Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KRISIS DAN UTANG INTERNASIONAL


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: EkonomiPembangunan.
Dosen Pengampu: Syamsuddin,M.Si.

Disusunoleh: Kelompok7

1.Rihhadatul Aisy Sakinah (4120044)


2.Diah Aryani (4120053)
3.Dinda Hasanatul Jamila (4120082)
4.Zaidatul Riskiyah (4120164)

Kelas:Ekonomi PembangunanE

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN KH. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN
2022
KATAPENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah denganjudul“Krisis dan
Utang Internasional” untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Ekonomi
Pembangunan. Sholawat serta salam tidak lupa kami sanjungkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarganya. Dalam kesempatan kali ini, kami
ingin menyampaikan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah membimbing kami
dalam penyelesaian makalah ini;

1. Ibu Dr. Hj. Shinta Dewi Rismawati,S.H.,M.H., sebagaiDekanFakultasEkonomi


dan Bisnis Islam.
2. Bapak Muhammad Aris Syafi‟i,M.E.I., sebagai Ketua Jurusan
EkonomiSyariah.
3. Bapak Syamsuddin,M.Si., sebagai Dosen Pengampu mata kuliah Ekonomi
Pembangunan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna dan
masih banyak kekurangan lainnya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk perbaikan makalah selanjutnya. Penulis berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat, baik bagi penulis maupun pembaca.

Pekalongan,5 November2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR ..................................................................................................................... 1

DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii

BAB I .............................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG ............................................................................................................. 1

B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................................ 1

C. TUJUAN.................................................................................................................................. 1

BAB II............................................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 3

A. Karakteristik Krisis Utang Dan Pembentukan Utang .......................................................... 3

B. Debt-LED Growth hingga Growth LED Debt ..................................................................... 4

C. Penyebab Timbulnya Krisis Utang ...................................................................................... 6

D. Manajemen Krisis Utang ..................................................................................................... 8

E. Solusi Krisis Utang Internasional ...................................................................................... 10

F. Capital Flight ..................................................................................................................... 13

BAB III ......................................................................................................................................... 17

PENUTUP..................................................................................................................................... 17

A. KESIMPULAN .................................................................................................................. 17

B. SARAN .............................................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sebagian besar negara berkembang memiliki potensi untuk mempercepat
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi menjadi lebih baik. Indonesia termasuk negara
berkembang yang sedang melakukan pembangunan di segala bidang terhambat pada
faktor pendanaan. Untuk mempercepat gerak pemerintah dalam melaksanakan
pembangunan nasional, maka sumber pendanaan yang digunakan oleh Indonesia adalah
salah satunya bersumber dari utang. Bagi negara berkembang seperti Indonesa, utang luar
negeri (foreign debt) adalah variabel yang bisa saja mendorong perekonomian sekaligus
menghambat pertumbuhan ekonomi.
Utang luar negeri (ULN) atau pinjaman luar negeri adalah sebagian dari total
utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima
utang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang
dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga
keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakarakteristik krisis utang dan pembentukan utang?

2. Apaitu Debt-LED Growth hingga Growth LED Debt?

3. Bagaimana penyebab timbulnya krisis utang?

4. Bagaimana manajemen krisis utang?

5. Bagaimana solusi krisis utang internasional?

6. Apa itu Capital flight?


C. TUJUAN

1. Untukmengetahuikarakteristik krisis utang dan pembentukan utang

2. Untuk mengetahui Debt-LED Growth hingga Growth LED Debt

3. Untukmengetahui penyebab timbulnya krisis utang


4. Untukmengetahuimanajemen krisis utang

5. Untuk mengetahui solusi krisis utang internasional


6. Untuk mengetahui Capital flight

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Karakteristik Krisis Utang Dan Pembentukan Utang


Krisis utang menjadi isu besar pada bulan agustus 1982 ketika meksiko
mengumumkan kebangkrutan perekonomian nya sehingga tidak mampu lagi untuk
membayar utangnya. Peristiwa ini merupakan di syarat adanya isu krisis utang pada
tahun 1980-an. Utang bagi negara yang sedang berkembang bukan lagi membantu
dalam pembangunannya bahkan menjadi beban. Karena, pertama utang yang diterima
lebih banyak dinyatakan dalam bentuk mata uang asing dan bukan dalam bentuk mata
uang dalam negeri sehingga rentan terhadap fluktuasi di pasar moneter internasional.
Kedua, kebanyakan utang yang diterima oleh negara yang sedang berkembang adalah
bentuk dollar sedangkan jumlah dollar yang tersedia di pasar internasional relatif lebih
sedikit dari mata uang asing lainnya.
Untuk mengukur sampai sejauh mana tingkat utang membebani suatu negara
dapat kita lihat dari beberapa aspek, yaitu :
a. Tingkat Debt Service Ratio (DSR), yaitu perbandingan antara pembayaran bunga
plus cicilan utang terhadap penerimaan ekspor suatu negara.
b. Tingkat Debt to Export Ratio (DER), yaitu perbandingan antara jumlah utang
terhadap total ekspor suatu negara berdasarkan kriteria bank bunia, batas aman untuk
Der adalah 130-220%.
c. Tingkat Debt to GNP ratio (DGNP), meskipun secara absolut jumlahnya kecil tetapi
jika presentase utang terhadap GNP relatif besar, hal ini akan memberatkan negara
tersebut berdasarkan kriteria bank dunia, batas aman untuk DGNP adalah 50-80%.
Berdasarkan ketiga indikator tersebut, utang luar negeri Indonesia mengalami fluktasi
yang sangat cepat pada periode krisis 1997 dan segera membaik pada periode
setelahnya. Tetapi penggunaan ketiga indikator tersebut juga tergantung dari
permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing negara.
Dilihat dari rasio utang terhadap ekspor Indonesia, tampaknya mempunyai tren
yang sama. Terlihat bahwa semenjak tahun 1994 rasio utang terhadap ekspor Indonesia
selalu berfluktuasi dan berada di atas batas aman. Puncaknya tercapai pada fase krisis
(1997-1998) yakni sebesar 261,8% namun berangsur-angsur menurun hingga pada

3
akhirnya pada tahun 2004 menjadi sebesar 193,6% yang masuk dalam kriteria batas
aman. Penurunan yang berarti terjadinya perbaikan dalam status utang Indonesia terus
terjadi hingga hanya sebesar 115,8% pada tahun 2007.
Sebagaimana diketahui untuk membangun suatu negara diperlukan adanya dana
yang cukup untuk membiayai kegiatan investasi. Di sisi lain negara-negara tersebut
tidak mampu menyediakan dana yang cukup. Ketidakmampuan ini antara lain
disebabkan oleh adanya faktor-faktor sebagai berikut :
1. Kurangnya tabungan dalam negeri (Saving investment gap)
Kekurangan tabungan ini tidak lain karena rendahnya tingkat pendapatan penduduk di
samping sistem keuangan yang belum memadai.
2. Kurangnya kemampuan untuk menghasilkan devisa (Foreign exchange gap)
Untuk melakukan transaksi perdagangan internasional diperlukan devisa, sementara
kemampuan negara sedang berkembang dalam menghasilkan devisa masih rendah.
Kedua faktor itulah yang pada akhirnya mendorong negara sedang berkembang untuk
meminjam dari dana luar negeri dalam bentuk mata uang asing dan bukan dalam bentuk
mata uang domestik. Selain itu tingkat bunga pinjaman yang tinggi, rendahnya harga
barang-barang ekspor, dan rendahnya tingkat permintaan terhadap produk-produk, juga
merupakan faktor yang mengakibatkan semakin mempersulit bagi negara sedang
berkembang untuk membayar utangnya.

B. Debt-LED Growth hingga Growth LED Debt


Sejarah mencatat negara yang tidak mempunyai tabungan dalam negeri yang
cukup untuk membiayai pertumbuhan ekonomi, umumnya menutup kesenjangan
pembiayaan dengan mencari sumber-sumber dari luar negeri. Dalam literatur
pembangunan ini dikenal dengan model two gaps, yang intinya menganalisis peranan
bantuan luar negeri sebagai upaya menutup foreign exchange gaps, dan saving-
investment gap Umumnya, logika semacam ini didasari oleh strate pembangunan yang
mendasarkan pada pembentukan modal.
Tak dapat dipungkiri, bahwa strategi pembangunan yang menitikberatkan pada
pembentuka modal menjadi begitu dominan pengaruhnya terhadap perencanaan
pembangunan dan reef bertahan cukup lama. Ada beberapa alesan yang kemungkinan
besar menjadi penyebabnya (Kuncoro, 1991)

4
Pertama, dibanding model lain, model Harrod-Domar memberikan suatu kajian
mendalam terhadap aspek vital dalam proses pembangunan, dengan menekankan
pentingnya pertumbuhan yang stabil melalui singkat investasi tertentu tanpa
menyebabkan inflasi pengangguran yang tinggi. Namun, interpretasi yang melihat proses
pembangunan semata-mata sebagai suatu mekanisme mengikuti model Harrod-Domar
akan bermuara pada capital fundamentalism. Artinya, masalah-masalah pembangunan
semata-mata dipandang sebagai proses pengadaan sumber investasi guna mencapai target
pertumbuhan pendapatan nasional tertentu.
Kedua capital fundamentalism yang gaungnya terasa dalam perencanaan
pembanguna dekade 1950-an dan 1960-an, oleh negara-negara donor dijadikan sebagai
dasar pembenaran "keperluan” akan bantuan. Kasus di Pakistan, menunjukkan dalam
perumusan program pembangunannya, proyeksi arus masuk modal asing (bantuan dan
investas asing) lebih ditentukan atas dasar historis dan politis dan pada evaluasi yang
sistematis berdasarkan berbagai alternatif yang tersedia.
Ketiga, capital fundamentalism dapat bertahan lama karena kerangka analitiknya
begitu fleksibel untuk dikombinasikan dengan konsep-konsep baru yang muncul pada
periode 1960-an 1970-an, bahkan 1990-an, seperti konsep modal manusia (human
capital), industrialisasi yang berorientasi eksport (export-led growth), kebutuhan pokok
(basic needs, dan redistribusi dengan pertumbuhan.
Pada mulanya strategi semacam ini memang terbukti ampuh untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi. Negara-negara Eropa Barat dan Jepang yang perekonomiannya
sempat kacau balau akibat perang dunia II, dengan injeksi bantuan luar negeri dari
Amerika Serikat, yang popular dengan nama Rencana Marshall, berhasil memulihkan
kesejahteraannya.
Dalam perkembangannya kemudian, pihak pemberi pinjaman mulai menyadari
peningkatan utang negara sedang berkembang (NSB) telah melampaui titik batas yang
dapat membahayakan mereka dan NSB itu sendiri. Maka pihak kreditor berusaha
membatasi pinjaman NSB dengan mempersuit negara tersebut untuk mendapat pinjaman
baru, bahkan menolak permintaan pinjaman baru.
Kecepatan peningkatan sumber dana dalam negeri tidak dapat mengimbangi kecepatan
peningkatan jumlah bantuan. Inilah yang menandai bahwa fenomena debt-led growth

5
telah bergeser menjadi growth-led debt, obsesi mengejar pertumbuhan menyebabkan
peningkatan kebutuhan akan utang, hingga akhirnya bermuara pada krisis utang NSB
pada awal dasawarsa 1980-an.
Adalah menarik untuk mengamati kondisi negara pengutang besar (severely
indebted countrest) Bank Dunia (2001) mengklasifikasikan negara berdasarkan indikator
utang luar negen menjadi:
 Negara pengutang besar (severely indebted) jka present value of debt 220% ekspor atau
lebih besar dari 80 persen GNI.

 Negara pengutang moderat (moderately indebted jika present value of debtnya lebih dari
132% ekspor atau lebih dari 48 persen GNI.

Present value of debt dihitung dengan cara menjumlahkan utang eksternal jangka
pendek dengan dan jumlah total pembayaran utang (bunga plus cicilan) pemerintah atau
utang yang dijamin pemerintah, dan utang swasta jangka panjang yang tidak dijamin
selama masa pinjaman. Present value of debt memberikan gambaran kewajiban
pembayaran utang oleh suatu negara dibandingkan dengan present value indikator
lainnya seperti GNI dan ekspor barang dan jasa. Total debt service adalah jumlah pokok
utang plus bunga yang telah dibayarkan dalam bentuk mata uang asing, barang, atau jasa
Public and publicly guaranteed debt service adalah utang pemerintah atau utang yang
dijamin pemerintah. Short term debt adalah semua hutang berjangka kurang dari atau
sama dengan satu tahun

C. Penyebab Timbulnya Krisis Utang

Menurut Stanley Fischer dari MIT (Massachusetts Instittute of Technology), setidaknya


ada 3 penyebab timbulnya krisis utang luar negeri:

1. Ketidakberhasilan mengendalikan perekonomian makro dan pengelolaan dana


utang oleh negara-negar debitor.

2. Adanya kelalaian dalam pemberian pinjaman oleh bank-bank komersial


internasional, yang berakibat pada macetnya pebayaran kembali kredit-kredit
tersebut.

6
3. Terjadinya kenaikan suku bunga rill. Dengan kata lain debitor (negara-negara
berkembang) dan kreditor (bank-bank komersial) secara simultan telah menjadi
sumber krisis utang internasional(Kuncoro, 2010).

Berdasarkan analisis Anne O.Kroeger menytakan bahwa penyebab timbulnya krisis utang
luar internasional adalah rendahnya pertumbuhan ekonomi dinegara-negara OECD. Buruknya
kinerja perekonomian makro dinegara-negara berkembang ke negara-negara industri sebagian
disebabkan oleh penurunan harga minyak. Kombinasi antara resesi yang menyebabkan
menurunya daya beli negara industri terhadap produk primer negar berkembang, krisis utang
juga diperhebat dengan kenaikan suku bunga.

Menurut Gibson dan Tsakalatos, penyebab timbulny krisis utang dapat ditinjaudaritiga hal
yaitu :

a. Sistem moneter internasional

Adanya ketergantungan antarnegara yakni antara negara yang mempunyai surplus dalam
neraca pembayarannya dengan negara yang mengalami defisit dalam neraca
pembayarannyamemerlukan sistem moneter internasional yang mampu memutarkan
dana dari negara yang mengalami surplus dengan negara yang mengalami defisit.
Konferensi di Bretton Woodspada bulan Juli 1944 berhasil membentuk satu badan
moneter internasional yaitu IMF (Internasional Monetery Fund). Badan ini bertanggung
jawab untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan dalam memutarkan dana dari negara-
negara surplus ke negara-negara defisit(Kuncoro, 2010).

b. Sistem perbankan swasta internasional

Mekanisme pasar dalam melakukan perputaran dana mengijinkan peran dari perbankan
komersial swasta internasional untukmemberikan pinjaman kepada negara-negara yang
mengalami defisit. Ada 2 hal yang dijadikan pertimbangan bagi bank-bank swasta
dalam memberikan pinjaman, yaitu : rasio kredit dan persaingan antara bank. Rasio
kredit antarnegara peminjam dibedakan berdasarkan atas resiko dari negara peminjam
yang mana semakin tinggi risiko negara maka semiakin tingg pula rasio kredit yang
harus ditanggung oelh negara. Ketatnya persaingan antar bank menyebabkan adanya
kecenderungan bagi bank-bank kecil untuk sekadar mengikuti tindkan yang dilakukan

7
oleh bank-bank besar dalam meminjamkan uangnya tanpa memperhitungkan risikonya.

c. Faktor dari negara peminjam

Terdapat 2 faktor utama yang dianggap sebagai penyebab timbulnya krisis utang dari
negara peminjam:

 Hubungan antara pinjaman dan investasi

Investasi yang dilakukan dengan menggunakan dana pinjaman secara kuantitas


mengalami peningkatan tetapi secara kualitas tidak. Meskipun investasi yang
dilakukan memberian tambahan nilai sosial tetapi tidak cukup mampu untuk
menciptakan kemampuan untuk membayar kembali utang-utangnya. Disamping
itu, investasi yang digunakan tidak mampu mendorong baik secara langsung
maupun tidak langsung pendapatan negara dari ekspor, dimana devisa ekspor
diharapkan dapat digunakan untuk membayar utang-utangnya.

 Adanya aliran dana ke luar negeri (capital flight)

Adanya capital flight mengakibatkanturunya investasi dalam negeri yang


berkibat pada rendahnya output nasional. Rendahnya output nasional berakibat
meningkatnya tingkat DSR sehingga menimbulkan spekulasi yang mendorong
adanya modal yang mengalir ke luar negeri(Kuncoro, 2010).

D. Manajemen Krisis Utang

Pendekatan yang digunakan dalam menangani krisis utang ini yaitu pendekatan case-
by case, artinya kebijakan yang diterapkan disetiap negara tidak selalu sama. Perbedaan itu
didasarkan atas komposisi jenis utang (utang pemerintah dengan utang komersial). Utang
komerisal biasanya tingkat bunganya lebih tinggi dibanding utang pemerintah dan
tenggang waktu pengembaliannya lebih pendek. Manajemen yang diterpkan dalam krisis
utang baik terhdap utang pemerintah maupun utang komersial diwujudkan dalam
kebijakan penjadwalan kembali utang. Hanya jenis kebijakannya yang berbeda antara
penjadwalan kembali untuk utang swasta dengan penjadwalan kembali untuk utang
komersial.

Perjanjian penjadwalan kembali utang pemerintah biasanya dilakukan melalui Club

8
Paris. Tujun pembentukan dari organisasi ini adalah untuk membantu NSB yang
mengalami kesulitan dalam pembayaran utang-utangnya. Bentuk perjanjian penjadwalan
kembali untuk utang-utang pemerintah berupa perpanjangan tenggang waktu
pengembalian, pengurangan tingkat bunga pinjaman, pengunduran waktu pengembalian,
keringanan utang termasuk diantaranya penghapusan utang itu sendiri.

Berbeda dengan kasus utang pemerintah, engara yang mengalami kesulitan dalam
pengembalian utang komersial mengalami hambatan dalam mencapai perjanjian
penjadwalan kembali atas utang-utangnya. Hal ini karena ketiadaan organisasiperantara
yang menjembatani negara peminjam dengan pihak pemberi dana. Bentuk perjanjian
kembali untuk utang-utang komersial berupa:

 Bridging lon

 Paket kebijkan IMF

 Penundaan pembayaran dengan mengenakan tingkat bunga tertentu.

 Pemberian pinjaman baru dengan tingkat bunga yang berlaku dipasar.

Pendekatan case by case dalam manajemen krisis utang khususnya penjadwalan


kembali ternyata tidak mampu mengurangi jumlah uang yang ditanggung oleh NSB.
Ironisnya, beberapa studi membuktikan bahwa masuknya bantuan luar negeri dan modal
asing ternyata diikuti dengan arus balik modal yang lebih besar dari negara berkembang ke
negara maju. Para ekonom menyebutnya capital flight atau arus modal yang masuk lebih
kecil dibandingkan arus modal yang keluar (net resource transfers yang negatif).

Untuk menatas net transfer yang negatif beberapa NSB melaksanakan beberapa
kebijakan yaitu :

1. Melakukan devaluasi terhadap nilai tukar uang domestik

2. Pembatasan ekspansi kredit

3. Menurunkan defisit dalam anggaran pemerintah

4. Penghapusan subsidi harga.

9
E. Solusi Krisis Utang Internasional

Krisis utang luar negeri pada hakekatnya adalah krisis likuiditas di suatu negara, dan
bukan masalah insolvensi. Indikator utama adanya krisis adalah tingginya DSR (debt-
service ratio) yang biasanya di atas rata-rata negara berkembang-sekaligus juga mengalami
kesulitan ekspor Cakupan krisis ini, menurut Thirwall, pada dasarnya dapat dikategorikan
dua (Shahadan & Idris. 1987 bab 1) Pertama, sejumlah kecil negara miskin yang
tergantung pada ekspor komoditas mer, khususnya di Afrika, di mana bank komersial tidak
terlibat. Kedua, sejumlah negara yang of interest), sementara pada waktu bersamaan pasar
ekspornya baru anjlok. Dengan demikian, meminjam dari sistem perbankan komersial
dengan tingkat bunga mengambang (floating rates Ansis sistem perbankan internasional
(komersial) dan krisis ekonomi dunia karena berakibat arus es utang luar negeri sebenarnya
mencakup tidak hanya krisis negara pengutang, tapi juga pinjaman internasional menjadi
menciut.

Dalam forum internasional, negara donor dan negara pengutang saling menyalahkan
(Sachs, 1989 bab 1) Negara donor cenderung menuding krisis utang akibat kesalahan
kebijaksanaan negara pengutang. Pinjaman dihamburkan untuk menutup inefisiensi
perusahaan negara, atau dilarikan olen oknum penguasa ke luar negeri (capital flight).
Sementara negara pengutang berpendapat munculnya krisis disebabkan oleh naiknya suku
bunga internasional, jatuhnya harga komoditi primer, dan ambruknya perdagangan
internasional pada awal 1980-an. Mereka menyalahkan kebijaksanaan makro negara donor,
terutama kebijaksanaan fiskal Amerika Serikat. Pemerintah di negara pengutang lebih jauh
berpendapat bahwa diperlukan semacam "penyesuaian dengan cara pembayaran kembali
utang mereka diperingan (debt relief).

Berdasarkan uraian sebelumnya, tujuan mendasar yang hendak dicapai oleh NSB adalah
bagaimana mengurangi utangnya secara substantif serta tersedianya dana untuk membiayai
proses pembangunannya. Ada tiga solusi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut yaitu:

1. Melaksanakan pembangunan dengan sebagian dananya berasal dari utang luar negeri,
meskipun kebijakan ini akan memperpanjang masa krisis selama investasi yang
ditanamkan belum memberikan hasil.

10
2. Mengubah sistem keuangan internasional yang memungkinkan bagi NSB untuk lebih
mengontrol negara industri dan bank-bank swasta.

3. Kombinasi dari keduanya, di mana institusi internasional dalam membiayai


pembangunan d NSB, di sisi lain bank-bank swasta juga diberikan wewenang dalam
penyediaan dana.

Mendirikan Institusi Pengelolaan Utang

Di banyak negara mulai tumbuh berbagai bentuk institusi pengelolaan utang. Misalnya di
Austra yang membentuk Austrian Federal Financing Agency, Australia dengan mendirikan
Australian Office of Financial Management pada tahun 1999. Inggris juga membentuk UK
Debt Management Office pada tahun 1997 dan bertanggungjawab pada Menteri Keuangan
Irlandia membentuk National Treasury Management Agency. Di Indonesia pengelolaan
utang luar negeri dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan
dengan bantuan Bank Indonesia sebaga agen dari Pemerintah. Pemerintah melalui
Departemen Keuangan juga membentuk suatu Debt Office tersendiri merespon munculnya
suatu bentuk utang pemerintah yang baru yaitu utang dalam negeri. Sedangkan di Sri
Lanka, pengelolaan utang pemerintah ditunjuk Bank Sentral Sn Lanka sebagai agen
pelaksana dari pemerintah. Untuk pelaksanaan sehari-hari, dibentuk Public Debt
Department yang merupakan salah satu unit kerja di Bank Sentral. Unit ini melaksanakan
lelang obligasi dan surat utang pemerintah lainnya dengan memperoleh petunjuk dari
Public Debt Management Committe.

Pengurangan Utang Melalui Prakarsa HIPC

Pada intinya prakarsa HIPC (High Indebt Poor Countries) merupakan gerakan bersama
anta lembaga-lembaga kreditur multilateral, Paris Club, dan negara-negara kreditur
bersama-sa dengan kreditur komersial lainnya yang bertujuan untuk mengurangi utang luar
negeri neg negara dengan beban utang yang berat. Prakarsa tahun 1996 ini disebut juga
HIPC Inve Harapannya adalah bahwa negara-negara debitur mampu mencapai apa yang
disebut "Sustainable Levels" yaitu suatu tingkat utang yang masih memungkinkan negara-
negara debitur tersebut untuk membayar utang mereka melalui hasil ekspor, bantuan luar
negeri, dan aliran modal swasta tanpa harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi yang
dapat mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang. Sebagian besar dari negara-negara

11
yang memenuhi kualifikasi untuk bantuan pengurangan yang komperehensif dalam rangka
Prakarsa HIPC adalah negara-negara miskin.

Dalam perkembangannya, gerakan ini semakin kuat berkaitan dengan momentum


milennium lama menuju millennium baru. Hal tersebut menghasilkan suatu gerakan yang
lebih kuat pada tahun 1999, yaitu apa yang disebut dengan Prakarsa Yang Lebih Diperkuat
bagi negara-negara HIPC. Target yang ingin dicapai dalam prakarsa yaitu adalah sebagai
berikut:

- Rasio utang dengan ekspor adalah 150% (dalam prakarsa sebelumnya 200-250%)

- Rasic utang dengan pendapatan pemerintah minimal adalah sebesar 250%.

Mekanisme Pemberian Pengurangan Utang HIPC

Dengan kesepakatan prakarsa yang baru ini, mekanisme pemberian bantuan pengurangan
utang a sebagai berikut (Harinowo, 2002):

1. Tahap Pertama Pencapaian "Decision Point" Eag negara yang memenuhi persyaratan
pendapatan serta persyaratan lainnya, diminta untuk menunjukkan track record prestasi
ekonomi sesuai dengan program yang telah disepakati dengan IMF dan Bank Dunia
selama tiga tahun berturut-turut disertai dengan penyiapan Program Strategi
Pengentasan Kemiskinan. Selama proses tersebut berlangsung. Paris Dut memberikan
suatu bantuan pengurangan utang dengan menggunakan Naples Terms. yat persyaratan
yang harus dipenuhi bahwa negara-negara tersebut selama beberapa thun harus
memperlihatkan track record yang baik yang dinilai oleh IMF dan Bank Dunia.
Demikan juga negara-negara kreditur lainnya serta kreditur komersial akan
memberikan bantuan pengurangan utang yang setara dengan skema Paris Club tersebut.

Setelah tiga tahun track record tersebut dievaluasi, akan dilakukan evaluasi apakah
negara vang bersangkutan sudah mencapai tingkat utang yang sustainable atau tidak.
Jika utangnya mencapai tingkat sustainable, negara tersebut tidak perlu memperoleh
bantuan yang pemotongan utang sesuai Naple Terms Jika setelah dievaluasi negara
yang bersangkutan besar lagi tetapi cukup dengan bantuan yang sudan diterima
sebelumnya, yaitu berupa mash teum mencapai tahapan utang yang sustainable, negara
tersebut memasuki tahap a untuk memperolen bantuan yang lebih besar.

12
2. Tahap Kepua Pencapaian "Completion Point"

Dalam tahap in track record negara tersebut akan diamati lagi secara lebih teliti.
Sementara IMF dan Bank Dunia akan memberikan bantuan sementara pemotongan
utang. Negara Cologne Terms veitu pemotongan utang sebesar 90% Negara kreditur
maupun kreditur pare Paris Club akan memberikan pemotongan utang yang lebih besar
lagi, berdasarkan komersial lainnya juga diharapkan memberikan pemotongan utang
yang setara dengan itu. Lamcaga multateral lainnya (seperti African Development
Bank) dapat memberikan bantuan pengurangan utang tersebut sesuai dengan
kebijaksanaan masing-masing. Setelah dievaluasi, KUPS 165 negara tersebut akan
mencapai apa yang disebut dengan Completion Point, di mana sama janji pemotongan
tersebut dilaksanakan seluruhnya.

F. Capital Flight

Masalah pelarian modal ke luar negeri (capital flight) merupakan agenda


permasalahan yang senantiasa hangat dibicarakan selain krisis utang. Banyak yang
berpendapat bahwa masalah ini merupakan salah satu sumber terus meningkatnya utang
NSB. Pelarian modal di Argentina, misalnya, telah menambah akumulasi utang luar
negerinya sekitar 20 persen selama 1979-84. Dengan kata lain, krisis utang yang melanda
banyak negara tidak akan terselesaikan dengan tuntas tanpa menghilangkan sebab-sebab
larinya modal dari negara-negara tersebut ke negara-negara maju.

Kendati demikian, nampaknya perlu ditekankan bahwa pelarian modal bukan "penyakit"
namun lebih merupakan gejala dari "penyakit" (Giancarlo Perasso, 1989). Ini merupakan
hasil kombinasi antara manajemen makro ekonomi yang kacau, kinerja perekonomian yang
"di bawah standar", dan sering disertai dengan situasi politik dan sosial yang tidak
kondusif (misalnya perang).

Hal yang sering diperdebatkan adalahapa yang dapat dikategorikan sebagai pelarian modal
ke luar negeri? Nampaknya belum ada kesepakatan mengenai apa yang dimaksud dengan
capital flight (Mahyuddin, 1989). Secara umum, diartikan sebagai arus modal ke luar
negeri dalam jangka pendek, dan biasanya digunakan untuk tujuan spekulatif. la bisa
berupa "uang panas" (uang hasil korupsi atau untuk menghindari pajak) yang ditransfer ke

13
bank di negara maju atas nama pribadi (misalnya kasus komisi Thahir), bisa pula dalam
wujud transfer keuntungan dari pengusaha domestik ke pengusaha asing dalam sebuah
perusahaan patungan, atau memang uang yang mondar-mandir ke pasar uang dan modal
internasional mencari return yang lebih tinggi.

Lepas dari perbedaan arti capital flight, hal tersebut diyakini ada. Masalahnya sekarang
tidak mudah menghilangkan penyebab larinya modal ke luar negeri. Banyak yang
sependapat, setidaknya ada dua sebab utama yang diduga keras merupakan sumber
pelarian modal. Pertama, suku bunga di NSB yang tidak "realistis", yang sering disertai
kurs mata uang NSB yang tidak stabil. Dengan kata lain, untuk menghambat pelarian
modal ke luar negeri, penentuan suku bunga di dalam negeri harus memperhitungkan suku
bunga di luar negeri dan prakiraan laju depresiasi mata uang dalam negeri terhadap mata
uang asing. Kedua, yang paling susah diatasi adalah daya sedot pasar-pasar modal di
negara maju, khususnya di kawasan Euro-Dolar-Yen. Menurut Hadar (1989), daya sedot
ini dapat bekerja secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung bila dalam
persaingan antarbank, mereka menawarkan berbagai iming-iming untuk menark nasabah.
Secara tidak langsung, bila misalnya, pemerintah negara-negara industri dalam upay
menyeimbangkan defisit anggaran belanjanya turut campur tangan dalam pasar modal
dengan menaikkan tingkat bunga bank.

Studi Morgan Guaranty Trust Company (1986) yang meliputi 18 negara berkembang
menunjukkan bahwa selama periode 1975-1986 telah terjadi pelarian modal dari negara-
negara ini sebanyak 198 miliar dolar AS, yang diiringi dengan peningkatan utang luar
negen negara negara sebesar 451 miliar dolar AS Negara-negara berkembang itu meliputi
Argentia, Boliva Brazil, Chili, Kolombia, Ekuador, India, Indonesia, Malaysia, Mexico,
Nigeria, Peru, Filipina, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand. Uruguay, dan Venezuela.
Khusus mengenai negara-negara Amerika Latin, dilaporkan bahwa selama periode 1973-
1985 sebesar 40% dari tambahan utang luar negeri negara-negara ini, selama periode itu
telah digunakan untuk membiayai pelarian modal yang nilainya 151 miliar dolar AS
(Pastor, 1990). Sementara studi yang dilakukan Boyce (1992) mengenai pelarian modal
dari Filipina dalam periode 1982-1986 menunjukkan pengaruh yang signifikan yang
ditimbulkan pelarian modal dalam peningkatan utang luar negeri Filipina. Ditunjukkan

14
dalam studi ini bahwa nila: rul modal yang lari dari Filipina adalah sebesar 13,5 miliar
dolar AS atau 48% dari nilai utang luar negeri Filipina pada tahun 1986.

Sedangkan untuk kasus di Indonesia di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Mubarik Akhmad (1993). Selama periode 1970-1980, secara kumulatif sebesar 9.4 miliar
AS atau 51% dari pertambahan utang luar negeri Indonesia yang nilainya 18.26 miliar
dolar AS telah digunakan untuk membiayai pelarian modal. Selama periode 1988-1991
sebesar 11,7 miliar dolar AS atau 42 persen dari pertambahan utang luar negeri Indonesia
telah digunakan untuk membiayai pelarian modal.

Berdasarkan penemuan-penemuan empiris tersebut, setidaknya ada tiga dampak negatif


terhadap negara-negara tersebut (Arief, 1999):

a. Pelarian modal menimbulkan apa yang disebut growth costs, yaitu membatasi potensi
pertumbuhan ekonomi nasional. Modal yang dilarikan ke luar negeri tidak memberikan
kontribusi sama sekali terhadap investasi domestik yang diperlukan untuk membiayai
pertumbuhan ekonomi Dalam hal ini, pada umumnya tidak ada bukti-bukti bahwa telah
terjadi repatriasi keuntungan investasi yang dilakukan di luar negeri ke dalam negara
negara berkembang yang mengalami pelarian modal. Modal ini dilarikan ke luar negeri
yang menimbulkan dampak negatif terhadap tersedianya devisa yang dibutuhkan untuk
mengimpor input-output yang diperlukan untuk menopang produk domestik. Dalam hal
ini, termasuk produksi domestik yang menghasilkan barang-barang ekspor untuk
memperoleh devisa yang pada ronde berikutnya digunakan untuk membiayai impor yang
diperlukan.

b. Pelarian modal menimbulkan erosi dalam basis pajak (erosion of the tax base). Situasi
ini terutama dihadapi oleh negara-negara berkembang yang menganut prinsip "tempat asal"
(origin), bukan prinsip "domisili" (residence) dalam sistem perpajakannya.

Pelarian modal menimbulkan konsekuensi negatif terhadap distribusi pendapatan sebagai


kibat pelarian modal yang dibiayai utang luar negeri yang bertambah, rakyat menjadi
penanggung beban utang, sementara pihak-pihak yang melarikan modal dan
mempertahankan aset di luar negeri terbebas dari kewajiban pembayaran utang luar negeri
Terjadi proses sosialisasi beban ang luar negeri secara tidak wajar, dengan rakyat banyak
sebagai pemikul beban utama. Proses sosialisasi beban utang luar negeri ini dibarengi

15
dengan proses privatisasi pemupukan aset di luar.

16
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Krisis utang menjadi isu besar pada bulan agustus 1982 ketika meksiko
mengumumkan kebangkrutan perekonomian nya sehingga tidak mampu lagi untuk
membayar utangnya. Peristiwa ini merupakan di syarat adanya isu krisis utang pada
tahun 1980-an. Utang bagi negara yang sedang berkembang bukan lagi membantu dalam
pembangunannya bahkan menjadi beban.
Sejarah mencatat negara yang tidak mempunyai tabungan dalam negeri yang
cukup untuk membiayai pertumbuhan ekonomi, umumnya menutup kesenjangan
pembiayaan dengan mencari sumber-sumber dari luar negeri. Dalam literatur
pembangunan ini dikenal dengan model two gaps, yang intinya menganalisis peranan
bantuan luar negeri sebagai upaya menutup foreign exchange gaps, dan saving-
investment gap Umumnya, logika semacam ini didasari oleh strate pembangunan yang
mendasarkan pada pembentukan modal.
Menurut Stanley Fischer dari MIT (Massachusetts Instittute of Technology),
setidaknya ada 3 penyebab timbulnya krisis utang luar negeri:

1. Ketidakberhasilan mengendalikan perekonomian makro dan pengelolaan dana


utang oleh negara-negar debitor.

2. Adanya kelalaian dalam pemberian pinjaman oleh bank-bank komersial


internasional, yang berakibat pada macetnya pebayaran kembali kredit-kredit
tersebut.
3. Terjadinya kenaikan suku bunga rill.

Pendekatan yang digunakan dalam menangani krisis utang ini yaitu pendekatan
case-by case, artinya kebijakan yang diterapkan disetiap negara tidak selalu sama. Krisis
utang luar negeri pada hakekatnya adalah krisis likuiditas di suatu negara, dan bukan
masalah insolvensi.
Masalah pelarian modal ke luar negeri (capital flight) merupakan agenda permasalahan

17
yang senantiasa hangat dibicarakan selain krisis utang. Banyak yang berpendapat bahwa
masalah ini merupakan salah satu sumber terus meningkatnya utang NSB. Pelarian
modal di Argentina, misalnya, telah menambah akumulasi utang luar negerinya sekitar
20 persen selama 1979-84.

B. SARAN
Penulis tentunya menyadari jika makalah diatas masih terdapat
banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Kritik dari pembaca sangat
kami perlukan demi memperbaiki makalah agar lebih baik lagi

18
DAFTAR PUSTAKA

Kuncoro, M. (2010). Dasar-dasar ekonomika pembangnan (pp. 145–169). UPP STIM YKPN.

19

Anda mungkin juga menyukai