Anda di halaman 1dari 16

MAQAMAT DAN AHWAL

MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tasawuf


Dosen pengampu : Qurrota A’yun, M.H.I

Oleh :

1. Rizqi Zulfiani (4118174)


2. Alvin Wahyu Nugroho (4118197)

Kelas : D

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah
ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Maqamat dan Ahwal”.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Pekalongan, 3 Oktober 2O21

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
1.3. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Maqamat dan Ahwal ............................................................... 3
2.2. Macam-Macam Maqamat dan Ahwal ....................................................... 4
2.3. Perbedaan Mendasar Maqamat dan Ahwal ............................................... 9
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan .............................................................................................. 11
3.2. Saran ......................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Membicarakan tasawuf berarti memperbincangkan maqamat dan


ahwal. Keduanya dapat dikatakan sebagai rukun atau fondasi tasawuf. Tak
mungkin ada tasawuf, baik ia sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai
amalan, tanpa kehadiran maqamat dan ahwal.
Dalam menjalani proses maqamat yang maha berat itu, jiwa
seseorang sufi terbang mengembara mencari dan menemukan hakikat
hidup, manusia dan Tuhan Yang Maha agung dan indah. Pada saat yang
sama, ia juga mengalami ahwal; merasakan nikmatnya berada puncak
spiritual yang tak terkatakan dan tak bisa dilukiskan keindahannya. Puncak
kenikmatan dan keindahan ruhani itu- secara terbatas- oleh Abu Yazid
disebut ijtihad, al-Hallaj menyebutkan hulul, al-Gazali menamainya
ma’rifat, al-Sarraj menyebutnya musyahadah, Rabi’ah dan Jalaluddin
Rumi menamainya dengan mahabbah. Begitulah, setiap sufi memiliki
nama-nama atau istilah sendiri untuk melukiskan nikmat dan indahnya
bertemu Sang Kekasih, walaupun kata-kata itu sebenarnya tidak dapat
menggambarkan sejatinya pertemuan itu karena keterbatasan-keterbatasan
(bahasa) manusia. Wa Allah A’lam bi al-Sawab.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan


permasalahan sebagai berikut :
1. Apa pengertian maqamat dan ahwal ?
2. Apa macam-macam maqamat dan ahwal ?
3. Apa perbedaan mendasar maqamat dan ahwal ?

1
1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :


1. Untuk mengetahui pengertian maqamat dan ahwal
2. Untuk mengetahui macam-macam maqamat dan ahwal
3. Untuk mengetahui perbedaan mendasar maqamat dan ahwal

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Maqamat dan Ahwal

1. Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang
berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti
sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
dekat dengan Allah. Dalam bahasa inggris maqamat dikenal dengan istilah
stages yang berarti tangga. 1
Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara etimologi maqam
mengandung arti kedudukan atau tempat berpijak dua telapak kaki.
Sementara itu dalam pengertian terminologi istilah maqam mengandung
pengertian kedudukan, posisi, tingkatan, atau kedudukan tahapan hamba
dalam mendekatakan diri kepada Allah.
Jadi, maqam sering dipahami oleh para sufi sebagai tingkatan, yaitu
tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya, dalam hal ibadah dan latihan
latihan (riyadah) jiwa yang dilakukannya.
2. Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal digunakan
kaum sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam perspektif
tasawuf sering diartikan “keadaan”. Maksudnya keadaan dalam kondisi
spiritual. Hal, sebagai sebuah kondisi yang singgah dalam kalbu, merupakan
efek dari peningkatan maqamat seseorang. Secara teoritis, memang bisa
dipahami bahwa kapanpun seorang hamba mendekat kepada Allah dengan
cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah
memanifestasikan dirinya dalam kalbu hamba tersebut.
Secara terminologis yang dimaksud dengan ahwal ialah keadaan atau
keadaan kondisi psikologis yang dirasakan ketika seorang sufi mencapai

1
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 137.

3
maqam tertentu. Ahwal merupakan sebuah batasan teknis dalam disiplin
tasawuf untuk suatu keadaan tertentu yang bersifat tidak permanen. Hal
masuk kedalam hati sebagai anugrah dan kerunia Allah yang tidak terbatas
pada hamba-Nya. Hal tidak dapat dicapai melalui usaha, keinginan, atau
undangan. Hal datang dan pergi tanpa diduga duga. Keadaan spiritual banyak
jumlahnya dan kedudukan spiritual juga banayak.
Dapat dikatakan bahwa hal merupakan pemberian yang berasal dari Tuhan
kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Pemberian itu pada kalanya tanpa
melalui usaha. Tidak semua orang berusaha itu berhasil, namun yang menjadi
dambaan bagi setiap orang yang menjalani tasawuf. Hubungan antara usaha
dan hasil dalam perkara ini tidak bersifat mutlak.2

2.2. Macam-Macam Maqamat dan Ahwal

A. Macam-Macam Maqamat
Berkaitan dengan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi
untuk mencapai Tuhannya, para sufi berbeda pendapat pada hal ini. Terhadap
perbedaan beberapa pendapat tersebut ada beberapa maqamat yang disepakati
oleh para ahli tasawuf, yaitu:
1. Al-Zuhud
Zuhud secara istilah bermakna tidak ingin kepada sesutu yang bersifat
keduniaan. Namun, secara umum zuhud dapat diartikan sebagai sutu sikap
melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan
mengutamakan kehidupan akhirat. Kendatipun didefinisikan dengan redaksi
yang berbeda, inti dan tujuan zuhud sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan
dunia sebagai tujuan akhir. Jangan sampai kenikmatan dunuawi
menyebabkan susutnya waktu dan perhatian pada tujuan yang sebenarnya,
yaitu kebahagiaan abadi di “hadirat” Ilahi.
Dilihat dari maksudnya zuhud dibagi mejadi tiga tingkatan. Pertama
menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua

2
Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak dan Tasawuf (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm.
146

4
menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga mengucilkan
dunia bukan karna takut atau berharap, tetapi karena cinta karen Allah. Orang
yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandabg segala sesuatu,
kecuali Allah, tidak mempunyai apa-apa. 3
2. At-Taubah
At-Taubah adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati
disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang
menimbulkan dosa. At-Taubat di bagi menjadi tiga tingkatan yakni ; yang
pertama taubat yang paling rendah yaitu memohon ampun kepada Allah atas
segala kesalahan yang telah dilakukan pada saat yang lampau. yang kedua
taubat yang lebih tinggi tingkatannya yaitu taubat terhadap pangkal dosan
seperti taubat dari sifat dendam, sombong, iri, riya’, pamer, dll. Sedangkan
yang ketiga taubat tertinggi yaitu taubat untuk berusaha menjauhkan diri dari
bujukan setan dan kelalaian dari mengingat Allah.
3. Al-Wara’
Al-Wara’ adalah sikap berhati-hati terhadap ketentuan-ketentuan Allah.
Mereka yang memiliki sifat ini selalu berusaha agar tidak melanggar aturan
Allah meskipun itu hanya kemaksiatan yang tanpak kecil. Seseorang yang
bersifat wara’ adalah mereka yang selalu berhati-hati dalam segala
perilakunya sehingga tidak terjerumus pada hal-hal yang tidak disenangi atau
diridai Allah baik yang hukumnya makruh apalagi haram. 4
4. Al –Faqr (Fakir)
Al –Faqr adalah tidak menuntut banyak dan merasa cukup dengan apa
yang telah diterima dan dianugerahi oleh Allah, sehingga tidak mengharapkan
atau meminta sesutu yang bukan haknya. Dengan demikian, seseorang yang
faqr selalu merasa berkecukupan dan merasa puas dalam menjani kehidupan.
Sikap ini sangat penting sehingga manusia dapat terhindar dari sifat serakah
dan rakus. Sikap al-Faqr merupakan kelanjutan sikap zuhud, karena dengan

3
Moch. Misbachul Munir, Akhlak Tasawuf (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), hlm.
240.
4
Moch. Misbachul Munir, Akhlak Tasawuf (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), hlm.
255.

5
zuhud terhadap kehidupan dunia dengan tidak terperdaya tipudaya dunia,
sesorang akan merasa puas dan cukup dengan apa yang diperolehnya. Selain
itu sifat al-Faqr akan menghasilkan sifat wara’, karena dengan menerima apa
yang dianugerahkan Allah kepadanya, ia akan bersikap hati-hati dan tidak
akan menuntut yang bukan haknya.
5. As-Shabr (sabar)
As-Shabr adalah salah satu sifat andalan bagi kaum sufi. Sifat sabar
merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh para nabi dan rasul. Mereka yang
memiliki yang memiliki kesabaran yang luar biasa dinamakan dengan ulul al-
‘azmi. Jadi sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan
dengan kehendak Allah, demikian juga tenang ketika mendapatkan cobaan
dari-Nya, menampakkan sifat yang berkecukupan sekalipun hidup dalam
kekurangan.
Dalam ajaran tasawuf sifat sabar dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Sabar dalam beribadah kepada Allah.
b. Sabar dalam menjauhi larangan Allah.
c. Sabar dalam menerima cobaan dari Allah.
6. Tawakkal
Secara terminologi tawakkal adalah membebaskan diri dari segala
ketergantungan kepada selain Allah Swt. dan menyerahkan keputusan segala
sesuatunya kepada Allah Swt. Jadi, tawakkal adalah sikap pasrah terhadap
Allah dalm menjalani setiap urusan. Tawakkal dapat dimaknai sebagai sikap
hati untuk menyerahkan diri kepada qada’ dan qadar Allah.
7. Rela (Rida’)
Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang telah di
anugerahkan Allah Swt. orang yang memiliki sikap rida’ mampu melihat
hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk
sangka terhadap ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan,
kebesaran, dan kemaha sempurnaan dzat yang meberikan cobaan kepadanya
sehingga tidak menegeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut.
8. Mahabbah

6
Mahabbah (mencintai) Allah adalah kedudukan yang paling tinggi dan
mulia guna menuju keridaan Allah, karena hanya Allah yang maha Besar,
Maha Penguasa, Maha Suci, Maha Pencipta, dan Maha Pemberi.
9. Ma’rifah
Secara etimologi kata dasar ma’rifat berasal dari kata arafah yang artinya
“mengetahui atau mengenal”. Makrifat berarti juga pengetahuan. Jadi
mak’rifat artinya mengenal Allah dengan mata hati, sekaligus ujung
perjalanan dari segala ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh kaum sufi.
Unsur ma’rifat adalah “cinta” dan hasil dari ma’rifat adalah “pandangan”.5

B. Macam-Macam Ahwal.
Ahwal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui
waktunya. Dengan demikian Ahwal adalah pemberian dari Allah ketika sang
sufi menapaki jalan menuju Allah. Dalam ilmu tasawuf dikenal dengan
beberapa Ahwal sebagai berikut:
1. Muhasabah dan Muraqabah (Mawas Diri dan Waspada)
Muhasabah ialah meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran,
perbuatan, dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang menjadi hormat,
takut, dan tunduk kepada-Nya. Sedangkan Muraqabah yaitu adanya
kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan
diawasi-Nya.
Muhasabah dan Muraqabah merupakan dua hal yang saling berkaitan erat.
Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Kedua sikap
itu merupakan dua sisi dari tugas yang sama dengan menundukkan perasaan
jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.
2. Hubb ( cinta )
Hubb adalah cinta. Maksudnya, cinta seorang hamba kepada tuhan. Dalam
pandangan tasawuf, hubb pada dasarnya anugerah yang menjadi dasar pijakan
ahwal, sama seperti taubat yang menjadi dasar pijakan maqam.

5
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 199-200.

7
Ibn Taimiyah membagi tingkatan- tingkatan cinta, yaitu: pertama, al-
alaqah, yaitu keterkaitan hati dengan yang dicintai. Kedua, al-sababah (
kegairahan) yaitu hati selalu bergairah kepada Allah. Ketiga, al-ghuram yaitu
cinta sebagaimana biasanya. Keempat, al-isyq yaitu mencintai kepada Allah
dengan bergairah yang berlebih. Kelima, al-tatayyum( menjadi budak) yaitu
menjadi budak kepada Allah. Dari kelima tingkatan cinta itu, maka dapat
ditegaskan bahwa seorang yang mencintai Allah adalah mereka yang selalu
mempunyai keterkaitan dan keterpautan dengan Allah, “ asyik bercengkrama”
dengan Allah, dan menjadi budak di hadapan Allah.
Keterkaitan dengan Allah di wujudkan dengan keadaan hati yang selalu
bersama Allah dalam semua keadaan dan perilaku seseorang. Ini di wujudkan
ketika orang merasa mendapat ke asyikan, kenikmatan ketika ia beribadah
dengan Allah. Sedangkan menjadi budak Allah, ia akan menuruti segala
sesuatu yang mengakibatkan kesenangan dan keridhaan Allah. Di samping
itu, perasaan menjadi budak juga mengakibatkan adanya perasaan merendah
atau hina di hadapan Allah.
3. Raja’ dan Khauf ( Berharap dan Takut)
Menurut kalangan kaum sufi, Raja’ dan khauf berjalan seimbang dan
saling mempengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimis, yaitu persaan
senang hati karena menanti sesuatu yang di inginkan dan di senangi. Raja’
menuntut tiga perkara yaitu: cinta kepada apa yang di harapkannya, takut
apabila harapan yang hilang, berusaha untuk mencapainya. Sedangkan Khauf,
ialah kesaksian hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan
menimpa diri di masa yang akan datang. Khauf dapat mecegah hamba
berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Khauf dan raja’ saling berhubungan. Kekurangan khauf menyebabkan
seseorang lalai dan berani melakukan maksiat, sedangakan khauf yang
berlebihan akan menjadikan putus asa dan pesimitis. Begitu pila sebaliknya,
apabila sikap raja’ terlalu besar, hal itu akan membuat seseoarang menjadi

8
sombong dan meremehkan amalan- amalanya karena rasa optimisnya yang
berlebihan. 6
4. Syauq ( Rindu)
Syauq yang dimaksudkan ialah rindu kepada Tuhan. Syauq ialah rasa
rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni dan di sertai
dengan mahabbah. Perasaan inilah yang menjadi motor pendorong kaum sufi
agar selalu berada sedekat mungkin kepada Allah yang menjadi sumber segal
kenikmatan dan keindahan.
5. Uns (intim)
Uns (intim) adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh pada
suatu titik sentrum, yaitu Allah; tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat,
dan tidak ada yang diharap kecuali Dia. Uns merupakan keadaan spiritual
ketika hati dipenuhi cinta, keindahan, kelembutan, belas kasih, dan
pengampunan Allah. Keindahan uns tidak dapat terlukiskan. Hal ini dapat
dialami oleh pendengar dalam konser spiritual( sama’) yang menyebabkannya
mengalami kemabukan(wajd) ketika menemukan Allah.

2.3. Perbedaan Mendasar Maqamat dan Ahwal

Secara historis, konsep maqamat dan ahwal diduga muncul pertama kali
pada abad 1 Hijriyah. Sosok yang memperkenalkan kedua terms tersebut
adalah Ali bin Abi Thalib. Hal ini dapat ditelusuri ketika para sahabat
berkonsultasi tentang iman. Ia menjawab bahwa iman itu adalah bersumber
pada empat fondasi yaitu taqwa, sabar, adil, jihad, yang masing-masing
fondasi tersebut mempunyai tingkatan( maqamat).

Para sufi sendiri secara teliti menegaskan perbedaan maqam dan ahwal.
Maqam, menurut mereka, ditandai oleh kemapanan. Sementara itu, ahwal
justru mudah hilang. Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan
upayanya. Sementara itu, ahwal dapat diperoleh secara disengaja. Hal
diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan menari, bersedih hati, bersenang-

6
Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hlm.
49.

9
senang, rasa mencekam, rindu, gelisah, atau harap. Jelasnya, hal sama dengan
bakat, sedangkan maqam diperoleh dengan daya dan upaya. Hal akan datang
dengan sendirinya, sementara maqam diperoleh dengan berupaya. Orang yang
meraih maqam tetap dalam tingkatannya, sementara orang yang meraih ahwal
justru akan mudah lepas dirinya. 7

Secara mendasar, perbedaan maqamat dan ahwal ini baik dari cara
mendapatkannya maupun pelangsungannya yaitu Maqamat berupa tahap-
tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk
memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan
spiritual yang panjang untuk melawan hawa nafsu, ego manusia, yang
dipandang perilaku yang buruk yang paling besar yang dimiliki manusia dan
8
hal itu menjadi kendala menuju Tuhan.

Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan


bahwa seseorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan taun hanya untuk
bergeser dari satu stasiun ke stasiun yang lainnya. Sedangkan “ahwal”yang
sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan.

Di antara “ahwal” yang sering disebut adalah takut, sukur, rendah hati,
tawakkal, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf,
namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan
dan berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan
perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah
berupa kalitan-kalitan ilahi (Divine Flashes), yang biasa disebut lama’at.9

7
Munir Misbachul, Moch, Akhlak Tasawuf,(Surabaya: UIN Sunan Ampel Press), hlm. 251.
8
Munir Misbachul, Moch, Akhlak Tasawuf,(Surabaya: UIN Sunan Ampel Press), hlm. 257.
9
Muzaiyana, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), hlm. 253-255.

10
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara etimologi maqam


mengandung arti kedudukan atau tempat berpijak dua telapak kaki.
Sementara itu dalam pengertian terminologi istilah maqam mengandung
pengertian kedudukan, posisi, tingkatan, atau kedudukan tahapan hamba
dalam mendekatakan diri kepada Allah. Sedangkan, ahwal ialah keadaan atau
keadaan kondisi psikologisyang dirasakan ketika seorang sufi mencapai
maqam tertentu.

2. Berkaitan dengan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi
untuk mencapai Tuhannya, para sufi berbeda pendapat pada hal ini. Terhadap
perbedaan beberapa pendapat tersebut ada beberapa maqamat yang disepakati
oleh para ahli tasawuf, yaitu: Al-Zuhud, At-Taubah, Al-Wara’, Al –Faqr
(Fakir), As-Shabr (sabar), Tawakkal, Rela (Rida’), Mahabbah, dan Ma’rifah.

3. Ahwal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui


waktunya. Dengan demikian Ahwal adalah pemberian dari Allah ketika sang
sufi menapaki jalan menuju Allah. Dalam ilmu tasawuf dikenal dengan
beberapa Ahwal sebagai berikut: Muhasabah dan Muraqabah (Mawas Diri
dan Waspada), Hubb ( cinta ), Raja’ dan Khauf ( Berharap dan Takut), Syauq
( Rindu), dan Uns ( intim).

4. Secara mendasar, perbedaan maqamat dan ahwal ini baik dari cara
mendapatkannya maupun pelangsungannya yaitu Maqamat berupa tahap-
tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk
memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan
spiritual yang panjang untuk melawan hawa nafsu, ego manusia, yang
dipandang perilaku yang buruk yang paling besar yang dimiliki manusia dan
hal itu menjadi kendala menuju Tuhan.

11
3.2. Saran

Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan


dan sumber inspirasi bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Kami
menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah manusia biasa yang tak luput
dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar
ke depannya dapat membuat yang lebih baik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.


Bangun Nasution, Ahmad. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015.
Misbachul Munir, Moch. Akhlak Tasawuf. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,
2014.
Muchlis Solichin, Mohammad. Akhlak dan Tasawuf. Surabaya: Pena Salsabila,
2014.
Muzaiyana. Akhlak Tasawuf. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014.
Ni’am, Syamsun. Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf. Yogyakarta: Ar-
RuzzMedia, 2014.
Rusli, Ris’an. Tasawuf dan Tarekat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013.

13

Anda mungkin juga menyukai