.456 ayat.
2. Ayat-ayat Makkiyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhannaas (hai manusia)
sedangkan ayat Madaniyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhlladziina aamanuu (hai
orang-orang yang beriman).
3. Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya mengenai tauhid yakni keyakinan pada
Kemahaesaan Allah, hari kiamat, akhlak dan kisah-kisah umat manusia di masa lalu,
sedang ayat Madaniyah memuat masalah hukum, keadilan, masyarakat dan sebagainya.
4. Ayat-ayat Makkiyah diturunkan selama 12 tahun lebih sedang ayat-ayat Madaniyah
selama 10 tahun lebih (Nasaruddin Razak, 1977: 90).
Sistematika penyusunan Al-Quran ditetapkan oleh Allah sendiri melalui malaikat Jibril
yang disampaikan kepada Rasul-Nya Muhammad, Dalam ilmu Usul Tafsir disebut Tauqifi
(Quraisy Syihab, 1996: 34). Sistematika Al-Quran tidak seperti buku (ilmiah), mengikuti
metode tertentu. Oleh karena itu, bila kita membaca al-Quran, masalah akidah misalnya,
berdampingan dengan soal hukum, sejarah umat yang lalu disatukan dengan nasihat,
dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Soal perang
berurutan dengan hukum minuman-minuman yang memabukkan, perjudian, pemeliharaan
anak yatim dan perkawinan dengan orang musyrik. Misalnya surat al-Baqarah ayat 216 dan
221:

Artinya; “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang
kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Menurut Quraisy Syihab (1996) dalam bukunya “Membumikan Al-Quran” maksud


sistematika demikian adalah agar orang mempelajari dan memahami al-Quran sebagai satu
kesatuan yang harus ditaati.

Selama 23 tahun Alquran diturunkan, jika dikaji isinya, maka ada lima petunjuk isi al-
Quran secara garis besar:

a. Mengenai aqidah yang harus diyakini oleh manusia;


b. Mengenai syari’ah = jalan yang harus diikuti manusia dalam berhubungan
dengan Allah dan dengan sesama manusia demi kebahagiaan hidupnya di dunia dan di
akhirat kelak.
c. Mengenai akhlak = yang baik dan yang buruk manusia harus mengindahkannya
dalam kehidupan, baik kehidupan individu maupun kehidupan sosial.
d. Kisah-kisah umat manusia di zaman lampau.
e. Berita-berita tentang zaman yang akan datang.
2. Hadis

Hadis sumber ajaran Islam yang kedua. Ayat-ayat al-Quran yang kandungannya
umum dirinci dalam hadis Nabi. Misalnya “Dirikan salat dan keluarkan zakat”. Ayat ini
hanya memerintahkan mendirikan salat dan mengeluarkan zakat, tetapi tidak dirinci salat
apa dan berapa rakaatnya, demikian pula zakat, tidak dirinci kapan dan berapa kadar harta
itu dikeluarkan.

Hadis menurut pengertian kebahasaan adalah berita atau sesuatu yang baru. Dalam
ilmu hadis istilah tersebut berarti segala perkataan, perbuatan dan sikap diam Nabi tanda
setuju (taqrir). Para ahli hadis, umumnya, menyamakan istilah hadis dengan istilah sunnah.
Namun, ada sementara ahli hadis mengatakan bahwa istilah hadis dipergunakan khusus
untuk sunnah qauliyah (perkataan Nabi), sedang sunnah fi’liyah (perbuatan) dan sunnah
taqririyah tidak disebut hadis, tetapi sunnah saja. Dengan demikian, sunnah lebih luas dan
umum dibandingkan dengan hadis. Sebab, sunnah meliputi perkataan, perbuatan dan sikap
diam Nabi tanda setuju. Inilah sebabnya, mengapa untuk semua yang datang dari Rasulullah
(perkataan, perbuatan, dan sikap diam beliau) biasa dipergunakan perkataan hadis. Dalam
hubungan kajian ini, perlu ditambahkan, bahwa sunnah atau hadis Nabi kini dihimpun
dalam berbagai kitab hadis.

Sebagai sumber agama dan ajaran Islam, hadis mempunyai peranan penting setelah
al-Quran sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya
dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan
diamalkan. Di dalam Alquran, Surat Al Hasyr ayat 7:
Artinya: ”Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk
Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat
keras hukumannya.”

Ada tiga peranan hadis disamping al-Quran sebagai sumber agama dan sumber
ajaran Islam:

1. Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam Alquran, misalnya mengenai
salat. Ketentuan itu ditegaskan lagi pelaksanaannya dalam sunnah Rasulullah. Contoh:
mengenai shaum. Di dalam Alquran terdapat ayat mengenai puasa Ramadhan, tetapi
pelaksanannya ditegaskan dan dikembangkan lebih lanjut oleh Nabi melalui sunnah
beliau. Demikian juga halnya dengan zakat dan haji.
2. Sebagai penjelasan isi Alquran. Dengan mengikuti contoh di atas, misalnya mengenai
salat. Di dalam Alquran Allah memerintahkan manusia mendirikan salat. Namun, di
dalam kitab suci itu tidak dijelaskan mengenai banyaknya rakaat, cara, rukun dan syarat
mendirikan salat. Nabilah yang menyebut sambil mencontohkan jumlah rakaat setiap
salat, cara, rukun, dan syarat mendirikan salat. Demikian juga halnya dengan shaum dan
haji.
3. Menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar
ketentuannya di dalam Alquran. Contoh: adalah larangan Nabi mempermadu
(mengawini) sekaligus atau mengawini pada waktu (bersamaan) seseorang perempuan
dengan bibinya. Larangan ini tidak terdapat dalam larangan-larangan perkawinan di
surat an-Nisaa’ ayat 23. Perhatikan ayat tersebut.
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu
yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-
anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”

Dilihat dari hikmah larangan itu jelas, bahwa larangan tersebut mencegah rusak
atau putusnya hubungan silaturrahmi antara dua kerabat dekat yang tidak disukai oleh
agama Islam.. Dengan larangan itu, Nabi seakan-akan mengisi “kekosongan” mengenai
larangan perkawinan (Ali, 1998: 114-115).

Melalui kitab-kitab hadis yang memuat sunnah Rasulullah, dikalangan Sunni


terkenal “kutubussittah” = enam kitab hadis, yaitu:

1. Kitab Sahih Bukhari


2. Kitab Sahih Muslim
3. Kitab Sunan Abu Daud
4. Kitab Sunan an-Nasaai
5. Kitab Sunan At-Turmudzy
6. Kitab Sunan Ibnu Majah
Tanpa Sunnah sebagian besar isi Alquran akan tersembunyi dari mata manusia.. Di
dalam Alquran tertulis misalnya perintah untuk mengerjakan salat. Tanpa sunnah, orang
tidak akan tahu bagaimana cara mengerjakannya.

Selain hadis Nabi, ada hadis yang disebut dengan hadis Qudsi yang tidak menjadi
bagian al-Quran, tetapi di dalamnya Tuhan berbicara melalui Nabi, disampaikan dengan
kata-kata Nabi sendiri. Hadis qudsi adalah hadis yang disampaikan oleh Nabi Muhammad
saw yang maknanya dari Allah swt. sedang membacanya tidak bernilai ibadah. Meskipun
hadis Qudsi jumlahnya sedikit, tetapi peranannya sangat penting sehingga menjadi dasar
kehidupan spritual Islam bersama dengan beberapa surat tertentu di dalam Alquran.

Isi hadis Qudsi kebanyakan tentang hubungan langsung antara manusia dengan
Tuhan seperti tersirat dalam Hadis Qudsi yang terkenal yang sering diucapkan berulang-
ulang oleh para sufi sepanjang masa: “Hambaku tidak pernah berhenti mendekatkan
dirinya kepada-Ku melalui pengabdian yang bebas sampai Kucintai dia. Dan apabila telah
kucintai dia, maka Akulah pendengaran dengan apa ia dengar, mata dengan apa ia lihat,
tangan dengan apa ia berjuang, kaki dengan apa ia berjalan”

3. Ijtihad

Sebagai sumber ajaran Islam yang ketiga, kedudukan akal pikiran manusia menjadi
syarat penting dalam sistem ajaran Islam. Di dalam kepustakaan, sumber ajaran Islam yang
ketiga ini disebut istilah ar-Ra’yu atau sering juga disebut kata ijtihad. Istilah terakhir
disebutkan (ijtihad) diartikan dengan “usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh
seseorang atau beberapa orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan pengalaman
tertentu yang memenuhi syarat untuk mencari, menemukan dan menetapkan nilai dan
norma yang tidak jelas atau tidak terdapat patokannya di dalam Alquran dan Hadis.” (Ali,
1998). Pengertian ijtihad menurut Suryana dkk (1996) agak berbeda yang disampaikan
Muhamad Daud Ali di atas, yaitu: menggunakan seluruh kesanggupan dan kemampuan
untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan mengeluarkan dari Kitab dan Sunnah.
Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa orang yang melakukan ijtihad disebut “ Mujtahid”
yaitu ahli fikhi yang menghabiskan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh
persangkaan yang kuat terhadap suatu hukum agama dengan jalan istimbath
(mengeluarkan) hukum dari Alquran dan Sunnah.
Kebenaran hasil ijtihad tidaklah mutlak, melainkan persangkaan yang kuat kepada
benar, karena itu mungkin saja antara satu mujtahid dengan mujtahid yang lain hasilnya
berbeda, karena perbedaan pengalaman, ilmu dan adat kebiasaan yang berpengaruh
kepada hasil ijtihad mereka.
Masalah yang dijtihadkan adalah masalah:
1. Hukum yang tidak mempunyai dalil yang pasti;
2. Bukan masalah hukum akal;
3. Bukan masalah yang berhubungan dengan ilmu kalam;
4. Bukan masalah yang sudah mempunyai dalil yang pasti.
Ijtihad ada dua macam: 1) ijtihad perorangan dan 2) ijtihad kelompok. Ulama
mujtahid melakukan ijtihad dengan memperhatikan dalil-dalil yang tinggi tingkatannya
kemudian berurut kepada tingkatan berikutnya. Urutan tersebut sebagai berikut:
1. Nash Alquran
2. Hadis mutawatir
3. Hadis Ahad (yang sahih)
4. Zhahir Quran dan Zhahir Hadis
Berijtihad tidak bisa dilakukan oleh siapa saja, tetapi hendaklah orang yang
berijtihad itu memiliki kapasitas dan kualifikasi ilmu yang memadai. Untuk itu, seorang
mujtahid harus memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Menguasai ayat-ayat dan hadis-hadis hukum;
2. Menguasai bahasa Arab dan segala gramatikalnya;
3. Menguasai kaedah-kaedah ilmu Ushul;
4. Menguasai soal-soal ijma’ (kesepakatan ulama);
5. Menguasai ayat-ayat yang di-nasikh dan ayat-ayat yang di-mansukhkan;
6. Menguasai ilmu Riwayah dan dapat membedakan antara hadis sahih, hasan dan
dha’if.
Ijtihad dewasa ini, tidak hanya dilakukan oleh pakar agama saja, tetapi juga
melibatkan pakar-pakar yang lain yang relevan dengan masalah yang sedang dibahas,
Misalnya masalah kedokteran dan masalah teknologi dan sebagainya.
Perlu diingatkan, bahwa fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat
meliputi 1) fungsi ibadah, 2) fungsi amar ma’ruf nahi mungkar, 3) fungsi pengaturan, yaitu
berfungsi sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses
interkasi sosial sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, sejahtera, dan aman.
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia semakin jelas,
antara lain: 1) UU No 1 1974 tentang Perkawinan; Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, UU Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Waqaf, dan UU Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

B. Pernikahan
Sebelum menguraikan hukum-hukum nikah, terlebih dahulu dijelaskan pengertian nikah,
yaitu:
1. Pengertian Nikah
Nikah menurut bahasa berarti menghimpun, sedangkan menurut istilah berarti akad yang
menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan
hak dan kewajiban antara keduanya. Pernikahan dalam arti luas adalah suatu ikatan lahir dan batin
antara dua orang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan
untuk mendapatkan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat Islam.
(Kompilasi Hukum Islam, 1991/1992)
2. Hukum Nikah
Asal hukum pernikahan boleh, tetapi selanjutnya hukum itu sangat tergantung kepada
kondisi atau keadaan orang yang bersangkutan, karena itu hukum nikah bisa wajib, sunnat, mubah,
makruh dan haram (Suryana dkk, 1996: 95).
a. Nikah yang hukumnya wajib adalah nikah bagi orang yang telah cukup sandang, pangan
dan papan dan dikhawatirkan terjerumus kepada perzinaan.
b. Nikah yang hukumnya sunnat (boleh) adalah bagi orang yang berkeinginan menikah serta
memiliki kemampuan sandang, pangan dan papan dan tidak dikhawatirkan terjerumus kepada
kemaksiatan.
c. Nikah yang makruh adalah nikah bagi orang yang tidak mampu lahir dan tidak mampu batin.
d. Nikah yang hukumnya haram adalah nikah bagi orang yang menikah bukan karena Allah, tetapi
karena hartanya saja, kecantikannya saja atau ada niat balas dendam atau menyakiti wanita
yang dinikahinya.

3. Tujuan Nikah
Pernikahan dalam Islam bertujuan selain menghalalkan hubungan seksual dua orang yang
berbeda jenis kelamin, mendapatkan keturunan, juga bertujuan untuk dalam arti luas, yaitu
bagaimana mewujudkan generasi yang salih dan salihah serta cerdas sebagai harapan
kelangsungan pembangunan agama, bangsa dan negara dari pasangan suami-isteri yang sakinah.
Perhatikan firman Allah dalam Alquran Surat al-rum ayat 21:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Rasulullah bersabda: “Nikah itu sunnahku, barang siapa membenci pernikahan, maka ia
tidak termasuk umatku.” Dalam hadis Nabi yang lain: “Nikah itu setengah iman.”

4. Perempuan yang haram dinikahi

Adapun perempuan yang haram dinikahi adalah:

a.. Diharamkan karena keturunan:

Ibu ke atas;

1). Anak perempuan dan seterusnya ke bawah;

2). Saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu;

3). Bibi (saudara ibu, baik sekandung atau perantaraan ayah dan ibu);

4). Bibi (saudara ayah baik sekandung atau dengan perantaraan ayah atau ibu)

5). Anak perempuan dari saudara laki-laki terus ke bawah;

6). Anak perempuan dari saudara perempuan terus kebawah.

b. Diharamkan karena susuan

a. Ibu yang menyusui


b. Saudara perempuan yang mempunyai hubungan susuan
c. Diharamkan karena suatu perkawinan

a. Mertua dan seterusnya ke atas, baik ibu dari keturunan maupun susuan
b. Anak tiri, jika sudah campur dengan ibunya
c. Isteri ayah dan seterusnya ke atas
d. Wanita-wanita yang pernah dikawini ayah, kakek sampai ke atas
e. Menantu dan seterusnya
d. Diharamkan untuk sementara

a. Pertalian nikah, yaitu perempuan yang masih dalam ikatan pernikahan, kalau sudah
dicerai dan habis masa iddahnya boleh dinikahi
b. Talak baik kubra, yaitu perempuan yang ditalak dengan talak tiga, haram dinikahi
oleh bekas suaminya, kecuali telah dinikahi oleh laki-laki lain serta telah dicampuri,
apabila cerai dan habis masa iddahnya boleh dinikah oleh bekas suamniya yang
pertama.
c. Menghimpun dua perempuan bersaudara, apabila salah satu telah dicerai atau
meninggal, maka yang lainnya boleh dinikah.
d. Menghimpun perempuan lebih dari berlainan agama, apabila perempuan itu masuk
Islam boleh dinikah.
5. Pelaksanaan Nikah

Pernikahan dinyatakan sah apabila lengkap rukun-rukunnya, yaitu 1) Kedua calon


pengantin, 2) wali, 3) dua orang saksi, 4) mahar atau mas kawin, 5) ijab kabul

Masing-masing rukun nikah tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Calon pasangan sumai-isteri, yaitu laki-laki muslim dan perempuan muslimah yang tidak
diharamkan untuk menikah
2) Wali, yaitu orang yang bertanggungjawab menikahkan pengantin perempuan, baik wali
nasab maupun wali hakim.
Wali nasab adalah wali yang ada hubungan darah dengan permpuan yang akan
dinikahkan. Urutan orang yang menjadi wali bagi perempuan yang dinikahkan sebagai
beriktu:

1. Ayah kandung
2. Kakek dari ayah
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki seayah
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
7. Saudara laki-laki sekandung dari ayah
8. Saudara laki-laki seayah dari ayah
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu se ayah dari ayah
10. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dari ayah
Urutan wali-wali di atas secara berurut diberlakukan mulai pertama sampai ke bawah,
bila urutan pertama tidak ada atau berhalangan. Sedangkan wali hakim adalah wali yang
diangkat untuk menikahkan perempuan yang tidak memiliki atau karena sesuatu hal tidak
ada wali nasab.

3). Saksi, yaitu dua orang laki-laki dewasa yang menjadi saksi atas terjadinya suatu pernikahan
untuk menguatkan akad nikah yang terjadi dan menjadi saksi keabsahan keturunan yang
lahir dari pernikahan tersebut.
4). Mahar, yaitu pemberian pihak laki-laki kepada perempuan pada saat pernikahan. Jumlah
dan jenis mahar tidak ditentukan oleh ajaran Islam, tetapi dianjurkan untuk disesuaikan
dengan kemampuan laki-laki. Apabila pasangan itu bercerai sebelum bercampur, maka laki-
laki memiliki hak untuk menerima pengembalian maharnya sebanyak seperduanya, tetapi
apabila perceraian itu terjadi sesudah bercampur, maka perempuan memiliki hak
sepenuhnya terhadap mahar yang diterimanya pada saat pernikahan. Mahar adalah hak
perempuan (isteri), karena itu jika isteri tidak memberikan atau menyetujui pemakainnya
bersama-sama dengan suaminya, maka harta yang diperoleh dari mahar itu tetap menjadi
milik isteri, sehingga apabila terjadi perceraian di kemudian hari, harta yang diberikan
sebagai mahar tidak dijadikan harta yang dibagi dengan suaminya, atau apabila suami
meninggal lebih dahulu, maka mahar itu bukan harta pusaka suami. Tetapi apabila isteri
meridai harta mahar itu digunakan untuk berdua, maka harta itu menjadi milik bersama.
5). Ijab kabul. Ijab adalah ucapan penyerahan dari wali perempuan kepada pihak laki-laki dan
qabul adalah ucapan penerimaan pihak laki-laki atas penyerahan perempuan dari walinya.
Ucapan ijab qabul yang umum digunakan di Indonesia antara lain sebagai berikut:
Wali: Aku nikahkan engkau dengan anakku (disebut nama pengantin perempuan) dengan
mas kawin (sebut jenis, jumlah) tunai. Qabul dari pengantin laki-laki: Aku terima nikahnya
(sebut nama perempuan) dengan mas kawin (sebut jenis, jumlah) tunai.
Setelah ijab qabul dilakukan, maka sahlah pasangan itu sebagai suami-isteri. Masing-masing
memiliki hak dan kewajiban, yaitu suami berkewajiban memberikan nafkah lahir batin,
memberikan sandang pangan dan papan, memberikan keamanan dan ketenteraman dalam
keluarga. Sementara itu ia pun memiliki hak mendapatkan pelayanan dan ketaatan dari
isterinya. Sedangkan isteri memiliki kewajiban untuk mentaati suami, mengelola nafkah dan
mengatur tata laksana rumah tangga dengan baik.
Hak dan kewajiban suami isteri pada dasarnya seimbang dan bentuknya dapat dibicarakan
dan disepakati bersama. Suami adalah pemimpin dalam keluarga yang membimbing dan
memberi arah yang jelas dalam mencapai tujuan keluarga. Dalam memegang kepemimpinan
tersebut suami dituntut untuk berlaku adil dan mengembangkan musyawarah dalam keluarga,
sehingga dalam keluarga terjadi komunikasi, saling memperlihatkan dan saling memberikan
kasih sayang (A. Toto Suryana, 1996).

6. Hikmah Pernikahan

Hikmah pernikahan, secara garis besarnya adalah:

1.Memelihara derajat manusia agar terhindar dari sifat-sifat kebinatangan


2.Menjaga garis keturunan seperti yang diperintahkan Rasul, bahwa “Aku bangga di hari
Kemudian kelak mempunyai umat yang banyak”
3.Mengembangkan kasih sayang seperti firman Allah: “Sebagian tanda-tanda kebesaran-Ku
adalah menciptakan manusia berpasang-pasangan agar mereka rukun, sakinah penuh
cinta dan kasih sayang.
Kewarisan Islam
SYARIAT Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di
dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan
dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang
sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa
membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak
kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan
sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu,
paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian
waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma'
para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali
ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal
demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan
dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi
individu maupun kelompok masyarakat.
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing (Kompilasi Hukum Islam, 1991/1992: 89).

Mawaris menurut bahasa adalah perpindahan dari sesuatu kepada orang lain, baik
perpindahan konkrit maupun abstrak. Adapun perpindahan yang konkrit misalnya perpindahan
harta benda. Sedang perpindahan abstrak seperti perpindahan ilmu pengetahuan(Yunus, 1987: 1).

Menurut istilah mawaris adalah aturan yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka,
pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat disampaikan kepada pembagi harta pusaka dan
pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak
pusaka (Suryana dkk, 1996: 111).

Selanjutnya, dalam buku tersebut dijelaskan beberapa pengertian yang berkaitan dengan
kewarisan sebagai berikut:

1. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan Pengadilan Islam, meninggalkan ahli waris dan
harta peninggalan.
2. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
3. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
4. Harta warisan dalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat (hibah).
5. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga
yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
6. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
7. Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari,
biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal
kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.
8. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan atau kas negara.
Setelah mayat dikuburkan, keluarganya wajib mengelola harta peninggalannya dengan
langkah-langkah: 1) Membiayai perawatan jenazahnya, 2) Membayar zakatnya, jika si mayat belum
mengeluarkan zakat sebelum meninggal dunia, 3) Membayar utang-utangnya apabila mayat
meninggalkan utang, 4) Membayar wasiatnya, jika si mayat mewasiatkan sebelum meninggal dunia,
dan 5) Setelah dibayarkan semua, tentukan sisa harta peninggalan milik mayat sebagai harta
pusaka yang dinamai tirkah atau harta yang akan dibagikan kepada ahli waris masyat berdasarkan
ketentuan hukum waris Islam.

Seseorang berhak pusaka mempusakai disebabkan oleh hal-hal berikut:

1. Perkawinan = adanya ikatan yang sah antara laki-laki dan perempuan sebagai
suami isteri. Keduanya memiliki hak waris mewarisi yang tidak terhalang oleh ahli
waris manapun.
2. Kekerabatan = hubungan nasab antara orang yang mewariskan dan orang yang
mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Hubungan ini tidak akan terputus, karena
yang menjadi sebab adanya seseorang tidak bisa dihilangkan.
3. Perwalian = kekerabatan yang timbul karena membebaskan budak, dan
kekerabatan yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah
setia antara seseorang dengan orang lain. Pembagian harta pusaka dalam Islam
telah ditentukan dengan rinci dan jelas.
Banyak riwayat yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat-ayat waris, di antaranya
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad bin ar-Rabi'
datang menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orang putrinya. Ia berkata, "Wahai
Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada
ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan
Sa'ad, tanpa meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya." Kemudian Rasulullah saw. bersabda,
"Semoga Allah segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat tentang waris yaitu (an-Nisa':
11).

Perincian dan penjelasannya sebagai berikut:


1. Pusaka dengan sebab perkawinan ada dua, yaitu Isteri dan suami.

a. Bagian isteri ada dua macam: a) seperempat = jika suami tidak mempunyai anak,
baik laki-laki maupun perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki terus ke
bawah, b) seperdelapan = jika suami mempunyai anak (Dasar hukumnya: tugas
anda, tulis dan terjemahkan surat an-Nisaa’ ayat 12)
b. Bagian Suami: 1) seperdua = jika isterinya tidak mempunyai anak, baik laki-laki
maupun perempuan atau cucu perempaun ke bawah, 2) seperempat = jika isterinya
meninggalkan anak atau cucu. (dasar hukunya: tugas anda, tulis dan terjemahkan
surat an-Nisaa’ ayat 12)
2. Pusaka dengan sebab kekerabatan ada tiga, yaitu: anak perempuan, anak laki-laki dan
cucu perempuan dari anak laki-laki.

a. Anak perempuan.
Bagian anak perempuan ada tiga kemungkinan: 1). Seperdua = jika ia sendiri saja, tidak ada
saudaranya laki-laki (tugas Anda: tulis dan terjemahkan sebagian surat an-Nisaa’ ayat 11); 2) Dua
pertiga = jika dua anak perempuan ke atas dan tidak mempunyai saudara laki-laki (tulis dan
terjemahkan sebagian surat an-Nisaa’ ayat 11); 3). ‘Ashabah (sisa) = jika anak perempuan
mempunyai saudara laki-laki.

b. Anak laki-laki
Anak laki-laki tidak termasuk ahli waris yang sudah ditentukan kadarnya, tetapi ia
termasuk ahli waris yang menerima sisa dari seluruh harta pusaka apabila tidak ada saudaranya
seorang perempuan atau lebih.

Anak laki-laki adalah ahli waris utama, kendatipun kedudukan dalam warisan sebagai
penerima sisa, tidak pernah dirugikan, sebab ia dapat menghalangi ahli waris lain dengan hijab
hirman-nya (hijab total) atau mengurangi penerimaan ahli waris lain dengan hijab nuqshan-nya.

c. Cucu perempuan dari anak laki-laki


Bagian cucu perempuan dari anak laki-laki: 1) Setengah = jika ia seorang diri, 2)
Dua pertiga = jika dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki, dan 3) Ashabah atau sisa,
bila ia bersama dengan saudara laki-laki yang sederajat. Yang mendapat ashabah: 1) Cucu laki-laki
dari anak laki-laki, 2) Ia mendapatkan semua harta warisan, jika tidak ada anak laki-laki(ayahnya)
dan tidak ada saudaranya perempuan yang sederajat., dan 3) Mendapat sisa dengan cara 2:1 jika
ada saudara perempuan yang sederajat.
d. Bagian ibu ada tiga macam: 1) Seperenam = jika simayit mempunyai anak dan ahli waris
lain (surat an- Nisaa’ ayat 11, tulis dan terjemahkan sepotong ayat tersebut), 2) Sepertiga = jika
simayit tidak mempunyai anak dan tidak ada ahli waris lain dasar hukumnya surat an-Nisaa’ ayat
11, tulis dan terjemahkan sepotong ayat tersebut). Imformasi selanjutnya.(baca: A.Toto Suryana,
1996: 120)

e. Bagian ayah ada tiga macam: 1) Seperenam = jika si mayit mempunyai anak dan ahli
waris lain, 2) Seperenam dan ‘ashabah. Ayah mendapatkan ‘ashabah jika si mayit tidak
mempunyai anak laki-laki maupun perempuan ke bawah.

g. Bagian kakek ada tiga macam: 1) Seperenam = jika si mayit mempunyai anak, 2)
Seperenam dan ‘ashabah, dan 3) ‘Ashabah (sama kedudukannya dengan ayah di atas)

Contoh pembagian waris

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu. Sedangkan harta
peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian, anak perempuan
1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian, sedangkan sisanya (yakni 5 bagian)
merupakan hak ayah sebagai 'ashabah.

Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris yang ada (480
dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah harga per bagian.

Jadi, bagian istri 3 bagian x 20 dinar = 60 dinar

Anak perempuan 12 bagian x 20 dinar = 240 dinar

Ibu 4 bagian x 20 dinar = 80 dinar

Ayah ('ashabah) 5 bagian x 20 dinar = 100 dinar

Total = 480 dinar


Hukum Bermuamalah dengan Bank Konvensional
Perekonomian adalah salah satu bidang yang diperhatikan oleh syari’at Islam dan diatur
dengan undang-undang yang penuh dengan kebaikan dan bersih dari kedhaliman. Oleh karenanya,
Allah mengharamkan riba yang menyimpan berbagai dampak negatif bagi umat manusia dan
merusak perekonomian bangsa.
Sejarah dan fakta menjadi saksi nyata bahwa suatu perekonomian yang tidak dibangun di
atas undang-undang Islam, maka kesudahannya adalah kesusahan dan kerugian. Bila anda ingin
bukti sederhana, maka lihatlah kepada bank-bank konvensional yang ada di sekitar kita, bagaimana
ia begitu megah bangunannya, tetapi keberkahan tiada terlihat darinya. Dewasa ini, umat Islam
hampir tidak bisa menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai
system bunga itu dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya
ibadah haji di Indonesia, umat Islam di Indonesia harus memakai jasa bank, apalagi dalam
kehidupan ekonomi tidak bisa lepas dari jasa bank. Tetapi, akhir tahun 2003 yang lalu Majelis
Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank konvensioanl “haram” dengan
melalui penelitian dan pengawasan yang panjang.
Akibat fatwa MUI tersebut oleh masyarakat Islam, khususnya para pakar dan cendikiawan
muslim terbagi kepada dua kelompok: 1) mereka setuju dengan fatwa MUI. Dengan alasan bahwa
lembaga yang legal seperti MUI yang mengeluarkan fatwa itu yang pengurusnya sarat dengan
pakar-pakar atau cendikiawan Muslim, 2) tidak sependapat. Dengan alasan bahwa bank syari’ah
atau bank Islam yang ada sekarang belum sepenuhnya siap melayani para nasabah, sekiranya
mereka mentransfer dananya dari bank konvensional ke bank Islam. Selain itu, fasilitas yang
dimiliki bank Islam belum selengkap yang dimiliki bank konvensional.

Hemat kami sebagai dosen Pendidikan Agama Islam di Politeknik Negeri Ujung Pandang
menyerahkan kepada masyarakat sebagai pengguna jasa bank, mereka yang memilih dan
menentukan pilihannya, di lembaga keuangan mana yang dikehendaki untuk bermuamalah dengan
bank.

Pandangan ulama yang mengharamkan bermuamalah dengan bank konvensional menurut


Masyfuk Zuhdi, 1991: 107-110) dan A. Toto Suryana, 1996: 184) adalah sebagai berikut:

Pendapat Abu Zahrah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Cairo Abul A’la al-Maududi
(Pakistan), Muhammad Abduh al-A’rabi, Penasehat hukum pada Islamic Congres Cairo dan lain-lain
menyatakan bahwa bunga bank konvensional adalah riba nasiah (riba langsung) yang dilarang
Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga,
kecuali kalau dalam keadaan darurat atau terpaksa. Dan mengharapkan lahirnya bank Islam yang
tidak menggunakan sistem bunga sama sekali.

Sedang ulama yang membolehkan bermuamalah dengan bank konvensional adalah


A.Hassan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis). Alasannya adalah bunga yang diberikan
oleh bank tidak berlipat ganda seperti yang diharamkan dalam al-Quran surat Ali Imran ayat 130:

Ulama yang mengatakan bahwa bunga bank konvensional hukumnya syubhat (tidak jelas
kehalalan dan keharamannya) seperti, Pendapat Majelis Tarjihmuhammadiyah di Sidoarjo Jawa
Timur tahun 1968. Sesuai dengan petunjuk Nabi dalam hadisnya bahwa apabila kamu ragu-ragu
terhadap sesuatu akan kehalalannya dan keharamannya maka tinggalkanlah atau jangan kamu
lakukan. Tetapi jika sangat dibutuhkan (terpaksa) maka bermuamalah dengan bank konvensional
sekadarnya.

E. Hukum Bermuamalah dengan Asuransi


Di kalangan ulama dan cendikiawan Muslim ada empat pendapat tentang hukum asuransi
menurut Masyfuk Zuhdi (1991: 127-129) yang dikutip dari Fiqhi Sunnah dan Kode Etik Dagang
Menurut Islam oleh Hamzah Ya’cub (1984: 295-310), yaitu mengharamkan asuransi dalam
segala macam bentuknya sekarang ini, termasuk asuransi jiwa. Ulama dalam kelompok ini
adalah Sayyid Sabiq, Abdullah al_Qalqili (mufti Yordania), Muhammad Yusuf al-Qardhawi
(pengarang buku al-Halal wal Haram fil Islam), dan Muhammad Bakhit al-Muth’i (mufti Mesir).
Alasan-alasan mereka adalah:

1. Asuransi pada hakikatnya sama dengan judi


2. Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti
3. Mengandung unsur riba
4. Mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang polis kalau tidak bisa melanjutkan
pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi premi yang telah dibayarkan.
5. Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam
praktek riba
6. Asuransi termasuk tukar menukar uang tidak dengan tunai. Hidup dan mati
manusia dijadikan obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ulama yang membolehkan semua asuransi dalam prakteknya sekarang ini. Kelompok ulama
yang mendukung pendapat ini adalah Abdul Wahab Khallaf, Mushthafa Ahmad Zarqa’ (Guru Besar
Hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Syiria, Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Hukum
Islam pada Universitas r Cairo Mesir, dan Abdurrahman ‘Isa (Pengarang buku Al-Muamalat al-
Haditsah wa Ahkaamuhaa). Alasan mereka membolehkan asuransi termasuk asuransi jiwa adalah:

1. Tidak ada nas al-Quran dan Hadis yang melarang asuransi


2. Ada kesepakatan/kerelaan kedua belah pihak
3. Saling menguntungkan kedua belah pihak
4. Mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul bisa
diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan.
Asuransi termasuk akad kerjasama bagi hasil antara pemegang polis dengan pihak
perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing. Mereka beralasan
bahwa:

1. Asuransi termasuk koperasi


2. Disamakan dengan taspen.
3. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang
semata-mata bersifat komersial. Pendukung kelompok ini adalah Muhammad Abu Zahrah
(Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir. Alasan beliau membolehkan asuransi
yang bersifat sosial pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat kedua; sedangkan alasan
yang mengharamkan asuransi yang bersifat komersial pada garis besarnya sama dengan alasan
pendapat pertama.
4. Menganggap asuransi itu syubhat (tidak jelas hukumnya, antara halal dan haram).
Alasannya adalah tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun
menghalalkan asuransi. Informasi selanjutnya, baca buku “Masailul Fiqhiyah oleh Masyfuq
Zuhdi, hal. 130-132).
Adapun asuransi syariah yang banyak berkembang saat ini, dimana asuransi diperbolehkan secara
syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam
muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling
menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,”
Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong
menolong dalam dosa dan permusuhan.”
2. Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
3. Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya
ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus
disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang
yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat
memerlukan.
5. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia
mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang
jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
6. Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
 Adapun ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah Sbb:

1. Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh
ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan
yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai
dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan
itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
2. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua
belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk
mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui
izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk
bersama).
3. Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan
aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
4. Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
5. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
Beberapa manfaat asuransi syariah.

Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:

1. Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.


2. Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
3. Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
4. Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang
diderita satu pihak.
5. Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan
dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu,
dan biaya.
6. Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu,
dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak
tertentu dan tidak pasti.
7. Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat
terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
8. Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat
berfungsi(bekerja).Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional
F. Hukum Bermuamalah dengan Koperasi
Pengertian Koperasi adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial,
beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan
ekonomi sebagai usaha berdasarkan atas asas kekeluargaan.

Suryana dkk (1996: 185) mengatakan bahwa koperasi sebagai lembaga ekonomi
merupakan aplikasi dari konsep ta’awun (kerja sama dan tolong menolong) yang sangat
dianjurkan oleh ajaran Islam. Keberpihakan kepada kesejahteraan anggota sebagai suatu
keluarga adalah sifat koperasi yang mulia, Jika koperasi ditata sedemikian rupa dapat menjadi
lembaga ekonomi yang kuat, saling memajukan antar anggota, sehingga pemerataan
kesejahteraan dapat dirasakan oleh masyarakat banyak.

Dalam penyelenggaraan koperasi yang baik harus berdasarkan sendi koperasi secara
umum, yaitu:

a. Saling menolong
b. Tanggung jawab
c. Keadilan
d. Ekonomis
e. Demokrasi
f. Kemerdekaan
g. Pendidikan
Apabila salah satu di antara tujuh sendi koperasi disebutkan di atas tidak terpenuhi,
misalnya tidak ada keadilan atau kejujuran bagi pengurus koperasi maka lembaga ekonomi
seperti ini hilang berkahnya. Firman Allah dalam sebuah Hadis Qudsi: “Aku memberikan
berkah kepada suatu lembaga yang pengurusnya tetap berlaku adil dan jujur dalam
menjalankan kegiatananya, tetapi ketika mereka berkhianat, maka Aku mencabut
berkahnya kegaiatan itu.”

Masyfuk Zuhdi (1991:13) dalam bukunya “Masailul Fiqhiyah” mengutip pendapat


Mahmud Syaltut tentang bagian-bagian koperasi, yaitu:

1. Syirkah abdan adalah kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu
usaha/ pekerjaan, yang hasilnya dibagi antara mereka menurut perjanjian, misalnya
usaha konfeksi, bangunan, dan sebagainya. Abu Hanifah dan Malik membolehkan
syirkah ini, sedangkan Syafi’i melarangnya.
2. Syirkah mufawadah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan
suatu usaha dengan modal uang atau jasa dengan syarat sama modalnya, agamanya,
mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum, dan masing-masing berhak
bertindak atas nama syirkah. Para imam mazhab melarang syirkah seperti ini, kecuali
Abu Hanifah yang membolehkannya.
3. Syirkah wujuh adalah kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu
tanpa modal uang, tetapi hanya berdasarkan kepercayaan para pengusaha dengan
perjanjian profit and loss sharing. Keuntungan dibagi antara mereka sesuai dengan
bagian masing-masing). Ulama Hanafi dan Hambali membolehkan syirkah ini,
sedangkan ulama Syafi’i dan Maliki melarangnya, karena menurut mereka syirkah
hanya boleh dengan uang atau pekerjaan, sedangkan uang dan pekerjaan tidak terdapat
dalam syirkah ini.
4. Syirkah ‘inan adalah kerja sama antara dua orang atau lebihg dalam pemodalan untuk
melakukan suatu bisnis atas dasar profit and loss sharing sesuai dengan jumlah
modalnya masing-masing. Dan syirkah macam ini disepakati oleh ulama tentang
kebolehannya dilakukan.

G. Hak Asasi Manusia dalam Islam

Manusia sebagai makhluk sosial dianugerahi hak dasar yang disebut hak azasi. Dengan hak
azasi manusia merupakan suatu hak dasar yang melekat pada diri manusia, misalnya hak
mendapatkan perlindungan dan kemanan, hak mencari nafkah dengan bebas, hak mendapatkan
pendidikan (Hasanah, 2007: 19).

Sebagai akhluk Tuhan Yang Maha Esa, secara kodrati dianugrahi hak dasar yang disebut hak
asasi, tanpa perbedaan antara satu dengan lainnya. Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat
mengembangkan diri pribadi, peranan dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia. Hak
Asasi Manusia (HAM) sebagai suatu hak dasar yang melekat pada diri tiap manusia.

Hak azasi menurut Islam merupakan anugerah Allah Swt, manusia diharapkan
memanfaatkan pemberian tersebut dengan baik. Oleh Karena itu, kehendak dan petunjuk Allah
sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh manusia berhak mendapatkan
kebahagiaan dan keamanan dalam hidupnya.

3.3 Penutup

Sumber hukum Islam ada empat: 1) Alquran, 2) hadis, 3) Ijma’, dan 4) Qiyas. Selanjutnya,
tatacara pernikahan dan kewarisan, cara dan tatacaranya telah ditetapkan dalan Alquran dan Hadis
Nabi yang sahih (sah). Adapun hukum bermualamah dengan bank konvensional, hukum
bermuamalah dengan asuransi dan hukum bermuamalah dengan koperasi termasuk masalah
ijtihad dan diperselisihi hukumnya oleh ulama.
BAB IV

AKHLAK, MORAL DAN ETIKA

Pendahuluan

Akhlak atau moral sangat dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Bila manusia tidak bermoral
maka ia akan sengsara bahkan celaka. Sebaliknya, bila manusia bermoral yang baik akan dihargai
atau diohormati oleh orang lain. Dengan demikian, moral sangat penting dimiliki oleh setiap orang.

Dalam bab ini akan dibahas tentang: 1) Pengertian Akhlak, Moral dan Etika, 2) Perbedaan akhlak
dengan moral, 3) Karakteristik akhlak dalam Islam, dan 4) Aktualisasi akhlak dalam kehidupan.

4.2. Penyajian

A. Pengertian Akhlak, Moral dan Etika

Perkataan akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab, yaitu akhlaq, bentuk jamak
dari kata khuluq, yang secara etimologis bermakna budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat
(Rahmat Djatnika, 1987: 25). Selain istilah akhlak dikenal pula istilah moral dan etika.
Perkataan moral berasal dari bahasa Latin mores, jamak kata mos yang berarti adat kebiasaan.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, moral diartikan dengan ajaran tentang baik dan buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, akhlak (Muhammad Daud Ali,
1998).

Hamzah Ya’cub (1993) mengatakan perkataan etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti
kebiasaan. Yang dimaksud etika adalah kebiasaan baik atau kebiasaan buruk. Dalam kepustakaan,
umumnya, kata etika diartikan sebagai ilmu. Makna etika dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak.

B. Perbedaan Akhlak dengan Moral dan Etika.

Perbedaan akhlak dengan moral dapat dilihat dalam tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Terminologi Akhlak, Moral dan Etika

TERMINOLOGI

Akhlak adalah Suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang
harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang harus diperbuat (Ahmad Amin)

Moral adalah Istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas suatu sifat, perangai ,
kehendak, pendapat atau perbuatan yang layak dikatakan benar atau salah, baik dan
buruk (Muhammad daud Ali)

Etika adalah Sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu
masyarakat tertentu. Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat. Sehubungan
dengan itu yang menjadi standar baik dan buruk adalah akal manusia. (Rahmat Jatnika,
1992)

Sumber: Pendidikan Agama Islam oleh Daud Ali, 1998

C. Karakteristik Akhlak dalam Islam

Allah telah berkehendak bahwa akhlak dalam Islam memiliki karakteristik yang berbeda
dan unik dari agama lain (Yahudi dan Nasrani). Perbedaannya adalah dengan karakteristik yang
menjadikannya sesuai untuk setiap individu, kelas sosial, ras, lingkungan, masa dan segala kondisi.
Yusuf Qardhawi (dalam Iberani, 2003: 115-119) mengatakan bahwa dalam bukunya “Pengantar
Kajian Islam” ada tujuh karakter akhlak Islam, yaitu: (1) Sebuah moral yang beralasan dan dapat
dipahami, (2) Moral universal, (3) Kesesuian dengan Fitrah, (4) Memperhatikan Realita, (5) Moral
Positif, (6) Menyeluruh, dan (7) Keseimbangan. Untuk jelasnya, perhatikan uraian berikut:

1. Sebuah moral yang beralasan dan dapat dipahami.


Moral Islam tidak bermakna dengan paham ritual absolut dogmatis yang dikenal oleh agama
Yahudi, dan yang diasumsikan oleh sebagian peneliti tentang moral sebagai suatu konsekwensi
langsung bagi bahasa dakwah kepada moral dalam semua agama, namun mereka tidak mengetahui
bahwa Islam justru kebalikan dari itu.

Sesungguhnya Islam selalu bersandar pada penilaian yang logis dan alasan yang dapat
diterima oleh akal yang lurus dan naluri yang sehat, yaitu dengan menjelaskan kebaikan dibalik apa
yang diperintahkannya dan kerusakan dari terjadinya apa yang dilarangnya. Disebutkan dalam Al-
Quran surat al-Ankabut ayat 45 Dan surat al-jumu’ah ayat 9:

Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

2. Moral Universal.
Moral dalam Islam berdasarkan karakter manusiawi yang universal, yaitu larangan bagi
suatu ras manusia berlaku juga bagi ras lain, bahkan umat Islam dan umat-umat yang lain adalah
sama dihadapan moral Islam yang universal.
Dalam hal ini Al-Quran surat al-Maidah ayat 8:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Akhlak Islam bebas dari segala tendensi rasisme kebangsaan, kesukuan maupun golongan.

3. Kesesuaian dengan Fitrah


Islam datang membawa apa yang sesuai dengan fitrah dan tabiat manusia serta
menyempurnakannya. Islam mengakui eksistensi manusia sebagaiamna yang telah diciptakan Allah
dengan segala dorongan kejiwaan, kecenderungan fitrah serta segala yang telah digariskan-Nya.
Islam menjadikan mulia dan membuat batasan hukum untuk-Nya agar dapat memelihara kebaikan
masyarakat dan individu manusia itu sendiri.
Islam membolehkan manusia untuk menikmati reski yang baik, perhiasan dan
mengesahkan kepemilikan pribadi. Namun syariat Islam tidak membenarkan hasrat naluri jika
barang-barang dan hal-hal yang najis atau merupakan perbuatan maksiat. Allah berfirman dalam
al-Quran surat al-A’raf ayat 32:

Artinya: “Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang
baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan
dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu
bagi orang-orang yang mengetahui.”
Maksudnya: perhiasan-perhiasan dari Allah dan makanan yang baik itu dapat dinikmati di
dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman, sedang di akhirat
nanti adalah semata-mata untuk orang-orang yang beriman saja.
Islam dengan segala yang diperbolehkannya demi menjaga tabiat manusiawi telah
meletakkan konsep aturan dan batasan-batasan yang netral atau moderat, sikap berlebih-lebihan
dan ekstrim akan menjurus kepada perangai binatang yang tercelah.
4. Memperhatikan Realita

Di antara karakteristik moral Islam merupakan akhlak realistik, tidak mengeluarkan


perintah dan larangannya kepada orang-orang yang hidup di “menara gading” atau orang-orang
terbang melayang di awan-awan idealisme, melainkan memerintahkan kepada manusia yang
memiliki dorongan dan nafsu, keinginan dan cita-cita, kepentingan dan kebutuhan, juga memiliki
kecenderungan dan hasrat biologis terhadap kesenangan duniawi sebagaimana mereka juga
memiliki kerinduan jiwa kepada Allah yang mengangkat derajat mereka.

Al-Quran tidak membebankan kepada manusia suatu kewajiban untuk mencintai musuh-
musuhnya, karena hal ini merupakan suatu hal yang tidak memiliki jiwa manusia, akan tetapi al-
Quran memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk berlaku adil terhadap musuh-
musuhnya, supaya rasa permusuhan dan kebencian mereka terhadap musuh-musuhnya tidak
mendorong untuk melakukan pelanggaran terhadap musuh-musuh mereka.

5. Moral Positif

Islam tidak merelakan orang yang telah berhias dengan moral Islam untuk berjalan
mengikuti trend sisial, berjalan mengikuti arus, atau bersikap lemah dan menyerah menghadapi
peristiwa yang mengendalikan hidupnya. Moral Islam menganjurkan untuk menggalang kekuatan,
perjuangan dan meneruskan amal usaha dengan penuh keyakinan dan cita-cita, melawan sikap
ketidakberdayaan dan pesimisme, malas serta segala bentuk penyebab kelemahan. Allah berfirman
dalam al-Aquran surat Maryam ayat 12

Artinya: “Wahai Yahya, Ambillah kitab itu dengan sungguh-sungguh penuh kekuatan).”
Islam menolak sikap pasif dalam menghadapi kerusakan moral dan politik, dekadensi
moral dan agama, bahkan Islam memerintahkan kepada muslim untuk merubah suatu
kemungkaran dengan “tangan-nya”, jika ia tidak mampu maka dengan lisan-nya, jika tidak mampu
lagi maka dengan hati-nya.

6. Menyeluruh

Jika sebagian orang menyangka bahwa moral dalam agama berkisar pada pelaksanaan
ibadah-ibadah ritual seremonial, maka hal ini tidak tepat untuk dipredikatkan kepada akhlak,
karena akhlak Islam tidak membiarkan kegiatan manusia hanya dalam ibadah saja. Islam telah
menggambarkan sebuah konsep moral dengan aturan tertentu, bahkan menggariskan hubungan
manusia dengan dirinya sendiri dan hubungannya dengan umatnya, maka akhlak Islam mencakup
hubungan manusia dengan alam semesta secara global maupun detail dan untuk itu akhlak Islam
meletakkan apa yang dikehendaki manusia dari adab susila yang tinggi dan ajaran yang luhur.

7. Keseimbangan

Di antara karakteristik akhlak Islam adalah keseimbangan yang menggabungkan sesuatu


dengan penuh keserasian dan kaharmonisan, tanpa sikap yang berlebihan maupun pengurangan.
Contoh keseimbangan adalah sikap seimbang antar hak tubuh dan hak jiwa sehingga tidak merusak
tubuh ataupun menelantarkan ruh. Contoh lain adalah sikap seimbang dalam mengejar dunia dan
akhirat. Islam menganggap dunia ini adalah ladang untuk akhirat dan Allah telah menjadikan
manusia sebagai khalifah di bumi, maka tidaklah pantas mereka merusak atau menelantarkan
kehidupan dunia, karena orang yang bahagia adalah orang yang beruntung dengan kebaikan dunia
dan kebaikan akhirat. Firman Allah dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 201:

Artinya: “Dan di antara mereka ada yang berdoa: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka. Mereka itulah orang-orang yang
mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”

D. Aktualisasi akhlak dalam kehidupan


Akhlak tidaklah semata-mata perbuatan manusia yang nampak atau lahiriah. Tetapi banyak aspek
yang berkaitan dengan sikap batin ataupun pikiran. Seperti akhlak diniyah yang berkaitan dengan
berbagai aspek, yaitu pola perilaku kepada Allah, sesama manusia sampai pola perilaku kepada
alam. (Toto Suryana dkk, 1996: 148).

1. Pola Perilaku Kepada Allah


Akhlak yang baik kepada Allah berucap dan bertingkah laku yang terpuji terhadap-Nya. Baik
melalui ibadah langsung maupun melalui sikap dan perilaku tertentu yang mencerminkan
hubungan atau komunikasi dengan Allah di luar ibadah itu.

Berakhlak yang baik kepada Allah antara lain:

a. Syukur, yaitu mengungkapkan rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah
diberikan-Nya. Ungkapan dalam bentuk kata-kata adalah dengan mengucapkan hamdalah setiap
saat, sedangkan bersyukur dengan perilaku adalah menggunakan nikmat Allah susuai dengan
kemestiannya, misalnya, nikmat mata, maka bersyukur dengan nikmat itu dilakukan dengan
menggunakan mata untuk melihat hal-hal yang baik, seperti membaca, mengamati alam dan
sebagainya yang mendatangkan manfaat. Selain itu, beribadah mahdah misalnya mendirikan salat
dengan tepat waktu, tidak menuda-nunda pelaksanaannya, mengeluarkan zakat bila memenuhi
syarat. Zakat harta atau penghasilan (gaji), nisabnya 96 gram emas 23 karat, harga pergram
mengukuti harga emas di pasar, misalnya a Rp 200.000,-. Jadi 96 gram dikali dengan Rp 200.000,-
= Rp 19.800.000,- pertahun, dikeluarkan zakatnya 2,5%. Bila qadarnya tidak sampai kepada jumlah
tersebut tidak kena zakat, tetapi keluarkan infaq atau sadaqah juga setiap tahun. Firman Allah Swt.
dalam Alquran surat Albaqarah ayat 110:

Artinya: ”Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan
bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha
Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”
b. Bertasbih, yaitu mensucikan Allah dengan ucapan, yaitu memperbanyak
mengucapkan SUBHAANALLAH artinya Maha suci Allah, serta menjauhkan perilaku yang dapat
mengotori nama Allah Yang Maha Suci,
misalnya kemusyrikan. Allah berfirman dalam Alquran surat al-A’la ayat 1:

Artinya: ”Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.”

c. Istigfar, yaitu meminta ampun kepada Allah atas segala dosa yang pernah dibuat
dengan mengucapkan ASTAGFIRULLAAHAL ‘ADZIIM artinya aku memohon ampun kepada Allah
Yang Maha Agung. Sedangkan istigfar melalui perbuatan dilakukan dengan cara: (1) berjanji dalam
hati tidak mengulangi perbuatan jelek itu, (2) menyesali perbuatan jahat yang dilakukan, (3)
meminta maaf langsung kepada orang yang ditempati berbuat dosa, dan (4) mengikuti perbuatan
jahat itu dengan kebaikan.
d. Takbir, yaitu mengagungkan Allah dengan membaca ALLAAHU AKBAR Artinya
Allah Maha Besar. Mengagungkan Allah melalui perilaku adalah mengagungkan nama-Nya dalam
segala hal, sehingga tidak menjadikan sesuatu melebihi keagungan Allah. Tidak mengagungkan
yang lain melampaui keagungan Allah dalam berbagai konteks kehidupan, baik melalui kata-kata
maupun dalam tindakan.
e. Do’a, yaitu meminta kepada Allah apa saja yang diinginkan dengan
mengemukakan keinginan yang diharapkan itu dengan cara yang baik sebagaimana yang
dicontohkan oleh Rasulullah. Doa adalah pembuktian kelemahan manusia di hadapan Allah. Karena
itu berdoa merupakan inti dari ibadah. Orang yang tidak suka berdoa adalah orang yang sombong,
sebab ia tidak mengakui kelemahan dirinya di hadapa Allah.
2. Pola Perilaku kepada Manusia

Pola perilaku terhadap manusia terdiri atas perilaku terhadap diri sendiri dan sesama
manusia. Akhlah kepada diri sendiri adalah menyayangi diri sendiri dengan menjaga diri dari
perbuatan buruk. Berakhlak kepada diri sendiri lebih banyak dilakukan dengan cara menjaga dan
memelihara hati agar memiliki perasaan hati yang selalu ikhlas dan berhati bersih. Membersihkan
hati berupa menahan dan mengendalikan keinginan-keinginan atau dorongan-dorongan hati yang
terbawa oleh tarikan keburukan.

Hati yang bersih akan melahirkan ucapan dan perilaku yang baik yang merupakan gambaran
akhlak yang mulia. Ucapan yang baik digambarkan dalam tutur kata yang sopan dan dapat
menempatkan orang lain lebih tinggi dari dirinya sendiri. Perilaku yang baik ditampakkan dalam
gerak-gerik dan tingkah laku yang santun, firman Allah Q.S. Luqman ayat 18:

Artinya: “Dan janglah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janglah
kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri.”
Pola perilaku yang baik terhadap orang lain merupakan gambaran hasil pengendalian diri. Jika hati
telah bersih akan muncul pikiran-pikiran yang selalu positif dan melihat orang lain sebagai bagian
dari dirinya, karena itu akan lahir rasa kasih sayang sebagai dasar hubungan antar manusia.

Hubungan atas dasar kasih sayang ini akan melahirkan sikap yang baik kepada orang lain dan
sekaligus menghilangkan keresahan dan kekecewaan diri sendiri.

c. Pola Perilaku Terhadap Alam

Seseorang muslim memandang alam sebagai milik Allah yang wajib disyukurinya dengan
cara menggunakan dan mengelola alam sebaik-baiknya agar dapat memberi manfaat bagi manusia.
Pemanfaatan alam yang diajarkan Islam adalah pemanfaatan yang didasari sikap tanggungjawab,
tanpa merusakkannya. Alam yang memberikan keuntungan tidak hanya diambil keuntungannya,
tetapi dijaga agar alam tetap utuh dan lestari dengan cara memberikan kesempatan kepada alam
untuk melakukan rehabilitasi atau membantunya untuk mempercepat pemulihannya kembali.
Berakhlak kepada alam berarti menyikapi alam dengan cara memelihara kelestariannya.
Karena itu Allah memberikan isyarat agar manusia dapat mengendalikan dirinya dalam
mengeksploitasi alam, sebab alam yang rusak akan dapat merugikan bahkan menghancurkan
manusia sendiri. Akibatnya, banjir tidak dapat dielakkan sehingga merusak tata kehidupan manusia
baik rumahnya maupun lingkungannya.
Firman Allah yang berkaitan dengan larangan merusak alam adalah Q.S. Q.S. Al-A’raf ayat 56
dan 85:
Artinya: ”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah
datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan
dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman."

4.3. Pentutup

Manusia wajib berakhlak baik kepada Allah sebagai Pencipta maupun kepada makhluk-
Nya. Sebaliknya, berbuat dosa, merugikan orang lain, memaksakan kehendak dengan melanggar
norma agama dan peraturan pemerintah serta merusak lingkungan seperti menebang hutan secara
liar dilarang agama.

BAB V

ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI

DAN SENI DALAM ISLAM

5.1 Pendahuluan

Menguasai dan mengamalkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni bagi manusia
merupakan tugasnya sebagai khalifah dan hamba Allah di bumi dalam meningkatkan kesejahteraan
hidupnya. Oleh karena itu, ketiga hal tersebut merupakan soko guru dalam kehidupan baik dalam
lingkungan industri, kantor, perusahaan maupun dalam dunia pertanian.

Dalam bab ini akan diuraikan: 1) Pengertian Ilmu dan pengetahuan serta Seni, 2)
Kedudukan akal dan wahyu dalam Islam, 3) Klasifikasi dan karakteristik Ilmu dalam Islam, 4)
Kewajiban menunut Ilmu, dan 5) Tanggungjawab ilmuwan terhadap lingkungan. Uraian masing-
maisng sub pembahasan di atas akan dipaparkan berikut ini.
5.2. Penyajian

Uraian kelima sub pokok bahasan disebutkan di atas adalah sebagai berikut.

A. Pengertian Ilmu, Pengetahuan, Teknologi dan Seni

Kata “Iptek” terdiri atas tiga kata, ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Ilmu adalah
pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Ilmu merupakan keistimewaan yang menjadikan
manusia lebih unggul dibanding dengan makhluk-makhluk lain dalam menjalankan fungsi
kekhalifahannya. Menurut al-Quran ilmu tediri atas dua macam. Pertama, ilmu ladunni, yaitu
ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia. Kedua ilmu kasbi, yaitu ilmu yang diperoleh karena
usaha manusia. Pembagian ini terjadi karena al-Quran memandang terhadap hal-hal yang “ada”
tetapi tidak diketahui melalui upaya manusia. Ada wujud yang tidak tampak. Dengan demikian,
obyek ilmu meliputi materi dan nonmateri, fenomena dan nonfenomena (Quraisy Syihab, 1998:
434-436)

Pengetahuan adalah pemahaman terhadap suatu subyek mengenai obyek yang dibahas.
Yang dimaksud subyek adalah manusia sebagai kesatuan berbagai macam kesanggupan (akal,
panca indera dan sebagainya) yang digunakan untuk mengetahui sesuatu. Obyek di sini adalah
benda atau hal yang diselidiki, yang merupakan realitas bagi manusia yang menyelidiki
(Anshari, 1987: 43). Pengetahuan merupakan proses dari usaha manusia untuk tahu. Pekerjaan
tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu semua
milik atau isi pikiran, demikian penjelasan menurut Iberani (2003: 99). Karena itu, ilmu dan
pengetahuan suatu kesatuan yang tak terpisahkan setelah melalui beberapa proses usaha dan
upaya manusia secara sadar, terencana dan bertanggungjawab.

Teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan ilmu pengetahuan untuk memanfaatkan
alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia (Quraish Shihab, 1996: 441). Berbeda
pengertian teknologi yang dikemukakan oleh Baiquni (1983: 7) bahwa teknologi ialah
penerapan sains secara sistematis untuk memperngaruhi alam di sekeliling kita dalam suatu
proses produktif ekonomis untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia.
Dengan demikian mesin atau alat canggih yang digunakan manusia bukanlah teknologi, tetapi
merupakan hasil dari teknologi, walaupun secara umum sering diasosiasikan sebagai teknologi.
Ketersediaan lahan yang diciptakan Allah mengantarkan manusia berpotensi untuk
memanfaatkan alam ini yang telah ditundukkan Allah.
Seni adalah keindahan. Ia merupakan ekspresi jiwa dan budaya manusia yang mengandung
dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia yang didorong oleh
kecenderungan kepada yang indah (Quraish Shihab, 1996: 441). Kemampuan berseni
merupakan salah satu pembeda manusia dengan makhluk lain. Dengan demikian, Islam
mendukung kesenian selama penampilannya mendukung fitrah manusia yang suci atau
penampilannya tidak menyalahi syariat Islam (porno aksi).

B. Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Islam


Kata “akal” yang sudah menjadi bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Arab, yaitu al’aql.
Artinya pikiran atau intelek (daya atau proses pikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu
pengetahuan). Daud Ali (1998) mengatakan bahwa kedudukan akal berarti peranan akal dalam
Islam tinggi sekali, karena akallah wadah yang menampung aqidah, syari’ah serta akhlak dan
menjelaskannya. Kita tidak pernah memahami Islam tanpa mempergunakan akal, Dan dengan
mempergunakan akalnya secara baik dan benar, sesuai dengan petunjuk Allah, manusia akan
merasa selalu terikat dan dengan sukarela mengingatkan diri pada Allah.

Dengan mempergunakan akalnya, manusia dapat berbuat, memahami dan mewujudkan


sesuatu. Karena posisinya demikian , dapatlah dipahami kalau dalam ajaran Islam ada ungkapan
yang menyatakan: akal adalah kehidupan, hilang akal berarti kematian (Osman Ralibi, 1981: 37).
Namun, kedudukan dan peranan akal dalam ajaran Islam, tidak boleh bergerak dan berjalan tanpa
bimbingan wahyu yang membetulkan akal dalam gerak-geriknya kalau ia menjurus ke jalan yang
nyata-nyata salah karena berbagai pengaruh. Karena itulah Allah menurunkan petunjuk-Nya
berupa wahyu.

Kata “Wahyu” berasal dari kata bahasa Arab al-wahy, artinya suara, api dan kecepatan.
Disamping itu wahyu juga mengandung makna bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Selanjutnya al-
wahy mengandung makna pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Namun, dari
sekian banyak arti itu, wahyu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Allah kepada para
Nabi.” Dengan demikian, dalam kata wahyu terkandung arti penyampaian firman Allah kepada
orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Firman
Tuhan itu mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam
perjalanan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat nanti. Dalam Islam wahyu yang disampaikan
kepada Nabi Muhammad, semuanya tersimpan dengan baik dalam al-Quran.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kedudukan akal dan wahyu merupakan sokoguru dalam
ajaran Islam. Namun, segera harus ditegaskan bahwa dalam sistem ajaran agama Islam, wahyulah
yang pertama dan utama, sedang akal adalah yang kedua. Wahyulah, baik yang langsung yang kini
dapat dibaca dalam kitab suci al-Quran maupun yang tidak langsung melalui sunnah Rasulullah
yang kini dapat dibaca dalam kitab-kitab hadis sahih, yang memberi tuntunan, arah dan bimbingan
pada akal manusia. Oleh karena itu pula, akal manusia harus dimanfaatkan dan dikembangkan
secara baik dan benar untuk memahami wahyu dan berjalan sepanjang garis-garis yang telah
ditetapkan Allah dalam wahyu-Nya dan sunnah Rasul dalam hadisnya.

C. Klasifikasi dan Karakteristik Ilmu dalam Islam

Akal menghasilkan ilmu dan ilmu berkembang dalam masa keemasan sejarah Islam. Supaya
dapat dipelajari dengan baik dan benar, ilmu perlu diklasifikasikan. Muhammad Daud Ali
(1998: 388) mengatakan sejak al-Kindi di abad III H sampai Syah Waliyullah dari Delhi pada
abad ke-12, generasi demi genearsi sarjana Muslim telah mencurahkan pikiran dan
kemampuannya untuk membuat klasifikasi ilmu dalam Islam secara rinci. Adapun klasifikasi
ilmu yang telah dibuat oleh para ilmuwan muslim dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 1. Klasifikasi dan Karakteristik Ilmu

KLASIFIKASI ILMU KARAKTERISTIK ILMU

Al-farabi:

1. Ilmu Bahasa 1. Dimasukkan sebagai petunjuk umum


2. Logika ke arah bagian ilmu, sehingga para pengkaji
3. Ilmu-Ilmu Matematis dapat memilih subyek yang benar-benar
4. Metafisika membawa manfaat bagi dirinya.
5. Ilmu politik, Ilmu Fikhi dan 2. Memungkinkan seseorang belajar
Ilmu Kalam. (Masing-masing tentang hirarki ilmu dst. (tugas, lihat:
klasifikasi ilmu tersebut Muhammad Daud Ali, 1998: 390)
dirinci lagi dalam berbagai sub
bagian)
Algazali:

1. Ilmu-ilmu teoritis dan


praktis Tidak ada
2. Ilmu yang dihadirkan dan
ilmu yang dicapai
3. Ilmu-ilmu keagamaan dan
ilmu-ilmu intelektual,
4. Ilmu fardhu ‘ain
(kewajiban setiap orang) dan
ilmu fardhu kifayah
(kewajiban masyarakat).
Tugas: baca, Muhammad Daud
Ali, 1998: 391 dan Osman
bakar, 1997: 234-237)
Asy-Syirazi: Tugas anda, baca, Pendidikan Agama Islam
oleh Muhammad Daud Ali, halaman 393-394)
1. Ilmu-ilmu Filosofis (Ilmu-
ilmu kefilsafatan)
2. Ilmu-Ilmu nonfilosofis.
Selanjutnya tugas anda, baca,
Pendidikan Agama Islam oleh
Muhammad Daud Ali, halaman
393-394)
Sumber: Hasil Olahan buku ”Pendidikan Agama Islam”, oleh Daud Ali 2008

Menelusuri pandangan al-Quran tentang teknologi, mengundang kita untuk melihat sekian
banyak ayat yang berbicara tentang alam semesta. Menurut para ahli terdapat sekitar 750 ayat
al_Quran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya yang memerintahkan manusia
untuk mengetahui dan memanfaatkan alam. Secara tegas dan berulang-ulang al-Quran
menyatakan bahwa alam semesta diciptakan dan ditundukkan bagi kepentingan manusia,
seperti yang disebutkan pada awal surat al-Jatsiyah ayat 13:

Artinya:” Dan Dia menundukkan untukmu apa yanga da di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya….”

Penundukan yang dimaksud dalam ayat tersebut secara potensial, terlaksana melalui
sunnatullah (hukum-hukum yang ditetapkan Allah pada alam) dan kemampuan yang
dianugerahkan-Nya pada manusia. Al-Quran menyebutkan sifat dan ciri-ciri alam semesta,
ditambahkan lagi antara lain:

1. Segala sesuatu di alam semesta mempunyai sifat, ciri dan hukum yang di dalam al-Quran
surat ar-Ra’du ayat 8 disebut ukuran.
2. Semua yang berada di alam semesta tunduk kepada-Nya. “Hanya kepada Allah-lah tunduk
segala yang ada di langit dan yang ada di bumi baik secara sukarela maupun secara
terpaksa (Q.S.ar-Ra’d ayat 15). Q.S. Fushshilat ayat 11; Q.S. Al-Baqarah ayat 31. (tugas, tulis
ayat dan terjemahnya ayat-ayat tersebut).
Muhammad Daud Ali mengatakan bahwa al-Quran memerintahkan manusia untuk terus
berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Jangankan manusia (biasa) Nabi Muhammad
pun sebagai Rasulullah diperintahkan selalu berusaha dan berdoa agar pengetahuannya
bertambah. Doanya dirimuskan Allah sendiri di ujung ayat 114 surat Thaha yang berbunyi:
Rabbi Zidnii ‘ilman warzuqenaa fahmaa. Yang artinya:”Ya Allah tambahlah ilmuku”. Doa ini
perlu selalu diucapkan, dimohonkan kepada Allah agar ilmu kita ditambah-Nya, sebab Dialah
sumber segala ilmu….Di samping itu pula perlu dikemukakan bahwa manusia mempunyai
naluri haus pengetahuan, sebagaimana dilukiskan Rasulullah dalam sunnahnya, “Ada dua
keinginan yang tidak pernah terpuaskan yaitu keinginan menuntut ilmu dan keinginan
memperoleh harta (Quraisy Syihab, 1996: 447).

Doa yang dipanjatkan hendaklah berulang-ulang diungkapkan serta diiringi dengan usaha
dan kerja keras sambil bersabar menanti rahmat Allah. Jangan tergesa-gesa mau melihat hasil
dari doa yang kita panjatkan kepada Allah. Renungkan sebuah akronim berikut: DUIT (Doa,
Usaha, Ikhlas, Tawakkal).

E. Kewajiban Menuntut Ilmu


Kalau kita mengikuti pendapat Imam al-Gazali tentang klasifikasi ilmu, maka menuntut
ilmu merupakan kewajiban manusia, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, orang dewasa dan
anak-anak menurut caa-cara yang sesuai dengan keadaan, bakat dan kemampuan. Bahwa
menuntut atau mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah (tanpa
membedakan jenis kelamin) dasarnya terdapat dalam Al-Quran maupun dalam hadis Nabi.

Di dalam Al-Quran , pada awal penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi, Allah
mengajarkan kepada Adam semua nama-nama benda adalah unsur-unsur pengetahuan, baik
yang duniawi maupun yang ukhrawi. Tatkala Allah bertanya kepada para malaikat mengenai
nama-nama benda yang telah diketahui Adam dan ia mampu menyebutnya, para malaikat
mengaku bahwa mereka tidak tahu nama-nama benda itu, karena dengan jujur malaikat
mengatakan bahwa mereka hanya mengetahui apa yang diajarkan Allah kepada mereka,
tentang nama-nama benda tidak diketahuinya. Karena Adam tahu dan mampu menyebutnya,
sedang malaikat tidak mempunyai kemampuan seperti Adam, Allah memerintahkan semua
malaikat sujud, memebri hormat kepada Adam. Penghormatan itu mereka lakukan, kecuali iblis
yang kendatipun tidak tahu nama-nama benda yang ditanyakan Allah kepadanya dan karena itu
disuruh memberi hormat kepada Adam karena keunggulannya, membangkang dan bersumpah
akan menggoda (mengganggu) Adam dan keturunannya…(baca: Muhammad Daud Ali, 1998:
402-407)

F. Tanggungjawab Ilmuwan terhadap Alam

Kehidupan makhluk-makhluk Tuhan saling berkaitan. Bila terjadi gangguan yang luar biasa
terhadap salah satunya, maka makhluk yang berada dalam lingkungan hidup itu pun akan
terganggu pula. Tuhan menciptakan segala sesuatu dalam keseimbangan dan keserasian. Oleh
karena itu, keseimbangan dan keserasian tersebut harus dipelihara agar tidak mengakibatkan
kerusakan.

Islam menegaskan bahwa manusia ditugaskan Tuhan menjadi khalifah di muka bumi.
Kekhalifahan ini mempunyai tiga unsur yang saling berkaitan, kemudian ditambah unsur keempat
yang berada di luar jiwa manusia, namun sangat menentukan arti kekhalifahan tersebut..

Ketiga unsur yang dimaksud menurut Quraish Shihab (1996: 295) dalam bukunya
“Membumikan Al-Quran” adalah:

1. Manusia
2. Alam semesta
3. Hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya.
4. Allah yang memberi penugasan kepada manusia (khalifah).
Hubungan antar manusia dengan alam semesta atau hubungan manusia dengan
sesamanya, bukan merupakan hubungan antara tuan dengan hambanya. Hubungan tersebut
merupakan hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah, karena kemampuan manusia
dalam mengelolah alam semesta, bukanlah akibat kekuatan yang dimilikinya tetapi merupakan
anugerah Allah yang telah menundukkan alam semesta untuk keperluan hidup.

5.3. Penutup

Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam Islam merupakan kebutuhan manusia yang
sangat penting dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai khalifah dan hamba Allah di bumi. Perlu
diketahui bahwa mengamalkan ilmu penting, tetapi jauh lebih penting mengamalkannya dalam
kehidupan bermasyarakat.
KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

6.1. Pendahuluan

Hidup rukun dengan tetangga dan masyarakat luas tanpa melihat suku, ras, dan agamanya
diperintahkan agama Islam. Kedamaian dan ketertiban dalam berkehidupan senantiasa
diperhatikan dan dijaga agar keseimbangan, keselerasan dan keserasian dalam bermasyarakat
tumbuh dan berjalan dengan dengan baik.

Dalam bab ini akan diuraikan tentang: 1) Pengertian kerukunan, 2) Hubungan intern Imat
Islam, dan 3) hubungan antar umat beragama. Untuk jelasnya perhatikan uraian berikut.

6.2. Penyajian

Uraian tentang kerukunan antar umat bergama diawali dengan pemaparan sebagai berikut.
A. Pengertian Kerukunan
Kata “Kerukunan” menurut Poerwadarminta, (1983: 836) berasal dari kata “Rukun’ yang
berarti “perihal hidup muslim; keragaman; kesepakatan; perasaan rukun (bersatu hati) … Peter
Salim dan Yenni Salim (1991) memberikan pengertian kerukunan yang sama dengan redaksi yang
berbeda di atas, yaitu : 1) hal hidup rukun. Semua orang mengidamkan hidup rukun, 2) rasa rukun;
kesepakatan. Jadi, kerukunan adalah kesepakatan hidup berdampingan dengan orang lain yang
berbeda agama untuk mewujudkan kedamaian. Hidup rukun kepada siapa pun tetangga kita
dianjurkan saling menghormati, saling menghargai antara satu dengan yang lain bahkan saling
membantu dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.

B. Hubungan Intern Umat Islam


Agama Islam menekankan hubungan sesama muslim berdasarkan kesamaan iman yang
pada kenyataannya jauh lebih kuat daripada hubungan darah dan etnik, karena bagaimanpun iman
merupakan dasar keyakinan yang berpengaruh terhadap seluruh perilaku seorang muslim.
Hubungan antara sesama muslim digambarkan sebagai hubungan yang tak terpisahkan
seperti halnya anggota dalam satu tubuh yang saling berhubungan dengan anggota tubuh lainnya,
sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan Muslim dan Imam Ahmad: “Seorang muslim dengan
muslim lainnya bagaikan satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh itu terluka, maka seluruh
tubuh akan merasakan sakit (demam)nya.”

Firman Allah yang berkaitan dengan saling menghargai, saling menghormati, tidak
mengolok-ngolok antara lain Q.S. Al-Hujurat ayat 11:

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki


merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang
direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan
memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka
itulah orang-orang yang zalim.

Toto Suryana dkk (1996) mengatakan apabila seorang muslim menderita kelaparan,
muslim lainnya akan merasakan penderitaannya, sekelompok muslim teraniaya, kaum muslim
lainnya akan merasakan sakitnya. Demikian rasul mengajarkan umatnya untuk saling memberikan
perhatian dan kepedulian terhadap sesama muslim, sehingga terwujud ukhuwah Islamiyah yang
penuh kasih sayang. Quraisy syihab (1996) dalam bukunya Wawasan Al-Quran memberikan
pengertian “ukhuwah” Islamiyah, yaitu persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh
Islam

Ukhuwah atau persaudaraan lahir karena adanya persamaan-persamaan, semakin banyak


persamaan semakin kuat persaudaraan itu. Ukhuwah Islamiyah didasarkan kepada persamaan
pada persoalan yang paling mendasar dalam hidup, yaitu persamaan aqidah. Persamaan ini
melahirkan adanya perhatian dan keakraban, sehingga derita yang dialami satu pihak dirasakan
oleh pihak lain. Perhatikan firman Allah dalam Alquran surat surat al-Hujurat ayat 10:

Artinya: ”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah


(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya
kamu mendapat rahmat.”

Kasih sayang yang ikhlas terlahir dari kesamaan iman itu merupakan dasar utama
pergaulan di kalangan umat Islam. Kasih sayang tersebut akan memancar dan membetuk pola
hubungan antar kaum muslimin yang memandang orang lain sebagaimana ia memandang dirinya
sendiri.

Rasulullah bersabda: “Tidak beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai


saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. “ (Hadis riwayat Bukhari dari Anas).

Syarat penilaian keimanan seseorang dapat dilihat dari persaudaraannya, seperti yang
dimaksud dalam hadis Nabi di atas. Bila mereka tidak peduli kepada saudaranya maka tidak dapat
dinilai orang yang beriman. Karena itu, landasan keimanan yang kuat serta ukhuwah islamiyah
yang erat, akan membentuk sikap adil dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada pada
pendapat dan perilaku orang lain, sebab berbeda pendapat dan sikap adalah hak seseorang. Tetapi
kadang-kadang perbedaan-perbedaan melahirkan konflik tertentu di kalangan umat Islam,
sehingga ukhuwah Islamiyah menjadi terganggu.

Perbedaan yang biasa muncul di kalangan umat Islam adalah perbedaan pemahaman
keislaman yang bersifat fiqhiyah bukan persoalan aqidah (Toto Suryana dkk, 1996: 165).

Selanjutnya, Toto Suryana dkk (1996) mengatakan bahwa untuk memantapkan ukhuwah
Islamiyah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama, para ulama
menetapkan tiga konsep:

1. Keragaman cara beribadah


2. Yang salah dalam berijtihad pun mendapat ganjaran
3. Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad belum dilakukan seseorang
mujtahid
Konsep pertama disebutkan (keragaman cara beribadah) di atas mengakui adanya
keragaman yang dipraktekkan Nabi dalam bidang pengamalan agama, yang mengantarkan kepada
pengakuan akan kebenaran semua prakek keagamaan, selama merujuk kepada Rasulullah.
Keragaman dalam praktek beribadah merupakan hasil dari interpretasi terhadap perilaku Rasul
yang ditemukan dalam hadis. Interpretasi bagaimanapun melahirkan perbedaan-perbedaan,
karena itu menghadapi perbedaan ini hendaknya disikapi dengan cara mencari rujukan yang
menurut kita atau menurut ahli yang kita percayai lebih dekat kepada maksud yang sebenarnya.
Terhadap orang yang berbeda interpretasi kita kembangkan sikap hormat dan toleransi yang tinggi
dengan tetap mengembangkan silaturrahmi.

Konsep kedua disebutkan (yang salah dalam berijtihad pun mendapat ganjaran),
mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan
berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah, walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya itu
keliru. Perlu dicatat bahwa wewenang untuk menentukan yang benar dan salah bukan manusia,
melainkan Allah. Kendatipun demikian perlu diperhatikan pula bahwa yang mengemukakan ijtihad
maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah orang yang memiliki otoritas keilmuan, yang
disampaikannya setelah melalui ijtihad. Perbedaan-perbedaan dalam produk ijtihad adalah sesuatu
yang wajar. Karena itu, perbedaan yang ada hendaknya tidak mengorbankan ukhuwah Islamiyah
yang terbina di atas landasan keimanan yang sama.
Konsep ketiga dimaksudkan adalah bahwa persoalan-persoalan yang belum ditetapkan
hukumnya secara pasti, baik dalam Al-Quran maupun dalam Hadis Nabi, maka Allah belum
menetapkan hukumnya. Oleh karena itu, umat Islam, khususnya para mujtahid dituntut untuk
menetapkannya melalui ijtihad. Hasil dari ijtihad yang dilakukan itu merupakan hukum Allah bagi
masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijthiad itu berbeda-beda.

C. Hubungan Antar Umat Beragama

Agama Islam ditujukan untuk manusia dengan segala keberagamaannya, karena itu ajaran
Islam tidak melarang umatnya berhubungan dengan umat agama lain. Bahkan lebih tegas lagi Islam
mengajarkan umatnya senantiasa berpihak kepada kebenaran dan keadilan termasuk di dalamnya
terhadap orang-orang non muslim. Sebagai contoh, Nabi bersabda: ”Tuntutlah ilmu walaupun di
negeri Cina.” Hadis tersebut memberikan petunjuk bahwa umat Islam yang ingin belajar atau
sekolah di negeri non muslim dibolehkan selama aqidahnya dijaga dari kemusyrikan.

Dewasa ini, hubungan masyarakat dengan masyarakat lain yang berbeda agama tidak dapat
dihindarkan, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik. Bagi umat Islam hubungan
ini tidak menjadi halangan, sepanjang dalam kaitan sosial kemanusiaan. Bahkan dalam
berhubungan dengan mereka umat Islam dituntut untuk menampilkan perilaku yang baik, sehingga
dapat menarik mereka untuk mengetahui lebih banyak tentang ajaran Islam.

6.3. Penutup

Kehidupan yang damai, tenteram adalah dambaan setiap orang. Karena itu, marilah menciptakan
kerukunan inter, antar dan dengan pemerintah dalam bermasyarakat agar kehidupan dinikmati
bersama. Bermuamalah dengan umat yang berbeda aqidah dengan kita sebagai umat Islam
dibolehkan, misalnya perniagaan, pendidikan, dan sosial budaya lainnya dengan kewaspadaan yang
tinggi
MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT

7.1 Pendahuluan

Masyarkat madani adalah masyarakat yang beradab, masyarakat yang patuh dan tunduk pada
hukum dan aturan yang berlaku, baik yang dibuat oleh Allah (samawi) maupun pemerintah (ardhi).
Dalam bab ini akan diuraikan: 1) Pengertian masyarakat Madani, 2) Karakteristik Masyarakat
Madani, dan 3) Mewujudkan masyarakat Madani, dan 4) Kesejahteraan umat.
7.2. Penyajian
Uraian masing-masing sub pembahasan di atas adalah sebagai berikut:
A. Pengertian Masyarakat Madani
Perkataan ‘Masyarakat” berasal dari bahasa Arab artinya pergaulan. Dalam bahasa Latin
disebut “Sosius”. Istilah Sosius berubah bentuknya menjadi sosial yang berati segala sesuatu yang
berhubungan dengan pergaulan hidup. Poerwadarminta (1983: 636) dalam kamusnya memberikan
pengertian masyarakat: “Pergaulan hidup manusia (sehimpunan orang yang hidup bersama dalam
suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang ditentukan), misalnya memperbaiki masyarakat
madani.” Jamal Syarif Iberani dan Hidayat (2003) dalam bukunya: “Mengenal Islam” mengatakan
bahwa konsep masyarakat madani mencuat di masyarakat Indonesia di awal tahun 90-an. Konsep
masyarakat madani di barat tersebut dikenal istilah civil society.
Culla (2002) mengatakan bahwa istilah civil society adalah lawan dari kelompok militer,
yaitu masyarakat sipil. Selanjutnya Ryas Rasyid mengatakan bahwa istilah itu diartikan dengan
masyarakat yang berbudaya berarti suatu masyarakat yang saling menghargai nilai-nilai sosial
kemanusiaan.
Pengertian social society di atas dapat disimpulkan bahwa sekelompok orang yang hidup
dengan tertib dan aman di bawah seperangkat nilai-nilai atau aturan yang mengandung unsur
saling menghargai dan menghormati antara satu dengan yang lain, jauh berbeda dengan
penampilan hidup dan kehidupan militer.
Masyarkat madani identik dengan masyarakat Islam yang telah dibentuk Rasulullah di
Madinah lima belas abad yang lalu. Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang beradab, sopan,
dan menghargai hak-hak orang lain.
Syariati (1986: 159) mengatakan: “Masyarakat Islam yang ideal disebut ummat. Kata
ummat berasal dari kata ‘amm yang bermakna jalan dan maksud. Jadi, masyarakat madani (umat
madani) yang beradab, sopan, dan saling menghargai, saling menolong.

B. Karakteristik Masyarakat Madani


Masyarakat madani telah dibangun Nabi Muhammad lima belas abad yang lalu
berdasarkan ajaran Islam, masyarakat yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

Masyarakat madani yang dibangun Rasul mempunyai sebagai berikut:

a. Ukhuwwah (Persaudaraan). Yang dimaksud dengan persaudaraan adalah ukhuwah Islamiyah


(seaqidah dan seiman). Wujud nyata nilai-nilai persaudaraan antara lain: tolong-menolong,
saling menghargai antara satu dengan yang lain, saling melindungi dari kejahatan orang lain
bukan sebaliknya saling memukul, saling memaki, saling menyudutkan, saling menyerang,
menyinggung perasaan dan lain-lain. Nilai-nilai persdaudaraan dalam masyarakat madani telah
dicantumkan dalam Al-Quran surat al-Hujurat ayat 10 yang menyatakan bahwa orang mukmin
itu bersaudara. Konsep perasaudaraan itu, mengingatkan, terutama, pada kejadian manusia
berasal dari sumber yang sama, baik laki-laki maupun perempuan. Konsep persaudaraan yang
disebut dalam ayat di atas dijelaskan lebih lanjut oleh Nabi Muhammad dalam sebuah hadis,
yaitu “Orang beriman itu terhadap sesamanya bagaikan sebuah bangunan saling
mengokohkan.. Ini berarti bahwa dalam masyarakat madani disatukan oleh satu keyakinan,
persaudaraan yang Islami.
b. Musawamah (Persamaan). Yang dimaksud musawamah (persamaan) adalah persamaan
kedudukan di sisi Allah yang membedakan hanya ketaqwaannya. Baca dan tulis surat al-
Hujurat ayat 13 yang artinya menyatakan pada sisi Allah, kedudukan manusia adalah sama.
Yang melebihkan seseorang dari yang lain.
c. Tasamuh (toleransi). Yang dimaksud dengan tasamuh adalah sikap atau perbuatan yang dapat
membiarkan atau menghargai pendirian, pendapat dan perbuatan orang lain, kendatipun tidak
sama dengan pendirian atau pendapat sendiri. Rumusan ini menyangkut rumusan sosial. Dalam
masyarakat majemuk, kita dapat hidup berdampingan dengan umat lain dalam batas-batas
yang telah ditentukan, tanpa mengorbankan aqidah yang telah diatur secara jelas dan rinci
dalam Al-Quran dan Hadis.
d. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Yang dimaksud dengan amar ma’ruf nahi mungkar adalah sesama
muslim kita wajib saling mengingatkan untuk berbuat kebajikan dan mencegah dari yang
mungkar dan memelihara hukum-hukum Allah. Baca dan tulis ayat Q.S. at-Taubah ayat 112
e. Musyawarah. Dalam Al-Quran surat asy-syuura ayat 38 dan surat Ali Imran ayat 159 (tulis dan
terjemahkan ayat tersebut) dijelaskan bahwa untuk menyelesaikan segala urusan hendaknya
dengan cara musyawarah baik soal kemasyarakatan maupun soal kehidupan social lainnya,
misalnya masalah kenegaraan.
f. Keadilan dan Menegakkan Keadilan. Ciri ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat dan
sangat diutamakan dalam ajaran Islam. Sebab, selain keadilan merupakan keinginan manusia,
juga merupakan kehendak Allah untuk mewujudkan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan
menurut ajaran Islam adalah titik tolak, proses dan tujuan yang harus dicapai. Karena itu
banyak ayat dalam al-Quran menyebutkan kewajiban orang untuk menegakkan keadilan, baik
keadilan hukum maupun keadilan sosial. Di antara ayat itu adalah surat an-Nisaa ayat 135 dan
Q.S. Al-Maidah ayat 8 yang menyebutkan kewajiban orang untuk menegakkan keadilan,
menjadi saksi yang adil kendatipun untuk diri sendiri, orang tua dan kerabat, baik yang kaya
maupun yang miskin
g. Keseimbangan. Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara 1) hak dan
kewajiban, 2) kewajiban individu dengan individu, 3) kewajiban masyarakat dengan
masyarakat, 4) kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat (Muhammad Daud Ali,
1998: 183-189).
C. Mewujudkan Masyarakat Madani

Untuk mewujudkan masyarakat madani membutuhkan waktu dan sosialisasi yang


panjang. Perlu ada pemahaman tentang apa itu masyarakat madani atau masyarakat yang
berdasarkan ajaran Islam, dan kepada siapa akan diberi pemahaman tentang itu.

Kelompok pertama dan utama yang diberi pemahaman tentang masyarakat madani atau
masyarakat Islam adalah kelompok birokrat dan segala yang berhubungan dengannya, misalnya
pihak kepolisian, pihak kejaksaan, pihak pengadilan dan kepada masyarakat secara umum.

Sebagai contoh daerah Sulawesi Selatan, bila diinginkan masyarakatnya bermasyarakat


madani, yang pertama-tama diusahakan adalah: otonomi khusus, seperti daerah Istimewa Aceh;
Kedua, sosialisasi ajaran ke-madani-an itu sendiri kepada mayarakat daerah atau bangsa, seperti
yang telah diajarkan Rasulullah atau dengan kata lain ajaran syariat Islam.

D. Kesejahteraan umat

Untuk meningkatkan kesejahteraan umat Islam dibutuhkan etos kerja yang tinggi, kerja
keras yang islami. Toto Tasmara (dalam Hasanah dkk (2007) mengatakan etos kerja adalah
totalitas kepribadian diri dan cara mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan
makna tentang sesuatu pekerjaan yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang
optimis. Disamping itu, etos kerja juga bermakna percaya, tekun, dan senang pada pekerjaan yang
sedang dihadapi dengan tidak memandang apakah pekerjaan itu sebagai buruh kasar atau
memimpin suatu perusahaan besar.

Kesejateraan hidup akan meningkatkan bila memaksimalkan doa, kerja dan tawakkal.
Ketiga aspek tersebut mutlak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, harus
memotivasi diri untuk berubah ke arah yang lebih baik seperti perubahan kualitas ekonomi.

7.3. Penutup

Masyarakat madani identik dengan masyarakat yang beradab, patuh dan tunduk pada hukum dan
aturan yang berlaku, hidup dalam kedamaian dan ketertiban, saling menghargai,saling
menghormati, dan saling membantu antara satu dengan yang lain.
KEBUDAYAAN DALAM ISLAM

8.1. Pendahuluan

Islam berkembang dari masa ke masa karena budayanya, misalnya ilmu pengetahuan dan
klasifikasinya. Perlu diketahui bahwa bagaimanapun perkembangan peradaban dan budaya
manusia harus diwarnai oleh ajaran Islam, dalam arti penggunaan teknologi sesuai dengan
peruntukannya, yaitu meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.

Dalam bab ini akan diuraikan: 1) Hakikat kebudayaan, 2) Prinsip-prinsip Kebudayaan


dalam Islam, 3) Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Indonesia, dan 4) Kehidupan Sosial dalam
Pemikiran Islam. Untuk jelsnya, perhatikan uraian berikut ini.

8.2. Penyajian
Uraian masing-masing sub pokok bahasan di atas dipaparkan sebagai berikut.

A. Hakikat Kebudayaan
Manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, saling terkait, karena kebudayaan
merupakan hasil karya, rasa kemudian menjadi adat istiadat manusia sebagai khalifah di bumi.
Tidak ada kebudayaan bila tidak ada manusia dan sebaliknya, tidak ada manusia bila mereka tidak
berbudaya dalam masyarakat dan lingkungannya.

Jamal Syarif Iberani dan Hidayat (2003: 89) mengutip pendapat J.Verkuyl dan
Koentjaraningrat tentang pengertian budaya, yaitu:

a. J.Verkuyl mengatakan bahwa kebudayaan itu berasal dari bahasa Sangsekerta, yakni budaya,
bentuk jamak dari budi yang berarti roh atau akal. Kata “Kebudayaan” berarti segala sesuatu
yang diciptakan oleh manusia.
b. Koentjaraningrat mengatakan kebudayaan berasal dari bahasa Sangksekerta, yakni budhaya,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan dapat
diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.
Jadi, pengertian yang dikemukakan dua pakar budaya di atas dapat disimpulkan bahwa
kebudayaan adalah hasil karya dan rasa manusia melalui proses pemikiran yang sungguh-sungguh
berdasarkan kerangka teoritis keilmuwan.

B. Prinsip-Prinsip Kebudayaan

Faisal Ismail (1997: 24) dalam bukunya “Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan
Refleksi Historis” mengatakan kebudayaan adalah manifestasi dan perwujudan segala aktivitas
manusia sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia merupakan perwujudan dari ide,
pemikiran, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dalam bentuk tindakan dan karya. Oleh karena itu
kebudayaan adalah suatu yang spesifik manusia.

Kebudayaan Islam merupakan salah satu perwujudan dari fungsi manusia di bumi, yaitu
sebagai hamba dan khalifah Allah. Adapun prinsip kebudayaan Islam adalah 1). menghormati akal,
2). memotivasi untuk menuntut dan meningkatkan ilmu, 3). menghindari taklid buta, 4). tidak
membuat kerusakan). Dalam Al-Quran prinsip-prinsip kebudayaan tersebut dapat dibaca secara
berurut dalam surat, Ali Imran ayat 190; Surat al-Mujadalah ayat 11; Surat al-Isra’ ayat 36 dan
Surat al-Qashash ayat 77) dan karakteristik kebudayaan Islam menurut Yusuf Qardhawy (2001: 31-
44) adalah sebagai berikut:

a. Rabbaniyah
Kebudayaan Islam bernuangsa ketuhanan. Ia bercampur dengan keimanan secara umum dan
ketauhidan secara khusus.

b. Akhlaqiyah
Kebudayaan Islam tidak ada pemisahan antara akhlak dengan ilmu, antara akhlak dengan
perbuatan, antara akhlak dengan ekonomi, antara akhlak dengan politik, dan antara akhlak
dengan peperangan serta antara akhlak dengan semua segi kehidupan lainnya.

c. Insaniyah
Kebudayaan Islam menghormati manusia, memelihara fitrah, kemuliaan dan hak-haknya.
Kebudayaan Islam tegak atas asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh
Tuhannya.

d. ‘Alamiyah
Selama kebudayaan Islam berlaku bagi setiap manusia, maka dengan sendirinya ia pun bersifat
‘alamiyah. Ia bersifat terbuka untuk semua kelompok manusia dan tidak menutup diri.

e. Tasamuh
Islam tidak mewajibkan non muslim yang hidup dalam naungan kebudayaannya untuk
menjalankan syariat Islam dan tidak memaksakan orang lain untuk masuk ke dalam
lingkungan kebudayaan Islam.

f. Tanawwu’
Kebudayaan Islam bersifat tanawwu’ (beraneka warna). Ia tidak hanya memuat masalah-
masalah ketuhanan, tetapi terdapat juga masalah ilmu pengetahuan, kemanusiaan, dan
kealaman yang beranega ragam.

g. Washatiyah
Kebudayaan Islam mencerminkan sistem wasathiyah (pertengahan). Pertengahan antara
berlebihan dan kekurangan, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara
kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, dan antara dunia dan akhirat.

h. Takamul
Takamul atau terpadu, saling mendukung antara kebudayaan Islam yang satu dengan
kebudayaan Islam yang lain.

i. Bangga terhadap diri sendiri, yaitu bangga terhadap sumber kebudayaan yang berketuhanan,
berkemanusiaan dan bernuangsa akhlak. Sifat bangga ini menjadikan kebudayaan Islam enggan
untuk diwarnai atau dipengaruhi dengan yang lain yang menyebabkan hilangnya keistimewaan
dan keasliannya..
C. Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Indonesia
Bangsa Indonesia mempunyai dua budaya secara umum: 1) budaya nasional dan 2) budaya
daerah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, ras dan etnik
bangsa.

Sistem budaya nasional adalah suatu yang relatif baru dan sedang berada dalam proses
pembentukan. Nilai-nilai yang terbentuk dalam sistem budaya nasional ini bersifat menyongsong
masa depan. Di antara nilai-nilai budaya nasional itu berkaitan antara lain dengan faktor-faktor:

1. Kepercayaan dan nilai-nilai agama


2. Ilmu pengetahuan
3. Penghargaan kepada kedaulatan rakyat
4. Toleransi dan empati terhadap budaya suku bangsa yang bukan suku bangsanya sendiri
(Iberani dan Hidayat, 2003)
Wardiman Joyonegoro (1996) mengatakan Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku
bangsa dengan sistem budaya yang beragam dari masing-masing etnik lokal kemudian berkembang
menjadi tradisi atau adat istiadat yang berakar kuat dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam
rangka perkembangan budaya nasional, kebudayaan seperti ini seringkali berfungsi sebagai
sumber dalam penciptaan-penciptaan di bidang seni, tata masyarakat dan teknologi serta bahasa
yang kemudian ditampilkan dalam kehidupan lintas budaya.
Di daerah-daerah, budaya Islam juga tampak mewarnai kehidupan berbangsa baik budaya
seni, tradisi, maupun peninggalan fisik, misalnya perayaan maulid, peringatan Isra’ mi’raj, halal
bihalal, pembacaan sejarah hidup Nabi (Barasanji) di berbagai acara sosial.
D. Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam
Ahmad Syalabi dalam bukunya ”Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam, Penerbit Amzah,
mengelompokkan kehidupan sosial masyarakat dalam berbagai kelompok yang disertai dengan
dalil dan ulasan yang jelas dan transparan sehingga mudah dipahami. Pengelompokan kegiatan
sosial yang dimaksudkan adalah sebagai berikut.

1. Masalah Sosial dalam Lingkungan keluarga


 Perkawinan: dorongan, tujuan dan hukum Islam
 Pemilihan dalam perkawinan
 Perkawinan dengan perempuan kitabi
 Perkawinan dengan perempuan asing
 Laki-laki yang masuk Islam, kawin dengan perempuan yang beragama Islam
 Pertunangan
 Maskawin dan akad nikah
 Anak-Anak: Pemberian dan pelayanan seksama di antara anak-anak
 Ibu Tiri
 Mertua
 Khitan
 Keluarga Berencana:
 Pencegahan Hamil Permanen
 Penangguhan hamil untuk Kemaslahatan anak yang disusui
 Penangguhan hamil bagi kesehatan Orang Tua dan anak
 Penangguhan hamil menurut persetujuan suami-isteri
 Kelebihan penduduk
 Abortus
 Anak yang bukan dari benih sendiri, anak angkat, dan penanaman benih buatan
 Pertanggungjawaban di antara anggota keluarga:
 Hak suami-Isteri
 Pertanggungjawaban anatar ayah, ibu, dan anak-anak
 Kaum kerabat dan pertanggungjawabannya
 Pembantu rumah tangga
 Perempuan pekerja
 Pewarisan menurut syara’ dan pematuhannya
2. Masalah Sosial dalam Lingkungan Masyarakat:
 Hari Raya
 Nishfu Sya’ban
 Malam lailatul qadri
 Asyura
 Hikmah Hari raya dan Upacara Penyambutannya
 Hari-Hari Penyambutan Khusus
 Hiburan, Musik dan Nyanyian
 Musik dan Nyanyian
 Memperingati Orang Meninggal
 Wali, Sambutan Maulid, Nazar, dan Majelis Zikir
 Hari-hari maulid
 Menunaikan Nazar
 Majelis Zikir
 Pengeras Suara
 Olahraga dan Hiburan
 Sepak Bola dan Suporternya
 Adu Kambing, Sabung Ayam, dan Matador
 Sepatah Kata tentang judi
 Kaum Wanita dalam Masyarakat:
 Pakaian Wanita
 Hijab
 Wanita dan Pimpinan
 Laki-laki menyerupai Wanita dan Sebaliknya
 Khamar
 Hukum bagi Peminum Khamar
 Berobat dengan Khamar
 Mabuk
 Rokok
 Perhatian Terhadap Hakikat dan Sejarah
 Pengemis
 Persamaan dan Hukum Bersuku-Suku
 Qada dan Qadar
 Pandangan Sekilas tentang Masyarakat
 Ilmu dan Praktek
 Manusia dan Suka Dukanya
 Hubungan Sesama Manusia
 Kikir dengan Kata lain:
 Kebaikan Tidak Dinilai dengan Angka
 Meniru Perbuatan Jahat dan Baik
 Berbahagiakah Anda Sebab Sukses dan menderita
 Cara Menghapuskan Dengki
 Masyarakat Islam yang Sebenarnya
 Hak tetangga
3.`Masalah Sosial Di sekitar Keuangan

 Dasar-dasar Pembahasan
 Riba
 Macam-Macam riba
 Memberi dan Mengambil Riba
 Bank
 Bank-Bank Khusus
 Simpanan dengan Bunga di Pos dan Bank
 Ke arah Pendirian bank Islam
 Perkonsian Mudharabah
 Pinjaman
 Pesanan
 Penjualan dengan Kredit
 Pembelian Kembali
 Bank Islam: Pendahuluan
 Bank Islam Lokal:
 Simpanan “Current Account”
 Simpanan Penanaman Modal
 Bank Islam Pusat
 Perseoroan dan Saham
 Bursa dan Makelar
 Asuransi:
 Pandangan Hukum Islam tentang Asuransi dengan Asuransi Tetap itu
 Kartu Undian

E. Mesjid sebagai Pusat Kebudayan Islam

Kata ”Mesjid” berasal dari kata ”Sajada” artinya sujud, makna mesjid berarti tempat sujud,
tempat meyembah Allah, tempat beribadah khusus kepada Allah. Arti lain dari kata sujud ialah
ketundukan, ketaatan manusia secara total (Hasanah, dkk, 2007). Pada masa Nabi Muhammad saw
menyiarkan dakwahnya mesjid sebagai markaz atau pusat berdakwah, informasi Islam
disampaikan melalui mesjid, karena salah satu tempat berkumpulnya manusia adalah mesjid.

8.3. Penutup

Kebudayaan dan peradaban manusia berkembang dan maju karena orang Islam yang
berpikir modern dan positif. Setiap kebudayaan atau peradaban harus sesuai dengan petunjuk
Islam. Sebaliknya, setiap peradaban dan kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam harus
ditinggalkan bila aqidah taruhannya. Tetapi, menghidupkan budaya justru menambah wawasan
keislaman, menambah keyakinan, menyambung silaturrahmi boleh dilakukan bahkan
dikembangkan.

SISTEM POLITIK DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM


9.1. Pendahuluan

Kesuksesan seseorang tergatung siasat atau strategi atau sistem politik yang dijalankan.
Islam memberikan petunjuk bahwa dalam berpolitik atau mengatur pemerintahan di sebuah
negara hendaklah santun dan bersaing secara sehat, tidak saling menghina, menyinggung antara
satu dengan yang lain. Bila ada masalah yang tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah dan
mufakat maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul-Nya (Alquran dan Hadis Nabi).
Dalam bab ini akan diuraikan: 1) Pengertian Politik, 2) Prinsip dasar politik Islam, 3)
Demokrasi dan Musyawarah, dan 4) Kontribusi umat Islam dalam Perundang-Undangan di
Indonesia.
9.2. Penyajian
Uraian masing-masing sub pokok bahasan di atas dipaparkan sebagai berikut:
A. Pengertian Politik Islam
Perkataan politik berasal dari bahasa Latin dan bahasa Yunani “Politicus” dan “Politicos,
keduanya berarti sesuatu yang berhubungan dengan warga negara atau warga kota. Kedua kata itu
berasal dari kata polis maknanya kota. (Muhammad Daud Ali, 1998). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1989) pengertian politik sebagai kata benda ada tiga maknanya jika dikaitkan dengan
ilmu artinya:

1. Pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (tentang sistem pemerintahan,


dasar-dasar pemerintahan);
2. Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai
pemerintahan atau terhadap negara lain;
3. Kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).
Pengertian politik menurut kamus di atas dapat disimpulkan bahwa politik adalah ilmu
tentang ketatanegaraan, kebijaksanaan, siasat dan cara bertindak menghadapi sesuatu masalah.

Pengertian politik menurut ilmuwan adalah sebagai beikut.

a. Meriam Budiardjo (1993) mengatakan ada lima unsur sebagai konsep pokok dalam
politik, yaitu:
1). Negara

2). Kekuasaan

3). Pengambilan keputusan

4). Kebijaksanaan

5). Pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat

Jadi, pengertian politik menurut beliau adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu
system politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan itu.

b. Deliar Noer mengatakan bahwa politik menggunakan dua pendekatan:

1). Pendekatan nilai

2) Pendekatan perilaku
Jadi, politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan
untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu macam bentuk
susunan masyarakat.

c. Abd. Muin Salim (1994) memberikan pengertian politik: “Perilaku manusia baik berupa
aktivitas maupun sikap, yang bertujuan mempengaruhi atau mempertahankan tatanan
suatu masyarakat dengan mempergunakan kekuasaan.

B. Prinsip Dasar Politik Islam

Prinsip-prinsip dasar politik Islam tercantum dalam Al-Quran surat an-Nsaa’ ayat 58-59
(tugas, tulis ayat dan terjemahnyanya). Kandungan kedua ayat tersebut adalah 1) Prinsip
menunaikan amanah, 2) Prinsip keadilan, 3) Prinsip ketaatan kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri,
dan 4) Prinsip merujuk kepada Allah dan Rasul jika terjadi perselisihan. Uraian masing-masing
prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

a. Prinsip menunaikan amanah

Prinsip ini mengandung kewajiban setiap orang beriman baik ia sebagai pejabat (berkuasa)
maupun sebagai masyarakat biasa agar menunaikan amanah yang menjadi
tanggungjawabnya, meskipun amanah itu dari sesama manusia apa lagi dari Allah. Di sisi
lain, ayat empat surat an-Nisaa’ di atas memperkenalkan prinsip tanggungjawab kekuasaan
politik.

Al-Maraghy (1974: 70) dalam tafsirnya “Tafsir al-Maragy” mengklasifikasi amanah


sebagai berikut:

1). Tanggungjawab manusia kepada Tuhan

2). Tanggungjawab manusia kepada sesamanya

3). Tanggungjawab manusia kepada dirinya sendiri

b. Prinsip Keadilan

Prinsip keadilan ini, menurut Islam berlaku kepada semua makhluk di bumi ini, baik
manusia secara individu maupun secara berkelompok, beriman atau tidak beriman, kaya
atau miskin, anak-anak atau orang dewasa. Pendek kata. Prinsip keadilan ini mutlak
diiberlakukan dalam semua lini kehidupan.
Dalam al-Quran, istilah yang dipakai untuk makna keadilan adalah: 1) ‘Adl, al-qisth,
al-mizan, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu
menjadi antonim kezaliman (Iberani dan Hidayat, 2003: 178)

M.Quraisy Syihab (1996: 112-113) dalam bukunya “Wawasan Al-Quran”


mengatakan “Islam memandang kepemimpinan sebagai perjanjian Ilahi yang melahirkan
tanggungjawab menentang kezaliman dan menegakkan keadilan. Kepemimpinan dalam
pandangan Islam tidak hanya merupakan hubungan dengan sesama manusia, tetapi juga
menjadi hubungan atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk
mempertanggungjawabkannya dengan berbuat keadilan.

c. Prinsip ketaatan kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri

Abd. Muin Salim (1994: 231) memberikan pengertian kalimat “Ulil Amri” dengan
makna “Pemilik Pemerintahan,” menjalankan roda pemerintahan dan kekuasaan. Karena
itu, makna tersebut mencakup setiap pribadi yang memegang kendalli urusan kehidupan
baik urusan keluarga, tetangga, masyarakat dan negara.

Prinsip ketiga ini mengadung unsur kesadaran untuk mentaati perintah, baik
perintah itu sumbernya dari Allah yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya
maupun dari orang yang diberi kekuasaan memerintah, selama yang diperintahkan
manusia tidak menyalahi syariat Islam.

d. Prinsip merujuk kepada Allah dan Rasul jika terjadi perselisihan.

Perselisihan apa pun yang terjadi di antara manusia hendaklah diselesaikan dengan
cara mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya (al-Quran dan Sunnah) sekiranya
masalahnya tidak dapat diselesaikan dengan cara musyawarah dan mufakat. Di samping itu,
cara penyelesaian masalah berdasarkan wahyu menjauhkan orang dari pertengkaran dan
perkelahian.

Iberani dan M. Hidayat (2003: 180) mengatakan bahwa musyawarah adalah


pemberian kesempatan kepada anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan hak
untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk
aturan-aturan hukum maupun kebijakan-kebijakan politik

C. Demokrasi dan Musyawarah


Iberani dan Hidayat (2003) memberikan pengertian “Demokrasi”, yaitu terdiri atas kata
“demos” yang berarti rakyat dan “ cratia” yang berarti pemerintahan. Jadi demokrasi artinya
pemerintahan di tangan rakyat atau kekuasaan ada di tangan rakyat. Pendek kata, rakyat yang
berkuasa, menentukan roda pemerintahan dengan sistem perwakilan.

Ibnu Zakaria (1972) dalam bukunya “Mu’jam Maqaayis Lughat” jilid III, memjelaskan
makna “Musyawarah,” yaitu merupakan bentuk mashdar ( kata kerja yang dibendakan) yang
berarti menampakkan dan menawarkan atau mengambil sesuatu. Agak berbeda pengertian
musyawarah menurut Quraisy Syihab (1996) dalam bukunya “Wawasan Al-Quran,” mengeluarkan
madu dari sarang lebah. Di samping itu, musyawarah juga berati mengatakan atau mengajukan
sesuatu.

Secara etimologi, musyawarah mempunyai arti nasehat, konsultasi, perundingan, pikiran


atau konsideran permufakatan Secara terminology, musyawarah adalah majelis yang dibentuk
untuk mendengarkan saran atau ide, bagaimana mestinya dan terorganisir dalam urusan negara
(Ibnu Mandzur, 1968). Misalnya: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Majelis Syura
Muhammadiyah, Lembaga Muyawarah Desa, Musyawarah Alim ‘Ulama, Musyawarah Kerukunan
Umat Beragama dan sebagainya.

Dalam melaksanakan musyawarah ada empat unsur penting diperhatikan:

1. Mustasyir adalah orang yang menghendaki adanya musyawarah dan menginginkan suatu
pendapat yang benar atau mendekati kebenaran
2. Mustasyar adalah orang yang diajak bermusyawarah
3. Mustasyar fih adalah permasalahan yang akan dikaji atau dijadikan obyek musyawarah
4. Ra’yu adalah pendapat bebas yang argumentatif, mencermati esensi syari’at dan terlepas
dari perasaan nafsu.
Dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, bernegara musyawarah merupakan sarana
untuk menyatukan hati, mensucikan jiwa, dan menghargai pendapat orang lain selama empat unsur
di atas terpenuhi.
Ayat-ayat yang berkaitan langsung dengan musyawarah, antara lain: Q.S. al-Baqarah ayat
233; Q.S. Ali Imran ayat 159 dan asy-Syura ayat 38. Ketiga ayat tersebut menjadi petunjuk bagi
manusia untuk menyelesaikan problem keluarga, masyarakat dan negaranya (tugas anda, tulis dan
terjemahkan ayat tersebut ).

D. Kontribusi Umat Islam dalam Perpolitikan Nasional


Dalam perjalanan sejarah pembanguan bangsa, dari repelita ke repelita umat Islam banyak
memberikan sumbangsih terhadap perpolitikan di Indonesia (Iberani dan Hidayat, 2003: 198)
dalam bukunya “Mengenal Islam” mengatakan sejak tahun 1930-an sampai akhir 1960, bahkan
sampai sekarang umat Islam tetap memberi warna dalam perpolitikan bangsa, meskipun di antara
mereka ada yang tidak murni untuk perpolitikan Islam yang dijalankan, tetapi masih banyak yang
lain tetap konsisten dalam menegakkan politik Islam, misalnya seorang politikus sekaligus
cendikiawan muslim dewasa ini adalah Hidayat Nur Wahid bersama dengan kelompoknya,
Nurchalis Majid, Rektor Universitas Paramadina dan lain-lain.
9.3. Penutup

Sebuah negara akan berkembang dan maju serta baik pemerintahannya apabila
menerapkan sistem politik Islam dalam mengatur negara seperti Nabi Muhammad membangun
negara Islam di Madinah pada tahun 622 M atau sekitar 1386 tahun yang lalu.

Anda mungkin juga menyukai