Anda di halaman 1dari 7

I.

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kebutuhan produk pangan asal hewan terus meningkat disebabkan oleh
pertumbuhan penduduk, peningkatan pengetahuan, pergeseran gaya hidup dan tingkat
kesejahteraan masyarakat semakin membaik. Antibiotika tidak boleh dicampur dalam
pakan dan tidak boleh dikombinasikan dengan vitamin, mineral dan asam amino yang
dipakai melalui air minum kecuali, sesuai Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor
806/Kpts/TN.260/12/94 tentang Klasifikasi obat hewan. Peraturan ini telah beberapa
kali ditambah dan disempurnakan, jenis antibiotika yang direkomendasi sebagai
bahan tambahan dalam pakan hewan yaitu, avilamisina, avoparsina, bacitrasinzink,
enramisina, flavomycin (bambermisin), kitasamisin, kolistin sulfate, lasalosid,
maduramisina, lincomisin HCl, monensinnatrium, narasina, salinomisin (Na),
spiramisin (embonate), virginiamisin. Keberadaan residu antibiotika dalam bahan
pangan asal hewan, dari aspek kesehatan masyarakat veteriner perlu mendapat
perhatian, bahaya yang dapat ditimbulkannya terhadap kesehatan konsumen, seperti
reaksi hipersensitifitas mulai dari yang ringan sampai parah, keracunan dan yang
terpenting adalah peningkatan resistensi beberapa mikroorganisme patogen yang akan
menimbulkan masalah besar dalam bidang kesehatan manusia maupun hewan. Secara
ekonomi dampak yang ditimbulkan dari adanya residu dalam pangan asal hewan,
menyebabkan kerugian ekonomi berupa penolakan produk terutama bila produk
tersebut di ekspor ke negara yang konsisten dan serius dalam menerapkan system
keamanan pangan.
Menurut Berendsen et al (2006), ancaman potensial residu antibiotika dalam
makanan terhadap kesehatan dibagi tiga kategori, yaitu aspec toksikologis, aspek
mikrobiologis dan aspek imunopatologis.  Residu antibiotika dalam makanan dan
penggunaannya dalam bidang kedokteran hewan berkaitan dengan aspek kesehatan
masyarakat veteriner, aspek teknologi dan aspek lingkungan.  Dari aspek
toksikologis, residu antibiotika bersifat racun terhadap hati, ginjal dan pusat
hemopoitika (pembentukan darah).  Dari aspek mikrobiologis, residu antibiotika
dapat mengganggu mikroflora dalam saluran pencernaan dan menyebabkan
terjadinya resistensi mikroorganisme, yang dapat menimbulkan masalah besar dalam
bidang kesehatan manusia dan hewan.  Dari aspek imunopatologis, residua ntibiotika
dapat menimbulkan reaksi alergi yang ringan dan lokal, bahkan dapat menyebabkan
shock yang berakibat fatal.  Selanjutnya dipandang dari aspek teknologi, keberadaan
residu antibiotika dalam bahan pangan dapat menghambat atau menggagalkan proses
fermentasi.
I.2 Tujuan dan Manfaat
Tujuan pemeriksaan residu antibiotika adalah calon kandidat dokter hewan
lebih mengerti dan memahami tentang bagaimana kondisi telur, susu, dan daging
yang layak konsumsi dengan berbagai cara seperti mengetahui ada tidaknya bahan
tambahan makanan yang tidak diperbolehkan ada dalam pangan.
Sedangkan manfaat daripada pemeriksaan residu antibiotic ini adalah selain
membantu calon kandidat dokter hewan dalam memahami koasistensi laboratorium
kesmavet juga dapat menambah wawasan yang lebih luas tentang telur. Calon
kandidat dokter hewan dapat juga memahami tentang bagaimana telur, susu, dan
daging yang tidak tercemar residu antibiotik layak untuk di konsumsi, sehingga
tercapainya kualitas semaksimal mungkin.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Antibiotika adalah senyawa berat dengan molekul rendah yang membunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagian besar antibiotika dihasilkan oleh
mikroorganisme, khususnya Streptomyces spp. Dan jamur (Mutschler, 1999;
Salyersdan Whitt, 2005). Penggunaan antibiotika untuk terapi infeksi pada manusia
dan hewan harus memenuhi sejumlah kriteria. Antibiotika dapat dikelompokkan
berdasarkan struktur dari antibiotika tersebut ataupun berdasarkan target kerjanya
pada sel yaitu, broad spektrum, mempunyai kemampuan membunuh mikroorganisme
dari berbagai spesies dan narrow spectrum hanya mampu membunuh mikroorganisme
secara spesifik (Bezoen et al ., 2000).
Antibiotika digunakan untuk hewan sebagaimana digunakan pada manusia yaitu
untuk mencegah dan mengobati infeksi. Manfaat pengobatan dengan antibiotika
antara lain membasmi agen penyakit (Butaye et al., 2003) menyelamatkan hewan dari
kematian, mengembalikan kondisi hewan untuk berproduksi kembali dalam waktu
yang relative singkat, mengurangi/ menghilangkan penderitaan hewan dan mencegah
penyebaran mikroorganisme ke alam sekitarnya yang dapat mengancam kesehatan
hewan dan manusia (Adam, 2002). Penemuan antibiotika membawa dampak besar
bagi kesehatan manusia dan ternak. Seiring dengan berhasilnya pengobatan dengan
menggunakan antibiotika, maka produksinya semakin meningkat (Phillips et al.,
2004). Pada industri peternakan pemberian antibiotika selain untuk pencegahan dan
pengobatan penyakit, juga digunakan sebagai imbuhan pakan ( feed additive) untuk
memacu pertumbuhan (growth promoter), meningkatkan produksi, dan meningkatkan
efisiensi penggunaan pakan (Bahri et al ., 2005).
Berbagai penelitian mengenai penggunaan antibiotika dalam pakan dengan dosis
sub terapeutika yang berpengaruh terhadap penurunan biaya produksi daging, telur
dan susu. Anthony (1997) menyebutkan penggunaan antibiotika pada dosis sub
terapeutika melalui pakan atau air minum berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan,
mempengaruhi metabolism seperti tetrasiklin mempengaruhi ekskresi nitrogen dan
air, effisiensi nutrisi dengan menekan bakteri intestin yang bersaing dengan host
menggunakan nutrisi dan mencegah penyakit. Hewan yang diberikan antibiotika
secara rutin, struktur dinding usus lebih tipis dan lebih besar daya absorpsinya, ini
yang mengakibatkan antibiotika dapat memperbaiki dan meningkatkan produksi
daging sapi, domba, unggas dan babi.
III. MATERI DAN METODE
III.1Pemeriksaan Residu Antibiotika
III.1.1 Uji Yoghurt
Prosedur Kerja
a. 10 ml contoh susu dimasukkan ke dalam tabung reaksi steril
b. Masukkan tabung tersebut ke dalam penangas air bersuhu 80oC selama 5
menit.
c. Tambahkan 1 ml kultur yoghurt ( B.Thermohylus)
d. Homogenkan dan masukkan ke dalam penangas air bersuhu 42-43oC selama
3-4 jam.
e. Lihat hasilnya. Bila campuran tetap cair dan homogen artinya susu yang diuji
positif mengandung antibiotika. Bila cairan mengental atau menggumpal
berarti susu yang diuji tidak mengandung antibiotika.

III.1.2 Uji Cakram


Alat dan Bahan
Mikroorganisme yang dipakai adalah B.Stearothermophylus. Media Uji: 200 ml
Nutrien agar ditambah 1 ampul spora bakteri dan dihomogenkan. Kemudian media
ini dituangkan kecawan petri yang sudah disediakan dan dijadikan 11-12 cawan.
Biarkan membeku dan simpan pada suhu rendah dan media ini dapat disimpan cukup
lama untukdigunakan pada pengujian selanjutnya.
Prosedur kerja
a. Sebuah cakram (disc) steril dimasukkan ke dalam contoh susu yang akan diuji
dans setelah itu diletakkan secara hati-hati di permukaan media uji.
b. Letakkan juga cakram yang sudah berisi antibiotika tertentu (yang sudah
dapat diketahui ) sebagai pembanding. Dalam satu cawan petri media uji
dapat diletakkan 5-6 cakram.
c. Eramkan di dalam incubator (58-65oC) selama 3-4 jam.
d. Pembacaan hasil dengan mengukur zona terang di sekitar cakram dan
membandingkannya dengan cakram standar yang telah diisi dengan
antibiotika yang diketahui.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Pengamatan

Pengujian Susu segar Susu segar + antibiotik

Uji Yoghurt Negatif Positif

Uji cakram (Blattchen test) Negatif Positif (0.8mm)

IV.2 Pembahasan
Dari hasil pengamatan tidak ditemukan adanya residu antibiotik namun, bila
susu mengandung antibiotik dan dibuat yoghurt, maka starter yang dimasukkan
kedalam bahan Yoghurt tersebut akan dimatikan oleh antibiotik. Hal inilah yang
menyebabkan pada pengujian yoghurt susu segar yang digunakan mengental karena
susu segar tidak mengandung antibiotik. dan pada simulasi pemeriksaan susu
ditambah anti biotik susu tetap cair.
Pada Uji cakram (Blattchen test) dilakukan simulasi penambahan antibiotik
pada susu dan menggunakan contoh cakram penisilin. pembacaan hasil dengan
mengukur zona terang disekitar cakram dan membandingkannya dengan cakram
standar yang telah di isi dengan antibiotika yang diketahui.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil pemeriksaan susu, telur dan daging yang digunakan
layak untuk dikonsumsi.
DAFTAR PUSTAKA
Adam R. 2002. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. IOWA State University
Press/Ames. USA
Anthony T. 1997. Food Poisoning. Departement of Biochemistry Colorado Estate
University. New York.
Bahri S, Maryam R, Yuningsih, Murdiati TB. 1992. Residu Tetrasiklin,
Khlortetrasiklin dan Oksitetrasiklin pada Susu Segar Asal Beberapa DATI II
di Jawa Tengah.
Benzoen A, Haren WV, Hanekamp JC. 2000. Emergence of a Debate : AGPs and
Public Health. Heidelberg Appleal Nederland Foundation. Amsterdam. Pp:1-
49, 110-153. http://Cmr.asm.org/ [10 April 2016]
Butaye P, Devriese A, Haesebrouck F. 2003. Antimicrobial Growth Promotors Used
in Animal Feed: Effects of Less Well Known Antibiotics 0n Gram- Positive
Bacteria. Clinical Microbiology Reviews. 16(2):175-188.
Mutchler E. 1999. Dinamika Obat. Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi Edisi
Ke-5. Penerbit ITB. Bandung
Phillips I, Casewell M, Cox T, Groot B, Friis C, Jones R, Nightingale C, Preston R
and Waddell J. 2004. Does the Use of Antibiotics in Food Animals Pose A Risk
to Human Health?. Journal Of Antimicrobial Chemotherapy. 53;28- 52.
http://www.oxfordjournals.org/faq[10 April 2016].
Salyers AA, Whitt DD. 2005. Bacterial Pathogenesis A Molecular. Approach. ASM.
Press. Wassington DC.
Standard Nasional Indonesia (SNI). 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan
Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. SNI 01- 6366-
2000. Dewan Standardisasi Nasional

Anda mungkin juga menyukai