Anda di halaman 1dari 47

PELATIHAN PENYELESAIAN SENGKETA

KONTRAK KONSTRUKSI

7
MODUL
FASILITASI PENYELESAIAN
SENGKETA KONTRAK
KONTRUKSI

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN SUMBER DAYA AIR DAN KONSTRUKSI


BADAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT

BANDUNG, 2017
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT atas terselesaikannya modul 7 tentang
“Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi”. Modul ini adalah modul terakhir dari
7 modul yang harus diselesaikan dalam Pelatihan Penyelesaian Sengketa Kontrak
Konstruksi. Pelatihan tersebut diadakan mengingat dalam pelaksanaan pekerjaan
konstruksi, yang lazim dilakukan di Indonesia akan melibatkan pihak pengguna jasa
konstruksi dan penyedia jasa konstruksi serta tertuang dalam kontrak konstruksi yang
dipergunakan sebagai dasar hubungan hukum kedua belah pihak.
Setiap tahun, puluhan ribu kontrak konstruksi ditandatangani dan diimplementasikan
sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadi sengketa kontrak konstruksi. Dalam
menyelesaikan sengketa kontrak konstruksi ada dua pilihan penyelesaian yaitu penyelesaian
melalui jalur peradilan dan penyelesaian di luar peradilan. Pelatihan penyelesaian sengketa
kontrak konstruksi ini dimaksudkan untuk membekali para ASN di Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat, khususnya yang terkait dalam penanganan kontrak
konstruksi dalam melaksanakan tugasnya, untuk mengantisipasi bila terjadi kemungkinan
sengketa.
Modul ini adalah modul terakhir berkaitan dengan modul-modul lainnya ketika Anda belajar
untuk dapat menyelesaikan masalah sengketa kontrak konstruksi. Sedangkan tujuan
disusunnya modul ini adalah agar setelah mempelajari modul ini Anda dapat memahami
prinsip dasar penyelesaian sengketa kontrak konstruksi.
Dalam modul ini akan dibahas tentang : Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak
Konstruksi Melalui Jalur Non Litigasi dan Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak
Konstruksi Melalui Jalur Litigasi.
Tentu saja masih ada kemungkinan modul ini masih memiliki kekurangan, karena
kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Untuk itu masukan dan kritikan yang membangun
dari berbagai pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan modul ini di masa yang akan
datang. Akhirnya semoga modul dapat bermanfaat.

Bandung, 2017

Kepala
Pusdiklat Sumber Daya Air dan Konstruksi

Modul 7
2
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ 2
DAFTAR ISI............................................................................................................................ 3
PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL.....................................................................................6
PENDAHULUAN..................................................................................................................... 7
MATERI 1 FASILITASI PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK KONSTRUKSI
MELALUI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA.....................................10
1.1. PENDAHULUAN................................................................................................10
1.2. ARBITRASE.......................................................................................................23
1.3. DEWAN SENGKETA (DISPUTE BOARD).........................................................27
MATERI 2 FASILITASI PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK KONSTRUKSI
MELALUI JALUR LITIGASI.................................................................................38
2.1. PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK KONSTRUKSI MELALUI
PENGADILAN....................................................................................................38
PENUTUP ........................................................................................................................... 45
KUNCI JAWABAN................................................................................................................. 46
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 47
GLOSARI ........................................................................................................................... 48

DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN

Modul 7
3
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
DAFTAR INFORMASI
VISUAL
DAFTAR INFORMASI VISUAL

Modul 7
4
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
PETUNJUK PENGGUNAAN
MODUL
PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL
Peserta “Pelatihan Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi” yang berbahagia.
Modul “Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Kontruksi” ini adalah modul ketujuh dari
tujuh modul yang harus Anda selesaikan dalam pelatihan ini. Bila Anda akan mempelajari
modul ini, Anda harus sudah menuntaskan modul sebelumnya yaitu modul 1 tentang
Kebijakan Dalam Kontrak Konstruksi dan modul 2 tentang Pengetahuan Dasar Kontrak
konstruksi, 3. Tentang Substansi Kontrak Konstruksi 4. Modul tentang Prinsip Dasar
Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi dan Modul 5 tentang tatacara penyelesaian
sengketa kontrak konstruksi serta terakhir Modul 6 tentang Analisis Penyelesaian Sengketa
Kontrak Konstruksi.
Dalam mempelajari modul ini, seyogyanya Anda lakukan secara berurutan mulai dari materi
pertama sampai materi terakhir, agar pengetahuan yang Anda miliki menjadi lengkap.
Dengan mempelajari modul ini, Anda diharapkan akan memahami Fasilitasi Penyelesaian
Sengketa Kontrak Kontruksi. Modul ini terdiri dari materi pokok, dan pada akhir pembahasan
tiap materi akan diberikan tes, untuk mengukur kemampuan Anda dalam memahami tiap-
tiap materi. Anda dapat melihat kemampuan Anda dengan mencocokkan jawaban Anda
dengan kunci jawaban yang ada pada akhir modul ini. Apabila Anda belum dapat menjawab
pertanyaan (soal) dengan benar, Anda harus mengulangi mempelajari materi tersebut.
Jujurlah pada diri Anda sendiri.
Apabila ada tugas-tugas, harap dikerjakan baik secara individual maupun kelompok. Untuk
hal-hal yang kurang jelas, Anda dapat menghubungi nara sumber di Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi.
Akhirnya, selamat mempelajari modul ini, semoga sukses.

Modul 7
5
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi, yang lazim dilakukan di Indonesia, pelaksanaan
pengawasan pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh pengguna jasa dalam pelaksanaan
pekerjaan, umumnya akan dibantu oleh penyedia jasa pengawas konstruksi dengan suatu
perjanjian jasa konsultansi pengawas konstruksi.

Setiap tahun, puluhan ribu kontrak konstruksi ditandatangani dan diimplementasikan. Dalam
hal ini sudah hampir pasti akan terjadi sengketa konstruksi akibat perbedaan intrepretasi
maupun akibat lain yang bersifat fisik maupun non fisik. Dalam menyelesaikan sengketa
kontrak konstruksi, dapat ditempuh berbagai cara. Di Indonesia penyelesaian sengketa
terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: (1) litigasi dan (2) non-litigasi. Litigasi adalah bentuk
penyelesaian sengketa dalam acara persidangan di peradilan umum. Sedangkan non-litigasi
adalah bentuk penyelesaian sengketa di luar peradilan umum. Non-litigasi menurut Undang
Undang Nomor 30 Tahun 1999 terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: (1) arbitrase dan (2) alternatif
penyelesaian sengketa.

Dalam tujuan meningkatkan kemampuan keterampilan teknis ASN bidang ke-PU-an (bidang
Konstruksi), maka Pusdiklat SDA dan Konstruksi melaksanakan penyusunan Kurikulum dan
Modul Pelatihan Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi untuk menghasilkan SDM
bidang Konstruksi yang kompeten dan berintegritas dalam rangka mendukung
pembangunan infrastruktur bidang konstruksi yang handal.

B. DESKRIPSI SINGKAT

Mata pelatihan ini membahas tentang pengertian jasa konstruksi, kontrak konstruksi dan
jenis-jenis kontrak konstruksi. Juga dibahas tentang proses terjadinya kontrak konstruksi.

Undang-undang no.2/2017 tentang Jasa Konstruksi menetapkan jenis-jenis Usaha Jasa


Konstruksi dan Pelaku Jasa Konstruksi. Yang dimaksud Pelaku Usaha Jasa Konstruksi di
sini adalah para pihak yang melakukan pengikatan.

Pihak-pihak atau peserta yang terlibat dalam Pengadaan Barang/Jasa oleh Pemerintah
berdasarkan Pasal 7 dan 19 Perpres No. 54 Tahun 2010 adalah sebagai berikut : (i)
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran; (ii) Pejabat Pembuat Komitmen; (iii)
ULP/Pejabat Pengadaan; (iv) Panitia/ Pejabat Penerima Hasil PekerjaanPanitia/ Pejabat
Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yang
bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan.

Lingkup pengaturan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi menurut Peraturan Pemerintah


no. 29/2000 sebagimana sudah diubah, yang terakhir PP no. Nomor 54 Tahun 2016 meliputi
pemilihan penyedia jasa, kontrak kerja konstruksi, penyelenggaraan pekerjaan konstruksi,

Modul 7
6
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
kegagalan bangunan, penyelesaian sengketa, larangan persekongkolan, dan sanksi
administratif.

Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi Pasal 1 Ayat 8,
Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan
hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Dalam hal penggunaan bahasa, Kontrak Kerja Konstruksi harus dibuat dalam bahasa
Indonesia. Sedangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang dilakukan dengan pihak asing harus
dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Jika terjadi perselisihan dengan pihak
asing mengenai penggunaan bahasa maka digunakan Kontrak Kerja Konstruksi dalam
bahasa Indonesia.

Unsur-unsur  yang  harus  ada  dalam kontrak konstruksi adalah

Adanya subjek, yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa;

Adanya objek, yaitu konstruksi;

Adanya dokumen yang mengatur hubungan antara pengguna jasa dan penyedia jasa.

Jenis-jenis kontrak kerja konstruksi dapat ditemui di

Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi


sebagaimana telah diubah dan terakhir perubahan-perubahannya termasuk PP No. 54
tahun 2016 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 2000.

Peraturan Presiden no.54 tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta
perubahan-perubahannya termasuk Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 4 Tahun
2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden no.54 tahun 2010

Kontrak Konstruksi sebagai bentuk perjanjian merupakan sebuah produk hukum dan oleh
karena itu, sebagai produk hukum harus mengikuti prinsip hukum. Dalam hal ini kontrak
kerja konstruksi tidak terlepas dari prinsip perikatan, yaitu terjadinya peristiwa hukum yang
mengikat para pihak.

Prinsip-prinsip yuridis mengenai kontrak konstruksi yang terdapat dalam KUH Perdata
adalah sebagai berikut :

1. Prinsip Korelasi antara tanggung jawab para pihak dengan kesalahan dan
penyediaan bahan bangunan.
2. Prinsip ketegasan Tanggung jawab Pemborong jika bangunan musnah karena cacat
dalam penyusunan atau faktor tidak ditopang oleh kesanggupan tanah.
3. Prinsip Larangan Merubah harga kontrak.
4. Prinsip kebebasan pemutusan kontrak secara sepihak oleh Pihak Bowheer.
5. Prinsip kontrak yang melekat dengan Pihak Pemborong.
6. Prinsip Vicarious Liability (Tanggung Jawab Pengganti)
7. Prinsip Hak retensi

C. TUJUAN PEMBELAJARAN

Modul 7
7
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
Tujuan pembelajaran umum

Setelah mengikuti pelatihan ini peserta mampu memfasilitasi penyelesaian sengketa kontrak
konstruksi.

Tujuan pembelajaran khusus

Setelah mengikuti pelatihan ini peserta mampu:

Memfasilitasi penyelesaian sengketa kontrak konstruksi melalui jalur alternatif penyelesaian


sengketa.

Memfasilitasi penyelesaian sengketa kontrak konstruksi melalui jalur litigasi.

D. MATERI POKOK

Modul ini terdiri dari dua (2) Materi Pokok, yaitu:

Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi melalui jalur alternatif penyelesaian


sengketa.

Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi melalui jalur litigasi.

Modul 7
8
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
MATERI
FASILITASI PENYELESAIAN

1 SENGKETA KONTRAK
KONSTRUKSI MELALUI
ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA
MATERI 1 FASILITASI PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK KONSTRUKSI
MELALUI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Indikator Keberhasilan

Setelah mengikuti diklat ini peserta diklat memahami tentang kelebihan dan
kekurangan dari Alternatif Penyelesaian Segketa dalam penyelesaian
sengketa konstruksi

1.1. PENDAHULUAN

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomer30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan


Alternatif Penyelesaian Sengketa dijelaskan Arbitrase yang diatur dalam Undang-
undang ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang
didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua
sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak
yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar
kata sepakat mereka.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian sengketa melalui
arbitrase menjadi berlarut-larut. Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana
terhadap putusannya para pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka
dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum
banding kasasi maupun peninjauan kembali.Frasa tidak semua sengketa dapat
diselesaikan melalalui arbitrase berdampak pengaturan didalamnya.
Pasal 2 menyebutkan Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda
pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah
mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua
sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan
hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif
penyelesaian sengketa.

Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan yang


dimaksud perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yangdibuat para pihak

Modul 7
9
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa.

Dibawah ini tercantum contoh bentuk perjanjian arbitrase. Sebagai langkah awal
mendiskusikan perjanjian arbitrase yang dimaksud dengan mengikuti instruksi yang
sesuai dengan lembar kerja dibawah ini :

LEMBAR KERJA

Matrik Diskusi Perjanjian Arbitrase

No ITEM DISKUSI PENJELASAN


1. Jenis perjanjian yang dibuat
2. Isi dari perjanjian
3. Para pihak yang membuat
perjanjian
4 Pilihan penyelesaian sengketa

(1) Format di atas hanya sebagai panduan diskusi saja, kelompok dapat memberikan
tambahan atau menyesuaikan sesuai kebutuhan;

(2) Anda dapat melakukan diskusi dengan mengidentifikasi hal-hal apa saja yang
diperjanjikan dalam format diskusi di atas;

(3) Memberikan kesempatan kepada peserta lain untuk mengungkapkan pemahaman


dan pengalamannya tentang kedua kerangka atau paradigma tersebut;

(4) Anda diminta untuk menulis hasil kesepakatan dengan mengklarifikasi hal-hal yang
perlu penegasan dan kesepakatan bersama.

Setelah melakukan diskusi dan merumuskan hasil kesepakatan bersama mari cocokan hasil
diskusi tersebut dengan teori yang ada dalam uraian materi modul terkait tatacara
penyelesaian sengketa kontrak konstruksi.

PERJANJIAN ARBITRASE
Nomor 007./Perj-Arb/X/2017
Pada hari ini, Selasa, 21 Oktober 2017, Kami yang bertandatangan dibawah ini:

1. PT Jaya Sehati, berkedudukan dan beralamat di jalan Suka-Suka nomor 9,


Kutajaya, yang dalam hal ini diwakili oleh Tuan Sopo dalam kapasitasnya selaku
Direktur Utama PT Jaya Sehati, oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas
nama PT Jaya Sehati, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA;
2. PT Wulan Merindu, berkedudukan dan beralamat di jalan Riang Gembira nomor
27, Kutajaya, yang dalam hal ini diwakili oleh Tuan Jarwo dalam kapasitasnya
selaku Presiden Direktur PT Wulan Merindu, oleh karenanya sah bertindak untuk
dan atas nama PT Wulan Merindu, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA;

Bahwa pada saat ini Pihak Pertama sebagai sebagai pengguna jasa dan Pihak

Modul 7
10
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
Kedua sebagai penyedia jasa telah berselisih paham tentang pelaksanaan
pembangunan proyek pembangunan gedung sarana olah raga dan rekreasi di
jalan Bahagia, Kutajaya,sesuai dengan Akta Perjanjian Kerjasama Nomor 17,
tanggal 27, Maret 2016 yang dibuat dihadapan Aditya, Notaris di Kutajaya, dimana
didalam perjanjian kerjasama tersebut tidak diatur secara jelas dan lengkap cara
dan tempat penyelesaian sengketa yang timbul akibat dari perjanjian tersebut.
Bahwa sehubungan dengan perselisihan paham tentang pembangunan proyek .
pembangunan gedung sarana olah raga dan rekreasi sebagaimana tersebut di
atas, bersama ini Pihak Pertama dan Pihak Kedua telah setuju dan sepakat untuk
menyelesaikan perselisihan paham tersebut melalui ................ (misal : Badapski,
Badan Arbitrase Nasional Indonesia), sesuai dengan peraturan dan
prosedur................ (Misal : Badapski, Badan Arbitrasi Nasional Indonesia) yang
putusannya bersifat final dan mengikat.
Bahwa selanjutnya Pihak Pertama dan Pihak Kedua telah setuju dan sepakat
bahwa penyelesaian sengketa dihadapi para pihak akan diselesaikan oleh Majelis
Arbiter, dimana Pihak Pertama telah menunjuk Saudara. Ali Topan, sebagai arbiter
dan Pihak Kedua telah menunjuk Saudara Ali Oncom, sebagai arbiter, selanjutnya
untuk Ketua Majelis Arbiter Pihak Pertama dan Pihak Kedua telah setuju dan
sepakat untuk menyerahkannya kepada Ketua Pengadilan Negeri Kutajaya untuk
menentukannya.
Demikian perjanjian arbitrase ini dibuat dan mengikat kedua belah pihak serta
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

PIHAK PERTAMA PIHAK KEDUA

(..............................) (..........................._)

Dalam catatan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), sengketa konstruksi


mendomininasi 420 kasus yang ditangani BANI pada periode 1999 sampai dengan 2016,
yakni 30,8% dari total kasus.

Di bawah rezim Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, mekanisme
penyelesaian sengketa konstruksi tersedia melalui 2 (dua) jalur, yakni jalur pengadilan dan di
luar jalur pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan dapat ditempuh
untuk masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi, dan dalam hal terjadi kegagalan bangunan. Serta tidak tidak berlaku
terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Jenis penyelesaian
melalui jalur di luar pengadilan yang dimaksud dalam UU Jasa Konstruksi 1999 antara lain
arbitrase, baik berupa lembaga atau ad-hoc yang bersifat nasional maupun internasional,
mediasi, konsiliasi atau penilai ahli.

Sementara itu, dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, sebagai
pengganti UU Jasa Konstruksi 1999, penyelesaian sengketa yang timbul dari Kontrak Kerja

Modul 7
11
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
Konstruksi diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam hal para pihak yang
bersengketa tidak menemukan kesepakatan, maka penyelesaian sengketa ditempuh melalui
tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi atau
dalam hal tidak tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi, para pihak bersengketa membuat
suatu persetujuan tertulis mengenai tata acara penyelesaian sengketa yang akan dipilih.

Adapun tahapan penyelesaian sengketa yang diatur dalam UU Jasa Konstruksi 2017 adalah
sebagai berikut:

1) Mediasi;

Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama
melalui mediator yang bersifat netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan
bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak
dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk memcapai mufakat.

2) Konsiliasi; dan

Konsiliasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan cara mempertemukan keinginan


para pihak dengan menyerahkannya kepada suatu komisi/pihak ketiga yang ditunjuk
sebagai konsiliator. Peranan konsiliator yaitu menyusundan merumuskan upaya
penyelesaian untuk ditawarkannya kepada para pihak.

3) Arbitrase.

Arbitase adalah perjanjian perdata dimana para pihak sepakat untuk menyelesaikan
sengketa yang terjadi antara mereka yang mungkin akan timbul di kemudian hari yang
diputuskan oleh pihak ketiga, atau penyelesaian sengketa oleh seorang atau beberapa
orang wasit (arbitrator) yang bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan
tidak diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara musyawarah dengan menjunjukan
pihak ketiga, hal mana yang dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak

Selain itu adanya dewan sengketa yang dalam bagian Penjelasan Undang-Undang Jasa
Konstruksi 2017 diberikan pengertian sebagai tim yang dibentuk berdasarkan kesepakatan
para pihak sejak pengikatan Jasa Konstruksi untuk mencegah dan menengahi sengketa
yang terjadi di dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi.

Dengan demikian, semangat yang diusung dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi 2017
adalah penyelesaian secara musyawarah dan mufakat dengan mengutamakan penyelesaian
sengketa di luar jalur pengadilan. Namun demikian, kiranya perlu diperhatikan ketentuan
dalam Pasal 47 ayat (1) UU Jasa Konstruksi 2017. Dalam Pasal 47 ayat (1) UU Jasa
Konstruksi 2017, salah satu klausula yang dipersyaratkan tercantum dalam Kontrak Kerja
Konstruksi adalah ketentuan mengenai: (a) penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan
tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan; dan (b) pilihan
penyelesaian sengketa konstruksi. Dalam bagian penjelasan Pasal 47 ayat (1) huruf h
mengenai penyelesaian perselisihan disebutkan:

Penyelesaian perselisihan memuat ketentuan tentang tatacara penyelesaian perselisihan


yang diakibatkan antara lain oleh ketidaksepakatan dalam hal pengertian, penafsiran, atau

Modul 7
12
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
pelaksanaan berbagai ketentuan dalam Kontrak Kerja Konstruksi serta ketentuan tentang
tempat dan cara penyelesaian. Penyelesaian perselisihan ditempuh melalui tahapan
musyawarah, mediasi,konsiliasi dan arbitrase.

Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan “penyelesaian perselisihan” dan
“penyelesaian sengketa”. Apabila mengacu pada pengertian “sengketa” dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, “sengketa” berarti pula “perselisihan”.Dengan demikian, dalam UU Jasa
Konstruksi 2017 masih tercantum upaya hukum penyelesaian perselisihan melalui
pengadilan, walaupun dalam batang tubuh UU Jasa Konstruksi 2017 tidak mencantumkan
hal tersebut.

Mekanisme penyelesaian sengketa melalui upaya di luar jalur pengadilan kiranya tepat untuk
diterapkan pada sengketa konstruksi dengan beberapa alasan sebagai berikut:

Pertama, kerahasiaan mengenai sengketa. Kerahasiaan merupakan salah satu keunggulan


dari mekanisme penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan, baik pada saat proses
maupun terhadap putusan yang tidak dipublikasikan. Mengingat konstruksi terkait dengan
banyak proses yang mana tidak seluruhnya dapat dibuka untuk umum, terutama apabila
bangunan yang menjadi obyek sengketa termasuk dalam objek vital negara. Selain itu,
diperlukan untuk menjaga hubungan baik di antara para pihak, mengingat pelaku usaha
dalam bidang jasa konstruksi adalah terbatas.

Kedua, para pihak dapat memilih pihak penengah (mediator/konsiliator/arbitrator) yang


memiliki keahlian di bidang konstruksi. Menurut Hellard (1987), sengketa konstruksi dapat
dibagi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:

 Sengketa berkaitan dengan waktu (keterlambatan progress);


 Sengketa berkaitan dengan finansial (klaim dan pembayaran);
 Sengketa berkaitan dengan standar pekerjaan (desain dan hasil pekerjaan);
 Konflik hubungan dengan orang-orang di dalam industri konstruksi.

Pada umumnya sengketa-sengketa tersebut atas akan berkaitan, baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan hal-hal bersifat teknis. Pada dasarnya Kontrak Kerja
konstruksi merupakan kontrak yang bersifat khusus yang mana memuat banyak aspek
teknis.Sebagai contoh, sengketa berkaitan dengan pembayaran dengan sistem prosentase
progress pekerjaan sebagai syarat pembayaran, tentunya memerlukan aspek teknik terkait
dengan penentuan progress pekerjaan yang dapat diklaim. Dengan demikian, dalam
penyelesaian sengketa konstruksi, tidak saja dibutuhkan ahli hukum, namun diperlukan ahli
pada disiplin ilmu lain, terutama aspek teknis, untuk memahami akar permasalahan.

Ketiga, jangka waktu penyelesaian sengketa jelas dan relatif singkat. Walaupun perihal
jangka waktu penyelesaian sengketa relatif singkat sebagai keunggulan dari mekanisme
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (arbitrase) menurut Undang-Undang No.30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak selalu terjadi karena di
beberapa negara penyelesaian melalui jalur litigasi dapat ditempuh dengan waktu yang
relatif singkat, namun saat ini harus diakui bahwa jalur litigasi memakan waktu yang lebih
panjang dibandingkan dengan jalur di luar litigasi. Jangka waktu penyelesaian sengketa
yang singkat tentu lebih menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa, karena dapat
segera memperoleh kepastian mengenai penyelesaian atas sengketa yang sedang terjadi.

Modul 7
13
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
Bagi pelaku usaha konstruksi, berlaku pula hal demikian karena sengketa konstruksi akan
berkaitan dengan banyak hal seperti namun tidak terbatas pada kelangsungan pekerjaan,
pengalihan bangunan, penggunaan bangunan oleh pengguna jasa, kepastian pembayaran.
Khusus bagi penyedia jasa, sengketa yang berlarut-larut dapat menghambat keterlibatan
penyedia jasa pada tender-tender proyek yang diselenggarakan oleh pengguna jasa yang
sedang bersengketa.

PROSEDUR FASILITASI SENGKETA MELALUI ARBITRASE

Menurut ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dijelaskan
pemohon arbitrase harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili,
e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon yang didalamnya memuat dengan
jelas :
a. nama dan alamat para pihak;
b. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
e. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
f. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila tidak
pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul
tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil
Selain melalui surat permohonan, prosedur Arbitrase dapat diajukan dalam suatu
perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang di dalamnya memuat :
a. masalah yang dipersengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala
biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase

Mengapa permohonan Arbitrase harus dibuat secara tertulis?


Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur
sebagai berikut :
(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para
pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan
di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan
melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan
dalam Undang-undang ini.

Modul 7
14
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
Penjelasan diatas merupakan cara pengajuan oleh para pihak untuk mengajukan arbitrase.
Setelah proses pengajuan para pihak juga berhak mengajukan arbiter sebagai pihak yang
memeriksa dan memutuskan sengketa. Perihal Arbiter dalam ketentuan Undang-Undang
Nomer 30 Tahun 1999 mempersyaratkan sebagai berikut :
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 tahun;
c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan
derajat
d. kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
e. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan
arbitrase; dan
f. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15
tahun.
g. bukan berprofesi sebagai Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya

Namun jika para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan dalam hal pemilihan arbiter,
maka :
a. Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.
b. para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri
untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa
para pihak.

Secara prinsipil proses Arbitrase, atas kesepakatan para pihak dapat dilakukan melalui
arbiter tunggal.
Permohonan untuk diperiksa dan diputus oleh Arbiter tunggal disampaikan melalui
surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail atau dengan buku ekspedisi setelah
terlebih dahulu mengusulkan kepada pihak termohon perihal nama orang yang dapat
diangkat sebagai arbiter tunggal.
Apabila dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah termohon menerima
usul pemohon para pihak tidak berhasil menentukan arbiter tunggal, maka atas
permohonan dari salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter
tunggal. Namun untuk mengangkat arbiter tunggal Ketua Pengadilan Negeri
didasakan pada daftar nama yang disampaikan oleh para pihak, atau yang diperoleh
dari organisasi atau lembaga arbitrase dengan memperhatikan baik rekomendasi
maupun keberatan yang diajukan oleh para pihak terhadap orang yang bersangkutan.
Arbiter tunggal dapat terjadi juga apabila pemohon dalam jangka waktu 30 (tigapuluh)
hari telah menerima surat pemberitahuan. Namun salah satu pihak ternyata tidak
menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, maka arbiter yang
ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya
mengikat kedua belah pihak
Selain dengan dengan Arbiter tunggal, proses Arbitrase juga dapat dilakukan melalui
Majelis Arbitrase, yaitu melalui mekanisme :
a. penunjukkan oleh dua orang arbiter yang ditunjuk oleh masing-masing pihak
b. penunjukkan oleh Ketua Pengadilan Negeri

Modul 7
15
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
Berikut ini adalah tatacara fasilitasi penyelesaian sengketa kontrak konstruksi melalui
arbitrase :

1. Permohonan Arbitrase

Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran dan penyampaian Permohonan Arbitrase


oleh pihak yang memulai proses arbitrase pada Sekretariat BANI. Di dalam permohonan
tersebut, pemohon menjelaskan baik dari sisi formal tentang kedudukan pemohon dikaitkan
dengan perjanjian arbitrase, kewenangan arbitrase (dalam hal ini BANI) untuk memeriksa
perkara, hingga prosedur yang sudah ditempuh sebelum dapat masuk ke dalam
penyelesaian melalui forum arbitrase.

Penyelesaian sengketa di arbitrase dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak


berperkara. Kesepakatan tersebut dapat dibuat sebelum timbul sengketa (Pactum De
Compromittendo) atau disepakati para pihak saat akan menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase (akta van compromis).

Sebelum mendaftarkan permohonan ke BANI, Pemohon terlebih dahulu memberitahukan


kepada Termohon bahwa sehubungan dengan adanya

sengketa antara Pemohon dan Termohon maka Pemohon akan menyelesaikan sengketa
melalui BANI.

Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 30/1999, pemberitahuan sebagaimana
dimaksud di atas harus memuat dengan jelas:

1. nama dan alamat para pihak;


2. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
3. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
4. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
5. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
6. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila tidak
pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang
jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
Setelah menerim

a Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen serta biaya pendaftaran yang disyaratkan,


Sekretariat harus mendaftarkan Permohonan itu dalam register BANI. Badan Pengurus BANI
juga akan memeriksa Permohonan tersebut untuk menentukan apakah perjanjian arbitrase
atau klausul arbitrase dalam kontrak telah cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI
untuk memeriksa sengketa tersebut.
2. Penunjukan Arbiter

Pada dasarnya, para pihak dapat menentukan apakah forum arbitrase akan dipimpin oleh
arbiter tunggal atau oleh Majelis.

Dalam hal forum arbitrase dipimpin oleh arbiter tunggal, para pihak wajib untuk mencapai
suatu kesepakatan tentang pengangkatan arbiter tunggal pemohon secara tertulis harus
mengusulkan kepada termohon nama orang yang dapat diangkat sebagai arbiter tunggal.
Jika dalam 14 (empat belas) hari sejak termohon menerima usul pemohon para pihak tidak
berhasil menentukan arbiter tunggal ma

Modul 7
16
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
ka dengan berdasarkan permohonan dari salah satu pihak maka Ketua Pengadilan dapat
mengangkat arbiter tunggal.

Dalam hal forum dipimpin oleh Majelis maka Para Pihak akan mengangkat masing-masing 1
(satu) arbiter. Dalam forum dipimpin oleh Majelis arbiter yang telah diangkat oleh Para Pihak
akan menunjuk 1 (satu) arbiter ketiga (yang kemudian akan menjadi ketua majelis arbitrase).
Apabila dalam waktu 14 (empat) belas hari setelah pengangkatan arbiter terakhir belum juga
didapat kata sepakat maka atas permohonan salah satu pihak maka Ketua Pengadilan
Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga.

Apabila setelah 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon dan salah
satu pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase,
arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan
putusannya mengikat kedua belah pihak.

 3. Tanggapan Termohon

Apabila Badan Pengurus BANI menentukan bahwa BANI berwenang memeriksa, maka
setelah pendaftaran Permohonan tersebut, seorang atau lebih Sekretaris Majelis harus
ditunjuk untuk membantu pekerjaan administrasi perkara arbitrase tersebut. Sekretariat
harus menyampaikan satu salinan Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen
lampirannya kepada Termohon, dan meminta Termohon untuk menyampaikan tanggapan
tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah menerima penyampaian Permohonan
Arbitrase, Termohon wajib menyampaikan Jawaban. Dalam Jawaban  itu, Termohon dapat
menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan penunjukan itu kepada Ketua BANI. Apabila,
dalam Jawaban tersebut, Termohon tidak menunjuk seorang Arbiter, maka dianggap bahwa
penunjukan mutlak telah diserahkan kepada Ketua BANI.

Ketua BANI berwenang, atas permohonan Termohon, memperpanjang waktu pengajuan


Jawaban dan atau penunjukan arbiter oleh Termohon dengan alasan-alasan yang sah,
dengan ketentuan bahwa perpanjangan waktu tersebut tidak boleh melebihi 14 (empat
belas) hari.

4. Tuntutan Balik

Apabila Termohon bermaksud mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya
penyelesaian sehubungan dengan sengketa atau tuntutan yang bersangkutan sebagai-mana
yang diajukan Pemohon, Termohon dapat mengajukan tuntutan balik (rekonvensi) atau
upaya penyelesaian tersebut bersama dengan Surat Jawaban atau selambat-lambatnya
pada sidang pertama.

Majelis berwenang, atas permintaan Termohon, untuk memperkenankan tuntutan balik


(rekonvensi) atau upaya penyelesaian itu agar diajukan pada suatu tanggal kemudian
apabila Termohon dapat menjamin bahwa penundaan itu beralasan.

Atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut dikenakan biaya tersendiri
sesuai dengan cara perhitungan pembebanan biaya adminsitrasi yang dilakukan terhadap
tuntutan pokok (konvensi) yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak berdasarkan
Peraturan Prosedur dan daftar biaya yang berlaku yang ditetapkan oleh BANI dari waktu ke

Modul 7
17
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
waktu. Apabila biaya administrasi untuk tuntutan balik atau upaya penyelesaian tersebut
telah dibayar para pihak, maka tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian akan
diperiksa, dipertimbangkan dan diputus secara bersama-sama dengan tuntutan pokok.

Kelalaian para pihak atau salah satu dari mereka, untuk membayar  biaya administrasi
sehubungan dengan tuntutan balik atau upaya penyelesaian tidak menghalangi ataupun
menunda kelanjutan penyelenggaraan arbitrase sehubungan dengan tuntutan pokok
(konvensi) sejauh biaya administrasi sehubungan dengan tuntutan pokok (konvensi) tersebut
telah dibayar, seolah-olah  tidak ada tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian
tuntutan.

Jawaban Tuntutan Balik

Dalam hal Termohon telah mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya
penyelesaian, Pemohon (yang dalam hal itu menjadi Termohon), berhak dalam jangka waktu
30 hari atau jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Majelis, untuk mengajukan jawaban atas
tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut.

5. Sidang Pemeriksaan

Dalam sidang pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara
tertutup. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter
atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan. Para
pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus.

Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam
proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang
terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui
oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan.

Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan
provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan
sengketa termasuk penetapan sita jaminan.

Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis. Pemeriksaan secara
lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau
majelis arbitrase. Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau
mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu diluar tempat arbitrase
diadakan.

Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan
menurut ketentuan dalam hukum acara perdata.

Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang
dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa,
dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah agar dapat juga hadir
dalam pemeriksaan tersebut.

Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus
delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Arbiter atau majelis
arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila :

Modul 7
18
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
1. diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu;
2. sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela lainnya; atau
3. dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan.
Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter atau
majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang
bersengketa. Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai,
maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat
para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.

Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud termohon tanpa suatu alasan sah
tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau
majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi.

Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa
alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan
diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali
jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum.

Majelis wajib menetapkan Putusan akhir dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak
ditutupnya persidangan, kecuali Majelis mempertimbangkan bahwa jangka waktu tersebut
perlu diperpanjang secukupnya. Selain menetapkan Putusan akhir, Majelis juga berhak
menetapkan putusan-putusan pendahuluan, sela atau Putusan-putusan parsial.

6. Biaya-biaya

Permohonan Arbitrase harus disertai pembayaran biaya pendaftaran dan biaya administrasi
sesuai dengan ketentuan BANI. Biaya administrasi meliputi biaya administrasi Sekretariat,
biaya pemeriksaan perkara dan biaya arbiter serta biaya Sekretaris Majelis.

Mengenai biaya ini didasarkan juga pada besarnya nilai tuntutan yang dicantumkan dalam
permohonan arbitrase, baik materiil juga imateriil. Oleh karena itu, pemohon arbitrase
hendaknya lebih bijak dalam menetapkan nilai tuntutannya. Satu dan lain hal, karena
pendaftaran biaya arbitrase dihitung berdasarkan prosentase nilai tuntutan dan majelis
arbitrer hanya akan mengabulkan nilai tuntutan yang dapat dibuktikan oleh pemohon.
Silahkan merujuk pada tabel biaya di BANI.

Apabila terdapat pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase turut serta dan menggabungkan diri
dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase seperti yang dimaksud oleh pasal 30
Undang-undang No. 30/1999, maka pihak ketiga tersebut wajib untuk membayar biaya
administrasi dan biaya-biaya lainnya sehubungan dengan keikutsertaannya tersebut.

Dalam hal Termohon tidak memberikan tanggapan atau diam saja, maka Pemohon arbitrase
berkewajiban untuk membayar beban biaya perkara Termohon. Pemeriksaan perkara
arbitrase tidak akan dimulai sebelum biaya administrasi dilunasi oleh kedua belah pihak.

Kelebihan arbitrase

Di samping berbagai kelebihan dari penyelesaian sengketa di arbitrase, yang menurut saya
menjadi keunggulan adalah arbitrer pemeriksa perkara adalah ahli yang memiliki kompetensi
dalam bidang usaha yang dipersengketakan. Dengan demikian, sang arbiter telah memiliki
dasar pemahaman yang lebih dari cukup tentang bisnis/industri itu sendiri.

Modul 7
19
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
Bahkan sepanjang pengalaman saya, belum pernah ditemukan adanya kolusi dengan arbiter
ataupun pungli yang dilakukan petugas di sekretariat BANI. Hal ini tentunya menjadi
keunggulan lain yang membuat kita lebih nyaman untuk menyelesaiakan sengketa di
arbitrase, dibanding pengadilan dengan segala intrik mafia peradilannya.

Perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak dalam suatu proyek
bila tidak diselesaikan akan menimbulkan klaim dimana hal ini membutuhkan tambahan
biaya dan waktu bahkan dapat mempengaruhi kredibilitas pihak-pihak tersebut. Oleh karena
itu klaim sebisa mungkin dihindari dengan meminimumkan kemungkinan yang terjadi, karena
klaim bukanlah hal yang menguntungkan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak (ahuja
& Walsh, 1983).

Ada beberapa cara yang dilakukan pihak yang terlibat dalam kontrak untuk mengantisipasi
terjadinya klaim. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah : dokumentasi, pengetahuan
tentang kontrak, gambaran yang Jelas tentang perubahan order, rencana dan penjadwalan,
tindakan Proaktif dan presenvation of rights. Untuk menghindari terjadinya klaim diperlukan
pengetahuan dan pengalaman dalam mempersiapkan suatu dokumentasi. Adanya
dokumentasi yang baik, lengkap dan benar dapat dipakai sebagai alat atau dasar untuk
mengetahui adanya kejadian atau perubahan baik yang berupa kemajuan maupun
keterlambatan dari proyek tersebut.

Dokumentasi juga dapat digunakan sebagai dasar untuk membenarkan atau menolak
tindakan dari salah satu pihak untuk meminta tambahan waktu dan uang. Dokumen tentang
kontrak harus dibaca secara keseluruhan dan dimengerti sebelum melakukan penawaran
untuk menghindari kegagalan dalam menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu (Jergeas,
1994). Perubahan order dapat mengakibatkan perubahan pada dokumen kontrak karena
perubahan order dapat menyebabkan perubahan pada harga yang telah disepakati,
perubahan jadwal pembayaran perubahan pada jadwal penyelesaian pekerjaan dan
perubahan pada rencana dan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam kontrak (Fisk, 1997).
Perubahan order ini tidak hanya mengakibatkan adanya tambahan biaya saja tetapi juga
akan mengakibatkan tambahan beban pekerjaan, tambahan biaya administrasi, biaya dari
adanya tambahan waktu dan biaya-biaya (Jergear & Hartman, 1994).

Semua pihak yang terlibat dalam suatu kontrak pada dasarnya ingin mendapatkan
keuntungan dan sedapat mungkin mengurangi tanggung jawab terhadap kemungkinan
terjadinya klaim. Manajer poryek harus mempertimbangkan hal-hal di bawah ini untuk
melindungi keuntungan kontraktor dan mengurangi tanggung jawab.

Semua tindakan yang tidak sesuai dengan dokumen kontrak dan dapat menyebabkan
terjadinya klaim harus dicatat dan dilengkapi dengan waktu kejadiannya, hal-hal seperti
melakukan pekerjaan yang berbeda dari gambar dan spesifikasi, menggunakan cara atau
metode yang berbeda atau lebih mahal, bekerja diluar rencana yang ditetapkan, permintaan
untuk berhenti bekerja merupakan tindakan-tindakan yang harus dihindarkan untuk
menghindari terjadinya klaim (Jergeas, 1994)

Dalam menghadapai masalah konstruksi haruslah diingat bahwa penyelesaian dengan


musyawarah jauh lebih baik dari pada mengajuan klaim. Tujuan yang hendak dicapai
bukanlah untuk membuktikan siapa yang benar melainkan penyelesaian masalah yang ada.
Banyak cara untuk menyelesaikan perselisihan dalam suatu proyek. Diperlukan sikap

Modul 7
20
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
terbuka (open minded) dan keinginan yang kuat dalam menyelesaikan masalah dari pihak
terlibat. Adanya kesadaran bahwa dalam menyelesaikan proyek tepat waku, cost dan
standar mutu dan spesifikasi sesuai dengan perjanjian sebelumnya adalah tujuan utamanya
(Wahyuni, 1996). Bila salah satu pihak tidak memenuhi syarat yang sudah dipenuhi, maka
perselisihan tersebut tidak akan selesai.

Jika klaim konstruksi tidak dapat diselesaikan dengan segera, pihak-pihak yang terlibat
harus dilanjutkan ke forum penyelesaian masalah lebih formal. Yang termasuk dalam hal ini
adalah : Negosiasi, Mediasi, Arbitrasi dan Litigasi.

Yang dimaksud dengan negosiasi adalah cara penyelesaian yang hanya melibatkan kedua
belah pihak yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak-pihak yang lain. Hal ini mirip dengan
musyawarah dan mufakat yang ada di Indonesia, dimana keinginan untuk berkompromi,
adanya unsur saling memberi dan menerima serta kesediaan untuk sedikit menyingkirkan
ukuran kuat dan lemah adalah persyaratan keberhasilan cara ini. Di dalam negosiasi ini
kontraktor dan pemilik memakai arsitek dan insinyur sebagai penengah. Biasanya kontraktor
diminta mengajukan klaim kepada arsitek/insinyur yang diangkat menjadi negosiator.
Arsitek/Insinyur ini akan mengambil keputusan yang sifatnya tidak mengikat, kecuali
keputusan tentang ‘efek arstistik’ yang konsisten dengan apa yang telah ada dalam
dokumen kontrak.

Mediasi merupakan cara penyelesaian masalah di awal perselisihan berlangsung. Mediasi


ini melibatkan pihak ketiga yang tidak memihak dan dapat diterima kedua belah pihak yang
bersengketa. Pihak ketiga ini akan berusaha menolong pihak-pihak yang berselisih untuk
mencapai persetujuan penyelesaian, meskipun mediator ini tidak mempunyai kekuatan untuk
memutuskan penyelesaian masalah tersebut. Mediasi sama menguntungkannya dengan
arbitrasi. Mediasi dapat menyelesaikan masalah dengan cepat, murah, tertutup dan
ditangani oleh para ahli. Tetapi yang menjadi masalah adalah keputusan mediasi ini tidak
mengikat. Jadi apabila persetujuan tidak dapat dicapai, seluruh usaha mediasi hanya akan
membuang-buang uang dan waktu.

Arbitrasi adalah metode penyelesaian masalah yang dibentuk melalui kontrak dan
melibatkan para ahli dibidang konstruksi. Para ahli tersebut bergabung dalam badan
arbitrase. Badan ini akan mengatur pihak-pihak yang telah menandatangani kontrak dengan
klausul arbitrasi didalamnya untuk melakukan arbitrasi dan menegakkan keputusan
arbitrator. Hal yang menguntungkan dari cara arbitrasi ini adalah sifat penyelesaiannya yang
cepat dan murah jika dibandingkan dengan litigasi. Selain itu, cara arbitrasi ini dilakukan
secara tertutup serta dilakukan oleh seorang arbitrator yang dipilih berdasarkan keahlian.

Keputusan arbitrasi yang bersifat final dan mengikat merupakan alasan penting
digunakannya cara ini untukmenyelesaikan masalah. Keputusan pengadilan biasanya
terbuka untuk proses peradilan yang lebih panjang. Hal ini menghasilkan penundaan yang
lama dan memakan biaya dalam penyelesaian masalah. Sedangkan keputusan dari arbitrasi
ini tidak dapat dirubah tanpa semua pihak setuju untuk membuka kembali kasusnya.

Litigasi adalah proses penyelesaian masalah yang melibatkan pengadilan. Proses ini
sebaiknya diambil sebagai jalan akhir bila keseluruhan proses diatas tidak dapat
menghasilkan keputusan yang menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa.
Proses pengadilan ini tentu saja akan mengakibatkan salah satu pihak menang dan yang

Modul 7
21
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
lain kalah. Biasanya perselisihan yang terjadi disidangkan pada system yuridis di daerah
mana masalah tersebut terjadi. Pada suatu wilayah tertentu pengadilan wilayah tersebut
mendapat yuridikasi atas suatu masalah bila salah satu pihak berkantor di wilayah tersebut
atau proyeknya sendiri ada pada daerah itu. Jika kedua belah pihak yang berselisih
berkantor pusat di daerah lain, maka pihak yang memulai litigasi yang memilih forum dimana
litigasi itu berlangsung. Lama waktu penyelesaian merupakan hal yang patut diperhitungkan
dalam penggunaan cara ini. Tergantung dari yuridiksinya, suatu perselisihan konstruksi yang
kompleks dapat menghabiskan waktu antara 2 sampai 6 tahun sebelum mencapai
pengadilan (Arditi, 1996). Proses penggalian fakta yang panjang dan detil membuat litigasi
ini menjadi sangat mahal. Untungnya, bila ada kesalahan pengadilan dalam peryataannya
atau dalam penggunaan prinsip-prisip hukum, pihakpihak yang melakukan litigasi tentunya
dapat naik banding.

Sengketa konstruksi dapat diselesaikan melalui beberapa pilihan yang disepakati oleh para
pihak yaitu melalui :

1) Badan Peradilan (Pengadilan);


2) Arbitrase (Lembaga atau Ad Hoc);
3) Alternatif Penyelesaian Sengketa (konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisasi).

Klaim sebisa mungkin dihindari dengan meminimumkan


kemungkinan yang terjadi, karena klaim bukanlah hal yang
menguntungkan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak
(ahuja & Walsh, 1983)

1.2. ARBITRASE

Menurut Black's Law Dictionary yang dikutip dalam jurnalhukum.blogspot.com, "Arbitration.


an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed
matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the
formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation". Menurut Pasal 1
angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:

1) Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo) atau
2) Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa
(Akta Kompromis).

Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d
651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang-
Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan

Modul 7
22
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit
(arbitrase) tetap diperbolehkan.

1.2.1. SEJARAH ARBITASE

Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sudah lama
dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan
dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase
ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan
tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor
30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok
Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1
yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya
mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi
dari Pengadilan.

1.2.2. OBJEK ARBITASE

Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui
lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut
Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di
bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan,
keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2)
UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap
tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH
Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.

1.2.3. JENIS - JENIS ARBITASE

Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan
permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang
sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengket aatau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya
arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis
arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan
arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.

Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan
arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukansendiri. Saat ini dikenal berbagai

Modul 7
23
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), atau yang internacional seperti The Rules of Arbitration dari The
International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The
International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-
badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.

BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai
berikut:

"Semua sengketa yang timbul dari perjanjianini, akan diselesaikan dan diputus
oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan
prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang
bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".

Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade Law)
adalah sebagai berikut: 

"Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan


dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya
perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan
UNCITRAL.”

Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul
arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan
apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa
bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.

1.2.4. PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITER NASIONAL

Pelaksanaan putusan arbitrase nacional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999.
Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan
arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan
didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan
lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke
panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase
diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.

Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang
mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan
memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal
terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua
Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5
(khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri
dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum
apapun.

Modul 7
24
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgement of
selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to
establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the
delay, the expense and vexation of ordinary litigation

Tabel 1. Matrik Kelebihan Arbitrase dibandingkan dengan Pengadilan

ARBITRASE PENGADILAN
Bebas dan otonom menentukan rules dan institusi Mutlak terikat pada hukum acara
arbitrase yang berlaku
Menghindari ketidakpastian (uncertainty) akibat
perbedaan sistem hukum dengan negara tempat
sengketa diperiksa, maupun kemungkinan adanya
keputusan Hakim yang kurang unfair dengan Yang berlaku mutlak adalah sistem
maksud apa pun, termasuk melindungi hukum dari Negara tempat sengketa
kepentingan domestik yang terlibat sengketa diperiksa
Keleluasan memilih arbiter profesional, pakar
(expert) dalam bidang yang menjadi objek
sengketa, dan independen dalam memeriksa Majelis Hakim Pengadilan ditentukan
sengketa. oleh Administrasi Pengadilan
Waktu prosedur dan biaya arbiter lebih efisien.
Putusan bersifat final dan binding, dan tertutup Putusan pengadilan ditentukan oleh
untuk upaya hukum banding atau kasasi; Administrasi pengadilan
Persidangan tertutup (non-publicity) dan
karenanya memberi perlindungan untuk informasi
atau data usaha yang bersifat rahasia atau tidak Terbuka untuk umum (kecuali kasus
boleh diketahui umum. cerai)
Pertimbangan hukum lebih mengutamakan Pola pertimbangan Pengadilan dan
aspek privat dengan win-win solution Putusan hakim adalah win loose

Modul 7
25
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
Tabel 2. Kelemahan Arbitrase dibandingkan dengan Pengadilan

ARBITRASE PENGADILAN
Honorariumarbiter, panitera, dan administrasi
relatif mahal. Tolak ukur jumlah umumnya
ditentukan oleh nilai klaim (sengketa). Apabila Biaya perkara relatif murah dan telah
biaya ditolak atau tidak dibayar oleh salah satu ditentukan oleh MARI
pihak, pihak yang lain wajib membayarnya lebih   
dulu agar sengketa diperiksa oleh arbitrase
Tidak ada hambatan berarti dalam
Relatif sulit untuk membentuk Majelis Arbitrase Ad
pembentukan Majelis Hakim yang
Hoc
memiksa perkara
Tidak memiliki juru sita sendiri sehingga
Majelis juru sita dan atau sarana
menghambat penerapan prosedur dan
pelaksanaan prosedur hukum acara
mekanisme Arbitrase secara efektif
Putusan arbitrase tidak memiliki daya paksa yang Pelaksanaan putusan dapat
efektif, dan sangat bergantung kepada Pengadilan dipaksakan secara efektif terhadap
jika putusan tidak dijalankan dengan sukarela pihak yang kalah dalam perkara
Eksekusi Putusan Arbitrase cenderung mudah
Eksekusi Putusan yang telah
dan diintervensi pihak yang kalah melalui lembaga
memiliki kekuatan hukum yang pasti,
peradilan (Bantahan, Verzet) sehingga waktu
dapat dilaksanakan meskipun
realisasi pembayaran ganti rugi menjadi relative
kemudian ada bantahan atau Verzet
bertambah lama

1.3. DEWAN SENGKETA (DISPUTE BOARD)

Kontrak kontribusi adalah suatu kontrak yang dinamis dan belum lengkap kerana tidaklah
mungkin untuk mengemukakan semua hal yang eungki terjadi atau yang tidak mungkin
terjadi selama pelaksanaan konstruksi. Untuk menghadapi segala kemungkinan, betuk
kontrak konstruksi yangmemamg merupakan kontrak konsruksi yang bersifat dinamis,
mengatur tentang:

a) Pembagian resiko
b) Variasi (perubahan)
c) Penanganan sengketa

Perbedaan pendapat dari para pihak dalam menginterprestasikan dokumen kontrak


seringkali berkembang menjadi sengketa yang serius. Jika para pihak ggal memyelesaikan
sengketa melalui neosiasi, mereka dapat maju ke arbitrase atau litigasi (pegadilan). Setiap
pihak ingin dapat maju ke arbitrase maupun litigasi karena mereka paham bahwa arbitrase
dan/atau litigasi memakan waktu dan memerlukan biaya yang cukup besar. Apalagi dalam
proses arbitarse dan litigasi hubungan antarv pihak memburuk dan proyek tidak berhasil
diselesaikan (dan saalah satu pihak akhirnya akan kehilangan muka).

Modul 7
26
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
Cara terbaik guna menghindari terjadinya sengketa adalah menghindari atau mengurangi
perbedaan interprestasi yang berkembang menjadi sengketa resmi. Tugas utama dari DB
adalah menghindari mengawa proyek dan mengurangi perbedaan interprestasi selama
proyek berjalan, sehinga tidak berkembang menjadi sengketa. Membuat keputusan atau
rekomendasi sebenarnya adalah tugas sekunder DB.

Suatu DB terdiri atas tiga (atau satu, tergantung pada ukuran dan kopleksitas proyek)
anggota yang berpengalaman dan memiliki pengetahuan tentang jenis konstruksi,
interprestasi dokumen kontrak, prose DB dan benar-benar independen dan tidak memihak.
Suatu DB dibentuk pada permulaan proyek dan kepada anggota DB harus diberikan
dokumen kontrak sepereti persyaratnkontrak, gambar, spesifikasi dan program kerja
sehingga para anggta menjadi terbiasa dengan proyek. DB mengunjungi lapangan secara
teratur tiga bulanan untuk bertemu dengan orang lapangan dan mengamati kemajuan dan
permasalahan proyek, jika ada. Di antara kunjungan-kunjungan di lapangan, enjinir atau
para pihak mengirimkan laporan bulanan kemajuan proyek, pemberitahuan klaim dan
korespondensi penting laninnya kepada anggota DB agar anggota DB tertap
terinformasikan. DB merupakan bagian dari tim pelaksanaan yang membantu para pihak
menghindari sengketa dan menyelesaikan sengketa melalui negosiasi yang bersifat
kekeluargaan. Jika para pihak gagal menyelesaikan sengketa, sengeketa dirujuk ke DB
untuk dimintakan penetapannya. Karena anggota DB sudah terbiasa dengan dokumen
kontrak dan pelaksanaan di lapangan serta keamjuan proyek, tidak dibutuhkan waktu yang
lama untuk mempertimbangkan suatu sengketa. Meskipun jika penetpan ditak oleh satu
atau kedua pihak, ini akan menjadi dasar bagi egosiaso selanjunya dalam suasan
kekeluargaan. Jadi, manfaat dari DB adalah pencegahan terjadinya sengketa dan
penyelesaian sengketa secara dini tanpa menyimpan sikap permusuhan.

Konsep DB dibentuk pad awaktu penggunaan “dewan penasehat gabungan yang terdiri dari
4 orang” pad aproyek Boundary Dam dan Underground Powerhouse Complex pada
pertengahan tahun 1960 an di Negara bagian Washington dan industri terowongan pertama
yag menggunakan DRB berlangsung pada tahun 1975 pada pelaksanaan pengeboran
kedua Eishenhower Tunnel di Colorado. Ini merupakan keberhasilan yang
menggembirakan. DRB (Dispute Review Board) menyediakan 3 sengketa selama
pelaksanaan dan rekomendasi DRB diterima. Para pihak merasa puas pad aakhir proyek.
Pada tahun 1980 Bank Dunia mengajukan suatu DB (kemudian disebut “Claims Board”) pad
apryek El Cajon di Honduras yang juga berhasil. Pada tahun 1995 Standar Dokumen
Penawaran Bank Dunia mempublikasikan persyaratan FIDIC yang dimodifikasi yang
menghilangkan ketentuan “Engineer’s Decesion” dan mengalihka tugas ini kepada DB.

Modul 7
27
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
DRB, DAB dan CDB

Terdapat tiga jenis utama DB, Dispute Review Board (DRB), Dispute Adjudication Board
(DAB) dan Combined Dispute Board (CDB)

DRB DRB telah digunakan secara luas di AS selama tiga decade dan merupakan
bentuk yang dominan di sana. Secara internasional, Bank Dunia juga
menetapkan DRB pada Januari 1995 dan edisi berikutnya dari Standard Bidding
Document, Procurement of Works dan melanjutkan penggunaannya sehingga
edisi Mei 2000 ketika mengadopsi DAB. DRB terus digunakan di bawah
International Chamber of Coomerce (ICC) Dispute Board Rules. DRB
mengeluarkan sutau rekomendsi, masing-masing pihak bisa menyatakan
ketidakpuasannya atas rekomendasi dengan menegluarkan suatu
pemebritahuan, kemudian par apihak boleh melanjutkan negosiasi atau salah
satu pihak dapat memeinta bantuan aritrase atau pergi ke pengadilan. Jika tidak
ada pihak yang menyatakan ketidakpasannya dala suatu jangka waktu tertentu.
Rekomendasi menjadi mengikat. Dikatakan bahawa rekomendasi DRB tidak
‘mendikte”para pihak dam oleh karenany, mungkin menjadi dasar bagi
penyelesaian secara kekeluargaan tanpa merusak hubungan baik antara para
pihak.

DAB DAB merupakan sautu keputusan dalam kaitanya ddengan sengketa, yang
mengikat oara pihak begitu dikeluarkan. Ini merupakan bentuk DB yang paling
umum digunakan dalam kontrak konstruksi internasiona. Para pihak harus
menaatinya tanpa kecuali meski salah satu pihak menyatakatak ketidakpusannya.
Tergantung pada ketentuan tentang DAB pada persayaratn kontrak, para pihak
dapat menegosiasikan masalah atau pihak yang berekabertan dpat segera
meminta arbitrase. Meskipun erkeberatan keputusan DAB tetap mengikat hingga
dan kecuali para pihak meneytujui sebaliknya atau siding arbitrase memutusan
bebreda. Beberapa orang mempertanyakan apakah DAB memadai untuk proyek
internasional dengan budaya bisnis multibangsa. Baik FIDIC CC 1999 maupun
FIDIC MDB 2006, mengatur mengenai DAB meskipun DAB disederhanakan
penyebutannya menjad DB dalam MDB Edition.

CDB CDB adalah Dewan unik yang diperkenalkan oleh ICC pada tahun 2004. Sesuai
dengan namanya, ini merupakan suatu proses gabunga antara DRB dan DAB.
Tujuan dari bantuk baru ini adalah untuk menggabungkan keuntungan dari kedua
jenis DB, yaitu DRB dan DAB; DRB menerbitkan suatu rekomendasi sedangkan
DAB menerbitkan suatu keputusan.
CDB normalnya beroperasi sebagai DRB. Akan tetapi salah satu pihak kadang-
kadang membutuhka suatu keputusan yng harus segera dipenuhi meskipun
mereka berniat aju ke arbitrase.

Modul 7
28
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
Kejadian apa saja yang membutuhkan keputusan segera?

a) Salah satu pihak bisa bangkrut kalau tidak segera menerima pebayaran

b) Salah satu pihak ingin agar pihak lain menghentikan penggunaan keahliannya secara
illegal atau tidak sesuai dengan perjanjian lisensi mengingat kerusakan sulit diubah lagi
jika penerapanya harus menunggu proses arbitrase yang panjang 440

c) Salah satu pihak mengalami ketakutan bahwa pihak lain kan segera menarik jaminan
pelaksaaan dalam jumlah besar, hingga kerugian yang amat besar dalam waktu dekat
dari pihak yang telah memberikan jaminan

Untuk memutuskan apakah akan menggunakan pendekatan DAB atau pendekatan DRB,
harus disikapi secara hati-hati.

Dibawah peraturan Dispute n Board Foundation (DRBF) suatu organisasi yang bersifat
voluntary, yang mengembangkan prinsio menyamakan persepsi dan interprestasi, sebelum
terjadinya sengketa DRBF berpusat di Seatlle, USA kebetulan saat ini penulis adalah
Country Representative utuk Indonesia.

Bilamana salah stu pihak meminta keputusan DAB dan pihak yang lain menolak, CDB
memiliki kuasa untuk menentukan apakah referensi harus dibuat dalam kedudukannya
sebagai DRB atau DAB. Peraturan tidak berbicara mengenai batas waktu bagi Dewan untuk
menentukan proses yang mana yang akan digunakan, apakah DRB atau DAB tetapi
diperkirakan pada permulaan prosedur sengketa resmi. DRBF mempunyai suatu
tatacara/procedure untuk penggunaan DB.

MEMBENTUK DAN MENGOPERASIKAN DB

a. WAKTU

Seringkali terjadi kasus dimana pembebasan tanah untuk Tapak konstruksi belum
selesai, jalan masuk ke Tapak belum diperoleh, Gambar-gambar untuk pelaksanaan
belum disampaikan kepada kontraktor secara tepat waktu , mobilisasi peralatan
konstruksi belum selesai menjelang tanggal yang ditetapkan dan seterusnuya. Jadi,
masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan sering terjadi sejak permulaan suatu proyek
yang berakibat buruk pada kemajuan pekerjaan dan mungkin terhadap keselurihan
proyek.. Tujuan dari sebuagh DB adalah untuk mencegah timbulnya sengektea resmi
dengan cara menetelesaikan ketidaksepakatan seblum berkembang menjadi sengketa
resmi, jika timbul. Oleh karena itu, jelaslah bahwa suatu DB harus dibentuk pada
permulaan suatu proyek untuk memenuhi tujuannya. Maka FIDIC 1999 Yellow Book dan
Silver Book mengatur suatu DB “ad-hoc”, yang dibentuk setelah munculkan suatu
sengketa. Dari sudut padanga kami, DB “ad-hoc” kehilangan nilai utama dari konsep
suatu DB.

Modul 7
29
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
b. KUALIFIKASI ANGGOTA DB

FIDIC CC, ICC Dispute Board Rules dan DRBF Practise and Procedure menyebutka
kualifikasi atau keengkapan yang hampir sama yang dibutuhkan oleh anggota DB.
Berikut ini adalah yang tercantum dalam DRBF (Dispute Resolution Board Foundation),
Practices dand Procedure Edisi 2007.

Ketika mencalonkan anggota dewa yang prospektif, para pihak harus mengenali atribut
yang diperlukan, yaitu:

a) Obyektivitas, netralitas, ketidakbepihakan dan tidak berat sebelah dan bebas dari
konflik kepentingan selam berlangsungnya kontrak
b) Dedikasi kepada tujuan dan prinsip-prinsip prose DB

Sebagai tambahan dari atribut di atas, para pihak harus mengevaluasi pengalaman dan
kualifikasi dari anggota yang prospektif untuk proyek tertentu, yang berkaitan dengan:

a) Interprestasi dokumen kontrak


b) Penyelesaian sengketa konstruksi
c) Jenis konstruksi yang pernah ditangani
d) Metode konstruksi khusus yang digunakan

Bidang pekerjaan yang rawan sengketa

Setiap anggota DB menjamin bahwa ia memenuhi ketentuan selama berlangsungnya


kontrak dan akan memberitahukan setiap perubahan yang mungkin timbul

c. PEMILIHAN ANGGOTA DB

Menurut FIDIC Conditions of Contact NDB Harmonised Edition 2006 Pink Book, setiap
pihak harus menominasikan seorang anggota untuk disetujui oleh pihak lainnya. Para
pihak harus mengkonsultasikan kedua anggota yang dipilih dan harus eneytujui anggota
yang ketiga yang akan menjadi Ketua. Sebagai tambahan terhadap atribut yang
disebutkan di atas. Ketua harus memeilik kemampuan untuk mengadakan rapat yanga
efektif dalam situasi yang sulit.

Dimana data dijumpai anggota DB yang qualified? Jika diminta, DRBF, saat ini Country
Representativeuntuk Indonesia adalah Sarwono Hardjomudjadi, dapat menominasikan
atau menunjuk anggota DB.

d. PEMBIAYAAN DB

Biaya untuk proses DB terdiri atas dua bagian : remunerasi dan pengeluaransewajarnya
(reasonable expenses) dari anggota DB dan biaya ini harus dibagi rat di antara para
pihak. Remunerasi terdir atas Monthly Retainer (gaji bulanan dan Daily Fee (biaya
harian).

Modul 7
30
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
Berdasarkan persayaratan umum perjanjian DB dar FIDIC Red Book, Retaner Fee per
bulan kalender harus dianggap sebagai pembayaran penuh atas:

a) Kesiapan berdasarkan pemebritahuan untuk pelaksanaan kunjungan lapangan dan


sidang-sidang
b) Familiar dengan seluruh perkembangan proyek dan mengamankan/menjaga arsip
terkait.
c) Seluruh pengeluaran untuk urusan kantor dan overhead termasuk jasa sekertaris,
fotocopy dan alat-alat kantor yang dibutuhkan sesuai dengan tugas.

Daily Fee dianggap sebagai pembayaran penuh atas:

a) Setiap hari atau bagian dari hari hingga maksimum dua hari waktu perjalanan untuk
setiap arah untuk perjalanan dari tempat tinggal anggota dan lapangan atau lokasi
lain dari rapat-rapat dengan anggota yang lain:
b) Setiap hari kerja pada saat kunjungan lapangan, sidang-sidang atau penyiapan
keputusan
c) Setiap hari yang dihabiskan untik membaca gugatan dalam rangka persiapan sidang

Kontraktor juga harus menyediakan transportasi lokal dari dank e lapangan dan jika lokasi
lapangan terpencil, kontraktor akan meneydiakan akomodasi dan makan bagi DB yang
biayanya dibagi rata dengan oengguna jasa. Penggantian biaya dari pengguna jasa
diselesaikan dengan memasukkan dalam tagihan bulanan berikutnya atau jika terdapat
tahapan pembayaran dengan tagihan terpisah.

Bagian lain adalah biaya yang dikelaurkan oleh masing-masing pihak. Kontraktor harus
menegluarkan biaya untuk perjalanan dan akomodasi untuk staf perusahaan yang ikut serta
dalam kunjungan kapangan. Jika harus melakukan rujukan dan mengadakan sidang,
kontraktor harus membayar seluruh biaya untuk penyiapan position paper, baiaya untuk
mendapatkan pendapat ahli, jika perlu biaya perajlaanan dan akomodasi staf peruahaan dan
para ahli yang ikut serta atau menghadiri sidang atau rapat di lapangan (biasanya,
penasehat hukum tidak ikut serta dalam sidang DB). Pengguna jasa harus membayar biaya
serupa untuk keikutsertaannya dalam proses, termasuk Enjinir yang secara tipikal memiliki
keterlibatan yang besar termasuk membuat konsep gugatan tertulis dari pengguna jasa
mendapatkan pendapat ahli dan membantu dalam setiap siang.

Seringkali, meskipun kontrak meminta adanya DB para pihak memandang bahawa DB itu
sangat mahal dan karena tidak dan belum terjadi ketidaksepakatan permulaan kontrak (para
pihak seoah-olahbaru saja berbulan amdu) oleh karena itu mereka menunda pemebtukkan
DB dan mengatakan “kami akan membentuk DB apabila kami menemui sengketa yangtidak
dapat kami selesaikan melalui diskusi secara kekeluargaan” atau mereka akan membentuk
DB tetapi meminta DB melakukan keunjungan lapangan setahun sekali dan bukan tiga bulan
sekali, sehingga mereka dapat menghemat biaya. Sikap ini mencerinkan kurangnya
pengalaman penggunaan DB dan kurangnya pengertian bahwa sebuah DB yang dibentuk
dan dipelihara secara baik merupakan penghematan paling berharga yang bisa mereka
peroleh.

Modul 7
31
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
Marilah kita melihat apa yang terjadi apabila sebuah DB dibentuk sejak awal dan beroperasi
dengan baik. DB akan terbiasa dengan kontrak sejak awal dan dari kunjungan lapangan
ditambah dengan membaca laporan tertulis yang diterima di antara kunjunga lapangan , DB
akan terbiasa dengan kemajuan pekerjaa. Dari Pengalaman proyek serupa di temaptalian,
DB akan mewaspadai hal-hal yang beresiko dan bermasalah. DB memiliki pengalaman
untuk membantu para pihak untuk menghindari konflik dan ketika ketidaksepakatan muncul,
membimbing para pihak sehingga penyelesaian secara kekeluargaan dapat tercapai tanpa
meningkatkan ketidaksepakatan menkjadi sengketa resmi. DB yang paling berhasil adalah
yang tidak pernah berurusan dengan tuntutan resmi secara tertulis dan mengadakan siding.
Malahan hanya dnega menggnakan tulisan yang sudah ada dari orang-orany yang
emnangani kotrak dari hari ke ahri dan diskusi secaa informasi, mereka dapat membimbing
para pihak kepada penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Secara tipikal
hanya staf manajemen lapangan yang terlibat dengan DB dan tidak diperlukan keterlibatan
manajemen senior dari para pihak untuk mencapai penyelesaian atas ketidaksepakatan di
lapangan.

Jika untuk beberapa alasan, suatu ketidaksepakatan khusus tidak terhindarkan menjadi
sebuah sengketa resmi, DB akan diputuskan untuk mengambil keputusan secepatnya dan
akan mengontrol pembuatan dokumen seminimal mungkin, mengadakan sidang sesingkat
mungkin untuk memberikan pendapat seadil mungkin kepada para pihak, dan kemudian
akan enyiapkan keputusan dala suatu batas waktu tertantu dimana mereka terikat kontrak
kepada kedua belah pihak. Mereka akan mencarai pendalapt aklamasi dan meski tidak
sepenuhnya diterima oleh kedua belah pihak, serigkali sudah membentuk dasar nagi diskusi
dan negosiasi lebih lanjut dan mengarah pada suatu penyelesaian tana salah satu pihak
memulai arbitrse. Secara tipikal dalam kontrak-kontrak dengan DB seluruh
ketidaksepakatan yang muncul selama pelaksanaan akan diselesaiakan menjelang
pelaksanaan selesai. Jelaslah bahwa biaya sebuah DB lebih hemat dibanding dengan
pertempuran tradisonal pada akhir kontrak dengan dokumen kontrak yang tebal (dan jug
adokumen jawaban atas klaim) yang berlarut-larut selama berbulan-bulan setelah
pelaksanaan selesai.

Penggunaan DB yang menggunakan seorang ahli dalam bidang konstruksi yang mempunyai
pemahaman keilmuan hukum, masih jarang dan belu dikenal sebara luas di Indoensia.
Suatu DB terdiri atas tiga (atau satu tergantung pada ukuran dan kompleksitas proyek)
anggota yang berpengalaman dan memiliki pegetahuan tentang jenis konstruksi,
interprestasi dokumen kontrak, tata laksana DB dan benar-benar independendan tidak
meimihak . Suatu DB dibentuk pada permulaan suatdan kepada anggota DB diberikan
dokumen proyek kontrak seperti persyaratan kontrak, gambar, spesifikasi dan program kerja
sehingga para anggota menjadi terbiasa dengan proyek. DB mengunjungi lapangan secara
teratur, katakanlah tiga bulanan utnuk bertemu dengan orang lapangan dan mengamati
kemajuan dan permaslaahn proyek, jika ada. Diantara kunjungan-kunjungan lapangan,
Engineer atau para pihak mengirimkan laporan bulanan kemajuan proyek, pemberitahuan
klaim dan korespondensi penting lainnya kepada anggota DB agar anggota tetap
terinformasikan.

DB merupakan bagian dari tim pelaksana proyek yang membantu para pihak menghindari
sengketa dan menyelesaikan sengketa melalui negosiasi yang bersifat kekeluargaan, karena
DB sudah mengikuti proses sejak awal kontrak ditandatangani kontrak. Jika para pihak

Modul 7
32
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
gagal menyelesaikan sengketa, sengketa dirujuk ke DB untuk dimintakan penetapannya.
Karena anggota DB sudah terbiasa dengan dokumen kontrak dan pelaksanaan di lapangan
serta kemajuan proyek, tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk mempertimbangkan suatu
sengketa. Meskipun jika penetapan ditolak oleh satu atau kedua pihak, ini akan menjadi
dasar bagi negosiasi selanjutnya dalam suasana kekeluargaan. Jadi, manfaat dari DB
adalah pencegahan terjadinya sengketa dan/atau penyelesaian sengketa secara dini. DB di
Indonesia sebenarnya sudah mempunyai dasar hukum, ini dapat dilihat pada: Pasal 1851
KUH Perdata dan pasal 1858 KUH Perdata.

Contoh Kasus :

Perubahan desain konstruksi bangunan yang diajukan oleh PT Petrokimia Gresik selaku
penyedia jasa terhadap PT Hutama Karya (Persero) pada saat pelaksanaan kontrak
konstruksi proyek Engineering Procurement Construction (EPC) pengembangan pelabuhan.
Perubahan desain konstruksi tersebut dilakukan karena desain yang dituangkan dalam
pembangunan secara riil tidak sesuai dengan kehendak pihak PT Petrokimia Gresik.
Perubahan desain konstruksi bangunan tersebut mengakibatkan PT Hutama Karya
mengajukan klaim penambahan biaya dan waktu kepada PT Petrokimia Gresik. Akan tetapi
PT Petrokimia Gresik menolak klaim tersebut karena perubahan desain konstruksi bangunan
tersebut adalah resiko PT Hutama Karya yang tidak seharusnya mendapatkan tambahan
biaya dan waktu.

Petrokimia Gresik adalah sebuah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
bergerak dalam bidang produksi pupuk mengembangkan saranaprasarana d pelabuhan
Tanjung Perak, Surabaya yang digunakan sebagai penunjang kegiatan Bongkar muat.
Dalam pembangunan proyek pengembangan sarana-prasarana ini dikerjakan oleh industri
jasa konstruksi PT Hutama Karya (Persero). PT Hutama karya selaku penyedia jasa
melaksanakan pembangunan proyek ini menggunakan sistem kontrak design and build
(penggabungan perencanaan dan pembangunan), engineringprocure constract (EPC) atau
model pengintegrasian fungsi yang dimiliki penyedia jasa dalam bentuk
perencanaan,pengadaan, dan pembangunan.1 Kontrak EPC dibuat antara kedua belah
pihak pada tanggal 7 November 2011 dengan Surat Perjanjian
Nomor:1575/TU.04.04/28/SP/2011 dengan nama pekerjaan Proyek EPC

Pengembangan Pelabuhan PT. Petrokimia Gresik. Pada pelaksanaan kontrak konstruksi


tersebut PT Petrokimia Gresik selaku pengguna jasa melakukan permintaan perubahan
desain konstruksi bangunan kepada penyedia jasa, hal terebut dilakukan karena beberapa
pekerjaan tidak sesuai dengan yang diinginkannya. Dalam hal tersebut pada pelaksaan
proses konstruksi penyedia jasa mengajukan klaim penambahan biaya dan waktu atas
perubahan desain konstruksi, akan tetapi klaim yang diajukannya tersebut ditolak oleh
pengguna jasa, karena perubahan desain konstruksi tersebut adalah kewajiban yang harus
dilakukan oleh penyedia jasa. PT Hutama Karya (Persero) tidak menyepakati atau tidak
menyetujui bahwa perubahan tersebut adalah resiko atau tanggung jawab pengguna jasa
yang tidak mendapatkan penambahan biaya dan waktu karena kontrak konstruksi yang
dibuat oleh kedua belah pihak adalah kontrak konstruksi dengan bentuk imbalan Lump Sum
yang memiliki pengertian kontrak jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam jangka
waktu tertentu dengan jumlah harga yang pasti dan tetap serta semua resiko yang mungkin

Modul 7
33
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan yang sepenuhnya ditanggung oleh penyedia
jasa sepanjang gambar dan spesifikasi tidak berubah.2 Mengacu pula pada pasal 8 angka
8.1 paragraf kedua Surat kontrak Nomor 1575/TU.04.04/28/SP/2011 tanggal 7 November
2011 yang berbunyi “Jika perubahan-perubahan menyebabkan penambahan atau
pengurangan yang berarti dalam jumlah atau secara berarti mengubah sifat pekerjaan atau
proyek, suatu penyesuaian yang pantas yang harus dibayar kepada kontraktor dan
penyesuaian apapun atas jadwal dan jaminan-jaminan yang diperlukan sebagai akibat hal
tersebut, jika ada, akan dibuat dalam perjanjian”.

Berdasarkan kasus perdata tersebut di atas,

Buatlah rencana penanganan penyelesaian sengketa para pihak di atas sesuai dengan
tahapan yang diatur dalam Undang-Undang Nomer 2 tahun 2017 !

Modul 7
34
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
RANGKUMAN

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :

1. Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya
keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan
penafsiran dokumen kontrak, ketidak mampuan baik teknis maupun manajerial dari
para pihak. Selain itu sengketa konstruksi dapat pula terjadi apabila pengguna jasa
ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik dan mungkin tidak
memiliki dukungan dana yang cukup.

2. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih disukai, dalam Undang-Undang


Arbitrase Baru 1999, dinyatakan antara lain bahwa dibandingkan dengan berperkara
biasa memalui pengadilan negeri, arbitrase lebih diutamakan oleh pelaku bisnis
internasional. Salah satu sebab adalah karena “lebih cepat, murah dan sederhana”.

EVALUASI 1
Yang termasuk dalam 4 jenis sengketa adalah:
a. Kontrak
b. Biaya
c. Properti
d. Janji
Berikut ini adalah jenis sengketa waktu, kecuali:
a. Perubahan waktu kontrak
b. Perubahan jadwal kegiatan
c. Perubahan jadwal pembayaran
d. Perubahan nilai kontrak
Yang tidak termasuk dalam jenis sengketa lingkup pekerjaan yaitu:
a. Perubahan jenis pekerjaan
b. Perubahan volume
c. Perubahan mutu/kualitas
d. Perubahan nilai kontrak
Berikut ini yang tidak termasuk dalam penyebab sengketa yaitu
a. Penyebab sengketa berkaitan dengan perizinan
b. Penyebab sengketa berkaitan dengan bangunan
c. Penyebab sengketa berkaitan dengan bank
d. Penyebab sengketa berkaitan dengan asuransi
Penyebab sengketa berkaitan dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB):
a. RAB tidak jelas
b. RAB tidak lengkap

Modul 7
35
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
c. Laporan
d. Pengukuran hasil pekerjaan

UMPAN BALIK

Cocokan jawaban anda dengan Kunci Jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar,
kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda
terhadap materi Modul 7.
Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.
Tes formatif:        
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90 – 100 %      = baik sekali
80 – 89 %        = baik
70 – 79 %        = cukup
< 70 %             = kurang

TINDAK LANJUT

Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke
materi selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus
mengulangi materi modul 5, terutama bagian yang belum anda kuasai.

Modul 7
36
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
MATERI
FASILITASI PENYELESAIAN

2 SENGKETA KONTRAK
KONSTRUKSI MELALUI JALUR
LITIGASI
MATERI 2 FASILITASI PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK KONSTRUKSI
MELALUI JALUR LITIGASI

Indikator Keberhasilan

Setelah mengikuti diklat ini peserta diklat memahami tentang kelebihan dan
kekurangan dari litiagasi dalam Penyelesaian Segketa dalam penyelesaian
sengketa konstruksi

2.1. PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK KONSTRUKSI MELALUI


PENGADILAN

Penyelesaian perselisihan melalui pengadilan biasanya merupakan pilihan terakhir dari para
pihak karena tidak tercapainya kata sepakat atas sengketa yang terjadi. Pada umumnya,
sebelum mengajukan tuntutan atau gugatan ke pengadilan para pihak akan memperingatkan
pihak lainnnya melalui surat tertulis atau yang kita kenal dengan SOMASI untuk
memperingatkan pihak lainnya agar memenuhi suatu prestasi, somasi biasanya dilakukan
sebanyak tiga kali dengan jangka waktu tertentu dan apabila pihak yang diberi peringatan
tidak melakukan apa yang diminta maka tuntutan atau gugatan dapat diajukan kepada
pengadilan yang berwenang. Sebelum melakukan suatu tuntutan atau gugatan melalui
pengadilan atas perselisihan konstruksi yang terjadi ada baiknya dimulai dengan melakukan
analisa secara mendalam mengenai prosedur hukum acara yang ditempuh agar tuntutan
atau gugatan yang akan kita lakukan tidak menjadi sia sia.

Tahapan-tahapan yang harus dilakukan adalah tahapan persiapan, proses persidangan dan
proses eksekusi putusan.

2.1.1. TAHAPAN PERSIDANGAN

Berikut ini adalah tahapan persiapan pra gugatan antara lain:

a. Tentukan pengadilan mana yang akan dituju untuk mendaftarkan gugatan apabila dalam
kontrak telah dipilih secara tegas “ misalnya dalam kontrak terdapat klausula para pihak
memilih domisili hukum yang tetap atau tidak berubah pada pengadilan negeri Jakarta
selatan dst….” Maka otomatis pengajuan gugatan itu harus dilakukan pada pengadilan
negeri Jakarta selatan dalam dunia hukum hal ini dikenal dengan sebutan kompetensi

Modul 7
37
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
absolut serta tentukan pula mengenai pengadilan daerah mana yang akan dituju untuk
mengadili gugatan dimaksud.

b. Persiapkan mengenai syarat formal maupun materiil gugatan

c. Tentukan posita gugatan atau dalil yang mendasari dilakukannnya gugatan, mendalilkan


sesuatu tuntutan dalam gugatan merupakan hal yang sangat penting dengan didukung
oleh bukti-bukti otentik baik bukti tertulis, bukti saksi maupun bukti lainnya dan didukung
pula oleh dalil hukum yang mengatur baik itu hukum yang mengatur secara umum
maupun hukum yang mengatur secara khusus antara para pihak yang bersengketa yang
diatur dalam kontrak.

d. Tentukan petitum gugatan atau tuntutan apa yang akan kita tuntut dalam melakukan
gugatan tuntutan harus berdasarkan dalil yang telah kita dalilkan karena biasanya majelis
hakim pada pengadilan negeri tidak akan mengabulkan tuntutan melebihi dari apa yang
dimohonkan atau dituntut.

Setelah mempersiapkan hal tersebut diatas kita harus segera menyiapkan surat gugatan
yang dapat disimpulkan secara sederhana oleh penulis adalah satu dari permohonan yang
ditujukan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang, isinya memuat tanggal surat
gugatan, nama dan alamat penggugat dan tergugat, dalil yang mendasari gugatan, hal hal
yang dimintakan oleh penggugat untuk dikabulkan pengadilan, dimaterai secukupnya dan
ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya.

Dalam mempersiapkan suatu tuntutan atau gugatan melalui pengadilan negeri untuk perkara
tuntutan atas pembayaran sejumlah uang ada baiknya dalam surat gugatan kita
menyampaikan permohonan sita jaminan terhadap harta benda dari tergugat untuk
menjamin gugatan yang kita ajukan tidak menjadi sia sia dan hanya menang di atas kertas
dan apabila permohonan sita jaminan yang kita ajukan dikabulkan maka akan keluar sutu
penetapan tertulis dari pengadilan negeri; Adakalanya sita jaminan ini merupakan hal yang
dapat menjadi daya tekan yang cukup bagus untuk memaksa pihak tergugat melaksanakan
kewajibannya karena bisaanya sita jaminan ini memiliki efek yang panjang atau serius bagi
tergugat;
Jenis sengketa adalah perubahan kontrak yang diminta (klaim) secara tertulis, yang diajukan
oleh salah satu pihak pada pihak lain sebagai kompensasi atas “kerugian” atau
ketidaksesuaian implementasi suatu kontrak konstruksi.

2.1.2. PROSES PERSIDANGAN

Selanjutnya setelah surat gugatan dibuat dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan
negeri yang berwenang dan telah ditentukan majelis hakim yang akan mengadili maka acara
selanjutnya adalah pemanggilan para pihak oleh majelis hakim yang akan mengadili
sengketa dimaksud dan apabila para pihak menghadiri panggilan dimaksud proses acara
sidang pertama menjadi suatu kewajiban bagi majelis hakim untuk mendamaikan para pihak
dan diberi waktu untuk saling melakukan proses perdamaian dengan ditunjuk hakim mediasi
apabila terjadi perdamaian maka persidangan dihentikan dan segera dibuat akta perdamaian
atau banding; Apabila perdamaian dimaksud tidak tercapai maka acara selanjutnya adalah

Modul 7
38
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
masuk dalam proses persidangan sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu proses jawab
menjawab, pembuktian, pengajuan kesimpulan oleh masing masing pihak untuk selanjutnya
diambil sebuah keputusan oleh majelis hakim yang mengadili perkara dimaksud proses
diatas adalah proses normal dimana para pihak menghadiri persidangan dimaksud namun
apabila salah satu pihak tidak menghadiri persidangan maka tetap dapat diambil keputusan
oleh majelis hakim dengan jenis putusan Verstek atau putusan yang diambil akibat dari tidak
hadirnya salah satu pihak dan upaya hukum atas putusan verstek adalah upaya
hukum verzet dan upaya hukum luar biasanya adalah Derden Verzet.

Setelah putusan dibacakan apabila salah satu pihak tidak menerima hasil keputusan
dimaksud dapat melakukan upaya hukum yaitu upaya hukum banding dalam jangka waktu
14 ( empat belas hari sejak keputusan tingkat pertama dibacakan atau diterima oleh para
pihak secara resmi ) dan kasasi dalam jangka waktu 14 ( empat belas hari setelah putusan
pada tingkat pengadilan tinggi diterima oleh para pihak secara resmi ) serta upaya hukum
luar bisaa yaitu peninjauan kembali apabila ditemukan bukti baru setelah upaya kasasi
ditempuh.

Apabila salah satu pihak yang dikalahkan dalam suatu sengketa di pengadilan negeri
menerima putusan dimaksud dengan tidak melakukan upaya hukum apapun maka putusan
dimaksud telah memiliki kekuatan hukum tetap atau INKRACHT dan acara selanjutnya
berlanjut pada prosedur Eksekusi setelah putusan memiliki kekuatan hukum yang tetap.

2.1.3. PROSES EKSEKUSI PUTUSAN

Eksekusi adalah pelaksanaan secara resmi suatu putusan pengadilan dibawah pimpinan
ketua pengadilan negeri, bahwa eksekusi itu haruslah diperintahkan secara resmi oleh ketua
pengadilan negeri yang berwenang, sebagai pelaksanaan atas suatu putusan pengadilan
yang berkekuatan tetap atau atas putusan yang dinyatakan dapat dijalankan serta merta
walaupun belum ada putusan yang berkekuatan hukum yang tetap.

Eksekusi tidak sama dengan tindakan main hakim sendiri, seperti penarikan barang barang
yang dijual dengan sewa beli oleh kreditur kepada debiturnya yang kemudian ditarik dengan
berbagai cara seperti ancaman kekerasan, menakut nakuti atau merampas barang itu dari
debiturnya. Cara ini bisaa juga dilakukan dengan menggunakan Debt Collector. Perbuatan
demikian bukanlah eksekusi, tetapi tindakan metha legal dan dapat dikategorikan melawan
hukum. Eksekusi diatur dalam pasal 195 HIR/206 R.Bg. dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa eksekusi adalah menjalankan keputusan pengadilan atas perintah dan dengan
dipimpin oleh ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu,
menurut cara yang diatur oleh hukum.

Tahapan selanjutnya adalah tahapan awal proses eksekusi yaitu teguran atau AANMANING
yang dilakukan oleh ketua pengadilan negeri secara tertulis pada tereksekusi atau pihak
yang dinyatakan kalah dengan memberikan batas waktu pemenuhan keputusan yang
disebut masa peringatan dan maa peringatan tidak boleh lebih dari delapan hari
sebagaimana yang ditentukan dalam HIR pasal 197/207 RBG. Apabila tereksekusi
memenuhi apa yang disampaikan dalam peringatan oleh ketua pengadilan maka proses
eksekusi maka proses eksekusi berhenti disini sehingga timbullah pemenuhan eksekusi

Modul 7
39
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
secara sukarela namun apabila tereksekusi tidak memenuhi peringatan pelaksanaan
eksekusi maka dilanjutkan dengan proses SITA EKSEKUSI atau EXECUTRIALE BESLAG.

Menurut Yahya Harahap dalam bukunya “Ruang lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang
Perdata” edisi kedua penerbit Sinar grafika Hal 68 menyebutkan bahwa makna sita eksekusi
dapat dijelaskan dengan cara menghubungkan ketentuan pasal 197 ayat (1) HIR dengan
pasal 200 ayat (1) HIR atau pasal 208 ayat (1) RBG dengan pasal 215 ayat (1) RBG makna
sita eksekusi dapat dirangkum sebagai berikut “ sita eksekusi adalah penyitaan harta
kekayaan tergugat (pihak yang kalah) setelah dilampaui masa peringatan”

“ Sita eksekusi dimaksudkan sebagai penjamin jumlah uang yang mesti dibayarkan kepada
pihak penggugat dan cara untuk melunasi pembayaran jumlah uang tersebut dengan jalan
menjual lelang harta kekayaan tergugat yang telah disita “

Selanjutnya ada baiknya setelah kita mengetahui makna dan pengertian eksekusi atas
putusan yang dapat dieksekusi kami sampaikan pula hal hal yang menghambat proses
eksekusi sebagai berikut :

Dalam praktek dilapangan dan sebagaimana pengalaman penyusun makalah ini bahwa
dalam pelaksanaan eksekusi ternyata banyak sekali rintangan rintangan yang dapat
menghambat pelaksanaan eksekusi, mulai dari adanya Derden Verzet atau perlawanan dari
pihak ketiga yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara, bantahan atau bahkan
peninjauan kembali serta gugatan baru yang kemudian dijadikan alas an untuk menunda
pelaksanaan eksekusi.

Disamping itu sering pula ditemui bahwa eksekusi itu dihambat oleh adanya intervensi dari
lembaga peradilan itu sendiri misalnya adanya surat perintah penghentian dari ketua
pengadilan negeri, ketua pengadilan tinggi atau ketua/wakil ketua Mahkama Agung. Bahkan
di lapangan sering dijumpai pelaksanaan eksekusi yang dihalangi atau mendpat perlawanan
dengan kekerasan dari pihak tereksekusi atau preman preman sewaannya (megha legal
tactic).

Penyelesaian sengketa melalui badan peradilan (Pengadilan) memiliki kelebihan dan


kelemahannya.

Kelebihan Pengadilan

(1) Mutlak terikat pada hukum acara yang berlaku (HIR, Rv)
(2) Yang berlaku mutlak adalah system hukum dari Negara tempat sengketa diperiksa
(3) Majelis hakim pengadilan ditentukan oleh administrasi pengadilan
(4) Putusan pengadilan ditentukan administrasi pengadilan
(5) Terbuka untuk umum (kecuali kasus cerai)
(6) Pola pertimbangan pengadilan dan putusan hakim adalah win loose

Modul 7
40
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
Kelemahan pengadilan

(1) Biaya perkara relative murah dan telah ditentukan oleh Mahkamah Agung RI
(2) Tidak adanya hambatan berarti dalam pembentukan majelis hakim yang memeriksa
perkara
(3) Memiliki juru sita dan atau sarana pelaksanaan prosedur hukum acara
(4) Pelaksanaan putusan dapat dipaksakan secara efektif terhadap pihak yang kalah dalam
perkara
(5) Eksekusi putusan yang telah memiliki kekuatan hukum yang pasti dapat dilaksanakan
meskipun kemudian ada bantahan atau verzet

Penyelesaian perselisihan melalui pengadilan biasanya merupakan


pilihan terakhir dari para pihak karena tidak tercapainya kata sepakat
atas sengketa yang terjadi

Karena berbagai kelemahan yang melekat pada badan pengadilan dalam menyelesaikan
sengketa, baik kelemahan yang dapat diperbaiki ataupun tidak, maka banyak kalangan yang
ingin mencari cara lain atau institusi lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan-badan
pengadilan. Dan model penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang sangat populer
adalah apa yang disebut dengan “arbitrase” itu. Akan tetapi, institusi arbitrase bukan satu-
satunya jalan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadian. Masih banyak alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sungguhpun tidak sepopuler lembaga arbitrase.

Penyelesaian sengketa alternatif mempunyai kadar keterikatan kepada aturan main yang
bervariasi, dan yang paling kaku dalam menjalankan aturan main sampai kepada yang
paling relaks. Faktor-faktor penting yang berkaitan dengan pelaksanaan kerja penyelesai
sengketa alternatif juga mempunyai kadar yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut:
a. Apakah para pihak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak sendiri yang tampil.
b. Apakah partisipasi dalam penyelesaian sengketa alternatif tertentu wajib dilakukan oleh
para pihak atau hanya bersifat sukarela.
c. Apakah putusan dibuat oleh para pihak sendiri atau oleh pihak ketiga.
d. Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal.
e. Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau ada kriteria lain.
f. Apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak. (Kanowitz, Leo, 1985 6).
g. Tidak semua model penyelesaian sengketa alternatif baik untuk para pihak yang
bersengketa. Suatu penyelesaian sengketa alternatif yang baik setidak-tidaknya haruslah
memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut haruslah efisien dan segi waktu, haruslah
hemat biaya, haruslah dapat diakses oleh para pihak. (Misalnya tempatnya jangan terlalu
jauh), haruslah melindungi hak-hak dan para pihak yang bersengketa, haruslah dapat
menghasilkan putusan yang adil dan jujur, Badan atau orang yang menyelesaikan
sengketa haruslah terpercaya di mata masyarakat dan di mata para pihak yang
bersengkata, putusannya haruslah final dan mengikat, putusannya haruslah dapat

Modul 7
41
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
bahkan mudah dieksekusi, putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dan
komuniti di mana penyelesaian sengketa alternative tersebut terdapat. (Kanowitz,
Leo, 1985:14). Sebagaimana diketahui bahwa masing-masing alternatif penyelesaian
sengketa yang ada nilai plus minusnya.

 RANGKUMAN

1. Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan


putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan
pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan
arbitrase itu melanggar ketertiban umum.

2. Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan dalam
pelaksanaan suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk
arbitrase asing dalam hal permohonan eksekuator ke pengadilan negeri.

3. Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaannya


bisa berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan
dari pengadilan negeri.

AIRAN
EVALUASI 2
1. Apa yang menyebabkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan memerlukan
biaya yang besar (mahal)?

2. Apa yang menyebabkan penyelesaian sengketa dengan pengadilan lama?

3. Kapan Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat dilakukan?

4. Penyelesaian Sengketa melalui pengadilan dipimpin oleh hakim, siapa yang


mempimpin penyelesaian sengketa melalui Arbitrase

5. Dari kedua penyelesaian tersebut mana yang hasinya win-win solution!

UMPAN BALIK

Cocokan jawaban anda dengan Kunci Jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar,
kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda
terhadap materi Modul 7.
Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.
Tes formatif:        
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90 – 100 %      = baik sekali
80 – 89 %        = baik

Modul 7
42
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
70 – 79 %        = cukup
< 70 %             = kurang

TINDAK LANJUT

Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke
materi selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus
mengulangi materi modul 5, terutama bagian yang belum anda kuasai.

Modul 7
43
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
PENUTUP
PENUTUP
Praktek hukum penyelesaian sengketa konstruksi yang dikenal selama ini adalah melalui
jalur Non Litigasi dan Litigasi. Melalui jalu non litigasi dikenal istilah Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yaitu melalui tahapan Mediasi, Konsiliasi, Negoisasi dan Arbitrase
seperti diatur dalam Undang-Undang Nomer 9 Tahun 1999. Sedangkan Penyelesaian
Sengketa Konstruksi melalui jalur litigasi adalah menggunakan tata beracara secara Hukum
Acara Perdata.

Namun dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2017 Tentang Jasa


Konstruksi, Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi melalui jalur litigasi tidak lagi
disebutkan tegas. Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2017 lebih menekankan pola
penyelesaian sengketa konstruksi adalah melalui Alternatif penyelesaian sengketa, yaitu
melalui tahapan musyawarah mufakat, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase. Selain melalui APS
Undang-undang Jasa Konstruksi juga mengatur tentang Dewan Sengketa sebagai cara
untuk menyelesaiakan sengketa konstruksi. Pemberlakuan aturan tersebut dikarenakan
proses pengadilan memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang besar sehingga
dikawatirkan akan menghambat penyelesaian pekerjaan konstruksi itu.

Modul 7
44
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
KUNCI JAWABAN
KUNCI JAWABAN
KUNCI JAWABAN EVALUASI 1

KUNCI JAWABAN EVALUASI 2

1. Apa yang menyebabkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan memerlukan


biaya yang besar (mahal)?

Penyelesaian melalui pengadilan membutuhkan waktu yang lama, karena memiliki 3


tahapan sehingga menghambat pelaksanaan proyek yang menyebabkan penambahan
biaya

2. Apa yang menyebabkan penyelesaian sengketa dengan pengadilan lama?

Harus melalui 3 tahapan dengan waktu tenggang antar tiap tahapan

3. Kapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan baru dapat dilakukan?

jika Arbitrase dinyatakan gagal/tidak berhasil

4. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan di pimpin oleh hakim, siapa yang


memimpin penyelesaian sengketa melalui Arbitrase?

Arbitrator

5. Dari kedua penyelesaian tersebut mana yang hasilnya win-win solution!

Arbitrase

Modul 7
45
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Yasin, Nazarkhan. 2004. Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa
Konstruksi.PT. Gramedia Pustaka Utama.
Prodjodikoro, Wirjono. 1984.Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung. Sumur Bandung.
Situmorang, Victor m. .1993.Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara
Perdata.Jakarta. PT Rineka Cipta
Syahrani, Riduan. 1988. Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum.Jakarta.Pustaka Kartini
Yasin,Nazarkhan.2006.Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia.PT.Gramedia Pustaka
Utama

Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Perdata
Undang-Undang Nomor. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Kontruksi.
Peraturan Pemerintah Nomor. 29 Tahun 2000 Tentang Peyelenggaraan Jasa Kontruksi

Website Referensi
http:id.wikipedia.org/wiki/mediasi di akses pada tanggal 16 Oktober 2012
http:://fourseasonnews.blogspot.com/2012/04/pengertian-konsiliasi.html diakses pada
tanggal 17 Oktober 2012 Cipta.1993.hlm 85
http://jurnal.uajy.ac.id/download/8/1/Alternatif%Penyelesaian%20Sengketa%20Jasa
%20Konstruksi.pcMirip, diakses pada tanggal 16 Oktober 2012, Pukul 13:15 WITA

Modul 7
46
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi
GLOSARI
GLOSARI
DRB : Dispute Review Board

DAB : Dispute Adjudication Board

CDB : Combined Dispute Board

Petitum : Tuntutan

Inkracht : Berkekuatan Hukum Tetap

Aanmaning Peringatan terhadap tergugat, agar melaksanakan putusan


: pengadilan dalam perkara perdata yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap, dengan sukarela atau kemauan
sendiri, dalam tempo selama-lamanya 8 hari

Debt Collector : Penagih Hutang

MARI : Mahkamah Agung Republik Indonesia

Modul 7
47
Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi

Anda mungkin juga menyukai