Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Semua perusahaan yang berdiri dan aktif beroperasi pasti menginginkan suatu

peningkatan kinerja yang baik dari semua karyawan perusahaan. Perusahaan seharusnya

meningkatkan pengendalian apabila ada penurunan tingkat produktivitas karyawan agar kinerja

karyawan semakin meningkat. Kinerja individu yang baik akan mempengaruhi keberhasilan

perusahaan. Kinerja individu yang dihasilkan oleh karyawan disebabkan oleh dua faktor yaitu

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal muncul dari dalam diri yang memungkinkan

adanya motivasi untuk bekerja lebih baik. Faktor eksternal bisa muncul karena kurangnya sarana

dan prasarana, kurangnya kemampuan menggunakan fasilitas yang ada dan sebagainya.

Sistem informasi akuntansi merupakan bagian yang terpenting dari seluruh informasi

yang diperlukan oleh manajemen dan perusahaan. Informasi akuntansi terutama berhubungan

dengan data keuangan dari suatu perusahaan. Agar data keuangan yang ada dapat

dimanfaatkan baik oleh pihak manajemen maupun pihak luar perusahaan, maka data tersebut

perlu disusun dalam bentuk yang sesuai. Untuk dapat menghasilkan informasi yang sesuai dan

dalam bentuk yang sesuai juga, diperlukan suatu sistem yang mengatur arus dan pengelolaan

data akuntansi dalam perusahaan (Baridwan, 2000).

Penggunaan sistem teknologi informasi yang tepat didukung oleh keahlian personal

yang mengoperasikannya dan dapat meningkatkan kinerja perusahaan maupun kinerja

individual yang bersangkutan (Ariyanto, 2007) dalam Wijaya (2013). Sistem teknologi

informasi dalam perusahaan tidak terlepas dari peran sumberdaya manusia yang menjalankan

fungsi-fungsi dari aplikasi-aplikasi sistem teknologi informasi, dan akan menjadi tolak ukur
bagi perkembangan perusahaan itu sendiri. Penggunaan sistem informasi sangat dibutuhkan

oleh suatu organisasi, yang bertujuan untuk meningkatkan suatu kinerja karyawan dan kinerja

perusahaan.

Pengaruh sistem pengendalian intern terhadap kinerja instansi/perusahaan masih

menghasilkan hasil yang tidak konsisten. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur Azlina dan

Ira Amelia (2014) yaitu sistem pengendalian intern berpengaruh signifikan secara parsial

terhadap kinerja instansi pemerintah daerah Kabupaten Pelalawan adalah terbukti. Ummu

Kaltsum dan Abdul Rohman (2013) menyatakan sistem pengendalian intern berpengaruh

terhadap akuntabilitas kinerja instansi Pemerintah. Tri Putri lestari (2015) menyimpulkan

bahwa pengendalian intern berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kinerja instansi

Pemerintah Daerah. Cahya Annisa Dkk (2014) menyatakan pengendalian intern tidak

memberikan berpengaruh terhadap kinerja instansi pemerintah.

Kinerja karyawan cenderung dipengaruhi oleh budaya organisasi yang berlaku. Budaya

organisasi dipengaruhi oleh pemilik organisasi yang akan berpengaruh pada kinerja jangka

panjang perusahaan. Budaya organisasi mempengaruhi kinerja karyawan yang dapat

menaikkan koordinasi antar karyawan. Dampak budaya organisasi memberikan kontribusi

secara langsung pada kinerja karyawan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang telah

dibebankan. Kehadiran budaya organisasi tentunya sangat diharapkan bagi perusahaan, agar

nilai-nilai yang ada dapat dipahami dan diterapkan oleh para karyawan agar dapat tercapai

kinerja yang baik dan optimal. 2 Baik buruknya sikap seorang karyawan dipengaruhi oleh

komitmen yang terkandung di dalam diri karyawan tersebut, komitmen karyawan dapat

digunakan untuk mengarahkan sikap perilaku demi mencapai keberhasilan organisasi.

Komitmen karyawan yang berpengaruh positif terhadap kinerja merupakan dimensi perilaku
yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan bertahan sebagai anggota

organisasi. Berdasarkan penelitian terdahulu dari Moh Thamrin Bey, Retno Catur Kusuma

Dewi dalam artikel yang berjudul Pengaruh Budaya Organisasi Dan Komitmen Organisasi

Terhadap Kinerja Karyawan Pada BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Jombang terbit di

jurnal Riset Manajemen dan Bisnis Dewantara Vol. 1 No. 1 Juli 2018, menghasilkan

kesimpulan bahwa Budaya Organisasi (X1) dan Komitmen Organisasi (X2) berpengaruh

positif dan signifikan terhadap Kinerja Karyawan (Y) pada BPJS Ketenagakerjaan (kantor

cabang jombang).

Trisnaningsih (2007) menjelaskan bahwa, kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil

karya yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan

kepadanya didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan waktu yang diukur

dengan mutu kerja yang dihasilkan. Penilaian kinerja pada dasarnya merupakan penilaian

perilaku manusia dalam melakukan peran yang dimainkannya untuk mencapai tujuan

organisasi.

PT. Socfin Indonesia (Socfindo)

Berdasarkan literatur dan penelitian yang dilakukan terdahulu bahwa ada pengaruh

yang signifikan antara efektivitas sistem informasi akuntansi, sistem pengendalian internal,

komitmen organisasi, dan budaya organisasi terhadap kinerja karyawan mendorong penulis

untuk melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Efektivitas Sistem Informasi Akuntansi,

Sistem Pengendalian Internal, Komitmen Organisasi, dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja

Karyawan Pada PT. Socfindo”


1.2. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana proses pemasaran minyak kelapa sawit (CPO) PT. Socfin Indonesia?

2. Berapa share margin yang tercipta dari pemasaran minyak kelapa sawit (CPO) PT. Socfin

Indonesia ?

3. Bagaimana tingkat efisiensi pemasaran CPO (Crude Palm Oil) PT. Socfin Indonesia ?

4. Berapa besar elastisitas transmisi harga dari pemasaran minyak kelapa sawit (CPO) PT.

Socfin Indonesia ?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Menganalisis proses pemasaran minyak kelapa sawit (CPO) PT. Socfin Indonesia.

2. Menganalisis besar share margin yang tercipta dari pemasaran CPO PT. Socfin Indonesia

3. Menganalisis efisiensi pemasaran CPO (Crude Palm Oil) PT. Socfin Indonesia.

4. Menganalisis elastisitas transmisi harga dari pemasaran CPO PT. Socfin Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian adalah :

1. Bagi PT. Socfin Indonesia


Sebagai bahan referensi masukan bagi PT. Socfin Indonesia dan isntansi terkait lainnya dalam

mengambil kebijakan pemasaran CPO (Crude Palm Oil).

2. Bagi Pemerintah

Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam membuat keputusan dan menetapkan

kebijakan yang dapat meningkatkan efisiensi dan pengembangan agribisnis kedepannya.

3. Bagi Peneliti

Sebagai sumber keterangan, referensi, dan informasi dan dapat menjadi acuan dan

dikembangkan pada penelitian selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1 Sejarah dan Botani Sawit

Kelapa sawit (Elaeis) termasuk golongan tumbuhan palma. Sawit menjadi populer setelah

Revolusi Industri pada akhir abad ke-19 yang menyebabkan permintaan minyak nabati untuk

bahan pangan dan industri sabun menjadi tinggi. Kelapa sawit di Indonesia diintroduksi pertama

kali oleh Kebun Raya pada tahun 1884 dari Mauritius (Afrika). Saat itu Johannes Elyas

Teysmann yang menjabat sebagai Direktur Kebun Raya. Hasil introduksi ini berkembang dan

merupakan induk dari perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara. Pohon induk ini telah mati
pada 15 Oktober 1989, tapi anakannya bisa dilihat di Kebun Raya Bogor (Komisi Pengawas

Pesaingan Usaha Republik Indonesia).

Kelapa sawit di Indonesia baru diusahakan sebagai tanaman komersial pada tahun 1912 dan

ekspor minyak sawit pertama dilakukan pada tahun 1919. Perkebunan kelapa sawit pertama

dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt seorang Jerman pada tahun 1911

(Komisi Pengawas Pesaingan Usaha Republik Indonesia).

Tanaman kelapa sawit termasuk tanaman multiguna. Tanaman tersebut mulai banyak

menggantikan posisi penanaman komoditas perkebunan lain, yaitu tanaman karet. Tanaman

ssawit kini tersebar di berbagai daerah. Kelapa sawit ditempatkan sebagai salah satu komoditas

ekspor yang menjanjikan (Suwarto dan Yuke, 2012).

Berdasarkan klasifikasinya, kelapa sawit dapat dijelaskan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Liliopsida

Ordo : Aracales

Famili : Aracaceae

Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis

Tanaman kelapa sawit mempunyai akar serabut, tidak berbuku, ujungnya meruncing, dan

berwarna putih atau kekuningan. Akarnya dapat menopang tanaman hingga usia 25 tahun.

Sementara itu, batangnya tidak berkambium dan umumnya tidak bercabang. Batang tanaman
yang masih muda tidak terlihat karena tertutup oleh pelepah daun. Pertambahan tinggi batang

terlihat jelas setelah tanaman berumur 4 tahun. Daun kelapa sawit membentuk susunan majemuk,

bersirip genap, dan bertulang sejajar. Daun-daun ini membentuk satu pelepah yang panjangnya

mencapai lebih dari 7,5-9 m (Suwarto dan Yuke, 2012).

Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu (monoecious). Artinya, bunga jantan dan bunga

betani terdapat dalam satu tanaman dan masing-masing terangkai dalam satu tandan. Rangkaian

bunga jantan terpisah dengan bunga betina.Bentuk bunga jantan lonjong memanjang dengan

ujung kelopak agak meruncing dan garis tengah bunga lebih kecil. Sementara itu, bentuk bunga

betina agak bulat dengan ujung kelopak agak rata dan garis tengah lebih besar (Suwarto dan

Yuke, 2012).

Buah pada tanaman kelapa sawit disebut fructus. Warna buah tergantung verietas dan umurnya.

Secara anatomi, buah kelapa sawit terdiri dari dua bagian. Bagian yang pertama adalah

perikarpium yang terdiri dari epikarpium dan mesokarpium. Bagian kedua adalah biji yang

terdiri dari endokarpium, endosperm, dan lembaga atau embrio (Suwarto dan Yuke, 2012).

2.1.2 Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia

Pada awalnya, pelaku usaha kelapa sawit terbatas pada perusahaan asing berskala besar dan

terintegrasi antara budidaya, pengolahan Pabrik Kelapa Sawit (PKS), dan pemasaran hasilnya.

Hal ini berlangsung hingga periode awal Republik. Sekitar 1958, beberapa perusahaan Belanda

dinasionalisasikan dan diambil alih sebagai Perusahaan Perkebunan Negara. Rakyat menjadi

pelaku usaha perkebunan kelapa sawit baru sekitar tahun 1980 dengan dikembangkannya

program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dalam rangka program akselerasi pembangunan

perkebunan. Terdapat beberapa versi PIR sesuai dengan sasaran dan sumber pendanaannya,

seperti PIR-BUN atau NES (Nucleus Estate and Smallholder), PIR-TRANS dan PIR-KKPA
telah mempercepat perkembangan usaha perkebunan rakyat ini. Perkembangan kelapa sawit

rakyat ini dapat dikatakan fenomenal. Berawal pada tahun 1980, dalam sepuluh tahun pertama

mencapai sekitar 300 ribu Ha, sepuluh tahun berikutnya mencapai sejuta hektar lebih, dan kini

telah 5 mencapai lebih dari 1,8 juta hektar. Dari luas areal kelapa sawit rakyat ini, disamping

perkebunan plasma, sebagian besar adalah perkebunan swadaya yang berinvestasi menggunakan

dana sendiri atau pinjaman, termotivasi oleh pengalaman sukses petani lain serta prospek bisnis

yang cerah (Komisi Pengawas Pesaingan Usaha Republik Indonesia).

Pembangunan perkebunan khususnya kelapa sawit di Indonesia telah membawa dampak

ekonomi terhadap masyarakat, baik masyarakat yang terlibat dengan aktivitas perkebunan

maupun terhadap masyarakat sekitarnya. Dari hasil penelitian Almasdi Syahza (2007)

menjelaskan bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi ketimpangan

pendapatan antar golongan masyarakat dan mengurangi ketimpangan ekonomi antar

kabupaten/kota; menciptakan multiplier effect ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat pedesaan; dan ekspor produk turunan kelapa sawit (CPO) dapat merangsang

pertumbuhan ekonomi daerah. Tingkat kesejahteraan yang dirasakan oleh masyarakat pedesaan

telah membawa dampak berkembangnya perkebunan di daerah, khususnya kelapa sawit

(Supriadi, 2011).

Almasdi Syahza (2007) mengungkapkan dalam penelitiannya yang berjudul Percepatan Ekonomi

Pedesaan Melalui Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit, kegiatan penelitian untuk mengkaji

dampak pembangunan perkebunan kelapa sawit terhadap percepatan pembangunan ekonomi

masyarakat dalam upaya mengentaskan kemiskinan di daerah pedesaan. Penelitian dilakukan

melalui survey dengan metode deskriptif (Descriptive Research). Informasi diperoleh melalui

pendekatan Rapid Rural Appraisal (RRA). Hasil diperoleh kegiatan perkebunan kelapa sawit di
pedesaan menciptakan angka multiplier effect sebesar 3,03, terutama dalam lapangan pekerjaan

dan peluang berusaha. Indek 4 kesejahteraan petani di pedesaan tahun 2003 sebesar 1,72. Berarti

pertumbuhan kesejahteraan petani mengalami kemajuan sebesar 172 persen. Pada periode tahun

2003-2006 indek kesejahteraan petani 0,18 dan periode tahun 2006-2009 juga mengalami positif

sebesar 0,12. Ini berarti kesejahteraan petani pada periode tersebut meningkat sebesar 12 persen

(Supriadi, 2011).

2.1.3 Produksi CPO di Indonesia

Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu andalan produk pertanian Indonesia baik sebagai

bahan baku minyak goreng maupun komoditas ekspor. Untuk mencapai keuntungan maksimum

maka perusahaan penghasil CPO perlu berproduksi secara efisien. Indonesia merupakan

produsen CPO terbesar di dunia dengan produksi mencapai 30,9 juta ton pada tahun 2015, nilai

ini mengalami peningkatan sebesar 5,47% dibandingkan tahun 2014 (BPS, 2015). Apabila dilihat

dari kontribusinya, 56,33% berasal dari perkebunan swasta, 36,56% dari perkebunan rakyat dan

7,11% berasal dari perkebunan milik pemerintah (BPS, 2015).

Pasar minyak nabati di pasar internasional merupakan salah satu pasar yang kompetitif,

melibatkan lebih dari sembilan jenis minyak serta hampir diproduksi dan dikonsumsi di semua

negara, baik negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Minyak nabati yang banyak

diperdagangkan di pasar internasional antara lain minyak kedele, minyak sawit, rapeseed oil,

sunflower oil, minyak kelapa, minyak jagung, dan minyak kacang tanah (Susila, 2002).

Ada beberapa faktor yang melandasi pemikiran bahwa prospek CPO cukup cerah dalam

persaingan dengan minyak nabati lainnya. Faktor pertama yang mendukung daya saing minyak
sawit yang tinggi adalah tingkat efisiensi yang tinggi dari minyak tersebut. Pasquali (1993) dan

Basiron (2002) menyebutkan bahwa CPO merupakan sumber minyak nabati termurah.

Rendahnya harga CPO relatif terhadap minyak lain berkaitan dengan tingginya tingkat efisiensi

produksi CPO (Simeh 2004; Susila 1998).

Dalam melihat peluang pasar CPO Indonesia, maka terlebih dahulu perlu diestimasi peluang

pasar (peningkatan konsumsi) di pasar dunia. Berdasarkan hasil estimasi sebelumnya, tingkat

konsumsi sampai dengan tahun 2025 diperkirakan akan berkisar antara 41.45 – 44.45 juta ton. Di

sisi lain, produksi CPO dunia pada tahun 2004 adalah 25.67 juta ton. Dengan demikian, peluang

peningkatan produksi sampai dengan tahun 2025 berkisar antara 15.78 – 18.78 juta ton. Dengan

peluang pasar yang cukup terbuka baik dari sisi ekspor ataupun konsumsi dunia secara

keseluruhan, negara produsen CPO akan berusaha memanfaatkan peluang pasar tersebut.

Malaysia dan Indonesia diperkirakan sebagai negara yang paling banyak dapat memanfaatkan

peluang tersebut. Sebagai perkiraan, Malaysia sebagai produsen utama diperkirakan akan

memanfaatkan peluang tersebut dengan peningkatan produksi dengan laju 2.8%-1.5% per tahun.

Indonesia diperkirakan masih akan mempunyai peluang untuk memanfaatkan peluang tersebut

dengan peningkatan produksi dengan laju antara 3.0%-7.6% per tahun (Susila, 2002).

2.1.4 Pemasaran CPO dan Ekspor CPO Indonesia

Kotler dan Keller (2009:316), mendefinisikan ekspor yaitu: kegiatan untuk menjual barang yang

dihasilkan di negara asal perusahaan ke luar negeri. Ekspor adalah kegiatan menjual produk baik

oleh individu ataupun organisasi suatu negara kepada individu atau organisasi di negara lain.

Directorate General for National Export Development (2011) memaparkan faktor-faktor yang

dapat mendorong negara melakukan kegiatan ekspor antara lain: (1) memiliki komoditas lanjutan

atau sisa peninggalan ekonomi jaman kolonial untuk diproduksi, (2) untuk optimalisasi laba (3)
melakukan diversivikasi pasar (4) memanfaatan kelebihan kapasitas (Excess Capacity) (5)

sebagai negara yang berorientasi ekspor (6) adanya wisma Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)

dagang atau trading house yang mendukung (7) memiliki komoditas berdaya saing tinggi (Turnip

dkk., 2016).

Peningkatan produksi CPO dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan penambahan PKS dan

meningkatkan efisiensi PKS itu sendiri. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis tingkat

efisiensi pabrik kelapa sawit (PKS) di Indonesia serta membandingkan tingkat efisiensi PKS

berdasarkan kepemilikannya, lokasi pabrik serta orientasi pemasaran PKS tersebut apakah dijual

pada pasar domestik atau diekspor (Rifin, 2017).

Kementerian Pertanian (2012) dalam Ermawati dan Saptia (2013) menjelaskan bahwa pada

tahun 2011, total produksi minyak sawit dunia sebesar 50.894 ribu ton, Indonesia memproduksi

40,27% atau 23.900 ribu ton dari total produksi minyak sawit dunia, sementara Malaysia

40,26%, Thailand 2,78%, Nigeria 2,03%, dan Colombia 1,80%. UN COMTRADE (2016)

mencatat bahwa volume ekspor CPO Indonesia selama periode tahun 1999-2014 selalu lebih

unggul dibandingkan Malaysia dan Thailand. Total volume ekspor CPO Indonesia selama

periode tahun 1999-2014 ialah 81.762.729.850 ton dengan rata-rata pertumbuhan sebesar

27,12%. Total volume ekspor CPO Malaysia selama periode tahun 1999-2014 ialah

29.164.549.471 ton dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 25,28%, dan Total volume ekspor

CPO Thailand selama periode tahun 1999-2014 ialah 4.154.126.886 ton dengan rata-rata

pertumbuhan sebesar 25,12%. Perdagangan luar negeri (2013) mencatat bahwa negara tujuan

ekspor terbesar Indonesia tahun 2008 – 2012 ialah India, China, Malaysia, dan Belanda.

Indonesia unggul di pasar Asia dan Malaysia unggul di pasar Eropa dan Amerika (Turnip dkk.,

2016).
2.2 Landasan Teori

2.2.1 Definisi Pemasaran dan Konsep Pemasaran

Isitilah pemasaran muncul pertama kali sejak kemunculan istilah barter. Proses pemasaran

dimulai sebelum barang-barang diproduksi dan tidak berakhir dengan penjualan. Menurut Kotler

(2002), Marketing (pemasaran) adalah suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya

individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui

penciptaan, penawaran, dan pertukaran (exchange) (Sutanto dan Khaerul, 2013).

Dalam kegiatan tataniaga, besarnya pendapatan atau keuntungan yang dapat diperoleh dari

usahatani selain dipengaruhi oleh faktor teknik budidaya, juga sangat ditentukan oleh cara

pemasaran. Pemasaran dikatakan berhasil jika dapat memperoleh harga jual yang tinggi. Untuk

mendapatkan harga jual yang tinggi, diperlukan adanya suatu penyusunan strategi pemasaran

dengan memperhatikan lembaga pemasaran yang berperan di dalamnya dan standar harga dasar

untuk menentukan harga jual (Lamb, dkk 2001 dalam Siregar, dkk, 2015).

Proses pemasaran meliputi pemahaman misi organisasi dan peran pemasaran dalam memenuhi

isi tersebut, menyusun sasaran pemasaran, analisis lingkungan, pengembangan strategi

pemasaran melalui pemilihan strategi target pasar, pengembangan dan implementasi bauran

pemasaran, implementasi strategi, mendesain pengukuran kinerja dan evaluasi upaya pemasaran

serta membuat perubahan jika dalam Siregar,dkk Tanpa Tahun diperlukan. Bauran pemasaran

mengkombinasikan strategi produk, distribusi (tempat), promosi, dan harga dalam upaya

menciptakan suatu pertukaran untuk mencapai sasaran individu dan organisasi (Lamb, dkk 2001

dalam Siregar, dkk, 2015).

2.2.2 Saluran Pemasaran


Saluran pemasaran adalah rute dan status kepemilikan yang ditempuh oleh suatu produk ketika

produk ini mengalir dari penyediaan bahan mentah melalui produsen sampai ke konsumen akhir.

Usaha memperlancar arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen merupakan faktor yang

tidak boleh di abaikan dengan memilih saluran distribusi yang tepat yang akan digunakan dalam

rangka menyalurkan barang-barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Sudiyono (2004)

mengungkapkan bahwa sistem pemasaran dikatakan efisien apabila memenuhi dua syarat yaitu

mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya

semurah-murahnya, dan mampu mengadakan pembagian yang adil bagi seluruh harga yang

dibayarkan oleh konsumen terakhir dalam kegiatan produksi. Analisis yang dapat digunakan

untuk melihat efisiensi proses pemasaran yaitu mengunakan analisis marjin pemasaran dan

farmer share. (Sambuaga, dkk, 2016).

Pemasaran terdiri dari berbagai macam saluran pemasaran (Marketing Channel) dimana setiap

saluran pemasaran melibatkan berbagai lembaga pemasaran seperti pedagang pengumpul,

pedagang perantara (distributor, agen komisi, pedagang antar daerah, eksportir, importir) dan

pedagang eceran. Banyaknya jumlah pedagang saluran pemasaran ini berpengaruh kepada biaya

pemasaran dan efisiensi pemasaran (Lamb, dkk 2001 dalam Siregar,dkk 2015).

Saluran pemasaran berkorelasi langsung dengan harga yang ditawarkan oleh konsumen, artinya

semakin panjang saluran pemasaran maka semakin tinggi harga yang harus dibayar oleh

konsumen akhir, begitu juga sebaliknya. Selisih harga yang dibayar oleh konsumen awal dengan

harga yang ditawarkan oleh produsen awal disebut margin pemasaran (Amin dkk, 2016).

2.2.3 Marjin Pemasaran


Marjin pemasaran dapat dinyatakan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksana pemasaran sejak dari

tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir. Hal tersebut disebabkan semakin banyak

lembaga pemasaran yang terlibat menyebabkan semakin besar perbedaan harga yang dibayar

konsumen dengan harga yang diterima petani. Apabila semakin besar marjin pemasaran ini akan

menyebabkan harga yang diterima petani produsen menjadi semakin kecil dan semakin

mengindikasikan sebagai system pemasaran yang tidak efisien. Kemampuan dalam memasarkan

barang yang dihasilkan akan dapat menambah asset dalam upaya meningkatkan dan

pengembangan usahatani. Sebuah usaha tani yang produktivitasnya bagus akan gagal jika

pemasarannya tidak baik (Sudiadnyana, 2015).

Margin pemasaran menunjukkan selisih harga dari dua tingkat rantai pemasaran. Margin

pemasaran adalah perubahan antara harga produsen dan harga pedagang pengecer. Margin

pemasaran hanya mempresentasikan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga

yang diterima oleh produsen, tetapi tidak menunjukkan jumlah kuantitas produk yang dipasarkan

(Agus, 2012 dalam Rahin, 2016).

2.2.4 Efisiensi Pemasaran

Istilah efisiensi pemasaran sering digunakan dalam menilai prestasi kerja (performance) proses

pemasaran. Hal ini mencerminkan konsensus bahwa pelaksanan proses pemasaran harus

berlangsung secara efisien. Teknologi atau prosedur baru hanya boleh diterapkan bila dapat

meningkatkan efisiensi proses pemasaran (Downey dan Erickson 1989 dalam Jumiati dkk.,

2013). Untuk mendapatkan pemasaran yang lebih efisien menurut Mubyarto (1985 dikutip dalam

Jumiati dkk., 2013) ada dua persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: (a) mampu menyampaikan

hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya yang semurah-murahnya, dan

(b) mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen
terakhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan pemasaran barang

itu. Faktor-faktor yang dapat sebagai ukuran efisiensi pemasaran adalah sebagai berikut: a).

Keuntungan pemasaran (b). Harga yang diterima konsumen (c). Tersedianya fasilitas fisik

pemasaran yang memadai untuk malancarkan transaksi jual beli barang, penyimpanan,

transportasi, dan (d). Kompetisi pasar, persaingan diantara pelaku pemasaran (Soekartawi 1993

dalam Jumiati dkk, 2013).

Efisiensi tataniaga dapat dilihat dari struktur pasar yang terbentuk. Struktur pasar ini

mempengaruhi perilaku produsen dan pedagang dalam pembentukan harga. Berbagai studi

empiris menunjukkan bahwa struktur pasar komoditas pertanian tidak sempurna, sehingga

pedagang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga pasar. Struktur pasar ini akan

mempengaruhi perilaku pelaku usaha, dan selanjutnya interaksi antara struktur dan perilaku

pengusaha akan berdampak pada market performance (Tjahjono et al. 2008 dalam Widiastuti dan

Harisudin, 2013).

Efisiensi kegiatan distribusi komoditas pertanian juga dipengaruhi oleh panjang pendeknya mata

rantai jalur distribusi dan besarnya margin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap mata rantai

tersebut. Semakin pendek mata rantai distribusi dan semakin kecil margin keuntungan yang

ditetapkan, maka kegiatan distribusi tersebut semakin efisien (Tjahjono et al. 2008 dalam

Widiastuti dan Harisudin, 2013).

2.2.5 Share Margin

Soerkartawi (2002), menyatakan bahwa share margin (Sm) adalah persentase price spread

terhadap harga beli konsumen. Hal ini berguna untuk mengetahui porsi harga yang berlaku di

tingkat konsumen yang dinikmati oleh setiap lembaga. Bagian keuntungan yang diperoleh petani
dapat dikatakan sebagai sumbangan pendapatan bagi kesejahteraan keluarga petani. Analisis

efisiensi pemasaran secara ekonomis digunakan untuk mengetahui saluran pemasaran yang

efisien secara ekonomis. Apabila semakin rendah persentase marjin pemasaran, maka farmer’s

share akan semakin tinggi. Menurut Rasyaf dalam Handayani dan Ivana (2011), apabila farmer’s

share < 50% maka pemasaran belum efisien dan apabila farmer’s share > 50% maka pemasaran

dapat dikatakan efisien (Hartitianingtias, 2015).

2.2.6 Elastisitas Transmisi Harga

Elastisitas transmisi harga digunakan untuk mengetahui hubungan antara harga di tingkat

produsen dengan harga di tingkat konsumen akhir (George dan King, 1971 dalam Lilimantik,

2011).

Dalam proses pemasaran komoditas pertanian transmisi harga dari pasar konsumen kepasar

produsen yang rendah merupakan salah satu indikator yang mencerminkan adanya kekuatan

monopsoni atau oligopsoni pada pedagang. Hal ini dikarenakan pedagang yang memiliki

kekuatan monopsoni dan oligopsoni dapat mengendalikan harga beli dari petani sehingga

walaupun harga ditingkat konsumen relatif tetap tetapi pedagang tersebut dapat menekan harga

beli dari petani untuk memaksimumkan keuntungannya. Pola transmisi harga seperti ini tidak

menguntungkan bagi petani karena kenaikan harga yang terjadi ditingkat konsumen tidak

sepenuhnya dapat dinikmati petani (Irawan, 2007 dalam Kumala,dkk., 2015).

Hubungan elastisitas harga di tingkat petani dan konsumen, dapat dilihat dari elastisitas transmisi

harganya, yaitu rasio perubahan nisbi dari harga eceran dengan perubahan nisbi harga di tingkat

petani produsen (Azzaino, 1982 dalam Rahmi dan Arif, 2012).

2.3 Penelitian Terdahulu


Adapun beberapa penelitian terdahulu yang dipakai sebagai rujukan yang relevan bagi penelitian

ini :

Jaldi Christanto Sinaga (2007), dalam penelitiannnya yang berjudul Analisis Pemasaran CPO

(Crude Palm Oil) PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN-IV) (Studi Kasus : Kantor Pusat PT

Perkebunan Nusantara IV (PTPN-IV) dan Kantor Pemasaran Bersama (KPB) PT Perkebunan

Nusantara I-V Cabang Medan). Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.) Menerangkan proses

pemasaran CPO di PTPN IV ; 2.) Menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi pemasaran

CPO; 3.) Menerangkan proses penetapan harga CPO di PTPN IV; 4.) Menerangkan share margin

yang tercipta dari pemasaran CPO di PTPN IV; 5.) Menerangkan efisiensi pemasaran CPO, dan

6.) Menerangkan elastisitas transmisi harga dari pemasaran CPO. Hasil penelitian yang

dilakukan menunjukkan bahwa kegiatan pemasaran CPO (Crude Palm Oil) PT Perkebunan

Nusantara IV yang dilakukan oleh KPB PTPN telah efisien dengan besar share Margin kegiatan

pemasaran CPO (Crude Palm Oil) PT Perkebunan Nusantara IV ke pasar Domestik, yaitu

96,72% sedangkan nilai share margin pemasaran CPO (Crude Palm Oil) PT Perkebunan

Nusantara IV ke pasar Luar Negeri (Ekspor), yaitu sebesar 95,31% dan nilai share margin

pemasaran total CPO (Crude Palm Oil) PT Perkebunan Nusantara IV ke pasar Luar Negeri

(Ekspor) dan Dalam Negeri (Domestik), yaitu 95,97%.

Gustami Harahap , Endang Sari Simanullang , Muhammad Romadon (2017), dalam

penelitiannya yang berjudul Analisis Efisiensi Tataniaga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa

Sawit (Study Kasus : Petani Perkebunan Inti Rakyat Desa Meranti Paham Kecamatan Panai

Hulu, Kabupaten Labuhan Batu). Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.) . Untuk menganalisis

saluran tataniaga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Desa Meranti Paham, Kecamatan

Panai Hulu, Kabupaten Labuhan Batu. 2.) Untuk menganalisis biaya tataniaga dan share margin
yang diterima oleh masing-masing saluran tataniaga tandan buah segar (TBS) Desa Meranti

Paham, Kecamatan Panai Hulu, Kabupaten Labuhan Batu. 3.) Untuk menganalisis efisisensi

masing masing saluran tataniaga tandan buah segar (TBS) di Desa Meranti Paham, Kecamatan

Panai Hulu, Kabupaten Labuhan Batu. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa

semakin pendek saluran tataniga suatu barang hasil pertanian maka, biaya tataniaga semakin

rendah, margin tataniaga juga semakin rendah, harga yang harus dibayarkan konsumen semakin

rendah, harga yang diterima produsen semakin tinggi. Metode analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode Penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan

penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi

atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat

efek yang terjadi, atau tentang kecenderungan yang sedang berlangsung

Putra Bisuk (2009), dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Tataniaga Dan Elastisitas

Transmisi Harga CPO Internasional Terhadap Harga TBS (Tandan Buah Segar) Kelapa Sawit

(Studi Kasus: Desa Mananti Kecamatan Sosa Kabupaten Padang Lawas) dengan tujuan

penelitian : 1.) Untuk mengidentifikasi saluran tataniaga TBS (Tandan Buah Segar) yang terjadi

di daerah penelitian. 2.) Untuk menentukan price spread (sebaran harga) dan share margin yang

diterima oleh masing–masing saluran tataniaga TBS (Tandan Buah Segar) kelapa sawit di daerah

penelitian. 3.) Untuk mengidentifikasi tingkat efisiensi tataniaga TBS (Tandan Buah Segar) di

daerah penelitian. 4. ) Untuk mengidentifikasi elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil)

Internasional terhadap TBS (Tandan Buah Segar) kelapa sawit di daerah penelitian. Metode

analisis data yang digunakan adalah menghitung Price spread, Share margin, dan Efisiensi

tataniaga pada setiap komponen tataniaga dengan rumus masing-masing. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa saluran pemasaran kelapa sawit di daerah penelitian diperoleh share profit
yang berbeda antara pedagang pegumpul/agen dan KUD dan share profit KUD dan nilai efisiensi

yang terdapat pada saluran pemasaran I dan II kelapa sawit di daerah penelitian adalah lebih

kecil daripada 50%, sehingga saluran pemasaran kelapa sawit di daerah penelitian di daerah

penelitian efisien.

Arifayani Rachman (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Integrasi Dan Transmisi Harga

Pada Pasar CPO Dan Minyak Goreng Sawit Di Indonesia menemukan bahwa dalam jangka

panjang terlihat bahwa harga minyak goreng secara signifikan dipengaruhi baik oleh harga CPO

internasional maupun oleh harga CPO domestik. Jika kedua persamaan tersebut dibandingkan,

terlihat jika dalam jangka panjang harga CPO internasional berpengaruh lebih besar daripada

harga CPO domestik. Perubahan harga CPO internasional sebesar 1% menyebabkan perubahan

harga minyak goreng sebesar 0.893%, sedangkan perubahan harga CPO domestik sebesar 1%

hanya merubah harga minyak goreng sebesar 0.769%. Menurut KPPU (2010), sebanyak 68%

dari industri minyak goreng sawit terintegrasi dengan industri hulu dan pengolahan CPO.

Dengan demikian sebagian besar perusahaan dalam industri minyak goreng dimiliki oleh

perusahaan pengolahan CPO. Keterkaitan yang lebih kuat antara harga minyak goreng dengan

harga CPO internasional secara tidak langsung mengindikasikan perilaku industri pengolahan

CPO yang lebih mengutamakan ekspor CPO dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan industri

minyak goreng sawit.

2.4 Kerangka Pemikiran

Sektor perkebunan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang sangat memegang peranan

penting dalam dunia pertanian, karena perkebunan mampu membuka lapangan pekerjaan bagi

masyarakat sekitarnya dan sebagai penghasil devisa bagi negara.


Kelapa sawit adalah penghasil minyak nabati yang dapat diandalkan, karena minyak yang

dihasilkan memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan tanaman

lain. Minyak sawit merupakan hasil utama dari pengolahan TBS (tandan buah segar). Produksi

minyak sawit masih memegang peran penting dalam kontribusi minyak nabati dunia.

Minyak nabati yang dihasilkan dari pengolahan buah kelapa sawit berupa minyak sawit mentah

(CPO atau Crude Palm Oil) yang berwarna kuning dan minyak inti sawit (PKO atau Palm

Kernel Oil) yang tidak berwarna (jernih). CPO atau PKO banyak digunakan sebagai bahan

industri pangan (minyak goreng dan margarine), industri sabun (bahan penghasil busa), industri

baja (bahan pelumas), industri tekstil, dan sebagai bahan bakar alternatif (bio diesel). Prospek

pasar bagi olahan kelapa sawit cukup menjanjikan, karena permintaan dari tahun ketahun

mengalami peningkatan yang cukup besar, tidak hanya didalam negeri, tetapi juga di luar negeri.

Margin tataniaga adalah perbedaan harga atau selisih harga yang dibayar konsumen dengan

harga yang diterima petani produsen. Margin pemasaran atau marketing margin terdiri dari

biaya-biaya untuk melakukan fungsi pemasaran dan keuntungan lembaga-lembaga pemasaran.

Setiap lembaga pemasaran biasanya melaksanakan fungsi-fungsinya yang berbeda sehingga

share margin diperoleh pada masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat akan berbeda.

Salah satu kegunaan dari perhitungan marketing margin (price spread) dan share margin adalah

mengetahui tingkat efisiensi pemasaran. Untuk mengetahui kinerja dan besar tingkat efisiensi

pemasaran CPO (crude palm oil) yang dilakukan oleh Kantor Pusat PT. Socfin Indonesia, maka

kita perlu menghitung share margin dan tingkat efisiensinya dengan membandingkan rasio

antara output/input (keluaran/masukan), apakah efisiensinya meningkat, tetap atau menurun,

sehingga PT. Socfin Indonesia dapat mengevaluasi kinerja pemasarannya dan dapat membuat

kebijakan-kebijakan baru yang dapat mendukung kinerja, efisiensi dan memperbesar market
share pemasaran yang dilakukan di bagian pemasaran PT. Socfin Indonesia. Elastisitas transmisi

harga merupakan perbandingan perubahan nisbi dari harga ditingkat pengecer (pemasar) dengan

perubahan harga ditingkat petani (produsen). Analisis elastisitas transmisi harga ini memberikan

gambaran bagaimana harga yang dibayar konsumen akhir ditransmisikan kepada petani

produsen. Karena PT. Socfin Indonesia memasarkan CPO didalam negeri (domestik) maka besar

nilai elastisitas transmisi harga akan dilihat dari dua sisi yaitu perubahan harga Crude Palm Oil

(CPO) di tingkat petani dan perubahan harga CPO di tingkat konsumen.


SKEMA KERANGKA PEMIKIRAN

Crude Palm Oil Pembeli Lokal


PT. Socfindo
(CPO) (Domestik)
(Produsen)
(Hasil) (Konsumen)

Biaya
Pemasaran

Harga di tingkat Harga di tingkat


SHARE MARGIN
produsen konsumen

EFISIENSI
PEMASARAN

ELASTISITAS TRANSMISI HARGA


Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan :

= Tahapan

2.5. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori yang sudah dibangun, maka di susun hipotesis sebagai berikut :

1. Semakin tinggi harga pada tingkat produsen, maka semakin tinggi share margin pada lembaga

pemasaran tersebut.

2. Kegiatan pemasaran CPO PT. Socfin Indonesia (Socfindo) (Crude Palm Oil) adalah efisien.

3. Elastisitas transmisi harga pemasaran CPO (Crude Palm Oil) PT. Socfin Indonesia (Socfindo)

bersifat inelastis antara produsen dan konsumen.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ditentukan melalui metode Purposive, yaitu di Kantor PT. Socfin Indonesia

(Socfindo) yang beralamat di Jalan KL. Yos Sudarso No. 106, Glugur Kota Medan, Sumatera

Utara. Hal ini berdasarkan pertimbangan, bahwasanya PT. Socfindo merupakan perkebunan

swasta asing yang tela berdiri lebih dari 100 tahun dan mempunyai industri agribisnis yang

terintegrasi dan terkemuka di Indonesia.

3.2. Metode Pengambilan Responden

Teknik pengambilan sampel dan pemilihan responden dilakukan secara sengaja dan tidak

menggunakan responden yang berasal dari luar perusahaan. Hal ini didasarkan karena tingkatan

manajemen dalam perencanaan strategis akan berpengaruh secara langsung dalam pengambilan

kebijakan, keputusan serta pelaksanaan kegiatan pemasaran di perusahaan. Penentuan responden

dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan tingkat pengetahuan dan pemahaman

responden terhadap pelaksanaan dan kinerja pemasaran CPO yang diterapkan oleh PT. Socfin

Indonesia. Adapun jumlah responden sebanyak satu orang yaitu Kepala Divisi Penjualan CPO di

PT. Socfindo.

3.3. Metode Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data

primer diperoleh dari wawancara langsung kepada responden, yaitu Kepala Divisi Penjualan

CPO PT. Socfindo, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait : Kantor PT. Socfin

Indonesia (Socfindo) Cabang Medan yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.4. Metode Analisis Data

Berbagai jenis data yang telah diperoleh melalui wawancara serta observasi di lapangan,

ditabulasikan terlebih dahulu kemudian di analisis dengan alat uji yang sesuai.

Pengujian hipotesis 1, dianalisis dengan menggunakan model margin pemasaran, yakni

menghitung marketing margin dan share margin yang tercipta dari pemasaran CPO (Crude

Palm Oil) PT. Socfin Indonesia (Socfindo), dengan menggunakan rumus:

Margin tataniaga :

Mji = Psi – Pbi ....................................................................... (1)

Mji = bti – μi .......................................................................... (2)

μi = mji – bti............................................................................ (3)

Sehingga margin tataniaga total adalah :

Mj = ∑ mji............................................................................... (4)

Dimana :

Mji = Margin pada lembaga tataniaga ke –i

Psi = Biaya penjualan pada lembaga tataniaga ke -i

Pbi = Harga pembelian lembaga tataniaga ke -i

bti = Biaya tataniaga lembaga tataniaga ke -i

μi = Keuntungan lembaga tataniaga

Mj = Margin tataniaga total


Share margin dihitung dengan rumus :

Pf
Sm = x 100 %
Pr

Dimana :

Sm = Share margin dihitung dalam persen (%)

Pf = Biaya-biaya pada lembaga tataniaga (Rp)

Pr = Harga Beli konsumen (Rp)

(Gultom, 1996 dalam Bisuk, 2009)

Pengujian hipotesis 2, dianalisis dengan menggunakan model efisiensi pemasaran, yakni

menghitung efisiensi dari pemasaran CPO (Crude Palm Oil) PT. Socfin Indonesia (Socfindo),

dengan menggunakan rumus :

Ep = Biaya Pemasaran x 100%


Nilai Produk yang Dipasarkan

Jika ;

Ep < 50 % maka saluran pemasaran dikatakan efisien

Ep > 50 % maka saluran pemasaran dikatakan tidak efisien.

Pemasaran akan semakin efisien apabila nilai efisiensi pemasaran (Ep) semakin kecil.

(Soekartawi,2002).

Pengujian hipotesis 3, dianalisis dengan menggunakan model elastisitas transmisi harga

pemasaran, yakni menghitung elastisitas transmisi harga dari pemasaran CPO (Crude palm Oil)

PT. Socfin Indonesia (Socfindo), dengan menggunakan rumus :

dPr Pf
Et = dPf x Pr

Dimana :

Et = Elastisitas transmisi harga.


Pr = Harga di tingkat pengecer (pemasar).

Pf = Harga di tingkat petani (produsen).

dPr = Perubahan harga di tingkat pengecer (pemasar).

dPf = Perubahan harga di tingkat petani (produsen).

Kriteria pengukuran yang digunakan pada analisis transmisi harga adalah (Hasyim, 1994) :

(1)     Jika Et = 1, berarti laju perubahan harga di tingkat konsumen sama dengan laju perubahan

harga ditingkat produsen. Hal ini berarti bahwa pasar yang dihadapi oleh seluruh pelaku

tataniaga adalah bersaing sempurna, dan sistem tataniaga yang terjadi sudah efisien.

(2)     Jika Et < 1, berarti laju perubahan harga di tingkat konsumen lebih kecil dibanding dengan

laju perubahan harga di tingkat produsen. Keadaan ini bermakna bahwa pemasaran yang berlaku

belum efisien dan pasar yang dihadapi oleh pelaku tataniaga adalah bersaing tidak sempurna,

yaitu terdapat kekuatan monopsoni atau oligopoli.

(3)     Jika Et > 1, maka laju perubahan harga di tingkat produsen. Pasar yang dihadapi oleh

seluruh pelaku pasar adalah pelaku tidak sempurna, yaitu terdapat kekuatan monopoli dan

oligopoli dalam sistem pemasaran tersebut serta sistem pemasaran yang berlaku belum efisien.

3.5. Definisi dan Batasan Opersional

3.5.1. Definisi

Untuk menghindari kesalahpahaman dan kekeliruan pengertian dalam penelitian ini, maka

diberikan definisi dan batasan operasional sebagai berikut :

1. Biaya pemasaran adalah semua ongkos yang dikeluarkan dalam kegiatan

penyampaian barang dari produsen ke konsumen.


2. Efisiensi pemasaran adalah rasio/perbandingan antara biaya pemasaran dengan nilai produk

yang dipasarkan.

3. Elastisitas transmisi harga merupakan perbandingan perubahan nisbi dari harga di tingkat

pengecer dengan perubahan harga di tingkat petani.

4. Harga (price) adalah sejumlah uang yang dibebankan atas suatu produk atau jasa, atau jumlah

dari nilai yang ditukar konsumen atas manfaat-manfaat kerena memiliki atau menggunakan

produk atau jasa tersebut.

5. Jumlah, yaitu kuantitas barang berdasarkan suatu alat ukur tertentu, seperti, kg, ton, buah, dan

lain sebagainya

6. Margin pemasaran adalah selisih antara harga yang dibayar oleh konsumen dengan harga jual

produsen.

7. Minyak sawit (CPO), yaitu minyak hasil dari pengolahan TBS (tandan buah segar) yang

berwarna jingga karena mengandung karotenoida (terutama β-karotenoida), berkonsistensi

padat pada suhu kamar (konsistensi dan titik lebur banyak ditentukan oleh kadar ALB-nya),

dan dalam keadaan segar enak.

8. Pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial di mana individu dan kelompok

mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran, dan

pertukaran segala sesuatu yang bernilai (products of value) dengan orang lain atau kelompok.

3.5.2. Batasan Operasional

Pembatasan di dalam penelitian ini telah ditetapkan melalui suatu batasan operasional berikut :

1. Daerah penelitian adalah Kantor Pusat PT. Socfin Indonesia (Socfindo) yang beralamat di

Jalan KL. Yos Sudarso No. 106, Glugur Kota Medan, Sumatera Utara.

2. Waktu penelitian adalah tahun 2019.


3. Unit responden penelitian adalah Kepala Divisi Penjualan CPO PT. Socfin Indonesia Cabang

Medan.

Anda mungkin juga menyukai