Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH LAPORAN PENDAHULUAN ( LP )

KEPERAWATAN JIWA TENTANG “ Harga Diri Renda”

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4:


1. Okha Mei Yuni
2. Resti Adidana Anugrah
3. Serli Simamora
4. Sella Pratimi
5. Vina Rezarah
6. Zikri Harbi salam
7. Cindy puspita
8. Ami Cahayani
9. Fikri nDermawan

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
PRODI DIII KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat
dengan waktunya. kami mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada bapak
dosen selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dalam menyelesaikan
makalah ini. Serta kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini.

Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari masih banyak ada kekurangan
baik dari isi materi maupun penyusunan kalimat. Namun demikian, perbaikan
merupakan hal yang berlanjut sehingga kritik dan saran untuk menyempurnakan
makalah ini sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis menyampaikan
terimakasih kepada pembaca dan teman-teman sekalia yang telah membaca dan
mempelajari makalah ini.

Bengkulu, 19 Januari 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Harga diri rendah adalah kondisi seseorang yang menilai


keberadaan dirinya lebih rendah dibandingkan orang lain yang
berpikir tentang hal negatif diri sendiri sebagai individu yang gagal,
tidak mampu dan tidak berprestasi (Keliat, 2010). Harga diri rendah
merupakan kondisi seseorang dimana ia merasa bahwa dirinya tidak
diterima dilingkungan dan gambaran-gambaran negatif tentang
dirinya.
Harga diri rendah dapat dibagi menjadi dua yaitu, harga diri rendah
situasional dan harga diri rendah kronik. Harga diri rendah situasional
adalah keadaan dimana individu yang sebelumnya memiliki harga diri
positif mengalami perasaan negatif mengenai diri dalam berespon
terhadap suatu kejadian. Apabila dari harga diri rendah situasional tidak
ditangani segera, maka lama kelamaan dapat menjadi harga diri rendah
kronik.
Semakin rendah harga diri seseorang akan lebih berisiko terkena
gangguan kepribadian. Pada beberapa penelitian mengaitkan
rendahnya harga diri dengan adanya kecemasan sosial. Sebuah
penelitian menyatakan jika orang yang memiliki harga diri yang
rendah akan memiliki perasaan takut gagal ketika terlibat dalam
hubungan sosial ( Fitria, 2013). Banyak parah ahli menyatakan
bahwa menyebutkan bahwa 26,7% anak memiliki harga diri rendah
situasional pasca mendapat perlakuan bullying yaitu menarik diri dari
lingkungan sekitar untuk memperoleh rasa aman. Jika ini terus
berlanjut pada anak-anak maka akan muncul ide bunuh diri hingga
percobaan bunuh diri karena perasaan malu (Espelage, 2012).
Masa kanak-kanak merupakan masa dimana seorang individu
memerlukan perhatian khusus untuk mengoptimalisasi tumbuh
kembang. Tumbuh kembang anak dapat dipengaruhi oleh dua faktor
utama yaitu, faktor genetik serta faktor lingkungan (Wong, 2008).
Faktor lingkungan secara garis besar dibagi menjadi faktor lingkungan
prenatal dan faktor lingkungan postnatal. Faktor lingkungan prenatal
yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak yakni gizi ibu pada
saat hamil. Gizi ibu yang kurang dapat menghambat pertumbuhan
otak janin (Soetjiningsih, 2002). Tumbuh kembang otak yang
kurang dalam struktur dan fungsi otak dapat menyebabkan
masalah perkembangan pada anak diantaranya adalah perkembangan
mental, salah satunya adalah autisme pada anak.
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang didefenisikan
oleh adanya perkembangan abnormal atau gangguan yang nyata
sebelum usia tiga tahun, dengan tipe karakteristik tidak
normalnya tiga bidang psikopatologi yaitu interaksi sosial,
komunikasi dan stereotip atau perilaku berulang (WHO, 2016). The
Autism Society of America (2009) menyebutkan autis merupakan
gangguan perkembangan yang sangat kompleks dan secara klinis
ditandai oleh kualitas yang kurang dalam kemampuan interaksi
sosial, emosional, komunikasi timbal balik, minat yang terbatas,
perilaku tidak wajar, disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Murni, dkk
(2012),
menyebutkan bahwa anak dengan berkubutuhan khusus seperti
autis
rentan menjadi sasaran bullying. Penyebab dari hal tersebut adalah
karena
siswa autis memiliki gangguan pada komunikasi atau interaksi
sosial. Di
Indonesia, hampir setengah dari anak autis ternyata menjadi
korban bullying di sekolahnya (Merdeka.com, 2012). Anak dan
remaja yan dibully di sekolahn ya akan menjadi lebih depresi,
kesepian, cemas dan menurun prestasinya. Ini berarti pada anak autis
akan berdampak lebih parah.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) (2014) mencatat bahwa

dari total pengaduan bullying, yang terjadi di bidang pendidikan

sebanyak 1.480 kasus. Bullying yang disebut KPAI sebagai

bentuk kekerasan di sekolah, mengalahkan tawuran pelajar,

diskriminasi pendidikan ataupun aduan pungutan liar (Republika,

2014).

KPAI menemukan bahwa anak mengalami bullying di

lingkungan sekolah sebesar (87.6%). Dari angka (87.6%) tersebut,

(29.9%) bullying dilakukan oleh guru, (42.1%) dilakukan oleh teman

sekelas, dan (28.0%) dilakukan oleh teman lain kelas (Prima, 2012).

Fenomena perilaku bullying merupakan bagian dari kenakalan anak

dan diketahui paling sering terjadi pada masa usia sekolah,

dikarenakan pada masa ini anak memiliki egosentrisme yang tinggi

(Edwards, 2006).

Perilaku bullying memberikan efek negatif terutama pada

korban. Penelitian yang dilakukan Uba, dkk (2010) menyebutkan

bahwa terdapat hubungan yang kuat antara harga diri dan perilaku

bullying. Studi lain yang dilakukan Darney, Howcroft, dan Stroud

(2013) membuktikan bahwa seseorang yang pernah mengalami

bullying di sekolah sebelumnya akan berakibat pada penurunan harga

diri pada masa dewasa dan setelahnya dan ini akan berakibat buruk

pada kepribadian dan cara mereka menyelesaikan masalah. Harga diri


merupakan aspek yang paling terpengaruh oleh perilaku bullying

dibandingkan ansietas dan depresi (Febriana, dkk (2016).

Lambatnya penanganan perilaku bullying pada anak-anak akan

memperburuk kondisi karena pengalaman anak usia sekolah terutama

kaitannya dengan harga diri merupakan dasar untuk keberhasilan

transisi mereka menjadi dewasa (Meyer, dkk, 2008). World

Health Organization(2015) menyebutkan bahwa perawat jiwa

merupakan tenaga kesehatan terbesar yang tersebar di seluruh dunia

yaitu sebesar 40%. Dengan jumlah sebanyak ini diharapkan mampu

memecahkan masalah kesehatan jiwa dunia termasuk masalah bullying

pada anak usia sekolah. Keperawatan jiwa komunitas sebagai salah

satu dari pelayanan kesehatan dimasyarakat telah mengembangkan

konsep Community Mental Health Nursing (CMHN).

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Penulis mampu melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan

masalah risiko harga diri rendah dan manjemen kasus: pendidikan

kesehatan tentang perilaku bullying pada Ank. S.

2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan karya ilmiah ini adalah penulis
mampu:
1) Melakukan pengkajian pada klien dengan risiko harga diri
rendah.
2) Menegakkan diagnosa keperawatan jiwa pada klien dengan
risiko harga diri rendah.
3) Merencanakan intervensi keperawatan yang dapat diberikan
pada klien dengan masalah risiko harga diri rendah.
4) Melakukan Implementasi tindakan keperawatan pada klien
dengan masalah risiko harga diri rendah.
5) Melakukan evaluasi terhadap implementasi yang sudah
dilakukan pada klien dengan masalah risiko harga diri rendah.
6) Memaparkan analisa kasus klien dengan masalah risiko
harga diri rendah.
7) Melaksanakan manajemen kasus: pendidikan kesehatan
tentang perilaku bullying.
8) Memaparkan evaluasi pelaksanaan manajemen kasus: pendidikan
kesehatan tentang perilaku bullying.
C. MANFAAT

1. Bagi mahasiswa
Sebagai pengembangan kemampuan mahasiswa dalam hal
pemberian asuhan keperawatan jiwa di komunitas dan menambah
pengalaman mahasiswa dalam merawat klien dengan risiko harga diri
rendah di komunitas.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan,
khususnya ilmu keperawatan jiwa komunitas mengenai perawatan
komprehensif pada klien dengan masalah risiko harga diri rendah.
BAB II
TINJAUAN TEORI DAN KONSEP

A. HARGA DIRI RENDAH

1. Pengertian

Harga diri rendah adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan


menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Perasaan
tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat
evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri (Fajariyah, 2012)
Harga diri rendah adalah semua pemikiran, kepercayaan dan keyakinan
yang merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan mempengaruhi
hubungannya dengan orang lain. Harga diri terbentuk waktu lahir tetapi
dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri,
dengan orang terdekat dan dengan realitas dunia (Stuart,2006)
Gangguan harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri
atau kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak
langsung diekspresikan ( Townsend,2001 ).
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah
diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri
dan kemampuan diri. Adanya perasaan hilang percaya diri, merasa gagal
karena karena tidak mampu mencapai keinginansesuai ideal diri
(Keliat,2001).
Menurut Schult & videbeck (1998) gangguan harga diri rendah adalah
penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan
secara langsung maupun tidak langsung.
Dapat disimpulkan harga diri rendah adalah kurangnya rasa percaya diri
sendiri yang dapat mengakibatkan pada perasaan negatif pada diri sendiri,
kemampuan diri dan orang lain. Yang mengakibatkan kurangnya komunikasi
pada orang lain.
2. Komponen Konsep Diri

Konsep diri adalah semua pikiran, kepercayaan dan kenyakinan yang


diketahui tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan
dengan orang lain (Fajariyah, 2012).
Ciri konsep diri menurut Fajariyah (2012) terdiri dari konsep diri yang
positif, gambaran diri yang tepat dan positif, ideal diri yang realitis, harga diri
yang tinggi, penampilan diri yang memuaskan, dan identitas yang jelas.
Konsep diri terdiri dari citra tubuh (body image), ideal diri (self-ideal), harga
diri (self-esteem), peran (self-role), dan identitas diri (self-identity) (Suliswati,
2004).
a) Citra tubuh
Citra tubuh adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik disadari atau
tidak disadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang mengenai ukuran dan
bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh. Citra tubuh sangat dinamis
karena secara konstan berubah seiring dengan persepsi dan pengalaman-
pengalaman baru. Citra tubuh harus realitis karena semakin dapat menerima
dan menyukai tubuhnya individu akan lebih bebas dan merasa aman dari
kecemasan. Individu yang menerima tubuhnya apa adanya biasanya memiliki
harga diri tinggi daripada individu yang tidak menyukai tubuhnya (Suliswati,
2004).
b) Ideal diri
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaiman ia seharusnya
bertingkah laku berdasarkan standart pribadi. Standart dapat berhubungan
dengan tipe orang yang diinginkan/disukainya atau sejumlah aspirasi, tujuan,
nilai yang ingin diraih. Ideal diri, akan mewujudkan cita-cita atau
penghargaan diri berdasarkan norma-norma sosial dimasyarakat tempat
individu tersebut melahirkan penyesuaian diri (Suliswati, 2004).
c) Harga diri
Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh
dengan menganalisa seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal diri.
Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berasal dari penerimaan diri
sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, dan
kegagalan, tetap merasa sebagai orang yang penting dan berharga
(Stuart,2006).
d) Peran
Peran adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang
diharapkan oleh masyarakat dihubungkan dengan fungsi individu didalam
sekelompok sosial dan merupakan cara untuk menguji identitas dengan
memvalidasi pada orang berarti. Setiap orang disibukkan oleh beberapa peran
yeng berhubungan dengan posisi setiap waktu sepanjang daur kehidupnya.
Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan
dan cocok dengan ideali diri (Suliswati, 2004).
e) Identitas diri
Prinsip penorganisasian kepribadian yang bertanggung jawab
terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi, dan keunikan individu.
Prinsip tersebut sama artinya dengan otonomi dan mencakup persepsi
seksualitas seseorang. Pembentukan identitas, dimulai pada masa bayi
dan terus berlangsung sepanjang kehidupan, tetapi merupakan tugas
utama pada masa remaja (Stuart, 2006).

3. Rentang Respon Konsep Diri


Respon adaptif Respon maladaptif

Akualisasi konsep Harga diri Keracunan Depersonalisasi diri diri positif rendah
identitas.

Menurut Stuart dan Sundeen (1998) respon individu terhadap konsep dirinya
sepanjang rentang respon konsep diri yaitu adaptif dan maladaptif (Fajariyah,
2012).
a). Akualisasi diri adalah pernyataan diri positif tentang latar belakang
pengalaman nyata yang sukses diterima.
b). Konsep diri positif adalah mempunyai pengalaman yang positif
dalam beraktualisasi diri.
c). Harga diri rendah adalah transisi antara respon diri adaptif dengan
konsep diri maladaptif.
d). Keracunan identitas adalah kegagalan individu dalam
kemalangan aspek psikososial dan kepribadian dewasa yang harmonis.

e). Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realitis terhadap diri


sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan dirinya dengan orang lain. (Fajariyah, 2012)

4. Etiologi
Penyebab terjadi harga diri rendah adalah :
a). Pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas
keberhasilannya.
b. Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang dihargai,
tidak diberi kesempatan dan tidak diterima.
c). Menjelang dewasa awal sering gagal disekolah, pekerjaan, atau pergaulan
d). Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan
menuntut lebih dari kemampuannya. (Yosep, 2009)

5. Tanda dan gejala harga diri rendah


Tanda gejala harga diri rendah menurut (Carpenito 2003) antara lain
yaitu perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan
terhadap penyakit, rasa bersalah terhadap diri sendiri, merendahkan martabat,
gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri, tidak ingin bertemu dengan
orang lain, lebih suka sendiri, percaya diri kurang, sukar mengambil
keputusan mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan
yang suram, ingin mengakhiri kehidupan. Tidak ada kontak mata, sering
menunduk, tidak atau jarang melakuakan kegiatan sehari- hari, kurang
memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak rapi, berkurang selera makan,
bicara lambat dengan nada lemah.

6. Akibat terjadinya harga diri rendah


Menurut Karika (2015) harga diri rendah dapat berisiko terjadinya isolasi
sosial : menarik diri, isolasi soasial menarik diri adalah gangguan
kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah laku yang maladaptif
mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial. Dan sering dirtunjukan
dengan perilaku antara lain :
Data subyektif
a). Mengungkapkan enggan untuk memulai hubungan atau
pembicaraan.
b). Mengungkapkan perasaan malu untuk berhubungan dengan orang
lain.
c). Mengungkapkan kekhawatiran terhadap penolakan oleh orang lain.

Data obyektif
a). Kurang spontan ketika diajak bicara.
b) Apatis.
c). Ekspresi wajah kosong.
d). Menurun atau tidak adanya komunikasi verbal
e). Bicara dengan suara pelan dan tidak ada kontak mata saat bicara.

7. Proses terjadinya harga diri rendah


Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri
rendah situasional yang tidak diselesaikan. Atau dapat juga terjadi karena
individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku
klien sebelumnya bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu
memberi respon negatif mendorong individu menjadi harga diri rendah.
Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya
individu berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis),
individu berusaha menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul
pikiran bahwa diri tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan
peran. Penilaian individu terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan
fungsi dan peran adalah kondisi harga diri rendah situasional, jika lingkungan
tidak memberi dukungan positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi
secara terus menerus akan mengakibatkan individu mengalami harga diri
rendah kronis (Direja, 2011).

B. ASUHAN KEPERAWATAN HARGA DIRI RENDAH

1. Pengkajian

Tahap pertama meliputi faktor predisposisi seperti : psikologis, tanda, dan


tingkah laku klien dan mekanisme koping klien (Damaiyanti,
2012).
Pengkajian menurut Deden (2013) melalui beberapa faktor, yaitu :
a. Faktor predisposisi
1) Faktor yang mempengaruhi harga diri, termasuk penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak realistik.
2) Faktor yang mempengaruhi penampilan peran, yaitu peran yang sesuai
dengan jenis kelamin, peran dalam pekerjaan dan peran yang sesuai dengan
kebudayaan.
3) Faktor yang mempengaruhi identitas diri, yaitu orang tua yang tidak
percaya pada anak, tekanan teman sebaya dan kultur sosial yang berubah.

b. Faktor presipitasi
1) Faktor presipitasi dapat disebabkan oleh faktor dari dalam atau faktor
dari luar individu (internal or eksternal sources), yang dibagi 5 (lima)
kategori :
a) Ketegangan peran adalah stress yang berhubungan dengan frustasi yang
dialami individu dalam peran atau posisi yang diharapkan.
b) Konflik peran : ketidaksesuaian peran antara yang dijalankan dengan
yang diinginkan.
c) Peran yang tidak jelas : kurangnya pengetahuan individu tentang peran
yang dilakukannya.
d) Peran berlebihan : kurang sumber yang adekuat untuk menampilkan
seperangkat peran yang komleks.
e) Perkembangan transisi, yaitu perubahan norma yang berkaitan dengan
nilai untuk menyesuaikan diri.

2) Situasi transisi peran, adalah bertambah atau berkurangnya orang penting


dalam kehidupan individu melalui kelahiran atau kematian orang yang berarti.

3) Transisi peran sehat-sakit, yaitu peran yang diakibatkan oleh keadaan


sehat atau keadaan sakit. Transisi ini dapat disebabkan :
a) Kehilangan bagian tubuh.
b) Perubahan ukuran dan bentuk, penampilan atau fungsi tubuh.
c) Perubahan fisik yang berkaitan dengan pertumbuhan dan
perkembangan.
d) Prosedur pengobatan dan perawatan.

4) Ancaman fisik seperti pemakaian oksigen, kelelahan, ketidak


seimbangan bio-kimia, gangguan penggunaan obat, alkohol dan zat.

c. Perilaku
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) perilaku yang berhubungan dengan
harga diri yang rendah yaitu identitas kacau dan depersonalisasi seperti
berikut (Deden, 2013):

1) Perilaku dengan harga diri yang rendah.


a) Mengkritik diri sendiri atau orang lain
b) Produktifitas menurun
c) Destruktif pada orang lain d) Gangguan berhubungan
e) Merasa diri lebih penting f) Merasa tidak layak
g) Rasa bersalah
h) Mudah marah dan tersinggung
i) Perasaan negative terhadap diri sendiri j) Pandangan hidup yang pesimis

2) Perilaku dengan identitas kacau.


a) Tidak mengindahkan moral
b) Mengurahi hubungan interpersonal
c) Perasaan kosong
d) Perasaan yang berubah-ubah.
e) Kekacauan identitas seksual
f) Kecemasan yang tinggi
g) Tidak mampu berempati
h) Kurang keyakinan diri
i) Mencitai diri sendiri
j) Masalah buhungan intim
k) Ideal diri tidak realistic

3) Perilaku dengan Depersonalisasi.


a) Afek : identitas hilang, asing dengan diri sendiri, perasaan tidak aman,
rendah diri, taku, malu, dan perasaan tidak realistic, merasa sangat terisolasi.
b) Persepsi : Halusinasi pendengaran dan penglihatan, tidak yakin akan
jenis kelaminnya, sukar membedakan diri dengan orang orang lain.
c) Kognitif : Kacau, disorientasi waktu, penyimpangan pikiran, daya ingat
terganggu, dan daya penilaian terganggu.
d) Perilaku : Afek tumpul, pasif dan tidak ada respon emosi, komunikasi
tidak selaras, tidak dapat mengontrol perasaan, tidak ada inisiatif dan tidak
mampu mengambil keputusan, menarik diri dari lingkungan, dan kurang
bersemangat.

d. Manifestasi klinis

Perilaku yang berhubungan dengan gangguan harga diri rendah


didapatkan dari data subjektif dan objektif yaitu :
1) Mengkritik diri sendiri ataupun orang lain.
2) Merasa diri tidak mampu dan tidak layak.
3) Merasa bersalah.
4) Mudah marah dan tersinggung
5) Perasaan negatif terhadap dirinya sendiri.
6) Ketegangan peran.
7) Pandangan hidup psimis.
8) Keluhan fisik.
9) Pandangan hidup bertentangan.
10) Penolakan terhadap kemampuan pribadi dekstrutif terhadap diri sendiri.
11) Menarik diri secara sosial dan menarik diri secara realistis. (Suliswati,
2005)

e. Sumber koping
Menurut Stuart (2006) semua orang tanpa memperhatikan gangguan
perilakunya, mempunyai beberapa bidang kelebihan personal meliputi :
1) Hobi dan kerajinan tangan
2) Pendidikan atau pelatihan
3) Pekerjaan, vokasi atau posisi
4) Aktivitas olah raga dan aktivitas diluar rumah
5) Seni yang ekspresif
6) Kesehatan dan perawatan diri

f. Manifestasi koping
Mekanisme koping menurut Deden (2013) :
Jangka pendek :
1) Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis : pemakaian
obat-obatan, kerja keras, nonoton tv terus menerus.
2) Kegiatan mengganti identitas sementara : (ikut kelompok sosial,
keagamaan, politik).
3) Kegiatan yang memberi dukungan sementara : (kompetisi olah raga
kontes popularitas).
4) Kegiatan mencoba menghilangkan anti identitas sementara :
(penyalahgunaan obat-obatan).

Jangka Panjang :
1) Menutup identitas : terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi
dari orang-orang yang berarti, tanpa mengindahkan hasrat, aspirasi atau
potensi diri sendiri.
2) Identitas negatif : asumsi yang pertentangan dengan nilai dan harapan
masyarakat.
Mekanisme pertahanan ego yang sering digunakan adalah : fantasi,
disasosiasi, isolasi, proyeksi, mengalihkan marah berbalik pada diri sendiri
dan orang lain.

g. Penatalaksanaan

Menurut Eko, 2014 terapi pada gangguan jiwa skizofrenia sudah


dikembangkan sehingga penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan
metodenya lebih manusiawi dari pada masa sebelumnya. Terapi yang
dimaksud meliputi :
1) Psikofarmako, berbagai obat psikofarmako yang hanya diperoleh dengan
resep dokter, dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan generasi pertama
(typical) dan golongan kedua (atypical). Obat yang termasuk golongan
generasi pertama misalnya chlorpromazine HCL, Thoridazine HCL, dan
Haloperridol. Obat yang termasuk generasi kedua misalnya : Risperidone,
Olozapine, Quentiapine, Glanzapine, Zotatine, dan Ariprprazole.
2) Psikoterapi, terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul
lagi engan orang lain, pasien lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya
pasien tidak mengasingkan diri lagi karena jika pasien menarik diri dapat
membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan
permainan atau latihan bersama. rendah bisa secara individu, terapi keluarga,
kelompok dan penanganan dikomunikasi baik generalis keperawatan lanjutan.
Terapi untuk pasien dengan harga diri rendah yang efisian untuk
meningkatkan rasa percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain, sosial,
dan lingkungannya yaitu dengan menerapkan terapi kognitif pada pasien
dengan harga diri rendah.

2. Masalah Keperawatan

Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji menurut Kartika


(2015) :

a. Masalah utama
Gangguan konsep diri : harga diri rendah

Data subyektif :
1) Mengungkapkan ingin diakui jati dirinya.

2) Mengungkapkan tidak ada lagi yang peduli.

3) Mengungkapkan tidak bisa apa-apa.

4) Mengungkapkan dirinya tidak berguna.

5) Mengkritik diri sendiri.

6) Perasaan tidak mampu.

Data obyektif :
1) Merusak diri sendiri.
2) Merusak orang lain.
3) Ekspresi malu
3) Terapi kejang listrik (Elektro Convulsive therapy), adalah pengobatan
untuk menimbulkan kejang granmall secara artifical dengan melewatkan
aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu atau dua temples. Therapi
kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi
neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi listrik 5-5 joule/ detik.
4) Terapi modalitas, merupakan rencana pengobatan untuk skizofrenia dan
kekurangan pasien. Teknik perilaku menggunakan latihan ketrampilan sosial
untuk meningkatkan kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri sendiri
dan latihan praktis dalam komunikasi interpersonal. Terapi aktivitas
kelompok dibagi 4 yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi
kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktivitas
kelompok stimulasi realita dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi.
5) Adapun tindakan terapi untuk pasien dengan harga diri rendah
menurut Kaplan & Saddock, 2010 mengatakan, tindakan keperawatan yang
dibutuhkan pada pasien dengan harga diri rendah adalah terapi kognitif,
terapi interpersonal, terapi tingkah laku, dan terapi keluarga. Tindakan
keperawatan pada pasien dengan harga diri.

4) Menarik diri dari hubungan sosial.


5) Tampak mudah tersinggung.
6) Tidak mau makan dan tidak tidur.

b. Masalah keperawatan
Penyebab tidak efektifan koping individu.

Data subyektif :
1) Mengungkapkan ketidakmampuan dan meminta bantuan orang lain.
2) Mengungkapkan malu dan tidak bisa ketika diajak melakukan sesuatu.
3) Mengungkapkan tidak berdaya dan tidak ingin hidup lagi.

Data obyektif :
1) Tampak ketergantungan terhadap orang lain.
2) Tampak sedih dan tidak melakukan aktivitas yang seharusnya dapat

dilakukan.

3) Wajah tampak murung.

c. Masalah keperawatan

Akibat isolasi sosial menarik diri

Data subyektif :
1) Mengungkapkan enggan berbicara dengan orang lain

2) Klien mengatakan malu bertemu dan berhadapan dengan orang lain.

Data obyektif :
1) Ekspresi wajah kosong tidak ada kontak mata ketika diajak

bicara.

2) Suara pelan dan tidak jelas.

3) Hanya memberi jawaban singkat (ya atau tidak).


4) Menghindar ketika didekati.

3. Pohon Masalah

Pohon masalah yang muncul menurut Fajariyah (2012) :

Resiko Tinggi Perilaku Kekerasan

Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi

Isolasi Sosial : Menarik Diri

HARGA DIRI RENDAH

Koping Individu Tidak Efektif

4. Diagnosa Keperawatan

a. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah


b. Isolasi sosial : Menarik diri
c. Perubahan persepsi sensori : Halusinasi

5. Intervensi keperawatan untuk Harga Diri Rendah Strategi


pelaksanaan konsep : Harga Diri Rendah Tabel 1.1 Intervensi Keperawatan
Harga Diri Rendah
No Pasien Keluarga

SP1P SP1K
1 Bina hubungan saling percaya Membantu
pasien menilai
2 Mengidentifikasi kemampuan pasien
kemampuan dan aspek positif yang yang masih
dimiliki 4 dapat
3 pasien digunakan
Membantu pasien memilih kegiatan Mendiskusikan
yang akan dilatih masalah yang
5 sesuai dengan dirasakan keluarga
kemampuan pasien dalam merawat
6 Melatih pasien pasien
sesuai kemampuan yang dipilih Menjelaskan
7 Memberikan pujian yang pengertian harga diri
wajar tehadap keberhasilan pasien rendah, tanda dan
Menganjurkan pasien memasukan gejala, serta proses
dalam jadwal terjadinya harga diri
rendah
Menjelaskan cara
merawat pasien
denga harga diri
renda
kegiatan harian

SP2P SP2K
1 Mengevaluasi jadwal Melatih keluarga
kegiatan harian pasien mempraktekan cara
2 Melatih pasien merawat pasien
melakukan kegiatan yang sesuai dengan dengan harga diri
kemampuan klien rendah
3 Menganjurkan
pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian

SP3K

Melatih keluarga
melakukan cara
merawat langsung
kepada pasien harga
diri rendah
SP4K

Membantu
keluarga membuat
jadwal aktivitas
dirumah termasuk
minum obat
(discharge planning) Menjelaskan follow setelah pulang
up pasien

Rencana tindakan keperawatan klien dengan gangguan konsep diri : Harga


diri rendah.

1. Harga diri rendah


Tujuan Umum :
Pasien dapat melakukan hubungan sosial secara bertahap. Tujuan Khusus 1 :
Pasien dapat membina hubungan saling percaya. Kriteria Evaluasi :
a. Pasien dapat mengungkapkan perasaannya
b. Ekspresi Wajah bersahabat.
c. Ada kontak mata
d. Menunjukkan rasa senang.
e. Mau berjabat tangan.
f. Mau menjawab salam
g. Pasien mau duduk berdampingan
h. Pasien mau mengutarakan masalah yang dihadapi

Intervensi :
1) Bina hubungan saling percaya
a. Sapa pasien dengan ramah, baik verbal maupun nonverbal b.
Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanya nama lengkap pasien dan nama panggilan yang disukai
pasien
d. Jelaskan tujuan pertemuan, jujur, dan menepati janji
e. Tunjukan sikap empati dan menerima pasien apa adanya f. Beri
perhatian pada pasien
2) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan tentang penyakit yang
dideritanya
3) Sediakan waktu untuk mendengarkan pasien
4) Katakan pada pasien bahwa ia adalah seorang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu mendorong dirinya sendiri.

Tujuan Khusus 2 :
Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
Kriteria Evaluasi :
Pasien mampu mempertahankan aspek yang positif intervensi :
1) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien
dan diberi pujian atas kemampuan mengungkapkan perasaannya
2) Saat bertemu pasien, hindarkan memberi penilaian negatif.

Utamakan memberi pujian yang realitis.


Tujuan Khusus 3

Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan


Kriteria Evaluasi :
a. Kebutuhan pasien terpenuhi
b. Pasien dapat melakukan aktivitas terarah

Intervensi :
1). Diskusikan kemampuan pasien yang masih dapat digunakan selama
sakit.
2).Diskusikan juga kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaan di rumah
sakit dan di rumah nanti.

Tujuan Khusus 4 :
Pasien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki.
Kriteria Evaluasi :
a. Pasien mampu beraktivitas sesuai kemampuan.
b. Pasien mengikuti terapi aktivitas kelompok.

Intervensi :
1). Rencanakan bersama pasien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari
setiap hari sesuai kemampuan : kegiatan mandiri, kegiatan dengan bantuan
minimal, kegiatan dengan bantuan total.
2) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi pasien.
3) Beri contoh pelaksanaan kegiatan yang boleh pasien lakukan
(sering klien takut melaksanakannya).

Tujuan Khusus 5 :
Pasien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan
kemampuannya.
Kriteria Evaluasi :
Pasien mampu beraktivitas sesuai kemampuan. Intervensi :

Tujuan Khusus 6:
Pasien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Kriteria Evaluasi :
Pasien mampu melakukan apa yang diajarkan. Intervensi :

1). Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat pasien
harga diri rendah.
2) Bantu keluarga memberi dukungan selama pasien dirawat.
3) Bantu keluarga meniapkan lingkungan di rumah.

2. Isolasi sosial
Tujuan umum :
Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain.
Tujuan khusus 1 :
Pasien mampu menyebutkan penyebab menarik diri.
Kriteria evaluasi :
Pasien mampu menyebutkan minimal satu penyebab menarik diri dari : diri
sendiri, orang lain, lingkungan.

Intervensi :
1) Tanyakan pada pasien tentang :

a). Orang yang tinggal serumah/teman sekamar.


b). Orang yang paling dekat dengan pasien di rumah/di ruang perawat.
c). Apa yang membuat pasien dekat dengan orang tersebut.
d).Orang yang tidak dekat dengan pasien di rumah/di ruang perawatan.
e).Apa yang membuat pasien tidak dekat dengan orang tersebut.
f). Upaya yang dilakukan agar dekat dengan orang lain.

2). Diskusikan dengan pasien penyebab menarik diri atau tidak mau
bergaul dengan orang lain.
3).Beri pujian terhadap kemampuan pasien mengungkapkan
perasaannya.
Tujuan khusus 2 :
Pasien mampu menyebutkan keuntungan berhubungan sosial dan kerugian
menarik diri.

Kriteria evaluasi :
Pasien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan sosial dan kerugian
menarik diri.

Intervensi :
1). Tanyakan pada pasien tentang : Manfaat hubungan sosial Kerugian
menarik diri
2). Diskusikan bersama pasien tentang manfaat berhubungan sosial dan
kerugian menarik diri.
3). Beri pujian terhadap kemampuan pasien mengungkapkan
perasaannya.

Tujuan khusus 3 :

Pasien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap. Kriteria


evaluasi :
a. Pasien dapat melaksanakan hubungan sosial dengan bertahap
dengan :
1) Perawat

2) Perawat lain

3) Pasien lain

4) Kelompok

Intervensi :

1) Observasi perilaku pasien saat berhubungan sosial.


2) Beri motivasi dan bantu pasien untuk berkenalan/

berkomunikasi dengan :
a) perawat lain
b) pasien lain
c) kelompok

3) Libatkan pasien dalam Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi

4). Diskusikan jadwal harian yang dapat dilaukan untuk


meningkatkan kemampuan pasien bersosialisasi.
5) Beri motivasi untuk melakukan kegiatan sesuai dengan jadwal yang telah
dibuat.

6) Beri pujian terhadap kemampuan pasien mempuluas


pergaulannya melaui aktivitas yang dilaksanakan.

Tujuan khusus 4 :

Pasien mampu menjelaskan perasaannya setelah berhubungan sosial.

Kriteria hasil :

Pasien dapat menjelaskan perasaannya setelah berhubungan dengan :

1) orang lain

2) kemlompok
Intervensi :

1) Diskusikan dengan pasien tentang perasaannya setelah


berhungungan sosial dengan :
a) orang lain
b) kelompok
2) Beri pujian terhadap kemampuan pasien mengungkapkan
perasaannya.

Tujuan khusus 5 :
Pasien mendapatkan dukungan keluarga dalam memperluas hubungan
sosial.

Kriteria evaluasi :
a. Keluarga dapat menjelaskan tenatang :

a. Pengertian menarik diri

b. Tanda dan gejala menarik diri

c. Penyebab dan akibat menarik diri

d. Cara merawat pasien menarik diri

b. Keluarga dapat mempraktekan cara merawat pasien menarik diri.

Intervensi :
1) Diskusikan pentingnya peran serta keluarga sebagai pendukung
untuk mengatasi perilaku menarik diri.
2) Diskusikan potensi keluarga untuk membantu pasien mengatasi
perilaku menarik diri.
3) Jelaskan pada keluarga tentang :
a) pengertian menarik diri
b) tanda dan gejala menarik diri
c) penyebab dan akibat menarik diri
d) cara merawat pasien menarik diri.
4) Latih keluarga cara merawat pasien menarik diri.
5) Tanyakan oerasaan keluarga setelah menciba cara yang dilatihkan.

6). Beri motivasi keluarga agar membantu pasien untuk


bersosialisasi.
7). Beri pujian kepada keluarga atas keterlibatannya merawat pasien di
rumah sakit.

Tujuan khusus 6 :
Pasien dapat memanfaatkan obat dengan baik.
Kriteria hasil :
a. Pasien dapat menyebutkan :
1) Manfaat minum obat
2) Kerugian tidak minum obat
3) Nama, warna, dosis, efek terapi dan efek samping obat
b. Pasien mendemonstrasikan penggunaan obat dengan benar.
c. Pasien dapat menyebutkan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi
dokter.

Intervensi :
1). Diskusikan dengan pasien tentang manfaat dan kerugian tidak minum
obat, nam, warna, dosis, cara, efek samping penggunaan obat.
2) Pantau pasien saat pengguanaan obat.
3) Beri pujian jika pasien menggunakan obat dengan benar.

4). Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi danagn


dokter.
5). Anjurkan pasien untuk konsultasi kepada dokter/ perawat jika terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.

3. Gangguan sensori persepsi : Halusinasi


Tujuan umum :
Pasien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya.
Tujuan khusus 1 :
Pasien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria hasil :
Pasien menunjukkan tanda-tanda percaya kepada perawat :
a) Ekspresi wajah bersabat
b) Menunjukan rasa senang
c) Ada kontak mata
d) Mau berjabat tangan
e) Mau menyebutkan nama
f) Mau menjawab salam
g) Mau duduk berdampingan dengan perawat
h) Bersedia mengungkapkan masalah yang dihadapi
Intervensi :
1). Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip
komunikasi terapeutik :
a) Sapa pasien dengan ramah baik verbal maupun non verba

4) . Katakan bahwa perawat akan membantu pasien.


5). Jika pasien tidak sedang berhalusinasi klarifikasi tentang adanya
pengalaman halusinasi, diskusikan dengan pasien :
a). Isi, waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore, malam
atau sering dan kadang-kadang).
b). Situasi dan kondisi yang menimbulkan atau tidak menimbulkan
halusinasi.
b) Perkenalakan nama, nama panggilan dan tujuan perawat berkenalan
c) Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang disukai pasien
d) Buat kontrak yang jelas
e) Tunjukan sikap jujur dan menempati janji setiap kali interaksi
f) Tunjukan sikap empati dan menerima apa adanya
g) Beri perhatian kepada pasien dan perhatian kebutuhan dasar pasien
h) Tanyakan perasaan pasien dan masalah yang dihadapi pasien
i). Dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan pasien.

Tujuan khusus 2 :
Pasien dapat mengenal halusinasinya. Kriteria hasil :
a. Pasien dapat menyebutkan :
1) Isi
2) Waktu
3) Frekuensi
4). Situasi dan kondisi yang menimbulkan halusinasi
b. Pasien dapat menyatakan perasaan dan responnya saat mengalami
halusinasinya : marah, takut, sedih, senang, cemas, jengkel.

Intervensi
1) . Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap.
2). Observasi tingkah laku pasien terkait dengan halusinasinya, jika menemukan
pasien yang sedang halusinasi :
a). Tanyakan apakah pasien mengalami sesuatu (halusinasi dengar/ lihat/
penghidu/ raba/ kecap).
b). Jika pasien menjawab ya, tanyakan apa yang sedang dialaminya.
c). Katakan bahwa perawat percaya pasien mengalami hal tersebut, namun
perawat sendiri tidak mengalami (dengan nada bersahabat tanpa menuduh atau
menghakimi).
3). Katakan bahwa ada pasien lain yang mengalami hal yang sama.

6) Diskusikan dengan pasien apa yang disarankan jika terjadi halusinasi dan
beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.
7) Diskusikan dengan pasien apa yang dilakukan untuk mengatasi perasaan
tersebut.
8) Diskusikan tentang dampak yang akan dialaminya bila pasien menikmati
halusinasinya.

Tujuan khusus 3
Pasien dapat mengontrol halusinasinya. Kriteria hasil :
a) Pasien dapat menyebutkan tindakan yang biasanya dilakukan untuk
mengendalikan halusinasinya.
b) Pasien dapat menyebutkan cara baru mengontrol halusinasi.
c) Pasien dapat memilih dan memperagakan cara menghadapi halusinasi.
d) Pasien dapat melaksanakan cara yang telah dipilih untuk mengendalikan
halusinasinya.
e) Pasien dapat mengikuti terapi aktivitas kelompok.

Intervensi :
1) Identifikasi bersama pasien cara atau tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi
2) Diskusikan cara yang digunakan pasien :
a. Jika cara yang digunakan adaptif beri pujian.
b. Jika cara yanga digunaan maladaptif diskusikan kerugian cara tersebut
3) Diskusikan cara baru untuk memutuskan/ mengontrol timbulnya
halusinasi :
a. Katakan pada diri sendiri bahwa itu tidk nyata.
b. Menemui orang lain (perawat/ teman/ anggota keluarga) untuk menceritakan
tentang halusinasinya.
c. Membuat dan melaksanakan jadwal yang telah disusun.
d. Meminta keluarga/ teman/ perawat menyapa jika sedang berhalusinasi

4) Bantu pasien memilih cara yang sudah dianjurkan dan latih untuk
mencobanya.
5) Beri kesempatan untuk melakukan cara yang dipilih dan dilatih.
6) Pantau pelaksanaan yang telah dipilih dan dilatih, jika berhasil beri pujian.
7) Anjurkan pasien mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realita, stimulasi
persepsi.

Tujuan khusus 4 :
Pasien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya.
Kriteria hasil :

a) Keluarga dapat menyatakan setuju untuk mengikuti pertemuan


dengan perawat.
b) Keluarga menyebutkan pengertian, tanda dan gejala, proses
terjadinya halusinasi dan tindakan untuk mengendalikan halusinasi.

Intervensi :
1) Buat kontrak dengan keluarga untuk pertemuan (waktu, tempat dan topik).
2) Diskusikn dengan keluarga (pada saat pertemuan keluarga/kunjungan
rumah):
a. Pengertian halusinasi.
b. Tanda dan gejala halusinasi.
c. Proses terjadinya halusinasi.
d. Cara yang dapat dilakukan pasien dan keluarga untuk memutuskan
halusinasi.
e. Obat-obatan halusinasi.
f. Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi dirumah (beri kegiatan,
bepergian bersama, memantau obat-obatan dan cara pemberiannya untuk mengatasi
halusinasi).
g. Beri informasi waktu kontrol ke rumah sakit dan bagaiman cara mencari bantuan
jika halusinasi tidak dapat diatasi dirumah.

Tujuan khusus 5 :
Pasien dapat menfaatkan obat dengan baik.
Kriteria hasil :
a) Pasien dapat mendemonstrasikan penggunaan obat dengan benar.
b) Pasien dapat menyebutkan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi
dokter.

Intervensi :
1) Diskusikan dengan pasien tentang manfaat dan kerugian tidak minum obat,
nama, waran, dosis, cara, efak samping dan efek terapi penggunaan obat.
2) Pantau pasien saat penggunaan obat.
3) Beri pujian jika pasien menggunakan obat dengan benar.
4) Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter.
5) Anjurkan pasien untuk konsultasi kepada dokter/ perawat jika terjadi hal-hali
yang tidak diinginkan.

C. Terapi Kognitif

1. Pengertian

Terapi kognitif yaitu merupakan bentuk psikoterapi yang digunakan untuk


pengobatan klien depresi, kecemasan, phobia, dan bentuk lain dari penyakit
mental. Terapi kognitif merupakan dasar pemikiran tentang bagaimana klien berfikir
(kognitif), bagaimana klien merasakan (emosi) dan bagaimana klien
bertingkah laku dalam semua interaksi. Secara khusus, apa yang klien pikirkan
menentukan perasaan dan tingkah laku klien. Karena itu pikiran negatif dapat
menyebabkan distress dan menghasilkan masalah.
Terapi kognitif merupakan salah satu pendekaan psikoterapi yang paling banyak
diterapkan dan telah terbukti efektifitasnya dalam mengatasi berbagai gangguan,
termasuk kecemasan dan depresi. Asumsi yang mendasari terapi kognitif terutama
untuk kasus depresi yaitu bahwa gangguan emosional berasal dari distorsi
(penyimpangan) dalam berfikir. Perbaikan dalam keadaan emosi hanya dapat
berlangsung lama kalau dicapai perubahan pola-pola berfikir selama proses proses
terapi. Demikian pula pada pasien pola pikir yang maladaptif (disfungsi kognitif)
dan gangguan prilaku, diharapkan klien mampu melakukan perubahan cara berfikir
dan mampu mengendalikan gejala-gejala dari gangguan yang dialami. Terapi
kognitif berorientasi pada pemecahan masalah, dengan terapi yang dipusatkan pada
keadaan “disini dan sekarang”, yang memandang individu sebagai pengambilan
keputusan penting tentang tujuan atau masalah yang akan dipecahkan dalam proses
terapi (Westermeyer, 2005).
Kognisi adalah suatu tindakan atau proses memahami. Terapi kognitif
menjelaskan bahwa bukan suatu peristiwa yang menyebabkan kecemasan dan
tanggapan maladaptif melainkan harapan masyarakat, penilaian, dan interpretasi
dari setiap peristiwa ini. Sugesti bahwa perilaku maladaptif dapat diubah oleh
berhubungan langsung dengan pikiran dan keyakinan orang (Stuart, 2009).
Terapi kognitif adalah aplikasi dari berbagai variasi teori belajar dalam kehidupan
(Yosep, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Terapi kognitif dapat
melatih klien untuk mengubah cara klien menafsirkan dan memandang segala
sesuatu pada saat klien mengalami kekecewaan, sehingga klien merasa lebih baik
dan dapat bertindak lebih produktif.
2. Tujuan dalam Terapi kognitif

Tujuan utama dalam terapi kognitif menurut Gara (2003) adalah:

a. Membangkitkan pikiran-pikiran negatif/berbahaya, dialog


internal atau bicara sendiri (self talk), dan interpretasi terhadap kejadian-kejadian
yang dialami. Pikiran-pikiran negatif

tersebut muncul secara otomatis, sering diluar kesadaran klien, apabila menghadapi
situasi stress atau mengingat kejadian penting masa lalu. Distorsi kognitif tersebut
perilaku maladaptif, yang menambah berat masalah.
b. Terapi bersama klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau
menyanggah interpretasi yang telah diambil. Oleh karena pikiran otomatis sering
didasari atas kesalahan logika atau pemahaman yang salah, maka terapi kognitif
diarahkan untuk membantu klien mengenali dan mengubah distorsi kognitif. Klien
dilatih mengenali pikirannya, dan mendorong untuk menggunakan keterampilan,
menginterpretasikan secara lebih rasional terhadap struktur kognitif yang maladaptif.
c. Menyusun desain eksperimen (pekerjaan rumah) untuk
menguji validitas interpretasi dan menjaring data tambahan untuk diskusi didalam
proses terapi. Dengan demikian terapi kognitif diharapkan berperan sebagai
mekanisme proteksi agar kecemasan dan depresi tidak mengancam, karena klien
belajar mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gangguan.
3. Peran perawat jiwa dalam terapi kognitif

Menurut Iyus (2007) perawat jiwa memiliki peran penting dalam berbagai teknik
kognitif terapi dirumah sakit jiwa. Peran tersebut terutama adalah bertindak sebagai
leader, fasilitator, evaluator, dan motivator. Teknik kognitif di rumah sakit jiwa dapat
bermanfaat secara efektif terhadap berbagai masalah klinik untuk semua rentang
usia. Masalah-masalah tersebut meliputi : kecemasan (anxiety), gngguan afek
(affective), masalah makan (eat-ing), schizofrenia, ketergantungan zat (substance
abuse), gangguan kepribadian (personality disorder). Hal ini pun bisa diterapkan
pada anak, dewasa, keluarga baik secara kelompok atau individual. Secara umum
kognitif terapi meliputi beberapa teknik dengan tujuan sebagai berikut :
a) Meningkatkan aktivitas yang diharapkan (increasing activity). b) Menurunkan
perilaku yang tidak dikehendaki (Reducing
unwanted behavior).

c) Meningkatkan rekreasi (Increasing pleasure).

d) Meningkatkan dan memberi kesempatan dalam kemampuan sosial


(Enchancing social skill).
4. Prinsip pelaksanaan terapi kognitif

Terapi kognitif berfokus pada membantu orang depresi belajar untuk menyadari dan
mengubah pola berfikir mereka yang disfungsional. Orang yang depresi cenderung
untuk berfokus pada bagaimana perasaan mereka dan bukan pada pikiran-pikiran
yang mendasari kondisi mereka. Artinya, mereka biasanya memberikan lebih banyak
perhatian pada bagaimana buruknya perasaan mereka dibanding pada pikiran-pikiran
yang memungkinkan memicu mempertahankan mood yang depresi (Nevid,2003).
5. Pelaksanaan Terapi Kognitif

Menurut jurnal (Mubin, 2007) penatalaksanaan terapi kognitif menggunakan

pendekatan interpersonal peplau yang terdiri dari orientasi, identifikasi, eksploitasi


dan resolusi. Pendekatan Peplau sangat tepat dalam proses keperawatan yang terdiri

dari pengkajian (orientasi dan identifikasi), eksploitasi (perencanaan dan

implementasi) dan resolusi/ evaluasi. Begitu juga dengan tahapan komunikasi

terapeutik yang digunakan dalam terapi kognitif yaitu : orientasi, kerja dan terminasi.

Atas dasar kesesuaian tersebut menggunakan interpersonal peplau sebagai kerangka

penyelesaian masalah pasien harga diri rendah dengan terapi kognitif.

Menurut Burn (1998) pelaksanaan terapi kognitif terdiri dari 9 sesi, yaitu :

a) Sesi 1 :ungkapan pikiran otomatis yang timbul

danklasifikasi dalam distorsi kognitif.

b) Sesi 2 : ungkapan alasan atau penyebab timbulnya pikiran

otomatis.

c) Sesi 3 : tanggapan atau anjuran pasien mengungkapkan

keinginannya.

d) Sesi 4 : diskusikan perasaan pasien saat membuat catatan harian.


e) Sesi 5 : diskusikan kemampuan klien dalam menghadapi

masalah teknik kolom 3 yang dilakukan.

f) Sesi 6 : diskusikan manfaat memberi tanggapan, cara pasien

menyelesaikan masalah/hambatan yang ditemui.

g) Sesi 7 : diskusikan perasaan setelah terapi.

h) Sesi 8 : diskusikan cara dan kesulitan pasien dalam

menggunakan catatan harian.

i) Sesi 9 : libatkan keluarga untuk menjadi suport system pasien

dalam melakukan terapi kognitif secara mandiri.


6. Strategi pelaksanaan Terapi Kognitif :

a. Metode

1) Diskusi

2) Tanya jawab

3) Menulis b. Media

1) Kertas (menggunakan metode 3 kolom)

2) pensil

c. Strategi pelaksanaan

Menulis dikertas dengan mengungkapkan stimulasi emosi yang ada diotaknya.

Yang mengubah pikiran negatifnya menjadi pikiran positif (rasional).

Tujuan : klien mampu mengubah pikirannya yang mal adaptif menjadi adaptif.

Setting :
Klien dan terapis duduk bersama. Ruangan yang
nyaman dan tenang.
Alat : kertas (metode 3 kolom) dan pensin atau bolpen. Metode : diskusi
dan tanya jawab.
d. Langkah kegiatan
1) Persiapan Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2) Orientasi
a) Salam terapeutik

Pada tahap ini terapi yang melakukan, memberi salam terapeutik : salam dalam
terapis.
b) Evaluasi / validasi
1. Menanyakan kabar hari ini.
2. Menanyakan apakah masih ada pikiran yang negatif.
c) Kontrak
1. Menjelaskan tujuan kegiatan.
2. Menjelaskan aturan main : klien harus menuliskan pikiran negatifnya dibuku.

3) Tahap kerja

Klien menuliskan pikiran negatifnya atau situasi emosi dibuku atau dikertas 3

kolom dan nanti di diskusikan dengan terapis masalah apa yang membuat

dirinya menjadi berfikir negatif terhadap dirinya dan mengubahnya menjadi

positif dengan respon yang lebih rasional.

4) Tahap terminasi a) Evaluasi


1. Menanyakan perasaan klien setelah mengikuti terapi kognitif.
2. Memberi pujian setelah kegiatan tersebut. b) Rencana tindak lanjut
Menganjurkan pada klien jika ada masalah untuk mendiskusikan dengan
perawat.
c) Kontrak yang akan datang

1. Menyampaikan kegiatan berikut, yaitu mampu bercakap-cakap dengan


anggota kelompok, menanyakan kehidupan pribadinya.
2. Menyepakati waktu dan tempat.
DAFTAR PUSTAKA

Dalami, E., Rochimah, N., Suryati, K. R., & Lestari, W. (2019). Asuhan keperawatan
klien dengan gangguan jiwa

Damaiyanti & Iskandar. (2014).Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.

Keliat B, dkk. (2014). Proses Keperawatan Jiwa Edisi II. Jakarta : EGC. Keliat, B.A &
Akemat. (2015). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta : EGC.

Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI.

Manao, B. M., & Pardede, J. A. (2019). Correlation of Family Burden of The Prevention
of Recurrence of Schizophrenia Patients. Mental Health, 4(1), 31-42.

Nyumirah, S. (2013). Peningkatan kemampuan interaksi sosial (kognitif, afektif dan


perilaku) melalui penerapan terapi perilaku kognitif di rsj dr amino gondohutomo semarang.
Jurnal keperawatan jiwa, 1(2).

Anda mungkin juga menyukai