Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN TENTANG GANGGUAN PEMENUHAN

KEBUTUHAN RASA AMAN DAN NYAMAN PADA PASIEN CA


SIGMOID DI RUANG MAWAR RS Tk. III BALADHIKA HUSADA
KABUPATEN JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

STASE KEPERAWATAN DASAR PROFESI (KDP)

oleh
Erwindyah Nur Widiyanti
NIM 212311101039

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
BAB 1. LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi Gangguan Aman & Nyaman


Kebutuhan rasa nyaman adalah suatu kebutuhan rasa nyaman yang bebas
dari rasa nyeri, dan hipotermi atau hipertermia. Hal ini disebabkan karena
kondisi nyeri dan hipotermi atau hipertermi merupakan kondisi yang
mempengaruhi perasaan tidak nyaman pasien yang dapat ditunjukkan dengan
timbulnya gejala dan tanda pada pasien. Kenyamanan atau rasa nyaman
adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yaitu
kebutuhan akan ketentraman (suatu kepuasan yang dapat meningkatkan
penampilan sehari-hari) (Potter dan Perry, 2006).

Ketidaknyamanan adalah keadaan ketika individu mengalami sensasi yang


tidak menyenangkan dalam berespon terhadap suatu rangsangan. Kenyamanan
harus dipandang secara holistik yang mencakup empat aspek yaitu:

a. Fisik, berhubungan dengan sensai tubuh


b. Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga dan social
c. Psikososial, berhubungan dengan kewaspdaan internal dalam diri sendiri
yang meliputi harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan
d. Lingkungan, yang berhubungan dengan latar belakang eksternal manusia
seperti bunyi, warna, cahaya dan unsur alamiah lainnya (Wahyu dan
Wahid, 2016).

Aman adalah suatu keadaan yang bebas dari cedera fisik dan psikologis.
Keamanan adalah keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis atau bisa
juga keadaan      aman dan tentram (Potter& Perry, 2006). Pemenuhan
kebutuhan keamanan dilakukan untuk menjaga tubuh dari kecelakaan baik
pasien, perawat atau petugas lainnya yang bekerja untuk pemenuhan
kebutuhan tersebut (Asmadi, 2008). Perubahan kenyamanan adalah keadaan
dimana individu mengalami sensasi yang tidak menyenangkan dan berespon
terhadap suatu rangsangan yang berbahaya (Carpenito, 2006).
Kebutuhan akan keselamatan atau keamanan adalah kebutuhan untuk
melindungi diri dari bahaya fisik. Ancaman terhadap keselamatan seseorang dapat
dikategorikan sebagai ancaman mekanis,, kimiawi, retmal dan bakteriologis.
Kebutuhan akan keaman terkait dengan konteks fisiologis dan hubungan
interpersonal. Keamanan fisiologis berkaitan dengan sesuatu yang mengancam
tubuh dan kehidupan seseorang. Ancaman itu bisa nyata atau hanya imajinasi
(mis, penyakit, nyeri, cemas, dan sebaginya). Dalam konteks hubungan
interpersonal bergantung pada banyak faktor, seperti kemampuan berkomunikasi,
kemampuan mengontrol masalah, kemampuan memahami, tingkah laku yang
konsisten dengan orang lain, serta kemampuan memahami orang-orang di
sekitarnya dan lingkungannya. Ketidaktahuan akan sesuatu kadang membuat
perasaan cemas dan tidak aman. (Asmadi, 2005)

B. Review Anatomi Fisiologi

Salah satu fungsi sistem saraf adalah menyampaikan informasi tentang


ancaman kerusakan tubuh. Nociception dapat menyampaikan informasi perifer
dari reseptor khusus pada jaringan (nociceptors) kepada struktur sentral pada otak.
Menurut Wardani (2014), terdapat beberapa komponen pada sistem saraf, yaitu:
1. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer
mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.
2. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke
CNS.
3. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat teradi hubungan antara serat
aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara
lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.
4. Traktus asending nosiseptik (traktus spinothalamikus lateralis dan ventralis)
yang menyampaikan sinyal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus.
5. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay
sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post setralis.
6. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif
nyeri, ingatan tentang nyeri, dan nyeri yang dihubungkan dengan respon
motoris termasuk withdrawl respon.
7. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level
medulla spinalis.
Terjadinya nyeri berkaitan dengan reseptor dan adanya rangsangan.
Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor yang merupakan ujung- ujung
saraf bebas yang memiliki sedikit atau tidak memiliki myelin yang tersebar pada
kulit dan mukosa, khususnya pada vicera, persendian, dinding arteri, hati dan
kantung empedu. Reseptor nyeri dapat memberikan respon akibat adanya
stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti
bradikinin, histamine, prostaglandin, dan asam yang dilepas apabila terjadi
kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi (Kasiati dan Rosmalawati,
2016).

C. Epidemiologi
Nyeri merupakan faktor komorbiditas penting pada banyak penyakit. Nyeri
dapat dipegaruhi oleh usia, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, budaya,
serta kebiasaan atau gaya hidup. Beberapa studi epidemiologi menjelaskan bahwa
terdapat variasi faktor- faktor yang mempengaruhi nyeri di beberapa negara
(Amalia dkk., 2016). Studi epidemiologi di negara Inggris menunjukkan bahwa
prevalensi nyeri lebih sering terjadi pada wanita dan meningkat pada usia lanjut.
Nyeri juga didapatkan meningkat pada kelompok dengan status sosio-ekonomi
rendah, terutama nyeri kepala. Penelitian di Jakarta terkait prevalensi nyeri terjadi
pada muskoloskeletal di usia lansia dan sebanyak 80% terjadi pada wanita. Nyeri
pada muskoloskeletal terjadi pada daerah lutut, punggung bawah (Rachmawati
dkk., 2006).

D. Etiologi

Lingkungan klien mencakup semua factor fisik dan psikososial yang


memepengaruhi atau berakibat terhadap kehidupan dan kelangsungan hidup
klien. Definisi yang luas tentang lingkungan ini menggabungkan seluruh
tempat terjadinya interaksi antara perawat dan klien.
Keamanan yang ada dalam lingkungan ini akan mengurangi insiden
terjadinya penyakit dan cedera, memperpendek lama tindakan dan
hospitalisasi, meningkatkan atau mempertahankan status fungsi klien dan
meningkatkan kesejahteraan klien. Lingkungan yang aman juga akan
memberikan perlindungan kepada staffnya dan memungkinkan mereka dapata
bekerja secara optimal. Lingkungan yang aman adalah salah satu kebutuhan
dasar yang terpenuhi (Potter&Perry, 2005).

E. Tanda dan Gejala


a. Tanda dan Gejala Mayor
1. Mengeluh tidak nyaman
2. Merasa depresi (tertekan)
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur
6. Tidak mampu menuntaskan aktivitas
b. Tanda dan Gejala Minor
1. Mengeluh sulit tidur
2. Tidak mampu rileks
3. Mengeluh lelah
4. Tekanan darah meningkat
5. Pola napas berubah
6. Nafsu makan berubah
7. Proses berpikir terganggu
8. Menarik diri
9. Berfokus pada diri sendiri
10. Diaforesis
11. Waspada
12. Pola tidur berubah
13. Anoreksia
14. Fokus menyempit
15. Pola eliminasi berubah
16. Postur tubuh berubah
17. Iritabilitas
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016)

F. Patofisiologi / Web of Causation


Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,
sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan
dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : tranduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi (Bahrudin, 2017).
a. Tranduksi: suatu proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan
stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif.
Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-
beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal terhadap
stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri,
atau nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga
terlibat dalam proses transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang
tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator
inflamasi.
b. Transmisi: suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu dorsalis
medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak.
Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal
elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis
dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal.
c. Modulasi: proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related
neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula
spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor
opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis.
Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari korteks
frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan
medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses
inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok)
sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.
d. Persepsi: kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan hasil dari
interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek psikologis, dan
karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang
berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan
sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri
(nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari
syaraf aferen.

Kebutuhan Dasar Nyaman

Faktor

Internal Eksternal

Agen pencedera fisik Lingkungan yang tidak nyaman

Gangguan Hilangnya Susah untuk tidur


pemeliharaan ketenangan
kesehatan

Gangguan pola
Defisit perawatan diri Gangguan tidur
rasa
nyaman
G. Penatalaksanaan Medis

Lingkungan klien mencakup semua factor fisik dan psikososial yang


mempengaruhi atau berakibat terhadap kehidupan dan kelangsungan hidup klien.
Definisi yang luas tentang lingkungan ini menggabungkan seluruh tempat
terjadinya interaksi antara perawat dan klien. Keamanan yang ada dalam
lingkungan ini akan mengurangi insiden terjadinya penyakit dan cedera,
memperpendek lama tindakan dan hospitalisasi, meningkatkan atau
mempertahankan status fungsi klien dan meningkatkan kesejahteraan klien.
Lingkungan yang aman juga akan memberikan perlindungan kepada staffnya dan
memungkinkan mereka dapata bekerja secara optimal. Lingkungan yang aman
adalah salah satu kebutuhan dasar yang terpenuhi (Potter&Perry, 2005).

Rumah sakit merupakan sarana pelayanan public yang penting. Kualitas


pelayanan dalam rumah sakit dapat ditingkatkan apabila didukung oleh
peningkatan kualitas fasilitas fisik. Ruang rawat inap merupakan salah satu wujud
fasilitas fisik yang penting keberadaannya bagi pelayanan pasien. Tata
pencahayaan dalam ruang rawat inap dapat mempengaruh kenyamanan pasien
selama menjalani rawat inap, disamping juga berpengaruh bagi kelancaran
paramedis dalam menjalankan aktivitasnya untuk melayani pasien.
Depkes RI (1992) mendefinisikan pencahayaan sebagai jumlah penyinaran
pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara
efektif. Pada rumah sakit intensitas pencahayaan antara lain sebagai berikut:
-          untuk ruang pasien saat tidak tidur sebesar 100-200 lux dengan warna cahaya
sedang,
-          pada saat tidur maksimum 50 lux,
-          koridor minimal 60 lux,
-          tangga minimal 100 lux, dan
-          toilet minimal 100 lux.
Pencahayaan alam maupun buatan diupayakan agar tidak menimbulkan silau dan
intensitasnya sesuai dengan peruntukannya.

H. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Pengkajian terfokus
1. Pengkajian faktor yang mempengaruhi nyeri:
a) P (Provoking) atau pemicu, yaitu faktor yang memicu timbulnya
nyeri.
b) Q (Quality) atau kualitas dari nyeri, apakah tajam, tumpul, atau
tersayat.
c) R (Region) atau daerah, yaitu daerah terjadinya nyeri.
d) S (Severity) atau keparahan, yaitu ringan, sedang, atau berat.
e) T (Time) atau waktu, yaitu frekuensi munculnya nyeri.
2. Riwayat nyeri:
a) Lokasi untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik.
b) Intensitas nyeri dapat dapat dilakukan dengan salah satu metode
skala nyeri menurut Hayward (1975):
1 : tidak nyeri
1-3 : nyeri ringan
4-6 : nyeri sedang
7-9 : sangat nyeri tapi dapat dikontrol
10 : sangat nyeri dan tidak bisa dikontrol
c) Kualitas nyeri, apakah seperti ditusuk-tusuk, dipukul-pukul, dan
sebagainya.
d) Pola nyeri, meliputi waktu, durasi, dan kekambuhan atau interval
nyeri.
e) Faktor presipitasi, yaitu aktifitas tertentu dapat memicu timbulnya
nyeri.
f) Gejala yang menyertai, seperti rasa mual, muntah, pusing, dan
diare.
g) Pengaruh pada aktifitas sehari-hari, yaitu dapat membantu klien
memahami prespektif tentang nyeri yang dirasakan. Beberapa
aspek kehidupan yang perlu dikaji seperti tidur, nafsu makan,
konsentrasi, pekerjaan, hubungan interpersonal, aktifitas dirumah,
dan status emosional.
h) Sumber koping, yaitu strategi individu dalam menghadapi nyeri
bagaimana. Pengkajian yang perlu dilakukan seperti pengalaman
nyeri sebelumnya dan pengaruh agama atau budaya.
i) Respon afektif, yaitu interpretasi tentang nyeri. Pengkajian yang
perlu dilakukan seperti adanya ansietas, takut, lelah, depresi, atau
perasaan gagal pada diri klien.
3. Observasi respon perilaku dan fisiologis
a) Respon nonverbal, seperti ekspresi pada wajah (menutup mata
rapat-rapat, menggigit bibir bawah, dan seringai pada wajah).
Respon berupa vokalisasi (mngerang, menangis, berteriak).
Gerakan tubuh tanpa tujuan (menendang-nendang, membolak-
balikkan tubuh di kasur).
b) Respon fisiologis nyeri bergantung pada sumber dan durasi nyeri.
Pada awal nyeri akut, respon fisiologis seperti peningkatan
(tekanan darah, nadi, pernafasan), diaphoresis serta dilatasi pupil
akibat terstimulasinya sistem saraf simpatis. Jika nyeri
berlangsung lama dan sistem saraf simpatis telah beradaptasi,
kemungkinan respon fisiologis akan berkurang atau mungkin
tidak ada (Jenitri, 2014).
b. Diagnosis Keperawatan yang sering muncul
1. D.0074 Gangguan Rasa Nyaman b.d gejala penyakit d.d mengeluh
tidak nyaman, tampak merintih/ menangis.
Definisi: Perasaan kurang senang, lega, dan sempurna dalam dimensi
fisik, psikospiritual, lingkungan dan sosial.
2. D.0077 Nyeri Akut b.d agen pencedera fisiologis, kimiawi, atau fisik
d.d mengeluh nyeri, tampak meringis.
Definisi: pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak
atau lambat dan berintensi ringan hingga berat yang berlangsung
kurang dari 3 bulan.
3. D.0078 Nyeri Kronis b.d kerusakan sistem saraf d.d mengeluh nyeri,
tidak mampu menuntaskan aktifitas.
Definisi: pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak
atau lambat dan berintensi ringan hingga berat dan konsisten, yang
berlangsung lebih dari 3 bulan.
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)
c. Perencanaan/Nursing Care Plan
Manajemen Nyeri I.08238 (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018):
1. Obssrvasi
a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
intensitas nyeri.
b) Identifikasi skala nyeri
c) Identifikasi respon nyeri non-verbal.
d) Identifikasi faktor yang memperberat dan meringankan nyeri.
e) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.
2. Terapeutik
a) Beri teknik nonfarmakologi seperti TENS, hipnosis, akupresur,
terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, kompres
hangat/dingin..
b) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan).
c) Fasilitasi istirahat dan tidur
3. Edukasi
a) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri.
b) Jelaskan strategi meredakan nyeri.
c) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e) Anjurkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

I. Penatalaksanaan berdasarkan evidence-based practice in nursing


Evidence.based Nursing Pada Gangguan Pemenuhuan Kebutuhan Aman dan
Nyaman (Nyeri)
Penulis Edhi Ristiyanto, dkk
Judul Efektivitas Terapi Relaksasi Slow Deep Breathing (Sdb)
Dan Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Intensitas
Nyeri Pasien Kanker Di Rs Tugurejo Semarang
Nama Jurnal, Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol 3,
Edisi, Tahun No 1, Tahun 2019
Latar Belakang Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal.
Sel-sel kanker akan berkembang degan cepat, tidak
terkendali, dan akan terus membelah diri. Kanker paru,
hati, perut, kolorektal, dan kanker payudara adalah
penyebab terbesar kematian akibat kanker setiap
tahunnya. Nyeri pada kanker merupakan gejala yang
sering ditemukan, biasanya bersifat kronis atau
menahun. Nyeri kanker mempunyai arti tersendiri
khususnya bagi penderita dan keluarganya, dimana
nyeri membuat lelah dan menuntut energi dari individu
yang mengalaminya serta mengganggu hubungan dan
kemampuan individu untuk mempertahankan perawatan
dirinya. Teknik relaksasi yang dapat menurunkan nyeri
diantaranya dengan terapi relaksasi Benson yaitu terapi
untuk menghilangkan nyeri, insomnia dan kecemasan
dengan upaya memusatkan perhatian pada suatu fokus
dengan menyebut berulang-ulang kalimat yang telah
dipilih dan menghilangkan berbagai pikiran yang
mengganggu. Terapi lain untuk mengontrol nyeri adalah
Relaksasi slow deep breathing (SDB) adalah bentuk
latihan nafas yang terdiri atas pernafasan abdomen
(diafragma) dan purse lips breathing
Tujuan Penelitian dilakukan ini untuk melihat pengaruh terapi
SDB dan benson terhadap intensitas nyeri pada
penderita kanker
Metodologi Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini
adalah Quasi Experiment, yaitu suatu rancangan
penelitian yang digunakan untuk mencari hubungan
sebab-akibat dengan adanya keterlibatan penelitian
dalam melakukan manipulasi terhadap variabel bebas.
Rancangan penelitian ini adalah Two Group PreTest-
Posttest, rancangan penelitian ini tidak memakai
kelompok kontrol, dilakukan dengan cara melakukan
observasi pertama (pre test) terhadap responden,
kemudian responden diberikan intervensi, setelah
diberikan intervensi dilakukan observasi kedua (post
test)
Hasil sebelum diberikan relaksaki Benson sebagian responden
berada pada tingkat nyeri ringan dan sedang masing-
masing (50,0%). Sesudah diberikan relaksasi Benson
sebagian besar (62,5%) berada pada tingkat nyeri ringan
dan ditemukan 1 responden (6,2%) yang tidak nyeri.
Pembahasan Bedasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebelum
dilakukan relaksasi (SDB) didapatkan nilai mean
sebesar 4.62 sedangkan sesudah dilakukan relaksasi
(SDB) didapatkan nilai mean sebesar 2.62. Gambaran
nyeri sebelum dilakukan intervensi relaksasi slow deep
breathing menunjukan rata-rata nyeri rindan dan nyeri
sedang. Hasil uji Wilcoxon dengan nilai p value sebesar
0.001 (p value <0,05) yang berarti ada perbedaan
sebelum dan sesudah dilakukan relaksasi (SDB)
terhadap penurunan intensitas skala nyeri kanker.
Sebelum dilakukan relaksasi Benson didapatkan nilai
mean sebesar 4.00 sedangkan sesudah dilakukan
relaksasi Benson didapatkan nilai mean sebesar 2.31.
Bedasarkan uji Wilcoxon nilai p value sebesar 0.000 (p
value<0,05) yang berarti ada perbedaan sebelum dan
sesudah dilakukan relaksasi Benson terhadap penurunan
intensitas skala nyeri kanker.

Kesimpulan Intensitas nyeri sesudah diberikan intervensi relaksasi


slow deep breathing terjadi penurunan didapatkan hasil
sebesar (75%) dengan tingkat nyeri ringan. Intensitas
nyeri sesudah dilakukan intervensi relaksasi Benson
terjadi penuruan didapatkan hasil sebagian besar
(62,5%) dengan tingkat nyeri ringan. Edhi Ristiyanto,
dkk., 2016)
Referensi E. R., M. Hartoyo**), dan Wulandari***). 2016.
Efektivitas terapi relaksasi slow deep breathing
(sdb) dan relaksasi benson terhadap penurunan
intensitas nyeri pasien kanker di rs tugurejo
semarang. 801:1–10.
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, A. F., T. Runtuwene, dan M. A. H. N. Kembuan. 2016. Profil nyeri di


poliklinik saraf rsup prof . dr . r . d . kandou manado. Jurnal E-Clinic. 4:7.

Bahrudin, M. 2017. Patofisiologi Nyeri (Pain). Jurnal Ilmu Kesehatan dan


Kedokteran Keluarga. 13(1).

Jenitri, L. D. D. 2014. Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Gangguan Rasa


Aman Dan Nyaman ( Nyeri ). Denpasar.

Kurniawan, S. N. 2015. Nyeri Secara Umum dalam Continuing Neurological


Education 4, Vertigo dan Nyeri. UB Press, Universitas Brawijaya, Malang.
p46-111.

Rachmawati, M., D. Samara, P. Tjhin, dan M. Wartono. 2006. Nyeri


muskoloskeletal dan hubungannya dengan kemampuan fungsional fisik
pada lanjut usia. Universa Medicina. 25(4):179.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi Dan Indikator Diagnostik. Dalam PPNI. Jakarta: DPP PPNI.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai