Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2018


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

KEJANG DEMAM

Oleh:
Musdalifah Eka Pratiwi
111 2017 2019

Pembimbing Supervisor:
dr. Kartini Badruddin, M.Kes, SpA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus yang berjudul “Kejang Demam” yang dipersiapkan dan disusun
oleh: Musdalifah Eka Pratiwi (111 2017 2019)

Telah diperiksa dan dianggap telah memenuhi syarat Tugas Ilmiah Mahasiswa
Pendidikan Profesi Dokter dalam Disiplin Ilmu Kesehatan Anak pada;

Hari, tanggal : 26 Juli 2018


Waktu : 10.00 WITA
Tempat : Rumah Sakit Umum Daerah Sawerigading, Kota Palopo

Palopo, 26 Juli 2018


Menyetujui
Pembimbing

dr. Kartini Badruddin, M. Kes, SpA

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...................................................................................... 1
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................2
DAFTAR ISI.......................................................................................................3
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................4
BAB II. LAPORAN KASUS.............................................................................5
Identitas Pasien..................................................................................................5
Status Umum.....................................................................................................6
Resume Pasien................................................................................................10
BAB III. PEMBAHASAN...............................................................................15
BAB IV. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................17
Definisi............................................................................................................17
Epidemiologi...................................................................................................18
Etiologi............................................................................................................18
Faktor Risiko...................................................................................................18
Klasifikasi.......................................................................................................19
Patogenesis......................................................................................................20
Gejala Klinis dan Diagnosis............................................................................22
Terapi..............................................................................................................25
Edukasi............................................................................................................29
Diagnosis Banding..........................................................................................30
Komplikasi......................................................................................................30
Prognosis.........................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................32

3
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang demam merupakan penyebab kejang tersering pada anak dan


memiliki prognosis sangat baik. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang
terjadi karena peningkatan suhu tubuh dengan cepat >38oC, dan kenaikan suhu
tersebut di akibatkan oleh proses ekstrakranial. Kejang demam umumnya terjadi
pada anak usia 6 bulan-5 tahun. Puncaknya pada usia 14-18 bulan. Kejang di
sertai demam juga terjadi pada diferential diagnosis lain yang berbahaya, seperti
infeksi sistem saraf pusat (SSP).
Dua puluh sampai 25% penderita kejang demam mempunyai keluarga
dekat (orang-tua dan saudara kandung) yang juga pernah menderita kejang
demam.Tsuboi  mendapatkan bahwa insiden kejang demam pada orang tua
penderita kejang demam ialah 17% dan pada saudara kandungnya 22%..
Kebanyakan peneliti mendapat kesan bahwa kejang demam diturunkan secara
dominan dengan penetrasi yang mengurang dan ekspresi yang bervariasi, atau
melalui modus poligenik3
Insidens di negara-negara barat berkisar antara 3-5%. Di Asia berkisar
antara 4,47% di Singapura, sampai 9,9% di Jepang, Data di Indonesia belum ada
secara nasional. Sekitar 80% di antaranya adalah kejang demam simpleks, 20%
kasus kejang demam kompleks. Sedikit lebih banyak terjadi pada laki-laki di
banding perempuan.1

4
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
1. Nama : An. Z
2. Umur : 10 Bulan
3. Jenis Kelamin : Laki-Laki
4. Tanggal Lahir : 15 September 2017
5. Agama : Islam
6. Alamat : Salutubu, Luwu
7. Bangsa Suku : Bugis
8. No. RM : 34-05-07
9. Tanggal Masuk : 10 Juli 2018/Pukul 22.25 WITA
10. Anak (Ke 1 dari 1 anak). Keguguran: -

No Jenis Kelamin Umur Sehat/sakit apa


1. Laki-laki 10 Bulan Sakit

11. Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn. A Nama Ibu : Ny. A
Umur : 35 Tahun Umur : 36 Tahun
Pend. Terakhir : S1 Pend. Terakhir : S1
Pekerjaan : Wiraswasta Pekerjaan : IRT
Status Kesehatan : Sehat Status Kesehatan : Sehat

5
B. Status Umum
Pembuatan status didasarkan pada Alloanamnesis dari keluarga pasien
(Ibu pasien).
1. Keluhan Utama:
Kejang
2. Anamnesis Terpimpin:
Pasien anak laki-laki umur 10 bulan dibawa oleh ibunya MRS
dengan keluhan kejang (+), frekuensi 1x dirumah sebelum MRS, dengan
durasi <5 menit, tangan dan kaki menjadi kaku. Keluhan disertai demam
tinggi sejak 1 hari yang lalu, sifat demam naik turun., meningkat terutama
pada malam hari. Batuk (+) sesekali, lendir(-). Ibu pasien juga mengatakan
anaknya sebelumnya mengalami BAB encer (+) sejak 2 hari yang lalu,
frekuensi >3x/hari, ampas(+), lendir(-), darah(-). Nafsu makan anak
menurun (+). Sesak (-), mual (-), muntah(-). BAK: kuning, lancar.
3. Riwayat Penyakit Sebelumnya:
Dari Alloanamnesis diketahui bahwa pasien belum pernah
memiliki riwayat penyakit yang sama sebelumnya. Riwayat kejang
sebelumnya tidak ada. Riwayat alergi disangkal dan penyakit yang lain
juga disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam
keluarga.
C. Penilaian Status Gizi
Umur : 10 Bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Ukuran Tubuh
BB : 10 kg
PB : 67 cm
BB/TB : >2 SD (Gemuk)
BB/U : antara -2 SD sampai 2 SD (Gizi baik)
PB/U : antara -3 SD sampai <-2 SD (Pendek)

6
D. Status Imunisasi
Imunisasi Belum Pernah 1 2 3 4 5 Booster
Hepatitis B √ √ √ √ -
Polio √ √ √ -
BCG √ -
-DTP √ √ √ -
HIB √ √ √ -
Campak √ -
MMR √ -
PCV √ -
Rotavirus √ -
Influenza √ -
Tifoid √ -
Hepatitis A √ -
Varicella √ -
HPV √ -

E. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Sakit Sedang/Gizi Baik/GCS E4M6V5
2. Tanda Vital
Tekanan Darah :-
Nadi : 120 kali / menit
Pernapasan : 30 kali / menit
Suhu : 39,2oC
3. Kulit
Warna kulit : Kuning langsat
Skar BCG : Ada
Turgor : baik
Sianosis : Tidak ada

4. Kepala
 Kepala
o Bentuk : Mesocephal
o Ukuran : Normocephal

7
o Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
o Ubun-ubun besar : belum menutup
 Wajah
o Bentuk : Simetris
o Edema : Tidak ada
 Mata
o Mata cekung : ada
o Konjunctiva pucat : Tidak ada
o Sklera ikterik : Tidak ada
o Pupil : Isokor (+/+), Refleks Cahaya (+/+)
 Hidung
o Deformitas : Tidak ada
o Sekret : Tidak ada
o Napas cuping hidung : Tidak ada
 Telinga
o Deformitas : Tidak ada
o Tanda infeksi : Tidak ada
o Sekret : Tidak ada
 Mulut
o Trismus : Tidak ada
o Bibir Membiru : Tidak ada
o Bibir kering : Ada
o Lidah kotor : Tidak ada
o Perdarahan gusi : Tidak ada
o Mukosa pipi : Tidak ada kelainan
o Selaput lidah : tampak stomatitis (+)

 Tenggorokan
o Uvula : Ditengah

8
o Faring : Hiperemis(-)
o Tonsil : T1 – T1
5. Leher
Kaku kuduk : Tidak ada
6. Thorax
Inspeksi : Normochest, Pengembangan dada kiri =
kanan, Gerakan simetris kiri = kanan,
Retraksi (-). Iga gambang tidak ada
Palpasi : Fremitus raba kiri = kanan, nyeri tekan(-),
massa (-)
Perkusi : Sonor kiri = kanan
Auskultasi
Bunyi pernafasan : Bronkovesikuler
Bunyi tambahan :Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)

7. Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Thrill tidak teraba
Perkusi : Batas atas: ICS 2linea parasternalis sinistra
Batas kiri:ICS 5 midclavicula sinistra
Batas kanan: ICS 4 linea parasternalis dextra
Auskultasi : BJ I/II murni-regular, murmur (-).

8. Abdomen
Inspeksi : Datar. Ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+) Kesan: Normal
Perkusi : Tympani (+)
Palpasi : Dinding perut rileks, Nyeri tekan (-), Tidak teraba
massa tumor, lien/hepar tidak teraba. Acites tidak
ada.

9
9. Urogenital
Tidak ada kelainan
10. Ekstremitas
Akral hangat, edema (-), deformitas (-)
11. Collumna Vertebralis
Scoliosis : Tidak ada
Gibbus : Tidak ada
12. Kelenjar Limfe
Tidak ada pembesaran
13. Pemeriksaan Neurologis
Motorik : Dalam batas normal
Sensorik : Belum dapat dinilai
Refleks fisiologis : (+) kesan: normal
Refleks patologis : (-)

F. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

G. Resume Pasien
Pasien anak laki-laki umur 10 bulan dibawa oleh ibunya MRS dengan
keluhan kejang (+), frekuensi 1x dirumah sebelum MRS, dengan durasi<5
menit, tangan dan kaki menjadi kaku, keluhan disertai demam tinggi sejak 1
hari yang lalu, sifat demam naik turun. meningkat terutama pada malam hari.
Batuk (+) sesekali, lendir (-). Ibu pasien juga mengatakan anaknya
sebelumnya mengalami BAB encer (+) sejak 2 hari yang lalu, frekuensi
>3x/hari, ampas(+), lendir(-), darah(-). Saat ini BAB encer (-). Nafsu makan
anak menurun (+). BAK: kuning, lancar. Riwayat penyakit yang sama
sebelumnya tidak ada. Riwayat kejang sebelumnya tidak ada. Riwayat alergi
disangkal dan penyakit yang lain juga disangkal. Riwayat keluarga dengan
keluhan yang sama disangkal.

10
Dari hasil pemeriksaan tanda vital didapatkan keadaan umum pasien :
Sakit sedang/Gizi Baik/GCS 15: E4M6V5. Status vitalis didapatkan nadi 120
kali/menit, pernafasan 30 kali/menit, suhu 39,2oC. Hasil pemeriksaan fisik
didapatkan mata cekung, bibir kering dan ditemukan stomatitis pada selaput
lidah.

H. Diagnosis Kerja:
Kejang Demam Sederhana e.c GEA
ISPA
Stomatitis aphtosa

I. Diagnosis Banding:
Meningitis

Epilepsi

J. Tatalaksana
1. IVFD KAEN 3B 14 tpm
2. Paracetamol syrup 1c/8jam/oral
3. Diazepam 1 mg/8jam/oral
4. Amoxan syr 1c/8jam/oral
5. Apialys syr 1c/24jam/oral

11
K. Follow Up
1. Follow Up I (11 Juli 2018)
S O A P
 Saat ini  KU: lemah  Kejang  IVFD KAEN 3B
demam  Nadi: 100x/menit demam 14 tpm
naik turun  Nafas: 30x/menit sederhana  Paracetamol syrup
 kejang(-).  Suhu: 36,7°C e.c GEA 1c/8jam/oral (K/P)
 Batuk ada  Mata:  ISPA  Apialys syr
sesekali, Anemis (-/-), ikterus  Stomatitis 1c/24jam/oral
lender(-), (-/-), mata cekung (+) Aphtosa  Amoxan syr
sesak  Mulut: 1c/8jam/oral
tidak ada Selaput lidah tampak  Diazepam
 Nafsu stomatitis (+) 1 mg/8jam/oral
makan  Paru: (bila S>38°C)
anak Bp: bronkovesikuler
kurang Bt: wheezing -/-
 BAB Ronkhi -/-
encer (-). Retraksi subcostal
 BAK:kun tidak ada
ing,  Jantung:
lancar. BJ I/II murni regular.
Bising tidak ada
 Abdomen:
Peristaltik ada
kesan normal
Organomegali tidak
ditemukan.
Ext: akral hangat,
edema(-)

12
2. Follow Up II (12 Juli 2018)
S O A P
 Demam (-)  KU: membaik  Kejang  Apialys syr
 Kejang (-)  Nadi: 100x/menit demam 1c/24jam/oral
 Batuk kadang-  Nafas: 30x/menit sederhana  Amoxan syr
kadang, sesak  Suhu: 36,4°C e.c GEA 1c/8jam/oral
tidak ada.  Mata:  Stomatitis  Diazepam
 Nafsu makan Anemis (-/-), ikterus Aphtosa 1 mg/8jam/oral
anak mulai (-/-), mata cekung (-) (bila S>38°C)
membaik  Mulut:
 BAB encer Selaput lidah tampak
(+) frekuensi stomatitis (+)
1x hari ini,  Paru:
ampas ada, Bp: bronkovesikuler
lender(-), Bt: wheezing -/-
darah(-) Ronkhi -/-
 BAK: kuning, Retraksi subcostal
lancer. tidak ada
 Jantung:
BJ I/II murni regular.
Bising tidak ada
 Abdomen:
Peristaltik ada
kesan normal
Organomegali tidak
ditemukan.

13
3. Follow Up III (13 Juli 2018)
S O A P
 Demam (-)  KU: baik  Kejang  Apialys syr
 Kejang(-)  Nadi: demam 1c/24jam/oral
 Batuk (+) 110x/menit sederhana  Amoxan syr
kadang-kadang  Nafas: e.c GEA 1c/8jam/oral
dialami, lendir 30x/menit  ISPA  Puyer batuk
(+).  Suhu: 36,7°C (ambroxol
 Nafsu makan  Mata: +ctm)/8jam/oral
baik Anemis (-/-),
 BAB : biasa, ikterus (-/-), mata Plan: Rawat Jalan
lancer cekung (-)
 BAK: kuning,  Mulut:
lancar Selaput lidah:
stomatitis (-)
 Paru:
Bp:
bronkovesikuler
Bt: wheezing -/-
Ronkhi -/-
Retraksi subcostal
tidak ada
 Jantung:
BJ I/II murni
regular. Bising
tidak ada
 Abdomen:
Peristaltik ada
kesan normal

BAB III

14
PEMBAHASAN
Seorang anak laki-laki usia 10 bulan dibawa oleh ibunya MRS dengan
keluhan kejang, dengan frekuensi 1x, durasi<5 menit dialami dirumah sebelum
MRS. Tampak kaki dan tangan anak kaku. Sebelumnya, pasien mengalami
demam tinggi sehari sebelum MRS, sifat demam naik turun, demam meningkat
pada malam hari. Batuk pilek juga dialami sesekali. Ibu pasien juga mengeluhkan
adanya BAB encer dialami sejak 2 hari lalu SMRS, dengan frekuensi lebih dari 3
kali per hari. Nafsu makan anak menurun, Buang air kecil lancer, berwarna
kuning.
Berdasarkan teori, dari hasil alloanamnesis pasien anak yang menderita
Kejang demam, Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena
peningkatan suhu tubuh dengan cepat >38oC, dan kenaikan suhu tersebut di
akibatkan oleh proses ekstrakranial. umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan-5
tahun. Puncaknya pada usia 14-18 bulan dan merupakan penyebab kejang
tersering pada anak dan memiliki prognosis sangat baik. Demam yang memicu
kejang berasal dari proses ekstrakranial, paling sering disebabkan karena infeksi
saluran nafas akut, otitis media akut, roseola, infeksi saluran kemih, dan infeksi
saluran cerna.
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang
demam, dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak
didapatkan gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu.
Pada kasus ini, pasien di diagnosis kejang demam sederhana didasarkan pada: (i)
timbul kejang yang sebelumnya didahului dengan demam (ii) durasi kejang
berlangsung kurang dari 5 menit, dan tidak berulang dalam jangka waktu 24 jam.
(iii) anak berada pada rentang usia 6 bulan sampai 5 tahun, merupakan usia yang
pada umumnya sering dijumpai kasus kejang demam, (iv) demam yang timbul
didahului oleh adanya proses ekstrakranial, yakni infeksi saluran cerna berupa
GEA, dan (v) anak segera sadar setelah kejang, dan tidak ada gejala neurologis
lain.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan mata cekung, bibir kering merupakan
akibat dari diare yang terjadi sehingga menimbulkan gambaran klinis dehidrasi

15
pada anak, serta gejala demam yang menyertai. Ditemukan pula stomatitis pada
selaput lidah dengan gambaran khas berupa lesi bulat kecil berwarna putih,
sehingga anak didiagnosa dengan stomatitis aphtosa. Gejala penyerta lainnya
berupa batuk dan flu yang dialami pasien mendukung diagnosa lainnya berupa
infeksi akut pada saluran napas anak.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan cairan
serebrospinal untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada
pasien kejang demam yang pertama dan dengan usia kurang dari 1 tahun. Akan
tetapi pada kasus ini, berdasarkan hasil anamnesis sudah sangat mendukung
diagnosa kejang demam yang terjadi, sehingga pemeriksaan penunjang tidak lagi
dilakukan.
Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis serta maka pasien tersebut dapat
didiagnosis menderita Kejang demam sederhana disebabkan oleh GEA
(gastroenteritis akut), ISPA, dan stomatitis aphtosa.
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah pemberian cairan KAEN-3B
sebagai larutan rumatan untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit, pada
keadaan asupan oral terbatas, mengingat pasien juga mengalami nafsu makan
yang menurun. Pemberian paracetamol syrup sebagai anti piretik untuk
menurunkan demam, sehingga dengan turunnya suhu pasien diharapkan
mengurangi resiko terjadinya kembali kejang . Obat anti kejang yang merupakan
terapi awal yang diberikan ialah diazepam, baik dalam bentuk oral, rectal maupun
intravena. Pada kasus ini diberi berupa diazepam dosis 0,5mg/kgBB/8 jam
sediaan oral, diberikan sebagai bentuk profilaksis terhadap timbulnya kejang
apabila suhu anak meningkat kembali. Pemberian Antibiotik berupa amoxan
syrup (amoxicillin) merupakan golongan penicillin, diberikan atas indikasi pada
pasien yang mengalami demam dan batuk pilek beberapa hari terakhir. Pemberian
apialys syrup untuk membantu meningkatkan nafsu makan dan daya tahan tubuh
anak.

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

16
A. DEFINISI

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena

peningkatan suhu tubuh dengan cepat >38oC, dan kenaikan suhu tersebut

di akibatkan oleh proses ekstrakranial. Perlu di perhatikan bahwa demam

harus terjadi mendahului kejang, umumnya terjadi pada anak usia 6

bulan-5 tahun. Puncaknya pada usia 14-18 bulan.

Kejang demam merupakan penyebab kejang tersering pada anak

dan memiliki prognosis sangat baik. Kejang di sertai demam juga terjadi

pada diferential diagnosis lain yang berbahaya, seperti infeksi sistem

saraf pusat (SSP). Oleh karena itu, diagnosis selain kejang demam harus

dipikirkan bila ditemukan ;

1. Kecurigaan atau bukti proses intrakranial, baik infeksi, radang,

massa, dan proses lainnya melalui anamnesis, pemeriksaan fisis,

maupun penunjang;

2. Terdapat gangguan elektrolit;

3. Riwayat kejang tanpa demam sebelumnya;

4. Terjadi pada bayi < 1 bulan;

5. Bila terjadi pada anak < 6 bulan atau >5 tahun, maka harus di

pikirkan penyebab lain yang lebih sering, yaitu infeksi SSP1.

B. EPIDEMIOLOGI

17
Insidens di negara-negara barat berkisar antara 3-5%. Di Asia

berkisar antara 4,47% di Singapura, sampai 9,9% di Jepang, Data di

Indonesia belum ada secara nasional.Sekitar 80% di antaranya adalah

kejang demam simpleks, 20% kasus kejang demam kompleks. Sedikit

lebih banyak terjadi pada laki-laki di banding perempuan.1

C. ETIOLOGI

Beberapa teori dikemukakan mengenai penyebab terjadinya kejang

demam, dua di antaranya karena lepasnya sitokin inflamasi (IL-1-beta),

atau hiperventilasi yang menyebabkan alkalosis dan meningkatkan pH

otak sehingga terjadi kejang.

Kejang demam juga diturunkan secara genetik sehingga eksitasi

neuron terjadi lebih mudah. Pola penurunan genetik masih belum jelas.

Namun beberapa studi menunjukkan beberapa keterkaitan dengan

kromosom tertentu seperti 19p dan 18q13-21. Sementara studi lain

menunjukkan pola autosomal dominan.

Demam yang memicu kejang berasal dari proses ekstrakranial,

paling sering disebabkan karena infeksi saluran nafas akut, otitis media

akut, roseola, infeksi saluran kemih, dan infeksi saluran cerna.1

D. FAKTOR RESIKO

Faktor resiko pertama yang penting pada kejang demam adalah

demam. Selain itu juga terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang

tua atau saudara kandung, perkembangan terlambat, problem pada masa

neonatus, anak dalam pengawasan khusus, dan kadar natrium rendah.

18
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu

kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali

rekurensi atau lebih. Resiko rekurensi meningkat pada usia dini, cepatnya

anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperature yang sangat

rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga

epilepsi.9

Dua puluh sampai 25% penderita kejang demam mempunyai

keluarga dekat (orang-tua dan saudara kandung) yang juga pernah

menderita kejang demam.Tsuboi  mendapatkan bahwa insiden kejang

demam pada orang tua penderita kejang demam ialah 17% dan pada

saudara kandungnya 22%. Delapan-puluh persen dari kembar monosigot

dengan kejang demam adalah konkordans untuk kejang demam.

Kebanyakan peneliti mendapat kesan bahwa kejang demam diturunkan

secara dominan dengan penetrasi yang mengurang dan ekspresi yang

bervariasi, atau melalui modus poligenik3

E. KLASIFIKASI

secara klinis klasifikasi kejang demam di bagi menjadi dua , yaitu

kejang demam simpleks/sederhana dan kejang demam kompleks,

keduanya memiliki perbedaan prognosis dan kemungkinan rekurensi.

a. Kejang demam simpleks ;

- Kejang umum tonik, klonik, atau tonik-klonik, anak dapat terlihat

mengantuk setelah kejang.

19
- Berlangsung singkat < 15 menit

- Tidak berulang dalam 24 jam

- Tanpa kelainan neurologis sebelum dan sesudah kejang.

b. Kejang demam kompleks ;

- Kejang fokal/parsial atau kejang fokal menjadi umum

- Berlangsung >15 menit

- Berulang dalam 24 jam

- Ada kelainan neurologis sebelum atau sesudah kejang;

Kejang demam simpleks paling banyak ditemukan dna memiliki

prognosis baik. Kejang demam kompleks memiliki resiko lebih tinggi

terjadinya kejang demam berulang dan epilepsi di kemudian hari.1

F. PATOGENESIS

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, dan

diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia

tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan

akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia.

Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehimgga Na intrasel

dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membran

cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat.2

Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di

otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengaturan suhu. Demam

akan menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak

20
semakin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan

sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas

motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi

neuron karena kegagalan metabolisme di otak.

Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai

berikut :

1. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel

yang belum matang/immatur.

2. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang

menyebabkan gangguan permiabilitas membran sel.

3. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan

asam laktat dan CO2 yang akan merusak neuron.

4. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta

meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga

menyebabkan gangguan penglihatan ion-ion keluar masuk

sel.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak

akan meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari

15 menit) biasanya diikuti dengan apneu, hipoksemia (disebabkan oleh

meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet),

asidosis laktat (disebabkan oleh metabolisme anaerobik), hiperkapnea,

hipoksi arterial, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak

meningkat. Reaksi kejadian di atas menyebabkan gangguan peredaran

21
darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya

terjadi kerusakan sel neuron.2

G. GEJALA KLINIS

Terjadinya kejang pada kejang demam terkait dengan kenaikan

suhu yang cepat dan biasnya berkembang bil suhu tubuh mencapai 39 0C

atau lebih (rektal). Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan

tonik klonik. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata

terbalik keatas dengan disertai kekakuan atau kelemahan,gerakan sentakan

berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan

fokal3,4,5,6

Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang

dari 8% yang berlangsung lebih dari 15 menit. Sering kali kejang berhenti

sendiri setelah mendapat pertolongan pertama. Setelah kejang berhenti

anak tampak capek, mengantuk, tertidur pulas, dan tidak memberikan

reaksi apapun untuk sejenak atau disebut periode mengantuk singkat pasca

kejang, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar

kembali tanpa defisit neurologis.3

Kejang demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit sering

bersifat fokal atau unilateral dan kadang-kadang diikuti oleh parese Tood

(lumpuh sementara pasca serangan kejang) yang berlangsung beberapa

jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh

22
hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama

biasanya lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama.3

Anamnesis

- Demam (suhu >38oC)

- Adanya infeksi di luar saraf pusat (misalnya tonsilonasofaring,

tonsillitis, infeksi saluran cerna, dll)

- Serangan kejang (frekuensi, kejang pertama kali atau berulang,

jenis/bentuk kejang, antara kejang sadar/tidak, lama kejang,

riwayat kejang sebelumnya,riwayat kejang dengan atau tanpa

demam pada keluarga, riwayat trauma pada kepala

- Riwayat penyakit sebelumnya, riwayat penyakit keluarga ,

riwayat kehamilan dan kelahiran, riwayat pertumbuhan,

riwayat gizi, riwayat imunisasi.

- Adanya infeksi pada susunan saraf pusat dan riwayat trauma

atau kelainan di otak.

Pemeriksaan Fisik

- Keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, nafas, suhu.

- Pemeriksaan sistemik: kulit, kepala, kelenjer getah bening,

rambut, mata, telinga, hidung, mulut, tenggorokan, leher,

thorax : paru dan jantung, abdomen, alat kelamin, anus, dan

ekstremitas : refilling kapiler, reflek fisiologis dan patologis,

tanda rangsangan meningeal).

- Status gizi (TB, BB, umur, lingkar kepala)

23
Pemeriksaan Penunjang

Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan

diagnosis kejang demam, dengan adanya gejala kejang pada suhu

badan yang tinggi serta tidak didapatkan gejala neurologis lain

dan anak segera sadar setelah kejang berlalu

. Tetapi perlu diingat bahwa kejang dengan suhu badan

yang tinggi dapat pula tejadi pada kelainan lain, misalnya pada

radang selaput otak (meningitis) atau radang otak (ensefalitis).

Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk

menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien

kejang demam yang pertama dan dengan usia kurang dari 1 tahun.

Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang mempunyai nilai

prognostic EEG tidak dapat digunakan untuk memperkirakan

kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam berulang

dikemudian hari. Saat ini pemeriksaaan EEG tidak dianjurkan

untuk pasien kejang demam sederhana. Pemeriksaan laboratorium

tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber

infeksi. Pasien dengan keadaan diare, muntah dan gangguan

keseimbangan cairan dapat diduga terdapat gangguan 

metabolisme akut, sehingga pemeriksaan elektrolit diperlukan.

Pemeriksaan labratorium lain perlu dilakukan untuk mencari

penyebab timbulnya demam3

24
H. TERAPI

Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan

pada waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien

datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan

kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-

0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu

3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan

kejang akut mengikuti algoritma kejang pada umumnya. Obat yang praktis

dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital)adalah diazepam

rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal

5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk

berat badan lebih dari 12 kg.

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti,

dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu

5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,

dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam

intravena. Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status

epileptikus. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya

tergantung dari indikasi terapi antikonvulsan profilaksis.

Pemberian Antipiretik :

Pemberian antipiretik tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan

obat ini mengurangi resiko terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi

25
D), namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat

diberikan (level III, rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan

adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan dalam 4 kali pemberian per hari dan

tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen adalah 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali

sehari. Asam asetilsalisilat tidak dianjurkan karena kadang dapat

menyebabkan sindrom Reye pada anak kurang dari 18 bulan.

Pemberian Antikonvulsan :

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral

atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg

untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis

maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama

48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis

tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta

sedasi

.Pemberian obat rumat :

Pemberian obat rumat hanya diberikan dengan indikasi berikut:

- Kejang lama >15 menit

- Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau

sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd,

cerebral palsy, retatdasi mental, hidrosefalus.

- Kejang fokal

- Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila:

 Kejang berulang 2 X atau lebih dalam 24 jam

26
 Kejang demam 4 X atau lebih pertahun

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam >

15 menit merupakan indikasi pengobatan rumat.

Kelaian neurologis tidak nyata misalkan

keterlambatan perkembangan ringan bukan indikasi

pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi

umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus

organik.

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat :

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif

dalam menurunkan risiko berulang kejang (level I). berdasarkan bukti

ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat

menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan

terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi D).

Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan

perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Dosis asam valproat

pada anak anak adalah 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan dosis

fenobarbital 3-4mg/kg per hari dalam 1-2 dosis.

Lama Pengobatan Rumat :

27
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan

rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun

dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.7

Alur Tatalaksana Kejang Demam

28
I. EDUKASI

Edukasi kepada orang tua

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang

tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa

anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara

yang diantaranya:

1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai

prognosis baik.

2. Memberitahukan cara penanganan kejang

3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi

harus diingat adanya efek samping obat

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang

1. Tetap tenang dan tidak panik.

2. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.

3. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah,

bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.

4. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil)

lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.

5. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.

6. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.

29
7. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5

menit. Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal

hanya boleh diberikan satu kali oleh orangtua.

8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit

atau lebih, suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak

berhenti dengan diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang anak

tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan7

J. DIAGNOSIS BANDING

1. meningitis

2. ensefalitis

3. epilepsi

4. gangguan metabolik, seperti: gangguan elektrolit8

K. KOMPLIKASI

1. kerusakan sel otak

2. resiko kejang atipikal apabila kejang demam sering berulang8

L. PROGNOSIS

Anak dengan kejang demam memiliki kemungkinan 30-50%

mengalami kejang demam berulang dan 75% nya terjadi dalam satu tahun

setelah awitan yang pertama.

Resiko rekurensi bertambah bila;

- Kejang demam terjadi < 1 tahun, resiko berulang adalah

50%. Kejang demam terjadi >1 tahun, resiko berulang

adalah 28%

30
- Riwayat keluarga kejang dman atau epilepsi

- Cepatnya kerjang setelah demam

- Kejang yang terjadi pada suhu tidak terlalu tinggi (38oC)

Adanya keempat faktor tersebut meningkatkan resiko kejang

demam berulang hingga 80%. Namun bila tidak satupun faktor di atas di

teukan kemungknan berulang 10-15%.

Anak yang mengalami kejang demam simpleks tidka memiliki

resiko lebih tinggi mengidap epilepsi di bandingkan populasi normal.

Resiko epilepsi di kemudian hari akan meningkat apabila terdapat;

- Kejang demem kompleks

- Riwayat keluarga epilepsi

- Kejang demam sebelum usia 9 bulan

- Adanya perkembangan yang terlambat atau terdapat

kelainan neurologis sebelumnya.

Adanya satu faktor resiko meningkatkan kemungkinan epilepsi

menjadi 4-6%, sementara bila terdapat beberapa faktor resiko sekaligus

kemungkinannya naik hingga 10-49%. Pemberian profilaksis terus-

menerus tidka dapat menurunkan resiko kejadian epilepsi.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Tanto,Chris dkk. Kapita Selekta Kedokteran.Edisi IV.Jilid I. Media

Aesculapius:Jakarta.2014.Hal102-105

2. Fuadi, 2010. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak. (Tesis).

Semarang: Universitas Diponegoro

3. Lumbantobing,S.M: Kejang Demam.Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007

4. Asril Aminulah, Prof Bambang Madiyono. Hot Topik In Pediateric II :

Kejang Pada Anak. Cetakan ke2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2002.

5. Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman., Hal B. Jenson. Nelson Ilmu

Kesehatan Anak : Kejang Demam. 18 edition. EGC, Jakarta  2007

6. Fleisher, Gary R, M.D., Stephen Ludwig, M.G. Text Book Of Pediatric

Emergency Medicine : Seizures. Williams & Wilkins Baltimore. London

7. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam.Ikatan Dokter Anak

Indonesia.2016

8. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Primer.Ikatan Dokter Indonesia.2013

9. Tumbelaka,Alan R.,Trihono, Partini P.,Kurniati,Nia.,Putro Widodo,Dwi.   

Penanganan Demam Pada Anak Secara Profesional: Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVII.Cetakan

pertama,FKUI-RSCM.Jakara,2005

32

Anda mungkin juga menyukai