Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Di indonesia sering terjadi gempa bumi, ini disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu letak Indonesia berada diantara lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan
Lempeng Indo-Australia. Selain itu, juga disebabkan oleh faktor-faktor geologi
seperti struktur dan tekstur dari tanah atau batuan, jenis tanah dan batuan, pola
pengaliran sungai, topografi suatu daerah, struktur geologi (lipatan dan patahan),
tektonik maupun gunung api (Kemkes, 2016). Faktor-faktor geologi tersebut sering
menyebabkan terjadinya bencana di Indonesia. Salah satu bencana yang yang sering
terjadi di Indonesia adalah gempa bumi. Menurut Arnold dalam Amin dan Nurkholis
(2015), data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat
kegempaan di Amerika Serikat. Berdasarkan data dari BMKG (2017), pada tahun
2017 sudah terjadi gempa bumi sebanyak 5989 gempa di wilayah Indonesia yang
berarti rata-rata setiap hari terjadi gempa bumi sebanyak 16.41 atau sekitar 17 kali.
Kekuatan 2 gempa bumi yang terjadi selama 2017 ini berkisar antara 3.3 SR sampai
dengan 7.2 SR (Sari, 2018).
Wilayah yang paling rawan gempa yakni Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Bengkulu, Lampng, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali,
Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Januari 2021, gempa
bumi dengan kekuatan 6,2 kembali mengguncang sulawesi barat, tepatnya di Majene
dan Mamuju. Kepala Pusat Gempa bumi dan Tsunami BMKG, Bambang Setiyo
Prayitno MSi (2021) menyampaikan, gempa bumi yang terjadi di Majene merupakan
gempa bumi pengulangan. Peristiwa pertama adalah bencana gempa pada tanggal 11
April 1967 dengan magnitudo M 6,3 di daerah Polewali Mandar, sejarag gempa kedua
serupa yang kedua, yaitu terjadi pada tanggal 23 Februari 1969, di mana gempa bumi
tektonik pada saat itu terjadi dengan kekuatan magnitudo M 6,3. Gempa yang terjadi
di daerah Majene ini telah menyebabkan catatan korban maupun kerusakan terbanyak
di Pantai barat Sulawesi yaitu sebanyak 64 orang meninggal dunia, 97 orang terluka
dan 1287 bangunan serta rumah rusak di empat desa. Berikutnya, gempa kuat yang
ketiga terjadi di daerah Mamuju dengan kekuatan magnitudo M 6,7 pada tanggal 8
Januari 1984. gempa bumi menyebabkan kerusakan, mulai dari kerusakan ringan,
sedang dan berat. Kerusakan secara fisik dan kerusakan nonfisik. Kerusakan fisik
berupa fasilitas umum, rumah dan barang-barang pribadi lainnya serta korban luka-
luka akibat tertimba reruntuhan. Sedangkan kerusakan non fisik berupa trauma
psikologis.
Memburuknya derajat kesehatan baik dari segi fisik maupun non-fisik yaitu
trauma psikologis yang sering ditemui pada masyarakat korban bencana alam adalah
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). PTSD merupakan suatu sindrom yang
dialami oleh seseorang yang mengalami kejadian traumatik. Kondisi demikian akan
menimbulkan dampak psikologis berupa gangguan perilaku mulai dari cemas yang
berlebihan, mudah tersinggung, tidak bisa tidur, tegang, dan berbagai reaksi lainnya.
Gangguan stress pasca trauma (PTSD) kemungkinan berlangsung berbulan-bulan,
bertahun-tahun atau sampai beberapa dekade dan mungkin baru muncul setelah
beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatic.
Pada jangka panjang, problem-problem ini juga akan menunjukkan pengaruhnya pada
masa dewasa, yaitu ketidakmampuan mengembangkan kemampuan coping yang
efektif. Kebanyakan anak-anak ini akan menjadi orang-orang dewasa yang rentan
terhadap depresi dan menunjukkan gejala-gejala traumatis, hingga akhirnya beresiko
tinggi untuk bunuh diri (Ayuningtyas, 2018).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ardila, Prastiti, & Meiyuntariningsih,
(2019), akumulasi trauma psikososial dapat berupa reaksi fisik maupun gejala psikis
seperti rasa mual, mimpi buruk, murung, pendiam, merasa terancam, cemas, serta
hilangnya harapan hidup. Korban bencana alam seperti anak-anak yang mengalami
trauma psikis bila tidak ditangani dengan baik dapat mengalami Post Traumatic
Disorder (PTSD) atau gangguan stress pascatrauma yaitu gangguan psikologis yang
disebabkan oleh pengalaman ikut menyaksikan atau mengalami langsung perisitwa
yang mengerikan seperti gempa Bumi.

Dari beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa PTSD sangat berpengaruh


pada psikologis anak dan remaja, Penderita pasca traumatis atau PTSD dapat
mempunyai orientasi penyelesaian masalah yang berfokus pada cara atau strategis
untuk menyelesaikan masalah atau Problem Focused Coping yang diberikan oleh
konselor atau orang tua mereka sebagai pendamping dan membantu dalam
menggunakan strategi dalam menghadapi permasalahan tersebut. Sehubungan
dengan perawatan PTSD, perlu diperhatikan bahwa tidak semua perawatan efektif
dalam mengurangi gejala atau menghilangkan gangguan. CBT (Cognitive Behavioral
Therapy) adalah yang paling tepat dalam mengurangi gejala PTSD. Terapi
farmakologi dapat lebih efektif apabila dikombinasikan dengan intervensi psikoterapi,
salah satunya yaitu CBT. Dari semua psikoterapi, psikoterapi individual adalah yang
paling efektif jika diikuti oleh teknik manajemen stres dan CBT (Cognitive
Behavioral Therapy) .Pelaksanaan CBT menggunakan teknik terapeutik sebagai
perbaikan kognitif.

Salah satu bencana alam yang baru terjadi dan berpengaruh besar pada
Psikososial yaitu gempa bumi sulawesi barat. Gempa bumi Sulawesi Barat
2021 adalah sebuah gempa darat berkekuatan 6,2  yang melanda pesisir barat Pulau
Sulawesi, Indonesia pada tanggal 15 Januari 2021, pukul 02.28 WITA. Pusat gempa
berada di 7 km timur laut Majene, Sulawesi Barat dengan kedalaman 10 km.
Guncangan gempa bumi dirasakan di sebagain besar bagian barat Pulau Sulawesi
hingga pantai timur Kalimantan
Berdasarkan informasi dari Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan
Tsunami Badan Meteorologi, Kimatologi, dan Geofisikaa (BMKG), Daryono, gempa
pertama berkekuatan M 5,9 terjadi di darat, tepatnya di 4 km arah barat laut Majene,
Sulawesi barat. Penyebab dari gempa yang satu ini diduga kuat adalah aktivitas Sesar
Naik Mamuju (Mamuju thrust). Sementara gempa kedua dengan ukuran lebih besar
kembali terjadi di daratan, dan memiliki sifat yang lebih merusak.    Dilaporkan,
guncangan gempa juga dirasakan hingga ke beberapa daerah seperti Palu, Mamuju
Tengah, Mamasa. Selain dua gempa tersebut, BMKG juga merekam terjadinya 28
gempa susulan dengan kekuatan yang lebih kecil. Kedua gempa besar yang telah
terjadi tidak berpotensi menimbulkan gelombang tsunami. Guncangan kuat yang
terjadi menyebabkan sejumlah kerusakan di wilayah kota Majene, Sulawesi Barat.
Gempa bumi kedua yang terjadi menyebabkan Gedung Kantor Gubernur Sulawesi
Barat yang memiliki 4 lantai ambruk dan hanya menyisakan 10 persen bagian saja.
Beberapa gedung perkantoran, ruko, hotel, juga puskesmas dilaporkan ada yang
mengalami kerusakan. Tidak hanya itu, 300-an rumah milik warga juga rusak, mulai
dari tingkat ringan hingga berat. Gempa tidak hanya menghancurkan sejumlah
bangunan, namun juga menimpa sejumlah kendaraan bermotor, baik sepeda motor,
maupun mobil. Akibat takut akan adanya bencana susulan, warga kini memilih untuk
tinggal di pengungsian atau mendirikan tenda di depan rumah mereka masing-masing.
Masih banyak warga yang mengaku belum berani masuk ke dalam rumah mereka.
Tidak hanya itu, longsor juga terjadi di 3 titik sepanjang jalan poros Majene-Mamuju
sehingga menyebabkan akses jalan terputus, akibat tertutup material longsoran
(Azanella, 2021)
Darno Majid Kepala BMKG (2021) melaporkan, sementara ini ada 27 warga
yang dilaporkan meninggal akibat tertimbun reruntuhan bangunan. Dari jumlah
tersebut, 18 terdapat di Kabuaten Mamuju dan 9 sisanya ada di Kabupaten Majene.
Guncangan besar yang terjadi tidak hanya menimbulkan kerusakan bangunan, tapi
juga jaringan listrik dan komunikasi.

Desa Lamungan Batu, Kecamatan Malunda, Kabupaten Mejene, Sulawesi


Barat merupakan salah satu daerah terdampak becana alam tersebut, Berdasarkan
hasil dari pengambilan data, Di desa Lamungan batu terdapat 115 Kepala Keluarga
yang terdampak, dan terdapat anak-anak usia 7-12 tahun berjumlah 50 orang. 25
Perempuan dan 25 Laki-laki

Dampak yang ditimbulkan pada kasus ini adalah memburuknya derajat


kesehatan baik dari segi fisik, maupun non fisik. Betuk kerugian yang secara non fisik
seperti trauma terhadap peristiwa yang pernah dialami merupakan salah satu dampak
psikologis yang sering ditemui pada masyarakar korban becana alam adalah Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, trauma  sering disebut


sebagai post-traumatic stress disorder (PTSD) merupakan gangguan akibat melihat
maupun mengalami sesuai kejadian berbahaya atau berat, sehingga
berpengaruh pada psikologis anak. Kejadian tersebut sering terjadi pada anak yang
megalami Pasca Gempa, seperti Gempa Bumi. Dukungan orang tua adalah salah satu
cara untuk mengurangi kecemasan pada anak dan remaja penderita PTSD. Upaya
peningkatan kesehatan psikologis khususnya pada responden yang mengalami PTSD
merupakan terapi psikologis untuk mengurangi gejala PTSD pada masyarakat yang
terdampak bencana, kususnya pada Anak dan Remaja.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka, perumusan masalah
pada penelitian ini adalah seperti apa Gambaran Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD) Pada Anak Usia 7-12 Tahun Pasca Gempa Bumi Di Kelurahan Lamungan
Batu, Kecamatan Malunda Sulawesi Barat.

1.3 Tujuan dan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pada
Anak Usia 7-12 Tahun Pasca Gempa Bumi Di kelurahan Lamungan Batu,
Malunda Sulawesi Barat
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk megetahui kasus kejadian gempa bumi di Kelurahan Lamungan
Batu, Malunda Sulawesi Barat
b. untuk megetahui frekuensi Post Traumatic Stress Disorder pada anak usia
7-12 tahun di Kelurahan Lamungan Batu, Malunda sulawesi Barat.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi pelayanan keperawatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang gambarann Post
Traumatic Stress Disordeor (PTSD) pada anak usia 7-12 tahun pasca gempa
bumi di kelurahan Lamungan Batu, Kecamatan Malunda aulawesi Barat. Hasil
ini juga dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk perencanaan program
pencegahan dan penanggulangan PTSD pada anak.

1.4.2 Pendidikan Keperawatan


Diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan
dan digunakan untuk memperluas wawasan.

1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya


Dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan menambah pengetahuan
tentang PTSD pada anak Usia 7-12 tahun pasca gempa bumi.
1.4.4 Bagi Keluarga Klien
Hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran untuk keluarga tentang Pengaruh
PTSD pada anak pasca gempa bumi, dapat menambah wawasan orang tua
untuk tetap memberikan motivasi dan dukungan pada anak.

Daftar Pustaka

Ardiansyah, S. (2014). Energi Potensial Gempabumi di Kawasan Segmen Mentawai-


Sumatera Barat. Physics Student Journal Vol. 2 No, 1.

Sari, N. N. (2018). K-Affinity Propagation (K-AP) Clustering Untuk Klasifikasi Gempa


Bumi (Studi Kasus: Gempa Bumi di Indonesia Tahun 2017).

Ayuningtyas, I. P. I. (2018, October). Penerapan strategi penanggulangan penanganan PTSD


(Post Traumatic Stress Disorder) pada anak-anak dan remaja. In 1st ASEAN School
Counselor Conference on Innovation and Creativity in Counseling. Ikatan Bimbingan
dan Konseling Sekolah.

Ardila, H., Prastiti, N. T., & Meiyuntariningsih, T. (2019, December). EFEKTIVITAS


EXPRESSIVE ART’S THERAPY UNTUK MENURUNKAN POST TRAUMATIC
STRESS DISOREDER (PTSD) PADA ANAK KORBAN GEMPA BUMI DI
KECAMATAN GUNUNGSARI, NUSA TENGGARA BARAT DITINJAU DARI
DUKUNGAN SOSIAL. In 1st Prosiding Seminar Nasional Fakultas Ilmu
Kesehatan (pp. 28-32).

Kemenkes, (2016)

Arnold dalam Amin dan Nurkholis, (2015)

BMKG, (2017)

BMKG, (2021)

Azanella, (2021)

Anda mungkin juga menyukai