Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Kepuasan Kerja


2.1.1.1 Definisi Kepuasan Kerja Karyawan
Wexley dan Yukl (dalam Bangun, 2012:232) mengatakan bahwa kepuasan kerja
merupakan generalisasi sikap-sikap terhadap pekerjaannya. Bermacam-macam sikap
seseorang terhadap pekerjaannya mencerminkan pengalaman yang menyenangkan
dan tidak menyenangkan dalam pekerjaannya serta harapan-harapannya terhadap
pengalaman masa depan. Pekerjaan yang menyenangkan untuk dikerjakan dapat
dikatakan bahwa pekerjaan itu memberi kepuasan bagi pemangkunya. Kejadian
sebaliknya, ketidakpuasan akan diperoleh bila suatu pekerjaan tidak menyenangkan
untuk dikerjakan. Sedangkan menurut Noe at. el. (dalam Bangun, 2012;232)
mengatakan bahwa job satisfaction as a pleasurable feeling that result from the
perception that one’s job fulfillment of one’s important job values. Berdasarkan definisi
tersebut bahwa kepuasan kerja terdiri dari tiga aspek penting, kepuasan kerja
merupakan suatu fungsi nilai, persepsi dan perbedaan menurut tenaga kerja mengenai
yang seharusnya mereka terima. Kepuasan kerja menurut Robbins dan Coulter
(2010:308) mengacu pada sikap yang lazim ditunjukkan seseorang terhadap
pekerjaannya. Seseorang dengan kepuasan kerja yang tinggi memiliki sikap positif
terhadap pekerjaannya. Seseorang yang tidak puas memiliki sikap negatif. Ketika
orang-orang membicarakan sikap karyawan, biasanya merujuk pada kepuasan kerja.
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual.
Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem
nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan
sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan
tersebut dengan demikian, Rivai dan Sagala (2009:856) mendefinisikan kepuasan kerja
merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang
atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja. Kepuasan kerja (job
satisfaction) dapat didefiniskan sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan
seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya (Robbins dan
Judge, 2008:121). Menurut Mathis dan Jackson (2006:122) kepuasan kerja (job
satisfaction) adalah keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil dari evaluasi
pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja muncul ketika harapan seseorang
tidak terpenuhi. Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakanhasil evaluasi yang menggambarkan
individu atas sikap yang ditunjukkan puas atau tidak puas terhadap pengalaman kerja
yang dilakukannya.

2.1.1.2 Teori-Teori Kepuasan Kerja Karyawan


Menurut Wexley dan Yukl (dalam Bangun, 2012:222) mengatakan bahwa ada
tiga teori tentang kepuasan kerja, yaitu:
1. Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory)
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Porter (dalam Bangun, 2012:20) yang
mendefinisikan bahwa job satisfaction is the difference between how much of
something there should be and how much there is now. Setiap orang
menginginkan agar sejumlah pekerjaan yang telah disumbangkan kepada
pemberi kerja akan dihargai sebesar yang diterima secara kenyataan.
Seseorang yang terpuaskan bila tidak ada selisih antara situasi yang
diinginkan dengan sebenarnya diterima. Dengan kata lain, jumlah yang
disumbangkan ke pekerjaannya bila dikurangi dengan apa yang diterima
secara kenyataan hasilnya adalah nol, dapat dikatakan pekerjaan tersebut
memberikan kepuasan kerja. Semakin besar kekurangan atau selisih dari
pengurangan tersebut, semakin besar ketidakpuasan. Keadaan sebaliknya,
jika terdapat lebih banyak jumlah faktor pekerjaan yang dapat diterima yang
menimbulkan kelebihan atau menguntungkan, maka orang yang bersangkutan
akan sama puasnya bila terdapat selisih dari jumlah yang diinginkan.

2. Teori Keadilan (Equity Theory)


Teori keadilan pertama kali dikemukakan oleh Zalenzik, kemudian
dikembangkan oleh Adams (dalam Bangun, 2012:33). Teori ini menunjukkan
kepada seseorang merasa puas atau tidak puas atas suatu situasi tergantung
pada perasaan adil (equity) atau tidak adil (inequity). Perasaan adil atau tidak
adil atas suatu situasi didapat oleh setiap orang dengan cara membandingkan
dirinya dengan orang lain pada tingkat dan jenis pekerjaanya yang sama,
pada tempat maupun di tempat yang berbeda. Wexley dan yukl (dalam
Bangun, 2012:104) mengatakan bahwa komponen utama dari teori ini adalah
input, outcomes, comparison person dan equity - inequity:
1) Input apa saja yang bernilai yang dipersepsikan oleh karyawan sebagai
kontribusinya terhadap pekerjaanya seperti: pendidikan, pengalaman,
keterampilan, jumlah usaha yang telah dikerjakan, jumlah jam kerja dan
peralatan serta bahan-bahan milik pribadi yang telah digunakan dalam
bekerja.
2) Outcomes apa saja yang bernilai yang dipersepsikan karyawan sebagai
hasil yang telah diperoleh dari pekerjannya seperti: gaji, tunjangan, tanda
kebesaran, pengakuan dan peluang untuk berprestasi atau berekspresi diri.
3) Comparison person seseorang atau sejumlah orang yang bekerja di
perusahaan yang sama dengan dirinya atau bekerja di perusahaan lain
atau dapat pula dirinya ketika berada pada posisi sebelumnya yang
dijadikan dasar perbandingan dengan dirinya.
4) Equity – Inequity menurut teori ini seorang karyawan menilai keadilan
kerjanya dengan cara membandingkan rasio outcome : input dirinya dengan
rasio outcome : input dari satu atau lebih comparison person. Jika
perbandingan kedua rasio tersebut equal, maka karyawan akan
mempersepsikan suatu keadilan, jika perbandingannya unequal, maka
karyawan akan mempersepsikan adanya ketidakadilan.
3. Teori Dua Faktor (Two Factor Theory)
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Herzberg (dalam Bangun, 2012:45).
Menurut teori ini, karakteristik pekerjaan dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori yang satu dinamakan “dissatisfier” atau “hygiene factors” dan yang
lain dinamakan “satisfier” atau “motivators” yaitu:
1) Faktor-faktor kepuasan disebut satisfier adalah kemajuan, pengakuan,
tanggung jawab, perkembangan karir dan pekerjaan itu sendiri. Apabila
faktor-faktor tersebut ditingkatkan akan membantu perbaikan prestasi,
menurunkan perputaran dan absensi kerja dan menunjang sikap yang lebih
baik terhadap manajemen.
2) Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpuasan (dissatisfier)
meliputi hal-hal seperti kondisi dan kemudahan dalam pekerjaan, kebijakan-
kebijakan administratif, hubungan dengan manajemen, teknis para
penyelia, sistem penggajian stabilitas pekerjaan dan hubungan dengan
rekan kerja. Herzeberg (dalam Bangun, 2012:56) menegaskan bahwa bila
kualitas penunjang kepuasan itu kurang dari memadai akan terjadi
ketidakpuasan diantara karyawan.

2.1.1.3 Indikator Kepuasan Kerja Karyawan


Menurut Rivai dan Sagala (2009:102)secara teoritis, faktor-faktor yang dapat
memengaruhi kepuasan kerja sangat banyak jumlahnya, seperti gaya kepemimpinan,
produktivitas kerja, perilaku, locus of control, pemenuhan harapan penggajian dan
efektivitas kerja. Faktor-faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan
kerja seorang karyawan adalah:
1. Isi pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol
terhadap pekerjaan
2. Supervisor
3. Organisasi dan manajemen
4. Kesempatan untuk maju
5. Gaji dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya seperti adanya insentif
6. Rekan kerja
7. Kondisi pekerjaan
Selain itu, menurut Job Descriptive Index (JDI) (dalam Rivai dan Sagala,
2009) faktor
penyebab kepuasan kerja ialah:
1. Bekerja pada tempat yang tepat
2. Pembayaran yang sesuai
3. Organisasi dan manajemen
4. Supervisi pada pekerjaan yang tepat
5. Orang yang berbeda dalam pekerjaan yang tepat
2.1.1.4 Konsekuensi Ketidakpuasan Kerja Karyawan
Robbins dan Judge (2008:55) mengatakan bahwa ada konsekuensi ketika
karyawan menyukai pekerjaan mereka dan ada konsekuensi ketika karyawan tidak
menyukai pekerjaan mereka. Sebuah kerangka teoritis (kerangka keluar, aspirasi,
kesetiaan dan pengabaian) sangat bermanfaat dalam memahami konsekuensi dari
ketidakpuasan. Respon-respon tersebut didefinisikan sebagai berikut:
1. Keluar (Exit)
Perilaku yang ditunjukkan untuk meninggalkan organisasi, termasuk mencari
posisi baru dan mengundurkan diri.
2. Aspirasi (Voice)
Secara aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi, termasuk
menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan dan beberapa
bentuk aktivitas serikat kerja.
3. Kesetiaan (Loyalty)
Secara pasif tetapi optimistis menunggu membaiknya kondisi, termasuk
membela organisasi ketika berhadapan dengan kecaman external dan
mempercayai organisasi dan manajemen untuk melakukan hal yang benar.
4. Pengabaian (Neglect)
Secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk ketidakhadiran
atau keterlambatan yang terus-menerus, kurangnya usaha dan meningkatnya
angka kesalahan.

2.1.2Retention Karyawan
Retensi karyawan didefinisikan oleh Mathis dan Jackson (2006:126) sebagai
suatu bentuk upaya untuk mempertahankan karyawan, di mana hal tersebut telah
menjadi persoalan utama dalam banyak organisasi karena beberapa alasan. Menurut
Mathis dan Jackson (2006:125), istilah retensi terkait dengan istilah perputaran
karyawan yang berarti proses karyawan meninggalkan organisasi dan harus digantikan.
Setiap organisasi menginvestasikan waktu dan uang untuk mengembangkan
rekruitmen baru agar ia siap bekerja dan dapat menyamai karyawan yang sudah ada
(Gayathri, Sivaraman, & Kamalambal, 2012).
Selanjutnya, menurut Gayathri et al (2012:145) kehilangan karyawan selalu
berarti kehilangan pengetahuan, modal, keahlian, dan pengalaman. Maka, menjadi
kehilangan yang sangat besar bagi organisasi apabila organisasi kehilangan orang
yang sangat terlatih. Bila organisasi kehilangan seseorang dengan banyak
pengetahuan, pada dasarnya organisasi telah kehilangan pendapatan yang seharusnya
dihasilkan karyawan tersebut.

Jadi, sangat penting bagi organisasi agar tidak kehilangan karyawan, yang
dapat mengakibatkan kerugian dalam pekerjaan organisasi. Sehingga perlu
dikembangkan langkah- langkah yang diperlukan agar perusahaan dapat
mempertahankan aset sumber daya manusianya

2.1.2.1 Faktor Penentu Retensi Karyawan


Adapun faktor-faktor penentu retensi karyawan yang dikemukakan oleh Mathis
dan Jackson (2006:129) yang digambarkan dalam Gambar 2.2 sebagai berikut:

Peluang Karir :

 Kontinuitas pelatihan
 Pengembangan dan bimbingan
 Perencanaan karir
Penghargaan :

 Gaji dan tunjangan yang kompetitif


 Perbedaan penghargaan kinerja
 Pengakuan
Komponen Organisasi :  Tunjangan dan bonus spesial
 Nilai dan budaya
 Strategi dan peluang
 Dikelola dengan baik dan Rancangan tugas dan pekerjaan :
terorientasi pada hasil
 Kontinuitas dan keamanan kerja  Tanggung jawab dan otonomi kerja
 Fleksibilitas kerja
 Kondisi kerja
 Kesinambungan kerja / kehidupan

Hubungan karyawan :

 Perlakuan adil / tidak diskriminatif


 Dukungan dari supervisor / manajemen
 Hubungan rekan kerja

Gambar 2.1 Faktor Penentu Retensi


Karyawan
Sumber: Mathis dan Jackson (2006:129)
1. Komponen Organisasi
Beberapa komponen organisasional mempengaruhi karyawan dalam
memutuskan apakah bertahan atau meninggalkan perusahaan.
Perusahaan yang memiliki budaya dan nilai yang positif dan berbeda
memiliki tingkat retensi karyawan lebih tinggi. Strategi, peluang dan
manajemen organisasional di mana organisasi memiliki perencanaan
masa depan dan tujuan yang ditetapkan dengan jelas juga berpengaruh
terhadap tingginya angka retensi karyawan. Serta organisasi dengan
karyawan yang merasa dikelola dengan baik dan memiliki kontinuitas dan
keamanan kerja yang tinggi cenderung memiliki angka retensi karyawan
yang lebih tinggi.
2. Peluang Karir Organisasi
Usaha pengembangan karir organisasional dapat mempengaruhi tingkat
retensi karyawan secara signifikan. Peluang untuk perkembangan pribadi
memunculkan alasan mengapa individu mengambil pekerjaannya saat ini
dan mengapa mereka bertahan. Faktor-faktor yang mendasarinya adalah
pelatihan karyawan secara berlanjut yang dilakukan perusahaan,
pengembangan dan bimbingan karir terhadap karyawan, serta
perencanaan karir formal dalam suatu organisasi.
3. Penghargaan
Penghargaan nyata yang diterima karyawan berbentuk gaji, insentif dan
tunjangan. Ketiga hal tersebut memang merupakan alasan untuk bertahan
atau keluar dari organisasi, namun bukan merupakan satu-satunya
alasan. Karyawan cenderung bertahan apabila memperoleh penghargaan
yang kompetitif. Penghargaan yang kompetitif tersebut dapat dilakukan
dalam bentuk gaji dan tunjangan yang kompetitif, penghargaan
berdasarkan kinerja, pengakuan terhadap karyawan serta tunjangan dan
bonus spesial.
4. Rancangan Tugas dan Pekerjaan
Faktor mendasar yang mempengaruhi retensi karyawan adalah sifat dari
tugas dan pekerjaan yang dilakukan. Rancangan tugas dan pekerjaan
yang baik harus memperhatikan unsur tanggung jawab dan otonomi kerja,
fleksibilitas kerja karyawan, kondisi kerja yang baik (faktor fisik dan non-
fisik), dan keseimbangan kerja atau kehidupan karyawan.
5. Hubungan Karyawan
Faktor terakhir yang diketahui mempengaruhi retensi karyawan
didasarkan pada hubungan yang dimiliki para karyawan dalam organisasi.
Hubungan karyawan termasuk perlakuan adil atau tidak diskriminatif bagi
setiap karyawan, dukungan yang berasal dari supervisor atau manajemen,
serta hubungan karyawan dengan sesama rekan kerja.

2.1.2.2 Manajemen Retensi Karyawan


Agar dapat mengelola retensi karyawan dengan baik, penting bagi perusahaan
untuk mengatur retensi para karyawan. Apabila kurang diperhatikan, retensi karyawan
kemungkinan besar tidak berhasil. Menurut Mathis & Jackson (2006:136-143), proses
manajemen retensi karyawan terdiri atas:
1) Pengukuran dan Penilaian Retensi Karyawan
Guna memastikan bahwa tindakan yang tepat diambil untuk meningkatkan
retensi karyawan dan mengurangi perputaran, keputusan manajemen lebih
membutuhkan data dan analsis daripada kesan subjektif dari situasi
individual yang dipilih, atau reaksi terhadap hilangnya beberapa orang
penting. Oleh karena itu penting untuk mempunyai beberapa jenis ukuran
dan analisis yang berbeda. Data yang dapat diukur dan dinilai, terdiri dari:
 Analisis pengukuran perputaran
 Biaya perputaran
 Survei karyawan
 Wawancara keluar kerja
2) Intervensi Retensi Karyawan
Berbagai intervensi Sumber Daya Manusia (SDM) dapat dilakukan untuk
memperbaiki retensi karyawan. Perputaran dapat dikendalikan dan dikurangi
dengan beberapa cara, yaitu:
 Proses perekrutan dan seleksi
 Orientasi dan pelatihan
 Kompensasi dan tunjangan
 Perencanaan dan pengembangan karier
 Hubungan karyawan
3) Evaluasi dan Tindak Lanjut
Setelah usaha intervensi dilakukan, selanjutnya evaluasi dan tindak lanjut
dapat dilakukan dengan cara:

 Menelaah data perputaran secara tetap


 Memeriksa hasil intervensi
 Menyesuaikan usaha intervensi

2.1.2.3 Strategi Retensi Karyawan


Torrington dalam Cahayani (2005:223) mengatakan, ada 5 macam strategi
retensi karyawan, yaitu kompensasi, pemenuhan harapan, induksi, praktik SDM yang
memperhatikan keluarga karyawan, serta pelatihan dan pengembangan. Kelima hal itu
tidak serta-merta bisa mempertahankan karyawan. Ada sejumlah hal lain yang perlu
diperhatikan, terkait dengan strategi retensi karyawan.
1) Strategi retensi kompensasi.
Kompensasi dimasukkan sebagai strategi retensi pertama, karena hal ini
sering kali dianggap sebagai pemicu utama ketidakpuasan karyawan yang
pada akhirnya menyebabkan ketiadaan loyalitas. Di dalam Teori Dua
Faktor oleh Hertzberg, kompensasi adalah salah satu faktor higiene
(Gibson et al, 2003:132 dalam Cahayani 2005). Bila organisasi tidak bisa
memenuhi faktor higiene, karyawan merasa tidak puas. Bila mereka
merasa tidak puas, mereka mungkin tidak bekerja seperti seharusnya, dan
pada akhirnya, kita sulit mengharapkan loyalitas mereka. Tetapi bila
kompensasi yang diterima sudah sesuai dengan kebutuhan karyawan,
maka yang terjadi hanyalah pemeliharaan tingkat kepuasan, bukan
kepuasan yang meningkat pesat. Ada pendapat lain yang menyatakan
bahwa upah yang baik hanya bisa mempertahankan karyawan bila ada
faktor lain yang juga membuat mereka senang. Contoh, selain mendapat
upah yang baik, karyawan akan setia pada perusahaan bila mereka
memiliki lingkungan kerja yang menyenangkan serta diberi kesempatan
untuk mewujudkan aktualitasi diri mereka. Berdasarkan informasi
sejumlah informan, alasan mereka atau bawahan atau rekan kerja mereka
keluar dari tempat kerja mereka sebagian besar lebih disebabkan oleh
faktor lingkungan kerja dan ketiadaan harapan untuk promosi (dead-end
carrier). Jadi, selain masalah kompensasi, perusahaan harus mampu
untuk memenuhi harapan karyawan.
2) Strategi Retentian pemenuhan harapan
Karyawan masuk ke dalam organisasi dengan sejumlah harapan, antara
lain harapan untuk mendapat promosi, harapan untuk bekerja dengan
tenang, harapan untuk mendapat imbalan yang sesuai dengan tenaga
yang telah dicurahkan. Pemenuhan harapan karyawan sebenarnya
termasuk di dalam kontrak psikologis. Menurut Armstrong dalam
Cahayani (2005:245), dari sudut pandang karyawan, kontrak psikologis
mencakup:
1. Kepercayaan terhadap manajemen organisasi untuk memenuhi janji
mereka dalam menyampaikan kesepakatan;
2. Bagaimana mereka diperlakukan secara adil dan konsisten;
3. Cakupan untuk menunjukkan kompetensi;
4. Harapan karier dan peluang untuk mengembangkan keterampilan;
5. Keterlibatan dan pengaruh
3) Strategi induksi
Induksi terkait dengan masa orientasi karyawan baru. Ada sejumlah tujuan
induksi, yaitu membantu karyawan baru untuk menyesuaikan emosinya
dengan tempat kerja baru, menjadi wadah untuk menyampaikan informasi
dasar tentang organisasi, dan menyampaikan aspek kultural yang dimiliki
perusahaan, seperti kebiasaan yang ada di perusahaan itu (Torrington et
al., 2003:219 dalam Cahayani, 2005).
4) Strategi retensi praktik SDM
Praktek SDM dengan memerhatikan keluarga karyawan. Contoh, bila
seorang karyawan yang sudah berkeluarga akan dipindah tugaskan, pihak
perusahaan harus mempertimbangkan nasib keluarga inti karyawan
tersebut. Satu solusi yang baik adalah, saat menugaskan karyawan yang
sudah berkeluarga ke luar kota, pihak perusahaan harus memikirkan
akomodasi bagi keluarga karyawan tersebut, setidaknya membantu
mencarikan akomodasi bagi keluarga karyawan itu.
5) Strategi retensi bidang pelatihan dan pengembangan karyawan.
Penugasan untuk mengikuti pelatihan dan pengembangan yang tidak adil
pun bisa mengurangi loyalitas karyawan. Perusahaan harus
menyampaikan alasan yang masuk akal dan transparan saat akan
mengirim karyawan mengikuti pelatihan dan pengembangan.
Tanpa transparansi, akan timbul kecurigaan. Rasa curiga bisa memicu
konflik, menghasilkan situasi kerja yang tidak sehat, dan pada akhirnya
mengurangi loyalitas karyawan.

Anda mungkin juga menyukai