Anda di halaman 1dari 20

1

LAPORAN SOCA
I. Identitas Pasien
 Nama Pasien : Nn. Nadhira Afida.
 Tempat tanggal lahir : 19 tahun.
 Jenis Kelamin : Perempuan.
 Alamat : Dsn. Bocco bocco Ds. Lauwa Kec. Pitompanua R 00/
RW 00, Sulawesi Selatan.
 NO.Rekam Medis : 017301
II. Anamnesis
 Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan sariawan pada pipi belakang kiri bagian dalam.
 Riwayat Penyakit
Pasien datang dengan keluhan sariawan pada pipi belakang kiri bagian dalam
sejak kurang lebih 3 hari yang lalu. Awalnya, pasien menyampaikan sariawan
tersebut terasa sakit dan sariawan tersebut hanya muncul pada saat menstruasi.
Pasien menyampaikan, sebelumnya pernah mengalami dibagian bibir bawah
bagian dalam kurang lebih 1 bulan yang lalu. Pasien menyampaikan
sariawannya lokasinya berpindah-pindah dan pasien menyampaikan
sebelumnya, sudah pernah diobati sendiri dengan vitacimin. Saat ini pasien
ingin dilakukan perawatan.
 Riwayat Perawatan Gigi : Paien pernah melakukan pencabutan dan
perawatan skaling di dokter gigi sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu.
 Kebiasaan Buruk :-
 Riwayat Sosial : Pasien adalah seorang pelajar pondok
pesantren dan tidak memiliki kebiasaan minum kopi.
 Riwayat penyakit sistemik: Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik
 Riwayat penyakit keluarga: Keluarga pasien juga tidak memiliki riwayat
penyakit sistemik

III. Pemeriksaan obyektif


 Ekstra Oral:
a. Muka : TAA
b. Pipi Kanan : TAA
2

Pipi Kiri : TAA


c. Bibir atas : TAA
Bibir bawah : TAA
d. Sudut mulut : TAA
e. Kelenjar Limfe
o Submandibularis kanan : TAA
o Submandibularis kiri : TAA
o Submentalis : TAA
o Leher : TAA
f. Kelenjar Saliva
o Parotis kanan : TAA
o Parotis kiri : TAA
o Sub lingualis : TAA
g. Lain – lain : TAA
 Intra Oral:
a. Mukosa Labial atas : TAA
Mukosa Labial bawah : TAA
b. Komisura kanan : TAA
Komisura Kiri : TAA
c. Mukosa bukal kanan : TAA.
Mukosa bukal kiri: Pada mukosa bukal sinistra terdapat lesi ulser.
Berdiameter kurang lebih 3mm, berbatas jelas, bentukan bulat, warna
kekuningan dengan tepi kemerahan, single dan sakit.
d. Labial fold atas : TAA
Labial fold bawah : TAA
e. Bukal fold atas : TAA
Bukal fold bawah : TAA.
f. Gingiva rahang atas : TAA
Gingiva rahang bawa : TAA
g. Palatum : TAA.
h. Arkus Palatoglosus anterior : TAA
Arkus Palatoglosus posterior : TAA
3

i. Lidah : Pada lateral lidah terdapat bentukan


scallope seperti cetakan gigi, berwarna keputihan dengan daerah tepi
sewarna dengan jaringan sekitar, bilateral dan tidak sakit. Pada sentral
lidah terdapat bentukan fissure memanjang dengan panjang kurang lebih
2cm, sewarna dengan jaringan sekitar, single, unilateral, dan tidak sakit.
j. Dasar Mulut : TAA
IV. Diagnosa Sementara : Suspek Stomatitis Afthosa Rekuren tipe Minor et
causa Menstruasi.
V. Pemeriksaan Penunjang :-
VI. Diagnosis : Stomatitis Afthosa Rekuren tipe Minor et causa
Menstruasi
VII. Rencana Perawatan
 Kunjungan pertama
- Terapi SAR Minor :
1. Pasien di instruksikan untuk berkumur terlebih dahulu.
2. keringkan permukaan lesi dan jaringan sekitarnya menggunakan
cotton pelet steril.
3. isolasi daerah kerja dan asepsis daerah lesi dengan povidon iodine
10%.
4. aplikasikan periokin gel.
5. Setelah itu , pasien diinstruksikan untuk tidak makan, minum dan
kumur selama kurang lebih 30menit.
6. Resep:
7. R/ Chlorhexidin digluconate 0,2% 30 ml tube No. I
∫ 3 dd coll or

- KIE :
1. Menjelaskan tentang tentang diagnose kepada pasien dari hasil
anamnesa dan keadaan penyakit tersebut.
2. Menjelaskan tentang penyebab dan perjalanan penyakit kepada
pasien dan menjelaskan bahwa pasien butuh pengobatan.
3. Pasien diinstruksikan penggunaan obat sesuai aturan.
4

4. Pasien diinstruksikan setelah penggunaan obat dilarang makan,


minum selama 30 menit.
5. Menjaga OH dengan menyikat gigi 2x sehari (pagi setelah makan
dan malam sebelum tidur).
6. Mengonsumsi buah dan sayur serta minum air mineral sebanyak 2
liter (8 gelas/hari).
7. Kontrol 5-7 hari (3 Maret 2020 / 6 Maret 2020).

Foto kunjungan pertama

 Kunjungan ke 2
S : Pasien datang untuk melakukan kontrol pertama hari ke 7 setelah
dilakukan perawatan sariawan pada pipi belakang kiri bagian dalam 7 hari
yang lalu. Keadaan saat ini, pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan sakit,
obat oles digunakan sesuai anjuran dan secara rutin, obat menyisakam 1/3
tube. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik dan alergi.
O : EO = Normal
IO = Normal
A : Stomatitis Aphtous Rekuren minor et causa menstruasi sudah sembuh

P:- Meningkatkan untuk menjaga OH.

- Pasien diinstruksikan untuk berhenti penggunaan obat.


- Pasien diinstruksikan untuk mengonsumsi buah dan sayur serta minum
air mineral sebanyak 2 liter (8 gelas/hari).
5

Foto kunjungan ke dua

VIII. Pembahasan
A. Definisi Stomatitis
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) dikenal juga dengan istilah apthae, atau canker
sores, merupakan suatu penyakit mukosa mulut yang paling sering terjadi. Di
Indonesia orang awam lebih mengenalnya dengan istilah sariawan. Karakteristik dari
penyakit ini yaitu ditandai oleh ulser berulang yang menyakitkan di rongga mulut
dan berbentuk bulat atau oval dan dikelilingi inflamasi. Istilah “stomatitis aftosa
rekuren” dapat diartikan sebagai ulser berulang yang terbatas pada rongga mulut saja
dan dapat muncul tanpa adanya pengaruh dari penyakit sistemik (Scully, 2006).

B. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Walaupun sudah sering dialami, tetapi hingga kini etiologi yang pasti dari
penyakit ini belum diketahui. Stomatitis aftosa rekuren merupakan self-limiting
disease yang melibatkan 10 – 25% populasi. Penyakit ini dapat ditemukan pertama
kali pada anak-anak ataupun remaja. Penderitanya biasanya terlihat sehat, tidak
merokok. Di dalam mulut, lesi berupa erosi bulat yang nyeri dengan tepi berupa
kelim (seperti lipatan) kemerahan (Cawson dan Odell, 2008).
Meskipun etiologi stomatitis aftosa rekuren tidak diketahui, namun ada beberapa
faktor predisposisi yang berkaitan dengan munculnya lesi dan dapat mempermudah
6

terjadinya lesi yaitu faktor genetik, trauma, hormonal gangguan imunologi,


degisiensi hematologi, bukan perokok, stress yaitu: (Cawson dan Odell, 2008)

1. Genetik
Faktor genetik merupakan salah satu faktor yang sering dihubungkan
dengan terjadinya SAR. Sekitar 40% pasien SAR memiliki keluarga
dengan riwayat SAR. Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita
SAR sejak usia muda dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat
keluarga SAR.15,18 Selain itu, SAR lebih sering terjadi pada kembar
identik daripada kembar biasa, dimana 91% kembar identik menderita
stomatitis sedangkan untuk kembar biasa hanya 57% (Guallar, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Ship, menunjukkan bahwa pasien
dengan orang tua yang positif menderita SAR memiliki kesempatan 90%
terjadinya SAR sedangkan pada orang tua pasien tanpa SAR
kemungkinannya hanya 20%. SAR tersebut dapat dihubungkan dengan
genetik spesifik HLA (Human Leucocyte Antigen) seperti HLA B-51,
HLA B-52, HLA B-44, dan HLA-DRW10 (Guallar, 2014).
2. Defisiensi Nutrisi
Kekurangan zat besi, vitamin B12, dan asam folat merupakan
predisposisi terjadinya SAR. Scott dkk dalam penelitiannya pada 2010
menyatakan bahwa pasien yang menderita SAR memiliki kekurangan
asupan vitamin B12 dan asam folat jika dibandingkan dengan grup
kontrol.22 Zhe-xuan dkk pada tahun 2015 menyatakan bahwa sekitar
21,2% dari 156 penderita SAR mengalami defisiensi zink.23 Laxmi dkk
dalam penelitiannya tahun 2010 menyatakan bahwa terdapat penurunan
kadar zat besi dan copper yang signifikan pada 30 pasien SAR bila
dibandingkan dengan grup control (Guallar, 2014).
Nolan dkk pada tahun 1991 menyebutkan bahwa pasien dengan kadar
zat besi, folat, zink, atau vitamin B1, B2, B6, B12 yang rendah terdapat
pada sejumlah kecil, yaitu 5% hingga 10% pasien SAR. Selain itu,
menurut Ogura dkk pada tahun 2001, defisiensi kalsium dan vitamin C
telah ditemukan pada beberapa pasien SAR. Mikro nutrisi dengan jumlah
cukup dibutuhkan untuk fungsi sistem imun seseorang. Mikro nutrisi ini
7

berperan dalam sistem imun alami tubuh dalam 3 aspek, yaitu dengan
mendukung kekuatan barrier kulit atau membran mukosa, untuk munitas
seluler, dan untuk menghasilkan antibody (Guallar, 2014).

3. Gangguan Immunologi
Banyak penelitian, selama 30 tahun terakhir difokuskan untuk
mendeteksi kelainan respon imunologi sebagai penyebab SAR.13
Pengendapan kompleks imun di dalam epitel rongga mulut dapat
menginduksi reaksi imun multipel dimana hal ini dapat menyebabkan
kerusakan. Ada hubungan yang kuat antara proporsi yang abnormal dari
sel CD4+ dan CD8+ dan keparahan SAR, peningkatan kadar interferon
gamma, interleukin 2 dan tumor necrosing factor (TNF), dan perubahan
rasio CD4+ : CD8+ pada lesi SAR (Guallar, 2014).
Biopsi jaringan pada lesi SAR dengan teknik histokimia imun
membuktikan bahwa terdapat banyak sel-sel inflamasi dengan
perbandingan CD4+ : CD8+ : limfosit T yang tak terduga. Ada banyak sel
CD4+ selama tahap pra-ulserasi dan tahap penyembuhan, tapi pada saat
fase ulserasi yang cenderung lebih banyak adalah sel CD8+ (Guallar,
2014).
4. Hormonal
Keadaan hormonal wanita yang sedang menstruasi dapat dihubungkan
denganterjadinya SAR. Pada tahun 1992, dilaporkan bahwa tidak ada
hubungan antara SAR dan periode pra menstruasi, kehamilan, ataupun
menopause. Bagaimanapun, penelitian telah menyebutkan bahwa pasien
bebas dari SAR selama masa kehamilan dan pada saat mereka
mengkonsumsi obat kontrasepsi. Pada sebagian wanita, SAR dilaporkan
bisa lebih parah terjadi selama fase luteal dari siklus menstruasi, atau 14
hari setelah ovulasi. Hormon yang dianggap berperan penting adalah
estrogen dan progesteron. Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi
penurunan estrogen dan progesteron secara mendadak (Guallar, 2014).
Croley dan Miers meneliti pengaruh estrogen yang ternyata
merangsang maturasi lengkap sel epitel mukosa mulut. Hasil penelitian
Soetiarto dkk menunjukkan bahwa rendahnya kadar progesteron dari
8

normal beresiko tinggi terjadinya SAR. Pada penderita SAR yang


disebabkan kadar progesteron yang rendah maka efek self limiting proses
berkurang, polimorphonuclear leukosit menurun, permeabilitas vaskuler
menurun sehingga mudah terbentuknya SAR yang muncul secara periodik
sesuai siklus menstruasi (Guallar, 2014).

5. Trauma Lokal
Trauma lokal dapat memegang peran dalam memicu terjadinya luka.
Ulser dapat terbentuk pada derah bekas terjadinya luka akibat trauma.18
Trauma ternyata dapat memicu terjadinya SAR hanya pada individu yang
memiliki faktor genetic SAR.Trauma dapat berupa suntikan anestesi,
makanan tajam, menyikat gigi yang salah atau terlalu keras, dan trauma
selama perawatan gigi (Guallar, 2014).
6. Stres
Stres telah terbukti sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya SAR.
Telah dibuktikan bahwa stres dapat menyebabkan trauma pada jaringan
lunak mulut dengan kebiasaan parafungsional seperti menggigit bibir atau
pipi dan trauma ini merupakan faktor presdiposisi terjadinya ulser.
Penelitian terbaru menunjukkan adanya hubungan langsung antara tingkat
stres dan tingkat keparahan SAR dan menunjukkan bahwa stres psikologis
dapat bertindak sebagai pemicu atau factor modifikasi etiologi pada pasien
SAR yang rentan. Respon fisiologis dari stres dapat meningkatkan
produksi Adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dan kortisol (Malayil,
2014).
Kortisol merupakan biomarker yang membantu respon tubuh terhadap
stres dan mempersiapkan tubuh untuk memerangi stres. Oleh karena itu,
kadar kortisol serum meningkat pada stres dan berfungsi sebagai
biomarker untuk respon stres intensif dan kronis. Level kortisol yang lebih
tinggi dan lebih lama dalam aliran darah (seperti yang terkait dengan stres
kronis) telah terbukti memiliki efek negatif, seperti gangguan kinerja
kognitif, respon inflamasi gangguan dalam tubuh, penyembuhan luka
tertunda (Guallar, 2014).
7. Berhenti Merokok
9

Pasien yang menderita SAR biasanya adalah pasien bukan perokok,


dan prevalensinya lebih kecil serta lebih jarang pada perokok berat
dibandingkan perokok sedang. Beberapa pasien mengeluhkan timbulnya
SAR secara tiba-tiba setelahberhenti merokok. Hal ini dapat disebabkan
karena semakin luasnya mukosa rongga mulut yang terkeranitisasi sebagai
respon dari merokok, yang membuat kurang rentan terhadap cedera dan
iritasi. Nikotin dan metabolismenya mampu menurunkan level
proinflamatori sitokin dan meningkatkan level antiinflamasi (Malayil,
2014).
8. Infeksi Mikroba
Di antara seluruh faktor yang berpotensi dalam memodifikasi respon
imun dan meningkatkan predisposisi SAR, beberapa peneliti menyebutkan
bakteri (Streptococcus oral, Helicobacter pylori) dan antigen virus (virus
herpes simpleks, virus varicella-zoster, cytomegalovirus, adonevirus).
Karakteristik SAR dengan indikasi infeksi mikroba sebagai penyebab
utamanya, yaitu meliputi adanya ulser yang ulang kambuh, infiltrasi
limfositik, perivascular cuffing (penumpukan limfosit atau sel plasma
dalam massa padat di sekeliling pembuluh darah), dan munculnya
autoantibodi, pada kasus ulser herpetiformis (Malayil, 2014).
Hubungan antara SAR dan Streptococcus sanguis telah lama
dilaporkan merupakan suatu patogenesis penting dalam terbentuknya SAR.
Helicobacter pylori telah dideteksi pada ulser rongga mulut yang tidak
beraturan dan dengan PCR hingga 72% dari pemeriksaan SAR.21 Menurut
penelitian Tes dkk pada tahun 2013, penyingkiran H.pylori terbukti
bermanfaat dalam kesembuhan pasien yang menderita SAR. Dan pada
beberapa penderita SAR, penggunaan antiviral sebagai pengobatan SAR
memiliki respon yang positif (Guallar, 2014).

C. Diagnosa stomatitis aftosa rekuren


Diagnosa stomatitis aftosa rekuren (SAR) didasarkan pada anamnesa dan
gambaran klinis dari ulser. Biasanya pada anamnesa, pasien akan merasakan sakit
dan trbakar pada mulutnya. Lokasi ulser berpindah-pindah dan sering berulang, harus
ditanyakan hal-hal penting yang harus diperhatikan ketika memeriksa pasien dengan
ulser rongga mulut antara lain meliputi riwayat keluarga, frekuensi terjadinya ulser,
10

jumlah ulser, lokasi ulser, ukuran dan bentuk ulser, kondisi sistemik, masalah kulit,
gangguan gastrointestinal, riwayat penggunaan obat, tepi ulser, dasar ulser, dan juga
jaringan yang mengelilinginya. Setiap hubungan dengan factor predisposisi juga
harus dicatat (Guallar, 2014).
Diagnosis SAR ditentukan berdasarkan anamnesis pasien dan gambaran klinis
karena tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk ulser ini. Pada pasien
SAR yang dicurigai adanya kaitan dengan penyakit sistemik, diperlukan pemeriksaan
penunjang, seperti pemeriksaan darah lengkap dan evaluasi terhadap zat besi,
vitamin B12, dan asam folat. Biopsi lesi hanya disarankan pada kasus yang memiliki
ketidakpastian dalam diagnosis (Guallar, 2014).
Gambaran khas stomatitis aftosa rekuren (Cawson dan Odell, 2008) Stomatitis
aftosa rekuren (SAR) dikarakteristikkan melalui ulser yang sakit, dikelilingi oleh
halo eritema, berbentuk bulat atau oval, di bagian tengah terdapat jaringan nekrotik
yang dangkal yang dilapisi oleh pseudomembran kuning keabuan. Ulser dapat
muncul berupa lesi tunggal ataupun multipel. Menurut Savage (1985),
perkembangan SAR secara klinis terjadi dalam lima tahap, yaitu:
1. Tahap prodromal – adanya gejala dengan sensasi rasa terbakar pada tempat
dimana lesi akan muncul tetapi tidak ada tanda-tanda klinis yang terlihat.
2. Tahap pra-ulserasi – biasanya terdapat eritema dan sedikit edema.
3. Tahap ulseratif – awal kehancuran epitel hingga menembus lapisan basal.
4. Tahap penyembuhan – gejala pengurangan dan penyembuhan progresif.
5. Tahap remisi – lesi hilang.

D. Klasifikasi SAR:
Berdasarkan hal tersebut, SAR dibagi menjadi tia tipe yaitu stomatitis aphtous
rekuren tipe minor, stomatitis aphtous rekuren tipe mayor, dan stomatitis aftosa
rekuren tipe herpetiformis (Glick, 2015).
a. SAR Tipe Minor
Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu 75% sampai
dengan 85% dari keseluruhan SAR, yang ditandai dengan adanya ulser
berbentuk bulat dan oval, dangkal, dengan diameter 1-10mm, dan dikelilingi
oleh pinggiran yang eritematous. Ulserasi dari tipe minor cenderung mengenai
daerah-daerah non keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal dan dasar
mulut. Ulserasi biasa tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri atas 4-5
11

ulser dan akan sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas
jaringan parut (Glick, 2015).

b. SAR Tipe Mayor


Tipe mayor diderita 10%-15% dari penderita SAR dan lebih parah dari
tipe minor. Ulser biasanya tunggal, berbentuk oval dan berdiameter sekitar 1-3
cm, berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian
mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin. Ulser yang
besar, dalam serta bertumbuh dengan lambat biasanya terbentuk dengan
bagian tepi yang menonjol serta eritematous dan mengkilat, yang
menunjukkan bahwa terjadi edema. Selalu meninggalkan jaringan parut
setelah sembuh dan jaringan parut tersebut terjadi karena keparahan dan
lamanya ulser (Glick, 2015).
c. SAR Tipe Herpetiformis
Istilah herpetiformis pada tipe ini dipakai karena bentuk klinisnya yang
dapat terdiri dari 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu, mirip dengan
gingivostomatitis herpetic primer, tetapi virus-virus herpes tidak mempunyai
peran etiologi pada SAR tipe Herpetiformis. SAR tipe Herpetiformis jarang
terjadi yaitu sekitar 5%-10% dari kasus SAR. Setiap ulser berbentuk bulat atau
oval, mempunyai diameter 0,5-3,0 mm dan bila ulser bergabung bentuknya
tidak teratur. Setiap ulser berlangsung selama satu hingga dua minggu dan
tidak akan meninggalkan jaringan parut ketika sembuh (Glick, 2015).

E. Diagnosa Banding
Diagnosa banding stomatitis aftosa rekuren (SAR) yaitu Traumatik ulser (TU) dan
Gingivostomatitis Herpetika Primer.
1. Stomatitis aftosa rekuren (SAR) dengan Traumatik ulser (TU).
Persamaan : bentukan sama-sama ulser, sakit, warna putih kekuningan, tepi
kemerahan.
Perbedaan SAR Traumatik ulser
Etiologi Belum diketahui Trauma
Batas Jelas Tidak jelas/irregular
Rekuren Rekuren Tidak rekuren
Lokasi Pindah-pindah Menetap
12

2. Stomatitis aftosa rekuren herpetiformis (SAR herpetiformis) dengan


Gingivostomatitis Herpetika Primer
Persamaan : bentukan sama-sama ulser, sama-sama tepi kemerahan, sama-
sama sakit.
Perbedaan SAR Herpetiformis Gingivostomatitis herpetic
perimer
Etiologi Idiopatik HSV Tipe 1
Rekuren Rekuren Tidak rekuren
Vesikel Tidak ada vesikel Ada vesikel
Gingivitis Tidak ada gingivitis Ada gingivitis
Lesi awal Makula Vesikel
Menular Tidak menular Menular

F. Penatalaksanaan
Untuk stomatitis aftosa rekuren, penatalaksanaannya dibagi ke dalam dua tahap:
1. Pengendalian faktor predisposisi
Faktor predisposisi dapat diketahui dengan cara mengumpulkan informasi
tentang: faktor genetik yang kemungkinan berperan, trauma yang terlibat,
faktor hormonal yang berperan, juga kondisi stres dan faktor imunologi. Dari
faktor sistemik perlu juga diperhatikan usia penderita, dalam usia pertengahan
atau lansia. Pada lansia kemungkinan adanya keterlibatan kondisi sistemik
lebih besar bila dibandingkan pasien di usia pertengahan. Dari faktor lokal
perlu diperhatikan adanya trauma ataupun faktor lain yang dapat mengiritasi
mukosa, seperti tepi gigi, karies ataupun tambalan yang tajam. Perlu dihindari
makanan yang tajam dan merangsang. Juga perlu diperhatikan untuk
memperbaiki kondisi oralhygiene (Lamey dan Lewis, 1991; Regezi
dkk,2008).
2. Pengobatan simtomatis dan perawatan suportif.
Tujuan dari pengobatan simtomatik yang dilakukan adalah: untuk
mengurangi rasa nyeri, mempersingkat perjalanan lesi, dan memperpanjang
interval bagi kemunculan lesi (Lamey dan Lewis, 1991; Regezi dkk,2008).
Obat yang dapat digunakan antara lain: anestetikum (benzocaine 4% dalam
borax glycerine), obat kumur antibiotika (chlorhexidine gluconate 0,2%,
larutan tetrasiklin 2%), anti inflamasi dan anti udema (sodium hyaluronat),
obat muko-adhesive dan anti inflamasi (bentuk kumur atau gel), kortikosteroid
13

topikal (triamcinolone in orabase) (Lamey dan Lewis, 1991; Regezi


dkk,2008).
Kortikosteroid tidak mempercepat penyembuhan lesi, tetapi dapat
mengurangi rasa sakit pada peradangan yang ada. Sedangkan pada
triamcinolone in orabase, kortikosteroid dicampur dengan media orabase
yang dapat membuatnya melekat pada mukosa mulut yang selalu basah. Jika
pengolesan obat ini dilakukan dengan tepat, maka orabase akan menyerap
cairan dan membentuk gel adesif yang dapat bertahan melekat pada mukosa
mulut selama satu jam atau lebih. Namun, pengolesan pada erosi/ulser agak
sedikit sulit untuk dilakukan. Gel yang terjadi akan membentuk lapisan
pelindung di atas ulkus, sehingga pasien akan merasa lebih nyaman.
Kortikosteroid akan dilepaskan secara perlahan. Selain itu obat ini juga
memiliki sifat anti inflamasi (Cawson dan Odell, 2008).
Perawatan suportif untuk perawatan suportif dapat dilakukan dengan
pengaturan diet, pemberian obat kumur salin hangat dan anjuran untuk
beristirahat dengan cukup. Terapi biasanya dilakukan secara empiris dan
paliatif. Namun demikian, tidak ada satu obatpun yang dapat benar-benar
menghilangkan lesi dengan sempurna. Penderita perlu diberi tahu bahwa
kelainan tersebut tidak dapat diobati, tetapi dapat diredakan dan biasanya
dapat sembuh sendiri (Cawson dan Odell, 2008).
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengobatan lesi ini adalah:
(Cawson dan Odell, 2008).
 Sifat lesi ringan / parah dan lamanya berlangsung
 Ukuran lesi kecil / besar / kombinasi
 Dengan meningkatnya usia, keparahan lesi berkurang/bertambah, frekuensi
meningkat
 Tidak ada terapi definitif untuk stomatitis aftosa rekuren
 Terapi bersifat simtomatik dan berbeda untuk setiap individu.
3. Obat Periokin Gel
Komposisi : Chlorhexidin digluconate 0,2% (Antiseptik), Methyl
salicylate 0,07% (Analgesik), menthol 0,06% (rasa dingin) dan bahan
tambahan seperti Sorbitol, aqua, castro oil, aroma, eugenol.
Fungsi obat sebagai antiseptic adalah guna untuk membunuh mikroba pada
daerah luka tersebut. Fungsi obat analgesic adalah golongan obat yang
14

menghambat ensim siklooksigenase yang mengkatalis reaksi pembentukan


prostaglandin dari asam arachidonat. Cara kerja Analgesik :

Jaringan Luka

Fosfolipid

Asam Arachidonat

Cyclooxigenase Lipooxigenase

COX 1 COX 2

Tromboxan Prostaglandin (Mediator inflamasi


Prostasiklin yang menyebabkan vasodilatasi)

G. Siklus Menstruasi
Jaringan lunak mulut sensitif terhadap perubahan kadar hormon seks steroid
dalam darah wanita. Saat siklus menstruasi, kadar hormon akan mengalami
perubahan. Kadar hormon akan meningkat lalu menurun secara bermakna pada fase
luteal dari siklus menstruasi. Penurunan kadar hormon progesteron akan
menghambat maturasi sel epitel yang akan memudahkan terjadinya invasi bakteri
sehingga SAR terjadi (Tandjaja, 2014).

H. Hubungan menstruasi dengan terjadinya SAR


Perubahan kadar hormon pada siklus menstruasi dapat menyebabkan SAR. Di
rongga mulut terdapat reseptor hormon seks steroid yang dipengaruhi oleh kadar
hormon seks steroid dalam darah sehingga perubahan kadar hormon yang terjadi
dapat menimbulkan efek pada sel atau jaringan yang lain termasuk pada rongga
mulut. Siklus menstruasi dapat menyebabkan SAR disebabkan penurunan kadar
progesteron (Tarakji, 2015).
Progesteron yang meningkat lalu menurun secara bermakna saat fase luteal pada
siklus menstruasi akan mengaktivasi gejala SAR. Kadar progesteron menurun
15

tersebut dapat menyebabkan faktor self limiting disease berkurang,


polymorphonuclear leukocytes menurun, proses maturasi sel epitel mulut terhambat,
dan permeabilitas vaskuler meningkat (Tarakji, 2015).
Perubahan permeabilitas vaskuler ini menyebabkan penipisan mukosa sehingga
mudahnya terjadi invasi bakteri yang menjadi penyebab iritasi dalam rongga mulut,
dan akhirnya menyebabkan SAR setiap siklus menstruasi. Pada beberapa wanita
tanda akan datang siklus bulanannya dapat diprediksi juga dengan munculnya SAR
pada rongga mulutnya. Oleh karena itu, SAR hampir tidak pernah diderita oleh
wanita hamil kerena peningkatan kadar progesteron selama kehamilan (Tarakji,
2015).

I. Patogenesis
Salah satu factor terjadinya RAS adalah gangguan hormonal. Di dalam penelitian
ini ternyata hormon progesteron yang kadarnya lebih rendah dari normal mempunyai
risiko lebih tinggi pada penderita RAS, Efek progesteron dalam jaringan
periodonsium adalah meningkatkan produksi prostaglandin (self limiting process),
meningkatkan polymorphonuclear leukocytes, mengurangi efek anti-inflamasi dari
glukokortikoid, mengubah sintesis protein kolagen dan nonkolagen serta
metabolisme fibroblast, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler (Savage, 2007).
Pada penderita RAS oleh karena progesteron rendah maka efek self limiting
process berkurang, Polimorphonuclear leucocytes menurun, permeabilitas vaskuler
menurun, Hal-ha1 tersebut diduga akan menyebabkan lesi yang berbentuk sebagai
Apthae atau Recurrent Apthae Stomatitis (RAS) yang muncul secara periodik sesuai
siklus haid (Savage, 2007).
Hubungan siklus menstruasi dengan SAR ditunjukkan pada tingginya penderita
SAR pada wanita yang mencapai dua kali dibanding pada pria, hal ini dilaporkan
oleh Jason dan Maso. Pengaruh ini mungkin disebabkan oleh fluktuasi kadar
estrogen dan progesteron yang reseptornya dapat dijumpai dalam rongga mulut,
khususnya pada gingiva. Pada penderita SAR, dianggap berkurangnya kadar
progesteron hingga 80%, menyebabkan faktor self limiting berkurang,
polymorphonuclear leukocytes menurun, demikian juga permeabilitas vaskuler yang
mengalami vasodilatasi oleh karena pengaruh estrogen, dan menjadi lebih permeabel
oleh pengaruh progesteron.Perubahan permeabilitas ini menyebabkan mudahnya
terjadi invasi bakteri yang menjadi penyebab iritasi atau infeksi dalam rongga mulut
16

dan akhirnya akan menyebabkan ulkus setiap periode pramenstruasi. Penelitian ini
menunjukkan bahwa kadar estradiol yang normal, serta kadar progesteron yang
kurang dari normal berpengaruh terhadap terjadinya ulkus pada penderita SAR saat
mengalami menstruasi (Savage, 2007).

PETA KONSEP

Menstruasi

Karena, tidak
keseimbangan hormon
estrogen dan progesteron

Estrogen Progesteron

Darah berkurang Permeabilitas vaskuler


sehingga suplai darah terganggu
kapiler juga berkurang

Mudah terjadi
mikrolesi

Ulser
17

J. Proses Penyembuhan Luka


Secara umum proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase penyembuhan
dimana dibagi dalam tiga fase utama yaitu (1) Fase inflamasi: (2) Fase proliferative:
(3) Fase maturasi. Fase-fase penyembuhan luka dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Fase Inflamasi
Fase inflamasi terjadi pada awal kejadian atau pada saat luka terjadi hari ke-0
sampai hari ke-3 atau hari ke-5. Terdapat dua kegiatan utama pada fase ini, yaitu
respon vaskuler dan respon inflamasi. Respon vaskuler diawali dengan respon
hemostatic tubuh selama 5 detik pasca luka. Sekitar jaringan yang luka
mengalami iskemia yang merangsang pelapisan histamine dan vasoaktif yang
menyebabkan vasodilatasi, pelepasan trombosit, reaksi vasodilatasi dan
vasokontriksi, dan pembentukan lapisan fibrin. Respon inflamasi adalah reaksi
non spesifik tubuh dalam mempertahankan atau memberi perlindungan terhadap
benda asing yang masuk kedalam tubuh (Arisanty, 2013).
Fase inflamasi ditandai dengan adanya nyeri, bengkak, panas, kemerahan dan
hilangnya fungsi jaringan (Hess, 2008). Tubuh mengalami aktifitas 14 biokimia
dan bioseluler, dimana reaksi tubuh memperbaiki kerusakan sel kulit, leukosit
memberikan perlindungan dan membersihkan makrofag (Arisanty, 2013). 2. Fase
Proliferasi Fase proliferasi terjadi pada hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah 3 hari
penutupan luka sayat. Fase ini ditandai dengan pengeluaran makrofak dan
neutrofil sehingga area luka dapat melakukan sintesis dan remodelling pada
mariks sel ekstraselular (Hubrecht & Kirkwood, 2010).
2. Fase Proliferasi
Pada fase proliferasi makrofak berfungsi menstimulasi fibroblas untuk
menghasilkan kolagen dan elastin kemudian terjadi prose angiogenesis. Pada
proses granulasi kolagen dan elastin yang dihasilkan menutupi luka dan
membentuk matriks jaringan baru. Epitelasi terjadi setelah tumbuh jaringan
granulasi dan dimulai dari tepi luka yang mengalami proses migrasi membentuk
lapisan tipis yang menutupi luka. Sel pada lapisan ini sangat rentan dan mudah
rusak. Sel mengalami kontraksi sehingga tepi luka menyatu dan ukuran luka
mengecil (Arisanty, 2013).
3. Fase Remodeling
Fase remodeling terjadi pada hari ke-8 hingga satu sampai dua tahun. Pada
fase ini terbentuknya jaringan kolagen pada kulit untuk penyembuhan luka
18

(Hubrecht & Kirkwood, 2010). Jaringan kolagen ini akan membentuk jaringan
fibrosis atau bekas luka dan terbentuknya jaringan baru. Sitokin pada sel
endothelial mengaktifkan faktor pertumbuhan sel dan vaskularisasi pada daerah
luka sehingga bekas luka dapat diminimalkan (Piraino & Selemovic, 2015).
Aktifitas yang utama pada fase ini adalah penguatan jaringan bekas luka dengan
aktifitas remodeling kolagen dan elastin pada kulit. Kontraksi sel kolagen dan 15
elastin terjadi sehingga menyebabkan penekanan ke atas kulit. Kondisi umum
pada fase remodeling adalah rasa gatal dan penonjolan epitel di permukaan kulit.
Pada fase ini kulit masih rentan terhadap gesekan dan tekanan sehingga
memerlukan perlindungan (Arisanty, 2013).

IX. Kesimpulan
SAR tidak hanya disebabkan mikroorganisme tetapi juga disebabkan oleh sistem
hormone yaitu esterogen dan progesterone, sehingga terapinya harus
mempertimbangkan nutrisi yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
19

Daftar Pustaka

Arisanty, I dan pupita. 2013. Konsep dasar manajemen perawatan luka. Jakarta: EGC

Cawson, R.A. dan Odell, E.W. 2008. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and
Oral Medicine. Ed. ke-7. Curchill-Livingstone, Edinburgh. Hal. 220 - 224.

Glick M , Greenberg MS, Ship JA. Burkets’s oral medicine. 11th ed., Hamilton: BC
Decker Inc, 2008: 97

Guallar I. B, Soriano Y. J, Lozano A.C. Treatment of recurrent aphthous stomatitis A


literature review. J Clin Exp Dent 2014;6(2):168-74.

Lamey, P.J. dan Lewis, M.A.O. 1991. Oral Medicine in Practice. BDJ Publisher,
London. Hal. 5 – 7.

Malayil S, Thoma`s J, Mol PR, Vineet DA, Thomas S, Vivek V. Frequency of


patients presenting with recurrent aphthous stomatitis: A pilot study. IOSR JDMS
2014; 13: 63-5.

Regezi, J.A., Sciubba, J.J. dan Jordan, R.C. 2008. Oral Pathology. Clinical
Pathologic Correlations. Ed ke-5. Saunders – Elsevier, St. Louis. Hal. 35 – 39.

Scully C, 2006. Clinical practise aphthous ulceration. N Engl J Med, 355(2):


165−172.

Savage WN, Boras VV. Recurrent aphthous ulcerative disease: presentation and
management. Aus Dent J 2007; 52: 10-5.

Subramaniam., Hubungan Stres dan Tekanan Darah Tinggi pada Mahasiswa.2014


ISM, Vol. 2. No.1 Januari-april; Hal.4 – 7.
20

Tandadjaja AK, Hernawan I, Jusri M. Pravalensi stomatitis aftosa rekuren pada wanita
yang masih mengalami menstruasi dengan siklus normal di RSGM Universitas
Airlangga bulan Juli-September 2014. O Med Dent J 2015; 7 (1): 61- 5

Tarakji B, Gazal G, Al-Maweri SA, Azzeghaiby SN, Alaizari N. Guideline for the
diagnosis and treatment of recurrent aphthous stomatitis for dental practitioners. J Int
Oral Health 2015; 7(5): 74-80.

Anda mungkin juga menyukai