Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi mengakibatkan seseorang stress
berat membuat orang marah bahkan kehilangan kontrol kesadaran diri, misalnya:
memaki-maki orang di sekitarnya, membanting–banting barang, menciderai diri
sendiri dan orang lain, bahkan membakar rumah, mobil dan sepeda montor.
Umumnya klien dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke rumah sakit jiwa.
Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan
“pengawalan” oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi.
Perilaku kekerasan seperti memukul anggota keluarga/ orang lain, merusak alat
rumah tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang paling banyak
dikemukakan oleh keluarga. Penanganan yang dilakukan oleh keluarga belum
memadai sehingga selama perawatan klien seyogyanya sekeluarga mendapat
pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien (manajemen perilaku kekerasan).
Asuhan keperawatan yang diberikan di rumah sakit jiwa terhadap perilaku
kekerasan perlu ditingkatkan serta dengan perawatan intensif di rumah sakit umum.
Asuhan keperawatan perilaku kekerasan (RPK) yaitu asuhan keperawatan yang
bertujuan melatih klien mengontrol perilaku kekerasannya dan pendidikan kesehatan
tentang RPK pada keluarga. Seluruh asuhan keperawatan ini dapat dituangkan
menjadi pendekatan proses keperawatan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Resiko Perilaku Kekerasan ?
2. Apa faktor peyebab Resiko Perilaku Kekerasan?
3. Apa saja tanda dan gejala Resiko Perilaku Kekerasan?
4. Bagaimana konsep askep Resiko Perilaku Kekerasan?

1
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Resiko Perilaku Kekerasan
Resiko Perilaku Kekerasan adalah perilaku seseorang yang
menunjukkan bahwa ia dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain atau
lingkungan, baik secara fisik, emosial, seksual, dan verbal ( NANDA,2016).
Resiko Perilaku Kekerasan terbagi menjadi 2, yaitu Resiko Perilaku
Kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-directed violence) dan Resiko
Perilaku Kekerasan terhadap orang lain. (NANDA 2016) menyatakan bahwa
Resiko Perilaku Kekerasan terhadap diri sendiri merupakan perilaku yang
rentan dimana seorang individu bisa menunjukkan atau mendemonstrasikan
tindakan yang membahayakan dirinya sendiri, baik secara fisik emosional
maupun seksual. Hal yang sama juga berlaku untuk Resiko Perilaku
Kekerasan terhadap orang lain, hanya saja ditujukan langsung kepada orang
lain.
Marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai
ancaman. Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku
yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain

B. Faktor Penyebab
1. Faktor Prediposisi pada Perilaku Kekerasan
Faktor predisposisi yang menjadi penyebab perilaku kekerasan dikaitkan
dengan faktor biologis, psikologis dan sosial budaya (Stuart & Laraia,
2005).
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan factor
predisposisi, artinya mungkin terjadi/ mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan
jika faktor berikut dialami oleh individu:
1. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang

2
tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau
sanksi penganiayaan.
2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua
aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif
  

agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan
akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan yang diterima
(permissive).
4. Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal,
lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan
dalam terjadinya perilaku kekerasan.

2. Faktor Biologis pada Perilaku Kekerasan


Faktor biologis menjelaskan kondisi yang berpengaruh terhadap
perilaku kekerasan. Faktor biologis yang berpengaruh terhadap munculnya
perilaku kekerasan antara lain gangguan pada sistem limbik, lobus frontal,
hipotalamus dan neurotransmitter (Stuart & Laraia, 2005).
Sistem limbik adalah area otak yang menjadi pusat dari kontrol emosi.
Sistem limbik berperan sebagai penengah dari dorongan dasar dan ekspresi
dari emosi serta perilaku, seperti makan, agresivitas, dan respon seksual.
Sistem limbik juga berfungsi untuk proses informasi dan daya ingat.
Khusus pada area amigdala, salah satu bagian dari sistem
limbik, ia berfungsi sebagai penengah antara ekspresi takut dan
amuk. Pengolahan informasi dari dan untuk area lain di otak berpengaruh
terhadap pengalaman emosi dan perilaku. Perubahan pada sistem limbik
dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan risiko perilaku kekerasan
(Stuart & Laraia, 2005).
Menurut Towsend (2009), lobus frontal terlibat dalam dua fungsi
bicara, fungsi pikir dan kontrol berbagai ekspresi emosi. Kerusakan pada
frontal mengakibatkan gangguan untuk membuat keputusan, perubahan
personalitas, masalah dalam membuat keputusan dan perilaku agresif.
Pada klien dengan perilaku kekerasan ditemukan penurunan fungsi otak di
area frontal dan temporal. Dari pemeriksaan gambaran otak perilaku

3
kekerasan pada klien menunjukkan adanya penurunan metabolisme di area
frontal otak.
Hipotalamus adalah area yang terdapat pada batang otak. Berfungsi
sebagai alarm otak yang akan mempengaruhi pengeluaran hormon steroid
akan menyebabkan terjadinya kekerasan (Stuart & Laraia, 2005).
Hipotalamus akan meningkatkan stimulus untuk meningkatkan
pengeluaran hormon streroid akibat adanya peningkatan stressor akibat
berbagai keadaan misalnya riwayat perilaku kekerasan.
Akibat dari stimulus berulang sistem respon lebih hebat. Stres akan
meningkatkan kadar steroid yakni hormon yang disekresi oleh kelenjar
adrenal, reseptor syaraf untuk hormon ini menjadi kurang sensitif dalam
usaha untuk kompensasi dan hipotalamus memerintahkan kelenjar
pituitary untuk melepaskan steroid.
Neurotransmitter otak seperti serotonin, dopamin, norephineprin,
berhubungan dengan perilaku kekerasan. Neurotransmitter merupakan zat
kimia otak yang mentransmisikan dari dan ke neuron melewati sinaps,
yang menyebabkan komunikasi antar struktur otak. Peningkatan atau
penurunan substansi ini dapat mempengaruhi perilaku kekerasan (Stuart &
Laraia, 2005).
Karakteristik biologis lain yang berhubungan dengan perilaku
kekerasan yaitu riwayat penggunaan NAPZA. Perilaku agresif dan
perilaku kekerasan dipengaruhi oleh penggunaan alkohol, cocain,
amphetamine. Penggunaan NAPZA berdampak pada otak, mempengaruhi
terapi dan perawatan yang diberikan.
Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi perilaku kekerasan 12 kali
lebih besar pada pengguna alkohol dan ketergantungan, serta 16 kali lebih
besar pada ketergantungan obat. Frekuensi dirawat menunjukkan seberapa
sering individu dengan perilaku kekerasan mengalami sekambuhan. (Stuart
& Laraia, 2005)
3. Faktor Psikologis pada Perilaku Kekerasan
Faktor psikologis yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan,
yaitu kehilangan, penguatan dan dukungan terhadap perilaku kekerasan,
korban kekerasan secara fisik dan terpapar perilaku kekerasan (Townsend,

4
2009). Berdasarkan teori psikologi, terdapat beberapa hal yang dapat
berpengaruh terhadap perilaku kekerasan.
Ada teori psikoanalatik, teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa nyaman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego
dan konsep diri yang rendah dengan agresif dan kekerasan
dapat meningkatkan citra diri klien yang dianggapnya hilang, sedangkan
teori pembelajaran adalah perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipelajari individu yang memiliki pengaruh biologi terhadap perilaku
kekerasan lebih cenderung dipengaruhi oleh peran eksternal.
Townsend (2009) menyatakan psikotik dan sifat kepribadian anti
sosial, gangguan jiwa faktor risiko perilaku kekerasan. Faktor psikologis
lainnya yang sangat mempengaruhi perilaku kekerasan adalah kegagalan
untuk mengembankan kontrol individu atau kemampuan menunda
terpenuhinya keinginan. Kualitas tersebut dapat menyebabkan klien yang
impulsif, mudah frustrasi, dan rentan terhadap perilaku agresif (Videbeck,
2008).
Riwayat kekerasan dapat berupa korban perilaku kekerasan atau
terpapar perilaku kekerasan. Korban perilaku kekerasan artinya mendapat
perlakuan kekerasan seperti dipukul, dicubit, atau dihina. Terpapar
perilaku kekerasan yaitu sering melihat perilaku kekerasan misalnya
tontonan televisi dengan kekerasan, orang tua berkelahi di depan anak,
informasi penuh kekerasan. Hal ini membuat individu belajar bahwa
perilaku kekerasan merupakan solusi dalam pemecahan masalah (Stuart &
Laraia, 2005).

4. Faktor Sosiokultural dan Spiritual pada Perilaku Kekerasan


Faktor sosiokultural dan spiritual menjelaskan pengaruh lingkungan
sosial, budaya dan nilai terhadap terjadinya perilaku kekerasan. Faktor
sosial adalah aspek yang dimiliki individu yang terdiri dari konsep diri,
hubungan interpersonal, peran budaya lingkungan dan keluarga sehingga
dapat menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Faktor spiritual yaitu
nilai atau keyakinan individu terhadap ekspresi perilaku.
Faktor sosial budaya lainnya yang sangat mempengaruhi terjadinya
perilaku kekerasan yang berhubungan permasalahan dalam kehidupan

5
yaitu masalah rumah tangga, stres di tempat kerja, tingginya tingkat
pengangguran. Kepercayaan (spiritual), nilai dan moral mempengaruhi
ungkapan marah. Keyakinan akan membantu individu untuk memilih
ekspresi kemarahan yang diperbolehkan.
5. Faktor Lingkungan Rumah Sakit pada Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan tidak hanya disebabkan aspek
biopsikososiospiritual, tetapi dapat pula disebabkan oleh faktor yang ada di
ruang Rumah Sakit. Stuart & Laraia (2005), menyatakan suatu model yang
dapat dikembangkan bagi intervensi perilaku kekerasan di ruang rawat
dengan menyertakan tiga faktor yang saling berhubungan sebagai
penyebab klien berperilaku agresif di ruang rawat psikiatri, yaitu variabel
ruangan, klien, dan petugas.
6. Faktor Ruangan pada Perilaku Kekerasan
Berada pada ruang yang terkunci, terpisah atau terikat, ruangan terlalu
padat, tidak ada istirahat, tidak ada privasi dan kegiatan yang tidak
terprogram dapat memicu terjadinya perilaku kekerasan (Stuart & Laraia,
2005).
7. Faktor Klien pada Perilaku Kekerasan
Faktor ini disebabkan oleh klien lain ketidakmengertian akan tujuan
tindakan atau aturan-aturan ruangan. Situasi dan perasaan orang berada
dalam bahaya (Videbeck, 2008)
8. Faktor Petugas pada Perilaku Kekerasan
Ketidaktahuan akan tujuan tindakan atau aturan-aturan ruangan. staf yang
kurang berpengalaman, aturan ruangan yang tidak jelas, serta masalah
interpersonal antaran klien dan petugas. Uji teori tentang perilaku
kekerasan di ruang psikiatri menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara
gaya kepribadian seseorang dan lingkungan rumah sakit terhadap perilaku
kekerasan.
9. Faktor Presipitasi pada Perilaku Kekerasan
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang mengubah atau menekan
sehingga memunculkan gejala saat ini. Faktor ini meliputi empat hal yaitu
sifat stressor, asal stressor, waktu stressor yang di alami, dan banyaknya
stressor yang dihadapi oleh seseorang. Asal stressor untuk mengkaji asal
stressor, dari internal atau eksternal. Internal yaitu stressor yang berasal

6
dari internal individu, sedangkan stressor eksternal yang berasal dari luar
individu atau lingkungan (Stuart & Laraia, 2005).
Sifat dari stressor yang tergolong komponen biologis misalnya: penyakit
kronis atau kelainan pada otak. Komponen psikologis misalnya: stressor
terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan otak. Komponen sosial
budaya misalnya: adanya aturan yang sering bertentangan dengan klien
dan kelompok masyarakat. Waktu atau lamanya terpapar stressor, terkait
dengan sejak kapan, sudah berapa lama, serta berapa kali kejadiannya
(Wilkinson, 2007)

- Rentang respon
Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal adaptif.
Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut:
a.       Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan
orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
b.      Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
c.       Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan
perasaan yang dialami.
d.      Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak
orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk
mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama
dari orang lain.
e.       Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya
sendiri maupun terhadap orang lain.

C. Tanda dan Gejala Resiko Perilaku Kekerasan


Tanda dan gejala Resiko Perilaku Kekerasan dapat dinilai dari
ungkapan pasien dan didukung dengan hasil observasi.
1. Data Subjektif
a. Ungkapan berupa ancaman

7
b. Ungkapan kata-kata kasar
c. Ungkapan ingin memukul / melukai
2. Data Objektif
a. Wajah memerah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Mengatupkan rahang dengan kuat
d. Mengepalkan tangan
e. Bicara kasar
f. Suara tinggi, mejerit atau berteriak
g. Mondar mandir
h. Melempar atau memukul benda atau orang

- Pengobatan medik
a.       Farmakoterapi
1)      Obat anti psikosis, phenotizin (CPZ/HLP)
2)      Obat anti depresi, amitriptyline
3)      Obat anti ansietas, diazepam, bromozepam, clobozam
4)      Obat anti insomnia, phneobarbital
b.      Terapi modalitas
1)       Terapi keluarga
Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu mengatasi
masalah klien dengan memberikan perhatian:
a)      BHSP
b)      Jangan memancing emosi klien
c)      Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan keluarga
d)     Memberikan kesempatan pada klien dalam mengemukakan pendapat
e)      Anjurkan pada klien untuk mengemukakan masalah yang dialami
f)       Mendengarkan keluhan klien
g)      Membantu memecahkan masalah yang dialami oleh klien
h)      Hindari penggunaan kata-kata yang menyinggung perasaan klien
i)        Jika klien melakukan kesalahan jangan langsung memvonis
j)        Jika terjadi PK yang dilakukan adalah:
-          Bawa klien ketempat yang tenang dan aman
-          Hindari benda tajam

8
-          Lakukan fiksasi sementara
-          Rujuk ke pelayanan kesehatan
2)       Terapi kelompok
Berfokus pada dukungan dan perkembangan, ketrampilan
social atau aktivitas lai dengan berdiskusi dan bermain untuk
mengembalikan kesadaran klien karena masalah sebagian orang
merupakan perasaan dan tingkah laku pada orang lain.
3)       Terapi musik
Dengan music klien terhibur, rilek dan bermain untuk
mengembalikan kesadaran klien.

9
D. Konsep Asuhan Keperawatan Resiko Perilaku Kekerasan
1. Pengkajian
Resiko Perilaku Kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis. Perilaku
kekerasan dapat dilakukan secara verbal yang diarahkan pada diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan.
a. Faktor predisposisi
a) Faktor biologis
- Teori dorongan naluri : teori ini menyatakna bahwa perilaku
kekerasan disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan dasar
yang kuat.
- Teori psikomatik : pengalaman marah dapat diakibatkan oleh
respon psikologi terhadap stimulus eksternal maupun internal.
b) Faktor Psikologis
- Teori agresif frustasi : teori ini menerjemahkan perilaku
kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi frustasi. Hal ini dapat
terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu
gagal atau terhambat.
- Teori perilaku : kemarahan merupakan bagian dari proses
belajar. Hal ini dapat dicapai apabila tersedia fasilitas atau
situasi yang mendukung.
- Teori eksistensi : salah satu kebutuhan dasar manusia adalah
tindak sesuai perilaku. Apabila kebutuhan tersebut tidak
dipenuhi melalui perilaku konstruktif, maka individu akan
memenuhi kebutuhannya melalui perilaku destruktif.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi ini berhubugan dengan pengaruh stressor yang
mencetuskan perilaku kekesaran bagi setiap individu. Stresos dapat
disebabkan dari luar maupun dalam. Stressor dari luar berupa serang
fisik, kehilangan, kematian, dan lain-lain. Stresor dari dalam berupa
kehilangan keluarga/sahabat yang dicintai, ketakutan terhadap penyakit
fisik, penyakit dalam, dan lain-lain.

10
c. Mekanisme Koping
Perawat perlu mempelajari mekanisme koping untuk membantu
klien mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam
mengekspresikan marahnya. Secara umum, mekanisme koping yang
sering digunakan, antara lain mekanisme pertahan ego.
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul
karena adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai
pada klien marah untuk melindungi diri antara lain:
a.       Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya
di mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami
hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang
sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain
seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya,
tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b.      Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda
yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap
rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut
mencoba merayu, mencumbunya.
c.       Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau
membahayakan masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak
yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan
tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil
bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan
dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan
akhirnya ia dapat melupakannya.
d.      Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang
berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya
seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kasar.
e.       Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya
bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang
pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy

11
berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari
ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai
bermain perang-perangan dengan temannya.

d. Perilaku
a) Menyerang atau menghindari
b) Menyatakan secara asertif
c) Memberontak
d) Perilaku kekerasan
2. Diagnosa keperawatan
Pohon masalah diagnosis Resiko Perilaku Kekerasan

Resiko Mencederai Diri Sendiri, Orang Lain Dan


Lingkungan

Resiko Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan

12
3. Perencanaan
Diagnosis Perencanaan
Keperawatan Tujuan (TUK/TUM) Kriteria Evaluasi Intervensi Rasional
Resiko Perilaku TUM : Klien menunjukkan tanda- 1.1. Bina hubungan saling percaya Kepercayaan dari
Kekerasan Klien dan keluarga tanda percaya kepada dengan mengemukakan prinsip klien merupakan
mampu mengatasi atau perawat melalui : komunikasi teraupetik : hal yang akan
mengendalikan resiko a. Ekspresi wajah a. Mengucapkan salam teraupetik. Sapa memudahkan
perilaku kekerasan. cerah, tersenyum klien dengan ramah, baik verbal perawat dalam
b. Mau berkenalan maupun nonverbal melakukan
TUK 1 : c. Ada kontak mata b. Berjabat tangan dengan klien pendekatan
1. Klien dapat d. Bersedia c. Perkenalan diri dengan sopan keperawatan atau
membina menceritakan d. Tanyakan nama lengkap klien dan intervensi
hubungan perasaannya nama panggilan yang disukai klien selanjutnya
saling percaya e. Bersedia e. Jelaskan tujuan pertemuan terhadap klien
mengungkapkan f. Membuat ontrak topik, waktu dan
masalah tempat setiap kali bertemu klien
g. Tunjukan sikap empati dan menerima
klien apa adanya
h. Beri perhatian kepada klien dan
perhatian kebutuhan dasar klien
TUK 2 : Setelah 3x intervensi, 2.1. Bantu klien mengungkapkan Menentukan
Klien dapat klien dapat : perasaan marahnya : mekanisme koping
mengidentifikasi 1. Menceritakan a. Diskusikan bersama klien untuk yang dimiliki oleh
penyebab perilaku penyebab perilaku menceritakan penyebab rasa kesal klien dalam
kekerasan yang kekerasan yang atau rasa jengkelnya. meghadapi
dilakukannya dilakukannya b. Dengarkan penjelasan klien tanpa masalah. Selain
2. Menceritakan menyelaa atau memberi penilaian itu, juga sebagai
penyebab perasan pada setiap ungkapan perasaan klien langkah awal

13
jengkel atau kesal, dalam menyusun
baik dari diri sendiri strategi berikutnya.
maupun
lingkungannya
TUK 3 : Setalah 3x intervensi, klien Membantu klien mengungkapkan tanda-tanda Dateksi dini dapat
Klien dapat dapat menceritakan tanda- perilaku kekerasan yang dialaminya : diskusikan mencegah
mengidentifikasi tanda perilaku kekerasan dan motivasi klien untuk menceritakan kondisi tindakan yang bisa
tanda-tanda perilaku secara : fisik saat perilaku kekerasan terjadi membahayakan
kekerasan a. Fisik : mata merah, 3.1. Diskusikan dan otivasi klien untuk klien dan
tangan mengepal, menceritakan kondisi fisik saat perilaku lingkungan sekitar
ekspresi tegang, dan kekerasan terjadi
lain-lain 3.2. Diskusikan dan motivasi klien untuk
b. Emosional, menceritakan kondisi emosinya saat
perasaan marah, terjadi perilaku kekerasan
jengkel, bicara 3.3. Diskusikan dan motivasi klien untuk
kasar menceritakan kondisi psikologis saat
c. Sosial: bermusuhan terjadi perilaku kekerasan
yang dialami saat 3.4. Diskusikan dan motivasi klien untuk
terjadi perilaku menceritakan kondisi hubungan dengan
kekerasan orang lain saat terjadi perilaku kekerasan
TUK 4 : Setelah dilakukan 3x Diskusikan dengan klien seputar perilaku Melihat
Klien dapat intervensi , klien kekerasan yang dilakukannya selama ini . mekanisme koping
mengidentifikasi jenis menjelaskan : 4.1. Diskusikan dengan klien seputar perilaku klien dalam
perilaku kekerasan a. Jenis-jenis ekspresi kekerasan yang dilakukannya selama ini menyelesaikan
yang pernah kemarahan yang 4.2. Motivasi klien menceritakan jenis-jenis masalah yang
dilakukannya selama ini telah tindak kekerasan yang selama ini pernah dihadapi.
dilakukannya dilakukannya
b. Perasaanya saat 4.3. Motivasi klien menceritakan perasaan klien
melakukan setelah tindak kekerasan terjadi
kekeraan 4.4. Diskusikan apakah dengan tindak kekerasan
c. Efektivitas yang yang dilakukannya, masalah yang dialami
dipakai dalam teratasi

14
menyelesaikan
masalah
TUK 5 : Setelah 3x intervensi klien Diskusikan dengan klien akibat negatif atau Membantu koien
Klien dapat menjelaskan akibat yang kerugian dari cara atau tindakan kekerasa yang melihat dapat yang
mengidentifikasi timbul dari tindak dilakukan pada : ditimbulkan akibat
akibat dari perilaku kekerasan yang a. Diri sendiri perilaku kekerasan
kekerasan. dilakukannya : b. Orang lain/ keluarga yang dilakukan
a. Diri sendiri : luka, c. lingkungan klien
dijauhi teman, dll
b. Orang lain atau
keluarga : luka,
tersinggung,
ketakutan,dll
c. Lingkungan :
barang atau benda
rusak, dll
TUK 6 : Setelah 3x intervensi, klien Diskusikan dengan klien seputar : Menurunkan
Klien dapat dapat menjelaskan : cara- 6.1 Apakah klien mau mempelajari cara baru perilaku yang
mengidentifikasi cara cara sehat dalam mengngungkapkan marah yang sehat destruktif yang
konstruktif atau cara- mengungkapkan marah 6.2 Jelaskan berbagai alternatif pilihan untuk berpotensi
cara sehat dalam mengungkapkan kemarahan selain perilaku mencederai klien
mengungkapkan kekerasan yang diketahui klien dan lingkungan
kemarahan 6.3 Jelaskan cara-cara sehat mengungkapkan sekitar.
kemarahan :
a. Cara fisik : nafas dalam, pukul
bantal/kasur, olahraga
b. Verbal : mengungkapkan bahwa dirinya
sedang kesal kepada orang lain
c. Sosial : latihan asertif dengan orang lain
d. Spiritual : sembahyang atau doa, zikir,
meditasi, dsb sesuai dengan keyakinan
agama masing-masing

15
TUK 7 : Setelah 3x intervensi, klien 7.1 diskusikan cara yang mungkin dipilih serta Keinginan untuk
Klien dapat memperagakan cara anjurkan klien memilih cara yang mungkin marah yang tidak
mendemonstrasikan mengontrol perilaky diterapkan untuk mengungkapkan kemarahan. bisa diprediksi
cara mengontrol kekerasan secara fisik, 7.2 latih klien memperagakan cara yang dipilih waktunya serta
perilaku kekerasan. verbal, dan spiritual dengan dengan melaksanakan cara yang dipilih. siapa yang akan
cara berikut : 7.3 jelaskan manfaat cara tersebut. memicunya
a. Fisik : tarik nafas 7.4 anjurkan klien menirukan pragaan yang sudah meningkatkan
dalam, memukul dilakukan. kepercayaan diri
bantal/kasur. 7.5 beri penguatan pada klien, perbaiki cara yang klien serta
b. Verbal : masih belum sempurna asertivitas
mengungkapkan 7.6 anjurkan klien menggunakan cara yang sudah (ketegasan) klien
perasaan dilatih saat marah/jengkel saat marah/jengkel
kesal/jengkel pada
orang lain tanpa
menyakiti
c. Spiritual : zikir/doa,
meditasi sesuai
agamanya
TUK 8 : Kriteria evaluasi : 8.1 diskusikan pentingnya peran serta keluarga Keluarga
Klien mendapat Setelah 3x intervensi, sebagai pendukung klien dalam mengatasi merupakan sistem
dukungan keluarga keluarga mampu : resiko perilaku kekerasan. pndukung utama
untuk mengontrol a. Menjelaskan cara 8.2 diskusikan potensi keluarga unruk membantu bagi klien dan
resiko perilaku merawat klien klien mengatasi perilaku kekerasan merupakan bagian
kekerasan dengan resiko 8.3 jelaskan pengertian, penyebab, akibat, dan penting dari
perilaku kekerasan cara merawat klien resiko perilaku kekerasan rehabilitasi klien
b. Mengungkapkan yang dapat dilaksanakan oleh keluarga
rasa puas dalam 8.4 peragakan cara merawat klien (menangani
merawat klien PK)
dengan resiko 8.5 berikan kesempatan keluarga untuk
perilaku kekerasan memperagakan ulang cara perawataan klien.
8.6 beri pujian kepada keluarga setelah peragaan.

16
8.7 tanyakan peraaan keluarga setelah mncoba
cara yang dilatihkan
TUK 9 : Kriteria evaluasi : 9.1 jelaskan manfaat menggunkan obat secara Menyukseskan
Klien menggunakan Setelah 3x intervensi, klien teratur dan kerugian jika tidak menggunakan program
obat sesuai program bisa menjelaskan : obat . pengobatan klien
yang telah ditetapkan a. Manfaat minum 9.2 jelaskan kepada klien :
obat a. jenis obat (nama, warna, Obat dapat
b. Kerugian tidak dan bentuk obat). mengontrol resiko
minum obat b. Dosis yang tepat untuk perilaku kekerasan
c. Nama obat klien klien dan dapat
d. Bentuk dan warna c. Waktu pemakaian membantu
obat d. Cara pemakaian penyembuhuan
e. Dosis yang e. Efek yang dirasakan klien klien
diberikan 9.3 anjurkan klien untuk :
kepadanya a. minta dan menggunakan Mengontrol
f. Waktu obat tepat waktu kegiatan klien
pemakaiannya b. lapor keperawat/dokter minum obat dan
g. Cara pemakaian jika mengalami efek yang mencegah klien
h. Efek yang dirasakan tidak biasa putus obat.
i. Klien menggunakan 9.4 beri pujian terhadap kedisiplinan klien
sesuai program menggunakan obat

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Resiko Perilaku Kekerasan adalah perilaku seseorang yang menunjukkan
bahwa ia dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain atau lingkungan, baik
secara fisik, emosial, seksual, dan verbal ( NANDA,2016). Resiko Perilaku
Kekerasan terbagi menjadi 2, yaitu Resiko Perilaku Kekerasan terhadap diri sendiri
(risk for self-directed violence) dan Resiko Perilaku Kekerasan terhadap orang lain.
(NANDA 2016) menyatakan bahwa Resiko Perilaku Kekerasan terhadap diri sendiri
merupakan perilaku yang rentan dimana seorang individu bisa menunjukkan atau
mendemonstrasikan tindakan yang membahayakan dirinya sendiri, baik secara fisik
emosional maupun seksual. Hal yang sama juga berlaku untuk Resiko Perilaku
Kekerasan terhadap orang lain, hanya saja ditujukan langsung kepada orang lain.

18
DAFTAR PUSTAKA
Sutejo. 2017. Keperawatan Jiwa Konsep dan Praktik Asuhan Keperawatan Jiwa :
Gangguan Jiwa dan Psikososial. Yogyakarta. Pustaka Baru Press

19

Anda mungkin juga menyukai