Anda di halaman 1dari 7

Nama : ALIF FIRDIANSYAH

Nim : 4.20.5178
Kelas : PGMI (pagi)
Semester : III

1. Angkatan perang ratu adil (APRA)


timbulnya pemberontakan APRA di Bandung pada 23 Januari 1950 adalah mulai dibubarkannya
negara bagian bentukan Belanda di Republik Indonesia Serikat (RIS) yang bergabung kembali ke Republik
Indonesia. APRA tidak menyetujui adanya rencana pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) melalui
hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949.
Hasil dari KMB saat itu adalah:
 Kerajaan Belanda akan menarik pasukan KL (Koninklijk Leger) dari Indonesia.
 Tentara KNIL akan dibubarkan dan akan dimasukkan ke dalam kesatuan-kesatuan TNI

Dari hasil tersebut, akhirnya APRA dan Westerling menjalin kerja sama dengan Sultan Pontianak,
Sultan Hamin II yang beraliran federalis. Mereka akan mencoba melakukan kudeta pada Januari 1950.
Tujuan kudeta ini adalah upaya untuk mempertahankan negara federal RIS saat sebagian besar negara
bagian RIS ingin membubarkan diri dan bergabung kembali dalam Republik Indonesia (RI). Pada Kamis,
5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang berisi ultimatum. Isi ultimatum
tersebut adalah ia menuntut agar pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara
Pasundan serta pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS diberi
waktu selama tujuh hari untuk memberikan jawaban, apabila ditolak, maka akan terjadi pertempuran besar.
Akhirnya, untuk mencegah terjadinya tindakan Westerling, tanggal 10 Januari 1950, Mohammad Hatta,
Wakil Presiden RI, mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling.
Westerling yang sudah mendengar rencana penangkapan tersebut pun kemudian mempercepat
pelaksanaan kudetanya. Westerling menyerang Bandung dan melakukan pembantaian di sana. Setelah
melakukan penyerangan, Westerling dan pasukannya kembali ke tempat masing-masing. Mereka pun
berniat untuk melakukan kudeta yang kedua. Akan tetapi, upaya tersebut gagal. Kegagalan ini
menyebabkan adanya demoralisasi anggota milisi terhadap Westerling. Ia pun terpaksa melarikan diri ke
Belanda. Sejak saat itu, APRA resmi tidak lagi berfungsi pada Februari 1950.
1. Pasukan Andi aziz
Pasukan Andi Azis merupakan pasukan KNIL atau pasukan Belanda yang ada di Indonesia.
Pemberontakan Andi Azis ini berawal dari tuntutan Andi Azis agar hanya pasukannya saja yang
dijadikan sebagai pasukan APRIS diNegara Indonesia Timur.Akan tetapi, keinginan ini ditolak oleh
pemerintah Indonesia, yang kemudian mengirimkan pasukan TNI ke Makassar. Andi Azis dan
pasukannya menolak masuknya pasukan APRIS dari TNI ke Makassar. Dalam suasana politik yang
sedang cukup tegang saat itu terdengar berita bahwa pada 5 April 1950, pemerintah Republik
Indonesia Serikat (RIS) mengirimkan sekitar 900 pasukan APRIS dari TNI ke Makassar, bertujuan
untuk menjaga keamanan di sana. Kesatuan TNI/APRIS ini dipimpin oleh Mayor HV Worang,
diangkut dengan dua buah kapal. Berita kedatangan mereka lantas membuat pasukan bekas KNIL
merasa khawatir akan terdesak dengan kehadiran pasukan baru tersebut. Akhirnya, mereka bergabung
dan menamakan diri “Pasukan Bebas” di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Kronologi Pukul 05.00
AM, tanggal 5 April 1950, Andi Azis bersama pasukannya yang dibantu oleh anggota Koninklije
Leger (pasukan Belanda) dan KNIL menyerang markas APRIS di Makassar. Berkat kekuatan yang
lebih unggul, Andi Azis bersama pasukannya berhasil menguasai kota Makassar. Beberapa prajurit
APRIS/TNI menjadi korban dan beberapa orang perwira termasuk Letkol AJ Mokoginta berhasil
ditawan. Setelah itu, untuk mengatasi pemberontakan Andi Azis ini, pada 7 April 1950 pemerintah
mengirim pasukan ekspedisi ke Sulawesi dipimpin Kolonel AE Kawilarang. Esok harinya, 8 April,
pemerintah mengultimatum Andi Azis agar dalam waktu 2 x 24 jam segera melaporkan diri ke Jakarta
untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Mengetahui ultimatum tersebut, Andi Azis berjanji
akan datang ke Jakarta pada 13 April 1950. Baca juga: Pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu
Adil) Penangkapan Akan tetapi, karena desakan Soumokil, pejabat Negara Indonesia Timur, Andi
Azis mengingkari janjinya sehingga ia dianggap sebagai pemberontak. Akhirnya, tanggal 15 April
1950, Andi Azis menyerahkan diri kepada Letkol Mokoginta.  Ia kemudian dibawa ke Jakarta untuk
diadili dan dijatuhi hukuman penjara selama 14 tahun.

2. Darul islam / tentara islam Indonesia


Pembrontkan darul islam atau Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat dipimpin oleh
Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (S.M. Kartosuwiryo). Pada masa pergerakan nasional,
Kartosuwiryo merupakan tokoh pergerakan Islam Indonesia yang cukup disegani.Selama pendudukan
Jepang, Kartosuwiryo menjadi anggota Masyumi. Bahkan, ia terpilih sebagai Komisaris Jawa Barat
merangkap Sekretaris I. Dalam kehidupannya, Kartosuwiryo mempunyai cita-cita untuk mendirikan
Negara Islam Indonesia.
Untuk mewujudkan cita-citanya, Kartosuwiryo mendirikan sebuah pesantren di Malangbong, Garut,
yaitu Pesantren Sufah. Pesantren Sufah selain menjadi tempat menimba ilmu keagamaan juga
dijadikan sebagai tempat latihan kemiliteran Hizbullah dan Sabilillah.Dengan pengaruhnya,
Kartosuwiryo berhasil mengumpulkan banyak pengikut yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari
pasukan Tentara Islam Indonesia (TII). Dengan demikian, kedudukan Kartosuwiryo semakin kuat.
Sejalan dengan hal itu, pada 1948 Pemerintah RI menandatangani Perjanjian Renville yang
mengharuskan pengikut RI mengosongkan wilayah Jawa Barat dan pindah ke Jawa Tengah. Hal ini
kemudian dianggap Kartosuwiryo sebagai bentuk pengkhianatan Pemerintah RI terhadap perjuangan
rakyat Jawa Barat. Bersama kurang lebih 2000 pengikutnya yang terdiri atas laskar Hizbullah dan
Sabilillah, Kartosuwiryo menolak hijrah dan mulai merintis gerakan mendirikan Negara Islam
Indonesia (NII). Atas gerakan itu, pemerintah RI berusaha menyelesaikan persoalan ini dengan cara
damai dengan cara membentuk sebuah komite yang dipimpin oleh Natsir (Ketua Masyumi). Namun,
komite ini tidak berhasil merangkul kembali Kartosuwiryo ke pangkuan RI. Oleh karena itu, pada 27
Agustus 1949, pemerintah secara resmi melakukan operasi penumpasan gerombolan DI/ TII yang
disebut dengan Operasi Baratayudha. Pemberontakan DI/TII menyebar ke Jawa Tengah Di Jawa
Tengah, pemberontakan DI/TII dipimpin oleh Amir Fatah dan Mahfu'dz Abdurachman (Kyai
Somalangu). Amir Fatah ialah seorang komandan laskar Hizbullah di Tulangan, Sidoarjo, dan
Mojokerto. Pada 23 Agustus 1949, setelah mendapatkan pengikut, Amir Fatah kemudian
memproklamasikan diri untuk bergabung dengan DI/TII di Desa Pengarasan, Tegal. Amir Fatah
kemudian diangkat sebagai Komandan Pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal
Tentara Islam Indonesia. Selain itu, di Kebumen muncul pemberontakan DI/TII yang dilancarkan oleh
Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Somalangu. Kedua gerakan ini bergabung
dengan DI/TII Jawa Barat pimpinan Kartosoewirjo. Pemberontakan di Jawa Tengah ini menjadi
semakin kuat setelah Batalion 624 pada Desember 1951 membelot dan menggabungkan diri dengan
DI/TII di daerah Kudus dan Magelang. Untuk mengatasi pemberontakan-pemberontakan tersebut,
Pemerintah RI membentuk pasukan khusus yang disebut dengan Banteng Raiders. Pasukan Raiders
ini melakukan serangkaian operasi kilat penumpasan DI/TII, yaitu Operasi Gerakan Banteng Negara
(OGBN) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini, kemudian diganti oleh Letnan Kolonel M.
Bachrun, dan selanjutnya dipegang oleh Letnan Kolonel A. Yani.
Berkat operasi tersebut, pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dapat ditumpas pada 1954.
Adapun untuk mengatasi pembelotan Batalyon 624, pemerintah melancarkan Operasi
Merdeka Timur yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.

3. PRRI / permesta
PRRI/Permesta kerap disebut sebagai pemberontakan dalam sejarah usai pengakuan
kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, tepatnya sejak 1957. PRRI singkatan dari Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia, sedangkan Permesta berarti Perjuangan Rakyat Semesta.
Berdasarkan catatan Abdurakhman dan kawan-kawan dalam buku Sejarah Indonesia (2015), latar
belakang pemberontakan PRRI/Permesta adalah rasa ketidakpuasan dari angkatan militer di daerah
terhadap pusat, terutama muncul dari Sumatera dan Sulawesi. Situasi kian pelik karena beberapa
tokoh militer di daerah-daerah tersebut mulai menunjukkan ketidakpatuhan kepada pimpinan pusat.
Bahkan, urusan ini semakin serius ketika tuntutan-tuntutan otonomi daerah mulai diajukan.
Pemerintah pusat dianggap tidak adil kepada warga sipil dan militer soal pemerataan dana
pembangunan. Hal tersebut menyebabkan terbentuknya beberapa dewan perjuangan daerah pada
kurun waktu Desember 1956 hingga Februari 1957. Dikutip dari Prajurit-Prajurit di Kiri Jalan (2011)
yang ditulis Petrik Matanasi, PRRI dibentuk di Padang, Sumatera Barat, tanggal 15 Februari 1958.
Sedangkan Permesta berdiri pada 2 Maret 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan. Namun, tak lama
kemudia, pusat Permesta dipindahkan ke Manado, Sulawesi Utara.
ujuan PRRI/Permesta Beberapa dewan daerah perjuangan yang dibentuk PRRI/Permesta pada
1956-1957 meliputi: 1. Dewan Banteng Dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein dengan wilayah
Sumatera Barat. 2. Dewan Gajah Berpusat Sumatera Utara dengan pemimpinnya Kolonel Maludin
Simbolon. 3. Dewan Garuda Berlokasi di Sumatera Selatan dan dipimpin oleh Letkol Barilan. 4.
Dewan Manguni Satu-satunya dewan yang berlokasi di Sulawesi. Berada di Manado, Sulawesi Utara,
dengan Kolonel Ventje Sumual sebagai pemimpinnya. Pada 12 Februari 1958, Ahmad Husein, Ketua
Dewan Banteng, memproklamasikan pendirian PRRI, dengan didukung dua dewan perjuangan
lainnya. Syafruddin Prawiranegara menjadi Perdana Menteri PRRI. Di Sulawesi, Permesta telah
berdiri sebelumnya, yakni tanggal 2 Maret 1957. Permesta menyatakan bahwa mereka tidak
bermaksud melawan pemerintah RI, melainkan hanya menginginkan pemerataan kesejahteraan
wilayah timur Indonesia. Ventje Sumual, salah satu tokoh sentral Permesta, menegaskan bahwa tidak
ada kata-kata yang merujuk pada upaya memerdekakan diri. “Permesta bukan pemberontakan,
melainkan suatu deklarasi politik," tandas Ventje Sumual dikutip dari Tempo (April 2009). Meskipun
pembentukan Permesta beriringan dengan PRRI di Sumatera Barat, namun Ventje Sumual
menyangkal keterkaitan antara keduanya. “Tidak ada hubungan apa-apa. Kalau PRRI memang
pemberontakan. Tapi Permesta hanyalah suatu program untuk pembangunan Indonesia Timur,”
elaknya.
Akhir PRRI/Permesta Pemerintah pusat menganggap aksi PRRI/Permesta sebagai bentuk
pemberontakan. Operasi penumpasan pun segera diluncurkan. Menurut Phill Manuel Sulu melalui
buku Permesta dalam Romantika, Kemelut & Misteri (2011), gerakan PRRI di Sumatera mampu
dipadamkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam waktu cepat. Di Sulawesi, Permesta juga
mulai kewalahan meskipun dikabarkan sempat mendapat bantuan dari beberapa negara asing seperti
Amerika Serikat, Taiwan, Jepang, dan Filipina. Gerakan PRRI/Permesta mulai diredam pada Agustus
1958. Tahun 1961, Presiden Sukarno membuka kesempatan kepada mantan anggota PRRI/Semesta
untuk kembali ke pangkuan NKRI dan diberikan amnesti. Tokoh-tokoh Peristiwa Tokoh PRRI
Sjafruddin Prawiranegara, Assaat Dt. Mudo, Dahlan Djambek, Maludin Simbolon, Ahmad Husein,
Barilan, Soemitro Djojohadikoesoemo, Muhammad Sjafei, Saladin Sarumpaet, Muchtar Lintang,
Abdul Gani Usman, Dahlan Djambek. Tokoh Permesta Ventje Sumual, Jan Willem Gerungan, Alex
Kawilarang, Saleh Lahade, Andi Abdul Muis, Lukas J. Palar, Samuel Karundeng, Daniel Julius
Somba, Joop Warouw.

4. Pembrontakan PKI Madiun


PKI di Madiun muncul dengan tujuan yang kuat serta memiliki beberapa latar belakang.
Berikut ini peristiwa yang melatarbelakangi PKI Madiun 1948.
1. Jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin akibat ditandatanganinya perjanjian Renville yang
sangat merugikan Republik Indonesia. Setelah tidak lagi menjadi Perdana Menteri, Amir
membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang kemudian bekerja sama dengan
organisasi berpaham kiri seperti Partai Komunis Indonesia, Barisan Tani Indonesia (BTI),
Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dll.
2. Kedekatan Amir Syarifuddin dengan tokoh PKI Muso dan bercita-cita menyebarkan
ajaran komunisme di Indonesia.
3. Propaganda kekecewaan terhadap Perdana Menteri selanjutnya yakni Kabinet Hatta
akibat programnya untuk mengembalikan 100.000 tentara menjadi rakyat biasa dengan
alasan penghematan biaya.
Tujuan Pemberontakan PKI Madiun Tak hanya berusaha menggulingkan pemerintahan
Indonesia, pemberontakan PKI di Madiun juga bertujuan untuk:

- Membentuk negara Republik Indonesia Soviet

- Mengganti dasar negara Pancasila dengan Komunisme

- Mengajak petani dan buruh untuk melakukan pemberontakan


Untuk mengatasi pemberontakan PKI Madiun, pemerintah melakukan beberapa cara untuk
mengakhiri pemberontakan, di antaranya:

1. Soekarno memperlihatkan pengaruhnya dengan meminta rakyat memilih Soekarno-Hatta atau


Muso-Amir.

2. Panglima Besar Sudirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel
Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan dibantu para santri.

Tokoh Madiun yang Jadi Korban PKI


Terdapat 17 Tokoh yang namanya disebut sebagai 'Korban Keganasan PKI Tahun 1948 yang Gugur
di Desa Kresek' di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Kolonel Inf Marhadi

2. Letkol Wiyono

3. Insp Pol Suparbak

4. May Istiklah

5. R.M. Sardjono (Patih Madiun)

6. Kiai Husen (Anggota DPRD Kabupaten Madiun)

7. Mohamad (Pegawai Dinas Kesehatan)

8. Abdul Rohman (Assisten Wedono Jiwan)

9. Sosro Diprodjo (Staf PG Rejo Agung)

10. Suharto (Guru Sekolah Pertama Madiun)

11. Sapirin (Guru Sekolah Budi Utomo)

12. Supardi (Wartawan freelance Madiun)


13. Sukadi (Tokoh masyarakat)

14. KH Sidiq

15. R. Charis Bagio (Wedono Kanigoro)

16. KH Barokah Fachrudin (Ulama)

17. Maidi Marto Disomo (Agen Polisi).

Dari 17 korban pemberontakan PKI Madiun, sosok Kiai Husen direpresentasikan sebagai patung yang
menjadi ikon Monumen Kresek yang berada di puncak bukit.

Anda mungkin juga menyukai