Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH HIPERBILIRUBINEMIA

Disusun Oleh :
Kelompok 5

1. Arin Annisa Urahhmah : P00320119053


2. Nolin Dwi Sanda : P00320119031

Tingkat 2B Keperawatan

Dosen Pembimbing :
Ns. Yossy Utario, M,kep, Sp.An

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
PRODI D III KEPERAWATAN CURUP
TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah
memberikan rahmat serta karunianya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Asuhan keperawatan hiperbilirubinemia”

Kami menyadari makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Demikianlah makalah ini di buat semoga bermanfaat dalam pelaksanaan
pembelajaraan di Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu.
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR............................................................................................
DAFTAR ISI .......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................
A. Latar Belakang.................................................................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................................................
C. Tujuan..............................................................................................................
D. Manfaat............................................................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI...............................................................................
A. Definisi ............................................................................................................
B. Klasifikasi.........................................................................................................
C. Patofisiologi......................................................................................................
D. Etiologi.............................................................................................................
E. Epidemiologi.....................................................................................................
F. Manifestasi klinis..............................................................................................
G. Metabolism.......................................................................................................
H. Pemeriksaan fisik..............................................................................................
I. Pemeriksaan laboratorium..................................................................................
J. Penatalaksanaan medis dan keperawatan...........................................................
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN.............................................
A. Pengkajian........................................................................................................
B. Diagnosa...........................................................................................................
C. Intervensi..........................................................................................................
D. Implementasi....................................................................................................
E. Evaluasi.............................................................................................................
BAB IV PENUTUP..............................................................................................
A. Kesimpulan.......................................................................................................
B. Saran.................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kadar bilirium serum orang normal umumnya kurang lebih 0,8 mg% (17mmol/1), akan
tetapi kira-kira 5% orang normal memiliki kadar yang lebih tinggi (1-3 mg/dl). Bila
penyebabnya bukan karena hemolisis atau penyakit hati kronik maka kondisi ini biasanya
disebabkan oleh kelainan familial metabolism bilirubin, yang paling sering adalah sindrom
gilbert. Sindrom lainnya juga sering ditemukan, prognasisnya baik. Diagnosis yang akurat
terutama pada penyakit hati kronik sangat penting untuk penatalaksanaan pasien. Adanya
riwayat keluarga, lamanya penyakit serta tidak ditemukan adanya pertanda penyakit hati dan
splenomegali, serum transaminase normal dan bila perlu dilakukan biopsi hati. (Aru W.
Sudoyo)

Hiperbilirubinea merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan
pada bayi baru lahir. Sekitar 25-50% bayi baru lahir menderita ikterus pada minggu pertama.
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar plasma bilirubin, standar deviasi atau lebih
dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari 90 persen, dalam
perhitungan bilirubin terdiri dari bilirubin direk dan bilirubin indirek. Peningkatan bilirubin
indirek terjadi akibat produksi bilirubin yang berlebihan., gangguan pengabilan bilirubin
oleh hati, atau kelainan konjugasi bilirubin. Setiap bayi dengan ikterus harus mendapat
perhatian, terutama ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar
bilirubin indirek meningkat 5 mg/dL daklam 24 jam dan bilirubin direk > 1 mg/dl
merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologis.

Hiperbilirubenemia dianggap patologi apabila waktu muncul, lama, atau kadar bilirubin
serum yang ditemukan berbeda secara bermakna dari ikterus fisiologis. Gejala paling mudah
diidentifikasi adalah ikterus yang didefinisikan sebagai kulit dan selaput lendir menjadi
kuning. Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan pengertian hiperbilirubinemia?
b. apa patofisiologi hiperbilirubinemia?
c. Bagaimana etiologi hiperbilirubinemia?
d. Bagaimana epidemiologi
e. Bagaimana manifestasi klinis hiperbilirubinemia?
f. Bagaimana metabolism hiperbilirubinemia?
g. Bagaimana pemeriksaan fisik dari hiperbilirubinemia?
h. Bagaimana pemeriksaan laboratorium hiperbilirubinemia?
i. Bagaimana pegkajian keperawatan hiperbilirubinemia?
j. Bagaimana diagnosa keperawatan hiperbilirubinemia?
k. Bagaimana intervensi keperawatan hiperbilirubinemia?
l. Bagaimana implementasi keperawatan hiperbilirubinemia?
m. Bagaimana evaluasi keperawatan hiperbilirubinemia?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian hiperbilirubinemia
b. Untuk mengetahui patofisiologi hiperbilirbinemia
c. Untuk mengetahui etiologi hiperbilirubinemia
d. Untuk mengetahui epidemiologi hiperbilirubinemia
e. Untuk mengetahui manifestasi klinis hiperbilirubinemia
f. Untuk mengetahui metabolisme hiperbilirubinemia
g. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik hiperbilirubinemia
h. Untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium hiperbilirubinemia
i. Untuk mengetahui pengkajian keperawatan hiperbilirubinemia
j. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan hiperbilirubinemia
k. Untuk mengetahui intervensi keperawatan hiperbilirubinemia
l. Untuk mengetahui implementasi keperawatan hiperbilirubinemia
m. Untuk mengetahui evaluasi keperawatan hiperbilirubinemia
1.4 Manfaat
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan positif bagi penelitian
berikutnya yang ada hubungannya dengan penatalaksanaan fototerapi pada bayi yang
mengalami ikterik.

2. Manfaat praktis
Adapun manfaat praktis yang dapat diperoleh antara lain :
a. Sebagai sumbangan pemikiran dan bahan masukkan dalam pemberian asuhan
keperawatan pada bayi baru lahir dengan ikterik yang dilakukan fototerapi
b. Diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan untuk meningkatkan pengetahuan
dan keilmuan tentang bayi baru lahir dengan ikterik yang dilakukan fototerapi.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi

Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setalah ada hasil
laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia
menerima fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga
disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia
patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia
neonates >95% menurut Normogram Bhutani.

Hiperbilirubinemia adalah salah satu masalah yang paling umum yang dihadapi dalam
jangka bayi yang baru lahir. Ecara historis, manajemen berasal dari studi tentang toksisitas
bilirubin pada dengan penyakit hemolitik. Rekomendasi yang lebih baru mendukung
penggunaan terapi yang kurang intensif dalam jangka bayi yang sehat dengan sakit kuning.
(Ely susan,2011)

2.2 Klasifikasi Data


1. Menurut tingkat pengolahannya
a. Raw data : merupakan data mentah dan belum diolah.
b. Array data : data yang belum dikelompokkan tetapi sudah disususn besar
kecilnya.
c. Ungrouped data : merupakan raw data yeng belum diketahui kelompoknya.
d. Grouped data : data yang telah dikelompokkan dalam kelas-kelas tertentu
misalnya tabel distribusi frekuensi.

2. Menurut bentuk angka


a. Data diskrit : data yang dibentuk angka bulat (hasil menghitung).
b. Data kuntinyu : data yang terbentuk angka pecahan (desimal) / hasil
mengukur. Contoh : BB, TB
3. Menurut sifatnya
a. Data kuantitatif : data yang berwujud angka.
b. Data kualitatif : data yang tidak berwujud angka.

4. Menurut sumbernya
a. Data primer ; data yang didapat langsung dari individu atau masyarakat.
b. Data sekunder : data yang didapat dari orang lain, organisasi tertentu yang
sudah diolah.

5. Menurut skala pengukurannya


a. Skala nominal : mempunyai beberapa kategori, diantara kategori tak dapat
diketahui tingkat perbedaannya. Contoh :
- jenis kelamin : laki-laki, perempuan.
- golongan pekerjaan : pegawai negeri, ABRI, swasta dan buruh.
b. skala ordinal : mempunyai beberapa kategori, antara lain dapat diketahui
tingkat perbedaan, akan tetapi tidak dapat diketahui besar perbedaan. Contoh :
- tingkat pendidikan : tidak sekolah, SD,SMP,SMA, Perguruan tinggi.
c. Skala interval : mempunyai beberapa kategori antara beberapa kategori dapat
dibedakan dan dapat diketahui besar perbedaan, tapi antara kategori tidak
dapat diketahui kelipatannya dan tidak mengakui titik nol absolute. Contoh :
1). 0 derajar celcius , ada suhunya sebab perhitungan suhu sampai dengan
minus (-).
2). Tingkat pngetahuan, nilai A : 80, nilai B : 40. Hal ini tidak berarti A dua
kali lebih pandai dari B.
d. Data skala ratio : mempunyai beberapa kategori antara kategori diketahui
tingkat perbedaannya, dapat diketahui tingkat kelipatannya dan mengakui
adanya titik nol absolute. Contoh :
1). Rasio penduduk laki-laki dan wanita 48 : 52
2). Rasio guru murid 1 : 10
2.3 patofisiologi hiperbilirubinemia
a. Saat eritrosit hancur di akhir siklus neonatus, hemoglobin pecah menjadi fragmen
globin (protein) dan heme ( besi).
b. Fragmen heme membentuk bilirubin tidak terkonjugasi ( indirek), yang berikatan
dengan albumin untuk dibawa ke sel hati agar dapat berkonjugasi dengan glukuronid,
membentuk bilirubin direk.
c. Karena bilirubin terkonjugasi dapat larut dalam lemak dan tidak dapat diekskresikan
di dalam urine atau epedu, bilirubin ini dapat keluar menuju jaringan ekstravaskular,
terutama jaringan lemak dan otak, mengakibatkan hiperbilirubinemia.
d. Hiperbilirubinemia dapat berkembang ketika :
 Penurunn fungsi hati yang menyebabkan penurunan konjugasi bilirubin.
 Peningkatan produksi inkompatibilitas Rh atau ABO.
 Obstruksi bilier atau hepatis mengakibatkan sumbatan pada aliran empedu
yang normal.

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel
retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan
dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan
untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol
bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak
terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin
untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dala tubuh dan melewati lobulus
hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat
bilirubin keasam glokoronat ( bilirubin terkonjugasi, direk).

2.4 Etiologi

Penyebab dari hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab dari
hiperbilirubinemia adalah :

a. Produksi bilirubin yeng berlebihan.


Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
emolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain,
defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase ( sindrom criggler- najjar).
Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berpean penting
dalam uptake bilirubin ke sel hepar
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

d. Gangguan dalam ekskresi


Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasnaya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

2.5 Epidemiologi

Hiperbilirubinemia neontal sangat umum karena hampir setiap bayi baru lahir mengalami
tingkat serum bilirubin tak terkonjugai lebih dari 30 mmol/L (1,8 mg/dl) selama minggu
pertama kehidupan. Angka kejadian sulit untuk membandingkan karena banyak peneliti
berbeda yang tidak menggunakan definisi yang sama untuk hiperbilirubinemia neonatal
signifikan atau penyakit kuning. Selain itu, identifikasi bayi yang akan diuji tergantung pada
pengakuan visual dari penyakit kening oleh penyedia layanan kesehatan, yang sangat
bervariasi dan tergantung baik pada perhatian pengamat dan pada karakteristik bayi seperti
ras dan usia kehamilan.

Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika serikat 4,3 %dari 47,801 bayi memiliki tptal
serum bilirubin. Dalam rentang dimana fototerapi direkomendasikan oleh tahun 1994
America Academy of Pediatrics (AAP) pedoman, dan 2,9 % memiliki nilai dalam rentang di
mana tahun 1994 AAP Pedoman menyarankan fototerapi mempertimbangkan.

Insiden penyakit kuning neonatal meningkat pada bayi dari Asia Timur, Indian, Amerika,
dan Keturunan Yunani, meskipun yang terakhir tempaknya hanya berlaku untuk bayi yang
lahir di Yunani dan dengan demikian mungkin lingkungan bukan etnis di sal. Bayi kulit
hitam yang terpengaruh lebih sering daripada bayi putih. Untuk alasan ini, penyakit kuning
yang signifikan dalam manfaat bayi hitam evaluasi lebih dekat dari kemungkiman penyebab,
termasuk G-6-PD kekurangan.

Resiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada bayi laki-
laki. Ini tidak muncul terkait dengan tingkat produksi bilirubin, yang mirip dengan yang ada
di bayi perempuan. Resiko penyakit kuning neonatal signifikan berbanding terbalik dengan
usia kehamilan.

2.6 Manifestasi klinis


1. ikterus terjadi 24 jam.
2. peningkatan kosentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam.
3. kosentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonarus kurang bulan dan 12,5
mg% pada neonatus yang cukup bulan.
4. ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompabilitas, defisiensi enzim G-6-PD
(Glukosa 6 phospat Dehydrogenase))
5. ikterus ang disertai keadaan berikut :
- berat badan kurang dari 2000 gram.
- masa gestasi kurang dari 36 minggu
- infeksi
- Gangguan pernafasan
2.7 Metabolism

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi
dari hem bebas atau proses eritropesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai
dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah
yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin indirek. Zat ini sulit larut
dalam air tetapi larut dalam lemak karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi
dan mudah melalui membran bilogik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas
tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan di bawa ke hepar. Dalam hepar terjadi
mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terkait oleh reseptor membran sel hepar dan masuk
kedalam hepar. Segera setelah ada dalam sel hepar terjadi persenyawaan ligandin dan
glotation hepar lain yang membawa ke retkulum endoplasma hepar, tempat terjadinya
konjugasi. Proses ini timbul berkat enzim glukoronil transferase yang kemudian
menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar
tertentu dapat diekskresi melalui ginjal. Sebagian bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi
melali duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urubilinogen
dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus, sebagian di absorpsi kembali oleh
mukosa usus dn terbentuklah proses absopsi entero hepatik.

2.8 Pemeriksaan fisik

Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah
beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yan cukup. Ikterus akan
terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terihat dengan penerangan yang kurang,
terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila
penderita sedang mendapatkan terapi sinar.

Salah satu cara memeriksa derajat kining pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian. Caranya dengan jari telunjuk deletakkan pada tempat-
tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut, dan lain-lain. Tempat
yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti
penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus
mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
2.9 Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang
tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami
ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan
menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin.

‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar serum


bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar
bilirubin total <15 mg/dl (<257 umol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang
mendapat terapi sinar.

Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab


ikterus antara lain :

a. Golongan darah dan ‘coombs test’


b. Darah lengkap dan hapusan darah
c. Hitung retikulosit, skrining G-6-PD
d. Bilirubin direk

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 2-4 jam tergantung usia bayi
dengan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juag perlu diukur untuk menentukan
pilihan terapi sinar ataukah transfusi tukar.

2.10 Penatalaksanaan Medis Dan Keperawatan

Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut:

a. Stimulasi proses konjogasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya


lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus
yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipkai
lagi.
b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin (misalnya
menambhakan glukosa pada hipglikemi) atau (menambahkan albumin untuk
memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan bilirubin bisa dilakukan tanpa
hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi
bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma
meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan
albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1 g/kgBB, sebelum maupun
sesudah terapi tukar.
c. Menguarngi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral didni.
d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik
dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar.
pada umumnya , transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut;1.
1. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek kurang dari 20 mg%
2. kenaikkan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3kenaikkan kadar bilirubin
indirek yang cepat yaitu 0,3-1 mg% jam
3. anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.
4. bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat < 14 mg % dan uji Coombs direct positif.

f. Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan kompetitor inhibitif


terhadap heme oksigenase. Ini masih dalam penelitian dan belum digunakan secara
rutin.
g. Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara sampai 2 hingga 4 jam
telah digunakan untuk mengurangi level bilirubin pada janin dengan penyakit
hemolitik isoimun. Mekanismenya belum diketahui tetapi secara teori
immunoglobulin menempati sel Fc reseptor pada sel retikuloendotel dengan demikian
dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang dilapisi oleh antibody.

Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat dirumah sakit, dalam perawatan
bayi dengan terapi sinar, yang perlu diperhatikan sebagai berikut :

1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan
membuka pakaian bayi.
2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik
untuk mendapatkan energi yang optimal.
4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang terkena
cahaya dapat menyeluruh.
5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

Fokus dokumentasi pengkajian pada data klinik adalah perawat dapat


mengimplementasikan dan mengorganisasi data. Bentuk dokumentasi dapat berupa data
dasar, lembar alur (flow sheet), dan catatan perkembangan, yang semuanya termasuk tipe
pengkajian informasi. Utnuk mencapai catatan pengkajian secara aktual, maka perlu
dipertimbangkan pedoman dalam pembuatan pencatatan pengkajian, diantaranya :

1. Gunakan format yang terorganisasi


2. Gunakan format yang telah ada
3. Format yang mencakup pengkajian perkembangan, pemeriksaan dari kepala sampai
dengan seluruh tubuh dapat memperluas infomasi.

Contoh format pengkajian keperawatan

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN :

DENGAN GANGGUAN

DI RUANG

TANGGAL s/d

A. PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan pada tanggal :
Pukul WIB, di ruang
Pasien masuk rumah sakit pada tanggal
Dengan sumber data dari
No.CM

1. Data dasar
a. Identitas pasien
Nama
Umur
Jenis kelamin
Suku bangsa
Agama
Pekerjaan
Pendidikan
Status
Alamat
Diagnosa medis
Tanggal masuk
Tanggal pengkajian

b. Penanggung
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Pekerjaan
Pendidikan
Status
Alamat
Hubungan dengan pasien

2. Alasan dirawat
a. keluhan utama
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
b. kronologi keluhan
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
c. riwayat kesehatan masa lalu
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
3. data bio-psiko-sosial-spritual
a. bernafas
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
.
b. makan dan minum
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
c. eliminasi
1) BAB
........................................................................................................................
........................................................................................................................
2) BAK
........................................................................................................................
........................................................................................................................
d. aktivitas dan gerak

Kemampuan 0 1 2 3 4
Perawatan diri
Makan / minum
Mandi
Toileting
Berpakaian
Mobilisasi di tempat
tidur
Berpindah
Ambulansi ROM
0 : mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain , 3 : dibantu orang lain dan alat,

4 : tergantung total.

Kesimpulan : .............................................................................................................
....................................................................................................................................
.......................

e. istirahat tidur
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
f. kebersihan diri
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
g. pengaturan suhu tubuh
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
h. rasa nyaman
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
i. rasa aman
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
j. sosialisasi dan komunikasi
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
k. rekreasi
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
l. bekerja
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
m. belajar/pengetahuan
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
n. spiritual
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
3.2 Diagnosis keperawatan

Konsep Diagnosa Keperawatan merupakan keputusan klinik tentang respon individu,


keluarga, dan masyarakat tentang masalah kesehatan pasien baik yang aktual atau potensial
yang didapatkan berdasarkan hasil pengkajian dan pemeiksaan keperawatan. Didapatkan
hasil bahwa diagnosa keperawatan merupakan dasar dalam penyusunan rencana tindakan
ashuan keperawatan, NANDA menyatakan bahwa diagnosa keperawatan adalah ‘ keputusan
klinik tentang respons individu, keluarga, dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual
atau potensial, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan
keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat”

3.3 Intervensi
DX 1 : Resiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
Tujuan : Setelah di berikan tindakan keperawatan selama ....x24 jam di harapkan tidak terjadi
injury akibat fototerapi
Intervensi :
1. Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya
Rasional: mencegah iritasi yang berlebihan
2. Berikan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan daerah genetal
serta bokong di tutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya usuhakan agar
penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir
Rasional: mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif
3. Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam
Rasional: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata
4. Buka penutup mata setiap akan disusukan
Rasional: memberikan kesempatan pada bayi untuk kontak mata dengan ibu
5. Ajak bicara dan berikan sentuhan setiap memberikan perawatan
Rasional: memberikan rasa aman pada bayi

DX 2 : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi

Tujuan : Setalah di berikan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam di harapkan tidak terjadi
integritas kulit dengan kriteria hasil:
1. Tidak terjadi decubitus

1. Kulit bersih dan lembab

Intervensi :

1. Kaji warna kulit tiap 8 jam


Rasional: mengetahui adanya perubahan warna kulit
2. Ubah posisi setiap 2 jam
Rasional: mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu lama
3. Masase daerah yang menonjol
Rasional: melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan daerah
tersebut
4. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau loction pelembab
Rasional: mencegah lecet
5. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun menjadi
7,5mg% fototerapi di hentikan
Rasional: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama

DX 3 : Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan
Tujuan : Setelah di berikan tindakan keperawatan selama ...x24 jam di harapkan tidak terjadi
defisit volume cairan dengan kriteria:
1. Jumlah intake dan output seimbang
2. Turgor kulit baik, ttv dalam batas normal
3. Pemantauan BB tidak lebih dari 10% BB

Intervensi:
1. Kaji reflek hisap bayi
Rasional: mengetahui kemampuan hisap bayi
2. Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat
Rasional: menjamin keadekuatan intake
3. Catat jumlah intake dan output, frekuensi dan konsistensi feses
Rasional: mengetahui kecukupan intake
4. Pantau turgor kulit, tanda-tanda vital (suhu, RR) setiap 4 jam
Rasional: turgor kulit, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda – tanda dehidrasi
5. Timbang BB setiap hari
Rasional: mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi

3.4 Implementasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan anak dengan hiperbilirubinemia di dasarkan pada
rencana keperawatan yang telah di tentukan
1. Mencegah gangguan integritas kulit
- Kaji warna kulit tiap 8 jam
- Ubah posisi setiap 2 jam
- Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau loction pelembab
2. Mencegah adanya injury
- Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya
- Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8
jam
3. Mencegah terjadinya defisit volume cairan
- Catat jumlah intake dan output, frekuensi dan konsistensi feses
- Pantau turgor kulit, tanda-tanda vital (suhu, RR) setiap 4 jam
- Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat

3.5 Evaluasi

Setelah tindakan keperawatan di laksanakan evaluasi proses dan hasil mengacu pada
kriteria hasil evaluasi yang telah di tentukan pada masing–masing diagnosa keperawatan
sehingga:

- Tidak terjadi resiko tinggi injury


- Tidak terjadi gangguan integritas kulit
- Tidak terjadi resiko defisit volume cairan
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar ilirubin mencapai nilai yang
mempunyai potensi yang menimbulkan kernikterus. Kalau tidak ditanggulangi dengan baik
hiperbilirubinemia disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin. Gejala yang menonjol pada
hiperbilirubinemia adalah ikterik.

Penyebab dari Hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis besar,


penyebab dari hiperbilirubinemia adalah : produksi bilirubin yang berlebihan, gangguan
dalam proses uptake dan konjungsi transportasi, dan gangguan dalam eksresi.

4.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka disarankan :

1. Mengetahui karakteristik anak merupakan langkah yang efektif dalam rangka


memberikan asuhan keperawatan pada anak, yaitu:
a. Faktor fisiologis
b. Daya fikir yang berbeda
c. Struktur fisik yang berbeda dengan orang dewasa
2. Kerja sama dengan orang terdekat pada anak (keluarga) jug akan membentu dalam
kelangsungan proses pemberian asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, dkk. 1999. Ilmu kesehatan anak. Nelson Vol 1. Edisi 15. Jakarta : EGC

https.//asus10 wordpress com/asuhan-keperawatan/askep-pada-kasus-bayi-


hiperbilirubinemia/ Diakses pada tanggal 01 Oktober 2015 pukul 16.20 WIB

https:/cnennisa. Files. Wordpress.com/2007/08/asuhan-keperawatan-dengan-


hiperbilirubin.pdf Diakses pada tanggal 01 oktober 2015 pukul 16.20 WIB

Nurarif, Amin Huda.Hardhi kusuma. 2013. Panduan penyusunan asuhan keperawatan


professional. Yogyakarta : Mediaction publishing

https:/repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37957/4/Chapter%2011.pdf Diakses pada


tanggal 01 oktober 2015 pukul 16.45 WIB

sudoyo, aru W., dkk. 2010. Ilmu penyakit dalam. Jilid 1 edisi V. Jakarta : interna publishing

Anda mungkin juga menyukai