Anda di halaman 1dari 11

Teori Belajar Humanistik

Aktifitas Belajar Menurut Oemar Hamalik, adalah “suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui
interaksi dengan lingkungannya”.[1] Sedangkan menurut Thursan Hakim,“Belajar adalah suatu proses
perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk
peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap,
kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan lain-lain kemampuan”.[2]

Dari definisi di atas, dapat digaris bawahi bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku
seseorang diperlihatkan dalam bentuk bertambahnya suatu kualitas dan kuantitas kemampuan orang itu
dalam berbagai bidang. Jika di dalam suatu proses belajar seseorang tidak mendapatkan suatu
peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, dapat dikatakan orang tersebut belum mengalami
proses belajar atau dengan kata lain ia mengalami “kegagalan” di dalam proses belajar.

Menurut Teori humanistik, Proses Belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan
memanusiakan manusia[3]. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya
dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai
aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut
pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.

Teori Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat
kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif.
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam
domain afektif. Misalnya kemampuan dalam ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat
dengan orang lain, kepercayaan, penerimaan, kesadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran
interpersonal dan pengetahuan interpersonal lainnya. Jadi intinya adalah meningkatkan kualitas
keterampilan interpersonal dalam kehidupan sehari – hari. Selain menitikberatkan pada interpersonal,
para pendidik juga membuat pembelajaran yang membantu peserta didik untuk meningkatkan
kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan dan
berfantasi. Pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat
emosi sebagai sebagai hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan
pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik yang sangat kuat dan nampak
dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berfikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan
pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia.[4] Dari perspektif
humanistik, pendidik seharusnya memperhatikan pendidikan yang lebih responsif terhadap kebutuhan
kasih sayang (affektive) siswa. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang berhubungan dengan emosi,
perasaan, nilai, sikap, predisposisi dan moral.[5]

Jika kita bandingkan antara aliran behaviorist dan humanist, keduanya mempunyai pandangan yang
berbeda dalam melihat masalah perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh orang yang belajar. Para
behaviorist mengatakan bahwa manusia adalah sebagai makhluk reaktif yang memberikan responnya
terhadap lingkungannya. Pengalaman masa lampau dan pemeliharaannya akan membentuk perilaku
mereka. Sedangkan Humanist mengatakan bahwa setiap orang itu menentukan perilaku mereka sendiri,
mereka bebas memilih kwalitas hidup mereka dan tidak terikat oleh lingkungannya.[6]

Teori Humanistik adalah teori yang bersumber dari asumsi ajaran humanisme. Model pembelajaran
menurut teori ini merupakan model belajar yang dikemas dalam pendidikan kemanusiaan dari pada
pendidikan tentang yang khusus untuk profesi tertentu. Oleh karena itu, kecenderungan yang berada di
luar diri peserta didik tidak menjadi perhatian dari teori ini. Teori Humanistik tidak boleh memksakan
kehendak kepada anak. Sejalan dengan kreteria tersebut Knight memberikan ciri utama teori humanistik
dengan pernyataan “ Educational humanism has placed even more stress on the uniqueness of
individual child”[7]. Teori Humanistik lebih menekankan keunikan individu. Orientasi yang tidak sesuai
dengan potensi anak tidak menjadi sasaran teori humanistik.

Pengembangan potensi ditujukan pada ciri utama manusia, berupa kemampuan diberi motivasi guna
mencapai tujuan belajar. Teori ini dalam pandangan Maslow memberikan tekanan yang lebih besar pada
pengembangan potensi seseorang, terutama potensinya untuk menjadi manusiawi, memahami diri dan
orang lain serta berhubungan dengan mereka, mencapai pemuasan atas kebutuhan kebutuhan dasar
manusia, tumbuh kearah aktualisasi diri. Teori ini akan berusaha mengajak seseorang menjadi pribadi
yang sebaik baiknya sesuai kemampuannya.[8]

Meskipun demikian, Jika kita lihat tujuan yang di capai dari teori Humanistik, teori ini merupakan teori
belajar yang sangat Eklektik.[9] Dalam artian eklektisme yang dibawah oleh teori humanistik ini
bukanlah suatu sistem yang membiarkan unsur unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana aslinya.
Teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai
aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar, secara optimal.

B. Pandangan David Kolb

Teori ini dikembangkan oleh David Kolb pada sekitar awal tahun 1980-an. Dalam teorinya, Kolb
mendefinisikan belajar sebagai proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi
pengalaman. Pengetahuan dianggap sebagai perpaduan antara memahami dan mentransformasi
pengalaman.

Experiential Learninng Theory kemudian menjadi dasar model pembelajaran experiential learning
yang menekankan pada sebuah model pembelajaran yang holistik dalam proses belajar. Pengalaman
kemudian mempunyai peran sentral dalam proses belajar. Kolb merupakan seorang ahli penganut aliran
humanistik. Kolb membagi tahap tahap belajar menjadi 4 yaitu, Tahap pengalaman Konkrit, Tahap
pengalaman aktif dan reflektif, Tahap konseptualisai, dan Tahap eksperimentasi aktif.

1. Tahap pengamalan konkrit (Concrete Experience)

Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat
mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya.[10] Peserta didik akan bisa
melihat, merasakan, menceritakan suatu peristiwa tersebut sesuai dengan yang dialaminya. Namun ia
belum memiliki kesadaran tentang hakikat dari peristiwa yang dialaminya tersebut. Ia tidak bisa
menjelaskan kenapa peristiwa tersebut bisa terjadi.

2. Tahap Pengalaman Aktif dan Reflektif (Reflection Observation)

Pada tahap ini sudah ada observasi terhadap peristiwa yang dialami, mencari jawaban, melaksanakan
refleksi, mengembangkan pertanyaan- pertanyaan bagaimana peristiwa terjadi, dan mengapa terjadi. Ia
mulai berupaya untuk mencari jawaban terhadap peristiwa yang dialaminya. Ia mulai melakukan sebuah
refleksi pada peristiwa yang di alaminya dengan mengembangkan pertanyaan tertanyaan terhadap
peristiwa yang dialaminya[11]

3. Tahap Konseptualisasi (Abstract Conseptualization)

Pada tahap ini seseorang sudah berupaya membuat sebuah abstraksi, mengembangkan suatu teori,
konsep, prosedur tentang sesuatu yang sedang menjadi objek perhatian. Berfikir induktif banyak
dilakukan untyk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai peristiwa yang
dialaminya.[12]

4. Tahap Eksperimentasi Aktif (Active Experimentation)

Pada tahap ini sudah ada upaya melakukan eksperimen secara aktif, dan mampu mengaplikasikan
konsep, teori ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan
menguji teori teori serta konsep konsep dilapangan. Siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan
umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami “ asal-
usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah
yang belum pernah ia temui sebelumnya.[13]

C. Pandangan Honey dan Mumford

Pandangan tentang belajar Honey dan Mumford banyak dipengaruhi oleh Kolb. Mereka
kemudian menggolongkan orang belajar menjadi empat macam golongan, yaitu golongan aktivis,
golongan reflektor, golongan teoritis, dan golongan pragmatis. Masing masing golongan mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan golongan yang lainnya.

1. Aktivis

Orang orang yang termasuk dalam kelompok ini adalah orang yang senang melibatkan diri dan
berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman pengalaman
baru.[14] Ciri dari siswa ini adalah suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru dan
cenderung berpikiran terbuka serta mudah diajak berdialog. Namun, siswa seperti ini biasanya kurang
skeptis terhadap sesuatu. Dalam mengerjakan suatu tindakan seringkali kurang pertimbangan secara
matang, dan didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri dalam kegiatan tersebut. Dalam
belajar mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-hal baru, seperti
brainstorming atau problem solving. Akan tetapi mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal yang perlu
waktu lama dalam implementasi.

2. Reflektor

Mereka yang termasuk golongan reflektor mempunyai kecenderungan dengan golongan aktivis. Siswa
tipe ini cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah sehingga dalam mengambil keputusan
mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat baik buruknya.Siswa yang demikian tidak mudah
untuk di pengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservatif.

3. Teoris

Siswa tipe ini biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian
yang sifatnya subjektif. Berpikir rasional adalah sangat penting. Dan mereka cenderung sangat skeptis
dan tidak suka hal-hal yang spekulatif. Mereka selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalaran.
Segala sesuatu sering dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum hukum. Dalam
melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok teoris penuh dengan pertimbangan. Mereka
mempunyai pendirian yang kuat, nampak tegas, dan tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain.

4. Pragmatis

Siswa pada tipe ini menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Bagi mereka teori
memang penting, tapi tidak akan berguna jika tidak dipraktikkan.[15] Pragmatis adalah kebalikan dari
teoris. Bagi siswa yang termasuk golongan ini beranggapan sesuatu adalah baik dan berguna jika dapat
di praktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia

D. Pandangan Hubermas

Salah satu tokoh humanis laian adalah Hubermas. Manurutnya belajar baru terjadi jika ada interaksi
antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksud adalah lingkungan alam
maupun lingkungan sosial, karena antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan pandangannya
tersebut, Hubermas membagi tipe belajar menjadi tiga bagian , yaitu

1. Belajar teknis ( technical learning )

Dalam belajar teknis siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Pengetahuan dan
keterampilan apa yang dibutuhkan dan perlu dipelajari agar mereka dapat menguasai dan mengelola
alam dengan sebaik baiknya. Oleh karena itu ilmu alam atau sain amat dipentingkan dalam belajar teknis

2. Belajar praktis ( practical learning )

Pada belajar ini siswa juga belajar berinteraksi, tetapi yang lebih dipentingkan adalah interaksi dia
dengan orang-orang di sekelilingnya. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang
harmonis antar sesama manusia. Untuk itu bidang bidang ilmu yang berhubungan dengan sosiologi,
komunikasi, psikologi, antropologi, dan semacamnya sangat diperlukan.
3. Belajar emansipatoris ( emancipatory learning)

Pada belajar ini siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang
perubahan ( transformasi ) kultural dari suatu lingkungan. Inilah tujuan pendidikan yang paling tinggi.
[16][9]

Psikologi humanistik dan pengajaran di dalam bagian ini berisi tentang bagaimana para psikolog
humanistik berupaya menggabungkan keterampilan dan informasi kognitif dengan segi efektif , nilai –
nilai, dan perilaku antar pribadi. Sehubungan dengan itu akan di bicarakan tiga macam program :

a. Confluent education

Adalah proses pendidikan yang memadukan atau mempertemukan pengalaman – pengalaman afektif
dengan belajar kognitif di dalam kelas.[17][10] Sebagai contoh guru bahasa indonesia memberikan
tugas pada para siswa untuk membaca sebuah novel, misalnya tentang “keberanian” sebuah novel
perang. Melalui tugas itu siswa diharapkan memahami isi bacaan tersebut dengan sebaik – sebaiknya
tetapi juga memperoleh kesadaran antar pribadi yang lebih baik dengan jalan membahas pengertian
mereka sendiri mengenai keberanian dan perasaan takut. Untuk keperluan itu tugas tersebut di lengkapi
dengan tugas – tugas yang berkaitan, antara lain :

1. Mewawancarai orang – orang yang tahu tentang perang.

2. Mendengarkan musik perang, menuliskan pikiran – pikiran dan perasaan yang timbul secara bebas,
kemudian menghayatinya dalam kelompok – kelompok kecil.

3. Memperdebatkan apakah perang itu dapat dihindari ataukah tidak.

4. Membandingkan perang saudara dengan sajak – sajak perang.

b. Open Education

Adalah proses pendidikan terbuka, Menurut Walberg dan Thomas (1972), open education itu memiliki
delapan kriteria :

1. Kemudahan belajar tersedia, artinya berbagai macam bahan yang di perlukan untuk belajar tersedia

2. Penuh kasih sayang, hormat, terbuka dan hangat artinya menggunakan bahan buatan siswa : guru
menangani masalah – masalah tingkah laku dengan jalan berkomunikasi secara pribadi dengan siswa
yang bersangkutan saja.

3. Mendiagnosis peristiwa – peristiwa belajar , artinya siswa – siswa memeriksa pekerjaan mereka
sendiri.

4. Pengajaran, artinya pengajaran individual ; tidak ada tes ataupun buku kerja.

5. Penilaian, artinya guru membuat penilaian secara individual : hanya sedikit sekali di adakan test
formal.
6. Mencari kesempatan untuk pertumbuhan profesional, artinya guru menggunakan bantuan orang
lain, guru bekerja dengan teman – teman sekerjanya.

7. Persepsi guru sendiri, artinya guru berusaha mengamati semua siswa untuk memantau kegiatan
mereka.

8. Asumsi tentang para siswa dan proses belajar, artinya suasana kelas hangat dan ramah, sehingga
para siswa asyik melakukan sesuatu.[18][11]

Meskipun pendidikan terbuka itu memberikan kesempatan pada para siswa untuk bergerak
secara bebas di sekitar ruangan dan memilih aktifitas belajar mereka sendiri, namun bimbingan guru
tetap di perlukan. Kira-kira perlu di catat bahwa open education ini lebih efektif dari pada pendidikan
tradisional dalam hal meningkatkan hal belajar yang bersifat efektif, kerja sama, kreatifitas.

c. Cooperative learning

Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam
kelompok kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sudah ditentukan. Ada empat
unsur yang terpenting dalam Cooperative Learning, yaitu :

1. Adanya peserta dalam kelompok

2. Adanya aturan kelompok

3. Adanya upaya belajar setiap anggota kelompok

4. adanya tujuan yang harus dicapai oleh kelompok[19]

Cooperative Learning merupakan strategi belajar yang akhir akhir ini menjadi perhatian dan dianjurkan
oleh para ahli pendidikan untuk digunakan. Menurut Slavin (1995) ada dua alasan yang mendasari
anjuran untuk menerapkan Cooperative Learning yaitu, Pertama Beberapa hasil penelitian membuktikan
bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, sekaligus dapat
meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang
lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua Pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan
kebutuhan siswa dalam belajar berfikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dan
keterampilan.[20]

Menurut Jonhson (1994) dan Sutton (1992) terdapat lima unsur penting dalam pembelajran kooperatif,
yaitu :

1. Saling ketergantungan yang bersifat positif antara siswa

2. Interaksi antar siswa yang semakin meningkat

3. Tanggung jawab individual dalam mengemban tugas

4. Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil


5. Proses kelompok[21]

Selain lima unsur penting yang terdapat dalam model pembelajaran kooperatif, model pembelajran ini
juga mengandung prinsip yang membedakan dengan model pembelajaran lainnya. Menurut Slavin
(1995) konsep utama dari pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut :

1. Penghargaan kelompok, yang akan diberikan jika kelompok mencapai kreteria yang ditentukan

2. Tanggung jawab Individual, bermakna bahwa suksesnya kelompok tergantung pada belajar
individual semua anggota kelompok.

3. Kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan, bermakna bahwa siswa telah membantu
kelompok dengan cara meningkatkan belajar mereka sendiri. Hal ini memastikan siswa yang
berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah akan tertantang dalam menyelesaikan tugasnya dengan
sebaik baiknya.

Adapun teknik dalam belajar cooperative learning itu ada empat macam :

a. Team game tournament (TGT); dalam teknik ini siswa –siswa yang kemampuan dan jenis kelaminnya
berbeda di satukan dalam team (4 orang). Setelah itu guru menyajikan soal dan team lalu mengerjakan,
saling mengajukan pertanyaan dan belajar bersama se team untuk menghadapi tournament yang
biasanya di selenggarakan seminggu sekali.

b. Teams – achievement divisions; teknik ini juga menggunakan team (4 orang) tetapi kegiatan
tournament di ganti dengan bertanya selama lima belas menit. Skor – skor pertanyaan menjadi skor
team.

c. Jigsaw, dalam teknik ini siswa di masukan dalam tim –tim kecil yang bersifat heterogen. Bahan
pelajaran di bagikan kepada anggota anggota team. Kemudian siswa tersebut mempelajari bahan
pelajaran yang sama dengan team lain kemudian mereka kembali ke kelompoknya masing – masing dan
menjelaskan apa yang telah dipelajari dari kelompok lain tersebut kepada kelompoknya.[22][12]

d. Group investigation adalah teknik di mana para siswa bekerja di dalam kelompok – kelompok kecil
yang menangani berbagai macam proyek kelas. Setiap kelompok membagi tugas tersebut menjadi sub
topik – sub topik, kemudian setiap anggota kelompok melakukan penelitian yang di perlukan untuk
mencapai tujuan kelompok, setelah itu kelompok mengajukan hasil penelitiannya kepada kelas. Dalam
metode ini hadiah atau point tidak di berikan.

E. Pandangan Bloom dan Krathwohl

Selain tokoh tokoh di atas Bloom dan Krathwohl juga termasuk penganut aliran humanistik.
Pandangan ini menekankan pada apa yang harus dikuasai oleh individu ( sebagai tujuan belajar ) setelah
melalui peristiwa belajar. Tujuan belajar telah dirangkum dalam tiga kawasan yang disebut Taksonomi
Bloom. Melalui Taksonomi Bloom inilah telah berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar
pendidikan dalam mengembangkan teori teori dan praktek pembelajaran. Taksonomi Bloom ini talah
membantu pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan belajar yang akan di capai. Melalui Taksonomi
Bloom ini juga para praktisi pendidikan dapat membuat program-program pembelajarannya. Adapun
ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom ini adalah sebagai berikut :

1. Domain Kognitif, terdiri atas 6 tingkatan , yaitu

a. Pengetahuan ( mengingat, menghafal )

b. Pemahaman ( menginterprestasikan )

c. Aplikasi ( menggunakan konsep untuk memecahkan masalah )

d. Analisis ( menjabarkan suatu konsep )

e. Sintesis ( menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi sebuah konsep yang utuh

f. Evaluasi ( membandingkan nilai – nilai, ide, metode , dll )

2. Domain Psikomotor, terdiri dari 5 tingkatan, yaitu :

a. Peniruan ( menirukan gerak )

b. Penggunaan ( menggunakan konsep untuk melakukan gerak )

c. Ketepatan ( melakukan gerak dengan benar )

d. Perangkaian ( melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar )

e. Naturalisasi ( melakukan gerak secara wajar )[23]

3. Domain afektif , terdiri dari 5 tingkatan, yaitu :

a. Pengenalan ( ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu )

b. Merespon ( aktif berpartisipasi )

c. Penghargaan ( menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu )

d. Pengorganisasian (menghubung - hubungkan nilai-nilai yang dipercayai)

e. Pengalaman ( menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup ).

F. Aplikasi dan Implikasi dari Penerapan Teori Belajar Humanistik dalam Pembelajaran

Teori Humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih praktis.
Teori ini dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari pada bidang
pendidikan, sehingga sukar menterjemahkannya ke dalam langkah langkah yang lebih konkret. Semua
tujuan pendidikan di arahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang di cita - citakan,
yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri. Maka sangat perlu diperhatikan perkembangan
peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya serta realisasi diri. Pengalaman emosional dan
karakteristik khusus individu dalam belajar perlu diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran.

Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat,
sebagaimana tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi
belajar yang diatur dan ditentukan, serta pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa mungkin saja
berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Rogers dalam Snelbecker, 1974). Hal ini tidak sejalan
dengan teori humanistik. Menurut teori ini, agar belajar bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan
keterlibatan penuh dari siswa sendiri.[25]

Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada
dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu
diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori humanistic ini masih sukar untuk
diterjemahkan kedalam langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbangan
teori ini sangat besar. Ide-ide, konsep-konsep tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para
pendidik dan guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia.

Dalam prakteknya teori humanistic ini cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir induktif,
mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar.
Oleh sebab itu, walaupun secara eksplisit belum ada pedoman baku tentang langkah - langkah
pembelajaran dengan pendekatan humanistic, namun paling tidak dapat dirumuskan langkah -langkah
pembelajaran sebagai berikut:

1. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran

2. Menentukan materi pembelajaran

3. Mengidentifikasikan kemampuan awal siswa

4. Mengidentifikasi topic-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secar aktif melibatkan diri
dalam atau mengalami dalam belajar

5. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran

6. Membimbing siswa belajar secara aktif

7. Membimbing siswa untuk memahami hakekat makna dari pengalaman belajarnya

8. Membimbing siswa membuat konseptual pengalaman belajarnya

9. Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata

10. Mengevaluasi proses dan hasil belajar[26]

Adapun Prinsip- prinsip belajar humanistic menurut Rogers adalah sebagai berikut :
1. Manusia mempunyai belajar alami

2. Belajar signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempuyai relevansi dengan
maksud tertentu

3. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya

4. Tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasarkan bila ancaman itu kecil

5. Belajar yang bermakna diperolaeh jika siswa melakukannya

6. Belajar lancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar

7. Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberi hasil yang mendalam

8. Kepercayaan pada diri pada siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri

9. Belajar sosial adalah belaja[27]

DAFTAR PUSTAKA

- B. Uno, Dr. Hamzah Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara.

- Budiningsih, Asri, Belajar dan pembelajaran, Jakarta; PT Rineka Cipta, 2005.

- Djiwandono, Sri Esti Wuryani, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. Grasindo, 2002.

- Dr. Iskandar,M.Pd . Psikologi pendidikan ,Cipayung : Gaung persada (GP) Press,2009.

- Frank G. Goble, Madzab ke-tiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow, terj. A. Supratinya,
Yogyakarta;Kanisius, 1997.

- Hakim,Thursan, Belajar secara Efektif, Solo: Niaga Swadaya, , 2007.

- Hamalik,Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

- Mahmud, Drs. M. Dimyati., Psikologi Pendidikan,Yogyakarta : BPFE – Yogyakarta, 1990.

- Sanjaya , Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta, Kencana, 2008.

- Tadjab, Ilmu Jiwa Pendidikan, Surabaya; Karya Abditama, 1994.


- Trianto, M.Pd, Mendesain Model pembelajaran Inovativ progresive, Jakarta, Kencana, 2010.

Anda mungkin juga menyukai