LAPORAN SOCA
I. Identitas Pasien
Nama Pasien : Nn. Nadhira Afida.
Tempat tanggal lahir : 19 tahun.
Jenis Kelamin : Perempuan.
Alamat : Dsn. Bocco bocco Ds. Lauwa Kec. Pitompanua R 00/
RW 00, Sulawesi Selatan.
NO.Rekam Medis : 017301
II. Anamnesis
Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan sariawan pada pipi belakang kiri bagian dalam.
Riwayat Penyakit
Pasien datang dengan keluhan sariawan pada pipi belakang kiri bagian dalam
sejak kurang lebih 3 hari yang lalu. Awalnya, pasien menyampaikan sariawan
tersebut terasa sakit dan sariawan tersebut hanya muncul pada saat menstruasi.
Pasien menyampaikan, sebelumnya pernah mengalami dibagian bibir bawah
bagian dalam kurang lebih 1 bulan yang lalu. Pasien menyampaikan
sariawannya lokasinya berpindah-pindah dan pasien menyampaikan
sebelumnya, sudah pernah diobati sendiri dengan vitacimin. Saat ini pasien
ingin dilakukan perawatan.
Riwayat Perawatan Gigi : Paien pernah melakukan pencabutan dan
perawatan skaling di dokter gigi sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu.
Kebiasaan Buruk :-
Riwayat Sosial : Pasien adalah seorang pelajar pondok
pesantren dan tidak memiliki kebiasaan minum kopi.
Riwayat penyakit sistemik: Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik
Riwayat penyakit keluarga: Keluarga pasien juga tidak memiliki riwayat
penyakit sistemik
- KIE :
1. Menjelaskan tentang tentang diagnose kepada pasien dari hasil
anamnesa dan keadaan penyakit tersebut.
2. Menjelaskan tentang penyebab dan perjalanan penyakit kepada
pasien dan menjelaskan bahwa pasien butuh pengobatan.
3. Pasien diinstruksikan penggunaan obat sesuai aturan.
4
Kunjungan ke 2
S : Pasien datang untuk melakukan kontrol pertama hari ke 7 setelah
dilakukan perawatan sariawan pada pipi belakang kiri bagian dalam 7 hari
yang lalu. Keadaan saat ini, pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan sakit,
obat oles digunakan sesuai anjuran dan secara rutin, obat menyisakam 1/3
tube. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik dan alergi.
O : EO = Normal
IO = Normal
A : Stomatitis Aphtous Rekuren minor et causa menstruasi sudah sembuh
VIII. Pembahasan
A. Definisi Stomatitis
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) dikenal juga dengan istilah apthae, atau canker
sores, merupakan suatu penyakit mukosa mulut yang paling sering terjadi. Di
Indonesia orang awam lebih mengenalnya dengan istilah sariawan. Karakteristik dari
penyakit ini yaitu ditandai oleh ulser berulang yang menyakitkan di rongga mulut
dan berbentuk bulat atau oval dan dikelilingi inflamasi. Istilah “stomatitis aftosa
rekuren” dapat diartikan sebagai ulser berulang yang terbatas pada rongga mulut saja
dan dapat muncul tanpa adanya pengaruh dari penyakit sistemik (Scully, 2006).
1. Genetik
Faktor genetik merupakan salah satu faktor yang sering dihubungkan
dengan terjadinya SAR. Sekitar 40% pasien SAR memiliki keluarga
dengan riwayat SAR. Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita
SAR sejak usia muda dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat
keluarga SAR.15,18 Selain itu, SAR lebih sering terjadi pada kembar
identik daripada kembar biasa, dimana 91% kembar identik menderita
stomatitis sedangkan untuk kembar biasa hanya 57% (Guallar, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Ship, menunjukkan bahwa pasien
dengan orang tua yang positif menderita SAR memiliki kesempatan 90%
terjadinya SAR sedangkan pada orang tua pasien tanpa SAR
kemungkinannya hanya 20%. SAR tersebut dapat dihubungkan dengan
genetik spesifik HLA (Human Leucocyte Antigen) seperti HLA B-51,
HLA B-52, HLA B-44, dan HLA-DRW10 (Guallar, 2014).
2. Defisiensi Nutrisi
Kekurangan zat besi, vitamin B12, dan asam folat merupakan
predisposisi terjadinya SAR. Scott dkk dalam penelitiannya pada 2010
menyatakan bahwa pasien yang menderita SAR memiliki kekurangan
asupan vitamin B12 dan asam folat jika dibandingkan dengan grup
kontrol.22 Zhe-xuan dkk pada tahun 2015 menyatakan bahwa sekitar
21,2% dari 156 penderita SAR mengalami defisiensi zink.23 Laxmi dkk
dalam penelitiannya tahun 2010 menyatakan bahwa terdapat penurunan
kadar zat besi dan copper yang signifikan pada 30 pasien SAR bila
dibandingkan dengan grup control (Guallar, 2014).
Nolan dkk pada tahun 1991 menyebutkan bahwa pasien dengan kadar
zat besi, folat, zink, atau vitamin B1, B2, B6, B12 yang rendah terdapat
pada sejumlah kecil, yaitu 5% hingga 10% pasien SAR. Selain itu,
menurut Ogura dkk pada tahun 2001, defisiensi kalsium dan vitamin C
telah ditemukan pada beberapa pasien SAR. Mikro nutrisi dengan jumlah
cukup dibutuhkan untuk fungsi sistem imun seseorang. Mikro nutrisi ini
7
berperan dalam sistem imun alami tubuh dalam 3 aspek, yaitu dengan
mendukung kekuatan barrier kulit atau membran mukosa, untuk munitas
seluler, dan untuk menghasilkan antibody (Guallar, 2014).
3. Gangguan Immunologi
Banyak penelitian, selama 30 tahun terakhir difokuskan untuk
mendeteksi kelainan respon imunologi sebagai penyebab SAR.13
Pengendapan kompleks imun di dalam epitel rongga mulut dapat
menginduksi reaksi imun multipel dimana hal ini dapat menyebabkan
kerusakan. Ada hubungan yang kuat antara proporsi yang abnormal dari
sel CD4+ dan CD8+ dan keparahan SAR, peningkatan kadar interferon
gamma, interleukin 2 dan tumor necrosing factor (TNF), dan perubahan
rasio CD4+ : CD8+ pada lesi SAR (Guallar, 2014).
Biopsi jaringan pada lesi SAR dengan teknik histokimia imun
membuktikan bahwa terdapat banyak sel-sel inflamasi dengan
perbandingan CD4+ : CD8+ : limfosit T yang tak terduga. Ada banyak sel
CD4+ selama tahap pra-ulserasi dan tahap penyembuhan, tapi pada saat
fase ulserasi yang cenderung lebih banyak adalah sel CD8+ (Guallar,
2014).
4. Hormonal
Keadaan hormonal wanita yang sedang menstruasi dapat dihubungkan
denganterjadinya SAR. Pada tahun 1992, dilaporkan bahwa tidak ada
hubungan antara SAR dan periode pra menstruasi, kehamilan, ataupun
menopause. Bagaimanapun, penelitian telah menyebutkan bahwa pasien
bebas dari SAR selama masa kehamilan dan pada saat mereka
mengkonsumsi obat kontrasepsi. Pada sebagian wanita, SAR dilaporkan
bisa lebih parah terjadi selama fase luteal dari siklus menstruasi, atau 14
hari setelah ovulasi. Hormon yang dianggap berperan penting adalah
estrogen dan progesteron. Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi
penurunan estrogen dan progesteron secara mendadak (Guallar, 2014).
Croley dan Miers meneliti pengaruh estrogen yang ternyata
merangsang maturasi lengkap sel epitel mukosa mulut. Hasil penelitian
Soetiarto dkk menunjukkan bahwa rendahnya kadar progesteron dari
8
5. Trauma Lokal
Trauma lokal dapat memegang peran dalam memicu terjadinya luka.
Ulser dapat terbentuk pada derah bekas terjadinya luka akibat trauma.18
Trauma ternyata dapat memicu terjadinya SAR hanya pada individu yang
memiliki faktor genetic SAR.Trauma dapat berupa suntikan anestesi,
makanan tajam, menyikat gigi yang salah atau terlalu keras, dan trauma
selama perawatan gigi (Guallar, 2014).
6. Stres
Stres telah terbukti sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya SAR.
Telah dibuktikan bahwa stres dapat menyebabkan trauma pada jaringan
lunak mulut dengan kebiasaan parafungsional seperti menggigit bibir atau
pipi dan trauma ini merupakan faktor presdiposisi terjadinya ulser.
Penelitian terbaru menunjukkan adanya hubungan langsung antara tingkat
stres dan tingkat keparahan SAR dan menunjukkan bahwa stres psikologis
dapat bertindak sebagai pemicu atau factor modifikasi etiologi pada pasien
SAR yang rentan. Respon fisiologis dari stres dapat meningkatkan
produksi Adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dan kortisol (Malayil,
2014).
Kortisol merupakan biomarker yang membantu respon tubuh terhadap
stres dan mempersiapkan tubuh untuk memerangi stres. Oleh karena itu,
kadar kortisol serum meningkat pada stres dan berfungsi sebagai
biomarker untuk respon stres intensif dan kronis. Level kortisol yang lebih
tinggi dan lebih lama dalam aliran darah (seperti yang terkait dengan stres
kronis) telah terbukti memiliki efek negatif, seperti gangguan kinerja
kognitif, respon inflamasi gangguan dalam tubuh, penyembuhan luka
tertunda (Guallar, 2014).
7. Berhenti Merokok
9
jumlah ulser, lokasi ulser, ukuran dan bentuk ulser, kondisi sistemik, masalah kulit,
gangguan gastrointestinal, riwayat penggunaan obat, tepi ulser, dasar ulser, dan juga
jaringan yang mengelilinginya. Setiap hubungan dengan factor predisposisi juga
harus dicatat (Guallar, 2014).
Diagnosis SAR ditentukan berdasarkan anamnesis pasien dan gambaran klinis
karena tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk ulser ini. Pada pasien
SAR yang dicurigai adanya kaitan dengan penyakit sistemik, diperlukan pemeriksaan
penunjang, seperti pemeriksaan darah lengkap dan evaluasi terhadap zat besi,
vitamin B12, dan asam folat. Biopsi lesi hanya disarankan pada kasus yang memiliki
ketidakpastian dalam diagnosis (Guallar, 2014).
Gambaran khas stomatitis aftosa rekuren (Cawson dan Odell, 2008) Stomatitis
aftosa rekuren (SAR) dikarakteristikkan melalui ulser yang sakit, dikelilingi oleh
halo eritema, berbentuk bulat atau oval, di bagian tengah terdapat jaringan nekrotik
yang dangkal yang dilapisi oleh pseudomembran kuning keabuan. Ulser dapat
muncul berupa lesi tunggal ataupun multipel. Menurut Savage (1985),
perkembangan SAR secara klinis terjadi dalam lima tahap, yaitu:
1. Tahap prodromal – adanya gejala dengan sensasi rasa terbakar pada tempat
dimana lesi akan muncul tetapi tidak ada tanda-tanda klinis yang terlihat.
2. Tahap pra-ulserasi – biasanya terdapat eritema dan sedikit edema.
3. Tahap ulseratif – awal kehancuran epitel hingga menembus lapisan basal.
4. Tahap penyembuhan – gejala pengurangan dan penyembuhan progresif.
5. Tahap remisi – lesi hilang.
D. Klasifikasi SAR:
Berdasarkan hal tersebut, SAR dibagi menjadi tia tipe yaitu stomatitis aphtous
rekuren tipe minor, stomatitis aphtous rekuren tipe mayor, dan stomatitis aftosa
rekuren tipe herpetiformis (Glick, 2015).
a. SAR Tipe Minor
Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu 75% sampai
dengan 85% dari keseluruhan SAR, yang ditandai dengan adanya ulser
berbentuk bulat dan oval, dangkal, dengan diameter 1-10mm, dan dikelilingi
oleh pinggiran yang eritematous. Ulserasi dari tipe minor cenderung mengenai
daerah-daerah non keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal dan dasar
mulut. Ulserasi biasa tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri atas 4-5
11
ulser dan akan sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas
jaringan parut (Glick, 2015).
E. Diagnosa Banding
Diagnosa banding stomatitis aftosa rekuren (SAR) yaitu Traumatik ulser (TU) dan
Gingivostomatitis Herpetika Primer.
1. Stomatitis aftosa rekuren (SAR) dengan Traumatik ulser (TU).
Persamaan : bentukan sama-sama ulser, sakit, warna putih kekuningan, tepi
kemerahan.
Perbedaan SAR Traumatik ulser
Etiologi Belum diketahui Trauma
Batas Jelas Tidak jelas/irregular
Rekuren Rekuren Tidak rekuren
Lokasi Pindah-pindah Menetap
12
F. Penatalaksanaan
Untuk stomatitis aftosa rekuren, penatalaksanaannya dibagi ke dalam dua tahap:
1. Pengendalian faktor predisposisi
Faktor predisposisi dapat diketahui dengan cara mengumpulkan informasi
tentang: faktor genetik yang kemungkinan berperan, trauma yang terlibat,
faktor hormonal yang berperan, juga kondisi stres dan faktor imunologi. Dari
faktor sistemik perlu juga diperhatikan usia penderita, dalam usia pertengahan
atau lansia. Pada lansia kemungkinan adanya keterlibatan kondisi sistemik
lebih besar bila dibandingkan pasien di usia pertengahan. Dari faktor lokal
perlu diperhatikan adanya trauma ataupun faktor lain yang dapat mengiritasi
mukosa, seperti tepi gigi, karies ataupun tambalan yang tajam. Perlu dihindari
makanan yang tajam dan merangsang. Juga perlu diperhatikan untuk
memperbaiki kondisi oralhygiene (Lamey dan Lewis, 1991; Regezi
dkk,2008).
2. Pengobatan simtomatis dan perawatan suportif.
Tujuan dari pengobatan simtomatik yang dilakukan adalah: untuk
mengurangi rasa nyeri, mempersingkat perjalanan lesi, dan memperpanjang
interval bagi kemunculan lesi (Lamey dan Lewis, 1991; Regezi dkk,2008).
Obat yang dapat digunakan antara lain: anestetikum (benzocaine 4% dalam
borax glycerine), obat kumur antibiotika (chlorhexidine gluconate 0,2%,
larutan tetrasiklin 2%), anti inflamasi dan anti udema (sodium hyaluronat),
obat muko-adhesive dan anti inflamasi (bentuk kumur atau gel), kortikosteroid
13
Jaringan Luka
Fosfolipid
Asam Arachidonat
Cyclooxigenase Lipooxigenase
COX 1 COX 2
G. Siklus Menstruasi
Jaringan lunak mulut sensitif terhadap perubahan kadar hormon seks steroid
dalam darah wanita. Saat siklus menstruasi, kadar hormon akan mengalami
perubahan. Kadar hormon akan meningkat lalu menurun secara bermakna pada fase
luteal dari siklus menstruasi. Penurunan kadar hormon progesteron akan
menghambat maturasi sel epitel yang akan memudahkan terjadinya invasi bakteri
sehingga SAR terjadi (Tandjaja, 2014).
I. Patogenesis
Salah satu factor terjadinya RAS adalah gangguan hormonal. Di dalam penelitian
ini ternyata hormon progesteron yang kadarnya lebih rendah dari normal mempunyai
risiko lebih tinggi pada penderita RAS, Efek progesteron dalam jaringan
periodonsium adalah meningkatkan produksi prostaglandin (self limiting process),
meningkatkan polymorphonuclear leukocytes, mengurangi efek anti-inflamasi dari
glukokortikoid, mengubah sintesis protein kolagen dan nonkolagen serta
metabolisme fibroblast, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler (Savage, 2007).
Pada penderita RAS oleh karena progesteron rendah maka efek self limiting
process berkurang, Polimorphonuclear leucocytes menurun, permeabilitas vaskuler
menurun, Hal-ha1 tersebut diduga akan menyebabkan lesi yang berbentuk sebagai
Apthae atau Recurrent Apthae Stomatitis (RAS) yang muncul secara periodik sesuai
siklus haid (Savage, 2007).
Hubungan siklus menstruasi dengan SAR ditunjukkan pada tingginya penderita
SAR pada wanita yang mencapai dua kali dibanding pada pria, hal ini dilaporkan
oleh Jason dan Maso. Pengaruh ini mungkin disebabkan oleh fluktuasi kadar
estrogen dan progesteron yang reseptornya dapat dijumpai dalam rongga mulut,
khususnya pada gingiva. Pada penderita SAR, dianggap berkurangnya kadar
progesteron hingga 80%, menyebabkan faktor self limiting berkurang,
polymorphonuclear leukocytes menurun, demikian juga permeabilitas vaskuler yang
mengalami vasodilatasi oleh karena pengaruh estrogen, dan menjadi lebih permeabel
oleh pengaruh progesteron.Perubahan permeabilitas ini menyebabkan mudahnya
terjadi invasi bakteri yang menjadi penyebab iritasi atau infeksi dalam rongga mulut
16
dan akhirnya akan menyebabkan ulkus setiap periode pramenstruasi. Penelitian ini
menunjukkan bahwa kadar estradiol yang normal, serta kadar progesteron yang
kurang dari normal berpengaruh terhadap terjadinya ulkus pada penderita SAR saat
mengalami menstruasi (Savage, 2007).
PETA KONSEP
Menstruasi
Karena, tidak
keseimbangan hormon
estrogen dan progesteron
Estrogen Progesteron
Mudah terjadi
mikrolesi
Ulser
17
(Hubrecht & Kirkwood, 2010). Jaringan kolagen ini akan membentuk jaringan
fibrosis atau bekas luka dan terbentuknya jaringan baru. Sitokin pada sel
endothelial mengaktifkan faktor pertumbuhan sel dan vaskularisasi pada daerah
luka sehingga bekas luka dapat diminimalkan (Piraino & Selemovic, 2015).
Aktifitas yang utama pada fase ini adalah penguatan jaringan bekas luka dengan
aktifitas remodeling kolagen dan elastin pada kulit. Kontraksi sel kolagen dan 15
elastin terjadi sehingga menyebabkan penekanan ke atas kulit. Kondisi umum
pada fase remodeling adalah rasa gatal dan penonjolan epitel di permukaan kulit.
Pada fase ini kulit masih rentan terhadap gesekan dan tekanan sehingga
memerlukan perlindungan (Arisanty, 2013).
IX. Kesimpulan
SAR tidak hanya disebabkan mikroorganisme tetapi juga disebabkan oleh sistem
hormone yaitu esterogen dan progesterone, sehingga terapinya harus
mempertimbangkan nutrisi yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
19
Daftar Pustaka
Arisanty, I dan pupita. 2013. Konsep dasar manajemen perawatan luka. Jakarta: EGC
Cawson, R.A. dan Odell, E.W. 2008. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and
Oral Medicine. Ed. ke-7. Curchill-Livingstone, Edinburgh. Hal. 220 - 224.
Glick M , Greenberg MS, Ship JA. Burkets’s oral medicine. 11th ed., Hamilton: BC
Decker Inc, 2008: 97
Lamey, P.J. dan Lewis, M.A.O. 1991. Oral Medicine in Practice. BDJ Publisher,
London. Hal. 5 – 7.
Regezi, J.A., Sciubba, J.J. dan Jordan, R.C. 2008. Oral Pathology. Clinical
Pathologic Correlations. Ed ke-5. Saunders – Elsevier, St. Louis. Hal. 35 – 39.
Savage WN, Boras VV. Recurrent aphthous ulcerative disease: presentation and
management. Aus Dent J 2007; 52: 10-5.
Tandadjaja AK, Hernawan I, Jusri M. Pravalensi stomatitis aftosa rekuren pada wanita
yang masih mengalami menstruasi dengan siklus normal di RSGM Universitas
Airlangga bulan Juli-September 2014. O Med Dent J 2015; 7 (1): 61- 5
Tarakji B, Gazal G, Al-Maweri SA, Azzeghaiby SN, Alaizari N. Guideline for the
diagnosis and treatment of recurrent aphthous stomatitis for dental practitioners. J Int
Oral Health 2015; 7(5): 74-80.