Anda di halaman 1dari 19

INFORMED CONSENT DALAM KEPERAWATAN

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
PRODI DIII KEPERAWATAN 2021 TINGKAT I
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Etika Keperawatan. Terima kasih
saya ucapkan kepada yang telah membantu kami baik secara moral maupun materi. Terima kasih
juga saya ucapkan kepada teman-teman seperjuangan yang telah mendukung kami sehingga
kami bisa menyelesaikan tugas ini tepat waktu.

Kami menyadari, bahwa laporan yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna baik
segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa
menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk
perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…

BAB 1…………………………………………………………………………………………

A. Latar Belakang Masalah............................................................................................


B. Rumusan Masalah......................................................................................................
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................

D. Manfaat Penulisan......................................................................................................
BAB 2………………………………………………………………………………………...

A. Pengertian Informed Consent……………………………………………………….

B. Sejarah Informed Consent…………………………………………………………...

C. Komponen-komponen Informed Consent…………………………………………..

D. Tujuan Pelaksanaan Informed Consent…………………………………………….

E. Fungsi Pemberian Informed Consent……………………………………………….

F. Ruang Lingkup Informed Consent………………………………………………….

G. Peran Perawat dalam Pemberian Informed Consent………………………………

H. Aspek Hukum Informed Consent……………………………………………………

I. Hal-hal yang Mempengaruhi Proses Informed Consent…………………………...

J. Kualitas Informasi yang di berikan………………………………………………….

BAB 3 PENUTUP……………………………………………………………………………

A. Kesimpiulan…………………………………………………………………………..
B. Saran………………………………………………………………………………….

Daftar Pustaka………………………………………………………………………………

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam rangka mempertahankan kesehatan yang optimal


harus dilakukan bersama-sama, oleh semua tenaga kesehatan sebagai konsekuensi dari
kebijakan. Pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang
diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat menempatkan tenaga keperawatan
sebagai tenaga kesehatan mayoritas yang sering berhubungan dengan pasien sebagai pengguna
jasa pelayanan rumah sakit. Perawat hadir 24 jam bersama pasien dan memiliki hubungan yang
lebih dekat dengan pasien dibandingkan tenaga kesehatan lain. Pelayanan keperawatan berupa
bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan/atau mental, keterbatasan
pengetahuan serta kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
Keperawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan menurut Peraturan Pemerintah No.
32 Tahun 1996. Perawat diposisikan sebagai salah satu dari profesi tenaga kesehatan yang
menempati peran yang setara dengan tenaga kesehatan lain. Perjalanan awalnya perawat hanya
dianggap okuvasi (pekerjaan) saja yang tidak membutuhkan profesionalisme. Sejalan dengan
perkembangan ilmu dan praktek keperawatan, perawat sudah diakui sebagai suatu profesi,
sehingga pelayanan atau asuhan keperawatan yang diberikan harus didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan. Dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawat harus terlebih dahulu
memberikan informed consent kepada pasien. Persetujuan tindakan medik atau informed consent
adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara
tertulis maupun lisan, tetapi setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan persetujuan.

Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang akan
dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk
meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan
terhadap diri mereka sendiri. Dalam permenkes 585/Men.Kes/Per/ IX/1989 tentang persetujuan
medik pasal 6 ayat 1 sampai 3 disebutkan bahwa yang memberikan informasi dalam hal tindakan
bedah adalah dokter yang akan melakukan operasi, atau bila tidak ada, dokter lain dengan
pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Dalam hal tindakan yang bukan
bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau
perawat, dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Dalam peraturan
pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1
disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya
berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk menghormati hak pasien, memberikan
informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban
untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan. Tenaga kesehatan yang tidak
menunaikan hak pasien untuk memberikan informed consent yang jelas, bisa dikategorikan
melanggar case law (merupakan sifat hukum medik) dan dapat menimbulkan gugatan dugaan
mal praktek. Belakangan ini masalah malpraktek medik (medical malpractice) yang cenderung
merugikan pasien semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat dan sorotan media massa.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Pusat di Jakarta mencatat sekitar 150 kasus
malpraktik telah terjadi di Indonesia. Meskipun data tentang malpraktek yang diakibatkan oleh
informed consent yang kurang jelas belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus malpraktek
baru mulai bermunculan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Informed Consent pada pasien ?

C. Tujuan

a) Tujuan Umum

1. Menjelaskan Informed Consent pada pasien

b) Tujuan Khusus

1. Menjelaskan pengertian Informed consent

2. Menjelaskan komponen-komponen Informed consent

3. Menjelaskan tujuan pelaksanaan Informed Consent

4. Menjelaskan fungsi pemberian Informed Consent

5. Menjelaskan ruang lingkup informed consent

6. Menjelaskan peran perawat dalam pemberian Informed Consent

7. Menjelaskan hal – hal yang di informasikan pada pasien

8. Menjelaskan aspek hukum Informed Consent


9. Menjelaskan hal-hal yang mempengaruhi proses Informed Consent

10. Menjelaskan kualitas Informasi yang di berikan

D. Manfaat

a) Bagi Mahasiswa

Agar mampu memahami tentang bagaimana pemberian informed consent pada pasien
agar dapat meningkatkan kesehatan di masyarakat.

b) Bagi Institusi

Agar dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang pemberian informed consent
pada pasien dan dapat lebih banyak menyediakan referensi-referensi buku tentang etika
dan hukum kesehatan.

c) Bagi Masyarakat

Agar lebih mengerti dan memahami tentang pemberian informed consent pada pasien
untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Informed Consent

Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan sebagai suatu
kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya
setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk
menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.

B. Sejarah Informed Consent


Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan suatu konsep yang relatif masih baru
dalam sejarah etika medis. Secara histori konsep ini muncul sebagai suati prinsip yang secara
formal ditegaskan hanya setelah Perang dunia ke II, yakni sebagai reaksi dan tindakan lanjut dari
apa yang disebut pengadilan Nuremberg, yakni pengadilan terhadap para penjahat perang zaman
Nazi. Prinsip informed consent merupakan reaksi terhadap kisah-kisah yang mengerikann
tentang pemakaian manusia secara paksa sebagai kelinci percobaan medis di kamp-kamp
konsentrasi. Sejak pengadilan Nuremberg, prinsip inforned consent cukup mendapat perhatian
besar dalma etika biomedis (Sudarminta, J. 2001). Dalam hukum Inggris-Amerika, akjaran
tentang informed consent juga berkaitan dengan kasus-kasus malpraktek yang melibatkan
perbuatan tertentu pada tubuh pasien yang kompeten tanpa persetujuannya dalam kasus tersebut
dipandang tidak dapat diterima lepas dari pertimbangan kualitas pelayanan. Mengingat
pentingnya informed consent dalam pelayanan medis, maka dalam salah satu butir panduan
(yakni butir No. 11) dan butir-butir panduan etis untuk Lembaga-lembaga Pelayanan Medis
Katolik di Amerika terdapat pernyataan sebagai berikut. Pasien adalah pembuat keputusan
utama dalam semua pilihan yang berhubungan dengan kesehatan dan perawatannya, ini berarti
ia adalah pembuat keputusan pertama, orang yang diandaikan memprakarsai keputusan
berdasarkan keyakinan hidup dan nilai-nilainya. Sedangkan pembuat keputusan sekunder
lainnya juga mempunyai tanggung jawab. Jika secara hukum pasien tidak mampu membuat
keputusan atau mengambil inisiatif, seorang pelaku yang lain yang menggantikan pasien.
Biasanya keluarga pasien, kecuali kalau sebelumnya pasien telah menunjuk orang lain yang
bertanggung jawab untuk berusaha menentukan apa yang kiranya akan dipilih oleh pasien, atau
jika itu tidak mungkin, berusaha dipilih apa yang paling menguntungkan bagi pasien.
Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga merupakan pembuat keputusan kedua,
dengan tanggung jawab menyediakan pertoongan dan perawatan untuk pasien sejauh itu sesuai
dengan keyakinan hidup dan nilai-nilai mereka. Kebijakan dan praktek rumah sakit harus
mengakui serangkai tanggung jawab ini. Para pemegang profesi pelayanan kesehatan
bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang mencukupi dan untuk memberikan
dukungan yang memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu memberikan keputusan yang
dilandasi pengetahuan mengenai perawatan yang mestinya dijalani. Perlu disadari bahwa
bantuan dalam profesi pengambilan keputusan merupakan bagian penting dalam perawatan
kesehatan. Kebijakan dan dokumen mengenai informed consent haruslah diupayakan untuk
meningkatkan dan melindungi otanomi pasien, bukan pertama-tama melindungi rumah sakit dan
petugas pelayanan medis dari perkara pengaduan hukum.

C. Komponen-komponen Informed Consent

1. Threshold elements

Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke
arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten
disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia
untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak
memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh diantaranya terdapat berbagai
tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu.

Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan
berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai
usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang
dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa
sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.

2. Information elements

Terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding


(pemahaman). Elemen ini berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi
kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga
pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi
harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :

a) Standar Praktik Profesi

Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria keadekuatan informasi ditentukan


bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenga medis. Dalam standar ini ada
kemungkinan bakebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat,
misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal
mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.

b) Standar Subyektif

Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat
keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional
medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.

c) Standar pada reasonable person

Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap
cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang
awam.

3. Consent elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi
ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang
bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya

D. Tujuan Pelaksanaan Informed Consent

Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien),
maka pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk:

a) Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis
yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis
yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien
dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi
atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya

b) Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan


pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat
negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun
dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik.
Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali
jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan
(ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
E. Fungsi Pemberian Informed Consent

1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia

2. Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk menentukan nasibnya
sendiri

3. Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan (health care
receiver = HCR)

4. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien

5. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter

6. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional

7. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan

8. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan

9. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan introspeksi terhadap


diri sendiri.

F. Ruang Lingkup Informed Consent

Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis
pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain
yang berperan serta dalam pengobatan pasien. Di Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa
yang kompeten memiliki hak dasar menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk
pelaksanaan dan penghentian pengobatan yang bersifat memperpanjang nyawa. Beberapa
pengadilan membolehkan dokter untuk tidak memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan.
Dalam mempertimbangkan perlu tidaknya mengungkapkan diagnosis penyakit yang berat,
faktor emosional pasien harus dipertimbangkan terutama kemungkinan bahwa pengungkapan
tersebut dapat mengancam kemungkinan pulihnya pasien. Pasien memiliki hak atas informasi
tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan inkonklusif. Hak-hak pasien dalam pemberian inform consent adalah:

 Hak atas informasi

 Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa
yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan
tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya
pengobatan.
 Hak atas persetujuan (Consent)

 Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh
seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana
orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Kriteria consent yang syah
yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada
salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan
tentang kondisi, prosedur dan konsekuensinya. Hak persetujuan atas dasar informasi
(Informed Consent).

 Hak atas rahasia medis

 Hak atas pendapat kedua (Second opinion)

 Hak untuk melihat rekam medik

 Hak perlindungan bagi orang yg tidak berdaya (lansia, gangguann mental, anak dan
remaja di bawah umur)

 Hak pasien dalam penelitian

 Hak pasien membuat keputusan sendiri untuk berpartisipasi, mendapatkan informasi yang
lengkap, menghentikan partisipasi dalam penelitian tanpa sangsi, bebas bahaya,
percakapan tentang sumber pribadi dan hak terhindar dari pelayanan orang yang tidak
kompeten.

 Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah
sakit

 Hak memperoleh pelayanan yg adil dan manusiawi

 Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi keperawatan tanpa diskriminasi

 Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan
peraturan yg berlaku di rumah sakit

 Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi
yg jelas tentang penyakitnya

 Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis

 Hak menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu
tidak mengganggu pasien lainnya
 Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit

 Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya

 Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual

 Hak didampingi perawat atau keluarga pada saat diperiksa dokter

G. Peran Perawat dalam Pemberian Informed Consent

Peran merupakan sekumpulan harapan yang dikaitkan dengan suatu posisi dalam
masyarakat. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Berhubungan dengan profesi keperawatan,
orang lain dalam definisi ini adalah orang-orang yang berinteraksi dengan perawat baik interaksi
langsung maupun tidak langsung terutama pasien sebagai konsumen pengguna jasa pelayanan
kesehatan di rumah sakit. Peran perawat professional dalam pemberian informed consent adalah
dapat sebagai client advocate dan educator. Client advocate yaitu perawat bertanggung jawab
untuk membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi
pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil persetujuan
(informed consent) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya. A client advocate is an
advocate of client’s rights. Sedangkan educator yaitu sebagai pemberi pendidikan kesehatan
bagi klien dan keluarga.

Hal – hal yang dapat di informasikan :

 Hasil Pemeriksaan

Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya
perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka
keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.

 Risiko

Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi yang
dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian
yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian
kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika
seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif
pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang
dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat
dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
 Alternatif

Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia harus
dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa
pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi
yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur,
keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.

 Rujukan atau konsultasi

Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan


pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu.
Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu
melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter
lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.

 Prognosis

Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya,


kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak
mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan
apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan
yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan
bagian dari informed consent.

H. Aspek Hukum Informed Consent

Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan
bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu
perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh
dua pihak. Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak
dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum
administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik
dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga
jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata
secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti
rugi”. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan
berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan
medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana. Aspek Hukum
Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa
adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam
keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana
tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus
menghormatinya; Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan
adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu
tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan
medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP. Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter
harus menyadari bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya
hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan
kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih
banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk
menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut
sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga
diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan
dengan informed consent ini.

I. Hal-hal yang Mempengaruhi Proses Informed Consent

a) Bagi pasien

 Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis

 Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu
untuk tanya jawab

 Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna
informasi

 Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.

b) Bagi petugas kesehatan

 Pasien tidak mau diberitahu.

 Pasien tak mampu memahami.

 Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.

 Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.


J. Kualitas Informasi yang di berikan

Kualitas informasi sangat ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman
seseorang mengolah stimulus menjadi informasi. Burch (1986:5) mengatakan bahwa sebuah
informasi yang berkualitas sangat ditentukan oleh kecermatan (accuracy), tepat waktu
(timeliness) dan relevansinya (relevancy). Keakuratan informasi adalah bila informasi tersebut
terbebas dari bias. Informasi dikatakan tepat waktu bila dihasilkan pada saat diperlukan. Adapun
relevansi suatu informasi berhubungan dengan kepentingan pengambilan keputusan yang telah
direncanakan. Informasi yang tidak adekuat sering menimbulkan masalah dalam
menginterpretasikan perawatan klien di Rumah Sakit seperti kecemasan pada keluarga menolak
dilakukan tindakan medik atau tindakan keperawatan invasif. Adekuatnya informasi sangat
dipengaruhi oleh kemampuan perawat dalam menyampaikan pesan melalui komunikasi
terapeutik, pengetahuan dan pemahaman dasar tentang penyakit.

Dalam melaksanakan tindakan invasif hal-hal yang perlu diinformasikan adalah:

 Alasan dilakukan tindakan tersebut.

 Manfaat atau kegunaannya.

 Langkah-langkah yang akan dilakukan.

 Persiapan yang akan dibutuhkan.

 Cara perawatan setelah pemasangan alat tersebut.

Dengan telah dijelaskannya kegunaan dari pemasangan alat tersebut oleh perawat diharapkan
akan meningkatkan kerja sama perawat dan orang tua yang pada gilirannya diharapkan akan
menurunkan tingkat kecemasan orang tua(Setiawan,1992,Sachari, 1996, Whaley and Wong’s,
1999).Penerimaan informasi bagi seseorang dipengaruhi oleh:

a) Tingkat pendidikan

Semakin tinggi pendidikan orang tua akan semakin luas wawasan pengetahuan dan akan
semakin mudah untuk menerima dan mengangkat informasi yang disampaikan. Tingkat
pendidikan ini akan berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi, penerimaan informasi
oleh petugas kesehatan serta menentukan penilaian objektif dan kognitif terhadap
pengalaman prioritas yang lain (Andrew, MC. Ghie, 1999).

b) Pengalaman
Pengalaman adalah sesuatu yang telah dihayati (Purwardaminta, 1991). Pengalama baik
bersifat efektif dan kognitif akan mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan
terhadap kehidupannya, pengalaman juga dapat terjadi setelah melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera yaitu penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba, sebagian besar pengethuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga (Andrew, MC. Ghie, 1999).

c) Nilai sosial dan budaya

Nilai sosial adalah segala sesuatu yang mendasari perilaku seseorang yang ditinjau dari segi
nilai-nilai, kemanusiaan pengaruh dari individu lain dan sebagainya. Sistem nilai yang
dianut oleh sesorang akan dapat mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan yang diambil
untuk mencapai tujuan. Dalam pembangunan kesehatan, aspek tingkah laku yang didasari
oleh faktor sosial budaya perlu mendapat perhatian, karena umumnya program kesehatan
lebih berhasil apabila intensitas tingkah laku sosial budaya individu ataupun masyarakat
tidak begitu kuat (Azwar, 1996).
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hak pasien yang pertama adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien adalah hak atas informasi dan hak
memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi (informed consent). Jadi, informed
consent merupakan implementasi dari kedua hak pasien tersebut. Hak pasien tersebut merupakan
bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi Undang-Undang.

Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara
dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan
dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai
perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang
ditawarkan pihak lain.

Peran perawat dalam informed consent terutama adalah membantu pasien untuk mengambil
keputusan pada tindakan pelayanan kesehatan sesuai dengan lingkup kewenangannya setelah
diberikan informasi yang cukup oleh tenaga kesehatan. Dasar filosofi tersebut bertujuan untuk
dapat memberikan pelayanan kesehatan yang terintegrasi sehingga dapat mewujudkan keadaan
sejahtera.

Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu
pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk
melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.
Secara umum, seorang dokter diharuskan memperoleh suatu informed consent (persetujuan
medik) dari pasien sebelum melakukan pengobatan. Bahwa seorang anak terlalu muda atau
imatur untuk memberi persetujuannya sendiri tidak membebaskan seorang dokter dari
kewajibannya memperoleh suatu persetujuan medik.

B. Saran

a) Bagi Mahasiswa

Diharapkan mampu memahami tentang bagaimana pemberian informed consent pada


pasien agar dapat meningkatkan kesehatan di masyarakat.
b) Bagi Institusi

Diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang pemberian informed
consent pada pasien dan dapat lebih banyak menyediakan referensi-referensi buku
tentang etika dan hukum kesehatan.

c) Bagi Masyarakat

Diharapkan lebih mengerti dan memahami tentang pemberian informed consent pada
pasien untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja. 2005. Bioetik dan Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit Pustaka Dwipar. J.
Guwandi. Informed consent Consent. FKUI. Jakarta. 2004. M.jusuf H & Amri Amir. Etika
Kedokteran & Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta. 1999. Anonim. (2012). Persetujuan dan
Penolakan terhadap Tindakan Medis.
http://informedconsent_a1.webs.com/persetujuanpenolakan.htm. Diakses pada tanggal 01
November 2012, pukul 11.35 WIB

Anonim. (2012). Mengenal “Informed Consent”. http://www.scribd.com/doc/ 22040447/All-


About-Informed-Consent. Diakses pada tanggal 01 November 2012, pukul 11.35 WIB

Anda mungkin juga menyukai