Nim : 4.20.5178
Kelas : PGMI (pagi)
Semester : III
Dari hasil tersebut, akhirnya APRA dan Westerling menjalin kerja sama dengan Sultan Pontianak,
Sultan Hamin II yang beraliran federalis. Mereka akan mencoba melakukan kudeta pada Januari 1950.
Tujuan kudeta ini adalah upaya untuk mempertahankan negara federal RIS saat sebagian besar negara
bagian RIS ingin membubarkan diri dan bergabung kembali dalam Republik Indonesia (RI). Pada Kamis,
5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang berisi ultimatum. Isi ultimatum
tersebut adalah ia menuntut agar pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara
Pasundan serta pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS diberi
waktu selama tujuh hari untuk memberikan jawaban, apabila ditolak, maka akan terjadi pertempuran besar.
Akhirnya, untuk mencegah terjadinya tindakan Westerling, tanggal 10 Januari 1950, Mohammad Hatta,
Wakil Presiden RI, mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling.
Westerling yang sudah mendengar rencana penangkapan tersebut pun kemudian mempercepat
pelaksanaan kudetanya. Westerling menyerang Bandung dan melakukan pembantaian di sana. Setelah
melakukan penyerangan, Westerling dan pasukannya kembali ke tempat masing-masing. Mereka pun
berniat untuk melakukan kudeta yang kedua. Akan tetapi, upaya tersebut gagal. Kegagalan ini
menyebabkan adanya demoralisasi anggota milisi terhadap Westerling. Ia pun terpaksa melarikan diri ke
Belanda. Sejak saat itu, APRA resmi tidak lagi berfungsi pada Februari 1950.
1. Pasukan Andi aziz
Pasukan Andi Azis merupakan pasukan KNIL atau pasukan Belanda yang ada di Indonesia.
Pemberontakan Andi Azis ini berawal dari tuntutan Andi Azis agar hanya pasukannya saja yang
dijadikan sebagai pasukan APRIS diNegara Indonesia Timur.Akan tetapi, keinginan ini ditolak oleh
pemerintah Indonesia, yang kemudian mengirimkan pasukan TNI ke Makassar. Andi Azis dan
pasukannya menolak masuknya pasukan APRIS dari TNI ke Makassar. Dalam suasana politik yang
sedang cukup tegang saat itu terdengar berita bahwa pada 5 April 1950, pemerintah Republik
Indonesia Serikat (RIS) mengirimkan sekitar 900 pasukan APRIS dari TNI ke Makassar, bertujuan
untuk menjaga keamanan di sana. Kesatuan TNI/APRIS ini dipimpin oleh Mayor HV Worang,
diangkut dengan dua buah kapal. Berita kedatangan mereka lantas membuat pasukan bekas KNIL
merasa khawatir akan terdesak dengan kehadiran pasukan baru tersebut. Akhirnya, mereka bergabung
dan menamakan diri “Pasukan Bebas” di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Kronologi Pukul 05.00
AM, tanggal 5 April 1950, Andi Azis bersama pasukannya yang dibantu oleh anggota Koninklije
Leger (pasukan Belanda) dan KNIL menyerang markas APRIS di Makassar. Berkat kekuatan yang
lebih unggul, Andi Azis bersama pasukannya berhasil menguasai kota Makassar. Beberapa prajurit
APRIS/TNI menjadi korban dan beberapa orang perwira termasuk Letkol AJ Mokoginta berhasil
ditawan. Setelah itu, untuk mengatasi pemberontakan Andi Azis ini, pada 7 April 1950 pemerintah
mengirim pasukan ekspedisi ke Sulawesi dipimpin Kolonel AE Kawilarang. Esok harinya, 8 April,
pemerintah mengultimatum Andi Azis agar dalam waktu 2 x 24 jam segera melaporkan diri ke Jakarta
untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Mengetahui ultimatum tersebut, Andi Azis berjanji
akan datang ke Jakarta pada 13 April 1950. Baca juga: Pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu
Adil) Penangkapan Akan tetapi, karena desakan Soumokil, pejabat Negara Indonesia Timur, Andi
Azis mengingkari janjinya sehingga ia dianggap sebagai pemberontak. Akhirnya, tanggal 15 April
1950, Andi Azis menyerahkan diri kepada Letkol Mokoginta. Ia kemudian dibawa ke Jakarta untuk
diadili dan dijatuhi hukuman penjara selama 14 tahun.
3. PRRI / permesta
PRRI/Permesta kerap disebut sebagai pemberontakan dalam sejarah usai pengakuan
kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, tepatnya sejak 1957. PRRI singkatan dari Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia, sedangkan Permesta berarti Perjuangan Rakyat Semesta.
Berdasarkan catatan Abdurakhman dan kawan-kawan dalam buku Sejarah Indonesia (2015), latar
belakang pemberontakan PRRI/Permesta adalah rasa ketidakpuasan dari angkatan militer di daerah
terhadap pusat, terutama muncul dari Sumatera dan Sulawesi. Situasi kian pelik karena beberapa
tokoh militer di daerah-daerah tersebut mulai menunjukkan ketidakpatuhan kepada pimpinan pusat.
Bahkan, urusan ini semakin serius ketika tuntutan-tuntutan otonomi daerah mulai diajukan.
Pemerintah pusat dianggap tidak adil kepada warga sipil dan militer soal pemerataan dana
pembangunan. Hal tersebut menyebabkan terbentuknya beberapa dewan perjuangan daerah pada
kurun waktu Desember 1956 hingga Februari 1957. Dikutip dari Prajurit-Prajurit di Kiri Jalan (2011)
yang ditulis Petrik Matanasi, PRRI dibentuk di Padang, Sumatera Barat, tanggal 15 Februari 1958.
Sedangkan Permesta berdiri pada 2 Maret 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan. Namun, tak lama
kemudia, pusat Permesta dipindahkan ke Manado, Sulawesi Utara.
ujuan PRRI/Permesta Beberapa dewan daerah perjuangan yang dibentuk PRRI/Permesta pada
1956-1957 meliputi: 1. Dewan Banteng Dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein dengan wilayah
Sumatera Barat. 2. Dewan Gajah Berpusat Sumatera Utara dengan pemimpinnya Kolonel Maludin
Simbolon. 3. Dewan Garuda Berlokasi di Sumatera Selatan dan dipimpin oleh Letkol Barilan. 4.
Dewan Manguni Satu-satunya dewan yang berlokasi di Sulawesi. Berada di Manado, Sulawesi Utara,
dengan Kolonel Ventje Sumual sebagai pemimpinnya. Pada 12 Februari 1958, Ahmad Husein, Ketua
Dewan Banteng, memproklamasikan pendirian PRRI, dengan didukung dua dewan perjuangan
lainnya. Syafruddin Prawiranegara menjadi Perdana Menteri PRRI. Di Sulawesi, Permesta telah
berdiri sebelumnya, yakni tanggal 2 Maret 1957. Permesta menyatakan bahwa mereka tidak
bermaksud melawan pemerintah RI, melainkan hanya menginginkan pemerataan kesejahteraan
wilayah timur Indonesia. Ventje Sumual, salah satu tokoh sentral Permesta, menegaskan bahwa tidak
ada kata-kata yang merujuk pada upaya memerdekakan diri. “Permesta bukan pemberontakan,
melainkan suatu deklarasi politik," tandas Ventje Sumual dikutip dari Tempo (April 2009). Meskipun
pembentukan Permesta beriringan dengan PRRI di Sumatera Barat, namun Ventje Sumual
menyangkal keterkaitan antara keduanya. “Tidak ada hubungan apa-apa. Kalau PRRI memang
pemberontakan. Tapi Permesta hanyalah suatu program untuk pembangunan Indonesia Timur,”
elaknya.
Akhir PRRI/Permesta Pemerintah pusat menganggap aksi PRRI/Permesta sebagai bentuk
pemberontakan. Operasi penumpasan pun segera diluncurkan. Menurut Phill Manuel Sulu melalui
buku Permesta dalam Romantika, Kemelut & Misteri (2011), gerakan PRRI di Sumatera mampu
dipadamkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam waktu cepat. Di Sulawesi, Permesta juga
mulai kewalahan meskipun dikabarkan sempat mendapat bantuan dari beberapa negara asing seperti
Amerika Serikat, Taiwan, Jepang, dan Filipina. Gerakan PRRI/Permesta mulai diredam pada Agustus
1958. Tahun 1961, Presiden Sukarno membuka kesempatan kepada mantan anggota PRRI/Semesta
untuk kembali ke pangkuan NKRI dan diberikan amnesti. Tokoh-tokoh Peristiwa Tokoh PRRI
Sjafruddin Prawiranegara, Assaat Dt. Mudo, Dahlan Djambek, Maludin Simbolon, Ahmad Husein,
Barilan, Soemitro Djojohadikoesoemo, Muhammad Sjafei, Saladin Sarumpaet, Muchtar Lintang,
Abdul Gani Usman, Dahlan Djambek. Tokoh Permesta Ventje Sumual, Jan Willem Gerungan, Alex
Kawilarang, Saleh Lahade, Andi Abdul Muis, Lukas J. Palar, Samuel Karundeng, Daniel Julius
Somba, Joop Warouw.
2. Panglima Besar Sudirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel
Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan dibantu para santri.
2. Letkol Wiyono
4. May Istiklah
14. KH Sidiq
Dari 17 korban pemberontakan PKI Madiun, sosok Kiai Husen direpresentasikan sebagai patung yang
menjadi ikon Monumen Kresek yang berada di puncak bukit.