Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“PERSOALAN HIDUP SERTA KERJA”

MATA KULIAH : AL ISLAM DAN KEMUHAMMADIAYAN

DOSEN PENGAMPUH : RIZAL ARSYAD, Ag.,MA DAN TIM

DISUSUN OLEH

Muhamad Irgiansya lentedu (2001054)

Intan Safina (2001015)

Devitatoby N sanangka (2001055)


PRODI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MUHAMMADIYYAH


MANADO TA. 2020/2021

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita Hidayah dan
Rahmat-Nya agar senantiasa dekat dengan diri-Nya dalam keadaan sehat wal’afiat. Serta salam
dan shalawat kita kirimkan kepada Muhammad SAW, dimana nabi yang membawa ummat-Nya
dari zaman kegelapan menuju zama yang terang benderang dan telah menjadi suri tauladan
bagi ummat-Nya

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan
saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Manado, 25 juli 2021

Kelompok 5
DAFTAR ISI
Kata pengantar ................................................................................................ i
Daftar isi .......................................................................................................... ii
Bab l Pendahuluan .......................................................................................... 1
1.1 Latar belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan masalah .......................................................................... 2
1.3 Tujuan penulisan makalah ............................................................. 2
Bab ll Pembahasan ......................................................................................... 3
2.1 Islam dan persoalan hidup dan kerja ............................................. 3
2.1.1 Hakikat hidup dan kerja .................................................... 3
2.1.2 Rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja ............. 4
2.1.3 Akhlaq dalam bekerja ...................................................... 5
2.1.4 Keharusan profesionalisme dalam bekerja ..................... 6
2.2 Hakikat hidup ............................................................................... 7
2.3 Implikasi kerja dalam kehidupan ................................................. 9
2.4 Wawasan Islam tentang kerja ...................................................... 9
2.4.1 Etos kerja dalam perspektif islam ................................... 9
2.4.2 Tujuan kerja dalam wawasan ......................................... 10
2.4.3 Kerja dan martabat hidup ............................................... 11
2.4.4 Nilai-nilai ibadah dalam islam ......................................... 12
Bab lll Penutup ............................................................................................. 14
3.1 Kesimpulan .................................................................................. 14
3.2 Saran ........................................................................................... 14
Daftar pustaka ............................................................................................. 15
BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari kebutuhan ekonomi, seperti kebutuhan
makan, minum, handphone, tas, rumah, kendaraan dan lain sebagainya, untuk memenuhi
kebutuhan tersebut kita harus bekerja. Agama Islam yang berdasarkan Alquran dan Hadis
sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur
dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam
masalah yang berkenaan dengan kerja. Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut
untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa
menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang
telah ditetapkan Alquran dan Hadist. Dalam makalah ini akan membahas tentang hakekat hidup
dan kerja, rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja, akhlak dalam bekerja, keharusan
profesionalisme dalam bekerja, hakikat hidup, implikasi kerja dalam kehidupan, etos kerja
dalam perspektif Islam, tujuan kerja dalam wawasan Islam, kerja dan martabat hidup, nilai-nilai
ibadah dalam kerja. Persoalan hidup yang semakin hari semakin kompleks, tuntutan hidup yang
menghimpit, persaingan ekonomi, terbatasnya waktu luang, menjadi indikator manusia
menjadi robot. Sejak bangun pagi sampai tidur kembali akan terisi oleh rutinitas yang akan
selalu diulang setiap harinya. Akan tetapi yang menjadi masalah jika rutinitas tersebut tidak
dilandasi oleh niat yang benar, akan menjadi semacam tekanan batin manusia yang membawa
manusia menjadi mesin bernyawa. Jelaslah bahwa manusia membutuhkan ibadah dan
ketaatan. Berbagai penyakit jiwa banyak merajalela di zaman sekarang. Hal ini disebabkan
manusia jauh dari ibadah. Ada semacam kebutuhan yang kosong yang belum terpenuhi dan hal
tersebut adalah beragama. Sedangkan beragama erat kaitannya dengan iman dan komitmen
dengan aqidah yang diajarkan. Banyak anggapan yang salah mengenai iman dan aqidah
keagamaan yang bisa mengurangi dan melambatkan produksi dan prestasi kerja atau
menghalangi pertumbuhan dan perkembanggannya. Kesalahan tersebut timbul akibat persepsi
yang salah tentang iman. Iman akan mengurangi perasaan bebas seseorang atau orang yang
beriman tidak lagi mementingkan pekerjaan untuk kehidupan di dunia dan akibatnya 1
masyarakat menjadi rugi 2 dan mengalami kemunduran, anggapan yang salah tersebut
disebabkan kurangnya pengertian tentang agama dan iman.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana hakekat hidup dan kerja dalam Islam?
2. Seperti apa rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja?
3. Bagaimana akhlak dalam bekerja menurut Islam?
4. Bagaimana keharusan profesionalisme dalam bekerja menurut Islam?
5. Seperti apa hakikat hidup?
6. Bagaimana Implikasi kerja dalam kehidupan?
7. Bagaimana etos kerja dalam perspektif Islam?
8. Apa tujuan kerja dalam wawasan Islam?
9. Bagaimana kerja dan martabat hidup?
10. Seperti apa nilai-nilai ibadah dalam kerja?

1.2Tujuan Penulisan Makalah


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Menjelaskan hakekat hidup dan kerja dalam Islam
2. Menjelaskan rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja
3. Menjelaskan akhlak dalam bekerja menurut Islam
4. Menjelaskan keharusan profesionalisme dalam bekerja menurut Islam
5. Menjelaskan hakikat hidup
6. Menjelaskan implikasi kerja dalam kehidupan
7. Menjelaskan etos kerja dalam kehidupan
8. Menjelaskan tujuan kerja dalam wawasan Islam
9. Menjelaskan kerja dan martabat hidup
10. Menjelaskan nilai-nilai ibadah dalam kerja
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ISLAM DAN PERSOALAN HIDUP DAN KERJA


Hakekat hidup dan kerja, rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja, akhlak dalam
bekerja, keharusan professionalisme dalam bekerja.

2.1.1 Hakikat hidup dan kerja


Dalam diri manusia terdapat apa yang disebut dengan nafs sebagai potensi yang membawa
kepada kehidupan. Dalam pandangan Al-Qur’an, nafs diciptakan Allah dalam keadaan
sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan
keburukan. Allah swt. Katakana dalam surat Al-Syams ayat 7-8 “Demi Nafs serta
penyempurnaan ciptaannya, Allah mengilhamkan kepadanya kejahatan dan ketaqwaan”. Allah
mengilhamkan, berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna
baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
Meskipun nafs berpotensi positif dan negative, namun diperoleh pula isyaratkan bahwa pada
hakekatnya potensi positif manusia lebih kuat dari pada potensi negetifnya. Hanya saja daya
tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Untuk itu manusia dituntut agar
memelihara kesucian nafsnya. Firman Allah dalam surat Al-Syams ayat 910 ”Sungguh
beruntunglah orang-orang yang menyucikannya dan merugilah orang-orang yang
mengotorinya”. Kecendrungan nafs lebih kuat untuk kebaikan dipahami dari isyarat ayat,
misalnya terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 286 “Allah tidak membebani seseorang, tetapi
sesuai dengan kesanggupan nya”.
Nafs memperoleh ganjaran dari apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa yang
diusahakannya”. Selain nafs, dalam diri manusia juga terdapat qalb yang sering diterjemahkan
hati. Seperti dikemukakan di atas, bahwa nafs ada dalam diri manusia, qalbu pun demikian,
hanya saja qalb yang merupakan wadah dipahami dalam arti alat, sebagaimana firman Allah
dalam surat Al-A’raf ayat 179 “Mereka mempunyai qalb, tetapi tidak digunakan untuk
memahami”. Selain kata qalb dalam Al-Qur’an juga terdapat kata fu’ad, seperti dalam firman-
Nya dalam surat Al-Nahl “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu maka Dia memberimu (alat) pendengaran, (alat) penglihatan serta hati,
agar kamu bersyukur (mempergunakannya memperoleh pengetahuan) ”Kemudian manusia
juga memiliki ruh, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Isra’ ayat 85 “Dan mereka bertanya
kepadamu tentang ruh, katakanlah Ruh adalah urusan Tuhanku, kamu tidak diberi ilmu kecuali
sedikit”. Ada yang berpendapat, bahwa ruh itu sama dengan nyawa, tetapi apa bedanya
manusia dengan orang utan, monyet dan binatang yang lain? Dalam surat Al-Mu’minun
dijelaskan bahwa dengan ditiupkannya ruh, maka menjadilah makhluk ini khalq akhar (makhluk
yang unik), yang berbeda dengan makhluk lain. Karena manusia memiliki ruh lah ia mudah
menerima wahyu dari Allah swt.
Mempelajari wahyu dikatakan santapan rohani, bukan santapan nyawa. Manusia berpotensi
mendapatkan hidayah karena mempunyai roh. Selain memiliki nafs, qalb, dan ruh manusia juga
memiliki ‘aql. Kata ‘aql dalam al-qur’an menggunakan bentuk kata kerja masa kini dan lampau.
Dari segi bahasa, kata ini dapat diartikan tali pengikat, penghalang. ‘Aql merupakan sesuatu
yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau berbuat dosa.
Allah berfirman dalam surat Al-An’am ayat 151 “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji,
baik yang nampak atau tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah kecuali demi kebenaran, itulah wasiat Allah kepadamu agar kamu ber’aqal (dapat
memahaminya)” Menurut Hamka, dalam bukunya Falsafah Hidup, Islam sangat memuliakan
‘aql, maka dari itu Islam adalah agama yang menjunjung tinggi ‘aql. Orang yang dapat
menempatkan dirinya merasa terikat pada aturan-aturan Allah dalam firman-firman-Nya, maka
itulah sebenarnya orang-orang yang ber’aqal.
Seorang muslim dalam aktifitas kehidupnya dapat menggunakan ‘aqalnya jauh dari perbuatan
keji, ruhnya banyak berisikan wahyu Allah, hatinya jadi tentram sehingga dirinya terkendali
kejalan yang diridhoi Allah, terhindar dari langkah-langkah syetan yang buruk. Demikianlah
hakekat hidup manusia dengan berbagai potensi yang terdapat dalam dirinya untuk
melaksanakan pekerjaan.

2.1.2 Rahmat Allah Terhadap Orang Yang Rajin Bekerja


Umar bin Khattab khalifah ke dua setelah Abu bakar siddiq berkata “Aku benci orang
berpangku tangan, tanpa ada aktifitas kerja, baik kerja untuk dunia atau untuk kepentingan di
akhirat kelak. Dalam hal ini khalifah umar sangat menghargai dan menyenangi orang yang rajin
bekerja dan beraktifitas sebagai muslim yang ta’at, Umar selalu mendorong umat Islam untuk
memiliki semangat bekerja dan beramal, serta menjauhkan diri dari sifat malas.
Rasulullah bersabda “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari lemah pendirian, sifat malas,
penakut, kikir, hilangnya kesadaran, terlilit utang dan dikendalikan orang lain. Dan akau
berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dan dari fitnah (ketika hidup dan mati) (H.R Bukhari dan
Muslim). Orang muslim yang akan berhasil dalam hidupnya adalah kemampuannya
meninggalkan perbuatan yang melahirkan kemalasan/tidak produktif dan digantinya dengan
amalan yang bermanfa’at. Sabda Rasulullah Saw dari Abu Hurairah “Sebaik-baik Islamnya
seseorang adalah meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfa’at” (HR. Tarmidzi).
Bekerja bagi seorang muslim adalah dalam rangka mendapatkan rezki yang halal dan
memberikan manfa’at yang sebesar-besarnya bagi masyarakat sebagai ibadahnya kepada Allah
swt. Firman-Nya : “Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi,
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung” (al-
Jmu’ah: 10. )Dalam pandangan Islam bekerja merupakan bagian dari ibadah, maka aplikasi dan
implementasinya perlu diikat dan dilandasi oleh akhlak/etika, yang senantiasa disebut etika
profesi. Etika/akhlaq yang mencerminkan sifat terpuji, yaitu shiddiq, istiqamah, futhanah,
amanah dan tablig. Dari uraian diatas dapat difahami bahwa seorang muslim yang akan
mendapat kasih sayang dari Allah swt adalah apabila orang itu jauh dari sifat malas, senang
melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfa’at, rajin bekerja, tidak menyia-nyiakan waktu,
menyadari bahwa semua aktifitas yang dilakukan adalah dalam rangka beribadah kepada Allah
Swt.

2.1.3 Akhlak Dalam Bekerja


Seorang muslim dalam bekerja selalu berhati-hati dan terbuka pikirannya kepada keindahan
ciptaan Allah. Dia menyadari bahwa Allah lah yang mengontrol segala urusan dunia dan
kehidupan manusia. Dia mengenal tanda-tanda kekuasaan-Nya, senantiasa berdzikir dan
tawakal kepada-Nya. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya
malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertawakal yaitu orangorang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil
berkata) Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sis-sia, maha suci Engkau,
maka peliharalah kami dari api neraka” (Ali Imran ayat 190-191). Dalam bekerja dia tulus dan
patuh kepada Allah dalam keadaan bagaimanapun, tidak boleh melampaui batas, selalu ta’at
mengikuti bimbingan Allah meskipun tidak sesuai dengan keinginannya. Dia bertanggung jawab
menjalankan kewajiban pekerjaan yang telah ditetapkan untuknya. Bila ia mendapatkan
kendala, segera mencari penyebabnya dan siap memikul semua konsekwensinya. Dia
memahami sabda Rasul Saw “Betapa indahnya urusan orang Islam seluruh urusan (kerjanya)
adalah baik bagi dirinya. Jika ia mengalami kemudahan ia bersyukur dan yang demikian itu baik
bagi dirinya jika ia mengalami kesulitan ia menghadapinya dengan sabar dan tabah dan itupun
juga baik bagi dirinya” (HR. Bukhari).
Akhlak seorang muslim dalam bekerja menemukan kemudahan selalu bersyukur, ketika
menghadapi kesulitan dia tabah dan sabar . Mudah dan sulit baginya sama, karena semua itu
adalah untuk menguji kekuatan imannya. Pada sa’atnya ia mendapatkan kesalahan dalam
bekerja, menyimpang dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya, ia segera bertobat, segera ingat akan
Tuhannya, menghentikan segala kesalahannya dan memohon ampun atas kekeliruannya.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila dalam dirinya timbul perasaan was-was dari
setan, mereka segera ingat kepada Allah, maka waktu itu juga mereka melihat kesalahan-
kesalahannya” (Al-A’raf :201) Demikianlah akhlak seorang muslim dalam bekerja.

2.1.4 Keharusan Profesionalisme Dalam Bekerja


Profesional berarti berkualitas, bermutu dan ahli dalam satu bidang pekerjan yang menjadi
profesinya. Suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang yang memang ahlinya, tentu
akan mendapatkan hasil yang bermutu dan baik. Sebaliknya suatu pekerjaan yang dilaksanakan
oleh seseorang yang bukan profesinya, akan mendapatkan hasil yang tidak bermutu dan
bahkan akan berantakan. Sabda Rasul Saw “Bila menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan
ahlinya, maka tunggulah kehancuran”.
Menurut sabda Rasul ini, seseorang dalam bekerja, apapun pekerjaannya, kalau ingin
mengharapkan hasil yang berkualitas dan baik,
maka dia harus profeisinal/ahli dalam pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya itu. Ahli
dalam bekerja, berarti menguasai ilmu pengetahuan yang berhubungan langsung dengan
pekerjannya. Seorang pekerja yang bekerja dalam dunia pertanian, tentu dia harus berilmu
tentang tanaman, pemupukan, pengairan dan lain-lain. Dia harus mengerti, memahami dan
menghayati secara mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya dalam pertanian.
Sifat kreatifitas dan kemampuan melakukan berbagai macam inovasi yang bermanfa’at tentang
pertanian akan muncul dalam dirinya.
Tentunya kreatif dan inovatif hanya mungkin akan dimiliki manakala seseorang selalu
berusaha untuk menambah berbagai ilmu pengetahuan, peraturan, dan informasi yang
berhubungan dengan pekerjaan apapun bentuk pekerjanya. Sebagai seorang guru (pengejar)
dituntut harus ahli dalam ilmu keguruan jangan setengah-setengah tapi belajar terus belajar
tentang profesi keguruan sampai akhir hayatnya. Firmam Allah dalam surat Al-Baqarah 208
”Hai orang yang beriman, masuklah kamu kedalam kedamaian Islam secara menyeluruh, dan
janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan, karena setan itu adalah musuhmu yang nyata”.
Tersirat dalam ayat ini, bahwa aktifitas apapun yang dilakukan menuntut pelakunya untuk
berilmu secara mendalam dan menyeluruh (kaffah) sesuai dengan profesinya.
Orang beriman diminta untuk memasukkan totalitas dirinya kedalam wadah islam secara
menyeluruh, sehingga semua kegiatannya berada dalam wadah islam/kedamaian. Ia damai
dengan dirinya, keluarganya, seluruh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam raya
semuanya. Wadah Islam secara menyeluruh yang dimaksud juga penguasaan ilmu islam secara
menyeluruh sehingga mampu melaksanakan aktifitas Islam dengan berkualitas dan bermutu.

2.2 HAKIKAT HIDUP


Dunia laksana fatamorgana. Sebagian orang tidak jarang terkecoh dengan gemerlap dunia dan
lupa hakikat hidup yang hakiki. Padahal Allah telah mengingatkan dalam Al-Qur’an, yang artinya
: “Ketauhilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang
melal Ikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani,
kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur.
Karena asyik dengan kehidupan dunia, manusia sering mengidap hubb al-dunya (cinta dunia)
dan karahiyat al-maut (takut mati). Ketika dari hari ke hari hidup demikian super sibuk sejak
bangun hingga tidur dan bangun kembali di shubuh hari. Ketika kegiatan demi kegiatan begitu
padat, berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, dari satu aktivitas ke aktivitas lain. Hidup
yang tidak jarang disertai pertaruha, perebutan, konflik, dan ketegangan yang melebihi takaran.
Bahkan manakala hidup begitu penuh pergaulatan seolah tak pernah berujung dan bermuara
dalam sejuta ambisi yang terus membara
Mencari nafkah, menjalankan profesi, mengemban mandat rakyat, berniaga, dan apapun yang
dilakukan harus memiliki nilai ibadah dan kekhalifahan, bukan sekedar pekerjaan rutin dan
duniawi semata-mata. Apapun yang kita lakukan dari hal yang sehari-hari (yaumiyah) sampai ke
urusan-urusan besar seperti berniaga, berpolitik, dan seterusnya (mu’amalat-dunyawiyyat)
harus bermakna dan berfungsi ibadah serta dalam rangka menjalankan kekhalifahan untuk
memakmurkan dunia. Karena itu setiap langkah kita jika dilandasi ibadah dan fungsi
kekhalifahan tidak akan sia-sia, selalu manfaat dan bermakna. Hidup hanya disini dan saat ini,
tidak ada hidup di akhirat setelah kematian. Hidup hanya mencari kesenangan dan bermegah-
megahan dengan perhiasan dunia belaka, tanpa arah dan tujuan yang pasti. Hidup hanya silau
dengan keindahan dan kejayaan duniawi semata. Mereka bahkan menganggap kehidupannya
yang makmur secara duniawi, banyak dikarunia anak, harta, dan kekuasaan merasa diridhoi
Tuhan, sehingga tanpa beriman pun hidupnya sejahtera di dunia. Anak-anak, harta, kekuasaan,
dan apapun yang ada di dunia ini, jika tak pandai-pandai dimaknai dan disyukuri, akan menjadi
fitnah dan melalaikan manusia dari fondasi,fungsi, dan tujuan hidup yang hakiki sebagaimana
dilakukan mereka yang ingkar.

2.3 IMPLIKASI KERJA DALAM KEHIDUPAN


Al- qur’an menyerukan pada semua manusia yang memiliki kemampuan fisik untuk bekerja
dalam usaha mencari sarana hidup untuk dirinya sendiri. Tak seorang pun dalam situasi normal,
dibolehkan untuk meminta-minta atau menjadi beban bagi kerabat dan Negara sekalipun. Al-
Qur’an sangat menghargai mereka yang berjuang untuk mencapai dan memperoleh karunia
Allah. Apa yang disebut karunia Allah ini adalah meliputi segala macam sarana kehidupan.
Rasulullah Saw., menyatakan bahwasanya orang yang mencari nafkah hidupnya untuk dirinya
sendiri dan untuk saudaranya yang tidak yang beribadah sepanjang waktu, lebih baik dari
saudaranya yang tidak bekerja.

2.4 WAWASAN ISLAM TENTANG KERJA

2.4.1 Etos Kerja


Dalam Perspektif Islam Etos kerja termasuk salah satu diantara global narrative, pembicaraa
global. Salah satu diantara ciri sumber daya manusia (SDM) yang diharapkan oleh negara-
negara maju dan berkembang adalah warga yang memiliki etos kerja tinggi. Dalam manajemen
industri, ada empat parameter yang biasanya digunakan untuk melihat seseorang atau
kelompok memiliki etos kerja atau tidak. Pertama, bagaimana pandangan seseorang tentang
kerja. Orang yang memiliki etos kerja tinggi dan baik pasti mempunyai pandangan bahwa kerja
sebagai hal yang mulia. Karena sebagai hal yang mulia, dia menghargai kerja. Kedua, ada atau
tidak adanya semangat untuk melakukan pekerjaan, semangat bekerjaatau menyelesaikan
pekerjaan. Orang-orang yang mempunyai etos kerja baik, apabila ditugasi untuk melakukan
pekerjaan akan tumbuh semangatnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu dengan baik. Ketiga,
adalah adanya upaya untuk menyempurnakan suatu kerja agar menjadi lebih produktif. Dia
tidak hanya melakukan sesuatu pekerjaan berdasarkan semangat atau perintah saja, tetapi
berusaha menjadikan cara kerja, model kerja, atau sistem kerja menjadi lebih baik dan bernilai
produktif. Keempat, adanya kebanggaan dapat melakukan pekerjaan yang menjadi tugasnya.
Dia merasa bangga dan puas kalau dapat melakukan pekerjaan itu dengan baik.
Bagaimana islam memandang kerja? Dalam kajian tasawud, posisi manusia terhadap kerja
dapat dibagi kedalam dua kategori atau dua tipe. Pertama, adalah orang yang berada di maqom
tajrid, artinya orang-orang yang posisinya sudah tidak lagi membutuhkan kerja. Beberapa faktor
yang menyebabkan seseorang tidak membutuhkan kerja misalnya karena usia yang sudah
lanjut. Kedua, yaitu orang yang berada pada maqom ikhtiyar, masih memerlukan usaha.
Mengapa? Sebab dia masih membutuhkan rumah, kendaraan, baju baru, menyekolahkan anak,
dan berbagai kebutuhan lain. Oleh sebab itu, jika ada orang yang masih menginginkan makan
enak, tetapi tidak mau bekerja pada dasarnya dia menempatkan sesuatu bukan pada
tempatnya. Mestinya dia berada pada maqom ikhtiyar tetapi menjadikan diri di maqom tajrid.
Islam sebagai agama yang mempunya konsep mengenai sesuatu kehidupan bahagia (way of
life) memberi petunjuk bahwa bekerja adalah sesuatu yang harus dilakukan. Nabi menjelaskan
yang menyangkut etos kerja ada yang dalam bentuk fi’liyah atau ‘amaliyah
(tindakan/perbuatan). Dalam bentuk ungkapan lisan misalnya Nabi pernah bersabda dalam
sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Syaikh dalam kitab Ats-Tsawab atau Abu Nuaim
dalam kitab Hilyatul Auliya’, atau Imam Baihaqi dalam Syu’bul Imam. Nabi menyatakan ada
empat prinsip kerja yang menyebabkan seseorang akan menemui Allah dalam keadaan
gembira. Pertama, Man thalaba d-dunya halalan, “Orang yang mencari kekayaan dunia (kerja)
dengan secara halal”. Artinya, pekerjaannya halal dan caranya juga halal. Sebab ada pekerjaan
halal tetapi caranya tidak halal. Kedua, kata Nabi adalah wata’affufan ‘ain lmas’alah, “bekerja
demi menjaga diri jangan sampai meminta-minta”, agar tidak mengemis, menjadi tanggungan
orang lain atau menjadi beban orang lain. Ketiga, Wasa’yan ‘ala ‘iyalihi, “bekerja untuk
mencukupi kebutuhan keluarganya”. Dan keempat, Wa ta’aththufan ala jarihi, “karena rasa
kasih sayang terhadap tetangganya”. Mungkin tetangganya membutuhkan bantuan karena itu
dia kerja lembur agar bisa membantu tetangganya.
Orang yang bekerja atas dasar empat prinsip diatas : kerjanya halal, menjaga diri jangan
sampai hidup dari meminta-minta, bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga, dan demi
membantu tetangga.

2.4.2 Tujuan Kerja Dalam Wawasan


Kerja apapun asal halal nilainya jauh lebih berharga daripada tidak kerja, menganggur.
Menurut Islam, ada tiga tujuan dasar kerja. Pertama, mencukupi kebutuhan hidup diri dan
keluarga. Kebutuhan diri dan keluarga yang sudah tercukupi dengan baik dengan begitu akan
mengurangi dorongan untuk meminta-minta atau dorongan untuk
melakukan hal-hal yang dapat menjerumuskan diri pada tindakan tidak terpuji. Kedua, untuk
memberikan kemaslahatan atau kesejahteraan bagi masyarakat luas, termasuk kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kalau pada tujuan pertama mungkin seseorang mudah mengatasi,
hasil kerja itu tidak sebatas untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi harus ada yang digunakan
untuk mengembangkan kemaslahatan umum. Ketiga, untuk meningkatkan mutu pengabdian
dan ketaatan kepada Allah. Atau dalam bahasa yang sederhana, untuk meningkatkan kualitas
ibadah. Misalnya bekerja agar bisa menunaikan ibadah haji, shadaqoh, menjadi donatur
pembangunan masjid, madrasah, dan lain-lain.

2.4.3 Kerja Dan Martabat Hidup


Kadang orang tidak mau melakukan pekerjaan karena gengsi, misalnya sarjana gengsi
berjualan bakso. Pekerjaan ini dianggap dana’ah, dianggap rendah dan tidak sesuai dengan
martabat dirinya. Akan tetapi, dalam pandangan ‘Umar tersebut, sarjana yang menjual bakso
jauh lebih mulia ketimbang sarjana yang hanya meminta bantuan orang tua atau menyusahkan
teman-temannya. Persepsi demikian menunjukkan betapa besarnya pengaruh kerja dalam
pandangan Islam kaitannya dengan penilaian terhadap derajjjaaat seseorang
Sahabat senior Nabi melihat bahwa kerja sebagai upaya untuk mengangakat martabat hidup
tidak mengurangi kedudukannya sebagai sahabat yang mempunyai tempat khusus di hadapan
Nabi. Dalam masyarakat modern maupun tradisional masalah pekerjaan menjadi suatu yang
diperhatikan. Orang yang tidak memiliki pekerjaan akan dipandang remeh. Sebaliknya, orang
yang sudah memiliki pekerjaan bisa menjaga atribut kediriannya dan mengangkat martabat
hidupnya. Kerja, dengan demikian, menjadi parameter keberhasilan seseorang dalam
kehidupannya.
Dari pembahasan di atas, ajaran Islam baik secara qauliyah maupun fi’liyah mengapresiasi
bahwa untuk menjadi muslim yang baik standar umumnya adalah punya pekerjaan. Kalau tidak
bekerja karena suatu udzur, misalnya sakit atau fisik tidak memungkinkan, menjadi
pengecualian. Tetapi Islam menegaskan : Inna l-Laha yuhibbu l-‘abda lmuhtarif. “Tuhan
menyukai hambanya yang memiliki pekerjaan”. Ini merupakan tema penting yang patut
dipikirkan dalam mempersiapkan generasi muda di masa mendatang. Ada satu pandangan, the
world view,
yang harus ditanamkan kepada generasi muda bahwa “kerja sebagai suatu kegiatan yang
mulia”

2.4.4 Nilai-nilai Ibadah Dalam Islam


Membicarakan nilai-nilai ibadah dalam kerja memerlukan ukuranukuran tertentu apakah kerja
itu bisa menilai ibadah atau tidak. Islam menghendaki agar ibadah bisa built-in dengan kerja,
dan sebaliknya kerja yang bernilai ibadah. Ada dua syarat yang dapat dijadikan ukuran bekerja
dengan benar dalam Islam: Pertama, benar dariaspek niatnya (shabibun fi n-niyat). Niatlah yang
menetukan amal atau kerja seseorang. Kedua, benar dari apek pelaksanaan (shabibun fi t-
tabsbil), bagaimana menghasilkan pekerjaan.
Kerja yang mempunyai nilai ibadah harus dimulai dari niat yang benar dan pelaksanaannya
(bentuk kerjanya) juga benar. Bentuk dan cara kerja yang dibenarkan syara’ dapat dilihat dari
dua aspek, yaitu pekerjaan yang tidak menyimpang dari aturan syara’ dan tidak melalaikan
terhadap tugas-tugas keagamaan (hubungan manusia dengan Tuhannya). Ada tujuh aktivitas /
pekerjaan yang pahalanya akan selalu mengalir pada orang yang mengerjakannya meskipun dia
sudah berada di kubur atau setelah dia meninggal dunia.
 Man ‘allama ‘ilma : Orang yang mengajarkan ilmu
 Man karo nahro : Orang yang mengalirkan sungai baik untuk irigasi pertanian atau
kepentingan masyarakat sekitarnya
 Man hafaro bi’ro : Orang yang menggali sumur atau pengadaan air bersih
 Man ghorosa nakhlan : Orang yang menanam kurma. Dalam konteks Indonesia bisa
diartikan tanaman produktif yang memberi manfaat kepada orang lain (untuk konsumsi
buah-buahan, kelestarian lingkungan, obat, makanan sehat, dan lain-lain)
 Au bana masjidan : Orang yang membangun masjid atau sarana peribadatan dan sarana
umum lainnya
 Au warratsa mushafan : Orang yang mewariskan atau mewakafkan mushaf Al-Qur’an.
Dalam kitab Hilyatu l-Awliya’ karya Abu Nu’aim, pengertian mushaf bukan sekedar fisik,
tetapi juga orang yang mengajarkannya pada orang lain.
 Au taroka walada yastaghfirulahu ba’da mautihi : Orang yang mendidik anak secara baik
sehingga saat orang tuanya meninggal dia mendoakannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, psikologis,
maupun sosial. Selain itu, kerja adalah aktivitas yang mendapat dukungan sosial dan individu itu
sendiri. Manusia diwajibkan untuk berusaha, bukan menunggu karena Allah tidak menurunkan
harta benda, iptek dan kekuasaan dari langit melainkan manusia harus mengusahakannya
sendiri. Manusia harus menyadari betapa pentingnya kemandirian ekonomi bagi setiap muslim.
Kemandirian atau ketidak ketergantungan kepada belas kasihan orang lain ini mengandung
resiko, bahwa umat Islam wajib bekerja keras. Dan syarat itu adalah memahami konsep dasar
bahwa bekerja merupakan ibadah. Dengan pemahaman ini, maka akan terbangun etos kerja
yang tinggi. Tujuan bekerja menurut Islam ada dua, yaitu memenuhi kebutuhan sendiri dan
keluarga, dan memenuhi ibadah dan kepentingan sosial. Islam menjunjung tinggi nilai kerja,
tetapi Islam juga memberi balasan dalam memilih jenis pekerjaan yang halal dan haram.

3.2 Saran
Bekerja dengan sunguh-sunguh merupakan mencirikan seorang muslim yang taat kepada
Allah Swt. Allah tidak merubah nasib suatu kaum selain kaum itu merubah nasibnya sendiri,
kehidupan kita tidak terlepas dari kebutuhan-kebutuhan sandang dan pangan. Untuk
memperoleh itu semua kita harus bekerja untuk memperoleh kondisi ekonomi yang baik, Islam
sudah memberikan penjelasan bagaimana cara bekerja secara sungguh-sungguh dan
professional. Marilah kita bekerja dengan sungguhsungguh untuk mendapatkan rahmat dan
ridho Allah Swt dan memperoleh rezeki yang halal.

DAFTAR PUSTAKA

Listafariska putra, Dinamika Kehidupan Religius, Jakarta, 2000 KH.


Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2002 Dr.
Haedar Nashir, Ibrah Kehidupan, Yogyakarta, 2012 Prof.
Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Jiwa dan Semangat Islam, Gema Insani Press, Jakarta,
1992 Drs. M. Thalib, Pedoman Wiraswasta dan manajemen Islami, CV.

Anda mungkin juga menyukai