Anda di halaman 1dari 21

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...........................................................................................................1
DAFTAR ISI..........................................................................................................................2
KATA PENGANTAR............................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG MASALAH.............................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH.............................................................................................5
C.    TUJUAN PENULISAN...............................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................6
A. KASUS KEKERASAN YANG TERJADI..................................................................6
B. KEKERASAN DITINJAU DARI BERBAGAI LANDASAN PENDIDIKAN ..........7
C. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN...11
D. SOLUSI MENGATASI KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN...............15

BAB III PENUTUP .............................................................................................................19


A. KESIMPULAN..........................................................................................................19
B. SARAN......................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................21

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatakan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan nikmat, taufik dan hidayah-nya. Sehingga saya dapat menyelesaikan
paper yang berjudul “Kekerasan di Dunia Pendidikan” dengan baik tanpa ada
halangan yang berarti.

Paper ini telah saya selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya sampaikan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi secara maksimal
dalam menyelesaikan paper ini.

Diluar itu, saya sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa


masih banyak kekurangan dalam penulisan paper ini, baik dari segi tata
Bahasa, susunan kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala
kerendahan hati, saya selaku penyusun menerima segala kritik dan saran yang
membangun dari pembaca.

Demikian yang bias saya sampaikan, semoga paper ini dapat


menambah khazanah ilmu pengetahun dan memberikan manfaat nyata untuk
masyarakat luas.

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Tindakan kekerasan sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari yang


terjadi dalam ruang lingkup masyarakat, keluarga maupun sekolah. Dalam
menyelesaikan suatu konflik atau permasalahan selalu disertai dengan
tindakan kekerasan. Secara umum, tindakan kekerasan dapat diartikan sebagai
suatu tindakan yang dapat merugikan orang lain, baik secara fisik maupun
secara psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik semata, tetapi
juga berbentuk eksploitasi psikis. Dan justru kekerasan psikislah yang perlu
diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si
korban.
Dewasa ini, sering terjadi kekerasan dalam dunia pendidikan yang
sudah menjadi sorotan masyarakat. Berbagai bentuk kekerasan, mulai dari
kekerasan verbal seperti membentak siswa sampai dengan kekerasan fisik
yakni menampar sampai memukul siswa telah menjadi fenomena di dunia
pendidikan negeri ini. Kondisi tersebut sudah berlangsung lama, bahkan
frekuensinya meningkat seiring dengan meningkatknya agresifitas siswa didik
di lingkungan sekolah. Tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan sering
dikenal dengan istilah Bullying.
Tindakan kekerasan dalam pendidikan ini dapat dilakukan oleh siapa
saja, misalnya teman sekelas, kakak kelas dengan adik kelas, guru dengan
muridnya dan pemimpin sekolah dengan staffnya. Tindakan kekerasan
tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan meskipun terdapat beberapa alasan
tertentu yang melatarabelakanginya. Tindakan kekerasan juga bisa terjadi
dalam bentuk aksi demonstrasi mahasiswa, baik dalam bentuk fisik maupun
dalam bentuk lisan. Misalnya, mencaci maki, berkata kasar dan kotor, serta
tawuran yang terjadi antar mahasiswa.

3
B. RUMUSAN MASALAH
Masalah adalah suatu kendala atau persoalan yang harus dipecahkan agar
tercapainya tujuan dengan hasil yang maksimal.
Dalam paper ini, masalah yang akan dipecahkan adalah:
1.      Bagamaina paparan kekerasan apabila ditinjau dari berbagai landasan
pendidikan Indonesia?
2.      Mengapa terjadi kekerasan dalam dunia pendidikan? Dan Apa dampak
dari kekerasan dalam dunia pendidikan?
3.      Bagaimana solusi mengatasi kekerasan dalam dunia pendidikan?

C.      TUJUAN PENULISAN
Tujuan merupakan langkah pertama dalam proses mencapai kesuksesan, dan
tujuan dari penulisan paper ini adalah:
1.      Untuk mengetahui alasan terjadinya kekerasan dalam dunia
pendidikan.
2.      Untuk mengetahui alasan dan dampak terjadinya kekerasan dalam
dunia pendidikan.
3.      Untuk mengetahui solusi mengatasi kekerasan yang terjadi dalam
dunia pendidikan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. KASUS KEKERASAN YANG TERJADI

Gambar 1.1 Kekerasan

Seorang siswa salah satu SMP negeri di Kota Yogyakarta menjadi korban
tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru di sekolahnya, Rabu
(20/03/2019). Pelajar kelas VII berinisial AA tersebut ditendang oleh oknum
guru lantaran terlambat dan dianggap nakal. Akibat kejadian itu AA
mengalami trauma psikis dan enggan untuk sekolah. Orangtua korban, Mn
mengungkapkan peristiwa yang dialami anaknya itu terjadi pagi tadi. Oleh
oknum guru tersebut AA ditendang pada tubuh bagian belakang dan
mengenai pantatnya. Mn mengetahui apa yang diamani anaknya itu setelah
AA pulang dan menceritakan perihal yang terjadi di sekolah. Mendapat
aduan dari anaknya, Mn segera mendatangi sekolah untuk meminta
penjelasan akan permasalahan tersebut. “Saya langsung datang ke sekolah

5
dan mendapatkan jawaban itu (adanya tindak penendangan). Awalnya tidak
ada pernyataan maaf, baru saat saya akan pulang dari pihak sekolah
menyampaikan maaf,” ungkapnya. Warga Karanganyar Brontokusuman
Mergangsan Yogyakarta ini menyesalkan atas apa yang dilakukan oleh
oknum guru tersebut kepada anaknya. Menurut Mn jika anaknya dianggap
bersalah, tidak seharusnya pihak sekolah maupun guru memberikan
hukuman berupa tindakan fisik seperti itu. “Saya mengatakan kepada pihak
sekolah akan melaporkan permasalahan ini. Ini saya lakukan agar tindak
kekerasan seperti itu tidak terulang lagi kepada anak saya atau siswa lain,”
katanya. Siang tadi Mn mendatangi gedung DPRD Kota Yogyakarta untuk
melaporkan kepada wakil rakyat. Ditemui Pimpinan Komisi D DPRD Kota
Yogyakarta Antonius Fokki Ardiyanto SIP, ibu korban menyampaikan
perihal peristiwa yang dialami anaknya. Fokki Ardiyanto menilai tindak
kekerasan di sekolah mencoreng citra dunia pendidikan, apalagi Yogyakarta
merupakan Kota Pelajar. Menurutnya pendidikan berbasis pengembangan
karakter dapat dikembangkan dan diimplementasikan dengan pedoman yang
telah ditetapkan sesuai peraturan yang berlaku. Mendapat laporan tersebut
Fokki Ardiyanto berjanji akan menindaklanjutinya dengan
mengklarifikasikan dengan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta. Hal itu
supaya peristiwa serupa tidak terjadi lagi dalam dunia pendidikan di tanah
air, khususnya Yogya. (Van)

B. KEKERASAN DITINJAU DARI BERBAGAI LANDASAN


PENDIDIKAN INDONESIA

1. Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan


Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:
a)      Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, “fungsi pendidikan nasional untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

6
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
b)      Pasal  4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi  hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas).
c)      Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut:
(1)   Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau
ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta
rupiah).
(2)   Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), luka
berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(3)   Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mati,
maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
(4)   Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut orang tuanya.

Kemudian yang berkaitan dengan kekerasan seksual, yaitu:


Pasal 81

7
(1)   Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
(2)   Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain.
Pasal 82
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).” (UU Perlindungan Anak).
Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa
siswa wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun,
termasuk guru di sekolah.
Pasal 54
“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya
di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.” (UU
Perlindungan Anak).

2. Tinjauan dari Landasan Psikologi Pendidikan


Kekerasan yang dilakukan dalam dunia pendidikan disebut corporal
punishment, yaitu adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang

8
tertentu pada orang lain atas nama pendisiplinan anak dengan menggunakan
hukuman fisik, meskipun sebenarnya hukuman/kekerasan fisik tersebut tidak
diperlukan (W.W. Charters, 197).
Namun pada dasarnya, tindakan kekerasan atau bullying dapat
dibedakan menjadi kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan fisik dapat
diidentifikasi berupa tindakan pemukulan (menggunakan tangan atau alat),
penamparan, dan tendangan. Selain itu, kekerasan fisik terhadap anak juga bisa
berbentuk seksual (pelecehan seksual, pencabulan, pemerkosaan dst).
Adapun kekerasan psikis antara lain berupa tindakan mengejek atau
menghina, mengintimidasi, menunjukkan sikap atau ekspresi tidak senang, dan
tindakan atau ucapan yang melukai perasaan orang lain.
Dalam dunia pendidikan dikenal adanya sistem
pemberian reward (hadiah) dan punishment (hukuman). Yang
mana reward dan punishment tersebut pada umumnya dikorelasikan dan
dianggap berasal dari pembahasan reinforcement (dorongan, dukungan,
motivasi), yang diperkenalkan oleh Thorndike (1898-1901). Dorongan atau
motivasi tersebut ditujukan untuk memperkuat sikap/tingkah laku individu.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila reinforcement ini ditiadakan,
maka sebagai akibatnya perbuatan individu tersebut akan melemah.
Dalam teori umum manajemen yang juga diadopsi dalam manajemen
pendidikan, berkenaan dengan reward dan punishment ini, dikenal adanya teori
X dan teori Y yang dikemukakan oleh Mc. Gregor. Teori X dianggap sebagai
teori “konvensional” yang mengasumsikan bahwa pada dasarnya manusia itu
pemalas. Oleh karena itu mereka harus selalu diawasi serta dimotivasi oleh rasa
takut akan menerima hukuman dan bahwa mereka mencoba sebanyak mungkin
untuk menghindar dari rasa tanggung jawab (responsibility).
Sebaliknya, teori Y yang dikenal sebagai pendekatan perilaku (attitude
approach) mengatakan bahwa usaha fisik dan mental adalah sama alamiahnya
dalam kerangka pekerjaan, bermain ataupun istirahat. Oleh sebab itu, ancaman
hukuman menurut teori ini bukan merupakan sarana yang baik dan tepat untuk

9
membujuk seseorang menjadi rajin. Komitmen terhadap tujuan sudah
merupakan penghargaan tersendiri dan bahwa rata-rata manusia belajar untuk
mencari tanggung jawab dan bukan untuk menghindarinya.
Berkenaan dengan hal ini, menurut kaca mata Islam, konsep pemberian
hadiah dan pemberian hukuman juga bukan merupakan terma yang asing lagi.
Alquran al-Karim sendiri banyak memuat dan menyinggung kedua konsep ini,
di antaranya dalam Surat al-Taubah ayat 74, al-Ruum ayat 10, al-Bayyinah ayat
6 dan 8, al-Baqarah ayat 61-62, al-Ankabut ayat 53 dan 58, dan Ali Imran ayat
10 dan 21.
Seorang pemikir Islam terkemuka, al-Ghazali, berpendapat bahwa
reward sudah sepantasnya diberikan kepada peserta didik yang berprestasi di
depan anak-anak yang lain. Tujuannya adalah agar anak-anak yang lain menjadi
termotivasi untuk berbuat kebaikan yang serupa.

C. FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK TERJADINYA KEKERASAN


DALAM DUNIA PENDIDIKAN

a.      Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan dalam Dunia Pendidikan


Tindak kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga
pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun
tidak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak
kekerasan. Seperti pada akhir 1997, di salah satu SDN Pati, seorang ibu guru
kelas IV menghukum murid-murid yang tidak mengerjakan PR dengan
menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan siswa. Sementara di Surabaya,
seorang guru olehraga menghukum lari seorang siswa yang terlambat datang
beberapa kali putaran. Tetapi karena fisiknya lemah, pelajar tersebut tewas.
Dalam periode yang yang tidak berselang lama, seorang guru SD Lubuk
Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan
dalam kondisi telanjang bulat. Bulan Maret 2002 yang lalu, terjadi pula
seorang pembina pramuka bertindak asusila terhadap siswinya saat

10
acara camping. Selain tersebut di atas, masih banyak lagi kasus kekerasan
pendidikan yang melembari wajah pendidikan kita.
Dari beberapa kasus yang tersebutkan di atas, terdapat beberapa analisa
tentang faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam dunia
pendidikan, antara lain yaitu:
1.      Kekerasan dalam dunia pendidikan muncul karena adanya pelanggaran
yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, adapihak yang melanggar
dan ada pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak
sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan
tindak kekerasan. Tawuran antar pelajar atau mahasiswa merupakan contoh
kekerasan ini. Selain itu, kekerasan dalam pendidikan tidak selamanya fisik,
melainkan bisa berbentuk pelanggaran atas kode etik dan tata tertib
sekolah.  Misalnya, siswa mbolos sekolah dan pergi jalan-jalan ke tempat
hiburan.
2.      Kekerasan dalam dunia pendidikan juga bisa dikarenakan oleh buruknya
sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya
mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif
menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan.
3.      Kekerasan dalam dunia pendidikan dipengaruhi juga oleh lingkungan
masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini
kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan.
4.      Kekerasan dalam dunia pendidikan bisa dipengaruhi oleh latar belakang
sosial-ekonomi pelaku. Pelaku kekerasan sering muncul karena Ia mengalami
himpitan sosial-ekonomi.

Kekerasan dalam pendidikan tidak semata hanya dilakukan oleh guru kepada
siswanya. Tetapi ada juga dari siswa atau orang tua kepada gurunya,
masyarakat kepada sekolah, kepala sekolah kepada guru, dan antara siswa
sendiri. Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, istilah
kekerasan (violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku yang disertai

11
penggunaan kekuatan kepada orang lain, baik secara terbuka (overt) maupun
tertutup (covert) atau bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan
(defensive).
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa indikator kekerasan:
1.      Kekerasan terbuka (overt) yakni kekerasan yang dapat dilihat atau
diamati secara langsung; seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau
yang berkaitan dengan fisik. Sebagai contoh adalah pada 2011 yang lalu, yaitu
kasus pengeroyokan 4 siswa SMKI Yogyakarta (SMK Negeri 1
Kasihan), terhadap temannya Suharyanyo (17 tahun), siswa kelas tiga SMKI
yang dianiaya hingga meninggal karena alasan dugaan penipuan order
mendalang.
2.      Kekerasan tertutup (covert) yakni kekerasan tersembunyi atau tidak
dilakukan secara langsung; seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol
lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan.
Ancaman dianggap sebagai bentuk kekerasan¸ sebab orang hanya
mempercayai kebenaran ancaman dan kemampuan pengancam mewujudkan
ancamannya. Misalnya, kasus demonstrasi mahasiswa menolak SK Rektor
UGM Yogyakarta pada April 2006 lalu, tentang Biaya Operasional Pendidikan
atau BOP, kedua belah pihak saling mengancam. Di satu sisi, pihak UGM akan
melakukan sweeping KTP para demonstran, di pihak lain, mahasiswa
mengancam akan melakukan demo besar-besaran.
3.      Kekerasan agresif (offensive) yakni kekerasan yang dilakukan untuk
mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan
pembunuhan. Indikator kekerasan ini sudah masuk prilaku kriminal, di mana
pelakunya dapat dikenakan sanksi menurut hukum tertentu. Contohnya kasus
pembobolan mobil di Universitas Jember. Kaca mobil Kijang Innova (P 1047
RG) pecah saat diparkir di depan sebuah rumah kos di Jalan Mastrip II Jember.
4.      Kekerasan defensif (defensive) yakni kekerasan yang dilakukan sebagai
tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo dan

12
lainnya, sengketa tanah antara warga dengan pihak dari sebuah sekolah, dan
lain sebagainya.

b.      Dampak Terjadinya Kekerasan dalam Dunia Pendidikan


Dampak kekerasan dalam dunia pendidikan (baik pendidikan formal maupun
non formal) pada anak dapat membawa dampak negatif secara fisik maupun
psikis.  Dampak negatif tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara fisik, kekerasan ini mengakibatkan adanya kerusakan tubuh seperti:
luka-luka memar, luka-luka simetris di wajah (di kedua sisi), punggung, pantat,
tungkai, luka lecet, sayatan-sayatan, luka bakar, pembengkakan jaringan-
jaringan lunak, pendarahan dibawah kulit, dehidrasi sebagai akibat kurangnya
cairan, patah tulang, pendarahan otak, pecahnya lambung, usus, hati, pancreas.
Sedangkan pada penganiayaan seksual bisa berakibat kerusakan organ
reproduksi seperti: terjadi luka memar, rasa sakit dan gatal-gatal di daerah
kemaluan, pendarahan dari vagina atau anus, infeksi saluran kencing yang
berulang, keluarnya cairan dari vagina, sulit untuk berjalan dan duduk serta
terkena infeksi penyakit kelamin bahkan bisa terjadi suatu kehamilan.
2. Secara psikis,  anak yang mengalami penganiayaan sering menunjukkan:
penarikan diri, ketakutan atau bertingkah laku agresif, emosi yang labil,
depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan tidur, phobia,
kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras, gangguan
stress pasca trauma dan terlibat penggunaan zat adiktif, kesulitan
berkomunikasi atau berhubungan dengan teman sebayanya.
Mereka akan menutupi luka-luka yang dideritanya serta tetap bungkam
merahasiakan pelakunya karena ketakutan akan mendapatkan pembalasan
dendam. Dari hasil penelitian dikatakan bahwa penganiayaan pada masa anak
menyebabkan anak berpotensi memiliki gangguan kepribadian ambang

13
sehingga kelak anak juga berpotensi menderita depresi pada masa dewasanya.
Disamping itu timbulnya gejala disaosiasi termasuk amnesia terhadap ingatan-
ingatan yang berkaitan dengan penganiayaannya (Suyanto & Hariadi, 2002).
Selain itu kekerasan yang terjadi pada anak dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan jiwa anak, sehingga kreativitas dan produktivitas anak
menjadi terpasung, yang pada akhirnya mengakibatkan self development yang
optimal pada diri anak tidak tercapai. Lebih jauh, jika kekerasan tersebut
terjadi di sekolah maka anak akan menaruh kebencian terhadap sekolah dan
jika kekerasan tersebut terjadi dalam keluarga maka anak akan tidak betah
dirumah.
Dampak lain yang timbul dari efek bullying ini adalah menjadi pendiam atau
penyendiri, minder dan canggung dalam bergaul, tidak mau sekolah, stres atau
tegang, sehingga tidak konsentrasi dalam belajar, dan dalam beberapa kasus
yang lebih parah dapat mengakibatkan bunuh diri.

D. SOLUSI MENGATASI KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN


Sekecil apapun dampak yang timbul terhadap praktek kekerasan dalam dunia
pendidikan, tetap saja hal itu adalah suatu kesalahan. Sekolah sepatutnya tempat
bagi siswa untuk berkembang. Namun, di saat kekerasan terjadi di sekolah,
sekolah justru mematikan perkembangan psikologi siswa.
Ada 7 hal yang harus dipahami dan kemudian diterapkan oleh pendidik untuk
memperoleh kepercayaan anak didik agar mencapai maksud dari pendidikan itu,
tanpa harus menggunakan kekerasan.
A. Tindakan Alternatif
Cara pendidikan tanpa kekerasan digambarkan sebagai sebuah cara ketiga
atau alternatif ketiga, setelah tindakan menyalahkan dan aksi kekerasan
karena hal itu. Seorang pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa,
mempunyai tiga pilihan setelah itu, apakah dia akan menyalahkannya,
menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa memperbaiki kesalahan itu
atau menggunakan cara ketiga yang tanpa kekerasan.

14
Menahan diri untuk tidak menyalahkan tentu bukan perkara mudah bagi
orang dewasa apabila melihat sebuah kesalahan dilakukan oleh anak di
depan matanya. Tapi perlu diingat bahwa sebuah tudingan bagaimanapun
akan berbuah balasan dari anak, karena secara insting dia akan
mempertahankan dirinya. Reaksi atas sikap anak yang membela diri inilah
yang ditakutkan akan berbuah kekerasan dari pendidik terhadap anak didik.

B. Keakraban Penuh Keterbukaan


Keakraban maksudnya berbagi dengan orang lain dengan tidak membeda-
bedakan anak-anak didik, dan terbuka adalah tidak menutup-nutupi hal apa
pun atau mencoba mengambil keuntungan dari hal-hal yang tidak diketahui
siswa. Sebuah keakraban yang penuh keterbukaan hanya bisa terjalin
apabila adalah rasa persaudaraan kemanusiaan antara pihak pendidik dan
siswa.
Di dalam keakraban ada kasih sayang, keramahan, sopan-santun, saling
menghargai dan menghormati. Sedang keterbukaan mengandung unsur
kejujuran, kerelaan dan menerima apa adanya.
Keakraban yang terbuka ini ibarat pintu bagi masuknya sebuah
kepercayaan. Ketika anak didik sudah merasakan keakraban yang terbuka
dari gurunya, maka dia dengan senang akan mendengarkan apa pun yang
disampaikan oleh sang guru.
C. Komunikasi yang Jujur
Penipuan adalah sesuatu yang sulit dipisahkan dari kekerasan, disebabkan
kurangnya rasa hormat kepada orang lain atau takut terhadap kenyataan.
Tindakan dengan kasih sayang didasarkan pada ukurannya dalam
kebenarannya setiap orang, yang tidak bisa memisahkan dirinya dari
kebenaran dan kenyataan.
Jadi, untuk menjadi benar kepada diri sendiri, kita juga harus benar
terhadap orang lain.  Sampaikan kepada anak didik kebenarannya; arahkan
kemarahan kita terhadap kesalahannya, bukan kepada orangnya. Temukan

15
solusi dalam konflik dan kesalahpahaman, dan itu tidak bisa dibangun
apabila kita menggunakan kebohongan dan penipuan.
D. Hormati Kebebasan dan Persamaan
Di dalam pendidikan tanpa kekerasan ini, kita semuanya bebas dan setara,
setiap orang mendengarkan suara nurani sendiri dan saling berbagi
perhatian.  Lalu kemudian dengan bebas diputuskan, berdasarkan pada
semua pertimbangan individu-individu, bagaimana keinginan bersama
ingin diwujudkan.  Dengan demikian kita harus mengenali dengan jelas
kebebasan memilih dan hak yang sama setiap orang untuk mengambil
bagian dalam kegiatan itu.
Yang lebih penting lagi adalah kita menyadari persamaan semua manusia
dan menghormati kebebasan anak didik sama seperti kita menghendaki
kebebasan kita sendiri dihormati.  Tindakan tanpa kekerasan bukanlah
bentuk usaha untuk mengendalikan yang lain atau penggunaan paksaan
terhadap mereka.  Jika kita mencintai anak didik, kita menghormati
otonomi mereka untuk membuat keputusan-keputusan mereka sendiri. Kita
pasti dapat berkomunikasi dengan mereka, dan kita bahkan dapat
menghadapi mereka dengan kehadiran kita untuk memaksa mereka tanpa
kekerasan untuk membuat sebuah pilihan, jika kita yakin mereka telah
melakukan kesalahan.  Perbedaan yang penting adalah kita tidak memaksa
mereka secara fisik atau dengan kasar untuk mencapai apa yang kita
inginkan.
E. Rasa Kasih yang Berani
Bertentangan dengan kepercayaan umum, pendidikan tanpa kekerasan
bukan sebuah metoda pasif dan lemah, dan itu pasti bukan untuk para
penakut. Tindakan tanpa kekerasan lebih banyak membutuhkan keberanian
dibanding perkelahian dengan kekerasan seperti dalam peperangan, meski
tampaknya itu semacam keberanian.  Karena jika kita melihat lebih jauh
penggunaan senjata merupakan kompensasi dari rasa takut terhadap
lawan. Dan tindakan kekerasan merupakan bukti adanya perasaan takut

16
lawan lebih dulu melakukannya terhadap kita. Jadi melakukan tindakan
tanpa kekerasan menunjukkan ketinggian martabat yang penuh keberanian.
Rasa kasihan adalah anugerah kepada hati kita.  Rasa kasihan bisa
digambarkan sebagai kasih yang tidak hanya berempati terhadap orang lain
di dalam merasakan apa yang mereka alami, tetapi juga mempunyai
keberanian dan kebijaksanaan untuk melakukan sesuatu terhadap hal itu.
Di dalam rasa kasihan, kita tidak melampiaskan kemarahan dan rasa benci
kepada anak didik yang melakukan kesalahan, namun dengan kemurahan
hati dan kepedulian, kita memperbaikinya.  Rasa kasihan datang dari rasa
kesatuan dengan orang lain, memperluas hati kita sehingga kita bisa
merasakan empati atas penderitaan orang lain dan menolong mereka.
F. Saling Mempercayai Secara Penuh
Cara dengan kasih sayang didasarkan pada keyakinan bahwa jika kita
bertindak dengan cara yang baik tidak akan pernah merugikan bagi
siapapun, dan akan menghasilkan kebaikan juga.  Alih-alih mengendalikan
anak didik dengan ancaman dan kekuasaan kita, lebih baik menggunakan
kecerdasan masing-masing pihak untuk memecahkan masalah dengan
komunikasi yang baik dan negosiasi.
Untuk mempercayai anak didik secara penuh kita harus melepaskan
kepercayaan itu dari kendali kita sendiri, dan membiarkan situasi
memprosesnya.  Tentu saja melepaskan kepercayaan tidak berarti kita
mempercayai dengan membabi buta.  Kita harus tetap memonitor apa yang
terjadi dan memantau hasilnya secara terus menerus.
G. Ketekunan dan Kesabaran
Dalam pendidikan tanpa kekerasan, kesabaran adalah kebaikan yang
bersifat revolusioner.  Kesabaran bukanlah sebuah pembiaran tanpa
tindakan apa pun, tetapi peningkatan kualitas dari sebuah pertolongan yang
bertahan pada tuntutannya, dan melanjutkannya dengan cara cerdas penuh
ketenangan.  Ketika kita terperangkap dalam situasi konflik, emosi kita
sering sangat aktif dan bergolak.  Kita harus hati-hati dengan reaksi tanpa

17
pemikiran atas apa yang sedang kita lakukan dan konsekuensi-konsekuensi
yang mungkin terjadi.  Kesabaran memberikan kepada kita waktu untuk
berpikir tentang tindakan-tindakan kita agar terhindar dari kekerasan dan
bertindak efektif.  Lebih baik menunggu dan kehilangan sebuah peluang
kecil dibandingkan terburu-buru namun menemui sesuatu yang bodoh dan
tidak dipersiapkan.  Peluang baru pasti akan muncul kemudian, jika kita
berusaha memecahkan persoalan, karena di lain waktu kita akan siap untuk
bertindak dengan cara yang baik.
Tidak seperti cara militer yang cepat dan kasar, pendidikan tanpa
kekerasan bersifat melambat dan dimulai dengan peringatan-peringatan
untuk memberikan kesempatan kepada anak didik secara sadar berpikir
bagaimana seharusnya.  Kita tidak menghendaki anak didik bereaksi
dengan cepat secara insting.  Kita menghendaki anak didik mengetahui
metoda-metoda kita sehingga mereka dapat menanggapi sama tenang dan
cerdasnya.
Ketekunan juga berarti kita harus fleksibel di dalam strategi dan taktik kita.
Jika metodanya tidak berhasil, kita perlu mencoba cara lain.  Jika jalannya
mendapatkan halangan, kita dapat beralih ke hal lain yang juga
memerlukan perhatian.  Jika anak didik seperti kehilangan minatnya, kita
dapat dengan kreatif mencoba pendekatan baru terhadap permasalahan.
Pendidikan tanpa kekerasan harus dipenuhi kesabaran dan memaafkan dan
di saat yang sama gigih dalam membantu.  Ketika anak didik mengakui
bahwa mereka sudah melakukan kesalahan, kita harus menunjukkan sifat
pemaaf kepada mereka.  Sasaran terakhir dari pendidikan tanpa kekerasan
bukanlah kemenangan atas anak-anak didik kita tetapi menemukan sebuah
kehidupan yang harmonis antara pendidik sebagai orang tua, bersama-sama
dengan anak didik dalam damai dan keadilan.

18
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia
akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun,
semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian akhirnya
meledak. Kekerasan atau bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik
dan psikis. Proses pemberian punishment (hukuman) yang lebih menekankan
pada hukuman fisik dan psikis yang cenderung mencederai tubuh dan jiwa
peserta didik dalam proses pendisiplinan diri, sama sekali tidak dibenarkan
dalam Islam. Sebab Rasulullah saw. sebagai sosok teladan seluruh umat
manusia di bumi-Nya ini telah memberikan bukti-bukti nyata; Bagaimana cara
mendidik anak yang baik dan benar, yaitu diiringi dengan pendekatan kasih
sayang, keuletan serta kesabaran, dan bukan dengan cara kekerasan.

Namun demikian, tentu saja hal ini tidak dapat kemudian dimaknai dengan
memanjakan si anak. Pemberian reward yang tidak pada tempatnya atau
berlebihan (apalagi kalau selalu berbentuk material), justru akan menimbulkan
kesan yang negatif pada diri si anak. Karena hal ini secara langsung akan
menggiring mereka untuk berprinsip tidak akan berbuat baik bila tidak
diberikan hadiah.
Di sinilah para pendidik (guru, dosen, ustadz, dan lain-lain) dituntut untuk
memahami jiwa peserta didik. Yang perlu dicatat adalah bahwa tugas dan
kewajiban mereka bukan hanya sebagai penyampai dan pemberi ilmu
pengetahuan kepada peserta didik, akan tetapi juga
sekaligus counsellor (pembimbing) dan suri teladan yang baik.

B. SARAN
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan melalui paper ini adalah
pemerintah dan dinas kesehatan beserta orang tua berperan pentig dalam

19
mengupayakan agar tidak terjadi lagi kasus-kasus kekerasan seperti ini
terhadap anak karena dampak yang dirasakan anak akan sangatlah merugikan
perkembangan dan tumbuh kembang anak tersebut maka dari itu pemerintah
dan dinas kesehatan mengupayakan suatu kegitan pengawasan dan penyuluhan
terhadap seluruh tempat-tempat yang berada didesa ataupun kota.

DAFTAR PUSTAKA

Alifuddin, MM. 2012. Reformasi Pendidikan (Strategi Inovatif Peningkatan Mutu


Pendidikan. Jakarta: MAGNAScript Publishing.

Marno. 2008. Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam. Malang: Refika


Aditama.

Miftah, Zainul. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter Melalui Bimbingan &


Konseling. Surabaya: Gena Pratama Pustaka.

Rohani, Ahmad, HM. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

UUD 1945 Negara Republik Indonesia.

Depdikbud. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta : Balai Pustaka

Galtung Johan.1992. Kekuasaan dan kekerasan menurut Johan Galtung.


( Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

20
Susilowati, Pudji. 2010. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Pada Siswa.

Hardianti. 2008. Kekerasan dalam Pendidikan.

Hardjasapoetra. 2010. Kekerasan dalam dunia Pendidikan.

21

Anda mungkin juga menyukai