Anda di halaman 1dari 141

Sinopsis:

Sheila McAdams memiliki segalanya. Dia muda, kaya, cantik, dan memiliki
ayah yang menyayanginya. Hidupnya sempurna. Hingga suatu malam yang
mengubah segalanya. Malam saat dia bertemu seorang pria yang membuatnya
tertarik.

Lucas telah mengincar Sheila sejak dulu. Dan tidak butuh waktu lama untuk
membuat gadis itu jatuh ke dalam jeratannya. Sheila terlalu polos. Terlalu naif.
Namun hal itu tidak mempengaruhi Lucas. Tidak kalau dengan begitu dia dapat
membalas dendam.

Dibutakan oleh dendam serta rahasia kelam yang disimpannya sejak lama,
Lucas berusaha menyakiti Sheila. Namun entah kenapa gadis itu selalu
memaafkannya. Dan mencintainya. Sampai suatu kali Lucas melakukan
perbuatan yang tidak termaafkan. Hingga gadis itu benar-benar hancur dan
meninggalkannya.

Sumber: http://baca-online.pun.bz

1|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Into The Dark by Baby Zee

Bab 1

Sometimes you have to dig a little deeper and get to know the darkness before
you can appreciate the light

-Anonymous-

2014

Musik hingar-bingar terdengar di dalam ruangan itu. Grup band sedang


memainkan lagu di atas panggung sementara beberapa anak menari. Ada yang
berpasangan. Ada yang membentuk grup yang terdiri dari beberapa orang dan
menari bersama. Lampu-lampu dengan berbagai macam warna menerangi aula
besar tempat pesta prom itu diadakan. Suasana masih cukup terkendali saat ini,
namun dengan malam yang semakin larut, beberapa orang sudah mulai terlihat
linglung karena minuman yang dicampur alkohol. Semua orang sedang
bersenang-senang pada malam pesta prom kelulusan mereka. Sebenarnya, tidak
semua orang.

Sheila tengah mengamati seseorang di seberang ruangan. Dia tidak dapat


melepaskan tatapannya dari pria itu. Meskipun sebagian besar wajahnya
tertutup topi, tapi Sheila tahu pria itu tidak seharusnya berada di sini. Jelas-jelas
dia bukan anak SMA dan pesta yang saat ini sedang berlangsung adalah malam
prom sekolahnya. Pria itu tidak terlihat membaur dan pakaiannya memang
bukan untuk pesta. Celana jeansnya robek di bagian lutut dan T-Shirt hijau
army mengintip dari balik jaketnya yang tidak tertutup.

Bagaimana pria itu bisa masuk ke sini? Pesta ini hanya untuk kalangan terbatas
dan Sheila yakin pria itu setidaknya adalah anak college bukan SMA. Namun
pria itu masih berdiri dengan santai seakan tidak ada yang aneh dengan
keberadaannya di sana. Sheila segera mendapat jawaban atas pertanyaannya
saat itu juga. Seseorang yang kira-kira sebaya dengan pria itu datang
menghampiri. Mereka berbicara sebentar dan Sheila menyadari bahwa dia
adalah pelayan catering untuk pesta promnya. Si pelayan menyerahkan
serenteng kunci pada pria itu. Sheila melihat sekilas bibir di bawah topi yang

2|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


menyunggingkan senyum tipis sebelum akhirnya pria itu melambai kepada
temannya dan pergi.

Sheila terpana. Jantungnya berdebar hanya dengan seulas senyum yang nampak
dari jauh. Dia tidak menunggu lama untuk menyeberangi ruangan dan
menghampiri pelayan yang tadi bicara dengan pria itu.

“Siapa dia?” Tanyanya tanpa basa-basi.

Pelayan yang ada di depannya nampak terkejut dengan kehadiran Sheila dan
tidak menyangka ada tamu pesta yang akan mengajaknya bicara. Dia
mengamati Sheila sejenak, agak tercengang melihat gadis cantik dengan gaun
menyapu lantai yang kini telah diangkat sedikit agar Sheila lebih mudah
berjalan dengan cepat. Sheila mengerjapkan mata abu-abu terangnya dengan
tidak sabar saat pelayan itu tidak juga menjawab pertanyaannya.

“Siapa pria tadi?” Dia berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar
terlalu penasaran meski sikapnya menunjukkan hal sebaliknya.

Pelayan pria di depannya seakan tersadar dari lamunan dan menjawab dengan
agak gugup. “Teman saya. Maaf kalau saya memasukkannya ke dalam tapi saya
sangat sibuk sehingga tidak bisa keluar untuk menemuinya. Tolong jangan
laporkan pada supervisor saya.”

“Apa yang dia lakukan di sini?”

“Mengambil kunci apartemennya yang dia titipkan pada saya saat dia pergi.
Hanya itu, Miss.”

“Siapa namanya?”

Pelayan pria itu terlihat bingung dengan pertanyaan Sheila. Apa hubungan
antara nama temannya dengan ini semua? Lalu tiba-tiba dia memahaminya.
Gadis ini akan melaporkan dirinya dan dia butuh nama temannya untuk
memperkuat laporannya.

“Miss, berbaik hatilah sedikit. Dia benar-benar hanya datang mengambil kunci.
Saya tidak memasukkan orang jahat ke pesta ini,” kata pelayan pria itu
memelas.

Sheila melihat badge nama yang menempel di dadanya dan bicara dengan suara
sesabar mungkin.

3|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


“Aku tidak akan melaporkanmu… Greg. Tapi kalau kau tidak memberitahuku
siapa namanya, aku benar-benar akan melakukan itu.”

“Lucas.”

Greg si pelayan pria menjawab hampir otomatis. Sheila menyambar benda


pertama yang dilihatnya di meja catering dan berlari keluar. Dadanya terasa
sesak karena dia berlari begitu cepat tapi usahanya tidak sia-sia. Pria itu masih
berada di depan gedung dan sedang berjalan menuju halte bus yang tidak jauh
dari situ.

“Lucas!”

Pria itu menoleh dan Sheila melihat mulutnya yang agak terbuka karena
terkejut. Raut wajahnya yang lain tidak dapat dibaca karena topi yang menutupi
sebagian wajahnya.

“Apa aku mengenalmu?” Suara yang dalam dan rendah mengalun bagai musik
nan indah di telinga Sheila. Dia berusaha agar tidak terlalu terpengaruh.

“Kau menjatuhkan ini,” Sheila menyodorkan benda yang tadi dia sambar dan
langsung menyadari kebodohannya. Dari jauh, benda itu tampak seperti sapu
tangan tapi setelah di perhatikan baik-baik, benda di tangannya jelas-jelas
adalah serbet dengan tulisan Manville Catering.

“Serbet?” Suara pria itu terdengar geli.

“Kalau begitu aku yang salah,” Sheila merasakan pipinya memanas, “Aku
permisi.”

Sheila membalikkan badan dan menyesali tindakannya yang spontan. Dia tidak
pernah begini. Apa yang terjadi pada dirinya? Namun dia belum sempat
melangkah pergi saat suara dalam itu kembali menyapanya.

“Tunggu.” Sheila menoleh dan melihat senyum pria itu yang kembali muncul.
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”

“Yang mana?” Tanya Sheila dengan bingung.

“Apa kita saling mengenal? Kau tahu namaku.”

4|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Sheila yakin wajahnya tidak bisa lebih merah lagi daripada saat ini. Tapi dia
dapat mengendalikan dirinya dengan baik dan bicara dengan suara setenang
mungkin.

“Tatap lawan bicaramu saat bicara.”

“Aku menatapmu.”

“Aku tidak bisa melihat wajahmu.”

Kali ini senyum yang tersungging di bibir pria itu adalah senyum nakal. Perut
Sheila bergolak saat melihatnya dan dia bersyukur pria itu tidak dapat melihat
lututnya yang gemetar karena gaun panjang yang dikenakannya.

“Apa itu yang membuatmu menanyakan namaku pada Greg dan mengejarku?
Kau ingin tahu bagaimana rupaku?”

Kini Sheila yang terkejut dengan kata-kata pria itu. Namun tidak lama karena
pria itu kembali bicara dengan senyum yang sama dan nada geli yang tidak
ditutup-tutupi.

“Aku melihatmu. Sulit mengabaikan gadis secantik dirimu apalagi kalau kau
terus-terusan menatapku seakan aku adalah makan malammu. Koreksi kalau
aku salah.”

Sheila tidak mengoreksinya. Dia terlalu malu dan kata-kata pria itu memang
benar. Dia tidak suka berbohong. Tapi bukan berarti dia juga harus mengatakan
kebenarannya. Sebelum Sheila sempat melontarkan komentar balasan, pria itu
membuka topinya dan apapun yang ingin dikatakan Sheila langsung terhenti di
ujung lidahnya.

Tempat mereka berdiri hanya diterangi oleh lampu jalan namun Sheila dapat
melihat dengan jelas rambut pirang yang tadinya tersembunyi di balik topi itu.
Angin meniup helai-helai rambut di keningnya.

Mata yang kini menatapnya adalah warna biru paling gelap yang pernah dilihat
Sheila. Alisnya lebih gelap dari pada rambutnya dan hidungnya yang lurus
menampilkan kesan arogan. Seperti senyuman di bibir tipisnya. Pria ini dapat
membuat gadis manapun bertekuk lutut padanya. Dia sangat tampan dan
memancarkan aura maskulin yang memabukkan. Bukan tipe yang memiliki
otot-otot besar di tubuhnya, tapi lebih seperti macan kumbang. Yang bergerak
luwes dengan tubuh langsing dan otot menonjol di tempat yang tepat, meski

5|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


tidak terlalu kentara karena jaket yang di kenakannya. Namun dada bidang dan
bahu lebarnya menunjukkan hal tersebut.

Jadi tindakan Sheila tadi tidak sepenuhnya salah. Hanya benar-benar


memalukan. Tapi Sheila bahkan belum melihat wajah pria itu dengan jelas tadi.
Tindakannya sudah lebih dari memalukan.

“Suka yang kau lihat?”

Pertanyaan yang disampaikan dengan menggoda itu menyadarkan Sheila. Dia


menelan ludah. Berharap suaranya tidak bergetar saat bicara.

“Aku harus pergi,” dia kembali mengangkat rok gaunnya tapi pria itu
melangkah mendekat. Sheila tidak bergerak. Dia ingin tahu apa yang akan
dilakukan pria itu sekarang.

“Aku sudah melihat wajahmu,” katanya saat sampai di depan Sheila. Mereka
berdiri begitu dekat dan Sheila menyadari kalau pria itu lebih tinggi satu kepala
darinya, padahal saat ini dia sedang mengenakan high heels setinggi 9 cm.
“Sekarang beritahu namamu.”

Pria ini memancarkan aura yang membuat Sheila merinding. Apalagi dengan
keadaan di sekitar mereka yang sepi. Dia bisa saja melakukan hal-hal buruk
pada Sheila. Wajah tampan tidak menjadi jaminan bahwa pria ini bukan orang
jahat.

“Aku benar-benar harus pergi,” Sheila mendengar suaranya sendiri yang agak
bergetar. Sebagian karena takut, lalu sebagian lagi karena kedekatan pria itu
yang membuat Sheila dapat mencium aroma pinus yang keluar dari tubuhnya.
Seperti aroma tanah yang baru diguyur hujan.

Pria itu mengulurkan tangannya mendekati wajah Sheila tapi tidak


menyentuhnya. Buku-buku jarinya membuat gerakan seakan menyapu pipi
Sheila.

“Namamu?” Suara itu begitu rendah. Dan membujuk. Sheila tidak kuasa
menolaknya.

“Sheila.”

Pria itu kembali tersenyum tipis. Lalu tiba-tiba, dia mundur dan mengenakan
topinya kembali.

6|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


“Senang bertemu denganmu… Sheila.”

Pria itu melangkah pergi. Sheila terperangah namun segera menyadari kenapa
pria itu pergi. Bus yang ditunggunya sudah datang. Meski malam ini dia telah
melakukan hal yang cukup memalukan, namun hal itu tidak mencegahnya untuk
melakukannya lagi.

“Kapan aku bisa bertemu denganmu lagi?”

Pria itu berhenti di ambang pintu bus yang akan dinaikinya. Dia menoleh dan
mendongak hingga Sheila dapat melihat kilatan geli yang muncul di matanya
saat menjawab.

“Twisted Head. Besok jam 8 malam.”

Sheila tetap menatap bus yang dinaiki pria itu hingga menghilang di kegelapan
malam. Dia harus segera kembali ke dalam. Kini angin malam yang dingin
mulai terasa di bahu telanjangnya. Selain itu, dia harus segera melakukan
sesuatu. Senyum kecil menghiasi bibirnya saat memikirkan hal itu.

***

“Kau tahu Twisted Head?”

Jessica mendongak dari layar gadgetnya. Dia menatap sahabatnya dengan


heran.

“Jess…,” Sheila mulai tidak sabar melihat sikap diam Jessica.

“Mau apa kau ke sana?” Jessica tidak berusaha menutupi nada tidak senang
dalam suaranya.

“Aku tidak bilang mau ke sana,” Sheila tidak membalas tatapan Jessica.

“Kau pembohong yang buruk, Sheila.”

Saat Sheila tidak juga memberi penjelasan, Jessica menghela nafas panjang
sebelum bicara.

“Itu nama bar, Sheila. Bukan jenis yang bagus.”

“Apa yang harus kulakukan agar bisa masuk ke sana?”

“Kau bilang tidak akan pergi ke sana.”

7|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Sheila segera menyadari kesalahannya tapi dia tidak bisa mundur lagi.

“Jess, kau sahabat terbaikku.”

“Oh… jangan pakai senjata itu.”

Sheila tidak menggubris protes Jessica. “Ini penting, Jess. Kau harus
membantuku.”

“Tentang apa?” Tanya Jessica penasaran.

“Aku tidak bisa mengatakannya padamu,” Sheila menjawab lirih.

“Kau terlibat masalah apa, Sheila?”

“Aku tidak terlibat masalah apapun.”

“Lalu tentang apa? Jangan bilang kalau tentang cowok.”

Wajah Sheila yang memerah telah menjawab segalanya. Jessica menggeleng


dengan tidak setuju.

“Kau tidak boleh menemui cowok di situ. Tidak akan berakhir dengan baik.”

“Katakan saja di mana tempatnya,” desak Sheila.

“Sheila McAdams, apa yang terjadi denganmu?” Jessica tidak dapat


menyembunyikan keterkejutan terhadap sikap sahabatnya. Sheila tidak pernah
begini. Dia bukan gadis bodoh yang akan mengejar pria sampai ke sebuah bar
kumuh. Tidak. Sheila gadis baik-baik. Lebih tepat jika disebut naïf.

“Jess, kau harus membantuku. Aku janji kau tidak akan menyesalinya,” Sheila
masih berusaha membujuk sahabatnya.

“Ayahmu akan membunuhku,” erang Jessica.

“Ayahku ada di Perancis. Dia tidak akan tahu,” kata Sheila acuh.

“Seharusnya dia lebih sering berada di rumah untuk mengawasimu,” gerutu


Jessica. Sheila tidak menggubrisnya. Tapi Jessica tidak sepenuhnya benar.
Sheila biasanya tidak butuh diawasi. Ayahnya menaruh kepercayaan padanya
dan Sheila tidak pernah menyalah-gunakannya. Hingga saat ini. Sheila
bersyukur karena ayahnya akan berada di Perancis dalam waktu yang lama. Dia
hanya perlu bilang pada pelayannya bahwa dia akan berada di rumah Bibi
Sophie selama beberapa hari. Meski kenyataannya dia berniat untuk menginap
8|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
di apartemen Jessica. Jessica tinggal sendiri sehingga akan lebih mudah bagi
Sheila untuk keluar masuk tanpa mengundang tanda tanya. Kalau dia akan
sering menemui pria itu. Dia hanya berharap Jessica tidak akan
membocorkannya.

“Jess.”

“Baiklah. Tapi aku yang akan mengantarmu ke sana. Dan kau akan pulang
bersamaku setelahnya.”

“Aku bisa naik taxi.”

“Taxi?! Kau pikir tempat macam apa yang akan kau tuju? Kau akan berakhir
sebagai korban perampokan sebelum malam berakhir. Atau lebih buruk lagi.”

“Oke,” Sheila akhirnya menyerah, “Tapi kau tidak akan ikut masuk.”

“Sepakat,” kata Jessica setelah berpikir sejenak.

“Terima kasih. Kau yang terbaik, Jess,” Sheila memeluk sahabatnya erat-erat
sampai orang-orang di coffee shop itu memperhatikan mereka.

“Ew… lepaskan, Sheila. Ada cowok yang sedang kuincar di ujung sana.”

Lalu mereka sama-sama tertawa.

***

9|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Bab 2

“Serius?”

Jessica menatap Sheila dengan tercengang saat melihat penampilan sahabatnya.


Sheila menunduk mengamati gaunnya. Apa yang salah? Dia mengenakan gaun
tanpa lengan sepanjang lutut berwarna tosca dari bahan chiffon. Gaun itu jatuh
dengan anggun mengikuti lekuk tubuhnya dan ada hiasan berupa kain yang
bertumpuk di bagian dada. Sepatunya berwarna krem dengan hak datar. Dia
mengikat rambut coklat kemerahannya membentuk ekor kuda dan membiarkan
beberapa ikal jatuh di sekitar wajahnya.

“Kita bukan mau nonton film, girl.”

Saat melihat ekspresi tidak mengerti Sheila, Jessica hanya mendesah panjang
dan membuka pintu penumpang.

“Masuklah. Aku berharap kau punya cara untuk masuk ke dalam bar itu dengan
penampilanmu saat ini.”

Sheila masuk ke dalam dan Jessica langsung mengemudikan mobilnya. Dia


melemparkan tas tangan kecil berwarna gold kepangkuan Sheila.

“Setidaknya ganti tasmu. Mungkin bisa membantu menghilangkan kesan anak


sekolahmu.”

“Aku 18 tahun, Jess,” Sheila berkata jengkel.

“Aku juga. Tapi aku tahu cara berdandan seperti wanita dewasa. Bagaimana
penjaga pintu akan percaya umurmu 21 tahun kalau kau bahkan masih memakai
ekor kuda seperti anak SD?” Jessica berseru frustasi.

Sheila mengerucutkan bibirnya, tapi dia mematuhi perintah Jessica untuk


memindahkan barang-barangnya dari tas bercorak bunga miliknya ke dalam tas
berwarna gold milik Jessica.

“Aku hanya bisa memasukkan ponsel dan dompetku ke dalam tasmu,” kata
Sheila setelah berjuang dengan sia-sia untuk memasukkan tablet miliknya.

“Memang hanya itu yang kau butuhkan. Lagipula apa saja yang kau bawa di
dalam tas besar itu?” Jessica bertanya heran.

“Hanya beberapa buku dan catatan.”

10 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kau ini mau kencan atau belajar di perpustakaan?”

Sheila melemparkan pandangan jengkel pada Jessica. Dia melepaskan ikat


rambutnya dan menyisiri rambutnya yang tergerai dengan tangan.

“Bagaimana?” Tanyanya dengan percaya diri.

“Lebih baik,” kata Jessica dengan tidak meyakinkan.

Sheila mendesah. Memangnya apalagi yang bisa dia lakukan? Kalau dia tidak
diijinkan masuk, setidaknya dia punya senjata terakhir yang dapat dia gunakan.

Mobil mereka memasuki kawasan yang tidak terlalu ramai. Kawasan


pertokoannya hanya memiliki sedikit pengunjung, begitu juga apartemen-
apartemen kumuh yang banyak berjejer. Tapi beberapa wanita dengan pakaian
mencolok dan terbuka terlihat di tepi jalan sambil melambaikan tangan.

“Kurasa mereka butuh tumpangan, Jess. Tak bisakah kita mengajaknya?” Tanya
Sheila.

“Mereka tidak butuh tumpangan. Mereka sedang menawarkan „dagangan‟nya,”


jawab Jessica sambil menahan tawa.

“Dagangan? Tapi mereka tidak bawa apa-apa,” Sheila berkata bingung.

Kali ini Jessica benar-benar tertawa, “Sheila, aku tidak habis pikir bagaimana
ayahmu bisa melepasmu untuk masuk college. Kau beruntung punya teman
sepertiku.”

“Bicara yang jelas, Jess,” Sheila melipat tangan di depan dada dengan kesal.

“Lihat. Ada yang membeli dagangannya.”

Sheila menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Jessica. Seorang pria menghentikan
mobilnya di depan salah satu wanita yang mengenakan atasan seperti bra dan
rok mini. Mereka berbicara sebentar lalu pria itu mengeluarkan beberapa lembar
uang dan menyerahkannya pada wanita itu. Wanita itu langsung masuk ke
dalam mobil dan mereka berlalu pergi.

“Oh… itu buruk. Buruk sekali,” Sheila berkata dengan ngeri saat paham apa
yang sedang terjadi.

11 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Dan kau mau menemui cowok di tempat seperti ini. Entah apa yang ada di
dalam pikiranmu,” Jessica menggelengkan kepalanya dengan heran. “Ceritakan
padaku, bagaimana cowok ini?”

“Dia… oke,” kata Sheila tanpa menatap Jessica.

“Hanya oke? Siapa namanya? Dia anak mana? Berapa usianya? Apa yang dia
lakukan?” Cecar Jessica tanpa ampun.

“Aku tidak tahu. Aku baru ketemu dia kemarin. Yang kutahu namanya Lucas.”

Jessica menghentikan mobilnya dengan tiba-tiba hingga Sheila terlonjak dari


kursinya.

“Kau mau ketemu cowok yang baru kau temui kemarin dan yang kau ketahui
dari dirinya hanya namanya? Sheila, ada apa denganmu?!”

Sheila mengernyit mendengar suara nyaring Jessica. Lalu dia buru-buru


menambahkan, “Kurasa umurnya 22… Tidak. Sepertinya 23 tahun.”

“Sheila, kau paham apa yang kumaksud. Kau tidak mengenalnya cukup baik
untuk menemuinya di tempat seperti ini. Belum terlambat untuk kembali.”

“Tidak.”

“Sheila…,” Jessica berusaha membujuk tapi Sheila tetap teguh pada


pendiriannya.

“Kalau kau tidak mau mengantarku, aku bisa naik taxi dari sini,” Sheila berkata
keras kepala.

“Baiklah!” Jessica berseru jengkel, “Jangan bilang kalau aku tidak


memperingatkanmu.”

Tidak berapa lama, mobil Jessica berhenti di depan sebuah gang kecil yang
hanya diterangi lampu remang-remang.

“Tempatnya ada di dalam sana. Masuk ke dalam sedikit dan kau akan melihat
papan neonnya.”

Sheila tidak membuang waktu lagi dan langsung melompat keluar dari dalam
mobil. Jessica memanggilnya dari dalam mobil.

“Aku akan menunggu di sini. Kalau ada apa-apa telepon aku.”

12 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sheila mengangguk lalu melambaikan tangan dan masuk ke dalam gang itu.
Jessica benar. Tempat ini terlihat tidak aman, pikir Sheila saat berjalan ke dalam
gang kecil itu. Dia baru saja berpikir bahwa ini bukan ide yang bagus saat
melihat papan neon yang di maksud Jessica. Sebuah pintu dari besi berada tepat
di bawah papan itu. Dia mengetuknya dan seketika itu juga pintu itu menjeblak
terbuka.

Seorang pria botak besar dengan tato di sepanjang lengan menyambutnya. Pria
itu tidak bicara dan hanya menatap tajam.

“Aku… aku mau masuk,” katanya dengan gugup.

Pria besar itu mengamati Sheila dari atas sampai bawah tanpa mengubah
ekspresi galak di wajahnya.

“20 dollar,” kata pria itu kasar.

Sheila buru-buru mengeluarkan dompetnya.

“Dan kartu identitas.”

Sheila sudah menyiapkan jawaban untuk itu.

“Kartu identitasku tertinggal di rumah. Bolehkah aku membayar lebih untuk


mengganti kartu itu?” Sheila berharap nada suaranya cukup menggoda. Dia
mempelajarinya dari Jessica. Meski belum bisa semahir sahabatnya itu.

“Tidak.”

Tiba-tiba pintu di depannya langsung tertutup kembali dan Sheila di tinggalkan


dengan wajah tercengang di sana. Dia belum menyerah.

“Buka pintunya!” Dia menggedor dengan keras, “Aku akan membayarmu 50


dollar.” Pintu di depannya tidak bergeming. “100 dollar.” Masih tidak bergerak.

Dia menghentakkan kakinya dengan frustasi lalu mengeluarkan ponsel dan


memencet sebuah nomor.

“Apa?” Suara yang dalam itu menyapanya. Tiba-tiba Sheila merasakan


kegugupannya kembali lagi.

“Ini aku,” jawab Sheila akhirnya.

“Aku siapa?” Sheila dapat mendengar nada tidak sabar dalam suaranya.

13 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Sheila.”

Ada jeda sejenak.

“Ada apa, Sheila?” Suara Lucas menjadi lebih lembut dan Sheila dapat
mendengar namanya yang disebut dengan agak intim.

“Aku di luar. Penjaga tidak membiarkanku masuk.”

Jeda lagi.

“Tetap di sana.”

Lalu Lucas menutup teleponnya. Sheila berdiri dengan gelisah saat pintu di
depannya terbuka kembali. Kali ini, yang berdiri di sana adalah Lucas. Pria itu
mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku. Celemek hitam selutut
menutupi sebagian celana panjangnya yang juga berwarna hitam. Rambutnya
disisir ke belakang dengan beberapa helai bandel yang jatuh menutupi kening.

Reaksinya saat melihat Sheila hampir sama seperti Jessica. Yang berbeda hanya
senyum geli yang saat ini kembali menghiasi bibirnya. Dia mengulurkan tangan
dan Sheila menerimanya tanpa ragu. Lucas menuntunnya ke dalam, tapi penjaga
pintu yang tadi tidak mengijinkan Sheila masuk mencegat mereka.

“Dia bersamaku, Jo.”

Hanya perlu satu kalimat itu dari Lucas dan penjaga pintu itu langsung
menyingkir. Sheila menatap Lucas dengan takjub. Dan lebih takjub lagi saat
melihat bar yang ramai dan musik hingar bingar yang menyambut mereka di
dalam. Lucas membawanya ke deretan kursi di depan meja bar dan
membimbingnya untuk duduk di salah satu kursi itu. Lalu Lucas mengitari meja
itu dan berdiri di baliknya, membuatnya kini berhadapan dengan Sheila.

“Mau minum apa?” Tanyanya ramah.

“Kau kerja di sini?” Sheila balik bertanya. Lucas mengangkat bahu dengan
acuh.

“Begitulah,” katanya singkat, “Jadi?”

“Apa saja boleh,” jawab Sheila buru-buru. Lucas menunduk dan mengambil
sesuatu dari bawah meja. Beberapa saat kemudian, dia memegang sebuah gelas
berisi cairan berwarna coklat tua dan menyerahkannya pada Sheila.

14 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Non-alkohol,” dia tersenyum lebar, “Aku tahu kau belum 21 tahun, tapi itu
akan jadi rahasia kita berdua.”

Nada suara Lucas yang seakan bersekongkol membuat Sheila tertawa kecil. Dia
tahu Lucas sedang menggodanya karena siapa pun yang melihatnya pasti tahu
dia belum cukup umur untuk minum alkohol.

“Kau sendiri, berapa usiamu? Aku tidak yakin kau sudah cukup umur untuk
bekerja.”

“Gadis kecil ini tahu caranya menggoda,” Lucas pura-pura berseru kagum.
“Aku 23 tahun. Cukup umur untuk bekerja. Dan melakukan hal-hal lainnya.”

Seandainya Sheila sedang minum, dia yakin pasti sudah tersedak saat
mendengar suara menggoda Lucas. Dia meraih gelas di depannya dan memain-
mainkan gelas itu di tangannya.

“Darimana kau dapat nomorku?” Tanya Lucas santai sambil menggosok salah
satu gelas berkaki dengan lap.

“Greg,” jawab Sheila sambil menundukkan kepala dan masih memainkan


gelasnya. Dia tahu tindakannya terlalu… impulsif.

“Rasa penasaran yang terlalu besar dapat membunuhmu.”

Sheila mendongak dari gelas yang di pegangnya dan bertemu dengan mata biru
gelap Lucas. Ekspresi pria itu nampak geli namun Sheila dapat melihat kilatan
di matanya. Dia tidak tahu apa maksud dari kilatan itu.

“Aku datang dengan temanku.”

Tiba-tiba dia merasa takut dan mengatakan bahwa dia tidak datang sendiri
mungkin akan menghapus niat jahat apa pun yang ditujukan pada dirinya. Kalau
memang ada. Dia terlalu paranoid. Lucas tidak terlihat terkejut mengetahui
Sheila tidak datang sendirian.

“Itu bagus. Tempat ini tidak baik untuk didatangi gadis sepertimu sendirian,”
katanya santai.

“Dia menunggu di depan gang. Tidak akan masuk ke dalam,” Sheila buru-buru
menjelaskan karena rasa bersalah yang tiba-tiba menyergapnya. Dia tidak
pernah berpikiran buruk tentang orang lain dan Lucas tidak akan menjadi orang

15 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pertama. Pria itu menerimanya dengan baik padahal Sheila yang jelas-jelas
mengikutinya ke mana-mana.

Lucas tersenyum tipis. “Jadi, sampai kapan kau akan membiarkannya di luar?”

Pertanyaan itu menyiratkan dua hal. Apakah Sheila akan menyuruh Jessica
pulang atau menyuruhnya masuk ke dalam agar temannya tidak perlu
menunggu lagi?

“Setelah aku menghabiskan minumanku,” dia mengangkat gelas di depannya ke


bibir.

“Seharusnya aku memberimu gelas yang lebih besar.”

Sheila menghentikan gerakannya. Apakah itu tadi rasa kecewa yang terselip
dalam suara Lucas?

“Aku akan minum pelan-pelan.”

Lucas tergelak mendengar jawabannya. “Melihat penampilanmu, orang tidak


akan mengira kalau kau gadis yang cukup berani.”

Sheila meletakkan gelasnya kembali dan menunduk. Entah dia harus senang
atau malu mendengar komentar Lucas tentang dirinya.

“Kau tahu,” kata Lucas sambil lalu seraya menyiapkan minuman untuk seorang
pria yang duduk agak jauh dari tempat Sheila, “Temanmu tidak harus
menunggu di luar dengan kedinginan. Aku bisa mengantarmu pulang.”

Sheila kembali mendongak. Ekspresi Lucas tidak terbaca.

“Kalau kau mau,” tambah Lucas saat melihat keraguan di wajah Sheila.

Sheila berpikir keras. Ide itu sungguh menggoda. Dan agak berbahaya. Dia baru
mengenal pria di depannya kurang dari 24 jam. Apakah Sheila cukup
mempercayai Lucas untuk berdua saja dengannya? Dia tidak tahu. Dia bertekad
untuk mencari tahu.

“Baiklah.”

Lucas tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Tampaknya dia tidak


mengira Sheila akan menerima tawarannya.

16 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku akan menelepon sebentar,” Sheila turun dari kursinya dan mencari tempat
yang tidak terlalu ramai untuk menghubungi Jessica.

Jessica menolak permintaannya mentah-mentah. Namun setelah bersikeras


bahwa dirinya akan baik-baik saja dan berjanji untuk menghubungi Jessica
setelah tiba di rumah, akhirnya sahabatnya itu menyerah. Dengan peringatan-
peringatan panjang. Sheila menutup ponselnya dan kembali ke kursi yang tadi
dia duduki.

“Apa kita harus menunggumu selesai kerja?” Tanya Sheila saat Lucas berada di
hadapannya lagi.

“Aku bisa mengantarmu kapan pun kau mau,” Lucas berkata tenang.

“Oh… baiklah.”

Sheila kembali memainkan gelas minumannya.

“Tidak suka minumanmu?” Tanya Lucas agak menggoda.

“Tidak. Maksudku iya. Bukan begitu…,” kegugupan kembali menguasainya


dan Lucas hanya terkekeh geli. “Aku akan meminumnya sekarang.”

Sheila langsung menenggak isi gelasnya lalu mengernyit. Memang bukan


alkohol, hanya soda biasa. Tapi meminumnya sekaligus sampai habis
menimbulkan rasa terbakar di hidung dan tenggorokannya.

“Tambah?”

Sheila menggeleng dan Lucas langsung menyingkirkan gelasnya.

“Kau mau pergi sekarang?” tanya pria itu, “Mungkin kita bisa makan dulu
sebelum aku mengantarmu pulang.”

“Ide bagus.”

Sheila turun dari kursinya dan tiba-tiba saja dia terhuyung saat kakinya
menjejak lantai. Dia berpegangan pada meja di sampingnya. Rasa pusing
menyergapnya dan dunia di sekelilingnya seperti berputar.

“Kau baik-baik saja?” Lucas telah berada di depannya dan yang Sheila heran,
ada dua… tidak… tiga Lucas.

17 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku tidak apa-apa,” Sheila melepaskan pegangannya. Dia kembali terhuyung
ke depan dan Lucas langsung menangkapnya. “Kurasa aku harus berbaring
sebentar.”

“Jangan khawatir,” Sheila merasakan cengkeraman Lucas di pinggangnya,


“Aku akan menjagamu.”

Lalu semuanya menjadi gelap.

***

1995, 19 tahun yang lalu~

Anak itu meringkuk lebih dalam ketika mendengar suara langkah kaki yang
mendekat. Dia kenal langkah kaki itu. Dan dia tidak pernah menyukainya.
Apalagi ketika pria itu sedang dalam keadaan mabuk berat. Seperti saat ini.

“Di mana kau, bocah?!”

Dia harus membekap mulutnya sendiri agar tidak berteriak ketakutan ketika
mendengar suara keras itu. Pria itu tidak akan menemukannya kalau dia tidak
bersuara. Ini adalah tempat persembunyian rahasianya. Dia aman di sini. Dia
aman.

Tiba-tiba pintu di depannya menjeblak terbuka. Sederet gigi kuning tampak


ketika pria itu menyeringai padanya. Mata anak itu seketika melebar penuh
kengerian. Dia berusaha lari namun lemari di bawah tempat cuci piring itu
terlalu kecil.

Anak itu menjerit histeris ketika sebuah tangan besar mencengkeram kaki
mungilnya dan menyeretnya keluar dari lemari tempatnya bersembunyi. Si pria
besar memeganginya seakan dia hanya sebuah ranting pohon, yang begitu rapuh
dan mudah untuk dipatahkan. Anak itu merasakan nyeri yang amat sangat
ketika tubuh kecilnya dilempar ke lantai yang keras. Namun pria besar itu tidak
peduli.

Pria itu membuka sabuk yang melilit di pinggang gemuknya, lalu


memegangnya seakan benda itu adalah senjata paling mematikan di dunia.
Namun anak itu tahu bahwa sabuk itu memang senjata mematikan. Tidak ada
gunanya kalau dia berusaha lari, si pria besar akan kembali menangkapnya

18 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dengan mudah. Anak itu memejamkan mata. Berdoa dalam hati seseorang akan
datang menolongnya. Atau setidaknya, rasa sakit yang pasti akan dia rasakan,
tidak akan seburuk sebelumnya.

***

19 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 3

Sheila merasakan tubuhnya diayun-ayun. Dia membuka mata sedikit lalu


menutupnya kembali saat cahaya yang menyilaukan menyambutnya. Dia seakan
sedang terbang. Tubuhnya terasa sangat ringan. Sheila merasakan sesuatu yang
keras di bawah pipinya. Dia mendongak dan berusaha melihat wajah di antara
sinar yang menyilaukan itu. Lucas. Mulutnya berusaha menyebut nama itu tapi
tidak ada suara yang keluar. Sheila berusaha mengangkat tangannya, tapi itu
juga tidak dapat dia lakukan. Apa yang terjadi pada dirinya?

Lucas berbicara pada seseorang sambil menggendong dirinya. Sheila tidak


dapat mendengarnya dengan jelas. Suara mereka terdengar sangat jauh. Dia
hanya bisa menangkap kata „kamar‟ dan „uang tunai‟. Ke mana Lucas
membawanya? Namun Sheila tidak dapat berpikir lagi. Rasa kantuk hebat
kembali menyerangnya dan kegelapan menyelimutinya lagi. Membawanya ke
dalam lubang hitam tak berdasar.

***

Sheila membuka mata perlahan. Kali ini tidak ada cahaya yang menyilaukan.
Yang ada hanya lampu remang-remang dan langit-langit yang rendah. Dia
mengangkat tangan memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Apa yang
terjadi? Sesaat dia sedang duduk di bar lalu berikutnya yang dia tahu hanya
kegelapan.

“Sudah bangun?”

Sheila terperanjat saat mendengar suara yang dikenalnya itu. Namun kini tidak
ada nada geli atau menggoda dalam suara itu. Hanya nada dingin yang membuat
bulu romanya berdiri. Sheila menoleh dan dia melihat Lucas sedang duduk di
salah satu sofa reyot di kamar itu. Sebatang rokok terselip di antara bibirnya dan
dia masih mengenakan kemeja putih dan celana hitam yang sama, tanpa
celemek. Ekspresinya sedingin suara yang didengar Sheila tadi.

Sheila berusaha duduk dan dia kembali merasakan denyutan di kepalanya. Dia
meringis.

“Sakit kepala?” Tidak ada simpati dalam suara Lucas.

“Di mana ini?” Sheila mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Saat ini
dia sedang berada di sebuah kamar yang kecil dan berbau apak. Perabotannya

20 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
hanya sebuah lemari, meja, sofa reyot, dan ranjang tempatnya berbaring saat ini.
Sheila menyadari bahwa bau apak itu berasal dari ranjang yang ditidurinya.
Cahaya matahari samar-samar menembus tirai dari jendela kecil di sebelahnya.

“Lucas, ini di mana?” Tanya Sheila cemas saat Lucas tidak juga menjawab. Pria
itu hanya duduk dengan santai sambil terus menghisap rokoknya. Perpaduan
asap rokok dan bau apak di kamar ini membuat denyutan di kepala Sheila
makin parah. Dia memijat pangkal hidungnya untuk mengurangi rasa sakit itu.

“Motel,” jawab Lucas datar. Dia mematikan rokoknya dan menginjaknya


hingga bara apinya padam.

“Kenapa kita ke sini?”

“Karena aku yang membawamu.”

Dan tiba-tiba saja Sheila merasa panik. Dia meraba-raba pakaiannya lalu
mendesah lega saat menyadari dia masih berpakaian lengkap. Hanya sepatunya
yang lepas dan kini berada di kaki tempat tidur. Lucas tertawa keras.

“Kau pikir apa yang telah kulakukan padamu?” Kini nada geli itu kembali
terselip dalam suara Lucas dan Sheila merasakan kelegaan menyelinap pada
dirinya.

“Maafkan aku. Kukira…”

“Terlalu cepat untuk meminta maaf. Aku memang tidak berselera pada gadis
kecil sepertimu. Tapi mungkin aku tahu siapa yang berminat.”

Sheila merasa dirinya seakan disiram oleh air sedingin es. Lucas masih duduk
dengan santai di kursinya. Namun Sheila melihat kekejaman dalam raut wajah
pria itu. Sheila tidak bergerak dari tempatnya duduk. Dia tidak sanggup.

“Katakan padaku, apa kau masih perawan?”

Sheila tidak menjawab dan hanya menatap Lucas dengan mata membelalak
lebar karena ketakutan.

“Kau ingin aku yang memeriksanya sendiri?” Lucas berdiri dan Sheila langsung
beringsut mundur sambil mencengkeram selimut untuk melindungi dirinya.

Lucas duduk di tepi tempat tidur. Senyum yang menghiasi bibirnya adalah
seringai paling kejam yang pernah Sheila lihat. Awalnya pria itu tidak berbuat

21 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
apa-apa. Lalu tiba-tiba saja dia menarik kaki Sheila dan mulai menyingkap
roknya. Gadis itu menjerit dengan sekuat tenaga dan menendang-nendang.
Lucas tertawa lalu melepaskannya.

“Kurasa itu telah menjawab segalanya,” dia kembali berdiri tapi tidak beranjak
dari samping tempat tidur.

“Kenapa?” Sheila bertanya dengan suara tercekat. Air mata mulai mengumpul
di pelupuk matanya.

“Karena kau cukup bodoh untuk ditipu,” jawab Lucas santai, “Gadis sepertimu
adalah sasaran empuk untukku. Sedikit rayuan dan kau langsung masuk ke
dalam perangkap.”

“Itu yang kau kerjakan? Menipu dan… dan…,” Sheila tidak dapat melanjutkan
kata-katanya karena rasa panas yang mengumpul di tenggorokan dan
mengancam air matanya yang akan keluar.

“Menjual. Ya, memang itu yang kulakukan,” Lucas berkata dingin.

Sheila menangis keras dan membenamkan wajahnya ke lutut. Dia sungguh


bodoh. Seharusnya dia mendengarkan kata-kata Jessica.

“Oh… diamlah,” Lucas kembali menyalakan rokoknya dan membuka jendela


sedikit. Dia menghembuskan asapnya keluar ruangan melalui celah kecil
tersebut. “Ngomong-ngomong, temanmu menelepon berkali-kali.”

Sheila mendongak dengan wajah bersimbah air mata. Jessica!

“Kau mau menghubunginya kembali?” Lucas kembali duduk di samping tempat


tidur namun kali ini Sheila tidak menjauh.

“Kau akan membiarkanku melakukan itu?” tanya Sheila penuh harap.

“Tentu saja,” Lucas tersenyum lebar. Sheila pasti salah dengar. Kata-kata Lucas
selanjutnya memupuskan harapan apa pun yang dimilikinya. “Kau tahu apa
yang harus dikatakan kan? Seperti bahwa kau baik-baik saja dan sudah di rumah
dengan selamat.”

Dia mengulurkan ponsel ke arah Sheila tapi gadis itu tidak mengambilnya.

“Kalau aku tidak mau melakukannya?” Sheila bertanya dengan suara gemetar.

22 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Jangan mengecewakanku. Aku rasa kau cukup pandai untuk memilih antara
nyawa atau kehormatanmu.”

Lucas mengeluarkan sebuah pisau lipat dari dalam saku celananya. Dia
membukanya dan memainkan benda itu di depan wajah Sheila. Logam itu
terlihat berkilau di dalam kamar yang remang-remang.

“Jadi, mana yang kau pilih?” Kilatan berbahaya terlihat di matanya saat dia
melontarkan pertanyaan itu.

“Mungkin…,” Sheila menelan ludah sambil memperhatikan pisau di depannya.


Benda itu jaraknya kurang dari satu sentimeter dengan ujung hidungnya.
“Mungkin aku lebih memilih untuk mati daripada membiarkanmu menjualku.”

“Jawaban yang salah.”

Lucas mengayunkan pisau di depannya dan Sheila langsung menutup mata. Dia
menunggu rasa sakit itu datang. Rasanya dia telah memejamkan mata dalam
waktu yang sangat lama saat akhirnya dia membukanya kembali. Pisau itu
menancap di tempat tidur dan hampir mengenai tangannya yang dia letakkan di
situ. Jantungnya berdebar keras karena rasa takut yang mencengkeramnya.
Tatapan Lucas sedingin es saat pria itu bicara padanya.

“Jangan mencoba keberuntunganmu karena tidak akan ada lain kali. Cepat
telepon.”

Sheila menerima ponsel itu dengan tangan gemetar. Kini dia mulai merasakan
nyeri yang muncul di tempat Lucas tadi hampir menancapkan pisau di
tangannya. Cairan berwarna merah mengalir dari jari kelingkingnya. Pria itu
tidak main-main.

“Ambil nafas dalam-dalam dan buang melalui mulut.”

Tapi Sheila tidak dapat melakukan itu. Dia kembali terisak dan menggenggam
ponsel di tangannya seakan benda itu adalah satu-satunya tali penyelamatnya.
Lucas ikut menggenggam ponsel itu hingga tangan mereka bertemu. Namun
tidak ada kelembutan sama sekali.

“Lakukan yang kusuruh. Aku tidak akan mengatakannya dua kali,” dia berkata
tajam.

23 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sheila berusaha meredakan tangisnya. Dia menarik nafas dalam dan
menghembuskannya hingga dia tidak lagi gemetar. Lucas melepaskan
tangannya saat melihat Sheila yang mulai tenang. Sheila menekan nomor
telepon Jessica. Sahabatnya itu mengangkat telepon pada dering pertama.

“Ya Tuhan! Darimana saja kau? Aku meneleponmu ratusan kali.”

Sheila hampir saja menangis lagi saat mendengar suara keras Jessica. Namun
tatapan penuh peringatan Lucas mencegahnya melakukan hal itu. Sebaliknya
suara yang keluar dari mulutnya terdengar sangat tenang.

“Maafkan aku. Aku tertidur, Jess. Lucas… mengantarku pulang semalam. Aku
langsung tidur begitu sampai.”

Dia mengagumi suaranya sendiri yang tidak bergetar saat bicara. Namun Jessica
tidak begitu saja percaya.

“Kau sudah di rumah? Aku akan ke sana sekarang.”

“Jangan!”

Sheila dapat merasakan kecurigaan Jessica karena jawabannya yang terlalu


cepat.

“Aku… aku sedang berkemas. Aku akan ke tempat Bibi Sophie.”

Mengagumkan bagaimana kebohongan meluncur dengan lancar dari mulutmu


pada keadaan genting.

“Sekarang?” Tanya Jessica heran.

“Ayah menyuruhku untuk menginap di sana.”

Sheila mendengar Jessica menghela nafas di seberang. “Kau baik-baik saja,


Sheila?”

Sheila benar-benar ingin memberitahu Jessica. Mungkin ini satu-satunya


kesempatan yang dia miliki. Mungkin Lucas akan panik dan meninggalkannya
kalau dia mengatakan keadaannya pada Jessica. Namun Sheila mengurungkan
niatnya. Dia bahkan tidak tahu saat ini mereka berada di mana. Bagaimana dia
bisa mengharapkan pertolongan akan datang? Lagipula, pisau di tangan Lucas
akan lebih cepat mendarat di tenggorokannya sebelum dia bisa berkata „tolong‟.

24 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku baik-baik saja,” suaranya agak bergetar saat bicara lagi. Dia kembali
melihat kilatan berbahaya itu di mata Lucas lalu buru-buru bicara, “Aku harus
pergi sekarang. Sampai nanti.”

“Shei…”

Sheila menutup telepon sebelum air matanya tak terbendung lagi. Lucas
merenggut ponsel itu dari tangannya. Pria itu harus berusaha agak keras karena
Sheila tidak mau melepas cengkeramannya. Akhirnya setelah menyentak
dengan kasar, ponsel itu terlepas dari tangan Sheila. Lucas melempar benda itu
ke lantai dan menginjaknya sampai hancur. Putus sudah tali penyelamatnya.

“Nah,” pria itu berdiri dan meregangkan badan seakan baru bangun tidur, “Kau
ingin sarapan apa?” Tanyanya ceria.

“Ayahku akan mencariku kalau aku tidak pulang,” Sheila berkata dengan
gemetar sambil menatap Lucas dengan menantang. Pria itu tertawa kecil seraya
menggelengkan kepala.

“Ayahmu bahkan sedang tidak ada di negara ini.”

Wajah terkejut Sheila membuat senyum Lucas makin melebar. Bagaimana dia
tahu kalau ayahnya sedang di Perancis?

“Aku selalu menyelidiki calon korbanku.”

“Kau sudah mengincarku dari awal,” Sheila berkata ngeri. Seringai kejam
menghiasi bibir Lucas saat pria itu bicara.

“Kau tidak tahu sudah berapa lama aku menunggu saat ini tiba.”

Sheila merasakan bulu kuduknya meremang. Perutnya serasa bergejolak


mendengar kata-kata Lucas. Pria itu telah merencanakan hal ini sejak lama.
Tidak akan mudah untuk menemukan celah dalam rencananya. Sheila sungguh
berharap bahwa tadi dia membiarkan saja Lucas membunuhnya. Rasanya lebih
baik daripada apa yang telah direncanakan pria itu untuknya.

Lucas berbalik menuju pintu dan membukanya. Dia menolehkan kepalanya


sedikit lalu bicara dari balik bahunya.

“Yakin tidak ingin sarapan?”

25 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sekilas melihat wajah Sheila yang sangat pucat cukup untuk memberitahu
bahwa gadis itu tidak akan sanggup untuk memakan apapun saat ini.

“Yah… setidaknya aku sudah berusaha bersikap baik.”

Lalu Lucas berjalan dengan santai dan menutup pintu itu. Dia menguncinya dari
luar namun Sheila masih dapat mendengar pria itu bersiul dengan riang saat
pergi menjauh.

***

1990, 24 tahun yang lalu~

Pria berambut pirang itu hanya dapat menatap wanita di depannya dengan
penyesalan yang sangat dalam. Tidak ada yang dapat dia lakukan. Dia adalah
pria besar yang berkuasa dan memiliki segalanya. Hampir segalanya. Kecuali
wanita yang dicintainya. Yang kini tengah menatapnya balik dengan mata
berkaca-kaca. Hatinya terasa hancur. Dia tidak pernah melihat wanita itu
menangis. Tidak hingga saat ini.

“Maafkan aku,” pria itu telah mengatakannya puluhan kali malam ini, meski dia
tahu tidak ada kata-kata yang dapat mengubah keadaan saat ini.

“Bagaimana… bagaimana bisa kau lakukan ini padaku?” Wanita itu terisak
meski masih berdiri dengan tegak di hadapannya, “Aku sedang mengandung
anakmu!”

“Aku akan merawat anak itu. Tapi kita tidak dapat bersama. Aku mencintaimu
tapi…”

“Jangan coba-coba! Kau tidak pernah mencintaiku!”

“Kau tahu itu tidak benar,” pria itu berkata penuh kepahitan.

“Kau hanya memanfaatkanku!” Wanita itu tidak ingin mendengar apapun


darinya. Wajahnya bersimbah air mata namun ekspresinya keras dan penuh
kebencian, “Tapi mulai saat ini, kau tidak akan pernah mendapatkan apa-apa
lagi dariku.”

26 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Apa maksudmu?” Tiba-tiba rasa takut merayapi diri pria itu. Dia mencintai
wanita di hadapannya. Namun dia juga telah mengenalnya dengan baik. Wanita
itu tidak pernah jatuh tanpa perlawanan.

“Anak ini milikku,” wanita itu menghapus air mata di wajahnya dengan kasar,
“Kau tidak berhak atas dirinya. Kami tidak akan meminta apapun darimu. Dan
ini, adalah terakhir kalinya kau melihat kami.”

“Tapi…”

“Pergi!”

“Kau tidak bisa melakukan ini!”

“Pergi! Pergi sekarang juga! Kalau kau berani muncul lagi di hadapanku, yang
akan kau lihat selanjutnya adalah mayat kami berdua. Aku dan anak ini.”

Pria itu membeku di tempatnya berdiri. Dia kalah. Dan telah kehilangan
segalanya dalam semalam. Namun tidak ada jalan untuk kembali.

***

27 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 4

Lucas masuk ke dalam apartemennya sambil bersenandung. Dia mandi lalu


mengganti kemeja dan celananya dengan celana jeans dan T-Shirt. Dia
memakai jaket dan mengenakan topi sebelum akhirnya keluar lagi dan
mengunci pintu. Semuanya berjalan dengan lancar dan begitu mudah. Dia
hampir tidak mempercayai keberuntungannya saat gadis itu begitu saja masuk
perangkap. Naïf. Dan bodoh. Tipe yang selalu dia jauhi untuk dijadikan
kekasih.

Kekasih? Apa yang ada di pikirannya? Pasti karena dia belum tidur semalaman.
Dia tidak akan melakukan apapun yang dapat merusak gadis itu. Dia tidak bisa.
Maka dari itu dia akan mencari orang lain untuk melakukannya. Dengan
bayaran yang sesuai. Bingo. Menjatuhkan dua burung dengan satu batu.

Lucas akan segera mencari pembeli. Tidak sulit. Dia tahu siapa yang harus
dihubunginya. Gadis itu akan berada jauh dari negara ini bahkan sebelum
ayahnya menyadari dia hilang. Lucas berhenti bersiul. Keinginan untuk
menghancurkan sesuatu muncul saat Lucas mengingat ayah Sheila. Bajingan itu
akan membayar perbuatannya. Dan putri kesayangannya yang akan menjadi
tumbal.

Lucas mengincar Sheila bukan tanpa alasan. Dia punya alasan yang sangat
bagus. Dia telah mengikuti gadis itu sejak lama, meski baru menunjukkan
sosoknya saat malam prom kelulusan Sheila. Hanya butuh sedikit sentuhan
misterius agar gadis itu penasaran, dan selanjutnya Sheila yang menuntun
dirinya sendiri ke dalam ladang ranjau. Dia benar-benar beruntung. Padahal
Lucas telah menyiapkan beberapa skenario untuk menjerat gadis itu. Namun dia
telah berhasil pada percobaan pertama.

Dia berhenti di sebuah kios makanan dan membeli roti untuk Sheila serta rokok
untuk dirinya. Lucas meringis. Dia bahkan tidak merokok. Setidaknya dia sudah
berhenti sejak setahun lalu. Tapi gadis itu suka sekali menangis dan Lucas benci
melihatnya. Dia butuh pengalih perhatian.

Lucas masuk ke dalam bangunan kumuh yang disebut motel itu. Bau bangkai
tikus menyebar di lobinya dan resepsionis bahkan tidak mendongakkan wajah
saat dia lewat. Banyak motel seperti ini di sekitar sini. Dan mereka selalu
menerima uang tunai. Kartu kredit terlalu berisiko untuk bisnis yang mereka
jalankan, karena motel ini bisa berfungsi sebagai apa pun. Dari tempat

28 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pelacuran sampai transaksi narkoba. Yang lebih bagus lagi, tidak akan ada yang
buka mulut. Karena bahkan polisi tidak dapat menakuti mereka kalau
mengingat balasan yang akan diberikan oleh penjahat yang lain. Mati masih
lebih baik.

Lucas mengeluarkan kunci dari dalam sakunya dan memasukkan ke lubang. Dia
menyiapkan diri sebelum memutarnya. Yah… dia hanya perlu bertahan sebentar
lagi dengan gadis itu sampai dia menemukan pembeli. Pikirkan saja akhir yang
bahagia. Untuk dirinya. Karena jelas Sheila tidak akan mendapatkan hal itu.

Lucas membuka pintu dengan senyum lebar di wajahnya. Senyum itu langsung
lenyap begitu dia masuk ke dalam. Gadis itu tidak ada. Lucas melempar barang
bawaannya ke atas meja. Dia mencari-cari ke sekeliling ruangan. Di bawah
kolong tempat tidur, dalam lemari, kamar mandi, semuanya kosong. Gadis itu
seperti lenyap ditelan bumi.

Dia menggeram marah sebelum menyadari tirai jendela yang melambai.


Mustahil. Gadis itu pasti sudah gila kalau mengira bisa kabur lewat jendela. Ini
lantai tiga. Bukan kebebasan yang akan di dapatnya kalau dia melompat dari
situ, tapi leher yang patah.

Lucas bergegas menghampiri jendela dan menyibak tirainya. Dia melongok ke


bawah lalu menghela nafas lega saat tidak melihat ada mayat di bawah sana.
Namun kelegaannya tidak bertahan lama. Dia menoleh ke samping dan melihat
Sheila sedang berdiri di pijakan tipis sambil merapat ke dinding. Pijakan itu
bahkan tidak sampai separuh telapak kaki telanjangnya. Angin menerpa rambut
dan rok gaunnya. Mengancam akan membuat gadis itu jatuh melayang seperti
selembar kertas.

“Brengsek!” Lucas memaki dengan kasar.

Sheila terkejut saat mendengar suara Lucas. Sebelumnya gadis itu sedang
melihat ke arah yang berlawanan dan sepertinya berusaha menuju jendela di
sebelah kamar mereka. Bukan ide bagus. Meski mungkin saat itu Sheila
melihatnya seperti itu. Jendela itu masih cukup jauh dan Lucas akan sangat
bersyukur seandainya Sheila tidak kehilangan keseimbangan saat itu juga kalau
dia bergeser lagi.

Kaki gadis itu gemetaran. Entah karena takut jatuh atau karena kehadiran Lucas.
Tidak ada waktu untuk mencari tahu.

29 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Sheila,” Lucas berusaha membuat suaranya selembut mungkin, “Pegang
tanganku.”

Gadis itu menggeleng kuat dan Lucas rasanya akan meledak saat itu juga. Dia
kembali bicara dengan suara disabar-sabarkan.

“Kau tidak akan bisa mencapai jendela itu. Raih tanganku sebelum kau jatuh,”
Lucas mengulurkan tangannya lebih dekat tapi Sheila tidak bergeming.

“Apa pedulimu kalau aku jatuh?” Bibir bawah Sheila bergetar dan Lucas
melihat tanda-tanda bahwa gadis itu akan menangis lagi.

Terkutuk! Dia tidak peduli kalau gadis itu jatuh dan mati. Tapi sebelumnya
gadis itu harus bergerak sesuai rencana. Setelah itu, dia akan dengan senang hati
mempersembahkannya pada dewa kematian. Namun sebelum itu terjadi, dia
tidak akan berbaik hati untuk membiarkan gadis itu mati.

“Aku tidak ingin dituduh sebagai pembunuh dan kalau kau jatuh, aku akan jadi
tersangka utama,” dia berkata dengan tenang. “Ini tidak sepadan, Sheila. Kau
bisa tewas.”

Sheila tertawa getir. Mungkin mati lebih baik daripada nasib yang
menunggunya kalau dia meraih tangan Lucas. Meski demikian, dia takut.
Jalanan di bawahnya terlihat sangat jauh. Dia yakin tubuhnya akan hancur kalau
dia jatuh dan mendarat di sana. Rasa mual memenuhi tenggorokannya. Sheila
tidak punya pilihan. Dia menangisi nasib buruknya. Air matanya tidak mau
berhenti meski dia bertekad untuk mencari jalan lain untuk kabur. Dia yakin
pasti ada.

Sheila mengulurkan tangan untuk meraih tangan Lucas saat tiba-tiba saja angin
bertiup kencang. Dia kehilangan keseimbangan. Sheila merasa seperti berada
dalam adegan lambat saat tubuhnya mulai meluncur ke bawah.

Dia menggapai-gapai dengan panik ketika sebuah tangan besar mencengkeram


pergelangan tangannya. Dia bergelantungan di tepi gedung itu dengan hanya
sebelah tangan yang digenggam kuat sebagai tempatnya menggantungkan
hidup.

“Jangan lepaskan,” dia melemparkan pandangan memohon pada Lucas.

“Tidak akan,” kata Lucas sungguh-sungguh.

30 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Separuh tubuh Lucas telah berada di luar jendela dan tangannya yang tidak
memegangi Sheila mencengkeram tepi jendela hingga besi tipis itu menggores
kulitnya. Lucas menggertakkan gigi saat berusaha menarik dirinya dan Sheila.
Dia telah berhasil menarik diri sendiri ke dalam lalu dengan satu hentakan
keras, ikut menyeret Sheila bersamanya. Mereka jatuh terjerembab dengan
Lucas yang terbaring di lantai dan Sheila berada tepat di atasnya. Sheila
merasakan dada Lucas yang naik turun dengan cepat di bawah pipinya. Dia
mengangkat kepala dan ingin mengucapkan terima kasih ketika Lucas
mendorongnya ke samping dengan kasar. Sheila belum sempat tersadar dari
kebingungan saat tiba-tiba saja Lucas mengangkatnya dari lantai dan
melemparkannya ke tempat tidur. Gadis itu memekik saat Lucas bergabung
sambil menindihnya. Lucas mencengkeram kedua pergelangan tangan Sheila
dengan satu tangan lalu menguncinya di atas kepala.

“Kau akan berpikir dua kali sebelum mencoba kabur dariku,” dia berkata kejam.

Tangan Lucas merenggut bagian depan gaun Sheila lalu merobek kain lembut
itu sampai ke bawah. Sheila menjerit saat Lucas melepas gaun yang robek itu
dari tubuhnya hingga dia berbaring hanya dengan mengenakan pakaian dalam.
Lucas menjauhkan tubuhnya sedikit untuk mengamati Sheila dan tidak
memedulikan gadis itu yang menangis tersedu-sedu di bawahnya.

“Hargamu akan mahal,” kata Lucas dengan tatapan kurang ajar saat melihat
pemandangan tubuh Sheila yang nyaris telanjang.

Dia menyusurkan tangannya di leher gadis itu dan Sheila langsung


memejamkan mata berusaha meredam tangisnya. Lucas menyentuhnya dengan
lembut tapi dia tahu lebih baik bahwa pria itu hanya bermaksud melecehkannya.

“Aku akan teriak,” kata Sheila di tengah isakannya.

“Kau sudah teriak dari tadi dan tidak ada yang datang. Motel ini lebih mirip
tempat pelacuran, Manis,” Lucas berkata mengejek.

Sheila benar-benar berteriak saat tangan Lucas meremas payudaranya. Dia


menangis dengan putus asa. Tidak ada seorang pun yang pernah menyentuhnya
seperti ini dan pria pertama yang melakukannya adalah orang yang telah
menculik dan berniat menjual tubuhnya. Lucas tidak menghiraukan tangisan
Sheila yang makin keras saat dia menurunkan tangan dan meraba perut gadis
itu. Kulit yang berada di bawah tangannya selembut sutera paling mahal. Dia
menelan ludah berkali-kali dan berusaha menahan diri. Dia tidak boleh merusak
31 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
gadis ini. Tidak boleh, dia mengingatkan dirinya sendiri. Namun dia tidak dapat
mencegah tangannya yang turun makin ke bawah untuk kembali merasakan
kulit lembut itu. Lucas meraih paha Sheila dan membuka kakinya. Sheila
menjerit dengan panik saat menyadari apa yang akan dilakukan Lucas. Dia tidak
senaif itu untuk tidak mengetahuinya.

“Jangan!” Sheila meronta-ronta namun tubuh pria di atasnya jauh lebih kuat dan
lebih besar. Dia tidak punya harapan untuk menang.

“Kau sudah menerima pelajaranmu?” Lucas bertanya dengan suara parau.

Jawaban dari pertanyaan Lucas hanya isakan keras yang meluncur dari bibir
Sheila.

“Jawab aku!”

Sheila masih menangis sesenggukan tapi dia mengangguk. Lucas melepas


cengkeramannya pada tangan Sheila meski tetap menindih gadis itu. Dia meraih
sesuatu dari saku belakangnya. Sheila menjerit saat menyadari pisau lipat yang
dipegang oleh Lucas. Dia kembali meronta dengan panik, namun ternyata
sasaran pria itu bukan dirinya. Lucas menancapkan pisau di tangannya pada
tempat tidur di bawah Sheila lalu menarik ke bawah hingga spreinya koyak. Dia
melakukan hal yang sama pada sisi yang lain sampai tersisa hanya robekan-
robekan kain yang nyaris tidak menutupi ranjang itu. Dia meraih selimut dan
melakukan hal yang sama. Mengoyaknya menjadi kain kecil-kecil. Lalu dia
menjauh dari Sheila dan turun dari tempat tidur.

“Sekarang kau tidak akan bisa kabur kecuali kau mau keluar telanjang dari
kamar ini,” katanya dengan tenang sambil melipat pisaunya dan kembali
memasukkan benda itu ke dalam saku. Lalu dia menambahkan dengan nada
yang lebih mengancam, “Tapi kalau kau masih nekat, aku sendiri yang akan
melemparmu keluar jendela lalu meludahi mayatmu hanya untuk kesenanganku.
Kau mengerti?”

Sheila duduk meringkuk di ujung tempat tidur berusaha menutupi tubuhnya.


Dia terlalu sibuk menangis untuk menjawab ancaman Lucas dan pria itu
menjadi geram karenanya.

“Kau akan mulai belajar untuk menjawab semua pertanyaan yang kuajukan!
Mematuhi semua perintah yang kuberikan! Apa jawabanmu?!”

32 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Iya,” Sheila menjawab pelan di antara tangisnya yang belum juga berhenti.

“Gadis pintar,” Lucas berkata sinis.

Lucas mengumpulkan kain-kain yang tadi telah dia sobek lalu meregangkannya.
Dia mengikat kain-kain itu hingga menjadi sebuah tali. Sheila yang mengamati
apa yang tengah dilakukan oleh Lucas, mulai menggeleng tidak setuju.

“Jangan. Kau tidak perlu mengikatku. Aku tidak akan kabur. Aku janji.”

Lucas mempertimbangkan kata-kata penuh permohonan itu lalu tatapannya


jatuh pada pergelangan kaki dengan kulit sewarna krim di depannya. Ikatannya
akan meninggalkan bekas kemerahan pada kulit mulus itu. Dia marah pada
dirinya sendiri karena sempat memikirkan hal itu. Namun akhirnya, dia
menuruti permintaan Sheila. Lucas membuang kain di tangannya. Dia berjalan
menuju meja kecil tempat dia tadi meletakkan barang-barangnya.

“Makan,” Lucas melemparkan bungkusan roti pada Sheila. Gadis itu


mengambilnya dengan enggan semata-mata karena mengingat ancaman Lucas
tadi. Sheila memakan rotinya namun makanan itu terasa seperti kapas saat
melewati kerongkongannya. Dia menelan dengan susah payah.

“Kau tidak makan?” Tanyanya hati-hati saat melihat Lucas hanya duduk di
satu-satunya sofa di ruangan itu.

“Habiskan,” hanya itu yang Lucas katakan. Pria itu menyalakan sebatang rokok
dan mulai menghisapnya dalam-dalam. Dia melihat Sheila mengernyit karena
asap rokok yang dihembuskannya di kamar sempit itu. Lucas berusaha keras
mengabaikannya. Namun sekonyong-konyong, rokok tidak lagi menenangkan
syarafnya dan dia mematikannya dengan kesal. Dia bangkit dan Sheila langsung
terperanjat serta meringkuk lebih dalam. Lucas memutar bola matanya.
Sepertinya dia benar-benar telah menakuti gadis itu.

Lucas mendorong sofa yang didudukinya hingga menghalangi daun pintu. Dia
duduk kembali sambil berusaha memposisikan diri senyaman mungkin.

“Aku mau tidur. Jangan berisik dan ingat peringatanku soal kabur.”

Dia langsung memejamkan mata tanpa menunggu jawaban Sheila.

***

33 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sheila mengamati pria yang tengah tertidur di sofa di depannya. Dia
membencinya. Lucas telah melakukan hal yang sangat buruk padanya dan
berniat untuk melakukan yang lebih buruk lagi. Sheila sungguh-sungguh
berharap dia dapat membenci Lucas. Tapi dia tidak bisa. Terlalu banyak cerita
yang telah didengarnya. Cerita-cerita yang membuatnya jatuh cinta.
Tenggorokannya tercekat tapi kali ini dia menahan air mata yang siap tumpah
kembali.

Sheila masih duduk meringkuk di tempat tidur. Angin yang masuk melalui
jendela yang terbuka membuat dia menggigil. Dia bangkit dengan perlahan lalu
menutup jendela itu. Sheila kembali ke tempat tidur dan berbaring sambil
memeluk tubuhnya. Matanya kembali jatuh pada Lucas. Sekarang nasib Sheila
berada di tangan pria itu. Dia memejamkan mata. Mungkin ini hukuman karena
jatuh cinta pada pria yang salah. Dia berharap semoga Ayahnya akan
memaafkan perbuatan Lucas. Dan juga dirinya.

***

2009, 5 tahun yang lalu~

Ayahnya selalu menceritakan orang di foto itu dengan bangga. Dan penuh kasih
sayang. Usianya baru 13 tahun ketika ayahnya pertama kali menunjukkan foto
itu padanya. Dia begitu takjub hingga nyaris tidak dapat berkedip.

“Apakah itu malaikat?” Dia melontarkan pertanyaan pertama yang terlintas di


pikirannya begitu melihat orang di foto itu.

Ayahnya tertawa kecil mendengar pertanyaan polosnya. “Kenapa kau mengira


begitu?”

“Karena dia mirip seperti lukisan-lukisan malaikat yang selalu aku lihat.”

Ayahnya tersenyum simpul mendengar jawabannya. “Bukan, dear. Tapi kau


boleh menganggapnya begitu kalau kau mau. Dia bisa semanis malaikat kalau
mau.”

“Jangan mempermainkanku, ayah. Tidak ada manusia yang memiliki sifat


seperti malaikat,” dia berkata sambil cemberut ketika merasa ayahnya sedang
berbohong padanya.

34 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Namun ayahnya hanya tertawa melihat kekesalannya lalu memeluknya dengan
penuh sayang. “Kau akan menyukainya. Dia segalanya bagiku. Sama
sepertimu.”

Lalu tahun-tahun berikutnya, ayahnya selalu bercerita tentang orang di foto itu
padanya. Menunjukkan banyak foto padanya. Awalnya dia tidak terlalu peduli.
Tapi melihat keantusiasan ayahnya serta bagaimana mata pria itu selalu berbinar
ketika menceritakannya, dia mulai mendengarkan dan mengamati foto-foto itu
dengan lebih baik.

Saat itu, mereka akan duduk di depan perapian dan ayahnya akan bercerita
bagaimana orang di foto itu. Pertama kali dia melihatnya, orang di foto itu
masih remaja. Namun kini orang di foto itu telah tumbuh dewasa.

Lama kelamaan, dia mulai mengamati foto-foto itu terlalu lama, dan
mendengarkan cerita ayahnya dengan terlalu bersemangat. Bahkan terkadang,
dia akan menyelipkan foto itu diam-diam ke dalam sakunya, lalu menatapnya
lama sebelum tidur di malam hari. Hingga dia dapat membawa orang di foto itu
ke dalam mimpinya.

Lalu dia mulai membawa-bawa foto itu di dompetnya, agar dapat


memandanginya setiap saat. Namun suatu hari, seseorang menemukannya dan
mulai bertanya banyak hal. Sejak saat itu, dia tidak pernah membawa-bawanya
lagi.

Dia sudah berjanji pada ayahnya. Orang di foto itu akan menjadi rahasia mereka
berdua. Mereka harus menyimpan rahasia itu, sampai waktu yang tepat.

Dia mulai memimpikan orang di foto itu hampir setiap malam. Memimpikan
saat-saat bertemu dengan orang itu. Dia tahu suatu saat itu akan terjadi. Namun
saat ini, dia akan cukup puas dengan beberapa lembar foto serta cerita-cerita
yang menyertainya. Hingga saat yang ditunggu-tunggunya tiba.

***

35 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 5

Sheila merasakan seseorang mengguncang bahunya dengan kuat. Dia membuka


mata perlahan dan pandangannya bertemu dengan sepasang mata biru gelap.
Sheila duduk dengan tiba-tiba dan tangannya reflek bergerak untuk menutupi
tubuhnya lalu menyadari bahwa hal itu tidak perlu saat melihat jaket yang
tersampir di bahunya. Sheila melihat bahwa Lucas tidak memakai jaket dan kini
hanya mengenakan T-Shirt abu-abu dan celana jeans.

“Terima kasih,” gumamnya sambil menggenggam jaket Lucas seakan benda itu
adalah hartanya yang paling berharga.

Lucas tidak mengatakan apa-apa namun hanya menyerahkan selembar handuk


dan sebatang sabun pada Sheila.

“Mandi,” dia mengedikkan kepala ke arah kamar mandi kecil di dalam kamar
itu.

Sheila menerimanya dengan penuh syukur dan bergegas ke kamar mandi lalu
mengunci pintu. Dia melepaskan sisa pakaiannya dan mulai mandi. Tidak ada
air hangat di sana namun Sheila tidak memprotes. Dia cukup senang asal dapat
membersihkan diri. Sheila mematikan shower dan mengeringkan tubuhnya. Dia
harus memakai pakaian dalam yang sama lagi tapi pilihan apalagi yang dia
punya. Tidak ada sisir di tempat ini jadi dia terpaksa menggunakan tangan
untuk menyisir rambut panjangnya. Setelah beberapa kali usaha sia-sia untuk
merapikan rambut ikalnya, Sheila menyerah lalu membungkus rambut basahnya
dengan handuk. Dia mengenakan jaket Lucas dan memastikan retsletingnya
terpasang hingga leher sebelum melangkah keluar kamar mandi.

Lucas sedang duduk sambil membaca sesuatu yang nampak seperti majalah
otomotif. Sheila duduk di tepi tempat tidur sambil mengayun-ayunkan kaki
telanjangnya. Hening. Tidak ada tanda-tanda Lucas akan mengajaknya bicara
atau melakukan sesuatu. Pria itu terlihat benar-benar mengabaikannya.

“Kau punya bacaan lain?” Sheila bertanya ragu untuk memecahkan keheningan.

Lucas mendongak sedikit sambil menaikkan sebelah alisnya. Ekspresinya


mengatakan bahwa Sheila mengganggu kegiatannya. Sheila menunduk dengan
gugup. Suasana kembali hening. Hanya di pecahkan oleh suara halaman
majalah yang sedang di balik.

36 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kau punya sisir?” Sheila benar-benar tidak ingin mengganggu Lucas tapi dia
membutuhkan benda itu. Rambutnya akan menjadi gumpalan kusut saat kering
nanti kalau dia tidak menyisirnya sekarang.

Lucas melemparkan tatapan yang hanya bisa diartikan sebagai tatapan


membunuh oleh Sheila. Dia meraih ke dalam laci meja dan melemparkan
sebuah sisir kecil ke pangkuan Sheila. Sheila menangkapnya sebelum benda itu
jatuh ke lantai. Lalu Lucas kembali duduk dan tenggelam dalam bacaannya.

Sheila membuka handuk yang membungkus rambutnya. Dia mulai menyisir


rambut coklat kemerahannya dengan perlahan karena sisir yang di berikan
Lucas terlalu kecil untuk rambutnya yang lebat. Helai-helai rambut kusutnya
akhirnya mulai meluncur dengan mulus di gigi-gigi sisir itu. Sheila hampir
menyelesaikan kegiatan menyisirnya saat tiba-tiba saja Lucas menutup majalah
yang dibacanya dengan kasar dan menghampiri Sheila.

“Berikan padaku,” katanya tajam sambil mengulurkan tangan, “Sisirnya,” dia


berkata galak saat Sheila tidak merespon.

“Tapi, aku belum selesai,” Sheila setengah memprotes.

“Aku tidak peduli!” Bentak Lucas. Sheila mengernyit saat mendengar suara
keras pria itu. Kesalahan apa lagi yang telah dia perbuat? Meski masih
bertanya-tanya, tak urung juga Sheila menyerahkan sisirnya pada Lucas. Pria itu
menerimanya dengan kasar lalu berkata, “Lain kali menyisir di kamar mandi.
Kau menggangguku.”

Sheila menatapnya heran namun Lucas sudah duduk kembali di sofa. Kata-kata
Lucas sungguh tidak masuk akal tapi dia tidak punya pilihan selain
menurutinya. Keadaan kembali seperti semula dengan Sheila yang duduk diam
di tempat tidur dan Lucas yang sedang membaca.

Sheila agak ragu untuk bicara lagi tapi dia sudah tidak tahan. “Lucas,”
panggilnya.

“Apa lagi?!” Pria itu kembali membentaknya hingga Sheila langsung


menggelengkan kepala kuat-kuat. “Tidak jadi,” dia berkata dengan suara
mencicit.

37 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kau sudah menggangguku jadi lebih baik kau katakan alasannya sekarang,”
Lucas berkata agak menggeram dan Sheila harus menelan ludah berkali-kali
sebelum menemukan suaranya kembali.

“Aku lapar,” suaranya lebih mirip bisikan saat dia bicara.

Lucas nampak seakan dia ingin mengguncang bahu Sheila kuat-kuat. Atau
mencekiknya. Mungkin keduanya.

“Kalau ternyata ini adalah salah satu tipu muslihatmu agar bisa kabur…”

Lucas sengaja menggantung kata-katanya untuk melihat reaksi Sheila. Anehnya,


dia tidak lagi merasa terlalu puas saat melihat ketakutan di mata gadis itu. Dia
menjadi makin marah pada dirinya sendiri. Entah karena telah menakuti Sheila,
atau karena membiarkan dirinya merasa bersalah saat melihat ketakutan gadis
itu. Dua-duanya tidak dia sukai.

“Aku akan kembali dalam 15 menit.”

Lalu dia pergi sambil membanting pintu dan menguncinya dari luar. Sheila
masih duduk tidak bergerak ketika mendengar langkah Lucas yang makin
menjauh. Kini dia sendirian. Dan entah kenapa, dia merasa agak kesepian.
Meski Lucas sering membuatnya ketakutan, dia tidak dapat menghilangkan
kehampaan saat pria itu tidak ada bersamanya.

Sheila berusaha mencari sesuatu untuk dilakukan sambil menunggu Lucas. Dia
merapikan tempat tidur. Yang spreinya telah koyak di mana-mana dengan
menyedihkan, begitu pula dengan matrasnya. Tidak banyak yang dapat dia
lakukan untuk membuatnya tampak lebih baik. Dia mulai mengumpulkan kain-
kain yang telah robek lalu membuangnya ke tempat sampah. Memang bukan
hotel bintang lima tempat dirinya biasa menginap, tapi sudah lebih baik
daripada tadi. Dia memandang berkeliling lalu pandangannya tertuju pada
majalah yang di tinggalkan Lucas. Ternyata memang majalah otomotif. Sheila
membuka-buka halamannya dengan tidak berminat. Dia berhenti di sebuah
kolom humor. Siapa menyangka ada bagian humor di majalah otomotif. Dia
mulai membaca lalu tertawa kecil. Memang tidak terlalu lucu tapi seakan
menjadi oase di tengah situasinya yang penuh tekanan. Dia sedang tertawa keras
saat Lucas tiba-tiba saja masuk.

“Ini lucu sekali,” dia berkata spontan sambil menunjukkan bagian yang
dibacanya.

38 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas menatapnya dengan ekspresi yang aneh. Sheila belum pernah melihatnya.
Namun pria itu terlihat seakan… kagum. Tawa Sheila perlahan-lahan berhenti.
Apa dia melakukan kesalahan lagi? Karena kini Lucas tidak lagi terlihat kagum.
Alisnya bertaut dalam dan tatapannya tajam menusuk. Sheila menelan ludah
dengan gugup. Apa Lucas marah karena Sheila membaca majalahnya? Tapi
benda itu tergeletak begitu saja di sana. Namun mengingat bagaimana akhir-
akhir ini Lucas sering marah karena hal-hal yang Sheila tidak pahami, mungkin
saja dugaannya memang benar.

Lucas meletakkan bungkusan kertas yang dibawanya lalu berjalan menghampiri


Sheila. Gadis itu mulai panik dan berdiri sambil menyodorkan majalah di
tangannya pada Lucas.

“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk memakai barangmu tanpa izin…”

Lucas mengacuhkan majalah di tangan Sheila lalu mengulurkan tangannya. Pria


itu menyentuh pipi Sheila dengan lembut. Sheila tersentak karena sentuhan itu.
Dia mengira akan mendapat pukulan saat tangan Lucas berada di dekatnya, jadi
dia sungguh terkejut saat yang di dapatnya adalah hal yang sungguh berbeda.
Namun kejutannya tidak berakhir di sana. Lucas mendekatkan bibirnya lalu
mencium Sheila tepat di bibir. Sheila menjatuhkan majalah yang di pegangnya.
Bibir Lucas menciumnya dengan lembut, sungguh berbeda dengan sikap pria itu
selama ini padanya. Tangan Lucas yang bebas memeluk pinggangnya saat pria
itu memperdalam ciuman mereka. Sheila terkesiap saat Lucas mengulum bibir
bawahnya lalu merasa akan pingsan saat lidah pria itu menelusup masuk ketika
mulutnya terbuka tadi. Lidah Lucas mencicipinya dengan perlahan, mengetahui
minimnya pengalaman yang di miliki Sheila. Tubuh mereka menempel erat saat
Lucas menariknya makin mendekat dan menghilangkan selapis tipis udara yang
memisahkan mereka. Sheila melingkarkan tangannya di leher Lucas untuk
mencari pegangan. Namun tampaknya gerakan itu menyadarkan Lucas akan apa
yang sedang pria itu lakukan.

Lucas mendorongnya menjauh seketika itu juga hingga Sheila terlempar ke


tempat tidur di belakangnya. Nafasnya memburu dan dadanya naik turun
dengan cepat seakan pria itu baru berlari marathon. Dia menyisirkan kedua
tangan ke rambut pirangnya hingga rambut itu mencuat ke mana-mana tapi
sepertinya Lucas tidak peduli. Dia menoleh ke arah Sheila dan seketika itu juga
langsung mengutuki dirinya sendiri saat melihat bibir gadis itu yang bengkak
akibat ciumannya. Dengan geram, dia memelototi Sheila yang setengah

39 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
terbaring dengan bingung di tempat tidur. Sheila merasakan Lucas yang biasa
telah kembali. Bukan lagi pria yang menciumnya dengan lembut beberapa saat
yang lalu. Sehingga kali ini saat Lucas mendekat, Sheila merasa ketakutan.

“Kau… kau…,” pria itu mengacungkan jarinya ke arah Sheila namun sepertinya
tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan.

Akhirnya dia menyerah dan menyambar topinya lalu berderap keluar kamar.

***

Lucas menghabiskan rokoknya yang ketiga. Suatu saat dia akan mati karena
kanker paru-paru namun untuk saat ini dia tidak peduli. Dia tidak tahu kenapa
dia bersikap begini. Tindakannya sudah melenceng jauh dari rencana.
Seharusnya dia tidak boleh menyentuh Sheila. Dengan cara apa pun. Dia akan
jadi orang terkutuk kalau melakukannya. Terlambat. Saat ini dia sudah terkutuk.
Apa yang dia pikirkan? Dia tidak berpikir. Tubuhnya telah mengkhianati
pikiran logisnya. Hanya butuh satu senyuman dan boom… dia hampir saja
meniduri gadis itu tadi.

Lucas menyalakan rokoknya yang keempat namun entah kenapa hal itu menjadi
sangat sulit dilakukan. Tangannya bergetar sehingga korek di tangannya tidak
juga menyala. Akhirnya dia melempar benda sialan itu lalu menyesalinya saat
itu juga. Sekarang dia tidak bisa merokok. Dia butuh pengalih perhatian. Apa
pun untuk melupakan rasa bibir Sheila dan bagaimana tubuh gadis itu begitu pas
menempel pada tubuhnya. Seakan mereka diciptakan untuk satu sama lain.
Lucas menggelengkan kepala dengan kesal. Tidak mungkin. Itu tidak akan
pernah terjadi.

Mungkin dia bisa mabuk-mabukan. Tidak. Mabuk hanya akan membuat dia
kehilangan akal sehatnya dan dia bisa saja benar-benar meniduri Sheila saat
mabuk. Lucas berjengit memikirkan kemungkinan itu. Dia menyusuri jalan di
depannya tak tentu arah. Lucas benar-benar tidak ingin kembali ke motel.
Terkurung bersama Sheila di dalam kamar yang sempit. Tubuhnya tidak bisa
dipercaya kalau dekat-dekat dengan gadis itu. Seseorang menghentikan
langkahnya. Lebih tepatnya nyaris melompat ke depan Lucas.

“Mister, kau mau bersenang-senang? Aku bersedia dibayar setengah harga


untuk bermalam dengan pria setampan dirimu,” wanita yang ada di depannya
mengedipkan mata sambil menggesek-gesekkan tubuhnya pada Lucas dengan
menggoda. Wanita itu cukup cantik dan payudaranya yang membusung saat ini
40 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tengah menggesek dada Lucas dengan provokatif. Lucas mempertimbangkan
sejenak. Mungkin ini adalah pengalih perhatian yang dia butuhkan.

“Berapa?” Dia berkata datar.

Wanita itu terlihat senang. Dia kembali menempelkan tubuhnya dengan


bersemangat. Aroma parfum murahan menyengat ke dalam hidung Lucas dan
tiba-tiba saja dia merasa mual. Dia mengabaikannya. Mungkin pelacur ini tidak
sewangi Sheila, yang tubuhnya mengeluarkan aroma mawar alami… Brengsek!
Dia harus berhenti memikirkan gadis itu.

“200 dollar untukmu,” wanita itu berkata genit dan Lucas tidak membuang-
buang waktu untuk tawar-menawar. Dia mengeluarkan dompetnya dan
menyerahkan dua lembar uang 100 dollar. Lucas langsung menarik wanita itu
ke gang terdekat yang gelap.

“Di sini?” Wanita itu bertanya terkejut. Lucas tidak berkata apa-apa dan
menciumnya dengan ganas. Meski terkejut, wanita itu langsung berpartisipasi.
Berkali-kali Lucas berusaha menghilangkan bayangan Sheila saat berciuman
dengan pelacur ini. Lalu saat tiba-tiba saja wanita itu meraba celana dan mulai
membuka kancingnya, rasa jijiknya makin menjadi-jadi sehingga dia tidak tahan
lagi. Dia menjauhkan dirinya lalu berjalan pergi. Meninggalkan wanita itu
dengan wajah bingung dan berkali-kali memanggilnya kembali. Lucas tidak
menghiraukannya. Bahkan meski dia telah kehilangan 200 dollar dengan sia-sia.
Mestinya tadi dia membeli korek saja, Lucas menggerutu dalam hati.

Dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku. Sejenak merasa ragu. Namun dia
cepat-cepat menghilangkan keraguan itu. Dia harus segera menyingkirkan gadis
itu. Secepat mungkin. Dia tidak mempercayai dirinya sendiri kalau terlalu lama
berdekatan dengan Sheila. Tidak setelah ciuman tadi.

Lucas mencari sebuah nomor di daftar kontaknya lalu menekan tombol dial
begitu menemukannya. Suara seorang wanita menjawab dari seberang telepon.

“Halo, ini Lucas. Aku punya tawaran menarik untukmu. Kujamin kau akan
menyukainya. Seorang gadis,” dia diam sejenak menunggu reaksi dari lawan
bicaranya, “Aku akan membawanya ke tempatmu besok. Kita lanjutkan
transaksinya di sana. Baiklah. Sampai bertemu besok.”

41 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas mengakhiri panggilan itu. Tidak mempedulikan teriakan-teriakan protes
di dalam kepalanya. Sheila akan segera hilang dari kehidupannya dan dia akan
menikmati setiap momen kehancuran gadis itu.

***

2001, 13 tahun yang lalu~

Bau itu lagi. Bau memuakkan yang sama setiap harinya. Kali ini anak itu hanya
meringis jijik. Dia tidak muntah lagi. Tidak setelah mencium bau itu untuk
kesekian kalinya. Hidungnya sudah cukup kebal sekarang. Tapi sebusuk apa
pun, bau itu memberitahukan sesuatu padanya. Bahwa dia tidak boleh mendekat
pada ibunya ketika bau menyengat itu tercium. Atau dia akan sangat
menyesalinya. Dia pernah mengalaminya sekali. Dia tidak ingin mengalaminya
lagi.

“Kemarilah, nak,” wanita yang dia panggil ibu melambaikan tangan kurusnya
dari atas sofa. Wanita itu tengah berbaring lemah dan memegang botol
minuman di tangannya. Botol tempat bau busuk itu berasal.

Anak itu ragu-ragu. Dia tidak ingin menghampiri ibunya sekarang. Namun dia
juga takut kalau dia tidak menurut, maka balasan yang lebih buruk akan
menimpanya. Jadi dia mendekat ke sofa. Berusaha mengabaikan bau yang
makin menyengat seiring tiap langkah yang diambilnya.

“Aku punya sesuatu untukmu,” tangan gemetar ibunya merogoh ke dalam saku
mantel usang yang dikenakan wanita itu. Anak itu mencondongkan tubuhnya
dengan penasaran lalu mengernyit heran ketika yang di keluarkan ibunya hanya
selembar kertas usang.

“Mendekatlah. Lihat ini,” ibunya menyodorkan kertas usang itu padanya. Dia
mendekati wanita itu, sepenuhnya menekan rasa mual akibat bau yang makin
menusuk hidungnya.

Ada gambar di kertas itu. Dua orang. Pria dan wanita yang sedang tertawa lebar
ke arah kamera. Anak itu menyadari bahwa kertas itu adalah sebuah foto. Dan
bahwa wanita di foto itu adalah ibunya, namun dalam kondisi yang jauh lebih
baik. Pipi ibunya merona dan matanya bersinar di foto itu. Dia memperhatikan
foto itu lebih seksama. Siapa pria yang sedang merangkul ibunya?

42 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Dia tampan kan?” Ibunya membelai gambar pria di foto itu sambil tersenyum
hangat. Ibunya tidak pernah tersenyum seperti itu. Bahkan kepada dirinya.

“Itu siapa, Ibu?”

Ibunya terdiam lama, tidak menjawab. Namun tiba-tiba bibir ibunya


bergetardan air mata turun membasahi wajahnya.

“Tapi aku mencintainya,” ibunya meringkuk di sofa sambil memeluk dirinya


sendiri dan mulai menangis, “Aku sangat mencintainya. Oh… aku sangat
merindukannya. Seharusnya aku tidak menyuruhnya pergi. Seharusnya aku
tidak pernah melakukan itu.”

Anak itu hanya dapat berdiri diam ketika ibunya mulai terisak dengan keras
hingga tubuhnya terguncang-guncang. Dia kembali mendekat. Dia sangat
menyayangi ibunya dan dia tidak suka melihat ibunya menangis seperti ini.
Anak itu melingkarkan tangan kecilnya ke sekeliling tubuh ibunya, meski hanya
mencapai bagian depan tubuh wanita itu. Berusaha memberi kekuatan. Karena
dia tahu, ibunya sangat membutuhkannya.

***

43 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 6

Lucas kembali ke motel itu hampir dini hari. Sengaja menunggu Sheila tidur
untuk menghindarinya. Dia membuka pintu perlahan, hampir tanpa suara. Dan
tanpa sadar mendesah lega saat melihat gadis itu sudah tertidur. Sheila
berbaring meringkuk di tempat tidur yang matrasnya telah koyak di mana-mana.
Sesaat muncul penyesalan dalam benak Lucas. Mungkin dia terlalu keras pada
gadis ini. Tidak. Sheila memang harus merasakannya. Karena rencana Lucas
untuknya jauh lebih buruk daripada sekedar sikap kasar yang diterima oleh
Sheila darinya.

Mungkin malam ini adalah terakhir kalinya Lucas melihat Sheila. Dia sudah
menghubungi Madam Bertha. Sebenarnya Lucas tidak berencana mengontak
wanita itu secepat ini. Namun ciuman itu mengubah segalanya. Dia tidak bisa
terlalu lama lagi bersama dengan gadis ini. Dia tidak bisa. Madam Bertha akan
senang. Lucas tertawa pahit. Pria manapun yang akhirnya akan mendapatkan
Sheila pasti akan menganggap dirinya sangat beruntung. Gadis yang tengah
berbaring di depannya ini sangat cantik. Rambut ikal panjangnya berwarna
coklat kemerahan, tergerai dengan indah hingga ke punggungnya. Kulitnya
yang sewarna krim sangat halus dan tanpa cela. Meski tubuhnya tergolong
mungil, namun dia memiliki tungkai yang panjang dan langsing, yang saat ini
terpampang di depan Lucas karena jaket yang di kenakan gadis itu terangkat
hingga tepat di bawah bokongnya. Namun mungkin para pelanggan Madam
Bertha tidak akan mempedulikan hal itu, selama gadis ini memiliki tubuh yang
indah. Lucas bisa memastikan Sheila memilikinya. Dia sudah pernah
melihatnya. Dan menyentuhnya.

Lucas memejamkan mata. Dia harus berhenti memikirkannya. Atau dia akan
menghancurkan dirinya sendiri. Yang lebih buruk lagi, dia bisa menghancurkan
mereka berdua. Lucas meletakkan bungkusan yang dibawanya. Dia telah
menyiapkan segalanya. Sebentar lagi dia tidak akan melihat gadis ini lagi.
Semoga yang tengah dirasakannya saat ini adalah perasaan lega, bukan
penyesalan.

***

Sheila menerima bungkusan yang diberikan oleh Lucas padanya dengan wajah
penuh tanya. Namun pria itu tidak memberi penjelasan apa pun melainkan
hanya menyuruh Sheila masuk ke kamar mandi. Sheila menurutinya dan
langsung mengunci pintu. Dia membuka bungkusan tersebut yang ternyata
44 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berisi pakaian. Dia tersenyum lebar. Akhirnya, sesuatu untuk di pakai. Bahkan
Lucas ingat untuk membelikannya pakaian dalam. Sheila merona saat melihat
bra dan celana dalam itu. Memang bukan sutra yang biasanya dia kenakan,
hanya katun biasa, tapi dia sangat bersyukur setidaknya dia bisa mengganti
pakaian dalamnya saat ini. Dan Lucas membelikan ukuran yang tepat. Tentu
saja, pria itu pernah menyentuhnya di tempat yang sangat pribadi. Sheila
kembali merona mengingat kenangan itu. Memang bukan kenangan yang indah.
Namun kenyataan Lucas pernah menyentuhnya dengan intim membuat
tubuhnya terasa hangat.

Lucas hampir tidak bicara padanya setelah pria itu menciumnya kemarin.
Bahkan, Lucas selalu menatap Sheila dengan tajam. Akan tetapi, Lucas
memang sering menatapnya seperti itu. Jadi dia tidak terlalu memikirkannya
lagi. Sudah pasti, Lucas tidak merencanakan ciuman itu. Dia melakukannya
dengan spontan, meski Sheila tidak tahu apa yang mendorongnya. Apa pun
alasan Lucas, Sheila tidak keberatan. Memang menyedihkan bagaimana dia bisa
luluh di dalam pelukan pria yang telah menculiknya. Akan tetapi, dia tidak
dapat membohongi dirinya sendiri. Ciuman Lucas adalah hal terbaik yang
pernah dialaminya selama hidup.

Sheila mengganti pakaian dalamnya. Lalu tertawa kecil membayangkan wajah


Lucas saat membeli pakaian dalam itu untuknya. Dia akan membayar
berapapun agar dapat melihat ekspresi Lucas saat itu. Dia mengambil pakaian
yang ada di sana lalu menatapnya dengan heran. Pakaian yang dibelikan Lucas
jelas pakaian pria. T-Shirt, celana jeans, jaket, dan topi. Mirip yang selalu
dikenakan Lucas. Namun pakaian itu pas di tubuhnya, meski T-Shirtnya agak
longgar.

Sheila keluar dari dalam kamar mandi dan melihat Lucas telah menunggunya.
Dia menyerahkan jaket Lucas yang selama ini dia kenakan dan telah terlipat
rapi.

“Aku bisa mencucinya dulu kalau kau mau,” tawar Sheila.

Lucas tertawa mengejek, “Kau bahkan tidak tahu bagaimana caranya.”

Wajah Sheila langsung bersemu. Dia memang tidak tahu bagaimana caranya
mencuci pakaian, tapi setidaknya dia sudah berniat baik. Selain itu, dia benar-
benar berencana untuk belajar kalau Lucas membiarkannya mencuci jaket pria
itu.

45 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Masukkan rambutmu ke dalam topi,” perintah pria itu sambil mengenakan
jaketnya.

“Kita akan pergi?” Sheila bertanya terkejut.

“Ya.”

“Ke mana?”

Lucas tidak menjawab. Seperti biasa. Namun Sheila melakukan apa yang
diperintahkan oleh pria itu. Mereka keluar dan Lucas mengunci pintu. Tiba-tiba
saja, Sheila merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pinggangnya. Sheila
tahu benda apa itu. Lucas menyelipkan tangannya ke belakang T-Shirt Sheila
dan menempelkan pisau lipat ke punggung bawahnya. Tidak terlalu menekan
hingga dapat melukainya, tapi cukup untuk memberitahu keberadaan pisau itu
di sana. Juga jemari Lucas yang menyentuh kulit telanjangnya. Dia mencemooh
dirinya. Pria ini sedang mengancamnya dengan pisau dan yang dapat Sheila
pikirkan hanya bagaimana kulit mereka bersentuhan.

“Jalan dan jangan bicara,” Lucas berkata dingin.

Sheila mengikuti Lucas dengan berjalan di samping pria itu. Mereka terlihat
seperti dua orang pria yang sedang berjalan berdampingan. Lebih tepatnya
seorang bocah dan seorang pria. Karena dengan tinggi Sheila yang hanya
mencapai bahu Lucas, dia jelas lebih cocok untuk menjadi seorang remaja pria.

“Sembunyikan wajahmu di bawah topi,” pria itu berbisik saat mereka hampir
mencapai resepsionis. “Aku dan adikku mau keluar.”

Seorang pria gendut di belakang meja resepsionis yang hanya memakai singlet
yang tidak dapat menyembunyikan perut besarnya, hanya mendongak sedikit
saat mendengar kata-kata Lucas.

“Kunci,” dia berkata singkat.

Lucas menyerahkan kunci di tangannya. Resepsionis itu membuka buku besar


di tangannya lalu menelusuri nama-nama di sana.

“Mr. John Smith?”

Lucas mengangguk. Resepsionis itu tidak menunjukkan reaksi apapun meski


jelas-jelas nama yang di gunakan Lucas adalah nama samaran. John Smith jelas
adalah nama paling umum di negara ini, ada jutaan orang dengan nama itu.

46 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“180 dollar.”

Lucas menyerahkan dua lembar uang kertas 100 dollar pada si resepsionis.
“Ambil saja kembaliannya.”

Resepsionis itu tersenyum lebar. Dia belum melihat keadaan kamar yang
mereka tinggalkan. Sheila yakin si resepsionis akan menuntut bayaran lebih saat
melihat tempat tidur yang nyaris hancur.

Mereka keluar dari motel dan Sheila langsung menyambut matahari yang
menyinarinya dengan senang. Dia sudah terkurung di ruang pengap dan sempit
selama berhari-hari. Sinar matahari benar-benar adalah kemewahan baginya saat
ini. Lucas menghentikan taxi yang sedang lewat lalu mendorong Sheila masuk
ke dalam. Dia menyebutkan sebuah alamat pada supir dan mobil itu langsung
melaju di jalanan yang cukup ramai. Selama proses itu, Lucas sama sekali tidak
menyingkirkan pisaunya.

Ternyata tempat tujuan mereka tidak terlalu jauh. Taxi itu berhenti di depan
sebuah gedung berlantai dua yang cukup besar. Dibanding bangunan di
sekitarnya, gedung itu cukup bagus dan terawat dengan baik. Lucas mengetuk
pintu depan dan seseorang langsung mengintip dari celah di pintu hingga Sheila
hanya dapat melihat sepasang mata berwarna coklat.

“Aku sudah ada janji dengan Madam Bertha. Katakan Lucas yang datang.”

Celah di pintu itu tertutup kembali. Setelah menunggu sebentar, pintu di depan
mereka terbuka. Seorang pria dengan setelan jas berwarna hitam berdiri
diambang pintu.

“Madam Bertha telah menantimu. Lewat sini,” pria itu berjalan di depan mereka
untuk menunjukkan jalan namun Lucas mencegahnya.

“Aku tahu jalannya.”

Pria itu mundur dan membungkuk sedikit lalu membiarkan Sheila dan Lucas
lewat. Sheila memperhatikan bahwa Lucas telah menyingkirkan pisaunya dan
menyelipkan benda itu ke belakang saku celana jeans. Tempat yang mereka
masuki cukup bagus, mirip hotel, dengan banyak kamar di sepanjang lorong.
Pintu-pintu tersebut di pernis dengan warna hitam yang sama sehingga terlihat
identik. Lucas memegangi sikunya dan setengah menyeretnya menaiki tangga
ke lantai dua agar Sheila bergegas.

47 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Lucas, ini di mana?” Sheila kembali bertanya saat mereka telah berada di
ujung tangga.

“Kau akan tahu,” Lucas menjawab tanpa melihat Sheila. Ekspresinya tidak
terbaca.

Mereka tiba di depan sebuah ruangan dengan dua buah daun pintu yang juga
berwarna hitam. Lucas mengetuk dan pintu itu langsung terbuka. Sebuah
ruangan yang di desain dengan mewah langsung menyambut mereka. Ruangan
itu tampak seperti ruang tamu dengan karpet Persia menutupi lantainya dan
beberapa kursi serta meja kayu yang juga dipernis hitam seperti pintunya. Di
pintu tempat mereka masuk tadi, Sheila juga melihat dua orang pria yang
berpakaian sama seperti pria di pintu masuk. Di belakang sebuah meja kerja
besar, duduk seorang wanita setengah baya bertubuh gempal. Wajah wanita itu
ditutupi oleh make up tebal hingga Sheila tidak dapat melihat satu kerutan pun.
Jari-jarinya di hiasi berbagai macam cincin, begitu juga pergelangan tangan
yang berhias gelang-gelang. Pakaiannya berkilau sehingga Sheila merasa harus
memicingkan mata saat menatapnya.

“Lucas,” dia keluar dari balik meja dan merentangkan tangannya lebar-lebar
seakan ingin memeluk Lucas, “Lama tidak bertemu denganmu. Sejak Jeannie.”

Meski suaranya terdengar riang, namun Sheila dapat melihat kilatan licik yang
muncul di mata kecilnya.

“Aku bawa barang baru untukmu,” Lucas tidak melepaskan cengkeramannya


dari lengan Sheila, seakan takut dia akan lari. Seketika itu juga Sheila
menyadari dimana dia berada. Lucas membawanya ke rumah bordil. Wajahnya
langsung pucat pasi dan sesuai dugaan Lucas, Sheila langsung berusaha
melepaskan diri dan lari. Namun cengkeraman Lucas mencegahnya untuk pergi
lebih jauh.

“Lucas, jangan lakukan ini,” suaranya penuh permohonan tapi pria itu masih
tidak menatapnya. Mata Lucas tidak lepas dari Madam Bertha. Tawa wanita itu
menggema di ruangan saat melihat Lucas harus memegangi Sheila agar gadis
itu tidak kabur.

“Sepertinya barang yang kau bawa belum dijinakkan.”

“Hanya awalnya. Kujamin pelangganmu akan menyukainya.”

48 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tunjukkan padaku.”

Sekonyong-konyong Lucas membuka topi Sheila hingga rambut gadis itu jatuh
tergerai di punggung.

“Semuanya,” kini tidak ada sikap pura-pura dan senyum licik mengembang di
wajah Madam Bertha. Keraguan muncul di mata Lucas dan wajah pria itu
terlihat muak. Tetapi Sheila terlalu ketakutan untuk menyadarinya.

“Buka bajumu,” Lucas memerintahkan dengan datar.

“Tidak,” Sheila gemetaran dari ujung kepala sampai ujung kaki tapi suaranya
penuh tekad.

“Buka. Atau aku yang akan melakukannya.”

Dan cukup sampai di situ. Sheila mendorong Lucas sekuat tenaga dan yang
mengejutkan, dia terlepas dari cengkeraman Lucas. Dia berlari ke arah pintu
namun langkahnya terhenti saat salah seorang pria yang berjaga di situ langsung
menangkapnya. Sheila menjerit saat lengan besar pria itu melingkari tubuh
mungilnya dengan kuat.

“Buka bajunya,” Sheila mendengar suara selicin belut Madam Bertha dan dia
tidak tahu lagi mana yang lebih membuatnya ketakutan. Lucas yang
meninggalkannya di sini atau rencana wanita itu terhadapnya.

Pria yang tengah memeganginya merenggut jaket Sheila hingga terbuka. Sheila
menjerit, mencakar, menggigit, menendang, namun perlawanannya seakan sia-
sia. Tidak butuh waktu lama sampai pakaiannya berserakan di lantai hingga
akhirnya dia hanya mengenakan bra dan celana dalam katun yang Lucas belikan
untuknya. Tapi kali ini dia tidak mendapat kemewahan untuk dapat menutupi
tubuhnya karena tangannya masih dipegangi oleh pria yang menahannya tadi.
Sheila menangis saat mata Madam Bertha mengamatinya dari atas sampai
bawah. Dia sungguh merasa dipermalukan dan dilecehkan. Lucas sama sekali
tidak melihat ke arahnya. Pria itu memalingkan wajah sejak pengawal Madam
Bertha mulai melucuti pakaian Sheila.

“Kau bawa barang bagus,” Madam Bertha berdecak senang, “Apa dia masih
perawan?”

Butuh beberapa saat bagi Lucas untuk menjawabnya. Dan saat pria itu
melakukannya, suaranya masih datar dan tanpa emosi, “Ya.”

49 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Senyuman licik Madam Bertha kembali mengembang. Dia menggosok-gosok
tangannya dengan tamak, “5000 dollar.”

“10.000.”

Sheila merasa mual. Lucas dan Madam Bertha sedang melakukan tawar
menawar. Untuk dirinya.

“Kau memasang harga yang tinggi. 7000 dollar.”

“9000. Terima atau aku akan membawanya kembali.”

Sedikit kelegaan menyusup dalam dada Sheila saat mendengar kata-kata Lucas.
Lucas tidak berniat untuk benar-benar menjualnya. Pria itu sengaja memasang
harga yang tinggi agar Madam Bertha tidak membelinya.

“Baiklah,” kata-kata Madam Bertha langsung mematikan harapan Sheila, “Kau


beruntung karena suasana hatiku sedang bagus saat ini.”

Wanita itu kembali ke balik meja dan membuka lemari di bawahnya yang
ternyata adalah brankas. Dia mengeluarkan setumpuk uang, menghitungnya,
memasukkan uang itu ke dalam amplop, lalu menyerahkannya pada Lucas.

Sheila terpaku. Dia masih tidak percaya Lucas benar-benar menjualnya. Ke


rumah pelacuran. Pria itu menerima amplop yang diberikan oleh Madam Bertha
dan memasukkannya ke dalam saku jaket.

“Senang berbisnis denganmu,” Madam Bertha mengulurkan tangan gemuknya


namun Lucas tidak menerima uluran tangan itu. Pria itu berbalik dan berjalan
menuju pintu. Saat itu Sheila menyadari keadannya yang benar-benar genting.
Dia berteriak memanggil Lucas hingga akhirnya pria itu hanya berdiri diambang
pintu sambil membelakanginya.

“Lucas! Jangan tinggalkan aku! Kumohon jangan lakukan ini! Please, jangan
lakukan ini, Lucas. Please.”

Teriakan serta isakannya memenuhi ruangan. Lucas masih tidak bergerak dari
tempatnya. Pria itu juga tidak menoleh meski Sheila mulai menangis dengan
pilu sambil memohon padanya. Rahang Lucas mengetat dan otot-otot di pipinya
berkedut. Namun pria itu masih tidak mau melihat ke arahnya.

“Selamat tinggal.”

50 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lalu Lucas pergi tanpa menoleh ke belakang lagi. Meninggalkan Sheila dengan
hati dan harapan yang hancur berantakan.

***

2014

Dia telah mengamati rumah itu selama beberapa hari ini. Tidak banyak
perubahan yang terjadi. Masih pemandangan yang sama dengan security yang
berjaga di depan pagar dan hanya pelayan yang terlihat di sana. Namun dia
harus kembali memastikan. Dia sudah merencanakan segalanya dengan matang.
Dia tidak akan merusaknya hanya karena hal kecil.

Orang yang ditunggunya telah datang. Dia menunjukkan dirinya sedikit yang
tengah bersembunyi disalah satu sudut gedung di seberang jalan.

“Hai,” gadis berambut merah wortel menghampirinya dengan wajah berbinar-


binar. Dia berusaha tersenyum melihat kehadiran gadis itu. Bukannya dia tidak
menyukai gadis itu. Gadis itu cukup berguna untuknya, hingga saat ini. Dan
setelah dia mendapatkan informasi yang dibawa oleh gadis itu sekarang, jasa
gadis itu sudah tidak dibutuhkan lagi.

“Hai,” dia membalas sapaan gadis itu dengan senyum terbaiknya. Mata gadis itu
makin berbinar ketika melihatnya. Semoga dia tidak melakukannya secara
berlebihan dan memberi harapan kosong pada gadis itu. “Bagaimana keadaan di
dalam?”

“Masih tenang. Kau tidak perlu khawatir.”

“Kapan dia akan kembali?”

“Tidak dalam waktu dekat. Itu bukan hanya perjalanan bisnis biasa, dia sedang
mencari investor di sana. Tidak akan kurang dari satu bulan.”

“Bagaimana dengan adiknya?”

“Yang di Connecticut? Kau tidak perlu khawatir. Wanita itu hampir tidak
pernah datang ke sini. Biasanya keponakannya yang datang berkunjung. Itu pun
hanya untuk formalitas. Mereka tidak terlalu dekat. Wanita itu seperti lintah
penghisap darah dan kakaknya tahu benar bagaimana sifatnya. Tapi dia adalah

51 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
satu-satunya keluarga yang mereka miliki, jadi mereka selalu berusaha menjaga
hubungan baik dengannya.”

Dia mendengarkan penjelasan gadis itu dengan seksama. Sejauh ini semuanya
berjalan sesuai rencana. Dia hanya perlu membereskan satu hal.

“Kau sudah membereskan barangmu?”

“Aku tidak membawa apa-apa ke sana,” gadis itu mengangkat bahu.

“Bagus. Segera pergi sebelum ada yang curiga. Tidak perlu mengajukan surat
pengunduran diri.”

“Pelayan datang dan pergi di rumah itu. Aku bukan yang pertama
melakukannya.”

Dia menyeringai. Sempurna. Segalanya sempurna. Setelah bertahun-tahun,


akhirnya Tuhan menunjukkan kemurahan hati padanya.

“Ayo pergi,” dia merangkul pinggang gadis itu dan dia dapat merasakan
gelenyar senang dari gadis itu ketika dia melakukannya.

“Ke mana?”

Dia hampir saja meludah ketika mendengar nada merayu yang dilontarkan gadis
itu padanya. Tapi dia menahan diri. Dia hanya harus segera menyelesaikannya.

“Ke tempat kau akan mendapat imbalanmu.”

Dia tidak mungkin salah mengartikan tatapan antusias yang diberikan gadis itu.
Dia sudah meniduri banyak wanita. Satu lagi bukan masalah baginya. Dan gadis
ini, hanya akan menjadi satu wajah lagi yang akan segera dia lupakan.

***

52 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 7

Lucas berjalan cepat menuruni tangga. Dia masih dapat mendengar tangisan
Sheila. Dia harus segera menjauh dari tempat ini. Namun meski dia sudah
berada di luar, tangisan serta jeritan gadis itu masih terngiang-ngiang di
telinganya. Lucas merogoh sakunya lalu mengumpat saat tidak menemukan
rokok di sana. Dia berjalan menuju bar terdekat. Sekarang dia bisa mabuk-
mabukan tanpa mengkhawatirkan apa pun.

Akan tetapi kakinya tidak dapat melangkah terlalu jauh. Lucas duduk di tepi
trotoar dan membuka topinya. Dia melarikan tangan ke rambutnya, nyaris
menjambak helai-helai tebal itu. Rencananya berjalan dengan lancar. Dia
seharusnya merasa puas. Tapi kenapa pikirannya bertambah kalut dan perutnya
serasa habis dihantam oleh tinju mematikan. Dia ingin muntah. Dalam arti
sebenarnya. Sheila berteriak memanggil-manggil namanya, dan Lucas benar-
benar nyaris membawa gadis itu pergi dari sana. Melindunginya dari segala
macam bahaya. Bahaya yang dibuat oleh Lucas.

Tidak. Dia tidak boleh menjadi lemah hanya karena air mata dan isakan penuh
permohonan. Dia telah menunggu sangat lama untuk mewujudkan saat ini. Saat
putri dari Trevor McAdams terpuruk ke neraka yang gelap. Sama seperti
dirinya. Tapi gadis itu tidak tahu apa-apa. Rasa mual kembali merayap naik ke
tenggorokan Lucas. Sheila hanya korban tak bersalah. Korban tak bersalah yang
adalah anak Trevor McAdams. Lucas menggertakkan gigi. Dia telah melakukan
hal yang seharusnya. Gadis itu bukan lagi tanggung jawabnya. Dendamnya
sudah terbalas. Habis cerita. Sekarang yang akan dia lakukan adalah
merayakannya dengan menghabiskan uang yang dia dapatkan.

Dia bangkit berdiri. Merasa lebih tenang dengan pemikirannya barusan lalu
mengenakan topi. Sialan. Lucas tidak dapat menipu dirinya sendiri. Dahinya
berkeringat dan tangannya gemetar. Ini bukan dirinya. Dia tidak dapat
melakukan hal ini, sekalipun pada putri Trevor McAdams. Dia tahu dia akan
menyesal. Rasanya dia ingin berteriak dan mengutuki hati nurani sialannya.

Lucas berjalan pergi. Kembali ke tempat Madam Bertha. Dia nyaris berlari saat
melakukan itu. Apakah dia terlambat? Jantungnya berdebar dengan liar
memikirkan kemungkinan tersebut. Lucas mengetuk pintu kayu hitam di
depannya, nyaris menggedor dengan kepalan tangannya.

“Aku ingin bertemu Madam Bertha.”

53 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Pria yang tadi membukakan pintu untuknya menatap Lucas penuh selidik.
Namun tidak lama karena pintu itu langsung mengayun terbuka di depannya.
Lucas tidak membuang-buang waktu lagi. Dia membuat Madam Bertha
terlonjak dari kursinya saat tiba-tiba saja dia berjalan cepat ke arah wanita itu.

“Apa-apaan ini?!” Wanita itu berseru marah. Lucas merogoh saku jaketnya dan
mengeluarkan amplop coklat yang belum di bukanya.

“Kembalikan dia padaku,” Lucas menyodorkan amplop itu ke depan Madam


Bertha. Wanita itu tampak bingung. Namun dia segera menguasai diri dan
berkata tenang.

“Bukan begitu cara kerjanya, Lucas,” Madam Bertha berkata licik.

Lucas tahu itu. Yang dia tidak tahu, apakah dia punya cukup uang untuk
menebus Sheila kembali. Dia mengepalkan tangannya, berusaha tidak
menghajar wanita culas di depannya untuk melepaskan emosi, “Berapa?”

“12.000.”

“Kau gila,” Lucas mendesis marah, “Apa yang membuatmu berpikir aku akan
membayar sebanyak itu?”

“Kau yang putuskan,” Madam Bertha bersandar dengan nyaman di kursinya


sambil menyilangkan jari-jari gemuknya. Lucas benar-benar ingin melompat ke
atas meja dan mencekik wanita di depannya. Tapi dia sadar kalau dia
melakukan hal itu, dia tidak akan mendapatkan Sheila kembali. Lagipula, kedua
orang pengawal Madam Bertha yang kini berdiri dengan waspada di
belakangnya, akan mematahkan kedua tangan Lucas sebelum niatnya sempat
terlaksana.

Jadi dia merogoh dompet, lalu mengeluarkan satu-satunya benda berharga yang
dia punya. Benda yang tidak pernah lepas darinya. Dia meletakkan cincin emas
putih dengan berlian besar di atasnya. Satu-satunya peninggalan ibu Lucas.

“Cincin ini harganya melebihi apa yang kau minta,” Lucas menyerahkan cincin
di tangannya dengan enggan. Madam Bertha melihat benda itu dengan mata
berkilau penuh ketamakan. Lucas kembali menarik cincin itu sebelum Madam
Bertha sempat mengambilnya. “Hanya untuk jaminan,” dia berkata
memperingatkan, “Aku akan melunasinya begitu punya uang.”

54 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kilatan itu tidak juga hilang dari mata Madam Bertha, “Satu bulan.” Wanita itu
berkata dengan santai.

Lucas hampir saja meledak. Bagaimana dia bisa mendapat uang 3000 dollar
dalam waktu satu bulan? Namun alih-alih menyuarakan keberatannya, dia
mengangguk sambil menyerahkan cincinnya. Madam Bertha langsung
menyambar benda itu dan mengamati dengan kagum. Lucas berusaha sekuat
tenaga untuk menahan diri.

“Di mana dia?”

“Kamar VIP,” kata Madam Bertha tanpa melepaskan tatapannya dari cincin ibu
Lucas.

“Apa?!”

“Kebetulan ada pelanggan yang secara spesifik menyebutkan keinginannya.


Dan kebetulan, gadis yang kau bawa sesuai dengan kriteria yang dia minta,” dia
berhenti saat melihat wajah Lucas yang pucat pasi, “Lebih baik kau bergegas.”

Lucas tidak perlu disuruh dua kali. Dia berlari seperti orang kesetanan.
Setibanya di sana, dia berusaha membuka pintu kamar yang di tujunya.
Terkunci.

Dengan geram dia menendang pintu itu hingga engselnya nyaris terlepas.
Pemandangan di depannya sudah cukup membuat kemarahan Lucas naik
sampai ke ubun-ubun. Seorang pria yang lebih pantas menjadi ayahnya sedang
menindih Sheila. Gadis itu tidak melawan dan hanya berbaring nyalang dengan
pandangan kosong. Entah apa yang telah di katakan Madam Bertha padanya.
Tapi Lucas tahu wanita licik itu sanggup mematikan semangat apa pun pada
gadis-gadis miliknya hanya dengan lidah berbisanya.

Lucas maju dan langsung merenggut pria itu lalu menghantamkannya ke


dinding. Dia butuh memukul seseorang dan tampaknya pria itu adalah sasaran
yang tepat. Lucas melayangkan tinjunya. Berkali-kali. Hingga tubuh pria di
bawahnya lemas seperti seonggok kain basah. Dia bangkit dengan terengah-
engah, tidak mempedulikan buku-buku jarinya yang berdarah dan berdenyut.

Sheila masih berbaring tak bergerak di tempat tidur saat Lucas


menghampirinya. Dia membuka jaket lalu menyelimutinya ke tubuh gadis itu
yang hanya mengenakan gaun tidur transparan yang sama sekali tidak dapat

55 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menutupi tubuhnya. Lucas mengangkat Sheila hingga gadis itu duduk di
pangkuannya.

“Sheila,” dia menepuk pipi Sheila perlahan karena sepertinya gadis itu masih
tidak menyadari keberadaan Lucas dan hanya melemparkan tatapan kosong
pada dinding di depannya. “Sheila,” panggil Lucas sekali lagi, “Sheila, ini aku.
Lihat aku. Ini Lucas.”

Perlahan-lahan, sinar kembali ke dalam mata Sheila. Dia melihat sekeliling


dengan bingung lalu ketakutan saat menyadari dia berada dalam pelukan Lucas.

“Tidak. Tenanglah,” Lucas berusaha menenangkan Sheila yang meronta untuk


melepaskan diri, “Aku datang untuk menolongmu. Sheila, aku sudah
menebusmu kembali. Kau tidak perlu berada di sini lagi.”

Kata-kata Lucas segera menghilangkan perlawanan apa pun yang sedang


diberikan Sheila. Dia menatap Lucas dengan mata berkaca-kaca lalu seketika itu
juga tangisnya pecah. Dia menangis keras di dada Lucas hingga air matanya
membasahi bagian depan T-Shirt pria itu. Lucas memeluknya erat sambil
menciumi puncak kepalanya.

“Maafkan aku. Tidak akan terjadi lagi. Aku berjanji padamu. Kau aman
sekarang. Maafkan aku, Sheila. Maaf.”

Lucas terus membisikkan kata-kata menenangkan itu di telinga Sheila, hingga


gadis itu berbaring rileks di pelukannya. Mempercayakan diri sepenuhnya pada
Lucas.

***

Sheila bangun saat cahaya matahari menelusup masuk melalui tirai jendela yang
terbuka. Dia duduk sambil mengucek matanya lalu melihat sekeliling. Di mana
dia? Ruangan tempatnya berada terlihat familier. Lalu ingatan akan kejadian
hari sebelumnya menelusup masuk. Lucas menjualnya ke Madam Bertha.
Ingatan itu membuat dadanya terasa nyeri. Sekarang setelah keadaan kembali
tenang, berbagai emosi berkecamuk di hatinya. Dia marah, sedih, dan sakit hati.
Namun perasaan itu juga diliputi berbagai pertanyaan saat dia ingat ketika
Lucas datang kembali untuk menolongnya. Pria itu menebusnya. Sebenarnya,
Sheila bertanya-tanya kenapa Lucas melakukan hal itu. Mungkin Lucas tidak
sejahat yang dia sangka.

56 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sheila menyadari T-Shirt besar yang sedang dia kenakan lalu wajahnya
langsung bersemu. Dia ingat semuanya. Lucas membawa Sheila ke
apartemennya. Meski sederhana, namun apartemen studio tempat Lucas tinggal
sangat nyaman dan bersih. Sheila juga ingat bagaimana dia masih terus
menangis setelah pergi dari tempat Madam Bertha dan tidak mau melepaskan
Lucas.

Pria itu tidak memprotes meski tidak mengatakan apa pun. Lucas hanya
memeluk sambil menggendongnya di sepanjang perjalanan. Bahkan pria itu
yang membantu Sheila membersihkan diri serta mengganti bajunya saat tiba di
apartemen Lucas. Meski sudah jelas Sheila tidak memiliki pakaian sehingga
Lucas memberikan salah satu T-Shirtnya untuk dia kenakan. Pria itu bersikap
begitu lembut padanya. Bahkan dia membiarkan Sheila tidur di satu-satunya
tempat tidur yang ada di ruangan itu. Lalu memberinya ciuman di kening
sebelum akhirnya Lucas tidur di sofa di dekat situ.

Rona di wajah Sheila menjalar hingga telinga. Bagaimana dia akan menghadapi
Lucas hari ini? Pertanyaan bodoh. Seharusnya dia bertanya apa yang
selanjutnya akan dilakukan Lucas pada dirinya. Pria itu tidak jadi menjualnya
ke tempat pelacuran, jadi Sheila sudah tidak berguna lagi baginya. Mungkin
pria itu akan melepaskan Sheila. Pemikiran itu membuatnya senang sekaligus
sedih.

Namun lamunan Sheila segera diputus saat Lucas tiba-tiba saja muncul. Rambut
Lucas masih basah dan dia hanya mengenakan singlet putih serta celana jeans
dan bertelanjang kaki. Sheila dapat melihat otot-otot yang menonjol di lengan
telanjang Lucas dan kembali bersemu saat mengingat bagaimana lengan itu
memeluknya kemarin. Namun bukan hanya itu yang dia rasakan. Melihat pria
itu bersikap seakan tidak terjadi apa-apa, membuat Sheila ingin menerjangnya.
Dia tahu dia akan kalah. Jadi yang dia lakukan hanya melemparkan tatapan
membunuh terbaiknya pada Lucas dari atas tempat tidur.

Tidak mengerikan. Tapi setidaknya menunjukkan bahwa dia masih marah


karena tindakan Lucas kemarin.

Lucas membawa dua buah piring di tangannya. Aroma roti bakar dan telur
langsung memenuhi hidung Sheila. Pria itu meletakkan piring-piring tersebut di
sebuah meja panjang di depan sofa. Lucas menoleh ke tempat tidur saat melihat
Sheila yang sudah bangun.

57 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Selamat pagi,” Sheila berkata dingin.

Pria itu hanya menatapnya lalu berkata singkat, “Pagi.” Lucas kembali
menghilang dari pandangan Sheila saat pria itu menuju ke dapur kecil di dekat
sana dan kembali sambil membawa segelas susu dan secangkir kopi.

Sheila ingin menjerit. Lucas mengabaikan kemarahannya. Pria itu tahu dia
sedang marah dan memilih untuk mengabaikannya.

Lucas duduk di sofa dan mulai mengunyah roti dari salah satu piring. Sheila
turun dari tempat tidur dan bergabung dengannya di sofa. Postur tubuhnya kaku
tapi dia kelaparan. Dia akan memakan apa pun yang diberikan Lucas padanya.
Sheila mengambil roti di piring yang satu lagi, tanpa menatap Lucas. Namun
roti yang di makannya sungguh lezat hingga dia mau tidak mau mendesah
nikmat.

“Enak,” dia mendesah puas saat merasakan butter yang meleleh di lidahnya.
Lucas melirik dari sudut matanya meski tidak berkomentar.

Sheila menghabiskan isi piringnya lebih cepat daripada Lucas. Dia baru
menyadari bahwa dirinya sungguh-sungguh kelaparan. Bahkan tanpa sadar,
matanya menatap sarapan Lucas yang belum habis dengan penuh nafsu.

“Kau mau?” Lucas menawarkan salah satu rotinya pada Sheila dan gadis itu
merona saat tersadar akan apa yang tengah di lakukannya. “Makan saja,” Lucas
setengah mendorong roti itu ketika melihat Sheila hanya menatapnya dengan
ragu.

Sheila mengambil roti yang diberikan Lucas dan langsung mengunyahnya


dengan bersemangat.

“Jadi, kuanggap kau sudah tidak marah lagi.”

Mendengar Lucas mengatakannya, membuat Sheila teringat kembali akan


amarahnya. Dia meletakkan piring di tangannya sebelum dirinya tergoda untuk
melemparkan benda itu ke wajah Lucas.

“Setelah apa yang kau lakukan padaku kemarin?” Sheila mendengar getaran
dalam suaranya. Namun Lucas masih menatapnya dengan wajah tenang
terkutuk.

“Aku menyelamatkanmu,” pria itu berkata santai.

58 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kau menjualku!”

Tiba-tiba Lucas bangkit dan meraih lengannya hingga dia ikut berdiri. “Kalau
kau lupa, biar kuingatkan. Menjualmu adalah tujuanku sejak awal. Kau
beruntung aku berubah pikiran di saat-saat terakhir. Jangan mengujiku. Karena
bisa saja aku berubah pikiran lagi dan melemparkanmu ke tempat sialan itu!”

Lucas tidak meneriakinya. Atau membentaknya. Namun nada rendah dan


mengancam pria itu cukup untuk membuat Sheila merinding mengingat
pengalaman buruknya kemarin. Dia tidak mau mengulanginya lagi. Jadi dia
bertindak bijak dengan tidak menjawab atau berusaha memancing kemarahan
Lucas lagi. Lagipula, kalau dari awal dia tidak begitu bodoh hingga terjatuh
dalam perangkap Lucas, dia tidak akan terjebak dalam situasi ini. Harusnya dia
tidak pernah mengabaikan ketika alarm di kepalanya mulai berdering.

Lucas menatap Sheila. Gadis itu tidak lagi gemetar ketakutan, tapi dia tahu
Sheila diam karena takut akan memancing kemarahannya. Hati nurani sialannya
menggeleng tidak senang. Lucas menghela nafas panjang. Dia tidak marah.
Namun dia harus menegaskan sesuatu pada Sheila. Nasib gadis itu berada di
tangannya dan akan lebih baik kalau Sheila tidak pernah melupakan hal itu.

Lucas melarikan tangannya pada rambut di sekitar telinga Sheila hingga


membuat gadis itu menatapnya dengan terkejut. Helai-helai rambut itu terasa
sangat halus di tangannya. Dia menyelipkan sebagian rambut itu ke belakang
telinga Sheila. Lucas berusaha meminta maaf, meski pria itu tidak
mengatakannya. Setidaknya pria itu berusaha. Lucas tidak seburuk itu. Dia
memang sering berkata kasar tapi Sheila yakin Lucas bukan orang jahat.

“Boleh aku duduk kembali dan menyelesaikan sarapanku?”

Lucas hanya menatapnya dengan mata melebar tanpa berkedip. Lalu tiba-tiba
pria itu tertawa mendengar permintaannya. Sheila tidak mengerti apa yang lucu
dari kata-katanya. Mungkin karena bagaimana dia dengan cepat dapat
menghilangkan amarahnya. Sheila bukan orang pendendam. Dan dia memang
tidak bisa marah terlalu lama. Akan tetapi yang membuat kemarahannya lebih
cepat surut adalah ketika melihat Lucas saat ini. Pria itu tertawa lebar hingga
Sheila dapat melihat deretan gigi putihnya.

“Kau tertawa,” Sheila berkata takjub.

Wajah Lucas langsung cemberut. “Apa yang aneh?”

59 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Bukan. Kau jarang tertawa akhir-akhir ini. Padahal saat pertama kali kita
bertemu…”

“Manis,” Lucas memotong kata-kata Sheila dengan tajam sambil tersenyum


sinis, “Kurasa kau mulai melupakan posisimu saat ini. Aku memang
menebusmu kembali dari Madam Bertha, tapi sebagai gantinya aku
menanggung hutang cukup banyak karena dirimu.”

“Hutang?” Sheila bertanya bingung, “Berapa banyak?”

“3000 dollar,” Lucas berkata kesal.

Sheila terkesiap. Itu jumlah yang besar. “Kalau kau membiarkanku


menghubungi ayahku, mungkin aku bisa menolongmu.”

Kali ini Lucas mendekat padanya sambil mengacungkan jari seakan ingin
menyodoknya. Namun mengurungkan niat karena merasa menyentuh Sheila
bukan ide yang bagus saat dia sedang marah. “Kau benar-benar lupa posisimu.
Kau pikir aku bodoh?! Melapor pada ayah tercintamu agar kau bisa
menjebloskanku ke penjara, hah! Kau adalah tawananku sampai aku
memutuskan yang sebaliknya. Mulai sekarang buat dirimu berguna atau aku
akan menjual ginjalmu untuk melunasi hutang itu.”

Sheila menatap Lucas dengan tercengang. Lalu tawa merdu keluar dari
mulutnya tanpa bisa dia tahan.

“Apa yang lucu?!” Hardik Lucas saat Sheila tidak juga berhenti tertawa.

Gadis itu berusaha keras mengendalikan diri agar tidak memancing kemarahan
Lucas lebih jauh. “Maafkan aku. Hanya saja, kau masih suka mengancam,
Lucas.”

Sheila merasa pelototan yang Lucas berikan sanggup melubangi dirinya. “Kau
pikir aku hanya menggertak?! Apa kau lupa bagaimana aku membuatmu
gemetaran? Perlu kuingatkan?”

Sheila menggeleng kuat-kuat. Tapi dia sudah tidak terlalu takut lagi pada Lucas.
Pria itu menyadarinya hingga bertanya dengan jengkel.

“Kenapa kau tidak takut lagi padaku?”

“Karena kau telah menolongku,” Sheila menjawab sambil tersenyum hangat.

60 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas merebahkan diri di sofa dan menutupi wajah dengan satu tangan. “Aku
tahu aku akan menyesalinya.”

Sheila hanya tersenyum geli. Lucas bilang dia harus membuat dirinya berguna.
Dia menumpuk piring serta gelas kotor di depannya lalu berjalan menuju dapur
untuk membersihkannya.

“Letakkan saja di bak,” Lucas masih tidak menyingkirkan tangan dari


wajahnya, “Aku tidak mau kau menghancurkan barang-barangku.”

“Aku bisa melakukannya,” Sheila berkata defensif.

Lucas menyingkirkan tangannya lalu mengangkat alis dengan tidak percaya.

“Aku bisa,” ulang Sheila dengan meyakinkan.

Lucas hanya mengangkat bahu lalu berdiri, “Aku akan dengan senang hati
menghadiahi pukulan di bokongmu untuk setiap piring yang kau pecahkan.”

Wajah Sheila merona mendengarnya. Dia tahu kata-kata Lucas dimaksudkan


untuk mengancam, akan tetapi entah kenapa malah memberi efek yang berbeda
pada dirinya. Perutnya serasa di hinggapi oleh ribuan kupu-kupu saat
membayangkan tangan pria itu berada di bokongnya. Apapun tujuannya.

Namun orang yang telah menciptakan efek itu pada dirinya hanya berjalan
santai melintasi ruangan menuju ke sebuah lemari dengan dua pintu. Lucas
membuka singletnya, sepenuhnya mengabaikan keberadaan Sheila. Meski
Sheila berusaha keras untuk berpaling, dia tidak dapat melakukannya. Matanya
melirik sedikit untuk melihat pemandangan tubuh setengah telanjang Lucas. Dia
tahu dia akan melihat tubuh dengan otot dan tanpa lemak, tapi bukan itu yang
membuatnya memekik ketika melihatnya. Lucas yang sedang berdiri
membelakanginya, membalikkan badan dengan terkejut sambil memegang T-
Shirt yang belum sempat dia kenakan.

“Ada apa?” Dia bertanya waspada.

“Punggungmu…,” Sheila menunjuk punggung Lucas dengan jari bergetar.

Lucas langsung mengenakan T-Shirt di tangannya saat menyadari apa yang di


lihat oleh Sheila. Selama ini dia hidup sendiri hingga tidak pernah khawatir
orang lain akan melihat punggungnya. Dia memang tidak akan memenangkan
kontes model apa pun, namun punggungnya memang bukan bagian tubuh yang

61 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dapat dia banggakan. Bekas-bekas luka yang memanjang menutupi sebagian
besar punggungnya. Bekas luka itu berwarna lebih putih daripada kulit di
sekitarnya, membentuk garis-garis yang saling menyilang satu sama lain.
Bahkan ada beberapa yang lebih dalam hingga menimbulkan tonjolan panjang
di beberapa tempat.

“Apa yang terjadi?” Sheila bertanya lirih. Lucas dapat melihat wajah gadis itu
yang nampak sedih. Untung saja. Karena kalau Sheila mengasihaninya, dia akan
membuat gadis itu menyesal. Lucas tidak suka dikasihani.

“Sudah lama. Aku lupa,” kata Lucas acuh. Sebenarnya, dia tidak lupa. Dia
hanya tidak ingin mengingatnya.

“Apakah masih sakit?”

“Aku bahkan tidak punya cukup syaraf di punggung untuk merasakannya,” dia
berkata sinis. “Jadi jawabannya tidak.”

“Ya Tuhan!” Sheila membekap mulut dengan kedua tangan dan Lucas melihat
bulir-bulir air mata yang mulai jatuh.

“Hentikan itu!” Lucas berkata marah, “Aku sedang tidak punya rokok agar
dapat bersabar mendengar tangisanmu.”

Sheila mengusap air matanya namun Lucas dapat mendengar isak tertahan gadis
itu. Lucas mengerang. Dia lebih suka mendengar gadis itu menangis keras
daripada melihatnya menahan tangis. Bersikap kasar tidak akan menghentikan
air matanya. Lucas menghampiri Sheila lalu melingkarkan lengannya ke seputar
tubuh gadis itu. Sheila membenamkan wajah di dadanya. Pria itu berusaha
meredakan tangisan Sheila sambil mengusap punggungnya dengan kikuk. Dia
tidak tahu cara yang lain.

“Kalau kau menangis begini, aku akan mengira kau sedang


mengkhawatirkanku,” Lucas berkata menggoda.

“Tapi aku memang khawatir,” Sheila mendongakkan kepala dan menatap Lucas
dengan mata berkaca-kaca. Lucas menelan ludah. Dia sungguh-sungguh
menahan diri agar tidak menunduk untuk menciumi air mata di wajah Sheila.

“Aku berterima kasih,” dia menjauhkan Sheila hingga sejangkauan lengannya,


“Tapi tidak perlu.”

62 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas berbalik kembali menuju lemari dan mengambil sebuah jaket jeans dari
sana.

“Kau mau ke mana?”

“Cari kerja. Kau pikir bagaimana aku akan mendapatkan uang 3000 dollar tanpa
bekerja?”

“Selama ini kau tidak bekerja?”

Pertanyaan Sheila tidak bermaksud merendahkan, murni hanya rasa penasaran.


“Sebenarnya, karena beberapa hari ini aku sibuk, aku terpaksa melepaskan
pekerjaan lamaku,” Lucas berkata ringan. Sheila yang menyadari „kesibukan‟
Lucas adalah menyekap dirinya, hanya dapat berdiri dengan tidak nyaman di
tempatnya. “Jadi saat ini aku agak berharap mereka mau menerimaku kembali,”
lanjut Lucas.

“Di Twisted Head?”

Awalnya Lucas agak bingung dengan pertanyaan Sheila. Lalu dia tersenyum
tipis saat mengingat bahwa Sheila bertemu dengannya di sana. “Tidak, Manis.
Aku tidak kerja di sana. Saat itu aku hanya menggantikan seseorang. Aku tidak
sebodoh itu untuk membiarkan kau tahu aku kerja di mana, apalagi aku telah
menduga kau pasti bawa teman.”

Harus Sheila akui, dia kagum dengan rencana Lucas yang matang. Pria ini
benar-benar tidak main-main saat telah menemukan korban yang tepat. Agak
miris kalau mengingat itu sekarang.

“Lalu, sebenarnya apa pekerjaanmu?”

Lucas merasa tidak ada salahnya kalau memberitahu Sheila saat ini. Toh, gadis
itu tidak bisa pergi ke mana-mana.

“Aku bekerja di tempat konstruksi bangunan,” Lucas mengambil topi dan


memakainya.

“Maksudmu mengangkat batu, membuat dinding, seperti itu?” tanya Sheila


penasaran.

“Yah… semacam itulah.”

“Pantas saja.”

63 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas mengangkat alisnya penuh tanya.

Sheila langsung menggeleng, “Bukan apa-apa. Lupakan saja.”

Tidak mungkin Sheila mengatakan bahwa dia berpikir pantas saja Lucas
memiliki tubuh yang cukup berotot. Pasti karena pekerjaannya. Lucas berjalan
menuju pintu dengan Sheila yang mengekor di belakangnya.

“Kau akan pulang jam berapa?”

“Tidak tahu.”

“Lalu apa yang harus kulakukan selama kau pergi?”

“Seingatku,” Lucas berdiri di ambang pintu dengan tangan memegang kenop


sambil tersenyum lebar. Namun kata-katanya sangat berbeda dengan raut
wajahnya. “Itu bukan urusanku, Manis. Sampai nanti.”

Lalu dia membanting pintu di depan wajah Sheila dan memutar kunci dari luar.
Gadis itu hanya bisa berdiri terpaku selama beberapa saat lalu mendesah keras.
Dia terkurung di apartemen seorang pria yang telah menculiknya, dengan hanya
mengenakan T-Shirt besar lusuh, dan terancam akan mati bosan sampai waktu
yang tidak dapat ditentukan. Nasib sungguh tidak adil padanya.

Sheila berjongkok sambil memeluk lutut di tempatnya berdiri. Ini sungguh


konyol, tapi rasanya dia ingin menangis. Dia tidak suka di tinggalkan sendirian
di tempat asing, tanpa seorangpun yang bisa diajaknya bicara. Tiba-tiba saja, dia
mendengar bunyi kunci yang diputar dan pintu di depannya kembali terbuka.
Dengan Lucas yang berdiri di sana.

“Jangan bilang kau mulai menangis lagi,” pria itu berkata lesu.

“Tidak,” Sheila buru-buru menghapus air matanya yang hampir jatuh, “Aku
hanya sedang berpikir apa yang dapat kulakukan.”

Lucas ikut berjongkok di depannya lalu menyapukan buku jarinya untuk


menghapus sisa air mata di kelopak mata Sheila. “Aku akan berusaha untuk
kembali secepat mungkin. Kalau kau jadi gadis baik dan bersabar menunggu,
malam ini aku akan membawamu makan di luar. Bagaimana?”

Sheila mengangguk dengan bersemangat. Dia akan melakukan apapun agar


dapat pergi keluar meski hanya sebentar. Namun Lucas belum selesai.

64 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tapi kau harus berjanji untuk tidak kabur,” Lucas mengeluarkan satu jari dari
kepalan tangannya, “Tidak teriak,” dia mengeluarkan jari kedua, “Atau
melakukan apa pun yang menarik perhatian,” dia menyelesaikan syaratnya di
jari ketiga, “Kalau kau tidak mematuhinya, maka…”

Dia berhenti, berpikir sejenak untuk memikirkan ancaman yang akan membuat
Sheila takut.

“Kau akan mengirimkan telingaku pada ayahku?” Sheila berkata dengan wajah
polos. Ekspresi yang di berikan Lucas adalah campuran dari kesal dan geli.
Meski pria itu harus menahan senyum saat bicara kembali.

“Aku akan mempertimbangkan saranmu. Jadi, kau akan baik-baik saja kalau
kutinggal?”

“Aku akan baik-baik saja.”

“Bagus,” Lucas meraih siku Sheila dan menariknya agar berdiri bersamanya,
“Ada makanan di lemari es. Kau bisa mandi dan memakai pakaianku dulu untuk
sementara. Dan satu hal yang paling penting. Jauh-jauh. Dari. Kompor,” dia
memberi penekananan pada setiap kata, “Aku ingin menemukan apartemenku
tetap utuh saat pulang nanti, bukan jadi tumpukan abu. Paham?”

Melihat bibir Sheila yang mengerucut dengan kesal, Lucas menganggap gadis
itu sudah paham. Dia mengusap kepala Sheila sekilas dan kali ini benar-benar
pergi sambil berdoa dalam hati bahwa dia telah melakukan hal yang benar
dengan meninggalkan gadis itu sendirian.

***

65 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 8

Lucas menepati janjinya untuk kembali secepat yang dia bisa, yang berarti
adalah sore menjelang malam. Dia harus pergi ke beberapa tempat. Ke tempat
kerja lamanya yang untungnya mau menerimanya kembali karena mereka
kekurangan orang lalu mencari pekerjaan tambahan. Menjadi pekerja konstruksi
memang memiliki gaji yang cukup besar mengingat tenaga yang dipakai, tapi
tetap saja tidak dapat menghasilkan 3000 dollar dalam satu bulan. Jadi dia
mencoba melamar kerja di beberapa kafe dan diterima di tempat keempat yang
di datanginya. Gajinya lumayan, meski berarti setelah dari tempat kerja
konstruksi dia harus langsung pergi ke kafe tempat dia akan bekerja. Tidak sulit.
Dia hanya berharap tubuhnya dapat menerima pengurangan drastis pada jam
tidurnya.

Lucas mengacak rambutnya dengan gemas. Dia membuat dirinya terjebak


dalam apa? Jelas-jelas rencana awalnya tidak termasuk dalam terjebak dengan
seorang gadis yang bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri, harus menjalani
dua pekerjaan, dan sekarang bingung mencari orang yang akan menjaga gadis
itu selama dia tidak ada di rumah. Hidupnya sungguh runyam.

“Kau baik-baik saja?”

Sheila menatapnya dengan cemas dari atas kepala Lucas. Saat ini dia sedang
merebahkan dirinya di atas sofa dengan kepala bersandar di salah satu sandaran
tangannya. Gadis itu telah mengenakan gaun yang tadi dibelikan oleh Lucas. Oh
ya, Lucas juga harus menanggung malu saat harus membeli pakaian dalam
untuk Sheila dan akhirnya membiarkan pegawai wanita di toko itu yang
memilih beserta beberapa gaun juga. Dia tidak seputus asa itu untuk berkeliling
toko membawa-bawa gaun wanita serta setumpuk bra dan celana dalam di
tangannya. Gaun yang dipilih oleh pegawai wanita itu terlalu terbuka di bagian
dada, protes Lucas dalam hati. Dia dapat melihat belahan dada Sheila ketika
gadis itu menunduk saat ini. Dia tidak suka reaksi yang timbul pada dirinya
karena hal itu. Lebih baik dia menutup matanya. Jadi dia melakukannya.

“Aku baik-baik saja,” Lucas berusaha membuat suaranya tidak terdengar letih.
Namun suara gadis itu masih terdengar cemas.

“Mau kuambilkan sesuatu?”

Lucas diam sejenak. “Air putih saja. Kalau kau tidak keberatan.”

66 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sheila langsung melesat ke dapur tanpa bertanya lagi. Lucas menghela nafas.
Saat ini dia harus menghidupi dua orang, nyaris bangkrut karena harus
membelikan pakaian-pakaian Sheila, serta berhutang besar. Mungkin lebih baik
dia melepaskan Sheila. Ide itu menggodanya sejenak, sebelum dia mengetatkan
rahang dan mengingat kenapa dia menahan gadis itu. Rencananya belum
terlaksana, dan Sheila adalah satu-satunya pion yang dia miliki agar dapat
membalas dendam pada Trevor McAdams. Dia akan bertahan sampai
menemukan caranya. Meski hati nuraninya yang lebih sering sembunyi di
pojokan menggeleng dengan tidak setuju.

“Ini.”

Lucas duduk dan mengambil segelas air yang dibawakan oleh Sheila. Dia
meminumnya sampai habis dan merasa sedikit lebih baik. Sheila bergerak
gelisah di tempatnya berdiri.

“Ada apa?” Lucas bertanya penuh selidik.

“Kita tidak perlu pergi kalau kau kurang sehat,” Sheila berkata penuh
pengertian. Meski Lucas mendengar sedikit kekecewaan menyusup dalam
suaranya. Sejenak, muncul rasa kasihan dalam dirinya. Sheila tidak tahu apa-
apa. Dia tidak melakukan kesalahan apapun pada Lucas. Tapi terkadang, darah
yang buruk cukup menjadi alasan. Setidaknya bagi Lucas.

“Aku tidak apa-apa. Ayo pergi,” Lucas bangkit dari sofa dan meregangkan
tubuhnya.

“Kau yakin?”

“Kalau kau tidak mau ikut, aku akan pergi sendiri.”

Kata-kata itu otomatis membuat Sheila melesat ke seberang ruangan dan


mengambil sesuatu dari dalam laci. Ternyata karet. Gadis itu mengikat
rambutnya menjadi ekor kuda. Lucas memutar bola matanya. Dia bisa di sangka
membawa gadis di bawah umur. Lucas menghampiri Sheila lalu melepas karet
dari rambutnya.

“Gerai saja,” dia berdiri di depan gadis itu sambil merapikan rambut Sheila
dengan tangannya. Tidak memedulikan pipi gadis itu yang dihiasi rona merah
muda karena tindakan intimnya.

67 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas mengunci pintu di belakangnya lalu melingkarkan tangan di sekeliling
pinggang Sheila hingga gadis itu merapat padanya. Dia berkata pada dirinya
sendiri bahwa dia melakukan hal itu agar Sheila tidak bisa lari darinya, bukan
karena ingin merasakan kehangatan tubuh gadis itu.

Lucas membawa Sheila ke sebuah restoran Italia yang tidak jauh dari gedung
apartemennya. Jenis restoran yang menyediakan makanan Italia rumahan dan
suasana yang hangat. Lucas melihat Sheila gembira, gadis itu banyak tertawa
dan menikmati semua makanan yang mereka pesan. Untuk gadis semungil
dirinya, Sheila memiliki selera makan yang cukup besar. Lucas menganggap hal
itu menarik meski tidak berkomentar karena tidak ingin menyinggung gadis itu.

Setelah makan, mereka berjalan-jalan di taman sebentar. Mereka benar-benar


nampak seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan, dengan Lucas yang
tidak pernah menjauhkan tangannya dari Sheila barang sedetik pun.

“Ada yang perlu kubicarakan denganmu.”

Sheila mendongak saat mendengar suara Lucas yang tiba-tiba menjadi serius.
“Aku akan sibuk dalam beberapa waktu ke depan,” lanjut Lucas, “Kau akan
kutinggalkan bersama seorang teman.”

Lucas merasakan Sheila yang menegang dalam pelukannya. “Seorang wanita.


Namanya Jeannie. Dia bisa menemanimu dari pagi hingga sore hari. Tapi
setelah itu, kau harus bertahan di dalam apartemenku sampai aku pulang.”

Lucas menunggu reaksi dari Sheila. Penolakan, kemarahan, apa pun. Tapi gadis
itu hanya berdiri di depannya sambil menatap Lucas lurus-lurus dengan mata
abu-abu terangnya.

“Kau akan mengurungku?” Gadis itu bertanya lirih.

Lucas mengangguk dan menjaga ekspresinya tetap datar.

“Apa kau tidak bisa mempercayaiku meski aku bilang tidak akan kabur?”

Lucas tersenyum sinis sebelum bicara, “Dan kenapa aku harus percaya bahwa
kau tidak akan kabur sementara jelas-jelas aku yang membawamu dengan
paksa?”

“Mungkin,” Sheila mendekat lalu meletakkan tangannya di dada Lucas, tepat di


atas jantungnya. Lucas yakin pasti gadis itu merasakan jantungnya yang

68 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berdebar dengan cepat, namun dia tidak sanggup untuk menyingkirkan tangan
Sheila dari dadanya. Dia tidak mau. “Karena aku tidak ingin berpisah
denganmu,” suara Sheila lebih menyerupai bisikan sehingga Lucas mengira dia
salah dengar.

Lucas membelalakkan matanya. Tidak sanggup berkata-kata. Namun batinnya


begitu ramai dengan berbagai macam suara. Sheila menyukainya? Setelah
semua perbuatan buruk yang dia lakukan pada gadis itu, Sheila masih tetap
menyukainya. Ini buruk. Sangat buruk. Gadis itu tidak boleh menyukai Lucas.
Hubungan mereka terlarang.

Tetapi Lucas tidak dapat mengatakan apapun. Dia masih terhipnotis oleh mata
abu-abu terang di hadapannya serta kata-kata Sheila. Lucas masih tidak
bergerak bahkan saat Sheila mendekatkan wajah padanya dan menciumnya.

Hanya ciuman biasa, dengan bibir lembut Sheila yang menyapu bibirnya, tanpa
lidah atau pun gigitan-gigitan kecil untuk menggoda. Murni ciuman dari
seseorang yang tidak berpengalaman. Tapi cukup untuk membuat Lucas merasa
seperti mendapat kejutan listrik. Gadis itu berjinjit dan menarik leher Lucas
mendekat agar dapat mengimbangi tinggi badannya. Payudaranya yang lembut
menekan dada keras Lucas dan samar-samar dia dapat mencium bau mawar dari
tubuh Sheila serta bau sabun yang sama dengan yang dia gunakan.
Kombinasinya sungguh memabukkan. Hanya karena masih ada sedikit akal
sehat yang tersisa dari pikirannya yang berkabut sehingga dia mampu menarik
diri.

“Sheila, ini tidak benar,” Lucas mendengar suaranya yang bergetar bahkan oleh
telinganya sendiri. Sheila mengerjapkan matanya dengan bingung. “Kau tidak
benar-benar menyukaiku.”

“Kau pikir aku berbohong agar dapat merayumu untuk melepaskanku?” Lucas
dapat mendengar rasa sakit hati dalam suara Sheila.

“Tidak,” Lucas menjawab cepat-cepat. Dia tahu Sheila berkata jujur. Gadis itu
terlalu polos untuk menipu Lucas yang menguasai segala tekhnik dalam hal
memanipulasi. “Kau pernah dengar *Stockholm syndrome?”

Mata Sheila melebar dengan pemahaman saat menyadari maksud Lucas, “Aku
tidak mengalami Stockholm syndrome!” Sheila berseru marah. Dan sejujurnya,
rona merah yang menyebar di pipinya serta mata yang menyala-nyala membuat
gadis itu terlihat makin cantik di mata Lucas.
69 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Percayalah padaku. Hanya itu satu-satunya alasan,” Lucas menggenggam
kedua bahu Sheila erat-erat. Gadis itu tampak ingin mengatakan sesuatu namun
segera mengurungkan niatnya. Wajahnya terlihat sendu. Lucas tidak punya
pilihan, gadis itu tidak boleh punya perasaan apapun padanya.

“Kita pulang?” Lucas bertanya lembut untuk memperbaiki suasana hati Sheila,
meski sepertinya tidak terlalu berhasil. Gadis itu hanya tertunduk lesu dan
mengangguk perlahan. Kali ini saat mereka berjalan pulang, Lucas hanya
menggenggam tangan Sheila.

***

*Stockholm syndrome: Respon psikologis di mana dalam kasus-kasus tertentu


para sandera penculikan menunjukkan tanda-tanda kesetiaan kepada
penyanderanya tanpa mempedulikan bahaya atau risiko yang telah dialami oleh
sandera itu.

70 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 9

Ternyata, wanita bernama Jeannie tempat Lucas akan menitipkan dirinya


tinggal di gedung yang sama dengan mereka. Jeannie adalah wanita cantik
berusia awal tiga puluhan dengan rambut pirang pucat yang lurus serta mata
coklat gelap. Sheila bertanya-tanya kenapa nama Jeannie terdengar familier di
telinganya. Lalu dia teringat bahwa Madam Bertha pernah menyebutkannya.
Apakah ini Jeannie yang sama? Apakah Lucas dulu juga menculik lalu
menjualnya? Tapi kenapa Jeannie bisa bebas bahkan memiliki kehidupan
sendiri? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam otak Sheila. Namun
pertanyaan-pertanyaan itu segera terhenti saat seorang bocah laki-laki yang kira-
kira berumur 4 atau 5 tahun berlari menghampiri Lucas sambil memeluk
kakinya.

“Papa Lucas!” Teriak bocah berambut pirang gelap itu saat melihat Lucas. Pria
itu tertawa lebar dan mengangkatnya lalu memutar-mutarnya hingga bocah itu
memekik kegirangan.

“Hei boy,” Lucas mengacak rambut anak itu dengan sayang, “Apa kau jadi anak
baik selama aku pergi?”

Bocah itu menganggukkan kepala dengan bersemangat. Sheila terpaku di


tempatnya berdiri. Apa pendengarannya tidak salah? Papa Lucas? Entah mana
yang lebih membuatnya terkejut. Melihat Lucas yang tertawa lepas tanpa beban
atau karena seorang bocah yang memanggil Lucas dengan sebutan Papa.

“Ethan,” Jeannie berkacak pinggang pada bocah laki-laki yang ternyata


bernama Ethan itu, “Mommy sudah bilang tidak boleh memanggilnya dengan
sebutan Papa Lucas. Dia bukan Ayahmu.”

Tanpa bisa di tahan, desahan lega meluncur dari bibir Sheila. Tapi kelegaannya
hanya bertahan sebentar.

“Tapi aku ingin dia menjadi Papaku,” Ethan memeluk leher Lucas erat-erat.
Lucas tergelak dan mencubit ujung hidung Ethan dengan sayang. “Dengarkan
ibumu, ok?”

Ethan cemberut meski akhirnya mengangguk, “Baik, Paman Lucas.”

Lucas menurunkan Ethan ke lantai agar bocah itu dapat menghampiri ibunya
lagi. Jeannie menyuruh Ethan masuk ke dalam saat Lucas menggiring Sheila

71 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dan memperkenalkannya. Wanita itu tersenyum hangat menerima uluran
tangannya.

“Jadi, kau bisa menjaganya?” Lucas mengatakan itu pada Jeannie seakan Sheila
adalah bocah 10 tahun yang butuh diawasi. Sheila tidak menyukainya. Apalagi
di depan Jeannie yang jelas-jelas lebih dewasa dan menawan hingga dirinya
merasa agak rendah diri.

“Tentu saja. Tapi maaf aku hanya bisa sampai sore. Shiftku di mulai pukul 3
nanti,” Jeannie tersenyum meminta maaf meski sebenarnya tidak perlu.

“Tidak apa-apa,” Lucas berkata maklum, “Kau sudah sangat membantu. Saat
kau mau berangkat nanti, antarkan saja dia kembali ke apartemenku dan kunci
pintunya dari luar. Kau bisa meletakkan kuncinya di tempat biasa.”

Lucas menyerahkan kunci apartemennya pada Jeannie. Wanita itu menerimanya


tanpa bertanya. Tampaknya Lucas telah menjelaskan situasinya dan Sheila tidak
habis pikir kenapa wanita itu menyetujui begitu saja apa yang dilakukan Lucas.
Sebelum pergi, Lucas mencium pipi Jeannie sekilas dan menepuk kepala Sheila
sambil melambai lalu menghilang di belokan lorong.

“Masuklah,” Jeannie membuka pintu apartemennya lebar-lebar sambil


tersenyum hangat. Sheila masuk ke dalam dan mengamati apartemen Jeannie.
Apartemen itu hampir sama besar dengan milik Lucas. Namun apartemen itu di
bagi menjadi beberapa ruangan, tidak seperti milik Lucas yang hanya terdiri
dari satu ruangan besar tanpa penyekat apa pun di tiap ruangannya kecuali
kamar mandi.

“Kau mau sarapan?” Tawar Jeannie.

Sheila menggeleng lalu berkata dengan suara agak tajam. Dia tidak bermaksud
begitu, namun dia tidak dapat mencegahnya. “Lucas sudah membuatkan
sarapan untukku tadi. Kami makan bersama.”

Sekarang setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya, dia langsung menyesalinya.
Dia terdengar seperti seseorang yang cemburu dan sangat kekanak-kanakan.
Jeannie menatapnya sambil mengerjapkan mata, lalu tiba-tiba saja dia tertawa
keras.

“Tenang saja,” dia berusaha bicara di antara tawanya, “Apa pun yang pernah
terjadi antara aku dan Lucas, itu semua sudah berakhir. Aku bukan ancaman

72 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
untukmu.” Lalu dia melirik Ethan yang sedang menonton kartun di televisi
tanpa terganggu oleh percakapan mereka berdua.

Sheila merasa malu luar biasa. Namun dia sungguh tidak bisa menahan rasa
penasarannya saat melihat reaksi Jeannie yang melirik Ethan tadi.

“Apa Ethan adalah anak Lucas?” Dia berharap suaranya tidak terdengar terlalu
ingin tahu.

“Ya Tuhan, bukan! Aku sudah mengatakannya tadi, kan? Dia memang pria
yang menyenangkan dan aku berhutang budi padanya, tapi kami baru bertemu
dua tahun yang lalu sedangkan usia Ethan sudah 4 tahun sekarang.”

“Maafkan aku. Kukira tadi saat kau melihat ke arahnya…”

Jeannie kembali tergelak. Suara tawanya yang merdu memenuhi ruangan. “Aku
hanya tidak ingin Ethan mendengar apa pun tentang hubungan masa laluku
dengan Lucas. Anak itu benar-benar ingin Lucas menjadi ayahnya. Sedangkan
hubunganku dengan Lucas sudah lama berakhir.”

“Apakah dia juga berusaha menjualmu ke rumah pelacuran lalu menebusmu


kembali?”

Ekspresi yang diberikan Jeannie sungguh tak ternilai. Mulutnya menganga


begitu lebar hingga Sheila merasa rahangnya bisa lepas sewaktu-waktu. “Dia
melakukan apa?”

Reaksi Jeannie yang di luar dugaan malah membuat Sheila gugup dan tidak
sengaja mengatakan lebih banyak. “Tapi memang itu yang dia lakukan, kan?
Menculik gadis-gadis lalu menjualnya ke rumah pelacuran.”

“Siapa yang mengatakan itu padamu?” Raut wajah Jeannie yang nampak marah
membuat Sheila terheran-heran.

“Lucas sendiri yang bilang,” jawab Sheila dengan bingung.

Jeannie menggeleng-gelengkan kepalanya, “Entah apa yang ada di pikirannya


sampai mengatakan hal seperti itu padamu. Tapi bisa kupastikan, Lucas tidak
seperti itu. Dia tidak menculik gadis-gadis dan menjualnya. Ya, dia memang
menebusku dari Madam Bertha, karena itu aku berhutang budi padanya. Saat itu
dia datang ke tempat Madam Bertha dengan tujuan yang sama dengan pria-pria
yang datang ke sana, mencari pelacur untuk ditiduri. Di situlah pertama kalinya

73 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
kami bertemu. Aku yang sedang sangat sedih karena dipisahkan dari anakku,
tidak bisa berhenti menangis bahkan hingga saat dia masuk ke dalam kamar.
Tapi Lucas tidak seperti pria lain yang tidak peduli. Dia duduk dan
menungguku selesai menangis lalu bertanya apa yang membuatku begitu sedih.
Setelah mendengarnya, dia bahkan tidak repot-repot untuk mengecek kebenaran
ceritaku dan pergi menemui Madam Bertha untuk menebusku. Aku tidak akan
pernah cukup berterima kasih padanya di hari saat dia mengeluarkanku dari
neraka itu hingga aku bisa bersama Ethan lagi.”

Sheila duduk di sana dan tercenung mendengar cerita Jeannie. “Tapi kenapa
Lucas menculikku dan berusaha menjualku?”

“Apa kau sungguh-sungguh dengan kata-katamu?”

Sheila dapat melihat bahwa Jeannie tidak percaya padanya. Dan tanpa bisa dia
cegah, cerita itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Dari awal pertemuannya
dengan Lucas, hingga bagaimana pria itu membawanya ke tempat Madam
Bertha lalu menebusnya kembali dan bagaimana dia bisa berada di sini saat ini.
Jeannie mendengarkan dengan takjub.

“Kalau Lucas belum mengatakannya padamu, kenapa kau setuju untuk


mengunciku di apartemennya?”

“Terkadang ada sisi diri Lucas yang memang terlihat gelap dan tidak dapat
kumengerti. Aku tidak pernah bertanya atau menolak apa pun yang dia inginkan
dariku. Aku berhutang besar padanya. Tapi aku memang merasa agak aneh saat
dia membawamu ke sini. Sejauh yang aku tahu, dia tidak pernah dekat dengan
siapa pun.”

“Kalau begitu kau tahu banyak tentang Lucas?” Sheila melihat kesempatan
untuk mengenal pria itu lebih jauh dan langsung menyambarnya.

“Dia orang yang cukup tertutup,” Jeannie terlihat tidak nyaman dengan rasa
penasaran Sheila. Tapi gadis itu tidak menyerah begitu saja.

“Apa kau tahu apa yang terjadi pada punggungnya?”

Jeannie menatap Sheila dengan terkejut, “Kau sudah melihatnya?” Lalu tiba-
tiba saja dia tersenyum lebar. “Yah… kurasa seorang pria dan wanita yang
tinggal bersama dapat memicu terjadinya banyak hal. Meskipun situasi kalian
agak unik.”

74 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Bukan begitu,” Sheila tidak dapat mencegah wajahnya yang bersemu merah,
“Aku melihatnya dengan tidak sengaja. Bukan berarti aku dan Lucas…
maksudku kami tidak seperti yang kau pikirkan.”

“Tidak usah malu,” Jeannie menepuk punggung Sheila kuat-kuat hingga gadis
itu meringis, “Mustahil dia akan melewatkan gadis sepertimu dan kau
menunjukkan ketertarikan yang cukup besar padanya.”

Namun sikap diam Sheila dan wajahnya yang masih bersemu membuat senyum
Jeannie perlahan memudar. Dia memperhatikan Sheila dari atas sampai bawah,
lalu sampai pada satu kesimpulan. “Aku tahu Lucas bukan gay, tapi aku tetap
aku berasumsi kau masih perawan.”

Saat Sheila mengangguk dengan malu, Jeannie membuang nafas dengan lesu
sambil menepuk bahu Sheila tanda simpati. “Dia tidak akan menyentuhmu.
Jangan tersinggung, tapi Lucas menjauhi gadis polos sepertimu.”

Bukan berarti saat ini Sheila ingin tidur dengan Lucas, tapi entah kenapa kata-
kata Jeannie membuatnya agak kecewa.

“Jadi, kau tahu sesuatu tentang bekas luka di punggung Lucas?” Sheila berusaha
menutupi kekecewaannya dengan mengganti topik pembicaraan.

“Kurasa kau harus bertanya sendiri padanya,” Jeannie menjawab dengan wajah
meminta maaf.

Sheila kembali merasa kecewa. Ternyata, tidak banyak informasi yang dia
dapatkan.

“Jangan sedih,” kali ini Jeannie menepuk punggung Sheila dengan lebih
perlahan. “Ayo kita lakukan hal yang menyenangkan. Apa saranmu?”

Sheila berpikir sejenak. Apa yang dapat dia lakukan untuk mengisi waktu?
Sheila masih terngiang-ngiang dengan kata-kata Lucas yang menyuruh untuk
membuat dirinya berguna. Mungkin dia bisa melakukan sesuatu dengan itu.
“Apakah kau bisa mengajariku melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga?”

Jeannie menatapnya dengan alis terangkat. “Terus terang, bukan itu ideku
tentang bersenang-senang. Tapi kalau itu yang kau inginkan, kurasa aku akan
membuatnya semenyenangkan mungkin untukmu.”

75 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Jeannie tersenyum lebar dan seketika itu juga Sheila merasa bahwa mereka
berdua akan jadi teman yang sangat baik.

***

76 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 10

Lucas menatap Sheila dengan heran karena gadis itu nyaris melompat-lompat
dalam perjalanan mereka ke tempat Jeannie.

“Apa yang membuatmu begitu gembira?” Tanya Lucas kemudian.

Sheila menyeringai padanya. “Jeannie.”

“Kau menyukainya?” Lucas tersenyum tipis ketika mendengar jawaban darinya.

“Dia mengajarkanku banyak hal. Dan selalu memiliki cerita yang menarik.”

“Cerita apa?” Lucas langsung bertanya waspada.

Sheila hanya menjulurkan lidah padanya dan bersenandung seakan tidak


mendengar pertanyaan Lucas.

“Sheila,” Lucas memberinya tatapan penuh peringatan.

“Kita sudah sampai,” Sheila buru-buru bicara ketika mereka berada di depan
pintu apartemen Jeannie. Lucas memasang wajah masam.

Sheila menekan bel dan pintu di depannya terbuka tidak berapa lama kemudian.

“Hai,” Jeannie menyambut mereka berdua dengan senyum lebar di wajahnya.


Dia memberi pelukan singkat pada Sheila sebelum mengajak gadis itu ke dalam.
Keduanya langsung mengobrol dengan seru. Mengabaikan Lucas yang masih
berdiri di ambang pintu. Lucas memutar bola matanya. Dasar wanita.

“Aku pergi dulu,” dia setengah berteriak dan kedua orang itu hanya melambai
tanpa menoleh padanya. Dia meninggalkan apartemen Jeannie dengan wajah
lebih masam daripada saat datang.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan hari ini?” Tanya Sheila bersemangat ketika
Lucas sudah pergi.

“Aku akan mengajarimu memasak.”

Sheila tersenyum lebar mendengar ide Jeannie. Kalau dia bisa memasak, maka
dia akan sedikit lebih berguna untuk Lucas.

Jeannie menyiapkan bahan-bahan untuk memasak sambil berceloteh. Wanita itu


memang suka sekali mengobrol. Karena kegemarannya itu, Sheila mengetahui
bahwa ternyata Jeannie adalah seorang perawat di sebuah klinik. Dulu dia
77 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pernah mengambil sekolah keperawatan sebelum terjerumus ke lubang gelap.
Kini setelah bebas, dia berhasil mendapat pekerjaan. Di tempatnya bekerja
terdapat tempat penitipan anak khusus pegawai sehingga dia tidak perlu
khawatir tentang Ethan.

Setelah beberapa lama saling mengenal, Jeannie bercerita cukup banyak tentang
Lucas pada Sheila. Lucas sudah bekerja dan tinggal sendiri sejak lulus SMA,
dia tidak pernah masuk college. Ibu Lucas meninggal sedangkan pria itu tidak
pernah tahu siapa ayahnya.

Jeannie bercerita saat mereka sedang bekerja di dapur hingga Sheila hampir saja
tidak sengaja mengiris tangannya sendiri dengan pisau. “Ibu Lucas sudah
meninggal?”

“Ya. Setahun yang lalu,” Jeannie yang sedang mengupas bawang berkata tanpa
mengalihkan pandangannya pada Sheila.

“Kenapa?”

“Overdosis,” Jeannie berkata sedih. Untunglah wanita itu masih belum menatap
Sheila. Kalau tidak, dia juga akan melihat bahwa Sheila lebih dari sekedar
terkejut ketika mendengarnya. Dia baru mendengar hal ini.

Sheila berdiri gelisah di tempatnya. Haruskah dia mengatakannya pada Lucas?


Menceritakan segalanya. Tentang ayah pria itu. Tapi Lucas mungkin saja tidak
akan percaya padanya. Sheila hanyalah seseorang yang kebetulan diculik
olehnya untuk dijual. Namun kini dia mulai ragu. Benarkah ini semua hanya
kebetulan? Jeannie jelas-jelas mengatakan padanya bahwa Lucas bukan seorang
penjahat. Lalu untuk apa dia menculik Sheila? Dan tidak mau melepaskannya
hingga saat ini. Apakah pria itu berpikir bisa meminta tebusan pada ayahnya
yang kaya? Tapi ayahnya masih di Perancis dan Lucas tidak menunjukkan
tanda-tanda akan melakukan hal itu.

Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Tiba-tiba Sheila merasa


cemas. Lucas tidak mungkin tahu siapa dirinya. Tapi kalau pria itu sudah tahu…
Tidak. Semuanya makin tidak masuk akal. Kalau Lucas tahu maka dia tidak
akan melakukan hal ini pada Sheila. Dia tidak akan tega.

***

78 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas duduk di atas kursi kayu dengan beberapa pekerja. Dia membuka
helmnya lalu mengambil handuk untuk mengusap keringat yang menetes. Hari
ini Sheila menyiapkan kotak makan siang untuk dibawanya. Awalnya dia ingin
menolak. Tapi mengingat bagaimana Sheila bangun lebih pagi untuk
membuatnya, akhirnya dia membawanya juga. Dia membuka tutup kotak di
tangannya dan langsung menemukan setumpuk kentang goreng, salad, serta
dada ayam panggang yang berkilau karena di lapisi butter. Sepertinya enak,
katanya dalam hati. Dia bahkan tidak menyadari kalau dirinya sedang
tersenyum, sampai salah seorang pekerja di sana menyenggol lengannya.

“Masih muda tapi sudah memiliki Istri yang menyiapkan makan untukmu. Apa
rahasiamu?” seorang pria dengan jenggot dan kumis tebal di sebelahnya
menyeringai pada Lucas. Kalau tidak salah namanya Bob.

“Aku belum menikah,” elak Lucas.

“Kalau begitu pacar yang perhatian.”

“Bukan.”

Pria itu menatapnya penuh tanya sebelum berkata. “Gadis ini bukan istri atau
pacarmu, tapi dia menyiapkan makan siang untukmu. Kau sungguh beruntung.
Seandainya aku juga punya wajah seperti dirimu agar ada gadis yang mau
berbuat begitu untukku.”

Lucas tertawa hambar. Pria ini benar-benar tidak tahu masalah yang sedang dia
hadapi. Dia harus melakukan dua pekerjaan sekaligus untuk menghidupi dirinya
dan „gadis‟ yang disebut-sebut oleh Bob. Otot-ototnya berteriak memprotes
setiap dia bangun di pagi hari karena tidak cukup istirahat setelah kerja berat.
Beberapa hari belakangan sungguh menyiksa untuknya. Tapi setidaknya hanya
bagi tubuhnya, yang begitu sibuk sehingga tidak memberi kesempatan bagi
otaknya untuk memikirkan Sheila. Namun ketika dirinya sedang duduk diam
seperti ini, pikirannya kembali melayang kepada gadis itu. Dia harus
menghilangkan perasaan apa pun yang tumbuh dalam diri Sheila kepada
dirinya. Begitu juga perasaan yang mulai tumbuh di hatinya. Selain karena
Sheila hanyalah alat untuk membalas dendam, mereka juga memiliki hubungan
yang membuat dia dan gadis itu tidak boleh bersama.

Lucas mulai menyantap makanannya namun rasanya seperti menelan kapas. Dia
mengamati kotak makanan itu lagi. Sepertinya tidak ada yang salah. Lalu dia
menyadari yang salah adalah dirinya. Tenggorokannya seperti terbakar dan
79 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sangat nyeri. Abaikan saja, dia berkata dalam hati. Dia akan baik-baik saja
dengan makan dan tidur. Lucas kembali berusaha menelan makanannya dan
tidak memikirkan apa-apa lagi.

***

Sheila duduk termenung sambil memikirkan percakapannya dengan Jeannie.


Haruskah dia mengatakan pada Lucas siapa dirinya? Akankah itu membuat
perbedaan pada keadaannya saat ini? Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Dia
tidak tahu. Dan dia terlalu takut untuk mencari tahu.

Namun Sheila tidak mencegah dirinya berhenti bertanya-tanya. Kenapa Lucas


menculiknya? Apakah ada hubungan dengan siapa dirinya? Atau apakah ini
hanyalah usaha putus asa Lucas untuk mendapatkan uang dengan mudah dan
Sheila kebetulan menjadi korbannya? Tapi selama tinggal dengan Lucas, Sheila
tidak merasa bahwa pria itu adalah tipe yang menghalalkan segala cara untuk
mendapat uang dengan mudah. Lucas selalu bekerja keras untuk mendapatkan
apa yang dia inginkan. Dia bahkan tidak cukup istirahat karena harus
melakukan dua pekerjaan agar dapat membayar hutang karena menebus Sheila
dari Madam Bertha.

Tiba-tiba Sheila merasa sedih. Dia telah terbiasa ditinggalkan sendirian hingga
Lucas datang. Namun melihat bagaimana setiap hari Lucas pulang dengan
wajah letih dan langsung tertidur, membuat hatinya sakit karena dia tidak dapat
melakukan apa pun untuk membantu. Bahkan Lucas masih tetap tidur di sofa
dan bersikeras bahwa Sheila yang harus tidur di ranjang.

Suara pintu yang terbuka dan batuk keras membawa Sheila kembali ke dunia
nyata. Lucas masuk ke dalam masih mengenakan kemeja dan celana hitam yang
merupakan seragam pelayan kafenya.

“Kenapa kau belum tidur?” Sheila dapat mendengar suaranya yang sangat serak
saat bicara.

“Kau sakit?” Sheila tidak menjawab pertanyaan Lucas dan bergegas


menghampiri pria itu. Lucas kembali terbatuk keras sebelum bicara lagi.

“Hanya flu biasa. Akan sembuh dengan istirahat dan minum obat.”

“Kau sudah makan?”

Lucas menggeleng. “Aku tidak lapar. Aku hanya ingin mandi dan tidur.”

80 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia berjalan ke arah kamar mandi dengan terhuyung dan menutup pintunya.
Sheila menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Lucas terlalu lelah. Dia harus
memaksa pria itu untuk tidak masuk kerja agar dapat beristirahat.

“Besok kau harus libur.”

Lucas bahkan belum menutup pintu kamar mandi saat Sheila mengatakan itu
padanya. Sheila mengambil handuk basah dari tangan Lucas dan menyerahkan
sebuah T-Shirt berwarna putih padanya. Lucas mengenakan T-Shirt itu di atas
celana piyama yang menggantung rendah di pinggulnya.

“Tidak bisa,” Lucas berjalan ke arah sofa, “Aku akan baik-baik saja dan bisa
kembali bekerja setelah tidur sebentar. Kau tidak perlu cemas.”

Sheila menangkap tangan Lucas sebelum pria itu mencapai sofa. “Kalau begitu
tidurlah di tempat tidur. Kau butuh istirahat yang nyaman. Biar aku yang di
sofa.”

Lucas masih dapat tersenyum geli meski wajahnya nampak lesu. “Manis, kau
tidak perlu memanjakanku. Ini hanya flu.”

Sheila tidak menghiraukan kata-kata Lucas dan mulai menyeretnya ke tempat


tidur. Dia hanya berhasil membawa pria itu dua langkah lebih jauh. Akhirnya
Sheila berbalik dan menatap Lucas dengan wajah memelas. “Please.”

Lucas menghela nafas panjang. “Tapi kau harus tidur denganku. Tempat
tidurnya cukup besar untuk kita berdua dan aku tidak mau kau pegal-pegal saat
bangun nanti karena harus tidur di sofa yang keras.”

Itukah yang dirasakan Lucas setiap hari? Sheila tidak tahu dan itu membuatnya
sedih. Padahal Lucas harus bekerja dari pagi hingga larut malam tapi pria itu
bahkan tidak bisa mendapat tidur yang nyaman untuk mengistirahatkan
tubuhnya. Pantas saja dia sakit.

Lucas berbaring dan menepuk tempat di sebelahnya agar Sheila ikut bergabung
bersamanya. Sheila merangkak naik lalu berbaring di sebelah Lucas.

“Selamat tidur.”

Lucas tersenyum samar dan langsung memejamkan matanya sebelum akhirnya


Sheila ikut tertidur.

***

81 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 11

Sheila tidak perlu memaksa Lucas untuk tidak masuk kerja, keesokan harinya
pria itu bahkan hampir tidak bisa bangun dari tempat tidur. Suara batuk yang
sangat keras membangunkan Sheila pagi itu. Dia melihat Lucas di sebelahnya
yang sedang duduk dan terbatuk-batuk. Sheila meraba dahi Lucas dan
merasakan kulit yang nyaris terbakar di bawah tangannya.

“Ya Tuhan, kau sangat sakit,” pekik Sheila saat mengatakannya.

Lucas hanya kembali berbaring di tempat tidur dengan punggung tangan


menutupi wajahnya. “Jam berapa sekarang?”

Sheila nyaris tidak mengenali suara Lucas saking seraknya. Dia melihat ke arah
jam dinding. “Pukul 6 pagi.”

“Biarkan aku tidur 30 menit lagi.”

“Tidak.”

Lucas mengangkat tangannya sedikit sambil melirik Sheila. Gadis itu terlihat
seperti akan mengatakan sesuatu yang tidak ingin dibantah.

“Kau tidak akan masuk kerja.”

“Sheila…”

“Tidak.”

Sheila nampak siap berdebat dan saat ini kepala Lucas sedang sangat sakit
sehingga dia akhirnya mengalah.

“Baiklah. Kau menang. Aku akan tidur seharian sesuai yang kau inginkan dan
besok aku akan kembali bekerja.”

“Kalau kau sudah sembuh.”

Sebagai seorang gadis yang mungil, Sheila cukup keras kepala. “Kita lihat saja
besok,” Lucas berkata lelah sebelum akhirnya terbatuk lagi.

“Aku akan membeli obat untukmu,” Sheila turun dari tempat tidur namun kata-
kata Lucas menghentikannya.

“Tidak. Kau diam di sini.”

82 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Lucas, ini bukan waktunya untuk berdebat.”

“Diam di sini. Atau aku yang akan membuatmu melakukannya. Aku masih bisa
menangkapmu sebelum kau mencapai pintu.”

Sheila mendesah panjang. Dia duduk di tepi tempat tidur sambil membelai
rambut Lucas. Pria itu masih menatapnya dengan ekspresi keras kepala. “Aku
tidak akan lari. Aku berjanji padamu.”

Lucas tidak menjawab. Sheila kembali berkata membujuk, “Apa yang dapat
kulakukan untuk membuatmu lebih baik?”

“Panggil Jeannie ke sini.”

Dadanya serasa diremas. Lucas lebih menginginkan Jeannie untuk berada di


sisinya daripada dirinya. Pria itu menyadari perubahan suasana hati Sheila.

“Jangan pasang tampang begitu. Jeannie seorang perawat jadi dia bisa
mengobatiku.”

Otaknya yang bodoh. Tentu saja. Apa yang ada di pikirannya hingga berpikir ke
arah lain? Dia buru-buru mengambil ponsel Lucas dan menghubungi Jeannie.
Jeannie datang bersama Ethan tidak sampai 10 menit kemudian.

“Apa yang kau rasakan?” Dia menyuruh Lucas duduk lalu mengeluarkan senter
kecil dan sebuah spatula lidah.

“Hanya flu biasa. Bukan masalah besar,” Lucas duduk sambil mengernyit.

“Suaramu seperti katak. Bukan pertanda bagus. Buka mulut.”

Lucas membuka mulut dan Jeannie menahan lidahnya dengan spatula lalu
menyinari bagian dalam mulutnya dengan senter.

“Kau mengalami radang tenggorokan parah. Dan menilai kondisinya, sepertinya


kau juga kena infeksi. Kita harus segera menurunkan demammu,” Jeannie
menyuruh Lucas memasukkan thermometer ke dalam mulutnya lalu
menggeleng saat melihat hasilnya. “39,4° C. Ini bukan main-main, Lucas.”

“Paman Lucas sakit?” Ethan bertanya polos.

“Jagoan tidak pernah sakit, boy,” Lucas menyeringai lalu batuk lagi. “Mungkin
sedikit.”

83 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kau harus minum obat dan antibiotik. Tidak akan sembuh hanya dengan
tidur,” Jeannie berkata tegas.

“Dia tidak mengizinkanku keluar,” akhirnya Sheila bicara setelah diam sejak
tadi.

Jeannie menatap mereka bergantian lalu berkata penuh pengertian, “Aku yang
akan pergi membeli obat. Pastikan dia makan sesuatu dan beristirahat.”

Lalu Jeannie pergi bersama Ethan yang mengekor di belakangnya. Sheila


kembali duduk di samping Lucas lalu menempelkan kompres dingin yang telah
disiapkannya di dahi pria itu. Lucas menggumamkan terima kasih sambil
tersenyum tipis.

“Kau ingin makan apa?”

Lucas menggeleng. “Aku hanya butuh tidur.”

“Kau dengar apa kata Jeannie tadi,” Sheila berkata galak.

“Terserah padamu,” pria itu menjawab lelah seraya memejamkan matanya.

Sheila mencari sesuatu di dalam lemari es yang bisa di siapkannya dalam waktu
cepat. Dia mengambil beberapa lembar roti, memanggangnya, lalu
menyiramnya dengan susu hangat yang telah di beri kayu manis. Jeannie datang
tepat saat Sheila sedang berusaha memaksa Lucas untuk memakan suapan
ketiganya. Pria itu hanya menggeleng dan menepis tangan Sheila yang
menyuapinya.

“Lucas, kau harus makan,” bujuk Jeannie dengan lembut.

“Aku sudah makan cukup banyak. Berikan saja obatnya,” Lucas berkata ketus.
Jeannie dan Sheila hanya bisa mendesah pasrah mendengar kekeras-
kepalaannya.

“Aku telah menulis instruksi untuk obatnya di sini,” Jeannie memberitahu


Sheila ketika Lucas telah meminum obatnya dan langsung tertidur beberapa saat
kemudian.

Sheila mendengarkan penjelasan Jeannie dengan seksama begitu juga saat


wanita itu menerangkan apa saja yang boleh dan tidak boleh di makan.
“Bersabarlah. Mungkin dia akan jadi pasien paling rewel mengingat sifatnya.

84 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hubungi aku kalau kau butuh sesuatu,” Jeannie berusaha memberi semangat
pada Sheila sebelum pergi.

Sheila tidak keberatan asalkan Lucas sembuh. Saat ini dia sangat sedih karena
secara tidak langsung turut andil atas jatuh sakitnya Lucas. Dia bisa menghadapi
sifat keras kepala.

***

Tantangan besar. Hanya itu kata-kata yang cocok untuk menggambarkan


perjuangannya merawat Lucas. Kalau ada orang yang lebih kepala batu dari pria
itu, dia ingin orang itu muncul saat ini juga agar Sheila bisa mencekiknya.
Lucas tidak mau makan, mengabaikan permohonan Sheila, bahkan membanting
piringnya saat gadis itu bertindak cukup memaksa. Ditambah dengan bentakan-
bentakan yang Sheila yakin disesali oleh Lucas karena membuat pria itu
kembali batuk-batuk.

Sampai akhirnya Sheila menangis saking putus asanya dan tanpa diduga, Lucas
mau menyantap makanannya. Meski kemudian Sheila tahu bahwa itu karena
tangisannya membuat sakit kepala Lucas makin parah. Tapi tidak masalah.
Kalau dia harus menangis agar Lucas mau makan, dia akan melakukannya.
Menangis adalah hal yang paling dikuasainya. Bukan sesuatu yang
membanggakan, tapi setidaknya sangat berguna pada keadaan seperti ini.

Hari sudah menjelang sore dan keadaan Lucas tidak juga membaik. Demamnya
hanya turun sedikit. Sheila berinisiatif untuk membuka pakaian Lucas dan
menempelkan kain dingin di seluruh tubuhnya untuk menurunkan demam. Pria
itu menolak mentah-mentah ide untuk melepaskan seluruh pakaian kecuali
boxernya sementara dirinya di lap seperti orang sakit. Sheila memeras kompres
di tangannya dengan gemas. Kenapa Lucas tidak bisa bersikap seperti orang
sakit yang normal dan berbaring diam tanpa memprotes apapun?

“Lucas, buka pakaianmu,” pinta Sheila untuk kesekian kalinya.

“Kau begitu ingin melihatku telanjang, Manis?” Lucas berkata sinis meski
wajahnya telah memerah karena demam. “Kalau kau juga membuka pakaianmu,
mungkin ide itu akan terdengar lebih menyenangkan di telingaku.” Pria itu
masih bisa melontarkan kata-kata untuk mengintimidasi Sheila meski sedang
kesakitan. Lucas yakin dia tidak akan melakukannya hingga pria itu berkata
begitu. Coba tebak. Pria itu salah besar.

85 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Baiklah,” Sheila berusaha mengabaikan Lucas yang terperangah saat perlahan-
lahan dia menurunkan ritsleting gaunnya.

“Tunggu dulu,” pria itu berkata cepat-cepat. Sheila mulai menurunkan tali bahu
gaunnya saat Lucas berseru panik. “Berhenti. Pakai lagi. Aku akan menurut.”

Lucas duduk dan mulai melepas pakaiannya sambil menggerutu. “Tadi


menangis,” dia melepaskan T-Shirtnya, “Sekarang kau mengancam akan
melepas pakaianmu,” dia membuka celana piyamanya lalu melemparnya ke
lantai, “Apalagi yang akan kau lakukan untuk mendapatkan keinginanmu?
Menari striptease di depanku?”

Sheila pura-pura tidak mendengar ucapan Lucas meski wajahnya saat ini hampir
semerah wajah pria itu. Dia mengumpulkan pakaian yang Lucas lemparkan dan
kembali membawa seember air dingin beserta setumpuk kain. Dia membasahi
kain-kain itu lalu mulai meletakkannya di tubuh Lucas. Pria itu menepis
tangannya sebelum Sheila sempat melaksanakan niatnya.

“Aku bisa melakukannya sendiri,” Lucas berusaha mengambil kain di


tangannya namun Sheila segera menariknya menjauh dari jangkauan tangan pria
itu.

“Tidak bisakah kau berbaring dan diam sebentar?” Sheila berkata dengan
jengkel. Lucas memelototinya sambil masih berusaha mengambil kain basah itu
dari tangannya.

“Tidak. Berikan itu padaku… aahhh… itu sungguh nyaman,” Lucas mendesah
saat kain dingin itu menyentuh kulitnya. Sheila hampir saja menyeringai saat
melihat kelegaan menghiasi wajah Lucas. Namun dia segera meredamnya
ketika merasakan kulit yang benar-benar panas di tangannya.

Sheila berusaha bersikap selembut mungkin saat dia meluncurkan kain dingin di
tangannya ke kedua lengan Lucas, lalu berpindah ke leher dan dada
telanjangnya. Namun dia tidak dapat melewatkan wajah Lucas yang berubah
menderita saat tangannya mulai turun ke arah perut pria itu meski Lucas tengah
memejamkan matanya.

“Apakah aku menggosok terlalu kuat?” Tanya Sheila cemas. Lucas membuka
mata pelan-pelan dan menatap Sheila seakan dia baru pertama kali melihatnya.

86 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Sudah kubilang ini bukan ide bagus,” Lucas mengerang sambil menutupi
wajah dengan kedua tangan. Nafasnya bertambah cepat seiring setiap usapan
kain yang diberikan oleh Sheila. Pasti karena demamnya, pikir Sheila khawatir.

“Kau tahu,” tiba-tiba saja Lucas duduk hingga Sheila hampir menjatuhkan kain
di tangannya karena terkejut, “Kalau ini idemu untuk mendinginkanku, harus
kukatakan bahwa ini tidak berhasil. Aku butuh mandi air dingin. Sekarang.”

“Tapi demammu masih tinggi,” Sheila memprotes saat Lucas bangun dari
tempat tidur dan berdiri agak terhuyung.

Namun Lucas terus berjalan dengan gontai dan dua kali hampir jatuh dalam
perjalanannya menuju kamar mandi meski pada akhirnya berhasil. Saat Lucas
sudah masuk, tidak lama kemudian Sheila mendengar bunyi berdebam dari
dalam kamar mandi hingga dia langsung menggedor pintunya dari luar.

“Lucas!”

“Aku tidak apa-apa,” terdengar suara sesuatu yang di seret, “Hanya tertidur di
toilet.”

“Apa kau butuh bantuan di dalam sana? Aku bisa menggosok punggungmu.”

Sepertinya dia mendengar Lucas mendengus tapi tidak terlalu yakin karena
dinding yang memisahkan mereka. “Kau sedang berusaha membunuhku, hah?”

Sheila hanya berusaha membantu, jadi dia heran dengan komentar Lucas. Pasti
karena demamnya, dia kembali menyimpulkan sambil menggeleng-gelengkan
kepala dengan wajah prihatin.

***

Lucas lebih mudah ditangani malam itu. Namun lebih karena pria itu sudah
tidak sanggup melawan lagi. Demam tinggi mengalahkannya dan dia batuk-
batuk tanpa henti. Sheila mulai merasa cemas dan menurutnya Lucas harus
dibawa ke rumah sakit. Untung saja Jeannie datang. Masih mengenakan
seragam perawat dan dengan Ethan yang tertidur di gendongannya, dia tiba
setelah shiftnya selesai. Sheila mengambil alih Ethan ke dalam gendongannya
agar Jeannie dapat memeriksa Lucas.

“Apa dia sudah meminum obatnya?”

87 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sheila mengangguk, “Dia memuntahkan sebagian besar obatnya tapi aku
berhasil memaksakannya lagi.”

Jeannie mengamati penampilan Sheila yang acak-acakan dan bekas-bekas


tumpahan obat di bagian depan pakaiannya. Rambutnya di gelung ke atas dan
dia tampak lelah, namun Sheila tidak mengeluh sedikitpun.

“Kau harus menempelkan kain dingin ke seluruh tubuhnya. Itu akan membantu
menurunkan demamnya.”

“Aku sudah mencoba, tapi Lucas menolak dan menghentikanku di tengah


jalan.”

“Coba lagi. Ayo, sekarang dia tidak punya cukup tenaga untuk melawan.”

Sheila meletakkan Ethan di sofa dan menyelimutinya lalu membantu Jeannie


untuk melepaskan pakaian Lucas. Jeannie benar. Lucas hampir tidak bergerak
saat mereka berdua melakukannya. Bahkan dia terlihat tidak sadar. Matanya
terus terpejam dan gerakannya sangat sedikit. Baru saat Jeannie dan Sheila
mulai menempelkan kain basah ke tubuhnya, pria itu bergidik dan berusaha
menyingkirkannya meski tetap tidak membuka mata.

“Apa dia baik-baik saja? Kenapa dia tidak bangun?” Sheila bertanya cemas.

“Demamnya sudah terlalu tinggi dan dia mulai kehilangan kesadaran. Kita
harus segera menurunkannya,” Jeannie bergerak dengan sangat efisien dan
mengganti kain-kain yang mulai kering karena demam Lucas yang tinggi.

“Apa lebih baik kita membawanya ke rumah sakit?” Sheila menerima kain yang
diberikan Jeannie dan memberikan kain basah baru padanya.

“Kita tunggu besok. Kalau dia tidak membaik, kita berdua yang akan
menyeretnya ke sana tidak peduli seberapa kerasnya Lucas menolak.”

Mereka terus bekerja tanpa henti hingga akhirnya demam Lucas mulai turun.
Masalah datang saat harus mengganti sprei yang basah. Sheila benar-benar
harus menahan tubuh Lucas di tepi tempat tidur saat Jeannie mengganti
spreinya. Bukan perkara mudah karena bobot Lucas hampir dua kali bobot
tubuhnya meski usahanya berbuat manis. Usaha mereka tidak sia-sia saat
akhirnya Lucas tertidur dengan wajah lebih damai dan berhenti terbatuk.
Mereka berdua juga berhasil memakaikan pakaian kering pada Lucas meski
dengan sedikit perjuangan.

88 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Apakah kau akan baik-baik saja kalau kutinggal?” Tanya Jeannie sambil
membereskan tasnya dan menggendong Ethan yang masih tertidur. Malam
sudah larut dan Sheila melihat garis-garis kelelahan di wajahnya setelah shift
yang panjang dan merawat Lucas.

“Tidak usah khawatir. Istirahatlah, Jeannie,” Sheila tersenyum tipis.

Jeannie memberikannya pelukan singkat dengan satu tangan. Tiba-tiba saja dia
terkekeh. “Aku tahu akan terkesan kejam kalau mengatakannya sekarang, tapi
aku benar-benar ingin melihat wajah Lucas saat dia tahu kita mengelap dan
mengganti pakaiannya seperti bayi. Dia akan benar-benar malu karena kita telah
melihatnya nyaris telanjang dan tidak berdaya. Akan jadi terapi yang bagus
untuk sikap keras kepalanya.”

Jeannie tertawa kecil seakan menikmati lelucon pribadi hingga Sheila mau tidak
mau ikut menyeringai. Dia melambai sebelum pergi dan berjanji akan datang
besok pagi sebelum akhirnya meninggalkan apartemen Lucas. Sheila mengunci
pintunya. Lucas harus mulai mempercayainya untuk tidak kabur, karena kalau
dia mau, dia pasti sudah pergi saat ini.

Dia membasuh wajah dan mengganti pakaiannya lalu menghampiri Lucas di


tempat tidur. Pria itu tidak lagi terlihat menderita seperti tadi setelah demamnya
agak turun. Sheila mengganti kompres di dahinya sambil mengamati wajah
tidur Lucas. Saat ini Lucas benar-benar terlihat seperti usia sebenarnya, wajah
tanpa beban pria 23 tahun, ketika tidak ada kerutan di antara kedua alisnya.

Sebenarnya apa yang membuat Lucas selalu berwajah seakan seluruh beban di
dunia diletakkan di pundaknya? Lucas tidak pernah terlihat bahagia dan jarang
tertawa.

Awal Sheila bertemu dengannya, dia mengira Lucas adalah orang yang humoris
dan suka menggoda. Namun lama kelamaan, Sheila tahu itu hanya kedok untuk
menjeratnya. Meskipun Sheila tahu Lucas bukan orang jahat, dia hanya diliputi
oleh kepahitan karena masa lalunya. Oh ya, Sheila yakin ada sesuatu yang
buruk pada masa lalu Lucas, bekas luka di punggungnya mengatakan hal itu.
Sheila benar-benar ingin menghapus segala kenangan buruk itu agar Lucas
dapat terus berwajah damai seperti saat ini.

Sheila naik ke atas tempat tidur dan berbaring di sebelah Lucas. Dia melihat
Lucas mengernyit. Mimpi apa yang sedang di alami oleh Lucas? Sheila
melarikan jemarinya ke arah kerutan dalam di antara kedua alisnya dan
89 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mendengar Lucas menggumamkan sesuatu dengan tidak jelas sebelum
kemudian wajahnya kembali rileks. Dia menggenggam tangan Lucas lalu
menautkan jemari mereka. Sheila membawa tangan Lucas ke dada lalu
memeluk Lucas dengan jemari mereka yang masih bertautan. Lama dia menatap
pria di sampingnya sampai akhirnya dia memejamkan mata menuju kegelapan
yang menenangkan.

***

90 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 12

Sheila bangun bukan karena fajar yang mulai menyingsing, tapi karena teriakan
yang memekakkan telinganya. Dia terduduk dengan tiba-tiba dan menoleh ke
kanan kiri dengan panik, mengira ada kebakaran atau sesuatu yang
menyebabkan teriakan itu. Tapi tidak ada apa-apa, keadaan apartemen sama
seperti saat sebelum dia memejamkan mata. Namun gerakan di sebelahnya
membuatnya sadar bahwa yang berteriak adalah Lucas.

Pria itu bergerak dengan gelisah seperti sedang melawan sesuatu dalam
mimpinya. Sheila mengguncang bahu Lucas untuk membangunkannya dan
nyaris kena tampar karena tangan Lucas yang mengibas ke arahnya.

“Lucas! Bangun! Kau harus bangun! Itu hanya mimpi!”

Lucas membuka mata lebar-lebar dan langsung duduk dengan waspada, seakan
bersiap menerima serangan. Dia menoleh kearah Sheila dan tidak melihat tanda-
tanda bahwa pria itu mengenalinya. Sepertinya Lucas belum sadar sepenuhnya.
T-Shirt putih Lucas basah oleh keringat dan dadanya naik turun dengan cepat.
Sheila dapat melihat nadi di lehernya yang berdetak kuat karena darah yang
mengalir deras. Dia mengulurkan tangannya dan Lucas langsung bergerak
mundur.

“Ini aku,” dia menyentuh keringat yang menetes menuruni pelipis Lucas, “Kau
tidak apa-apa. Hanya mimpi buruk.”

“Dia datang,” ketakutan membayang di mata Lucas dan pria itu seperti sedang
berada di tempat lain. “Aku sudah bilang berhenti tapi dia tidak mau dengar.
Dia tetap mengayunkan benda itu. Berkali-kali. Aku berusaha melawannya. Dia
terlalu besar. Dia sangat besar…”

“Lucas!” Sheila menghentikan Lucas yang terus meracau seperti orang bingung,
“Tidak ada siapa-siapa di sini. Hanya ada aku dan kau. Lihat, hanya ada kita
berdua.”

Lucas mengedarkan pandangannya. Sheila benar. Tidak ada siapa-siapa kecuali


mereka berdua. Sheila mendekatkan dirinya pelan-pelan lalu menempelkan
pipinya di dada Lucas. Dia dapat mendengar jantung Lucas yang berdebar
dengan liar hingga dia melingkarkan kedua lengannya ke sekeliling pria itu.
Detak jantung Lucas mulai melambat dan Sheila merasakan nafasnya yang
mulai teratur. Dia baru saja akan melepaskan pelukannya saat dia merasakan

91 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
lengan Lucas yang merengkuhnya. Pria itu memeluknya sangat erat hingga
Sheila sulit bernafas. Namun dia tidak melakukan apa pun untuk menyadarkan
Lucas karena sepertinya pria itu butuh berpegangan pada sesuatu setelah mimpi
yang dialaminya.

“Jangan tinggalkan aku. Berjanjilah kau tidak akan pergi dariku,” suara Lucas
sarat dengan emosi hingga rasanya Sheila ingin menangis. Dia mengetatkan
pelukannya sampai nyaris menyamai lengan Lucas yang tengah mendekapnya.

“Aku akan selalu bersamamu, Lucas. Aku berjanji.”

Mereka berpelukan sangat lama tanpa ada yang bersuara. Membiarkan


keheningan yang menjadi saksi pada janji itu.

***

Lucas sudah sehat. Tidak sepenuhnya. Tapi setidaknya dia mulai dapat
berakvitas yang berarti bekerja kembali. Sheila benar-benar sudah melarangnya,
namun rasanya seperti bicara dengan sebongkah batu. Akhirnya setelah
perdebatan yang cukup sengit, Lucas bersedia libur bekerja di kafe, untuk
sementara waktu. Setidaknya sampai dia benar-benar sehat, karena Sheila masih
melihat Lucas yang nampak sangat kelelahan saat pulang di sore hari karena
kondisi tubuh yang belum pulih sepenuhnya.

Setelah beberapa hari, Lucas yang telah betul-betul pulih memulai aktivitasnya
yang padat. Meski tampaknya dia telah belajar dari pengalaman sakit kemarin,
Lucas mengambil libur kerja satu hari dalam seminggu dan tidak lagi bekerja
nyaris 7×24 jam. Setidaknya Sheila memiliki Lucas selama satu hari penuh
setiap minggunya. Dia nyaris menyeringai dengan gagasan itu. Karena terus
terang, Sheila tidak suka kalau hanya bertemu pria itu di malam hari. Itu pun
hanya saat tidur. Dan Lucas kembali tidur di sofa.

Sheila tidak bisa berbuat apa-apa soal itu. Akan memalukan kalau dia meminta
Lucas kembali ke tempat tidur dan tidur bersamanya. Tapi dengan tidak adanya
pria itu di sampingnya, entah kenapa tempat tidur jadi terasa sangat besar. Dan
dia kesepian. Sheila mendesah panjang hingga Lucas yang sedang duduk di sofa
sebelahnya sambil menonton televisi langsung menoleh.

“Ada yang mengganggumu?” Lucas mengalihkan pandangan dari acara yang di


tontonnya.

92 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sheila hanya menatapnya. Sebenarnya apa yang Lucas rasakan tentang dirinya?
Apakah pria itu menyukainya? Atau membencinya? Sepertinya di antara
keduanya. Karena kadang Lucas bersikap baik tapi tidak jarang juga menjadi
ketus dan menjaga jarak darinya. Namun satu hal yang pasti, Sheila menyukai
Lucas. Dia mencintainya. Sejak dulu. Apakah salah kalau dia berharap Lucas
juga menyukainya? Atau setidaknya mengetahui perasaan pria itu terhadapnya.
Setelah Lucas memeluknya dan memintanya untuk tidak pergi, harapan Sheila
melambung. Tidak mungkin Lucas berkata begitu kalau tidak memiliki perasaan
apa-apa padanya. Lagipula Lucas pernah menciumnya. Meski mungkin hanya
terdorong nafsu, tapi masih lebih baik daripada tidak ada ketertarikan sama
sekali.

“Bisakah kau berhenti menatapku seperti itu dan katakan ada apa sebenarnya?”

Lamunannya terputus oleh pertanyaan Lucas yang menuntut. Pria itu nampak
tidak nyaman karena Sheila hanya menatapnya tanpa bicara.

“Kalau aku bertanya sesuatu padamu, maukah kau menjawabnya dengan jujur?”

Lucas terdiam agak lama sebelum menjawab, “Tergantung.” Lalu dia kembali
melihat tayangan acara di televisi dan meneguk sekaleng soda di tangannya.

Sheila ragu-ragu sejenak. “Kenapa kau tidak ingin aku meninggalkanmu? Apa
karena itu kau masih menahanku hingga saat ini?”

Sheila dapat melihat Lucas menelan minumannya dengan susah payah.


Pandangannya tidak lepas dari televisi. Sepertinya Lucas sengaja agar tidak
perlu menatap Sheila.

“Aku tidak pernah bilang begitu,” elak Lucas. Mau tidak mau, Sheila
mengernyit dengan heran saat mendengar ucapannya.

“Tapi malam itu…”

“Aku tidak ingat. Pasti karena demam. Jangan terlalu dipikirkan. Sekarang
biarkan aku menonton, acaranya sedang bagus.”

“Apa yang kau takutkan, Lucas?”

“Manis, kalau ada sesuatu yang aku takuti, yang jelas itu bukan kau,” kali ini
Lucas menoleh padanya sambil meletakkan kaleng soda di tangannya dengan
jengkel.

93 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kalau begitu, tidurlah denganku,” Sheila heran suaranya tidak bergetar saat dia
mengatakannya. Sesaat dia melihat Lucas kehilangan kata-kata dan hanya
menatapnya dengan mata terbelalak.

“Aku tidak tidur dengan perawan.”

Meskipun nada suara Lucas terdengar sinis, namun Sheila dapat melihat
jakunnya yang naik turun sebelum pria itu bicara tadi.

“Aku akan jadi yang pertama,” Sheila berusaha menjaga wajah dan suaranya
tetap datar. “Aku tidak akan menuntut apa pun darimu.”

“Sheila,” Lucas berusaha nampak tenang saat bicara namun usahanya tidak
terlalu berhasil. Tangannya mengepal dan dia harus menarik nafas beberapa kali
sebelum bisa berkata. “Ingat yang kukatakan soal Stockholm Syndrome.”

“Aku tidak sedang mengalami Stockholm Syndrome!”

Lucas terkejut saat melihat ledakan kemarahan Sheila. Gadis itu kini telah
bangkit dari sofa dan berdiri dengan wajah memerah karena berteriak begitu
keras. Lucas ikut berdiri. Ini tidak bagus. Mungkin dia menggunakan cara yang
salah. Namun dia harus membuat Sheila mengerti bahwa mereka tidak bisa
bersama. Lucas adalah kakaknya.

“Sheila, dengarkan aku,” Lucas mengulurkan tangan namun Sheila langsung


menepisnya. Dia terlihat sangat marah dan Lucas melihat bibir bawahnya yang
mulai bergetar. Sheila akan menangis, Lucas mengerang dalam hati. Dia benar-
benar harus mencegahnya. Kombinasi air mata dan tatapan sakit hati tidak akan
sanggup dia hadapi. Apalagi dari seorang gadis yang mati-matian dia hindari
untuk mencegahnya meniduri adiknya sendiri. Dia tidak akan bisa menolak
Sheila. “Perasaanmu padaku hanya sesaat. Kalau kau mengabaikannya,
perasaan itu akan hilang seiring waktu yang berjalan.”

“Tidak,” Sheila menggeleng kuat-kuat saat setetes air mata jatuh ke pipinya.
“Perasaan ini tidak akan hilang, Lucas. Aku mencintaimu.”

Kini Lucas yang menggelengkan kepalanya dengan tidak setuju. “Kita baru
bersama selama beberapa minggu. Itu bukan waktu yang lama. Terlalu cepat
memutuskan bahwa kau mencintaiku.”

94 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sheila hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. Namun ada sesuatu di
matanya. Sesuatu yang tidak dapat ditutupinya. Tiba-tiba Lucas merasa ada
yang tidak beres di sini. Sheila mengetahui sesuatu yang tidak Lucas ketahui.

“Ada yang ingin kau katakan padaku, Sheila?” Suara Lucas berubah rendah dan
berbahaya. Saat Sheila tidak menjawab dan hanya memberinya tatapan putus
asa, seketika itu juga Lucas merasakan perutnya seakan diremas. “Kau tahu
siapa aku?”

Pertanyaan itu di lontarkan dengan sangat lambat dan dingin. Sheila tidak dapat
membendung air matanya lagi dan menutupi wajah dengan kedua tangan sambil
mengangguk. Lucas berusaha mengabaikan rasa tidak nyaman di perutnya saat
dia bertanya lagi dengan lirih.

“Apa kau tahu kalau aku adalah kakakmu?”

Kali ini Sheila menggeleng hingga mengejutkan Lucas. Namun saat Sheila
bicara, keterkejutan itu langsung diganti dengan rasa sedingin es yang menjalari
tulang punggungnya.

“Kau bukan kakakku. Aku bukan anak kandung ayahku. Aku diadopsi saat
masih bayi,” Sheila berkata dengan suara tercekat.

Lucas merasakan pandangannya menggelap. Dia begitu marah hingga rasanya


ingin menghantam sesuatu dengan tangan kosong.

“Selama ini kau tahu. Tunggu dulu. Kau sudah tahu sejak aku muncul di malam
prom sekolahmu.”

Saat Sheila menyingkirkan tangan dari wajah dan mengangguk dengan air mata
berlinang, Lucas merasakan amarahnya naik ke tingkat yang berbahaya. Dia
tertawa getir dan bicara sangat pelan untuk mencegah dirinya sendiri berteriak.

“Jadi selama ini aku yang begitu bodoh.”

Saat Sheila membuka mulut untuk memotong, Lucas mengangkat tangan untuk
mencegahnya bicara.

“Aku memang bodoh. Mengira akan mudah untuk menipu gadis polos
sepertimu. Tapi coba tebak, kau yang berhasil menipuku. Dengan air mata dan
wajah lugumu,” Lucas bertepuk tangan seakan mereka sedang menonton

95 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
pertunjukan yang menarik dan dia menyukainya. “Satu pertanyaan, apakah yang
sekarang asli? Apakah kau benar-benar menangis, Sheila?”

“Lucas…”

“Jadi kau sengaja mengikutiku? Apa yang terjadi kalau aku tidak kembali ke
tempat Madam Bertha? Jangan dijawab, kau pasti telah menyiapkan segalanya.
Ayah akan datang dan membayarmu, kan? Apa ayah yang menyuruhmu
melakukan ini? Dia tidak punya cukup nyali menemuiku langsung sehingga
mengirimmu untuk menyelidiki anak haramnya!” Lucas menggeram pada
kalimat terakhir.

Sheila menggeleng begitu kuat hingga rambutnya menampar wajahnya, “Lucas,


kau salah. Ini tidak seperti yang kau pikirkan.”

“AKU SALAH?!” Lucas berteriak sangat keras hingga Sheila nyaris melompat
dari tempatnya berdiri. Lalu dia bicara lebih pelan namun dengan sorot
berbahaya di matanya. “Hanya satu kesalahanku, terlalu menganggap suci
dirimu. Tapi itu akan segera berubah.”

Lucas mengatakannya tanpa ekspresi dan mata biru sedingin es. Pria itu maju
selangkah dan Sheila mundur saat merasakan aura mengancam dari dalam
dirinya.

“Apa yang kau lakukan?” Sheila melangkah mundur seiring setiap langkah yang
diambil oleh Lucas.

“Hal yang seharusnya kulakukan sejak awal,” Lucas melepas T-Shirt dan
mencampakkannya ke lantai dengan sembarangan.

“Kenapa, Lucas?” Sheila nyaris menangis lagi dan dia menggosok matanya
untuk mencegah air mata yang hampir jatuh.

“Karena aku sudah bersumpah untuk menghancurkan hidup Trevor McAdams.


Kalau itu berarti aku harus merusakmu, maka itu yang akan kulakukan.”

“Kenapa kau begitu membenci ayah?”

Lucas menghentikan langkah saat mendengar pertanyaan penuh kesedihan


Sheila. Dia tertawa keras. Tawa pahit yang menggema di ruangan sunyi itu.
“Kau sudah melihat punggungku, Manis. Berbeda dengan hidupmu yang
sempurna, itu adalah hidup yang harus kujalani sejak kecil. Ayah

96 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
meninggalkanku dan ibu. Dia tidak pernah muncul, satu kali pun, bahkan untuk
mengakui bahwa aku ada. Terlalu sibuk bersenang-senang dengan keluarga
bahagianya! Sementara aku dan ibu…,” dia terengah-engah dan berusaha
mengatur nafasnya sebelum bicara lagi, “Kami hidup seperti di neraka. Apa kau
tahu berapa pukulan yang harus kuterima kalau kekasih ibuku marah? Apa kau
tahu apa yang dia gunakan agar dapat meninggalkan bekas di punggungku? Kau
tidak akan tahu. Kau tidak akan tahu rasanya… saat sabuk itu mencabik
punggungmu…,” Lucas menutupi wajahnya dengan dua tangan. Berharap
tindakannya akan menghapus bayangan mengerikan yang muncul di depan
matanya. Lupakan. Lupakan. Lupakan.

Saat ini, tangisan Sheila adalah satu-satunya suara di ruangan itu. Sheila tidak
tahu kalau Lucas mengalami hal yang seburuk itu. Dan dia yakin ayahnya juga
tidak tahu. Ayahnya tidak akan membiarkan hal itu terjadi bila mengetahui apa
yang telah di alami Lucas.

“Lucas, ayah sangat menyayangimu. Kau harus percaya padaku. Dia…”

Sheila tidak melanjutkan ucapannya dan menjerit ketika tiba-tiba saja Lucas
maju dan mengangkatnya dari lantai. Dia melemparkan Sheila ke tempat tidur
dengan kasar hingga terpelanting beberapa kali sebelum Lucas menindihnya.

“Lucas, jangan! Jangan lakukan ini!”

Namun pria itu tidak peduli dan merenggut pakaiannya. Sheila meronta dan
memukul-mukul Lucas hingga kepalan tangannya terasa kebas. Lucas sama
sekali tidak mencegah maupun menunjukkan ekspresi kesakitan sedikit pun.

“Sudah selesai?” Tanya pria itu saat tinju Sheila mulai melemah dan air mata
yang mengalir di pipinya tidak juga berhenti.

“Please, jangan.”

Akan tetapi Lucas tidak menghiraukan kata-kata penuh permohonan Sheila. Pria
itu begitu marah hingga yang dia pedulikan hanya bagaimana
melampiaskannya. Lucas merobek pakaian dalamnya hingga Sheila telanjang
sepenuhnya di bawahnya. Sheila kembali meronta dan mencakar bahunya.
Jejak-jejak darah kecil terlihat di sana dan Lucas masih tetap tidak
menunjukkan ekspresi apa pun. Seakan dia telah mati rasa terhadap segalanya.

97 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas menciumnya dengan brutal hingga Sheila merasakan perih di bibirnya.
Dia menggigit bibir Lucas dan akhirnya Sheila mendengar pria itu meringis
kesakitan. Namun hal itu tidak mencegah Lucas untuk meneruskan tindakannya.
Sheila menjerit saat Lucas meremas payudaranya dengan kasar hingga
menimbulkan bekas kemerahan di sana. Lucas bahkan tidak memegangi tangan
Sheila dan membiarkan gadis itu melawan dengan segenap kekuatan.

Lucas menciumi leher Sheila dan meraba seluruh tubuhnya. Sentuhannya tidak
lembut dan bermaksud untuk menyakiti. Dia menarik kaki Sheila hingga
terbuka membuat gadis itu langsung menjerit panik dan menangis lebih keras.
Sheila mendengar suara ritsleting yang dibuka, lalu tangisannya bertambah pilu
saat dia merasakan nyeri yang amat sangat di antara kedua kakinya. Lucas telah
merenggut keperawanannya dengan cara yang paling kejam. Pria yang
dicintainya telah memperkosanya.

***

98 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 13

Lucas memasang ritsleting celana jeansnya lalu turun dari tempat tidur untuk
mengambil T-Shirt yang tadi dia lempar. Dia mengenakannya melalui kepala.
Lucas mendengar tangisan lirih Sheila di belakangnya. Dia tidak menoleh.
Seluruh tubuhnya gemetar. Bukan karena kepuasan, tapi lebih mirip sesuatu
yang mendesak ingin segera keluar dari tubuhnya. Dia berjalan keluar dan
membanting pintu. Tidak lagi peduli untuk menguncinya.

Lucas menuruni tangga dan keluar dari gedung apartemennya. Lalu dorongan
itu tidak tertahankan lagi. Dia memuntahkan seluruh isi perutnya di tepi trotoar.
Orang-orang yang tengah lalu lalang melihat ke arahnya dengan jijik tapi dia
tidak peduli. Dia mengelap mulutnya, lalu duduk bersandar dengan kaki
berselonjor. Lucas melarikan jemari ke rambutnya dan merasakan keringat
dingin yang mengalir turun dari pelipisnya.

Dia telah membalas dendam. Kemarahan yang telah dia pendam selama
bertahun-tahun akhirnya mendapat pelampiasan. Tapi kenapa yang dia rasakan
hanya jijik? Kepada dirinya sendiri? Lucas telah menghancurkan harta paling
berharga Trevor McAdams. Dia telah memperkosa Sheila. Seiring dengan
pemikiran itu di kepalanya, Lucas kembali merasakan dorongan untuk muntah.

Kenapa harus Sheila? Mungkin Lucas tidak akan merasa seburuk ini kalau
bukan Sheila yang menjadi korbannya. Sekarang setelah kemarahan Lucas
mulai reda, kejadian tadi berputar dengan cepat di benaknya. Tidak peduli
meski gadis itu menipunya, atau berpura-pura lugu untuk menjeratnya, seberapa
buruk pun Sheila, dia tidak dapat mengingkari satu hal. Dia mencintai Sheila.
Kenyataan itu menghantamnya seperti lelucon yang kejam.

Tadi dia begitu marah sehingga tidak memikirkan tindakannya. Yang ada
dipikirannya hanyalah membalas dendam pada ayah yang meninggalkannya
untuk hidup seperti di neraka. Dan dia melampiaskan dendamnya pada gadis
yang dicintainya. Ya Tuhan, apa yang telah dia lakukan? Sheila adalah seorang
perawan, dan Lucas menidurinya seperti seorang pelacur rendahan. Dia masih
ingat jeritan kesakitan Sheila saat Lucas merobek selaput dara gadis itu. Tanpa
menunggu Sheila siap. Dia tidak dapat membayangkan rasa sakit yang harus
ditanggung Sheila. Dan Lucas yang menyebabkan rasa sakit itu.

Sheila tidak akan pernah memaafkannya. Mungkin memang inilah takdir yang
digariskan padanya. Di tinggalkan oleh orang-orang yang dia cintai dan

99 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menjalani hidup di kegelapan tak berdasar. Namun kali ini, dia tidak dapat
menyalahkan takdir. Karena dia sendiri yang menyebabkan satu-satunya orang
yang dia cintai membencinya. Dan tidak ada yang dapat dia lakukan untuk
mengubahnya.

***

Sheila meringkuk di tempat tidur sambil memeluk dirinya lebih erat. Rasa
dingin yang dia rasakan saat ini bukan karena ketelanjangannya. Begitu juga
dengan rasa nyerinya. Seluruh tubuhnya memang sakit, terutama bagian di
antara kedua kakinya. Tapi keadaan hatinya jauh lebih parah daripada itu. Dia
hancur. Begitu hancurnya hingga dia tidak tahu bagaimana membuat dirinya
utuh kembali.

Dia tidak bisa lagi menangis. Air matanya telah kering ketika Lucas
memperkosanya tadi. Begitu juga dengan suaranya, hanya tinggal isakan lirih
yang tersisa.

Sheila hanya berbaring tak bergerak. Dia merasa dikhianati. Oleh seseorang
yang telah menjadi cinta dalam hidupnya. Sejak dulu. Dia memejamkan mata.
Mengingat ketika pertama kali ayahnya menunjukkan foto pria itu padanya.
Foto Lucas.

Dadanya serasa di tusuk-tusuk. Malaikat itu. Malaikat yang dicintainya telah


mencabik dirinya seperti seorang iblis. Tanpa menunjukkan belas kasihan
sedikit pun. Semua dilakukan karena dendam. Dendam pada ayahnya yang juga
ayah Lucas. Trevor McAdams.

Sheila mengingat pertemuan pertama mereka. Bagaimana dia menjadi begitu


terkejut ketika Lucas muncul di situ. Tidak mungkin dia salah karena ayahnya
tidak pernah berhenti bercerita tentang Lucas sejak dirinya mulai mengerti.
Ayahnya begitu membanggakan Lucas, begitu menyayanginya, meski tidak
dapat mendekat. Ibu Lucas tidak pernah mengijinkannya. Selalu mengancam
akan bunuh diri kalau Trevor McAdams mengatakan pada Lucas siapa dirinya
sebenarnya. Ayahnya mundur teratur, mengingat keadaan ibu Lucas, Melanie,
yang labil karena obat-obatan yang dikonsumsinya. Tapi dia selalu mengamati
Lucas dari jauh. Ayahnya selalu menunjukkan foto Lucas sejak dia masih kecil.
Bercerita dengan penuh kegembiraan bahwa Sheila memiliki seorang kakak di
luar sana. Meski Lucas bukan benar-benar kakaknya.

100 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sheila bukan putri dari Trevor McAdams. Ayahnya telah mengatakan itu sejak
usianya 13 tahun agar Sheila tidak perlu mendengarnya dari orang lain. Trevor
mengadopsinya sejak bayi, karena istrinya tidak dapat memiliki anak
disebabkan oleh kondisinya yang lemah, bahkan sejak awal mereka menikah.
Barbara, istri Trevor sekaligus ibu tiri Sheila, mengidap penyakit jantung sejak
kecil. Hingga akhirnya penyakit itu merenggut hidupnya lima tahun yang lalu.
Sejak itulah ayahnya memberitahu tentang Lucas dan dirinya yang anak angkat.
Namun kenyataan itu tidak mengurangi rasa cinta Trevor pada dirinya. Trevor
selalu membesarkan Sheila seperti anaknya sendiri, anak yang tidak pernah
dapat dimilikinya. Dan Sheila menyayangi ayahnya karena itu.

Sheila tidak pernah iri pada Lucas, meski ayahnya selalu bercerita dengan
penuh cinta tentang putra satu-satunya itu. Sebaliknya, dia jatuh cinta dengan
sosok yang diceritakan ayahnya. Meski mungkin ayahnya bercerita agar Sheila
menyayangi Lucas sebagai seorang kakak, tapi dia tidak dapat mencegah
perasaan yang timbul dalam dirinya. Dia telah jatuh cinta pada Lucas sebelum
dia bertemu dengan pria itu. Hingga di malam prom sekolahnya.

Dia tidak dapat mempercayai matanya sendiri. Akhirnya dia nekat bertanya
pada pria yang saat itu berbicara pada Lucas dan dugaannya terbukti. Dia telah
ratusan kali melihat foto Lucas, sejak pria itu masih kecil hingga dewasa, dan
melihat sosoknya secara langsung membuatnya senang sekaligus gugup. Sheila
begitu penasaran dengan sosok yang selama ini selalu diceritakan padanya,
hingga dia mengabaikan alarm yang berdering di kepalanya setiap Lucas berada
di dekatnya. Dan akhirnya terjerumus ke dalam rencana pria itu.

Sheila berusaha bergerak meski tubuhnya seperti baru saja dipukuli. Dia meraih
selimut di sampingnya dan memakainya untuk menutupi dirinya. Darah masih
mengalir menuruni kakinya ketika dia mencoba berdiri. Sheila berjalan dengan
tertatih-tatih. Dia harus pergi dari sini. Dia tidak sanggup tinggal di sini lagi.
Sebesar apapun cintanya pada Lucas sebelum ini, tidak berpengaruh lagi
padanya. Dia ketakutan. Dan yang menyebabkan ketakutan itu adalah Lucas.

Matanya menangkap benda berwarna hitam di atas meja. Ponsel Lucas. Pria itu
tidak membawanya ketika pergi tadi. Sheila tidak menyia-nyiakan peluang itu.
Dia mengambil ponsel itu dan langsung menekan nomor telepon Jeannie.

“Hai, Lucas. Ada apa?” Suara riang Jeannie menyapanya. Tenggorokannya


tercekat. Sheila berusaha menguatkan diri dan bicara.

101 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Ini aku. Jeannie, bisakah kau datang?”

“Sheila? Ada apa? Kukira kau sedang bersama Lucas,” Jeannie bertanya dengan
bingung. Namun ketika tidak segera mendapat jawaban dari seberang, wanita
itu memanggilnya penuh kecemasan. “Sheila? Kau masih di situ?”

“Jeannie, datang saja. Kumohon.”

Menilai dari suara Sheila yang tidak lazim, Jeannie merasa ada yang tidak beres
dengan gadis itu. Dia tidak bertanya lagi.

“Aku ke sana sekarang.”

Jeannie menutup telepon. Sheila meletakkan ponsel itu kembali. Tadi dia tidak
benar-benar memperhatikan, namun kini matanya menangkap gambar yang ada
di layar ponsel itu. Fotonya bersama Lucas. Di ambil ketika mereka pergi ke
taman hiburan minggu lalu. Dia sedang tertawa bahagia meski Lucas seperti
biasa hanya menunjukkan wajah cemberut. Namun pria itu tidak menunjukkan
keberatannya ketika Sheila mengajaknya berfoto. Sheila memalingkan
wajahnya. Dia akan melupakan semuanya. Sama seperti dia akan melupakan
Lucas.

***

Lucas berjalan gontai menuju apartemennya. Saat ini, dia benar-benar tidak tahu
apa yang dia inginkan. Pikirannya kacau balau. Tiba-tiba membalas dendam
pada ayahnya tidak lagi berarti. Dia hanya ingin Sheila memaafkannya. Kalau
itu mungkin. Dia tidak peduli jika ternyata selama ini gadis itu hanya
diperintahkan oleh ayahnya untuk menyelidiki dirinya. Dia bahkan tidak akan
peduli jika Sheila selama ini berbohong dan pura-pura menyukainya.
Perbuatannya pada Sheila telah menghapus segala kesalahan apa pun yang telah
gadis itu lakukan. Lucas hanya berharap Sheila mau memaafkannya. Dan tidak
merasa jijik pada dirinya. Meskipun saat ini itulah yang dia rasakan terhadap
dirinya sendiri.

Lucas berhenti di depan pintu apartemennya. Ragu-ragu sebelum masuk ke


dalam. Dia akan menerima apa pun. Bahkan jika Sheila berteriak dan
memakinya. Dia hanya tidak akan sanggup bertahan kalau gadis itu berkata
bahwa dia membenci Lucas. Yang dia yakin pasti itu yang di rasakan Sheila
saat ini kepadanya.

102 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia memutar gagang pintu dan masuk ke dalam. Alih-alih melihat Sheila, yang
dia temukan adalah Jeannie yang sedang mengganti sprei.

“Di mana dia?”

Jeannie menegang saat mendengar kedatangan Lucas. Dia menoleh perlahan


dan Lucas melihat bara api di matanya. Jeannie melempar benda pertama yang
dia lihat, sebuah mug, dan melemparkannya ke arah Lucas. Benda itu
menghantam dinding di belakang Lucas dan pecah berkeping-keping. Jeannie
menghampirinya dengan langkah-langkah lebar dan mendorong Lucas penuh
kemarahan.

“Hanya itu yang bisa kau katakan?! Setelah apa yang kau lakukan padanya! Dia
bahkan tidak sanggup bicara saat aku datang ke sini!”

Jeannie berteriak dan menghujaninya dengan pukulan bertubi-tubi. Baru


pertama kali Lucas melihatnya marah hingga kehilangan kendali seperti ini.

“Teganya kau, Lucas! Dia mencintaimu! Dan kau bertingkah seperti binatang
padanya. Sheila memar hampir di seluruh tubuhnya. Dia… dia masih berdarah
ketika aku datang.” Wajah Lucas langsung seputih kertas saat mendengarnya.
Setan macam apa yang telah merasukinya hingga berbuat sekejam itu pada
Sheila? Kata-kata Jeannie selanjutnya tidak membuat perasaan Lucas menjadi
lebih baik. “Oh Tuhan… gadis malang itu bahkan tidak bisa lagi menangis. Dia
hanya diam seperti patung saat aku membersihkan dirinya.”

Suara Jeannie bergetar dan dia tidak bisa lagi menahan air matanya. Lucas
mencengkeram kedua bahunya dan bertanya tegas.

“Di mana dia?” Lucas memberi penekanan pada setiap kata yang di
ucapkannya. Jeannie menatapnya dengan penuh kebencian saat bicara.

“Aku membiarkannya pergi,” dia mendesis marah, “Dia tidak bisa berada disini
lagi. Dia tidak bisa bersamamu. Mendengarku menyebut namamu saja membuat
Sheila menjerit seperti orang gila. Aku harus memberinya obat penenang agar
bisa membawanya pergi dari sini.”

“Ke mana kau membawanya?” Cengkeraman Lucas di bahu Jeannie makin erat
dan suaranya terdengar tidak sabar.

“Pulang,” Jeannie berkata singkat.

103 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas melepaskannya dan bergegas pergi. Namun Jeannie menarik tangannya.
Dia menoleh dengan kesal.

“Lucas, kau tidak mengerti. Dia tidak ingin bertemu denganmu. Kau telah
menghancurkannya. Hati dan tubuhnya,” Jeannie menyodorkan sprei bernoda
darah yang tadi dipegangnya. Lucas terpaku dan kembali merasa muak pada
dirinya sendiri saat melihatnya.

“Jauhi Sheila. Selamanya.”

***

Jessica menatap sahabatnya. Tidak sekalipun dia pernah melihat Sheila sekacau
ini. Seorang wanita bernama Jeannie yang membawa Sheila ke tempatnya. Dia
tidak mengenalnya, wanita itu terlalu tua untuk menjadi teman Sheila. Tapi
tampaknya Sheila mempercayai wanita itu dari cara dia bersandar dan
membiarkan Jeannie membawanya. Saat itu, dia nyaris tidak mempercayai
matanya sendiri saat melihat keadaan Sheila. Gadis itu mengenakan gaun katun
sederhana dengan jaket di atasnya. Rambutnya di kepang satu dengan rapi,
seakan orang lain mendandaninya dan berusaha menutupi keadaannya yang
kacau. Namun dengan mata sembab, wajah kuyu, dan bibir bengkak, Jessica
tahu telah terjadi sesuatu pada Sheila.

Dia telah bertanya, tapi Sheila hanya menggeleng dan tidak mau bercerita.
Jessica sering memergoki Sheila menangis saat sahabatnya itu mengira tidak
ada yang melihat. Meski hanya isakan yang nyaris tanpa suara, tapi Jessica
masih dapat mendengarnya. Sudah hampir seminggu Sheila berada di
rumahnya, dan Jessica sudah tidak tahan lagi. Dia harus tahu apa yang terjadi.

“Sheila, tidakkah kau ingin menceritakan sesuatu padaku?” Dia duduk di


sebelah Sheila yang sedang berada di balkon sambil menatap ke kejauhan.

“Tidak ada apa-apa, Jess. Aku hanya rindu pada ayah,” Sheila tersenyum samar.
Namun matanya sama sekali tidak ikut tersenyum. Bahkan, Jessica tidak
melihat binar yang biasanya menghiasi mata Sheila.

“Kau ingin aku menghubungi ayahmu?” Tawar Jessica.

Sheila menggeleng, “Aku akan menunggunya pulang.”

Jessica menatapnya penuh selidik, “Di mana ponselmu, Sheila?”

104 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Sudah kubilang aku menghilangkannya,” Sheila mengalihkan pandangan
darinya dan kembali menatap ke luar balkon.

“Sebelum atau setelah ke tempat Bibi Sophie?”

“Aku tidak ingat.”

Sheila pembohong yang buruk. Jessica tahu saat ini sahabatnya tengah
berbohong karena dia telah mengenalnya hampir seumur hidup.

“Di mana kau berada selama ini, Sheila? Aku tahu kau tidak tinggal di tempat
Bibi Sophie. Dan aku baru pertama kali melihat teman yang membawamu ke
sini. Jangan berbohong dan bilang dia adalah saudara jauhmu atau apa pun.”

Sheila masih tidak menjawab bahkan tidak menoleh padanya.

“Apakah ini ada hubungan dengan pria bernama Lucas itu?”

Kali ini Sheila membalas tatapan Jessica dan dia melihat matanya yang berkaca-
kaca. “Please, bisakah kita tidak membicarakannya? Aku akan benar-benar
menghargai kalau kau tidak bertanya lagi, Jess.”

“Jadi memang ada hubungannya dengan dia,” Jessica berusaha agar suaranya
tidak terdengar terlalu marah. Dia belum pernah bertemu dengan pria bernama
Lucas ini, namun dia telah membencinya karena melihat penderitaan yang
disebabkan pria itu pada Sheila.

“Aku ingin tidur,” Sheila berdiri seketika itu juga. Jessica mengikutinya ke
dalam apartemen saat Sheila berjalan masuk ke sana.

“Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi.”

Sheila menghentikan langkahnya dan menoleh pada Jessica. “Tapi dengan satu
syarat,” lanjut Jessica. Sheila mengerutkan alisnya penuh tanya. “Kau harus
pergi keluar. Bersenang-senang untuk menghilangkan apa pun yang
mengganggu pikiranmu.”

“Tapi…”

“Ayolah. Aku juga sudah bosan di rumah terus,” rengek Jessica.

“Baiklah,” Sheila mendesah pasrah, “Ke mana?”

105 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Belanja,” jawab Jessica otomatis, “Kau benar-benar harus berhenti
mengenakan gaun murahan itu.”

Sheila menunduk dan mengamati gaun kuning sederhana yang sedang


dikenakannya. Dan entah kenapa, dia tidak suka mendengar nada mencemooh
Jessica terhadap gaun yang diberikan Lucas untuknya. Ternyata meski pria itu
telah menyakitinya begitu dalam, dia masih ingin membelanya. Sungguh
menyedihkan.

“Ayo cepat, sebelum kau berubah pikiran,” Jessica tidak membuang-buang


waktu dan langsung menyambar tas.

Sheila membiarkan dirinya ditarik keluar oleh sahabatnya. Mungkin Jessica


benar. Dia harus berhenti terpuruk dan berusaha melupakan Lucas. Karena satu
hal yang pasti, Sheila tidak sanggup lagi bertemu pria itu. Sudah tidak ada lagi
ruang untuk Lucas di hatinya.

***

Lucas datang lagi ke rumah itu. Entah untuk ke berapa kalinya. Meskipun dulu
dia pernah bersumpah untuk tidak kembali lagi ke sana, namun dia tidak tahu
harus mencari Sheila ke mana lagi.

Security yang berjaga di depan pintu gerbang langsung menatapnya dengan


jengkel saat dia datang lagi. Lucas dapat mengerti hal itu, karena setiap datang
dia selalu bertanya hal yang sama dan berkali-kali juga mendapat jawaban yang
sama. Security itu, yang belakangan ia ketahui bernama Billy, bahkan
menjawab pertanyaan tak terucap Lucas sebelum dia benar-benar berhenti di
depannya.

“Miss Sheila belum pulang.”

Lucas mendesah panjang. “Apa tidak ada yang bisa memberitahuku di mana dia
berada?”

“Kami tidak memberi tahu keberadaan majikan kami pada sembarang orang,”
Billy menjawab dengan dingin. Lucas sudah siap berbalik pergi saat mendengar
suara Billy, “Dan tolong jangan datang setiap hari. Tinggalkan saja nomor
telepon dan saya akan menghubungi anda begitu Miss Sheila ada di rumah.”

Lucas mendengus dengan tidak percaya. Seakan Billy mau repot-repot


melakukan itu untuknya, dia mencibir dalam hati. Dia baru berjalan beberapa

106 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
langkah saat sebuah mobil BMW hitam melintas di sebelahnya. Dia membeku.
Lalu menurunkan topinya lebih dalam dan cepat-cepat pergi dari situ.
Sayangnya, dia tidak cukup cepat. Lucas mendengar mobil itu mendadak
berhenti lalu seseorang membuka pintu. Dan suara seorang pria yang
memanggil namanya.

“Lucas.”

Dia pura-pura tidak mendengar dan berjalan lebih cepat. Terdengar suara orang
berlari di belakangnya. Dia tidak akan lari untuk menghindar. Dia bukan
seorang pengecut. Lucas membalikkan badan dan memasang ekspresi sedatar
mungkin pada wajahnya. Mata biru gelapnya sewarna badai.

Seorang pria setengah baya, berusia sekitar akhir empat puluhan, menatapnya
dengan tercengang. Setelan mahalnya buatan Italia dan dijahit khusus agar pas
di tubuhnya yang masih tegap. Rambut pirangnya telah dihiasi helai-helai putih
di bagian pelipis. Lucas seperti melihat dirinya sendiri di masa tua. Oke,
mungkin tidak terlalu tua. Karena Trevor McAdams jelas terlihat lebih muda
dan masih sangat bugar di usianya saat ini.

Trevor McAdams masih menatapnya tanpa berkata apa-apa seakan-akan sedang


trans. Jadi, Lucas yang lebih dulu membuka percakapan.

“Hai, Ayah,” suara Lucas begitu tenang dan tanpa emosi, seperti raut wajahnya
saat ini.

Ayahnya seakan baru terbangun dari tidur dan mengerjapkan mata beberapa
kali. Hampir tidak percaya bahwa Lucas berdiri di depannya dan bicara tanpa
meneriakinya.

“Hallo,” sosok pria penuh percaya diri itu tiba-tiba terlihat rapuh di hadapannya.
Wajahnya diliputi berbagai macam emosi hingga Lucas takut ayahnya tiba-tiba
akan menghambur ke arahnya dan memeluknya. “Bagaimana kabarmu?”

“Baik,” jawab Lucas acuh.

Lalu hening. Ayahnya tampak salah tingkah dan tidak tahu harus berkata apa
lagi. Lucas tahu suasana sangat canggung saat ini, tapi dia tidak mau repot-repot
untuk memecahkan kecanggungan itu. Setelah keheningan yang cukup
menyiksa, akhirnya Trevor McAdams buka suara lagi.

“Kau datang untuk bertemu denganku?”

107 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas mendengar harapan dalam suaranya, dan dia akan mematahkannya
seketika itu juga. Sama seperti yang dilakukan ayahnya pada Lucas sejak dulu.

“Dia mencari Miss Sheila.”

Billy, si security, tiba-tiba muncul dan berkata angkuh. Tukang ikut campur,
Lucas menggeram dalam hati.

“Sheila?” Ayahnya tampak bingung, “Kenapa kau mencarinya? Tunggu dulu.


Sejak kapan kalian saling mengenal?”

Kalau ayahnya sedang berakting, Lucas yakin dia layak mendapat Academy
Award. Namun Trevor McAdams terlihat benar-benar bingung.

“Bukan kau yang menyuruh dia untuk menyelidikiku?” Lucas berharap


suaranya tetap datar dan tanpa emosi. Dia tidak ingin ayahnya tahu bahwa dia
sedang sangat gugup menunggu jawabannya. Dan jawaban ayahnya akan
menentukan apakah dia telah mengacau sedemikian parah hingga tidak dapat
diperbaiki lagi.

“Menyelidiki?” Ayahnya hanya bisa mengulangi kata-kata Lucas dengan wajah


tidak mengerti. Lalu dia bicara lagi dengan nada menuntut. Penjelasan lebih
tepatnya. “Apa yang terjadi selama aku di Perancis?”

Resmi sudah. Lucas telah mengacau. Dengan sangat buruk. Sheila tidak pernah
berbohong padanya. Gadis itu selugu dan sepolos yang selama ini
diperlihatkannya. Sebelum Lucas menghancurkannya. Dadanya serasa ditusuk-
tusuk. Kenapa dia selalu menaruh curiga dan sulit mempercayai orang lain?
Bahkan gadis yang dicintainya.

Penyebabnya ada di hadapannya. Ayahnya telah membuat Lucas tidak lagi


percaya pada orang lain. Semua karena pria yang telah meninggalkan dirinya
dan ibunya. Tiba-tiba dia ingin menertawakan dirinya sendiri. Apa yang dia
pikirkan? Kalau memang harus ada yang disalahkan atas kejadian ini, dialah
orangnya. Tidak ada yang memaksanya untuk merusak Sheila. Dia
melakukannya tanpa dorongan siapapun. Kecuali dendam yang telah bercokol
dihatinya sejak lama.

Dia membuang-buang waktu. Berdiri di sini bersama ayahnya sama sekali tidak
berguna. Dia harus menemukan Sheila. Gadis itu harus memaafkannya. Bahkan
jika Lucas harus bersimpuh di kaki Sheila, dia akan melakukannya. Dia tidak

108 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
akan sanggup hidup dengan beban rasa bersalah ini selamanya. Egois memang.
Tapi dia tidak peduli. Dia akan membuat Sheila kembali padanya
bagaimanapun caranya.

Lucas berbalik pergi tanpa mengucapkan apa pun lagi. Tidak mempedulikan
ayahnya yang memanggilnya berkali-kali. Dia sudah tidak punya urusan dengan
pria itu. Menurut Lucas, ayahnya sudah mati sejak pria itu melangkahkan kaki
pergi meninggalkan dia dan ibunya.

“Lucas, kembali!” Lucas mendengar nada panik dalam suara ayahnya. Dia
berusaha mengabaikannya dan terus berjalan. “Aku bisa mengantarmu pada
Sheila.”

Lucas berhenti melangkah. Kemarahan mengumpul di dada dan naik hingga ke


ubun-ubunnya. Saat dia menghadapi ayahnya, wajah Lucas tidak lagi datar,
namun berkerut penuh amarah.

“Semudah itu?” Dia mendengar suaranya sendiri yang mirip geraman, “Kau
bahkan tidak tahu kenapa aku mencarinya. Kau tidak tahu bagaimana cara kami
bertemu. Kau tidak tahu apa yang telah dia alami karena aku,” Trevor
McAdams menatapnya tanpa berkedip. “Dan kau,” Lucas tidak dapat
mencegahnya. Ayahnya turut andil dalam kekacauan ini, sejak awal.
“Bagaimana kalau ternyata aku berniat jahat padanya? Kau akan
melemparkannya padaku begitu saja? Kau anggap dia apa, hah?! Satu lagi anak
yang siap kau korbankan?!”

Lucas mengakhiri semburan amarahnya dengan nafas tersengal. Ayahnya


tampak benar-benar menderita mendengar kata-katanya.

“Lucas, aku tidak akan pernah mengorbankan dirimu atau Sheila demi apa pun.
Aku mencintai kalian berdua.”

Lucas benar-benar ingin meledak tertawa saat ini. Begitu banyak kata cinta
yang diucapkan padanya dalam beberapa hari ini daripada yang dia terima
selama 23 tahun hidupnya.

“Apa kau selalu mengabaikan orang yang kau cintai? Seperti menyingkirkan
mereka dari hidupmu seakan mereka tidak pernah ada,” Lucas mendengar
suaranya sendiri yang bergetar saat bicara. Brengsek. Dia tidak akan
membiarkan emosi menguasai dirinya. Dia telah berlatih cukup lama untuk
menghadapi hari ini. Hari di mana dia bisa tertawa penuh kepuasan di depan

109 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
wajah Trevor McAdams saat melihat pria itu hancur berantakan di depannya.
Namun semuanya telah melenceng dari yang dia rencanakan. Sheila telah
merubah segalanya.

Gadis itu telah memberi tujuan dalam hidup Lucas. Dan saat ini, dia benar-
benar terkejut bahwa dia sungguh-sungguh tidak peduli lagi pada balas
dendamnya. Meski bukan berarti dia akan memaafkan ayahnya begitu saja.

“Kau salah paham, Lucas. Aku benar-benar tidak punya pilihan. Keluargaku
telah terikat pertunangan dengan keluarga Barbara, mendiang istriku, sejak
lama. Aku tidak bisa meninggalkannya. Dia lemah dan sakit-sakitan sejak kecil.
Bahkan kami tidak bisa memiliki anak karena kondisinya. Ibumu wanita yang
mandiri dan kuat…”

“Ibuku jadi pecandu sejak kau pergi dan mati karena obat-obatan. Kau salah,
Ayah. Dia tidak sekuat itu,” kegetiran mewarnai suara Lucas. Ayahnya hanya
menatap Lucas dengan tidak berdaya.

“Aku tahu.”

“Kau tahu?! Kau tahu tapi tidak berbuat apa-apa?! Bahkan untuk melindungi
anakmu satu-satunya dari…”

Lucas tidak sanggup bicara lagi. Matanya terasa panas hingga dia harus
mengerjap beberapa kali agar dapat melihat ayahnya dengan jelas.

“Aku tidak bisa. Ibumu selalu mengancam akan bunuh diri kalau aku sampai
mengambilmu darinya. Dia sedang labil dan aku tidak berani menguji kata-
katanya,” ayahnya nampak sangat frustasi dan menyapukan kedua tangan pada
rambut pirangnya. Sekarang Lucas tahu darimana kebiasaannya berasal.

Lucas tidak ingin mendengar lagi. Tidak ada penjelasan apa pun dari ayahnya
yang dapat membuat dia memaafkan begitu saja. Fisiknya telah terluka begitu
parah. Belum lagi jiwanya.

“Aku harus pergi,” kali ini Lucas benar-benar berjalan cepat tanpa menoleh
lagi.

“Apapun yang terjadi antara kau dan Sheila, aku yakin kau tidak datang untuk
menyakitinya,” dia mendengar ayahnya berkata meski tidak mengejarnya.

110 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Terlambat. Lucas telah menyakiti Sheila dan dia yakin ayahnya tidak akan
berkata seyakin itu kalau dia tahu apa yang telah Lucas lakukan. Lucas
menghentikan langkah dan menoleh sedikit.

“Di mana dia?”

“Dia di apartemen Jessica, sahabatnya.”

“Berikan alamatnya padaku.”

“Aku bisa mengantarmu padanya.”

Lucas menggeleng tegas, “Berikan saja alamatnya.”

Ayahnya menghela nafas panjang sebelum meraih pena di sakunya lalu


menuliskan alamat di secarik kertas kecil. Dia memberikannya pada Lucas yang
tidak membalas tatapannya sama sekali.

“Maafkan aku, Lucas. Atas segalanya.”

Lucas pergi tanpa berkata-kata. Berusaha tidak mempedulikan nyeri yang


berkumpul di dada karena kata-kata ayahnya.

***

111 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 14

Lucas menatap bangunan berdinding bata di hadapannya. Sejenak dia ragu.


Bukan. Dia takut. Takut kalau dia mengetuk pintu itu lalu bertemu Sheila, gadis
itu akan muncul dan berkata bahwa dia membenci Lucas. Bahwa dia tidak dapat
memaafkan Lucas. Lucas yakin dia akan hancur kalau hal itu terjadi. Tapi dia
tidak dapat berbuat apa-apa. Semua karena kesalahannya sendiri. Namun dia
tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi kalau dia tidak menemui Sheila.
Bisa saja gadis itu telah memaafkannya. Dia tersenyum miris. Harapannya
sungguh terlalu tinggi. Setidaknya dia bisa berpegangan pada harapan tipis itu.
Dia memang bukan pengecut, tapi dia tetap butuh sesuatu untuk mendorong
keberaniannya.

Lucas memencet bel. Telapak tangannya berkeringat karena gugup. Tidak


berapa lama, seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul ketat muncul
membukakan pintu.

“Cari siapa?” Tanya wanita itu dengan senyum hangat di bibirnya.

“Aku ingin bertemu dengan Jessica Walter. Apakah dia ada?” Ekspresi wajah
Lucas yang tenang sangat bertentangan dengan detak jantungnya yang berpacu
seperti kuda liar. Dia sengaja berpura-pura mencari teman Sheila itu, karena
kalau dia langsung menanyakan Sheila, bisa saja gadis itu langsung bisa
menduga kedatangannya dan langsung kabur sebelum bertemu dengannya.
Lucas hanya berharap semoga sahabat Sheila ini bisa diajak bekerjasama dan
membiarkan dirinya menemui Sheila.

“Aku akan mengeceknya dulu. Bisakah kau menunggu di sini? Karena aku tidak
dapat membiarkanmu masuk sebelum penghuni di sini mengijinkan,” wanita itu
tersenyum meminta maaf. Lucas balas tersenyum tipis.

“Tidak masalah. Aku akan menunggu.”

Pintu di depannya ditutup kembali dan dia berdiri dengan cemas sambil
memasukkan tangan ke dalam saku celana. Inilah saatnya. Lucas sudah
menyiapkan berbagai macam bujukan bahkan kalau perlu ancaman agar Jessica
membiarkannya bertemu Sheila. Dia akan sangat memaksa kalau perlu. Pintu
kembali terbuka dan Lucas langsung membuka mulut. Siap dengan rentetan
kata-kata yang sudah berada diujung lidahnya. Namun dia hanya bisa terdiam
saking terkejutnya.

112 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Jessica sedang per…,” kata-kata Sheila seketika terputus saat melihat pria di
hadapannya. Wajah Sheila langsung pucat seperti mayat. Dia berbalik untuk lari
dan saat itu juga Lucas meraih pergelangan tangannya. Sheila menepisnya
dengan keras. Seakan tidak tahan dengan sentuhan itu. Tangannya tersilang di
depan dada untuk melindungi diri.

“Sheila…”

“Mau apa kau?” Suara Sheila seperti tercekik dan badannya gemetar dari ujung
kepala hingga ujung kaki. Pemandangan itu membuat Lucas sakit lebih daripada
bila seseorang menikamkan belati ke dadanya.

“Aku ingin bicara.”

Lucas maju selangkah dan Sheila mundur dengan waspada. Dia memeluk
dirinya sendiri makin erat, siap jika Lucas akan kembali menyakitinya. Lucas
tidak akan pernah menyakiti Sheila. Tidak lagi. Dia telah mendapat pelajaran
dari pengalamannya yang terakhir. Kehilangan gadis itu membuatnya lebih
menderita dari yang Sheila ketahui.

“Please, jangan mendekat.”

Lucas dapat mendengar ketakutan dalam suara Sheila dan nyeri di dadanya
makin menjadi-jadi.

“Aku tidak akan menyakitimu, Sheila,” Lucas berkata sendu. Dia dapat melihat
bahwa Sheila tidak mempercayai kata-katanya. “Aku hanya ingin minta maaf.”

“Kau sudah dimaafkan,” Sheila berkata cepat, “Sekarang pergilah.”

Lucas kembali mendekatinya hingga Sheila mundur lebih jauh. “Kau takut
padaku?”

Sheila menggeleng tanpa melepaskan pandangannya dari Lucas, seakan takut


pria itu sewaktu-waktu akan menerkamnya. Sangat bertentangan dengan
penyangkalannya. Lucas menelan ludah dengan susah payah. Berharap suaranya
tetap tenang saat bicara lagi.

“Apakah aku tidak termaafkan, Sheila?”

“Kau sudah dimaafkan.”

113 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kau bersungguh-sungguh? Atau kau hanya mengatakannya agar aku cepat
pergi?”

Sheila tidak menjawab dan hanya menggigit bibir bawahnya. Dia takut. Takut
kalau dia tidak bilang kalau telah memaafkan Lucas, pria itu akan marah dan
berbuat di luar kendali. Sheila telah merasakan dampak kemarahan Lucas. Dia
tidak ingin mengalaminya lagi.

“Bisakah kau pergi sekarang? Aku sedang tidak enak badan dan ingin
beristirahat,” nada suara Sheila memohon namun Lucas mengabaikannya. Dia
harus mendapat jawaban sebelum pergi dari sini.

“Masihkah kau mencintaiku?”

Sheila merasakan dorongan untuk menjerit dan tertawa sekaligus saking


frustasinya. Berani-beraninya Lucas menanyakan hal itu setelah yang pria itu
lakukan padanya. Kalau memang masih ada cinta pada dirinya untuk Lucas,
maka dia adalah gadis yang sangat bodoh. Sayangnya, dia adalah gadis paling
idiot sedunia.

“Aku tidak pernah mencintaimu. Kau benar. Yang kurasakan hanya Stockholm
Syndrome. Perbuatanmu padaku telah menyadarkanku,” Sheila berusaha berdiri
setegak mungkin saat mengatakannya. Padahal kakinya begitu lemas dan yang
dia inginkan saat ini hanya pegangan agar tetap bisa berdiri.

“Aku mencintaimu.”

“Itu tidak mengubah apapun, Lucas,” Sheila berkata sedingin mungkin. Dia
tidak peduli apakah Lucas berkata jujur atau tidak. Yang jelas, sekarang dia
hanya ingin Lucas pergi karena kehadiran pria itu kembali membuka luka yang
telah berusaha dia tutupi selama ini.

“Kau benar. Itu tidak mengubah kenyataan,” senyum yang tersungging di bibir
Lucas terlihat sangat sedih. Sheila berusaha tidak mempedulikannya.
“Setidaknya, bisakah kau memaafkanku?”

Sheila tidak tahan lagi. Dia benar-benar ingin Lucas menyingkir dari
hadapannya. Keberadaannya saat ini terlalu menyakitkan dan Sheila tidak
sanggup menanggungnya.

“Aku tidak bisa memberi maaf pada orang yang kubenci.”

114 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ekspresi yang ditampakkan Lucas seakan ada seseorang yang menghantamnya.
Darah menghilang dari wajahnya dan dia terlihat sangat kesakitan. Sheila
memeluk dirinya lebih erat hingga kuku-kuku jari tangannya menusuk
lengannya dengan menyakitkan. Kalau Lucas tidak segera pergi, dia bisa
menangis saat ini juga. Tidak. Dia tidak ingin Lucas melihatnya. Dia tidak ingin
Lucas tahu bahwa pria itu masih memberi pengaruh yang begitu besar pada
dirinya.

“Aku tidak akan mengganggumu lagi,” suara Lucas terdengar parau hingga
Sheila hampir tidak mengenalinya, “Selamat tinggal.”

Saat Lucas pergi, Sheila langsung tersungkur di lantai. Pria itu meninggalkan
pintu tetap terbuka namun Sheila tidak peduli. Dia memeluk lututnya dan
menangis. Rasanya begitu menyakitkan. Berusaha membenci orang yang kau
cintai. Tapi ini lebih baik. Dia belum bisa memaafkan Lucas. Dan dia tidak tahu
apakah dia bisa.

***

Lucas berjalan meninggalkan gedung apartemen itu seperti mayat hidup. Dia
tidak merasakan apa-apa. Perkataan Sheila membuatnya kebas. Gadis itu
membencinya. Saat Sheila mengatakannya, rasanya seperti seluruh tulang dalam
tubuhnya dicabut keluar. Dia sendiri tidak yakin apa yang masih dapat membuat
dirinya bisa berdiri.

Lucas tahu tidak akan mudah bagi Sheila untuk memaafkan dirinya setelah apa
yang dia lakukan. Dia bahkan rela berlutut dan memohon maaf di kaki Sheila,
tapi Lucas tahu tidak akan ada yang berubah. Lucas dapat melihat ketakutan dan
kebencian yang terpancar di mata Sheila saat melihatnya. Lucas telah
menyakitinya terlalu dalam. Bahkan dia tidak pantas untuk mendapat maaf dari
Sheila.

Dia tidak tahu lagi. Seperti dunia sedang runtuh di hadapannya. Lucas tidak
pernah merasa sehancur ini. Bahkan ketika dia tahu ayahnya tidak akan pernah
datang untuk menolongnya, Lucas tidak pernah merasa sesakit ini.

Lucas berjalan tanpa arah. Dia tidak mendengar teriakan-teriakan di sekitarnya


sampai sudah terlambat. Lucas hanya sempat melihat sekilas mobil berwarna
silver itu. Dia tidak sempat menghindar. Pengemudi mobil itu berusaha
membanting setir agar tidak menabrak dirinya, namun sudah terlambat. Lucas
merasakan nyeri yang amat sangat di bagian mobil itu menabraknya. Tubuhnya
115 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menghantam kap dan kaca mobil itu hingga retak parah, sebelum akhirnya dia
mendarat di aspal dengan keras. Lucas terbaring di jalanan itu dengan kaki yang
terasa remuk dan sakit yang tak tertahankan di seluruh tubuhnya. Dia merasakan
cairan hangat mengalir keluar melalui lubang hidung dan lebih banyak lagi yang
keluar dari belakang kepalanya.

Apakah tubuhnya sudah hancur? Apakah dia akan mati? Banyak wajah muncul
di depannya. Banyak suara yang bicara di sekelilingnya. Namun semua hanya
tampak seperti bayangan buram dan dengungan di telinganya. Kegelapan mulai
menguasainya. Memanggil-manggilnya untuk datang dan tenggelam di sana.
Lucas mulai menyerahkan dirinya pada kegelapan itu, namun sebelum dia
benar-benar terhanyut, dia melihat Sheila yang bersimbah air mata. Wajah gadis
itu terlihat begitu menenangkan. Sheila mengatakan sesuatu padanya, tapi Lucas
sudah tidak dapat mendengarnya lagi. Tidak apa-apa. Setidaknya dia melihat hal
yang paling dia sayangi sebelum meninggalkan dunia ini. Dia bisa mati dengan
tenang sekarang. Dengan pemikiran itu, Lucas jatuh ke dalam tidur yang damai
dan tidak merasakan apa-apa lagi.

***

Sheila menghapus air mata di wajahnya dengan punggung tangan. Menangis


tidak akan mengubah apa pun. Dia berdiri untuk menutup pintu yang dibiarkan
Lucas terbuka lebar saat pergi. Dia baru saja sampai di ambangnya saat melihat
kejadian itu. Darah langsung terkuras dari tubuhnya ketika dia melihat Lucas
terpelanting dan mendarat dengan keras setelah mobil itu menabraknya. Sheila
mendengar banyak jeritan. Namun pikirannya sudah begitu kalut. Dia bahkan
tidak sadar kalau dirinya ikut menjerit. Yang dia tahu hanyalah bahwa dia harus
menghampiri Lucas secepatnya.

Orang-orang mulai berkerumun dan turun ke jalan melihat kejadian itu. Sheila
berlari kencang menyeberangi jalanan di depannya dan berusaha menembus
kerumunan orang. Teriakan di mana-mana dan banyak suara di sekelilingnya.

“Ambulance! Seseorang telepon ambulance!”

“Apakah dia mati?”

“Aku melihatnya. Kukira aku sedang melihat malaikat ketika pria itu
menyeberang. Aku tidak dapat melepaskan pandangan darinya hingga baru
sadar bahwa mobil itu berada terlalu dekat dengannya.”

116 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Mobil itu menabraknya!”

“Tidak. Pria itu menyeberangi jalan tanpa melihat sekelilingnya. Dia hanya
menunduk tanpa melihat ke arah lain.”

Pengemudi mobil silver itu turun dari mobilnya. Wajahnya begitu panik dan
ketakutan ketika melihat pria yang ditabraknya, sedang berbaring berlumuran
darah di tengah jalan.

“Aku… aku sudah menelepon ambulance. Dia… dia muncul entah darimana.
Aku sudah berusaha menghindar. Aku bahkan tidak mengemudi terlalu cepat
tapi aku masih tidak dapat mencegah diriku menabraknya. Dia sudah terlalu
dekat ketika aku menyadarinya.”

Sheila mendengar suara-suara itu namun tidak dapat menyimaknya. Dia harus
menghampiri Lucas. Dia harus menghampiri Lucas. Seseorang menghalanginya
saat dia berusaha mendekati Lucas.

“Aku… aku keluarganya,” dia berkata terbata-bata. Dia tidak tahu harus bilang
apa lagi. Orang itu melihatnya dengan prihatin. Melihat air mata yang tidak
berhenti mengalir di pipinya dan wajahnya yang begitu kalut. Orang itu
melepaskannya dan Sheila langsung berlutut di samping tubuh Lucas, masih
tidak menyadari air matanya yang terus mengalir.

Darah membasahi aspal di bawahnya, membentuk kolam yang makin lama


makin membesar. Begitu banyak darah yang keluar dari kepalanya.
Menciptakan kekontrasan yang sangat mencolok dengan rambut pirang Lucas.
Yang kini mulai berubah warna menjadi merah.

Bagian samping tubuh Lucas juga mengeluarkan darah. Merembes hingga


menembus jaketnya. Salah satu kaki Lucas bengkok ke arah yang aneh, namun
pria itu masih sadar. Setidaknya Sheila melihat mata Lucas yang setengah
terbuka.

Lucas berusaha mengatakan sesuatu namun Sheila mencegahnya. Dia


meletakkan tangannya di atas jantung Lucas, berdoa semoga bagian tubuh itu
tidak akan berhenti berdetak. Sheila merasakan degup jantung Lucas. Dan dia
tahu bahwa detaknya makin lemah seiring berjalannya waktu.

“Jangan bicara. Bantuan akan segera datang. Kau akan baik-baik saja.”

117 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sheila tidak tahu itu. Tapi dia sungguh-sungguh berharap bahwa kata-katanya
benar. Dia tidak bisa kehilangan Lucas. Dia tidak akan sanggup. Lucas masih
membuka mulut seperti akan bicara namun tidak ada suara yang keluar. Sheila
mendekatkan wajahnya ke wajah Lucas. Setetes air matanya jatuh ke pipi pria
itu seperti butiran hujan.

“Aku memaafkanmu. Aku mencintaimu, Lucas. Aku akan selalu mencintaimu.”

Sheila melihat Lucas tersenyum tipis sebelum akhirnya benar-benar


memejamkan mata. Dan dia langsung menangis keras saat tidak lagi merasakan
detak jantung Lucas di bawah tangannya.

***

118 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 15

Jessica berlari menyusuri lorong rumah sakit itu dengan tergesa-gesa. Matanya
mencari-cari sosok seseorang saat akhirnya tiba di tempat tujuan. Tidak butuh
waktu lama untuk menemukannya. Orang yang dicarinya sedang berdiri
menatap jendela di hadapannya dengan rambut kusut dan baju yang berlumuran
darah di bagian depan.

Jessica segera menghampiri Sheila yang masih tidak menyadari kehadirannya.


Dia menepuk bahu Sheila pelan hingga gadis itu menoleh. Namun tatapan mata
Sheila kosong. Mati. Seperti boneka.

“Sheila…”

Jessica memanggil namanya dengan cemas. Sheila mengerjapkan mata


beberapa kali. Seakan baru menyadari bahwa yang berdiri di sampingnya adalah
Jessica.

“Jess… Oh Ya Tuhan, Jess,” Sheila terisak sambil menghambur ke pelukan


Jessica. Jessica memeluk Sheila erat-erat, tidak peduli bahwa pakaiannya akan
ikut terkena darah dari pakaian Sheila.

“Aku akan mati. Kalau dia mati, aku juga akan mati,” Sheila berkata setengah
histeris di sela tangisannya. Jessica mempererat pelukannya.

“Berhenti bicara begitu!” Hardiknya meski Jessica berusaha menjaga agar


suaranya tidak terlalu keras, “Kau harus tegar. Dia membutuhkanmu lebih dari
apapun saat ini. Kau harus kuat, Sheila.”

Sheila mengangguk meski masih belum berhenti menangis. Jessica membiarkan


Sheila menumpahkan bebannya hingga akhirnya gadis itu mulai tenang.
Tangisannya tinggal berupa sesenggukan saat Jessica bertanya.

“Kau sudah memberitahu ayahmu?” Tanya Jessica lembut.

“Dia sedang bicara dengan dokter,” tiba-tiba bibir Sheila kembali bergetar
setelah mengatakan hal itu, “Dokter bilang… Lucas mengalami perdarahan
hebat, tapi ayah telah mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan Lucas. Aku
tidak bisa berbuat apa-apa, Jess. Aku tidak ada hubungan darah dengannya. Dia
sedang sekarat dan tidak ada yang bisa kulakukan untuknya.”

119 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tangis Sheila kembali pecah sehingga Jessica harus kembali memeluknya untuk
meredamnya. Jessica telah mendengar sebagian ceritanya. Selama ini, dia
menyelidiki wanita bernama Jeannie yang datang bersama Sheila saat itu.
Usahanya membuahkan hasil. Meski awalnya Jeannie enggan bercerita
padanya, namun wanita itu tidak dapat menghindar dari Jessica terus-menerus.
Akhirnya Jeannie bercerita padanya. Meski Jessica yakin wanita itu belum
menceritakan segalanya. Namun setidaknya Jessica tahu selama ini Sheila ada
di mana. Dia tinggal dengan pria bernama Lucas itu. Jessica yakin setelah dia
mengantar Sheila malam itu ke klub malam, Sheila tidak kembali ke rumah
maupun ke tempat Bibi Sophie seperti pengakuannya. Namun yang Jessica
tidak mengerti adalah, kenapa Sheila mau saja pergi dan tinggal bersama pria
yang baru ditemuinya. Jawabannya muncul beberapa saat kemudian, saat
Jeannie menunjukkan foto Lucas padanya. Dia begitu terperangah. Jessica tahu
Sheila adalah anak adopsi. Itu bukan rahasia lagi. Yang membuat Jessica
terkejut adalah, dia pernah melihat pria bernama Lucas itu. Setidaknya sekali.
Dia pernah menemukan foto pria itu di dompet Sheila. Jauh sebelum Sheila
bertemu Lucas malam itu, setahun lalu, pada saat mereka kelas 2 SMA.

Meski hanya melihat fotonya satu kali, sulit untuk melupakannya. Pria itu
sangat tampan. Wajahnya benar-benar mencolok. Mengingatkan Jessica pada
lukisan-lukisan malaikat, apalagi dengan rambut pirang dan mata biru gelapnya.
Pria itu benar-benar seperti sosok yang jatuh dari langit. Seandainya saja sorot
matanya tidak sedingin itu. Bahkan Jessica menjadi bertanya-tanya bagaimana
seseorang dengan wajah selembut itu dapat melemparkan tatapan yang begitu
dingin.

Akan tetapi ketika Jessica bertanya pada Sheila siapa foto pria yang ada di
dompetnya, gadis itu langsung menghindar. Setelah itu, Jessica tidak pernah
melihat Sheila membawa-bawa foto itu lagi. Jadi betapa terkejutnya dia saat
Jeannie menyodorkan foto pria yang sama dengan yang dilihatnya ketika itu.
Otaknya berusaha keras memproses segalanya. Kenapa Sheila mengejar-ngejar
pria ini? Apa hubungan Lucas dengan Sheila? Pertanyaannya belum juga
terjawab hingga siang ini ketika Sheila meneleponnya. Dengan kata-kata yang
terbata-bata dan agak histeris. Jessica tidak dapat menangkap dengan jelas apa
yang dikatakan Sheila. Dia hanya tahu bahwa Lucas mengalami kecelakaan dan
saat ini sedang berada di rumah sakit. Mendengar nada suara Sheila dan
keadaannya yang berantakan, pria itu sangat berarti bagi sahabatnya. Sejak
dulu.

120 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sheila telah kembali tenang saat Jessica melepaskannya. Dia baru saja akan
bertanya di mana ayah Sheila saat pria itu muncul. Keadaan Trevor McAdams
sama menyedihkannya dengan Sheila. Kalau tidak bisa dibilang lebih parah.
Jessica tidak pernah melihat ayah Sheila itu tampak begitu rapuh dan seperti
akan hancur. Sheila yang menyadari arah tatapan Jessica, segera menoleh dan
menghampiri ayahnya seketika itu juga.

“Papa, bagaimana keadaan Lucas?” Sheila setengah berlari menghampiri


ayahnya dengan Jessica yang mengekor di belakang.

“Mereka baru saja selesai mengoperasi luka di kepalanya,” suara Trevor


terdengar lelah dan penuh tekanan. Sama seperti wajahnya yang kuyu serta
kantung di bawah matanya, “Dokter bilang… kita harus siap dengan segala
kemungkinan.”

“Apa maksudnya itu?” Wajah Sheila menjadi lebih pucat saat mendengarnya.

“Kakinya patah namun perdarahannya telah teratasi. Tapi luka di kepalanya


cukup parah. Andai kata operasinya berhasil, kecil kemungkinan dia akan
bangun lagi. Lucas… mungkin akan koma.”

Jessica merangkul Sheila. Namun sepertinya yang lebih butuh topangan saat ini
adalah ayah Sheila. Pria itu terlihat sangat menderita saat menyampaikan kabar
tersebut. Jessica merasakan tubuh Sheila yang gemetar, meski kata-kata
selanjutnya yang dilontarkan gadis itu terdengar sangat tenang.

“Aku ingin bertemu dengannya.”

“Mereka sedang membawanya ke ruang ICU. Kita boleh melihatnya sebentar.


Tapi untuk sementara, hanya satu orang yang boleh masuk hari ini.”

“Kumohon, biarkan aku melihatnya, Papa.”

“Kurasa saat ini Lucas lebih membutuhkanmu daripada aku,” Trevor McAdams
mendesah pasrah sebelum membawa mereka menuju ICU.

Mereka tiba di depan sebuah ruangan dengan pintu ganda berwarna putih.
Seorang perawat menyuruh Sheila memakai baju khusus pengunjung di atas
pakaiannya saat dia mengatakan ingin menjenguk Lucas. Perawat itu juga
memberinya sebuah tutup kepala dan masker serta mengatakan dia hanya punya
waktu lima menit sebelum membimbingnya ke salah satu pintu ruangan yang
lebih kecil bertuliskan ICU 3.

121 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sheila masuk ke dalam ruangan berdinding serba putih dan penyejuk udara
yang dingin langsung menyambutnya. Ruangan itu cukup besar dengan
beberapa alat yang berdiri di sekitar sebuah tempat tidur di tengah-tengah
ruangan. Alat-alat tersebut memiliki kabel-kabel yang terhubung dengan
seseorang yang tengah berbaring di atas tempat tidur tersebut.

Sheila nyaris tidak dapat melihat Lucas di antara alat-alat yang mengelilinginya.
Dia mendekat dan harus membekap mulutnya agar tidak menangis. Lucas
terbaring dengan wajah yang sangat pucat dan mata terpejam hingga Sheila
mengira pria itu sudah mati. Perban putih melilit kepala Lucas yang rambutnya
telah dipotong sangat pendek untuk kepentingan operasi. Sebuah *ventilator
sedang menyokong pernafasannya dengan *ETT yang terpasang di mulut
Lucas. Sheila dapat melihat detak jantung Lucas yang lemah dari layar di
sebelah tempat tidur. Layar itu terhubung dengan suatu alat yang memantau
tanda vital Lucas melalui kabel-kabel kecil yang menempel di dadanya.

Sheila berdiri sambil menggenggam tangan Lucas. Tangan pria itu terasa sangat
dingin di dalam genggamannya. Seandainya tidak ada layar yang menunjukkan
tanda-tanda vital Lucas, Sheila pasti benar-benar mengira bahwa pria itu sudah
mati.

“Lucas,” dia mengucapkan nama itu dengan sangat pelan. Berharap Lucas akan
terbangun saat mendengarnya. Namun pria itu tidak bergerak. Hanya gerakan
dadanya yang naik turun dengan teratur yang menunjukkan bahwa Lucas masih
bersama Sheila.

“Kau harus berjuang,” Sheila berusaha menahan air matanya yang akan tumpah
saat dia bicara. Dia menggenggam tangan Lucas lebih erat, “Aku akan
menunggumu di sini. Kau tidak boleh pergi seperti ini. Masih banyak yang
ingin kukatakan padamu. Masih banyak waktu yang ingin kulalui bersamamu,”
dia berhenti untuk mengatur suaranya yang tercekat, “Bangunlah, Lucas. Kita
akan memulai semuanya dari awal lagi. Kau harus bangun.”

Tidak ada reaksi. Tidak ada petunjuk apapun yang menandakan bahwa pria itu
mendengar apa yang dia katakan. Sheila membawa tangan di genggamannya ke
bibir lalu menciumnya. “Aku akan menunggumu. Selalu.”

Dan dia membiarkan air matanya jatuh seiring dengan kata-katanya tersebut.

***

122 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sheila datang lagi ke ruangan itu. Perawat yang biasa menyambutnya langsung
tersenyum tipis dan menyodorkan pakaian pengunjung padanya.

“Ada perkembangan?” Tanya Sheila saat perawat itu membantunya memasang


tali-tali di punggung. Sheila dapat merasakan perawat itu menggeleng. Lagi.

“Maafkan saya,” jawab perawat itu muram.

Sheila mendesah. Sudah hari kesembilan sejak kecelakaan itu dan dia masih
mendapatkan jawaban yang sama.

“Jangan putus asa,” kata-kata perawat itu yang penuh semangat mengejutkan
Sheila, “Ingat apa yang kukatakan.”

Sheila tersenyum tipis. Dia masih ingat. Perawat itu mengatakan bahwa meski
Lucas sedang koma, tapi dia masih dapat mendengar dan merasakan berbagai
hal di sekelilingnya. Sheila akan terus mengajaknya bicara, seakan-akan pria itu
sedang duduk dan mendengarkan. Lalu berharap suatu saat Lucas akan bangun
dan benar-benar sedang menatapnya balik sambil mendengarkan dia bicara.

Sheila memaksakan senyum di wajahnya sebelum memasuki ruang ICU tempat


Lucas di rawat. Meski Lucas tidak dapat melihatnya, dia yakin pria itu tahu bila
dia sedang bersedih. Sheila tidak ingin Lucas melihatnya sedang sedih.

“Hai,” dia masuk dan menyapa Lucas yang terbaring di tempat tidur seakan pria
itu sedang menunggunya. “Aku datang lagi. Kau tidak kesepian kan selama aku
pergi?”

Dia menghampiri Lucas masih dengan senyum di wajahnya lalu di samping


tempat tidur. Sheila menggenggam tangan Lucas lalu mencium pipi pria itu.
Sesuatu yang selalu di lakukannya bila dia datang.

“Apakah dokter dan perawat di sini merawatmu dengan baik? Aku yakin begitu.
Kau bosan? Kau harus cepat bangun kalau ingin keluar dari sini. Kita akan pergi
ke tempat yang kau sukai saat kau bangun nanti. Kau ingin pergi ke mana?
Pantai? Gunung? Kurasa kau akan lebih suka pantai. Banyak gadis cantik di
sana,” dia pura-pura cemberut saat mengatakannya, “Tapi aku akan memukul
kepalamu kalau kau berani main mata dengan gadis-gadis itu. Aku serius,
Lucas.”

123 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hanya keheningan yang menjawabnya. Namun Sheila sudah terbiasa dengan hal
itu. Dan dia tidak pernah berhenti berharap bahwa Lucas akan menjawabnya
suatu saat nanti.

“Lihat apa yang kubawa,” dia mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya.
Sebuah cincin berlian, “Papa menebusnya kembali dari Madam Bertha. Kau
tidak keberatan kan? Aku terpaksa menceritakannya pada Papa. Tidak semua.
Hanya bahwa kau terlibat hutang dan cincin ini sebagai jaminannya. Kuharap
kau tidak marah. Tapi aku tahu cincin ini sangat berarti untukmu dan kau telah
bekerja begitu keras untuk mendapatkannya kembali. Lagipula, dia adalah
ayahmu. Tidak ada salahnya menerima bantuan darinya sesekali. Dia sangat
menyayangimu, Lucas. Papa juga berharap kau segera bangun…”

Kata-kata Sheila terhenti saat air matanya tak terbendung lagi. Dia buru-buru
menghapus air mata yang terlanjur jatuh itu dan berusaha kembali tersenyum.
Hal itu sangat sulit dilakukan dengan tenggorokannya yang terasa panas karena
air mata yang ditahannya.

“Kita bicara hal yang menyenangkan saja,” suaranya bergetar meski wajahnya
dapat menyunggingkan senyum, “Oh ya, tadi Jeannie datang sebentar. Ethan
membuatkanmu gambar yang sangat menarik tapi perawat tidak mengizinkanku
membawanya masuk. Kau bisa melihatnya saat bangun nanti. Gambarnya
sangat lucu. Dia menggambarmu dengan kostum super hero dan kau sedang
terbang menuju matahari….”

Tangan di genggamannya bergerak. Sangat lemah hingga Sheila tidak yakin


apakah dia benar-benar merasakannya atau hanya membayangkannya. Namun
tangan itu kembali bergerak dan Sheila yakin dia tidak sedang bermimpi.

“Lucas,” dia menyebut nama pria itu penuh harap. Tidak ada gerakan lagi
setelah beberapa saat. Kali ini Sheila benar-benar ingin menangis saking
frustasinya. Tadi harapannya melambung begitu tinggi dan kini tiba-tiba saja
harapan itu dihempaskan begitu keras di atas tanah.

Akan tetapi kekecewaannya tidak berlangsung lama. Sheila menatap dengan


takjub saat mata Lucas bergerak-gerak dan perlahan-lahan mulai terbuka. Mata
biru gelap yang dikenalnya itu melihat ke arahnya. Pandangannya tidak fokus
namun Sheila tahu Lucas dapat melihatnya. Dia tidak membuang-buang waktu
dan langsung berlari memanggil dokter.

***
124 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
*Ventilator: Suatu alat bantu mekanik yang berfungsi memberikan bantuan
nafas pasien dengan cara memberikan tekanan udara positif pada paru-paru
melalui jalan nafas buatan.

*ETT (Endotracheal Tube): Sejenis alat yang digunakan di dunia medis berupa
kateter yang di masukkan ke dalam trachea melalui mulut (orotracheal) atau
hidung (nasotracheal) untuk menjamin saluran nafas tetap bebas.

125 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bab 16

Lucas tengah duduk di tempat tidur sambil menatap pemandangan senja yang
terlihat dari jendela rumah sakit ini. Lucas banyak berpikir akhir-akhir ini.
Terutama tentang masa lalunya. Dan juga ayahnya. Dulu, Lucas tidak pernah
dapat memikirkan pria itu tanpa dendam membara di hatinya. Ayahnya. Pria
yang telah meninggalkan dia dan ibunya sejak kecil untuk menikahi wanita
kaya yang dijodohkan padanya. Lucas tahu uang bukan masalah bagi Trevor
McAdams. Itulah yang membuatnya lebih marah. Pria itu sudah sangat kaya
tanpa harus menikahi wanita kaya lainnya untuk menambah pundi-pundi
uangnya, dan meninggalkan Lucas serta ibunya.

Trevor McAdams tidak tahu kehidupan macam apa yang harus dijalani oleh
Lucas dan ibunya setelah pria itu meninggalkan mereka. Kehidupan di jalanan
yang kejam. Sampai ibunya menemukan orang yang mau menjadi kekasihnya
dan menampung mereka. Sambil mencekoki ibunya dengan alkohol dan obat-
obatan, serta menghadiahi Lucas pukulan di punggung setiap kekasih ibunya
marah. Kadang dengan sabuk. Kadang dengan gulungan kabel. Apa pun yang
bisa dia temukan untuk meninggalkan bekas yang cukup dalam di punggung
Lucas.

Sejak kecil, Lucas selalu bertanya siapa ayahnya. Karena dia yakin ayahnya
tidak akan menyakiti dirinya seperti yang dilakukan oleh kekasih ibunya. Dia
tidak pernah tahu hingga saat ibunya meninggal. Dan saat dia mengetahuinya,
sudah terlambat. Kebencian yang begitu lama terpendam sudah terlalu dalam
merasuki hatinya hingga menjadi dendam. Kenapa ayahnya meninggalkan
mereka? Kenapa ayahnya tidak pernah satu kali pun menemuinya? Lucas tahu
ayahnya mengetahui keberadaan dirinya. Surat yang ditinggalkan ibunya serta
cincin pertunangan yang diberikan oleh ayahnya memberitahu hal itu. Mereka
telah berencana menikah karena Trevor McAdams tahu bahwa Melanie, ibu
Lucas, sedang mengandung Lucas saat itu. Tapi di saat terakhir pria itu
membatalkannya, menganggap ibu Lucas tidak cukup baik untuk mendampingi
jutawan seperti dirinya.

Lucas merasa dadanya ngilu ketika mengingat ibunya. Dia sangat menyayangi
ibunya. Meski wanita itu hampir tidak pernah cukup sadar untuk mengatakan
bahwa dia mencintai Lucas. Lagi-lagi, Lucas makin membenci ayahnya karena
hal itu. Trevor McAdams secara tidak langsung telah merenggut sosok orang
tua pada diri Lucas. Saat masih kecil, dia hanya bisa menangis sambil

126 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
memanggil ayah yang tidak pernah dikenalnya ketika kekasih ibunya
memukulinya. Namun saat dia sudah cukup besar untuk bisa melawan bajingan
itu, Lucas sudah berhenti berharap bahwa ayahnya akan menjawab teriakan
minta tolongnya.

Sebenarnya cukup mengherankan bagaimana ibunya masih memiliki cukup


kesadaran untuk menyekolahkannya. Meski akhirnya Lucas keluar dari rumah
saat usia 18 tahun dan mulai bisa menopang hidupnya sendiri dari uang
tabungan yang didapatnya dengan bekerja sambilan sejak dia 14 tahun, ibunya
tidak mau ikut dengannya. Seberapa kerasnya dia memohon pada wanita itu
untuk meninggalkan kekasihnya dan hidup bersama Lucas, ibunya tetap tidak
bergeming. Karena Lucas tidak dapat memberikan hal yang benar-benar
diinginkan oleh ibunya, alkohol dan obat-obatan terlarang. Lucas menolak
membuat ibunya terjerumus lebih jauh.

Jadi dia pergi, dengan berat hati meninggalkan ibunya bersama kekasih
brengseknya. Namun Lucas tetap datang untuk menengok ibunya setiap
minggu. Mengabaikan rasa tidak suka kekasih ibunya atas kedatangannya.
Karena pria itu sudah tidak berani berbuat lebih jauh selain menunjukkan wajah
kesal. Tidak sejak Lucas menghantam wajahnya saat dia beranjak remaja.
Ibunya makin tenggelam dalam obat-obatan. Dan akhirnya benar-benar
meninggal karena overdosis satu tahun yang lalu. Lucas mengubur ibunya tanpa
perasaan apa pun. Dia tidak lagi memiliki perasaan sedih atau air mata yang
tersisa. Sampai dia menemukan surat yang ditinggalkan ibunya, beserta cincin
berlian di dalam amplopnya. Akhirnya setelah sekian lama, dia kembali
merasakan sesuatu. Amarah dan benci.

Surat itu mengatakan dengan jelas siapa sebenarnya ayah Lucas, dan kenapa
pria itu meninggalkan mereka. Ayahnya tidak punya pilihan. Tidak punya
pilihan? Dia butuh alasan yang lebih kuat daripada sekedar tidak punya pilihan.
Alasan yang dapat membuatnya mencintai ayahnya. Alasan yang membuat dia
dapat menerima bahwa tidak ada seorang pun yang membelanya saat kekasih
ibunya menanamkan tanda di punggungnya. Tapi hanya itu yang tertulis di
sana. Bahwa Lucas harus mengerti dan tidak membenci ayahnya karena
meninggalkan mereka.

Lucas berusaha, benar-benar berusaha memahami segalanya. Jadi suatu saat dia
pergi ke rumah Trevor McAdams. Dia hanya berdiri saja di luar sambil menatap

127 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
rumah megah di depannya. Berusaha menemukan alasan, meski hanya sedikit,
kenapa ayahnya tidak pernah menemuinya.

Dia datang hampir setiap hari, hingga suatu saat alasan itu muncul di depan
wajahnya. Dalam sosok seorang gadis cantik dengan rambut merah kecoklatan
dan mata abu-abu terang. Ayahnya telah memiliki pengganti dirinya. Seorang
anak untuk dicintai. Tiba-tiba kemarahan yang begitu besar menguasainya.
Ayahnya memiliki seorang putri dari pernikahannya dengan wanita yang
dijodohkan padanya. Gadis itu sama sekali tidak mirip dengan Trevor
McAdams, karena pria itu memiliki rambut yang sama dengan Lucas yaitu
berwarna pirang. Lucas menduga Sheila mirip dengan ibunya. Dia tidak
mencari tahu. Dia terlalu marah untuk mencari tahu. Hatinya telah dipenuhi
dengan dendam.

“Apa yang sedang kau pikirkan?”

Lamunan Lucas terputus oleh sebuah suara lembut yang menyapanya. Sheila
masuk ke dalam ruangan tempatnya dirawat sambil menghampiri dirinya yang
sedang duduk di tempat tidur. Tiba-tiba semua kemarahan dan kebencian itu
menguap. Semua karena gadis yang kini tengah menatapnya dengan hangat.
Lucas tersenyum.

“Kau.”

Jawaban Lucas membuat pipi Sheila merona merah. Lucas menyeringai. Sheila
mudah sekali di goda dan Lucas menyukainya.

“Jangan menggodaku, Lucas.”

“Aku sungguh-sungguh.”

Rona di wajah Sheila menyebar hingga ke lehernya dan Lucas langsung


tersedak tertawa. Rasanya lumayan menyakitkan mengingat dia masih memiliki
jahitan di sekitar perutnya.

“Kau baik-baik saja? Apa perlu kupanggilkan dokter?” tanya Sheila cemas saat
Lucas meringis sambil memegangi perutnya.

“Mungkin sakitnya akan berkurang kalau kau menciumku,” dia masih


menyeringai sehingga Sheila mendaratkan pukulan ringan ke lengannya.

“Kalau bisa bercanda begitu, kurasa kau baik-baik saja.”

128 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas kembali tersenyum. Akhir-akhir ini Sheila sering melihatnya tersenyum.
Meskipun senyum Lucas terlihat sedih dan sendu.

“Ada apa, Lucas?”

“Kenapa kau bertanya begitu?”

“Kelihatannya ada sesuatu yang mengganggumu.”

Lucas menjatuhkan kepalanya di bantal sambil menghela nafas. Dia


memikirkan banyak hal sejak kecelakaan yang menimpanya. Akan seperti apa
hidupnya setelah ini. Apakah dia akan kembali ke jalanan? Lucas tidak tahu.

Dia telah berbicara empat mata dengan ayahnya. Ayahnya datang tidak berapa
lama setelah dia dipindahkan dari ICU ke ruang perawatan.

“Kurasa… ini milikmu,” Trevor McAdams menyerahkan sebuah kotak kecil


padanya. Lucas tidak perlu membukanya untuk mengetahui isinya. Itu adalah
cincin ibunya. Sheila menyuruh ayahnya untuk memberikan itu padanya.
Dengan harapan hal itu dapat membuka jalan agar ayahnya dapat memperbaiki
hubungan dengan Lucas.

Lucas tidak mengambil kotak itu dari tangan ayahnya. Jadi pria itu
meletakkannya di meja yang berada di sebelah tempat tidur Lucas. Lucas tidak
membalas tatapan ayahnya dan berpaling menghadap jendela. Trevor McAdams
berdiri dengan canggung di sana, lalu akhirnya menatap Lucas dengan pasrah.
Putranya belum siap untuk bicara dengannya. Dia meninggalkan ruangan itu.
Namun langkahnya terhenti tidak lama kemudian.

“Terima kasih,” Lucas berkata pelan meski masih tidak menatapnya. Tapi untuk
saat ini, itu sudah cukup bagi Trevor McAdams. Matanya berkaca-kaca karena
satu kata sederhana itu. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki hubungan
dengan anak satu-satunya.

“Aku akan datang lagi,” kata ayahnya setelah sampai di ambang pintu. Lucas
tidak mengatakan apapun. Atau menunjukkan penolakan apa pun. Ayahnya
tersenyum tipis sebelum meninggalkan ruangan.

Setelah itu, ayahnya sering datang. Kadang mereka hanya duduk diam tanpa
mengatakan apa pun. Kadang mereka bicara meski hanya beberapa patah kata.
Lambat laun, Lucas mulai bisa menerima kehadiran ayahnya. Dia sedang

129 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mencoba, dan sepertinya hubungan mereka sedang menuju ke arah yang lebih
baik.

Terkadang dia masih merasa marah. Namun hanya dengan mengingat Sheila,
amarahnya langsung lenyap. Dia menatap gadis itu yang sedang meletakkan
sekeranjang buah di meja besar. Setelah semua perlakuan buruk Lucas padanya,
Sheila masih bisa memaafkan dan kembali berada di sisinya. Tuhan tahu dia
tidak pantas dicintai oleh gadis seperti Sheila. Tapi bertentangan dengan segala
hal yang diyakininya, Sheila masih bersamanya hingga saat ini. Lalu kenapa dia
tidak dapat melakukan hal yang sama dengan mencoba memaafkan ayahnya?

“Kemarilah,” Lucas menepuk tepi tempat tidurnya agar Sheila duduk di situ.
Gadis itu menghampirinya dengan wajah heran.

“Ada apa, Lucas? Kau tidak seperti biasanya.”

“Aku merindukanmu,” dia mengambil sejumput rambut Sheila dan


menciumnya. Sheila menjadi salah tingkah karena tindakan itu.

“Tapi… aku tidak ke mana-mana,” Sheila berkata agak terbata-bata.

“Memang,” Lucas tidak melepaskan rambut di genggamannya, “Tapi biasanya


kau selalu memberiku ciuman setiap datang. Sejak aku sadar, kau tidak pernah
melakukan itu lagi.”

Wajah Sheila langsung semerah kepiting rebus. Lucas tersenyum miring saat
merasakan kegugupan Sheila.

“Ya, Manis. Aku selalu mendengarkan celotehanmu saat masih koma dan
menikmati saat-saat kau memberiku ciuman di pipi. Meski saat ini aku
menginginkan lebih.”

“Aku… aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan,” Sheila memalingkan
wajah berusaha menghindari tatapan Lucas.

Pria itu meraih dagunya hingga Sheila menatapnya kembali. Nafas hangatnya
menghembus wajah Sheila karena wajah mereka yang begitu dekat hingga bibir
mereka berdua nyaris bersentuhan.

“Aku akan membuatmu mengerti,” Lucas berkata dengan suara parau lalu
mencium bibirnya.

130 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Awalnya Lucas ingin melakukannya perlahan-lahan, namun kerinduan karena
lama tidak merasakan bibir Sheila membuatnya tidak dapat menahan diri. Dia
menarik Sheila mendekat lalu mengangkat gadis itu kepangkuannya.

“Lucas… lukamu…,” Sheila berseru panik di antara ciuman mereka.

“Biar aku yang mengkhawatirkan hal itu. Sekarang biarkan aku mencintaimu.”

Lucas kembali menciumnya dan Sheila tidak lagi memprotes. Pria itu
menyusurkan tangannya di rambut panjang coklat kemerahan itu dan
mengerang saat Sheila merapatkan pelukan mereka dengan melingkarkan
tangan di lehernya. Lucas melumat bibir Sheila dan mencicipi rasa gadis itu
melalui mulutnya yang terbuka. Kepalanya terasa pening saat hasratnya mulai
naik. Dia tidak habis pikir bagaimana selama ini dia dapat bertahan tanpa
kehadiran Sheila. Merasakan kulit halus gadis itu di bawah tangannya dan
merasakan bibir semanis madu yang sedang dicumbunya. Dia tidak akan pernah
membiarkan Sheila lepas dari genggamannya lagi.

Lucas melepaskan ciumannya untuk mengambil nafas. Dia menempelkan


dahinya pada dahi Sheila saat dadanya naik turun dengan cepat karena
hasratnya yang memuncak.

“Jangan tinggalkan aku lagi.”

Dia nyaris tidak mengenali suaranya sendiri saat mengatakannya.

“Kukira… kau yang akan pergi,” kata Sheila yang keadaannya tidak jauh
berbeda dengan Lucas.

“Aku akan melakukan apapun agar bisa bersamamu, Sheila. Ya Tuhan, kau
tidak tahu seberapa besar aku mencintaimu. Kau adalah alasan aku masih
bernafas hingga saat ini. Suaramu yang membawaku keluar dari lubang hitam
yang terus menyeretku saat aku sedang koma.”

Sheila terpaku dan tidak tahu harus berkata apa. Pria di hadapannya terlihat
sangat hangat dan penuh cinta, sangat berbeda dengan Lucas yang biasanya.
Dadanya terasa penuh oleh rasa haru dan bahagia. Namun dia masih memiliki
satu keraguan.

“Apakah kau akan pulang bersama kami, Lucas? Bersamaku dan… Papa.”

131 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas menatapnya tanpa ekspresi. Sheila mulai cemas saat mata sewarna badai
itu tidak menunjukkan emosi apa pun. Lalu dia melihatnya. Secercah cahaya di
tengah badai yang menggulung.

“Bukankah aku sudah bilang apapun agar bisa bersamamu?”

“Kau memaafkan Papa?”

“Aku sedang mencobanya. Dan kalau bersamamu berarti aku juga harus
mentoleransi keberadaan Pak Tua itu, maka aku bisa…”

Lucas tidak dapat menyelesaikan kalimatnya saat Sheila tiba-tiba membungkam


mulutnya dengan bibir gadis itu. Gadis itu seakan melompat di pangkuan Lucas
hingga dirinya nyaris terjengkang ke belakang.

“Manis, pelan-pelan,” dia meringis ketika Sheila menekan jahitan di perutnya,


“Aku belum benar-benar sehat untuk ditiduri.”

Sheila meminta maaf sambil tersipu. Namun suara ribut di pintu membuat
mereka menoleh ke sana dengan tiba-tiba.

“Sudah kubilang seharusnya kita mengetuk pintu dulu,” Jeannie berkata gusar
sambil menutupi mata Ethan yang berada di gendongannya dari pemandangan
di depan mereka.

“Seharusnya mereka sadar ini adalah rumah sakit, bukan motel tempat mereka
bisa bercumbu. Masih untung kita yang datang. Bayangkan kalau Paman Trevor
yang menemukan mereka seperti ini,” Jessica berkata ketus.

Sheila buru-buru menjauhkan dirinya dari Lucas, namun pria itu menahan
pinggangnya hingga dia tidak bisa ke mana-mana. Lucas tersenyum ramah
seakan tidak sedang kepergok bermesraan dengan Sheila di tempat tidur rumah
sakit.

“Baik sekali kalian datang menjengukku.”

“Kulihat kau sudah sangat sehat,” Jessica masuk ke dalam ruangan sambil
memelototi Lucas yang tidak juga melepaskan Sheila.

“Tidak juga. Melihatmu datang membuat sakit kepalaku kambuh lagi. Sungguh
mengherankan rasa tidak nyaman ini hanya muncul saat kau ada di dekatku,”
Lucas berkata sinis yang membuatnya mendapat tatapan membunuh dari
Jessica. Entah kenapa, dua orang ini tidak pernah bisa akur. Bahkan ketika

132 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas baru saja keluar dari ICU, Jessica tidak menunjukkan rasa simpati yang
terlalu dalam pada Lucas. Dan pria itu memberi perlakuan yang sama pada
orang yang tidak menyukainya.

“Lucas,” Sheila memberi pandangan peringatan pada Lucas. Pria itu


melepaskan dirinya dengan enggan agar Sheila bisa turun dari tempat tidur.

“Terima kasih,” Jeannie berkata pada mereka penuh kelegaan dan melepaskan
tangannya dari wajah Ethan. Bocah itu langsung turun dari gendongan ibunya
dan menghambur ke arah Lucas.

“Aku membawakanmu gambar lagi, Paman Lucas,” Ethan melompat ke atas


tempat tidur dengan gembira sambil menunjukkan buku gambar di tangannya.

“Oh ya? Kali ini aku jadi apa?” Tanya Lucas riang saat menatap buku gambar
yang disodorkan oleh Ethan.

“Doraemon!”

Jessica langsung meledak tertawa seketika itu juga. Membuat Lucas tersenyum
masam pada Ethan. Namun tiba-tiba senyuman Lucas berubah menjadi licik
saat bicara lagi pada bocah itu.

“Bagaimana kalau kau menggambar Bibi Jessica? Aku punya ide. Penyihir jahat
terdengar cocok untuknya.”

“Suatu hari, aku akan mengajari mulut kurang ajarmu itu sopan santun,” Jessica
berkata jengkel.

“Kurasa kau lebih butuh pelajaran itu daripada aku.”

Mereka berdua saling memelototi lawan masing-masing. Sheila dan Jeannie


hanya bertukar pandang dengan pasrah. Rasanya seperti menonton dua ekor
singa yang sedang berkelahi dalam satu kandang.

“Jadi, kapan aku bisa keluar dari sini?” Tanya Lucas yang tidak tertuju secara
khusus pada siapapun di ruangan itu. Jeannie yang menjawabnya. Dengan agak
kesal. Karena ini bukan kali pertama Lucas menanyakannya.

“Kau harus bersabar, Lucas. Dokter baru saja melepas jahitan di kepalamu
kemarin. Kakimu yang patah juga butuh direhabilitasi. Masih cukup lama
sebelum kau bisa keluar.”

133 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Membosankan,” Lucas melipat tangan di depan dadanya sambil berkata
dengan keras kepala, “Aku merasa jauh lebih sehat dan sudah siap keluar dalam
beberapa waktu. Katakan itu pada dokter yang merawatku.”

Jeannie mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, “Untung saja dia bukan
pacarku. Kau harus bersabar menghadapinya, Sheila.”

“Tidak akan lama,” Jessica berkata sambil lalu tapi Lucas mendengarnya.

“Kenapa kau berkata begitu, penyihir?” Dia berkata menantang.

“Sheila tidak akan tahan lama-lama denganmu. Hubungan kalian tidak akan
berlangsung…”

“Aku akan menikahinya.”

Semua orang di ruangan itu terhenyak. Termasuk Sheila.

“Dan saat itu terjadi,” Lucas melanjutkan kata-katanya dengan senyum jahat
tersungging di bibirnya, “Kau akan berlutut di kakiku dan memanggilku kakak.”

Sepertinya hanya sampai disitu kesabaran Jessica. Dia menghentakkan kakinya


dengan kesal lalu menjerit hingga Ethan langsung memeluk Jeannie. Gadis itu
tidak peduli bahwa mereka sedang berada di rumah sakit. Dia menyambar
tasnya lalu berkata marah saat mencapai pintu.

“Itu tidak akan pernah terjadi,” Jessica menjulurkan lidahnya lalu menutup
pintu sebelum Lucas dapat melontarkan komentar balasan.

“Bagaimana kau bisa tahan berteman dengan ular berbisa itu?” Lucas bertanya
jengkel pada Sheila saat tidak menemukan pelampiasan.

Sheila hanya tersenyum tipis saat menjawab Lucas. “Dia teman yang baik. Kau
hanya belum cukup mengenalnya.”

Lucas membuat ekspresi seakan mengatakan „yang benar saja‟.

“Sepertinya kau akan menghadapi banyak rintangan sebelum bisa menikahi


Sheila,” Jeannie yang sejak tadi hanya menonton berkata dengan geli.

“Aku bisa mengatasinya,” Lucas berkata santai seraya menyilangkan kedua


tangan di belakang kepala dan merebahkan diri di atas bantal.

“Kau serius?” tanya Sheila terkejut.

134 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas mengerutkan alis saat mendengarnya. Sheila buru-buru menjelaskan,
“Kukira kau mengatakannya hanya untuk membuat Jessica kesal.”

“Aku selalu bersungguh-sungguh dengan ucapanku, Manis. Aku bisa


menikahimu sekarang kalau kau mau.”

Sheila menggelengkan kepalanya kuat-kuat membuat kerutan di dahi Lucas


makin dalam.

“Kau tidak mau?”

“Bukan begitu,” dia berkata gugup, “Maksudku, ini terlalu cepat. Dan kita
belum membicarakan hal ini dengan Papa.”

“Tenang saja,” Lucas tersenyum geli sambil menarik tangan Sheila agar gadis
itu kembali duduk di sampingnya, “Maksudku bukan saat ini. Suatu hari nanti.
Dan aku baru menyadari bahwa kalau nanti aku menikahimu, aku harus
meminta restu pada Pak Tua itu. Kurasa aku masih harus menyesuaikan diri dan
melatih kesabaranku sebelum bisa menundukkan kepala di depannya.”

Meski Sheila dapat mendengar rasa tidak senang dalam suara Lucas, namun dia
tahu pria itu tidak sungguh-sungguh dengan kalimat terakhirnya. Lucas mulai
bisa menerima kehadiran Papa dan itu adalah awal yang baik.

“Kalian tahu, kurasa lebih baik percakapan ini berlangsung tanpaku. Aku tidak
bisa berhenti tersipu sejak tadi. Ucapkan sampai jumpa pada Paman Lucas dan
Bibi Sheila, Ethan.”

Ethan mencium pipi Sheila dan Lucas sebelum pergi dengan Jeannie.

***

“Jadi, kita lanjutkan yang tadi,” kata Lucas dengan senyum nakal di wajahnya.

“Jessica benar. Bisa saja Papa yang masuk ke sini tadi.”

“Kunci saja pintunya.”

“Katamu kau belum cukup sehat.”

“Manis, banyak hal yang bisa kita lakukan tanpa menyakitiku. Akan
kutunjukkan padamu.”

135 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas mengangkat sebelah alisnya saat Sheila hanya dapat terdiam dengan
wajah memerah.

“Baiklah.”

Lucas menyeringai lebar saat Sheila berjalan menuju pintu untuk menguncinya.

***

136 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Epilog

4 TAHUN KEMUDIAN

Jessica sedang merapikan gaun Sheila saat mendengar suara ribut itu. Lucas
membuka pintu kamar diikuti beberapa pelayan di belakangnya.

“Lucas, kau tidak boleh masuk.”

Meski agak terlambat, Jeannie tetap melontarkan peringatan itu pada Lucas.
Untuk kesekian kalinya.

“Aku hanya ingin menyapanya sebentar. Aku belum bertemu dengannya


seharian ini,” Lucas berkata galak.

“Kau tidak seharusnya berada di sini,” Jessica berkacak pinggang dengan kesal
saat melihat kedatangan Lucas.

“Siapa yang bisa melarangku? Kau?” Kata Lucas sinis, “Ke mana dia?”

“Sembunyi. Seperti seharusnya,” Jessica maju mendekati Lucas dengan sikap


menantang, “Keluar, Lucas.”

“Tidak ada yang bisa melarangku bertemu calon istriku,” Lucas memelototi
Jessica dengan ganas tapi gadis itu tidak gentar.

“Kau mempelai pria. Itu artinya kau tidak boleh menemui mempelai wanitamu
sebelum upacara,” Jessica membalas pelototan Lucas dengan keganasan yang
sama.

Jeannie langsung muncul di antara mereka untuk menengahi, “Kita tidak ingin
ada pertumpahan darah di sini. Apakah masing-masing dari kalian bisa
mengambil satu langkah mundur?”

Namun sepertinya baik Jessica maupun Lucas tidak ada yang menggubris kata-
kata Jeannie.

“Mau taruhan?” Lucas tersenyum sinis lalu tiba-tiba saja dia berteriak keras
tepat di depan wajah Jessica, “Sheila! Keluar atau aku akan mengobrak-abrik
tempat ini sampai menemukanmu!”

Sheila keluar dari sekat tempatnya bersembunyi sambil menenteng rok gaunnya.
“Demi Tuhan, Lucas! Kau tidak perlu berteriak seperti itu.”

137 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lucas terpaku di tempatnya berdiri. Dia menatap gadis paling cantik yang
pernah dilihatnya. Gaun pengantin putih yang dikenakan Sheila melekat dengan
pas di tubuhnya. Bahu telanjangnya dihiasi kalung dengan liontin berlian yang
jatuh di antara belahan dadanya yang mengintip karena leher gaun yang rendah.
Ekor gaunnya memanjang hingga menyapu lantai di belakangnya. Rambut
coklat kemerahannya ditata dengan sanggul rumit dan dihiasi oleh beberapa
bunga liar. Lengannya tertutup sarung tangan hingga siku dan Lucas melihat
cincin tunangan berhias berlian melingkar di jari manis tangan kanannya. Gadis
menawan ini adalah calon istrinya. Tuhan sungguh bermurah hati padanya.

“Hilang sudah kejutannya,” Jessica melempar tangannya ke udara dengan


frustasi. Diikuti Jeannie yang juga menggeleng tidak setuju. Namun Lucas
berjalan melewati mereka berdua seakan mereka tidak ada di sana.

“Lucas,” Sheila tidak dapat menyembunyikan kekesalannya, “Tak bisakah kau


menunggu sebentar sampai kita dipertemukan di…”

Sheila tidak menyelesaikan kata-katanya ketika Lucas meraihnya dan


menciumnya saat itu juga. Dia sungguh merindukan bibir Lucas sehingga tidak
kuasa menolak.

“Make-upnya!” Jessica berseru ngeri, “Berciumanlah yang sopan. Jangan terlalu


bernafsu… Oh, sudahlah. Aku akan memanggil penata rias lagi.”

Jessica meninggalkan kamar itu dengan Jeannie yang mengikuti di belakangnya


lalu menutup pintu. Lucas melepaskan bibir mereka dan bicara dengan suara
rendah yang sangat di sukai Sheila.

“Aku merindukanmu,” Lucas menempelkan dahinya pada dahi Sheila sambil


memeluk calon istrinya itu dengan posesif.

“Kita baru berpisah satu minggu,” Sheila meletakkan tangannya di dada Lucas
yang mengenakan tuxedo serba putih.

“Seminggu paling menyiksa dalam hidupku,” gerutu Lucas dan Sheila tertawa
kecil saat mendengarnya. “Ingatkan aku kenapa aku mau melakukan ini
semua?” Lanjut Lucas.

“Karena kau mencintaiku,” Sheila tertawa geli.

“Alasan yang satu lagi.”

138 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Karena Papa mengancam kalau sampai dia menemukanmu terbangun di
tempat tidurku lagi dia akan memastikan kita berdua sudah menikah.”

“Pak Tua itu,” Lucas tidak berusaha menyembunyikan kejengkelannya.

“Kau tidak ingin menikah denganku, Lucas?”

Lucas menatap Sheila dengan terkejut dan dia melihat kecemasan di mata abu-
abu terang gadis itu.

“Seharusnya aku yang menanyakan itu padamu. Apa kau menginginkan


pernikahan ini?”

Sheila balik menatapnya dengan bingung. “Tapi kukira kau yang…,” Lucas
mengangkat sebelah alisnya penuh arti hingga Sheila menghentikan kata-
katanya, “Maksudku,” Sheila melanjutkan argumennya, “Kau memang pernah
melamar dan aku menolak. Tapi pernikahan kita saat ini memang agak terburu-
buru… Tunggu dulu.”

Sheila kembali berhenti bicara saat melihat kilatan itu di mata Lucas. Lalu dia
mulai memahami situasinya dan kini dia yang menatap Lucas dengan terkejut.

“Kau sengaja! Aku tahu ada yang aneh! Biasanya kau kembali ke kamarmu
sebelum fajar tapi hari itu kau tidak melakukannya. Aku sendiri sama
terkejutnya seperti Papa saat menemukanmu ada di sampingku pagi itu. Selama
ini kau tidak pernah menemaniku sampai pagi!”

“Kau marah?” Lucas bertanya geli.

“Tentu saja!” Sheila melayangkan tinjunya ke dada Lucas.

“Kau selalu menolak lamaranku. Aku harus memikirkan sesuatu untuk


menyeretmu ke altar.”

“Aku belum siap jadi ibu!”

“Alasan macam apa itu?” Lucas tergelak tapi dia segera menghentikan tawanya
saat melihat wajah serius Sheila, “Kau sungguh-sungguh?”

“Umurku baru 22 tahun. Aku tidak yakin akan mampu melakukannya,” Sheila
berkata cemas. Lucas meraih dagunya dan mendongakkannya agar mereka
bertatapan.

139 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kau tidak sendirian. Nanti kita berdua yang akan merawat anak itu,” katanya
lembut. Namun kekhawatiran itu tidak hilang dari wajah Sheila. Lucas
mendesah dan meraih kepala Sheila hingga menempel pada dadanya, “Kita bisa
menundanya kalau kau belum siap.”

“Sungguh?” Suara Sheila yang penuh harap membuat Lucas tidak tega untuk
membohonginya. Sedikit.

“Iya.”

Sheila menyadari jeda yang terlalu lama pada jawaban Lucas. Dia
mendongakkan kepalanya hingga bertatapan dengan mata biru gelap itu.

“Kau tukang bohong, Lucas McAdams,” dia berkata sambil cemberut. Lucas
menyeringai.

“Kau mencintai tukang bohong ini, Sheila McAdams.”

Mereka sama-sama tertawa mendengar lelucon pribadi itu. Sheila dan Lucas
selalu menertawakan nama belakang mereka yang sama dan bercanda kalau
mereka menikah, tidak perlu ada yang mengubah nama belakangnya. Siapa
yang menduga kalau saat itu telah tiba.

“Kurasa kalau denganmu… aku bisa melaluinya,” Sheila berkata pelan.

“Memangnya kau pikir kau akan punya anak dengan siapa lagi?” Kata Lucas
dengan gemas. Dia kembali mencium calon istrinya hingga seseorang membuka
pintu dan suara berat bicara pada mereka.

“Anak-anak,” Lucas dan Sheila sama-sama menoleh ke arah datangnya suara


dan menemukan Trevor McAdams berdiri dengan pose mengancam di pintu. Di
belakangnya, Jessica menjulurkan lidah ke arah Lucas. Dasar culas, gerutu
Lucas dalam hati. “Apa yang kukatakan tentang menahan diri?” Lanjut Trevor
McAdams.

Mereka memisahkan diri dengan enggan. Jessica masuk ke dalam kamar dengan
wajah puas. Dan Lucas juga melihat Jeannie yang berjalan di sampingnya
sambil tersenyum meminta maaf. Seorang penata rias mengikuti di belakang
mereka.

“Lucas, keluar,” kata Trevor McAdams dengan nada tegas yang tidak bisa di
bantah. Lucas menghampiri ayahnya dengan wajah masam.

140 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Akhirnya,” Jessica berkata dengan dramatis.

“Jessica,” Jeannie berusaha memperingatkan gadis itu, “Lebih baik tidak


memancingnya terlalu jauh.”

“Aku akan bilang pada Greg kalau kau bohong soal berat badanmu,” Lucas
menyeringai sambil berkata kejam.

“Kau tidak akan berani!” Jessica terkesiap dan Lucas meninggalkan ruangan
sambil tersenyum puas. “Aku tidak pernah menyukaimu sejak dulu!”

Lucas mendengar teriakan marah Jessica dan dia ikut berteriak untuk
menjawab, “Impas.” Lalu dia tergelak saat kembali mendengar seruan
marahnya dengan Jeannie yang berusaha menenangkan.

“Kau bahagia, Nak?”

Pertanyaan ayahnya yang tiba-tiba mengejutkan dirinya. Dia menatap pria


setengah baya yang telah dibencinya hampir seumur hidupnya. Namun
segalanya telah berubah. Kebencian itu telah lama meninggalkan dirinya. Saat
ini, perasaan lain telah menggantikannya. Dan semua berkat Sheila. Gadis yang
sangat dicintainya. Wajahnya melembut dan bibirnya tersenyum hangat saat
memikirkan Sheila. Trevor McAdams terkejut saat melihatnya. Selama ini, dia
tidak pernah melihat anak satu-satunya itu tersenyum seperti itu kepadanya.

“Ya, Ayah. Aku bahagia.”

Mereka berdiri bersisian sambil menatap langit biru tanpa awan. Begitu jernih
dan bersih. Seperti awal yang baru.

-THE END-

E-Book by

Ratu-buku.blogspot.com

141 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Anda mungkin juga menyukai