TINJAUAN PUSTAKA
1.1.3. Etiologi
Beberapa penyebab dari sirosis hepatis yang sering adalah :
1) Malnutrisi
2) Alkoholisme
3) Kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika
4) Virus hepatitis
5) penyakit Wilson
Merupakan kelainan autosomal resesif yang diturunkan dimana
tembaga tertimbun di hepar dan ganglia basal otak.
6) Zat toksik
(Smeltzer & Bare, 2013)
1.1.5. Patofisiologi
Konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab
yang utama. Sirosis terjadi paling tinggi pada peminum minuman keras.
Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut
menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang
berlebihan merupakan faktor penyebab utama pada perlemakan hati dan
konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah
terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada
individu yang dietnya normal tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu
(karbon tetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi
skistosomiastis jenis kelamin laki-laki dua kali lebih banyak daripada
wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 – 60 tahun.
Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis
yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang selama
perjalanan penyakit sel-sel hati yang dihancurkan itu secara berangsur-
angsur digantikan oleh jaringan parut yang melampaui jumlah jaringan
hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih tersisa
dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal dari bagian-bagian yang
berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip
paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas.
Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insidus dan perjalanan
penyakit yang sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang
waktu 30 tahun/lebih.
1.1.6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboraturium pada sirosis hati meliputi hal-hal berikut :
1) Kadar Hb yang rendah (anemia), jumlah sel darah putih
menurun (leukopenia), dan trombositopenia.
2) Kenaikan SGOT, SGPT dan gamma GT akibat kebocoran dari sel-sel
yang rusak. Namun, tidak meningkat pada sirosis inaktif.
3) Kadar albumin rendah. Terjadi bila kemampuan sel hati menurun.
4) Kadar kolinesterase (CHE) yang menurun kalau terjadi kerusakan sel
hati.
5) Masa protrombin yang memanjang menandakan penurunan fungsi
hati.
6) Pada sirosis fase lanjut, glukosa darah yang tinggi menandakan
ketidakmampuan sel hati membentuk glikogen.
7) Pemeriksaan marker serologi petanda virus untuk menentukan
penyebab sirosis hati seperti HBsAg, HBeAg, HBV-DNA, HCV-
RNA, dan sebagainya.
8) Pemeriksaan alfa feto protein (AFP). Bila ininya terus meninggi atau
>500-1.000 berarti telah terjadi transformasi ke arah keganasan yaitu
terjadinya kanker hati primer (hepatoma).
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan antara lain
ultrasonografi (USG), pemeriksaan radiologi dengan menelan bubur
barium untuk melihat varises esofagus, pemeriksaan esofagoskopi
untuk melihat besar dan panjang varises serta sumber pendarahan,
pemeriksaan sidikan hati dengan penyuntikan zat kontras, CT scan,
angografi, dan endoscopic retrograde chlangiopancreatography
(ERCP).
1.1.7. Komplikasi
1) Edema dan Acites
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air
menumpuk pada kaki( edema) dan abdomen ( acites)
1.1.8. Penatalaksanaan
1) Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan
demam.
2) Diet rendah protein (diet hati III protein 1gr/kg BB, 55 gr protein, 2.000
kalori). Bila ada asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg)
atau III (1.000-2000 mg). Bila proses tidak aktif diperlukan diet tinggi
kalori (2.000-3000 kalori) dan tinggi protein (80-125 gr/hari). Bila ada
tanda-tanda prekoma atau koma hepatikum, jumlah protein dalam
makanan dihentikan (diet hati II) untuk kemudian diberikan kembali
sedikit demi sedikit sesuai toleransi dan kebutuhan tubuh. Pemberian
protein yang melebihi kemampuan pasien atau meningginya hasil
metabolisme protein, dalam darah viseral dapat mengakibatkan
timbulnya koma hepatikum. Diet yang baik dengan protein yang cukup
perlu diperhatikan.
3) Mengatasi infeksi dengan antibiotik diusahakan memakai obat-obatan
yang jelas tidak hepatotoksik.
4) Mempebaiki keadaan gizi bila perlu dengan pemberian asam amino
esensial berantai cabang dengan glukosa.
5) Roboransia. Vitamin B compleks. Dilarang makan dan minum bahan
yang mengandung alkohol.
Penatalaksanaan asites dan edema adalah :
1) Istirahat dan diet rendah garam. Dengan istirahat dan diet rendah garam
(200-500 mg perhari), kadang-kadang asitesis dan edema telah dapat
diatasi. Adakalanya harus dibantu dengan membatasi jumlah
pemasukan cairan selama 24 jam, hanya sampai 1 liter atau kurang.
2) Bila dengan istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan
diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat
ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila setelah 3 – 4 hari tidak terdapat
perubahan.
3) Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan
terapi medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis.
Walupun merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno dan
sempat ditinggalkan karena berbagai komplikasinya, parasentesis
banyak kembali dicoba untuk digunakan. Pada umunya parasentesis
aman apabila disertai dengan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr untuk
setiap liter cairan asites. Selain albumin dapat pula digunakan dekstran
70 % Walaupun demikian untuk mencegah pembentukan asites setelah
parasentesis, pengaturan diet rendah garam dan diuretik biasanya tetap
diperlukan.
4) Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1
kg/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam suatu
saat, dapat mencetuskan ensefalopati hepatik.
1.1.9. Pencegahan
Pencegahan pada sirosis hepatis adalah:
1) Kurangi efek estrogen.
2) Berhenti merokok.
3) Ketahui status kesehatan tentang mitra seksual .
4) Gunakan suatu jarum bersih jika kamu menyuntik obat.
5) Berhati-hati sekitar produk darah di negara-negara tertentu.
6) Hindari atau membatasi alkohol.
7) Hindari pengobatan yang boleh menyebabkan kerusakan hati.
8) Hindari ekspose ke toksin lingkungan
Intervensi Rasional
1) Awasi tanda vital kaji pengisian kapiler, Memberikan informasi tentang
warna kulit atau membran mukosa, dasar derajat atau keadekuatan perfusi
kuku. jaringan dan membantu menentukan
kebutuhan intervensi
4) Kolaborasi dalam pemberian obat dan Tranfusi darah dapat membantu dalam
tranfusi darah membantu mencegah syok dan
memenuhi kebutuhan cairan yang
hilang
1.2.3.2 Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
sel darah merah
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x3 jam
diharapkan tidak terjadi peningkatan perfusi jaringan perifer tidak
efektif.
Kriteria hasil :
- Membran mukosa mera
- Konjungtiva tidak anemis
- Akral hangat
- TTV dalam batas normal : TD 120/80mmHg, Nadi 60-80 x/m,
Respirasi 16-24 x/m, Suhu 36,5-37,5 oC.
Tabel Perfusi jaringan perifer tidak efektif
Intervensi Rasional
1) Awasi tanda vital kaji pengisian Memberikan informasi tentang
kapiler, warna kulit atau membran derajat atau keadekuatan perfusi
mukosa, dasar kuku. jaringan dan membantu menentukan
kebutuhan intervensi
Intervensi Rasional
Intervensi pemenuhan cairan: Parameter dalam menentukan
1) Identifikasi faktor penyebab, awitan intervensi kedaruratan.
(onset), spesifikasi usia dan adanya
riwayat penyakit lain.
2) Kolaborasi skor dehidrasi. Menentukan jumlah cairan yang kan
diberikan sesuai dengan derajat dari
individu.
3) Lakukan rehidrasi oral: Pemnberian cairan oral dapat diberikan
apabila tingkat toleransi pasien masih
baik.
4) Beri cairan secara oral. WHO memberikan rekomendasi
tentang caiaran oral ynag berisikan 90
mEq/L Na, 20 mEq/L Cl, 20 g/L
glukosa, osmolaritas 310, CHO : Na =
1,2 : 1, diberikan 250 mL, setiap 15
menit sampai keseimbangan caiaran
terpenuhi dengan tanda klinik yang
optimal atau pemberian 1½ liter air
pada setiap 1 liter feses.
5) Jelaskan tentang hidrasi oral. Hal ini penting untuk disampaikan
kepada pasien dan keluarga bahwa
rehidrasi oral tidak menurunkan durasi
dan volume diare.
6) Berikan cairan oral sedikit demi Pemberian oral sedikit demi sedikit
untuk mencegah terjadinya respons
sedikit.
muntah apabila diberikan secara
simultan.
7) Lakukan pemasangan IVFD Apabila kondisi diare dan muntah
verlanjut, maka lakukan pemasangan
(intravenous fluid drops)
IVFD. Pemberian caiaran intravena
disesuaikan dengan derajat dehidrasi.
Pemberian 1-2 liter cairan Ringer
laktat secara tetesan cepat sebagai
kompensasi awal hidrasi cairan
diberikan untuk mencegah syok
hipovolemik.
8) Dokumentasi secara akurat Sebagai evaluais penting dari
intervensi hidrasi dan mencegah
mengenai intake dan output cairan.
terjaidnya over hidrasi.
9) Bantu pasien apabila muntah. Aplikasi muntah dapat etrjadi terutama
pada usia lanjut dengan perubahan
kesadaran. Perawat mendekatkan
tempat muntah dan memberikan
masase ringan pada pundak untuk
membantu menurunkan respons nyeri
dari muntah.
Intervensi pada penurunan kadar Untuk mendeteksi adanya kondisi
elektrolit: hiponatremi dan hipokalemi sekunder
10) Evaluasi kadar elektrolit serum. dari hilangnya elektrolit dari plasma.
Dokumentasikan perubahan klinik dan Perubahan klinik seperti penurunan
urine output secara akut perlu
laporkan dengan tim medis.
diberitahu kepada tim medis untuk
mendapatkan intervensi selanjutnya
dan menurunkan risiko terjadinya
asidosis metabolik.
12) Anjurkan pasien untuk minum Pemberian cairan dan makanan tinggi
natrium dilakukan sesuai dengan
dan makan makanan yang
tingkat toleransi. Kekurangan natrium
banyak mengandung natrium menyebabkan gejala serius yang perlu
pemberian intravenus segera, selain
seperti susu, telur, daging, dan
itu, pasien juga dianjurkan untuk
sebagainya. mencoba intake natrium peroral dan
hindari pembatasan garam.
13) Monitor khusus Individu lansia dapat dengan cepat
mengalami dehidrasi dan menderita
ketidakseimbangan elektrolit
kadar kalium rendah (hipokalemia)
pada lansia. sebagai akaibat diare. Individu lansia
yang menggunakan digitalis harus
waspada terhadap cepatnya dehidrasi
dan hipokalemia pada diare. Individu
juga diintruksikan untuk mengenali
tanda-tanda hipokalemia karena kadar
kalim rendah memperberat kerja
digitalis yang dapat menimbulkan
toksisitas digitalis.
Intervensi Rasional
Intervensi kedaruratan pemenuhan Parameter penting dalam menentukan
cairan: intervesi sesuai dengan kondisi klinik
1) Identifikasi adanya tanda-tanda individu. Pada pasien dengan
syok dan status dehidrasi. perubahan akut TTV dan dehidrasi
berat, maka pemulihan hidrasi menjadi
parameter utama dalam melakukan
tindakan.
2) Kolaborasi skor dehidrasi. Pasien yang mengalami dehidrasi berat
ditandai dengan skor dehidrasi 7-12 dan
mempunyai risiko tinggi terjadinya
syok hipovolemik.
3) Lakukan pemasangan IVFD. Pemasangan IVFD secara dua jalur
harus dapat dilakukan untuk mencegah
syok yang bersifat ireversibel. Pada
saat melakukan pemasangan IVFD
dengan kondisi kolaps diperlukan
keterampilan dan pemahaman struktur
anatomis vena karena pada kondisi
klinik sangat sulit dilakukan oleh
perawat pemula.
Perawat dapat menggunakan manset
tekanan darah untuk membendung
darah agar dapat mengisi vena sehingga
memudahkan dalam melakukan fungsi
vena.
4) Lakukan pemasangan dan Pemasangan infus intravenus sudah
pemberian infus secara intravenus. dilakukan pada manusia sejak tahun
1934 dan populer dilakukan pada tahun
1940. Intervensi ini hanya bersifat
sementara sebagi bagian resusitasi
vaskular apabila akses vena tidak bisa
dilakukan setelah melakukan
penusukan pada 3 tempat dan dalam
waktu 90 detik. Kontraindikasi
pemasangan ini bila pasien mengalami
fraktur femur pada sisi ipsilateral,
fraktur tibia proksimal, dan
osteomielitis tibia.
5) Kolaborasi rehidrasi cairan. Indikasi untuk rehidrasi cairan, meliputi
gastroenteritis dengan muntah berat,
perubahan tingkat kesadaran, dehidrasi
berat, dan pemberian oral yang tidak
kondusif. Pemberian 1-2 liter larutan
dekstrosa 5% dalam 0,5 NaCl disertai
50 mEq NaHCO3 dan 10-20 mEq KCl
selama 30-45 menit sangat penting
dilakukan pada dehidrasi berat.
Pada pemberian cairan secara cepat,
maka KCL harus diberikan secara oral
atau intravena 20 mEq KCl dalam 100
mL cairan NaCl selama 1 jam.
6) Monitor rehidrasi cairan. Rehidrasi cairan harus diperhatikan dan
diberikan sampai didapatkannya
perbaikan status mental dan tanda
perfusi jaringan sudah membaik untuk
menghindari komplikasi terutama pada
pasien usia lanjut dan penyakit gagal
jantung kongestif.
7) Dokumentasi dengan akurat Sebagai evaluasi penting dari intervensi
tentang intake dan output cairan. hidrasi dan mencegah terjadinya over
hidrasi.
8) Lakukan monitoring ketat pada Pasien yang mengalami syok
seluruh sistem organ. hipovolemik dari gastroenteritis setelah
mendapatkan resusitasi digawat darurat
sebaiknya mendapat perawatan di
ruang intensif untuk memudahkan
dalam memonitor seluruh kondisi
organ.
1.2.3.6 Aktual/risiko gangguan pola napas berhubungan dengan kelainan
jaringan parenkim hati, hipertensi portal, asites, ekspansi paru
terganggu.
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi perubahan pola napas.
Kriteria evaluasi:
1) Pasien tidak sesak napas, RR dalam batas normal 16-20 x/menit
2) Pemeriksaan gas arteri, pH 7,40 ± 0,005, HCO3 24 ± 2 mEq/L dan
PaCO2 40 mmHg
Tabel 2.3 Intervensi Aktual/Risiko Gangguan Pola Napas
Intervensi Rasional
1) Kaji faktor penyebab asidosis Mengidentifikasi untuk mengatasi
metabolik. penyebab dasar dari asidosis metabolik.
2) Monitor ketat TTV. Perubahan TTV akan memberikan
dampak pada risiko asidosis yang
bertambah berat dan berindikasi pada
intervensi untuk secepatnya melakukan
koreksi asidosis.
3) Istirahatkan pasien dengan posisi Posisi fowler akan meningkatkan
fowler. ekspansi paru optimal. Istirahat akan
mengurangi kerja jantung,
meningkatkan tenaga cadangan jantung,
dan menurunkan tekanan darah.
4) Ukur intake dan output. Penurunan curah jantung,
mengakibatkan gangguan perfusi ginjal,
retensi natrium/air, dan penurunan urine
output.
5) Manajemen lingkungan: Lingkungan tenang akan menurunkan
lingkungan tenang dan batasi stimulus nyeri eksternal dan
pengunjung. pembatasan pengunjung akan
membantu meningkatkan kondisi
oksigen ruangan yang akan berkurang
apabila banyka pengunjung yang
berada di ruangan.
1.2.3.7 Nyeri berhubungan dengan sirosis hati, fungsi hati terganggu, inflasi hati
terganggu.
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam nyeri berkurang/hilang atau teradaptasi.
Kriteria evaluasi:
1) Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi.
2) Skala nyeri 0-1 (0-4).
3) Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurnkan
nyeri.
4) Pasien tidak gelisah.
Tabel 2.6 Intervensi Nyeri
Intervensi Rasional
1) Jelaskan dan bantu pasien dengan Pendekatan dengan menggunakan
tindakan pereda nyeri relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
nonfarmakologi dan noninvasif. telah menunjukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri.
2) Lakukan manajemen nyeri Istirahat secara fisologis akan
keperawatan: menurunkan kebutuhan oksigen yang
Istirahatkan pasien pada saat nyeri diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
muncul. metabolisme basal.
3) Ajarkan teknik relaksasi Meningkatkan asupan oksigen sehingga
pernapasan dalam pada saat nyeri akan menurunkan nyeri sekunder dari
muncul. iskemia spina.
4) Ajarkan teknik distraksi pada saat Distraksi (pengalihan perhatian) dapt
nyeri. menurunkan stimulus internal.
5) Manajemen lingkungan: Lingkungan tenang akan menurunkan
lingkungan tenang batasi stimulus nyeri ekstrenal dan
pengunjung dan istirahatkan pembatasan pengunjung akan
pasien. membantu meningkatkan kondisi
oksigen ruangan yang akan berkurang
apabila banyak pengunjung yang berada
di ruangan. Istirahat akan menurunkan
kebutuhan oksigen jaringan perifer.
6) Tingkatkan pengetahuan tentang Pengetahuan yang akan dirasakan
sebab-sebab nyeri, dan membnatu mengurangi nyerinya dan
menghubungkan berapa lama nyeri dapat membantu mengembangkan
akan berlangsung. kepatuhan pasien terhadap rencana
terapeutik.
1.2.3.8 Risiko kerusakan integritas kulit anus berhubungan dengan ikterik,
penumpukan garam empedu dibawah kulit, prutitus/rasa gatal.
Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam terjadi peningkatan mukosa anus.
Kriteria evaluasi: Anus lembap atau tidak kering, bersih, tidak ada
tanda inflamasi pada anus.
Tabel 2.8 Intervensi Risiko Kerusakan Integritas Jaringan
Intervensi Rasional
1) Kaji tingkat pengetahuan pasien Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh
tentang cara dan teknik kondisi sosial ekonomi pasien. Perawat
peningkatan kondisi membran menggunakan pendekatan pendekatan
mukosa. yang sesuai dengan kondisi individu
pasien. Dengan mengetahui tingkat
pengetahuan tersebut perawat dapat
lebih terarah dalam memberikan
pendidikan yang sesuai dengan
pengetahuan pasien secara efisien dan
efektif.
2) Lakukan perawatan kulit. Area perianal mengalami ekskoriasi
akibat feses diare yang mengandung
enzim yang dapat mengiritasi kulit.
Perawat menginstruksikan pasien untuk
mengikuti rutinitas perawatan kulit
seperti mengelap atau mengeringkan
area setelah defekasi, membersihkan
dengan bola kapas, dan memberikan
pelindung kulit dan barier pelembap
sesuai kebutuhan.
3) Monitor khusus pada lansia. Kulit lansua sangat sensitif akibat
penurunan turgor kulit dan penurunan
lapisan lemak subkutan sehingga sangat
rentan untuk mengalami risiko
kerusakan integritas jaringan anus.
Sumber: Muttaqin (2011: 478)
Intervensi Rasional
1) Kaji kemampuan pasien untuk Keberhasilan proses pembelajaran
mengikuti pembelajaran (tingkat dipengaruhi oleh kesiapan fisik,
kecemasan, kelelahan umum, emosional, dan lingkungan yang
pengetahuan pasien sebelumnya, kondusif.
suasana yang tepat).
2) Jelaskan dan dorong pasien untuk Pasien dibantu untuk mengidentifikasi
menghindari faktor penyebab makanan pengiritasi dan stresor yang
gastroenteritis. mencetuskan episode diare.
Menghilangkan atau mengurangi faktor
ini membantu mengontrol defekasi.
Pasien didorong untuk sensitif terhadap
petunjuk tubuh tentang adanya
dorongan untuk defekasi (kram
abdomen, bising usus hiperaktif).
Celana dalam khusus yang menyerap
dan melindungi pakaian bila ada
kotoran fekal tak disengaja akan
membantu.
Pemahaman, toleransi, dan sikap yang
relaks pada pihak perawat sangat
penting. Upaya pasien untuk
menggunakan mekanisme koping harus
didukung.
Sumber: Muttaqin (2011: 479)
Intervensi Rasional
1) Monitor respons fisik, seperti: Digunakan dalam mengevaluasi
kelemahan, perubahan tanda vital, derajat/tingkat kesadaran/konsentrasi,
gerakan yang berulang-ulang, catat khususnya ketika melakukan
kesesuaian respons verbal dan komunikasi verbal.
nonverbal selama komunikasi.
2) Anjurkan pasien dan keluarga untuk Kesempatan diberikan pada pasien jika
mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takut dan
mengekspresikan rasa takutnya. kekhawatiran tentang perasaan malu
akibat kurang kontrol terhadap
eliminasi usus. Ketakutan akan rasa
malu ini sering menjadi masalah
utama.
3) Catat reaksi dari pasien/keluarga. Anggota keluarga dengan responsnya
Berikan kesempatan untuk pada apa yang terjadi dan
mendiskusikan kecemasannya dapat disampaikan
perasaannya/konsentrasinya dan kepada perawat.
harapan masa depan.
4) Anjurkan aktivitas pengalihan Meningkatkan distraksi dari pikiran
perhatian sesuai kemampuan pasien dengan kondisi sakit.
individu, seperti nonton TV.
Sumber: Muttaqin (2011: 480)
2.2 Implementasi
Pelaksanaan implementasi atau tindakan keperawatan merupakan langkah
keempat dari proses keperawatan. Pelaksanaan tindakan keperawatan pada
prinsipnya dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan. Dalam melaksanakan
tindakan perawatan, selain melaksanakannya secara mandiri, harus adanya kerja
sama dengan tim kesehatan lainnya. Merupakan realisasi rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan menilai data yang baru. Alasannya
proses keperawatan memiliki salah satu sifat yaitu fleksibilitas yang artinya
urusan pelaksanaan proses keperawatan dapat diubah sesuai dengan situasi dan
kondisi pasien. Implementasi merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan
sesuai dengan rencana yang telah disusun di mana dalam pelaksanaan dilakukan
secara mandiri maupun dalam bentuk tim. Implementasi tindakan dibedakan
menjadi tiga kategori yaitu: independent (mandiri), interdependent (bekerja sama
dengan tim kesehatan lainnya: dokter, bidan, tenaga analis, ahli gizi, apoteker, ahli
kesehatan gigi, fisioterapi dan lainnya) dan dependent (bekerja sesuai instruksi
atau delegasi tugas dari dokter). Perawat juga harus selalu mengingat prinsip 6S
setiap melakukan tindakan, yaitu senyum, salam, sapa, sopan santun, sabar dan
syukur. (Zaidin, 2003: 84-85).
Melaksanakan tindakan untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan rencana.
Pelaksanaannya mengacu pada rencana tindakan yang telah dirumuskan, selama
melaksanakan tindakan perawat menilai efektivitas tindakan keperawatan dan
respon pasien, juga mencatat dan melaporkan tindakan perawatan yang diberikan
serta mencatat reaksi pasien yang timbul. Implementasi merupakan pelaksanaan
perencanaan keperawatan oleh perawat dan pasien. Hal-hal yang harus
diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah intervensi dilaksanakan
sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan
interpersonal, intelektual dan teknikal, intervensi harus dilakukan dengan cermat
dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis dilindungi dan
dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan (Gaffar, 2003: 50).
2.3 Evaluasi
Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan criteria
hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.Kemampuan yang harus dimiliki
perawata pada tahap ini adalah memahami respom terhadap intervensi
keperawatan. Kemampuan mengembalikan kesimpulan tentang tujuan yang
dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan-tindakan keperawatan
pada kriteria hasil. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu: