SURAKARTA
Disusun guna memenuhi Mata Kuliah Praktik Klinik Keperawatan Medikal Bedah II
Disusun oleh :
2021
A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Osteomyelitis adalah penyakit infeksi yang mengenai tulang. Osteomyelitis
berdasarkan temuan histopatologinya dapat dikategorikan menjadi akut dan
kronis. Osteomyelitis akut sering diasosiasikan dengan perubahan inflamasi pada
tulang yang disebabkan oleh bakteri patogen dengan gejala terjadi dalam waktu 2
minggu setelah infeksi. Pada osteomyelitis kronis, nekrosis tulang dapat terjadi
hingga 6 minggu pasca infeksi (Schmitt. SK, 2017).
2. Etiologi
Osteomielitis disebabkan karena adanya infeksi yang disebabkan oleh
penyebaran hematogen (melalui darah) biasanya terjadi di tempat dimana
terdapatt trauma atau dimana terdapat resistensi rendah, kemungkinan akibat
trauma subklinis (tak jelas). Selain itu dapat juga berhubungan dengan penyebaran
infeksi jaringan lunak, atau kontaminasi langsung tulang. Infeksi ini dapat timbul
akut atau kronik. Adapun faktor penyebab adalah (Smeltzer & Bare 2010 dalam
Nurarif 2015):
a) Bakteri
b) Menurut Joyce & Hawks (2005), penyebab osteomielitis adalah
Staphylococcus aureus (70%-80%), selain itu juga bisa disebabkan oleh
Escherichia coli, Pseudomonas, Klebsiella, Salmonella, dan Proteus.
c) Virus, jamur dan mikroorganisme lain
4. Klasifikasi
Klasifikasi Osteomielitis sebagai berikut :
a. The Lee and Waldvogel
Klasifikasi ini mengelompokkan berdasarkan etiologi seperti onset (akut atau
kronik), mekanisme (contigous atau hematogen), dan ada atau tidaknya
vaskularisasi yang cukup. Klasifikasi ini sedikit membantu dalam proses
penyembuhan.
b. Menurut Henderson
Menurut Henderson terdapat dua macam osteomielitis, yaitu:
a) Osteomielitis primer, yaitu penyebarannya secara hematogen dimana
mikroorganisme berasal dari focus ditempat lain dan beredar melalui
sirkulasi darah.
b) Osteomielitis sekunder, yaitu terjadi akibat penyebaran kuman dari
sekitarnya akibat dari bisul, luka fraktur dan sebagainya. Sedangkan
berdasarkan lama infeksi, osteomielitis terbagi menjadi tiga, yaitu:
2) Osteomielitis direk
Disebabkan oleh kontak langsung dengan jaringan
atau bakteri akibat trauma atau pembedahan.
Osteomielitis direk adalah infeksi tulang sekunder
akibat inokulasi bakteri yang menyebabkan oleh
trauma, yang menyebar dari focus infeksi atau sepsis
setelah prosedur pembedahan. Manifestasi klinis dari
osteomielitis direk lebih terlokasasi dan melibatkan
banyak jenis organisme.
c. Cierny-Mader
Pada tahun 2003, Cierny-Mader et al mengembangkan sistem pementasan
mereka, yang saat ini lebih umum digunakan. Klasifikasi oleh Cierny-Mader
berdasarkan pada karakteristik anatomi dari tulang dan fisiologi dari inang.
Debridemen osteomielitis ditentukan dari evaluasi karakteristik anatomi.
Dengan memperhatikan karakteristik fisiologi baik lokal maupun sistemik,
dapat membantu mengidentifikasi potensi masalah. Optimalisasi kondisi
pasien sebelum operasi dan hindari prosedur rekonstruksi kompleks pada
pasien yang bermasalah.
Sistemik Lokal
Malnutrisi Limfedema kronik
Gagal hati, gagal ginjal Stasis vena
Penyalahgunaan alkohol Gangguan pembuluh darah utama
Defisiensi imun Artritris
Hipoksia kronis Bekas luka yang luas
Keganasan Fibrosis akibat radiasi
Diabetes Mellitus
Umur tua
Terapi steroid
Penyalahgunaan tembakau
5. Patofisiologi
Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang.
Organisme patogenik lainnya yang sering dijumpai pada osteomielitis meliputi:
Proteus, Pseudomonas, dan Escerichia coli. Terdapat peningkatan insiden infeksi
resistensi penisilin, nosokomial, gram negative dan anaerobik. Awitan
Osteomielitis setelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan pertama
(akut fulminan–stadium 1) dan sering berhubngan dengan penumpukan hematoma
atau infeksi superficial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara 4 sampai
24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama (stadium 3) biasanya
akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih setelah pembedahan.
Respon inisial terhadap infeksi adalah salah satu dari inflamasi, peningkatan
vaskularisasi, dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombisis pada pembuluh darah
terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia dan nefrosis tulang
sehubungan dengan penigkatan tekanan jaringan dan medula. Infeksi kemudian
berkembang ke kavitas medularis dan ke bawah periosteum dan dapat menyebar
ke jaringan lunak atau sendi di sekitarnya. Kecuali bila proses infeksi dapat
dikontrol awal, kemudian akan membentuk abses tulang. Pada perjalanan
alamiahnya, abses dapat keluar spontan namun yang lebih sering harus dilakukan
insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam dindingnya
terbentuk daerah jaringan mati (sequestrum) tidak mudah mencari dan mengalir
keluar. Rongga tidak dapat mengempis dan menyembuh, seperti yang terjadi pada
jaringan lunak lainnya. Terjadi pertumbuhan tulang baru (involukrum) dan
mengelilingi sequestrum. Jadi meskipun tampak terjadi proses penyembuhan,
namun sequestrum 26 infeksius kronis yang ada tetap rentan mengeluarkan abses
kambuhan sepanjang hidup penderita. Dinamakan osteomielitis tipe kronik.
Pathway
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada osteomielitis meliputi :
a) Tes darah
Tes darah lengkap dapat mendeteksi infeksi dengan melihat peningkatan
jumlah sel darah putih. Tes ini juga dapat mengidentifikasi jenis
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi, bila osteomielitis menyebar
melalui darah.
b) Pemindaian
Pemindaian dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan pada tulang akibat
osteomielitis. Pemindaian dapat dilakukan dengan foto Rontgen, USG, CT
scan, atau MRI yang dapat menampilkan kondisi tulang dan jaringan sekitarnya
secara detail.
c) Biopsi tulang
Pengambilan sampel tulang ini dilakukan guna mengidentifikasi bakteri yang
menyebabkan infeksi pada tulang. Dengan mengetahui jenis bakteri, maka
dokter dapat menentukan pengobatan yang akan diberikan.
8. Treatment of Osteomyelitis
Treatment of Osteomyelitis menurut Steven Schmitt (2020) sebagai berikut :
a) Antibiotik
Antibiotik yang efektif melawan organisme gram positif dan gram negatif
diberikan setelah kultur dilakukan dan sampai hasil kultur dan sensitivitas
tersedia.
Untuk osteomielitis hematogen akut (acute hematogenous osteomyelitis ),
pengobatan antibiotik awal harus mencakup penisilin semisintetik
resisten penisilinase (misalnya, nafsilin atau oksasilin 2 g IV setiap 4
jam) atau vankomisin 1 g IV setiap 12 jam (ketika MRSA lazim di suatu
komunitas) dan atau sefalosporin generasi ke-4 (seperti seftazidim 2 g IV
setiap 8 jam atau sefepim 2 g IV setiap 12 jam).
Untuk osteomielitis kronis (chronic osteomyelitis) yang timbul dari fokus
jaringan lunak yang berdekatan, terutama pada pasien dengan diabetes,
pengobatan empiris harus efektif terhadap organisme anaerob selain
aerob gram positif dan gram negatif. Ampisilin/sulbaktam 3 g IV setiap 6
jam atau piperasilin/tazobaktam 3,375 g IV setiap 6 jam biasanya
digunakan; vankomisin 1 g IV setiap 12 jam ditambahkan bila infeksi
parah atau MRSA lazim. Antibiotik harus diberikan secara parenteral
selama 4 sampai 8 minggu dan disesuaikan dengan hasil kultur yang
sesuai.
b) Operasi
Jika ada temuan konstitusional (misalnya, demam, malaise, penurunan
berat badan) bertahan atau jika area tulang yang luas hancur, jaringan nekrotik
dilakukan pembedahan. Pembedahan mungkin juga diperlukan untuk
mengeringkan abses paravertebral atau epidural yang hidup berdampingan
atau untuk menstabilkan tulang belakang untuk mencegah cedera. Cangkok
kulit atau pedikel mungkin diperlukan untuk menutup cacat bedah yang besar.
Antibiotik spektrum luas harus dilanjutkan selama >3 minggu setelah operasi.
Terapi antibiotik jangka panjang mungkin diperlukan.
Penatalaksanaan medis pasien dengan diagnosa medis osteomielitis menurut
Brunner, Suddarth (2001):
a. Istirahat dan pemberian analgetik untuk menghilangkan nyeri. Sesuai kepekaan
penderita dan reaksi alergi penderita
b. Penicillin cair 500.000 milion unit IV setiap 4 jam.
c. Erithromisin 1-2gr IV setiap 6 jam.
d. Cephazolin 2 gr IV setiap 6 jam
e. Gentamicin 5 mg/kg BB IV selama 1 bulan.
f. Pemberian cairan intra vena dan kalau perlu tranfusi darah
g. Drainase bedah apabila tidak ada perubahan setelah 24 jam pengobatan
antibiotik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, mengeluarkan jaringan
nekrotik, mengeluarkan nanah, dan menstabilkan tulang serta ruang kososng
yang ditinggalkan dengan cara mengisinya menggunakan tulang, otot, atau
kulit sehat.
h. Istirahat di tempat tidur untuk menghemat energi dan mengurangi hambatan
aliran pembuluh balik.
i. Asupan nutrisi tinggi protein, vit. A, B, C, D dan K.
Vitamin K: Diperlukan untuk pengerasan tulang karena vitamin K dapat
mengikat kalsium. Karena tulang itu bentuknya berongga, vitamin K
membantu mengikat kalsium dan menempatkannya ditempat yang tepat.
Vitamin A, B dan C: untuk dapat membantu pembentukan tulang.
Vitamin D: Untuk membantu pengerasan tulang dengan cara mengatur
untuk kalsium dan fosfor pada tubuh agar ada di dalam darah yang
kemudian diendapkan pada proses pengerasan tulang. Salah satu cara
pengerasan tulang ini adalah pada tulang kalsitriol dan hormon paratiroid
merangsang pelepasan kalsium dari permukaan tulang masuk ke dalam
darah.
9. Komplikasi
Komplikasi dari osteomielitis adalah (Kimberly, 2011):
a. Infeksi kronik.
b. Deformitas skeletal.
c. Deformitas sendi.
d. Gangguan pertumbuhan tulang pada anak.
e. Panjang kaki berbeda.
f. Kerusakan mobilitas.
B. KONSEP DEBRIDEMENT
1. Definisi
Debridement merupakan suatu tindakan eksisi yang bertujuan untuk membuang
jaringan nekrosis maupun debris yang menghalangi proses penyembuhan luka dan
potensial terjadi atau berkembangnya infeksi sehingga merupakan tindakan
pemutus rantai respon inflamasi sistemik dan maupun sepsis (Chadwick, 2012
dalam Kharismawati, 2018).
2. Klasifikasi
Terdapat 4 metode debridement, yaitu autolitik, mekanikal, enzimatik dan
surgikal. Metode debridement yang dipilih tergantung pada jumlah jaringan
nekrotik, luasnya luka, riwayat medis pasien, lokasi luka dan penyakit sistemik.
3. Indikasi
Indikasi dilakukannya tindakan debridement menurut Majid (2011) sebagai
berikut:
a) Luka dengan proses pemulihan lambat disertai fraktur tulang akibat
kecelakaan atau trauma. Jenis fraktur ini biasanya merusak kulit sehingga
luka terus mengeluarkan darah dan hematoma. Jika kondisi fraktur sangat
parah dan memerlukan pencangkokan tulang, debridemen akan dilakukan
untuk membersihkan dan mempersiapkan area fraktur untuk prosedur
cangkok.
b) Pasien yang terdiagnosis osteomielitis. Kondisi ini ditandai dengan tulang
yang meradang akibat infeksi. Kondisi ini jarang terjadi di negara maju dan
umumnya disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus yang dapat
menyebar hingga sumsum tulang.
c) Pasien yang terdiagnosis pertumbuhan lesi jinak pada tulang. Dalam kasus
tertentu, pencangkokan tulang diperlukan untuk menyempurnakan
pengobatan, dan debridemen tulang merupakan salah satu proses yang harus
dijalani.
d) Pasien diabetes dengan luka terbuka pada tangan atau kaki yang beresiko
mengalami infeksi. Infeksi kaki cukup umum di antara pasien diabetes,
umumnya memerlukan perawatan khusus dan agresif untuk menyelamatkan
anggota tubuh dari amputasi total.
e) Korban kebakaran, terutama dengan cedera yang agak dalam.
4. Kontraindikasi
Kontraindikasi dilakukannya tindakan debridement menurut Majid (2011) sebagai
berikut:
a. Kondisi fisik yang tidak memungkinkan
b. Gangguan pada proses pembekuan darah
c. Tidak tersedia donor yang cukup untuk menutup permukaan terbuka (raw
surface) yang timbul.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan sebelum tindakan debridement menurut
Majid (2011) sebagai berikut:
a. Rontgen
b. Laboratorium: darah lengkap, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, analisa gas
darah (untuk penderita luka bakar dengan kecurigaan trauma inhalasi), serum
elektrolit, serum albumin.
C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
1) Identitas
Meliputi: Nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang digunakan,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asusransi, golongan darah, nomor
register, tanggal masuk rumahsakit, dan diagnosa medis. Pada umumnya,
keluhan utama pada kasus osteomelitis adalah nyeri hebat.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang nyeri klien, perawat dapat
menggunakan metode PQRST :
a. Provoking incident: hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri adalah proses
supurasi pada bagian tulang. Trauma, hematoma akibat trauma pada daerah
metafisis, merupakan salah satu faktor predis posisi terjadinya osteomielitis
hematogen akut.
b. Quality of pain: rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien bersifak
menusuk
c. Region, radiation, relief: nyeri dapat reda dengan imobilisasi atau istirahat,
nyeri tidak menjalar atau menyebar
d. Severity (scale) of pain: nyeri yang dirasakan klien secara subjektif anatara
2-3 pada rentang skala pengukuran 0-4
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari
2) Riwayat kesehatan
3) Psikososisl
Area sekitar tulang yang terinfeksi menjadi bengkak dan terasa lembek bila
dipalpasi. Bisa juga terdapat eritema atau kemerahan dan panas. Efek sistemik
menunjukkan adanya demam biasanya diatas 380, takhikardi, irritable, lemah
bengkak, nyeri, maupun eritema.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis terhadap pengalaman atau
respon individu, keluarga, atau komunitas pada masalah kesehatan, pada resiko
masalah kesehatan atau pada proses kehidupan. Diagnosis Keperawatan
merupakan bagian vital dalam menentukan asuhan keperawatan yang sesuai unutk
membantu klien mencapai kesehatan yang optimal. (PPNI, 2017)
Diagnosa keperawatan ditegakkan atas dasar data pasien. Kemungkinan
diagnosa keperawatan dari orang dengan Osteomielitis adalah sebagai berikut
(Brunner & Sudart, 2013 dan SDKI, 2016) :
1) Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik di tandai dengan pasien tampak meringgis,
gelisah.
2) Resiko Infeksi b.d kerusakan integritas kulit.
3) Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang di tandai
dengan pasien nyeri saat bergerak.
4) Gangguan integritas kulit/jaringan b.d kelembabpan di tantai dengan klien
tanpak nyeri, perdarahan, kemerahan
5) Risiko Disfungsi Neorovaskuler perifer b.d fraktur, penekanan klinis
(balutan)
6) Resiko pedarahan b.d trauma dan tindakan pembedahan
7) Kurang pengetahuan b.d kurang terpapar informasi di tandai dengan klien
tanpak menunjukan prilaku tidak sesuai dengan anjuran dan menunjukan
prilaku berlebihan.
3. Intervensi Keperawatan
Perencanaan Asuhan Keperawatan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik (CKD)
(SDKI, 2016)
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian
analgetik .jika perlu
2. Resiko Infeksi Setelah dilakukan
b.d kerusakan tintdakan Observasi
integritas kulit. keperawatan • Monitor tanda dan gejala
selama 3x 24 jam infeksi local dan sistemik.
maka integritas
kulit meningkat Terapeutik
KH : Tingkat Nyeri • Batasi jumlah pengunjung.
• Nyeri menurun • Berikan perawatan kulit pada
(5) area edema.
• Kemerahan • Cuci tangan sebelum dan
menurun (5) sesudah kontak dengan pasien
• Bengkak dan lingkungan pasien.
menurun(5) • Pemberian teknik aseptik
Integritas kulit dan pada pasien beresiko tinggi.
jaringan
• Perfusi jaringan Edukasi
meningkat (5) • Jelaskan tanda dan gejala
• Kerusakan infeksi.
jaringan menurun • Ajarkan cara mencuci tangan
(5) dengan benar.
• Kerusakan lapisan • Ajarkan etika batuk.
kulit menurun (5) • Ajarkan cara memeriksa
• Nyeri menurun kondisi luka atau luka operasi.
(5) • Anjurkan meningkatkan
• Suhu kulit asupan nutrisi.
membaik (5) • Anjurkan meningkatkan
asupan cairan.
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu.
3. Gangguan Setelah dilakukan
Mobilitas Fisik tindakan Observasi
b.d kerusakan keperawatan • Identifikasi kebutuhan
integritas selama 3x 24 jam dilakukan pembidaian.
struktur tulang di maka mobilitas (fraktur).
tandai dengan disik meningkat. • Monitor bagian distal area
pasien nyeri saat KH : cidera.
bergerak. • Pergerakan • Monitor adanya adanya
eksremitas pedarahan pada daerah cidera.
meningkat (5) • Identifikasi material bidai
• Nyeri menurun yang sesuai.
(5) • Tutup luka terbuka dengan
• Kecemasan balutan.
menurun (5) • Atasi perdarahan sebalum
• Gerakan terbatas bidai di pasang.
menurun (5) • Berikan bantalan pada bidai.
• Imobilisasi sendi di atas dan
di bawah area cidera.
• Topang kaki mengunakan
penyangga kaki.
• Tempatkan eksremitas yang
cidera dalam posisi fungsional.
• Pasang bidai pada posisi
tubuh seperti saat di temukan .
• Gunakan kedua tanagan
untuk menopang area cedera.
• Gunakan kain gendong
secara tepat
• Jelaskan tujuan dan
langkahlangkah prosedur
sebelum pemasangan bidai
• Anjurkan membatasi gerak
pada area cedera
4. Gangguan Setelah dilakukan
integritas tindakan Observasi
kulit/jaringan b.d keperawatan • Monitor karakteristik luka
kelembabpan di selama 3x 24 jam (dranase, warna, ukuran, bau)
tantai dengan gangguan integritas • Monitor tanda-tanda infeksi.
klien tanpak kulit menurun: Terapeutik
nyeri, KH : Integritas • Lepaskan balutan dan plaster
perdarahan, Kulit dan Jaringan secara perlahan.
kemerahan • Perfusi jaringan • Cukur rambut di sekitar luka,
meningkat (5) jika perlu
• Kerusakan • Bersihkan dengan NACL
jaringan menurun atau pembersih nontoksik,
(5) sesuai kebutuhan
• Kerusakan lapisan • Bersihkan jaringan nekrotik.
kulit menurun (5) • Berikan salep yang sesuai
• Nyeri menurun dengan luka / lesi, jika perlu
(5) • Bersihkan jaringan nekrotik.
• Pedarahan • Pasang balutan sesuai jenis
menurun (5) luka.
• Kemerahan • Pertahankan teknik steril saat
menurun (5) perawatan luka.
• Nekrosis menurun • Ganti balutan sesuai dengan
(5) jumlah eksudat dan drenase.
• Suhu kulit • Jadwalkan perubahan posisi
membaik (5) setiap 2 jam atau sesuai
dengan kondisi pasien.
Penyembuhan luka. • Berikan diet dengan kalori
• Penyatuan kulit 30-35 kkl/kg / hari dan protein
meningkat (5) 1,25-1,5 g/kgBB/hari.
• Penyatuan tepi • Berikan suplemen vitamin
luka meningkat (5) dan mineral , sesuai indikasi.
• Pembentukan • Berikan terapi TENS , jika
jaringan parut perlu Edukasi
menurun (1) • Jelaskan tanda dan gejala
• Edema pada sisi infeksi.
luka menurun (5) • Anjurkan mengkonsumsi
• Peradangan makanan tinggi kalori dan
menurun (5) protein.
• Nyeri menurun • Ajarkan perawatan luka
(5) secara mandiri.
• Infeksi menurun
(5) Kolaborasi
• Kolaborasi prosedur
debridement (mis, enzimatik,
biologis, mekanis)
• Kolaborasi pemberian anti
biotik,jika perlu.
5. Risiko Disfungsi Setelah dilakukan
Neorovaskuler tindakan Observasi
perifer b.d keperawatan • Periksa sirkulasi perifer
fraktur, selama 3x 24 jam secara menyeluruh (mis,
penekanan klinis maka resiko pulsasi perifer, edema, warna,
(balutan) disfungsi dan suhu eksremitas)
neorovaskuler • Monitor nyeri pada daerah
perifer menurun. yang terkena .
KH : • Monitor tanda-tanda
Neurovaskuler penurunan sirkulasi vena .
perifer (mis, bengkak ,nyeri,
• Sirkulasi arteri peningkatan nyeri pada posisi
meningkat (5) tergantung, nyeri menetap saat
• Sirkulasi vena hangat, mati rasa, pembesaran
meningkat (5) vena superfesial, merah,
• Pergerakan hangat, perubahan warna
eksremitas kulit).
meningkat (5)
• Nyeri menurun Terapeutik
(5) • Pedarahan • Tinggikan daerah yang
menurun (5) cidera 20 derjat di atas jantung
• Nadi membaik (5) • Lakukan rentang gerak aktif
• Suhu tubuh dan pasif.
membaik (5) • Ubah posisi setiap 2 jam.
• Warna kulit • Hindari akses intravena
membaik (5) antekubiti.
Perfusi perifer • Hindari memijat atau
• Penyembuhan mengompres otot yang cidera.
luka membaik (5) Edukasi
• Edema perifer • Jelaskan mekanisme
menurun (5) terjadinya embili perifer.
• Nyeri eksremitas • anjurkan menghindari
menurun (5) maneuver valsava.
• Nekrosis menurun • Ajarkan cara mencegah
(5) emboli perifer. (mis, hindari
imobilisasi jangka panjang).
• Ajarkan pentingnya
antikoagulan selama 3 bulan.
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian
antikoagulan.
• Kolaborasi pemberian
prometazim intravena dalam
NaCL 0,9% 25-50 secara
lambat dan hindari
pengenceran kuran dari 10 cc
6. Resiko Setelah dilakukan
pedarahan b.d tindakan Observasi
trauma dan keperawatan • Monitor tanda dan gejala
tindakan selama 3x 24 jam pendarahan.
pembedahan maka • Monitor
penyembuhan luka hematokrik/hemoglobin
meningkat. KH: sebelum dan setelah
penyembuhan luka kehilangan darah.
• Penyembuhan • Monitor tanda-tanda vital
kulit meningkat (5) ortostatik.
• Penyatuan tepi • Monitor koagulasi.
luka meningkat (5) Terapeutik
• Nyeri menurun • Pertahankan bed rest selama
(5) pedarahan.
• Infeksi menurun • Batasi tindakan infasif.
(5) • Gunakan kasue pencegah
decubitus.
Tingkat luka • Hindari pengukuran suhu
• Kelembapan kulit rektal
menurun (1)
• Pedarahan pasca Edukasi
operasi menurun • Jelaskan tanda dan gejala
(1) pedarahan.
• Tekanan darah • Anjurkan mengunakan kaus
membaik (5) kaki saat ambulasi.
• Suhu tubuh • Anjurkan meningkatkan
membaik (5) asupan cairan untuk
menghindari konstipasi.
• Anjurkan menghindari
aspirin atau antikuagula.
• Anjurkan meningkatkan
asupan makanan dan vitamin
k.
• Anjurkan segera melapor jika
terjadi pedarahan.
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian obat
pengontrol perdarahan.
• Kolaborasi pemberian
produk darah.
• Kolaborasi pemberian peluna
tinja.
7. Defisit Setelah dilakukan
pengetahuan b.d tindakan Observasi
kurang terpapar keperawatan • Identifikasi kesiapan dan
informasi di selama 3x 24 jam kemampuan menerima
tandai dengan maka pengetahuan informasi.
klien tanpak meningkat . • Identifikasi factor-faktor
menunjukan KH : yang dapat meningkatkan dan
prilaku tidak • Prilaku sesuai menurunkan motifasi prilaku
sesuai dengan anjuran meningkat hidup bersih dan sehat.
anjuran dan (5)
menunjukan • Kemampuan Terapeutik
prilaku menjelaskan • Sediakan materi dan media
berlebihan. tentang suatu topik pendidikan kesehatan.
meningkat (5) • Jadwalkan pendidikan
• Menjalani kesehatan.
pemeriksaan yang • Berikan kesempatan untuk
tidak tepat bertanya.
menurun (5)
• Perilaku membaik Edukasi
(5) • Jelaskan factor resiko yang
dapat mempengaruhi kesehtan.
Tingkat kepatuhan • Ajarkan perilaku hidup sehat
• Verbalisasi dan bersih.
kemauan mematuhi • Ajarkan strategi yang dapat
prokram atau di gunakan untuk
pengobatan meningkatkan perilaku hidup
meningkat (5) sehat dan bersih.
• Resiko komlikasi
penyakit menurun
(5)
• Perilaku
menjalankan
anjuran membaik
(5)
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, adalah kategori
dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai
tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan yang dilakukan dan
diselesaikan. Implementasi menuangkan rencana asuhan kedalam tindakan,
setelah intervensi dikembangkan, sesuai dengan kebutuhan dan prioritas klien,
perawat melakukan tindakan keperawatan spesifik, yang mencakup Tindakan
perawat dan tindakan dokter (Potter & Perry, 2015).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah respon pasien terhadap standar atau kriteria yang
ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai. Penulisan pada tahap evaluasi proses
keperawatan yaitu terhadap jam melakukan tindakan, data perkembangan pasien
yang mengacu pada tujuan, keputusan apakah tujuan tercapai atau tidak, serta ada
tanda tangan atau paraf. Evaluasi adalah tahapan akhir dari proses keperawatan.
Evaluasi disini menyediakan nilai informasi yang mengenai pengaruh dalam hal
perencanaan (intervensi) yang telah direncanakan secara seksama dan merupakan
hasil dari perbandingan yang diamati dengan cara melihat hasil dari kriteria hasil
yang telah dibuat pada tahap perencanaan tersebut (Triyoga, 2015).
Evaluasi merupakan suatu proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi dilakukan terus-menerus terhadap
respon pasien pada tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Evaluasi proses
atau promotif dilakukan setiap selesai tindakan. Evaluasi dapat dilakukan
menggunakan SOAP sebagai pola pikirnya.
S: Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O: Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
A: Analisa ulang data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah
teratasi, masalah teratasi sebagian, masalah tidak teratasi atau muncul masalah
baru.
P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon pasien
DAFTAR PUSTAKA
A Potter & Perry AG. (2015). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan
Praktik. 4th ed. Jakarta: EGC
Epomedicine. (2020). Definitions, Criteria and Classifications in Osteomyelitis [Internet].
Epomedicine; 2020 May 27 [cited 2021 Oct 7]. Available
from: https://epomedicine.com/medical-students/definitions-criteria-classifications-
osteomyelitis/ (diakses tanggal 21 Oktober 2021)
Jameson, J. Larry, et al. (2018). Harrison's Principles of Internal Medicine, 20th Ed. New
York: McGraw-Hill Education, 2018.
Majid. (2011). Keperawatan Perioperatif. Yogyakarta : Gosyen Publishing
Nadhirah, Adriani. (2015). Angka Kejadian, Karakteristik, Dan Gambaran Hasil
Pemeriksaan X-Ray Ekspertise Pasien Osteomielitis Kronis Ektremitas Observasi Di
Rumah Sakit Al-Islam Tahun 2013. Bandung: Fakultas Kedokteran (UNISBA).
http://repository.unisba.ac.id:8080/xmlui/bitstream/handle/123456789/4792/06bab2_nad
hirah_10100111083_skr_2015.pdf?sequence=6&isAllowed=y (diakses pada tanggal 21
Oktober 2021)
Schmitt, S.K. (2017). Osteomyelitis. Infectious Disease Clinics of North America, 2017. 31,
325-338 DOI: https://doi.org/10.1016/j.idc.2017.01.010. (diakses pada tanggal 21
Oktober 2021)
Steven Schmitt, MD. (2020). Osteomyelitis. Cleveland Clinic Lerner College of Medicine at
Case Western Reserve University. Available from:
https://www.msdmanuals.com/professional/musculoskeletal-and-connective-tissue-
disorders/infections-of-joints-and-bones/osteomyelitis (diakses pada tanggal 21 Oktober
2021)
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi
1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi
1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia
Triyoga, A. (2015). Pelaksanaan Dokumentasi Keperawatan Di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Baptis Kediri. Jurnal Penelitian Keperawatan, 1(2), 155-164.