Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TERAPI MODALITAS (BERKEBUN) PADA PASIEN DENGAN


HARGA DIRI RENDAH (HDR)

Untuk memenuhi tugas keperawatan...

LOGO UNIVERSITAS

Dosen Pembimbing :

Disusun Oleh

Kuat Riono

Nomer Induk

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYYAH KUDUS

2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut WHO (2007) dalam Varcarolis & Halte (2010) dalam
Suerni (2013), kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sejahtera ketika
seseorang mampu merealisasikan potensi yang dimiliki, memiliki koping
terhadap stressor, produktif dan mampu memberikan kontribusi terhadap
masyarakat. Apabila seseorang dapat berespon positif disebut sehat
jiwanya namun apabila seseorang berespon negatif maka akan terjadi
gangguan jiwa.
Gangguan jiwa berat yang sering ditemui di masyarakat adalah
skizofrenia yaitu sekumpulan sindroma klinik yang meliputi sulit memulai
pembicaraan, afek tumpul atau datar, berkurangnya motivasi, attensi, pasif,
apatis dan penarikan diri secara sosial dan rasa tidak nyaman (Videbeck,
2008). Berdasarkan gejala negatif pada klien skizofrenia maka perawat
menegakkan diagnosa harga diri rendah.
Menurut Kaplan & Saddock, 2010 dalam Suerni (2013), upaya
yang dapat dilakukan untuk menangani klien harga diri rendah adalah
dengan memberikan tindakan keperawatan oleh perawat khususnya oleh
perawat spesialis keperawatan jiwa. Tindakan yang dibutuhkan klien
tersebut meliputi terapi kognitif, terapi interpersonal, terapi tingkah laku
dan terapi keluarga. Tindakan keperawatan pada klien harga diri rendah
bisa secara individu, yaitu dengan terapi keluarga dan penanganan di
komunitas baik generalis ataupun spesialis.
Terapi kognitif yaitu psikotrapi individu yang dilakukan dengan
membantu klien untuk mengubah cara klien menafsirkan dan memandang
segala sesuatu pada saat klien mengalami kekecewaan, sehingga klien
merasa lebih baik dan dapat bertindak lebih produktif (Townsend, 2005
dalam Suerni, 2013). Sedangkan tindakan keperawatan spesialis untuk
keluarga dengan klien yang mengalami harga diri rendah adalah dengan

2
melakukan psiko edukasi keluarga yaitu dengan membekali keluarga
sebuah pengetahuan cara merawat melalui tindakan keperawatan pada
keluarga. Selain itu, salah satu alternatif untuk meningkatkan harga diri
rendah adalah berkebun dalam terapi okupasi. Untuk meningkatkan
independensi pada pasien dengan harga diri rendah dengan terapi okupasi
pada pasien dengan harga diri rendah. Pada penelitian Rokhimmah dan
Ariyani pada tahun 2020 diperoleh bahwa setelah pasien melakukan terapi
okupasi (berkebun) dapat mengurangi tingkat gangguan terhadap harga
diri yang rendah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah


yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana konsep teori dalam makalah asuhan keperawatan pada klien


harga diri rendah (HDR)?
2. Bagaimana asuhan keperawatan dengan menggunakan terapi modalitas
okupasi (berkebun) dapat meningkatkan harga diri rendah pada klien
dengan harga diri rendah (HDR)?

C. Tujuan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis merumuskan tujuan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep teori dalam asuhan keperawatan pada klien
harga diri rendah (HDR).
2. Untuk mengetahui terapi modalitas okupasi (berkebun) untuk
meningkatkan harga diri pada klien dengan harga diri rendah (HDR).

3
BAB II

ISI

I. Konsep Teori Harga Diri


A. Definisi harga diri rendah
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
cenderung rendah dirinya berkepanjangan akibat pemikiran yang
negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri. Harga diri rendah
biasanya ditandai dengan adanya perasaan hilang kepercayaan diri,
merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai dengan
ideal diri (Keliat, 1998) dalam (Simanjorang, 2011).
Harga diri rendah itu sendiri mempunyai tingkatan dari tingkatan harga
diri tinggi sampai ke rendah. Individu yang memiliki harga diri tinggi
menghadapi lingkungan secara aktif dan mampu beradaptasi secara
efektif untuk berubah serta cenderung merasa aman. Individu yang
memiliki harga diri rendah melihat lingkungan dengan cara negatif dan
menganggapnya sebagai ancaman (Yoseph, 2009) dalam
(Simanjorang, 2011).

B. Karakteristik harga diri rendah


Menurut Coopersmith (1967) dalam (Ermanza, 2008 ) individu dengan
harga diri rendah memiliki karkateristik sebagai berikut :
1. Memiliki perasaaan inferior.
2. Takut gagal dalam membina hubungan sosial.
3. Terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi.
4. Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan.
5. Kurang dapat mengekpresikan diri.
6. Sangat tergantung pada lingkungan.
7. Tidak konsisten
8. Secara pasif mengikuti lingkungan

4
9. Menggunakan banyak taktik mempertahankan diri (defense
mechanism)
10. Mudah mengakui kesalahan

C. Proses terjadinya harga diri rendah


Berdasarkan hasil riset Malhi (2008) dalam (Simanjorang, 2011)
menyimpulkan bahwa harga diri rendah diakibatkan oleh rendahnya
cita-cita seseorang. Hal ini mengakibatkan berkurangnya tantangan
dalam mencapai tujuan. Tantangan yang rendah menyebabkan upaya
yang rendah. Selanjutnya hal ini menyebabkan penampilan seseorang
yang tidak optimal (Simanjorang, 2011).
Dalam tinjauan life span history klien, penyebab terjadinya harga diri
rendah adalah pada masa kecil sering disalahkan serta jarang diberi
pujian atas keberhasilannya. Saat individu mencapai masa remaja
keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak
diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal di sekolah, pekerjaan,
atau pergaulan. Dalam Purba (2008) dalam (Simanjorang, 2011) ada 4
cara untuk meningkatkan harga diri diantaranya :
1. Memberikan kesempatan berhasil.
2. Menanamkan gagasan.
3. Mendorong aspirasi.
4. Membantu membentuk koping.
Menurut Fitria (2009) dalam (Simanjorang, 2011) faktor-faktor yang
mempengaruhi proses terjadinya harga diri rendah yaitu :
1. Faktor prediposisi
Merupakan penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan
berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain serta ideal diri yang tidak realistis.
2. Faktor presipitasi
Merupakan hilangnya sebagian tubuh, perubahan penampilan atau
bentuk tubuh, mengalami kegagalan serta menurunya produktivitas.

5
Sementara menurut Purba, dkk (2008) dalam (Simanjorang, 2011)
gangguan harga diri rendah dapat terjadi secara situasional dan kronik.
Gangguan harga diri yang terjadi secara situasional bisa disebabkan
oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba. Sedangkan gangguan harga
diri kronik biasanya sudah berlangsung sejak lama yang dirasakan
klien sebelum sakit atau sebelum dirawat dan menjadi semakin
meningkat saat dirawat.

Menurut Peplau dan Sulivan dalam Yosep (2009) dalam


(Simanjorang, 2011) mengatakan bahwa harga diri berkaitan dengan
pengalaman interpersonal dalam tahap perkembangan dari bayi
sampai lanjut usia seperti anak sering disalahkan, ditekan dan merasa
ditolak oleh lingkungan dan apabila koping yang digunakan tidak
efektif akan menimbulkan harga diri rendah.

D. Tanda dan gejala harga diri rendah


Keliat (2009) dalam (Simanjorang, 2011) mengemukakan beberapa
tanda dan gejala harga diri rendah yaitu :
1. Mengkritik diri sendiri.
2. Perasaan tidak mampu.
3. Pandangan hidup yang pesimis.
4. Penurunan produkrivitas.
5. Penolakan terhadap kemampuan diri.

Selain tanda dan gejala tersebut, penampilan seseorang dengan harga


diri rendah juga tampak kurang memperhatikan perawatan diri,
berpakaian tidak rapi, tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak
menunduk ketika berhadapan dengan orang lain dan bicara lambat
dengan nada suara lemah (Simanjorang, 2011).

6
E. Rentang respon
Stuart & Gail (2007) mengemukakan respon harga diri rendah
sepanjang sehat-sakit berkisar dari status aktualisasi diri yang paling
adaptif sampai status kerancuan identitas serta depersonalisasi yang
lebih maladaptive. Kerancuan identitas merupakan suatu kegagalan
individu untuk mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-
kanak ke dalam kepribadian psikososial dewasa yang harmonis.
Depersonalisasi ialah suatu perasaan tidak realistis dan merasa asing
dengan diri sendiri, hal ini berhubungan dengan tingkat ansietas panik
dan kegagalan dalam uji realitas. Individu mengalami kesulitan
memberikan diri sendiri dari orang lain, dan tubuhnya sendiri terasa
tidak nyata dan asing baginya.

F. Populasi beresiko mengalami harga diri rendah


Clark (1999) dalam Hidayat (2009) menyatakan narapidana (inmates)
adalah tahanan yang telah diputuskan bersalah. Narapidana perempuan
merupakan populasi minor di dalam lapas, namun mempunyai
kebutuhan pelayanan kesehatan khusus karena kerentanan dan
kelemahan mereka. Isu kemiskinan, reproduksi dan keluarga sangat
kental pada narapidana perempuan (Allender & Spradley, 2005 dalam
Hidayat 2009). Mereka merupakan salah satu populasi unik pada lapas
yang memiliki masalah kesehatan. Tetapi pelayanan kesehatan yang
selama ini diberikan belum cukup maksimal untuk memenuhi
kebutuhan narapidana perempuan (Hidayat, 2009).
Allender & Spradley (2005) dalam Hidayat (2009) mengungkapkan
narapidana perempuan dengan segala kelemahan dan kurangnya
dukungan sosial sangat beresiko mengalami rasa tidak berdaya dan
ketakutan sehingga merasa tidak mampu bertahan dalam suatu sistem
(Hidayat, 2009).Konsep diri yang tidak adekuat akan mengarahkan
narapidana perempuan untuk mengalami depresi sehingga
menimbulkan gangguan jiwa (Hidayat, 2009).

7
Hidayat (2009) menyatakan bahwa faktor lingkungan juga berperan
penting dalam proses terjadinya harga diri rendah pada narapidana
perempuan. Terpenjara sama artinya terisolasi dari lingkungan luar
yang penuh dengan kebebasan, stigma masayarakat tentang narapidana
merupakan masalah lain yang ikut berperan dalam menurunkan harga
diri narapidana perempuan. Tekanan dari sesama narapidana juga
dapat menimbulkan ancaman serius pada kondisi mental dan
psikologis narapidana perempuan. Sehingga tidak jarang kompensasi
yang dilakukan cenderung kepada arah destruktif seperti marah dan
frustasi, sedih yang mendalam, bahkan ide bunuh diri dan respon
emosional lain yang mempengaruhi narapidana perempuan (Hidayat,
2009).

II. Asuhan Keperawatan pada Klien Harga Diri Rendah (HDR)


A. Pengertian
Harga diri rendah situasional adalah evaluasi diri negatif yang
berkembang sebagai respons terhadap hilangnya atau berubahnya
perawatan diri seseorang yang sebelumnya mempunyai evaluasi diri
positif (NANDA, 2012). Berbagai masalah yang berkaitan tentang
aspek seksualitas dapat mempengaruhi gairah hidup, gambaran diri,
dan hubungan dengan orang lain. Berbagai ancaman terhadap masalah
identitas seksual, kurangnya kepedulian dan stabilisasi hubungan
dengan pasangan, dan berakhirnya kapasitas reproduksi diimplikasikan
sebagai efek negatif yang langsung berpengaruh terhadap harga diri
penderita setelah mengalami kanker dan terapinya. Selain itu, secara
tidak langsung, pengalaman depresi, cemas, marah, dan kelelahan
selama terdiagnosis kanker dan ketika menjalani terapi kanker juga
dapat mempengaruhi kondisi harga diri penderita kanker (Brotto, et al.,
2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik terapi generalis maupun
terapi spesialis memberikan hasil yang signifikan untuk meningkatkan

8
harga diri klien dengan gagal ginjal kronik (Kristyaningsih, Keliat dan
Helena, 2009; Setyaningsih, Mustikasari dan Nuraini, 2011))

B. Tanda dan Gejala


Tanda dan Gejala harga diri rendah situasional adalah sebagai berikut:
a. Subyektif :
a. Mengungkapkan rasa malu/bersalah.
b. Mengungkapkan menjelek-jelekkan diri.
c. Mengungkapkan hal-hal yang negative tentang diri (misalnya,
ketidakberdayaan, dan ketidakbergunaan).
b. Obyektif :
a. Kejadian menyalahkandiri secara episodic terhadap permasalahan
hidup yang sebelumnya mempunyai evaluasi diri positif.
b. Kesulitan dalam membuat keputusan.

C. Diagnosa Keperawatan
Harga Diri Rendah Situasional

D. Tindakan keperawatan pada klien dengan Harga Diri Rendah


Situasional
1. Tujuan : Klien mampu
a. Mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala, proses terjadinya
dan akibat harga diri rendah situasional.
b. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
c. Menilai kemampuan yang dapat digunakan.
d. Menetapkan/memilih kegiatan yang sesuai kemampuan.
e. Melatih kegiatan yang sudah dipilih sesuai kemampuan.
f. Melakukan kegiatan yang sudah dilatih.
2. Tindakan Keperawatan Generalis
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih
dimiliki klien.

9
i. Mendiskusikan bahwa sejumlah kemampuan dan aspek
positif yang dimiliki pasien seperti kegiatan pasien di rumah
sakit, di rumah, dalam keluargadan lingkungan adanya
keluarga dan lingkungan terdekat pasien.
ii. Beri pujian yang realistik/nyata dan hindarkan setiap kali
bertemu dengan pasien penilaian yang negatif.
b. Membantu klien menilai kemampuan yang dapat
digunakan.
i. Mendiskusikan dengan pasien kemampuan yang masih dapat
digunakan saat ini.
ii. Bantu pasien menyebutkannya dan memberi penguatan
terhadap kemampuan diri yang diungkapkan pasien.
iii. Perlihatkan respon yang kondusif dan menjadi pendengar
yang aktif
c. Membantu klien memilih/menetapkan kemampuan yang
akan dilatih
i. Mendiskusikan dengan pasien beberapa kegiatan yang dapat
dilakukan dan dipilih sebagai kegiatan yang akan pasien
lakukan sehari-hari.
ii. Bantu pasien menetapkan kegiatan mana yang daat pasien
lakukan secara mandiri, mana kegiatan yang memerlukan
bantuan minimla dari keluarga dan kegiatan apa saja yang
perlu bantuan penuh dari keluarga atau lingkungan terdekat
pasien. Berikan contoh cara pelaksanaan kegiatan yang
dapat dilakukan pasien. Susun bersama pasien dan buat
daftar kegiatan sehari-hari pasien.
d. Melatih kemampuan yang dipilih klien
i. Mendiskusikan dengan pasien untuk melatih kemampuan
pertama yang dipilih.
ii. Melatih kemampuan pertama yang dipilih.

10
iii. Berikan dukungan dan pujian pada klien dengan latihan
yang dilakukan.
3. Tindakan Keperawatan pada keluarga
a. Tujuan: Keluarga Mampu
i. Mengenal masalah harga diri rendah situasional.
ii. Mengambil keputusan dalam merawat harga diri rendah
situasional.
iii. Merawat klien dengan harga diri rendah situasional.
iv. Menciptakan lingkungan yang mendukung meningkatkan
harga diri klien.
v. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan untuk follow
up dan mencegah kekambuhan
b. Tindakan Keperawatan pada keluarga klien harga diri
rendah situsional
i. Mendiskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat
pasien.
ii. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, proses terjadinya
harga diri rendah dan mengambil keputusan merawat
pasien.
iii. Mendiskusikan kemampuan atau aspek positif pasien yang
pernah dimiliki sebelum dan setelah sakit.
iv. Melatih keluarga cara merawat harga diri rendah dan
berikan pujian.
v. Melatih keluarga memberikan tanggung jawab kegiatan
pertama yang dipilih pasien serta membimbing keluarga
merawat harga diri rendah dan beri pujian.

E. Tindakan keperawatan spesialis


1. Terapi Individu:
a. Cognitive Behaviour Therapy ( CBT), Setyaningsih,
Mustikasari dan Nuaraini (2011) menyatakan terapi CBT

11
berpengaruh terhadap Perubahan Harga Diri pasien dengan
GGK.
b. Cognitive Therapy (CT). Hasil penelitian Kristtyaningsih,
Tjahtanti dan Keliat (2009)menyatakan terapi kognitif
berpengaruh terhadap perubahan harga diri rendah pada pasien
dengan gagal ginjal kronik.
2. Terapi Keluarga :
- Family Psychoeducation (FPE)
3. Terapi Kelompok :
- Therapy Supportive

F. Terapi Modalitas pada pasien dengan HDR


Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi
seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu. Terapi okupasi berfokus
pada pengenalan kemampuan yang masih dapat di gunakan pada
seseorang, pemeliharaan atau peningkatan bertujuan untuk membentuk
seseorang agar mandiri, dan tidak tergantung pada pertolongan orang
lain (Purwanto, 2009). Tindakan keperawatan spesialis yang
dibutuhkan pada klien dengan harga diri rendah adalah terapi kognitif,
terapi interpersonal, terapi tingkah laku, dan terapi keluarga (Kaplan
dan Sadock, 2010) . Pemberian terapi okupasi dapat membantu klien
mengembangkan mekanisme koping dalam memecahkan masalah
terkait masa lalu yang tidak menyenangkan. Klien dilatih untuk
mengidentifikasi kemamampan yang masih dapat digunakan yang
dapat meningkatkan harga dirinya sehingga tidak akan mengalami
hambatan dalam berhubungan sosial.
Penelitian Astriyana tahun 2019 pada pasien harga diri didapatkan
adanya peningkatan pada harga diri pada pasien dengan HDR. Selain
itu menurut penelitian Khoirah umah tahun 2012 setelah dilakukan
terapi okupasi dengan training ketrampilan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat depresi. Kegiatan terapi okupasi yang dapat
dilakukan pada penelitian Rokhimmah dan Ariyana tahun 2020
dilakukan penilaian dari beberapa aspek seperti memilih bibit cabai,

12
menyiapkan polybag, menyiapkan media tanam (campur tanah,
kompos, sekam padi, arang sekam), memindahkan bibit cabai ke
polybag, merapihkan bibit cabai, memberikan tiang ajir, menyiram
tanaman cabai, dan membersihkan area sekitar tanaman.

13
BAB III

PEMBAHASAN

Asuhan keperawatan pada pasien harga diri rendah adalah pada prinsipnya untuk
memaksimalkan rasa percaya diri, meminimalkan rasa tidak percaya diri dan
perasaan tidak berharga serta mengembangkan kemampuan positif yang dimiliki.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa terapi okupasi dipercaya dapat
meningkatkan harga diri seseorang, memaksimalkan dan mengembangkan
kemampuan positif penderita harga diri rendah.

Pemberian terapi okupasi (berkebun) merupakan salah satu sarana penyalur


komunikasi dengan orang lain pada klien dengan harga diri rendah yang sulit
dalam berkomunikasi. Penelitian Astriyana dan Arnika tahun 2019 memberikan
intervensi berupa terapi berkebun (cabai) pada pasien HDR yang diterapkan
kepada 2 subjek pasien HDR, dengan pelaksanaan 5 kali pertemuan dengan
rangkaian kegiatan mulai dari memilah bibit, menyiapkan polybag, menyiapkan
media tanam, menyiram dan menjaga kebersihan tanaman hingga memanen.
Berdasarkan hasil implementasi yang telah dilakukan selama 5 kali pertemuan
dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan kemampuan menanam cabai di polybag
yaitu pada P1 dari 45,4% menjadi 100% (kategori sangat baik) dan pada P2 dari
36,3% (kategori kurang) menjadi 81,8% (kategori sangat baik).

Penelitian Puji dkk tahun 2019 menerapkan Plant Therapy yang diterapkan pada
15 orang Di Panti Rehabilitasi Pengemis, Gelandangan Dan Orang Terlantar (PR-
PGOT. Adapun pelaksanaan kegiatan BHSP, pengenalan tentang plant therapy,
membagi kelompok, pelaksanaan terapi, sampai evaluasi bercocok tanam. Hasil
yang diperoleh setelah dilakukan terapi yaitu adanya peningkatan harga diri para
peserta, para peserta juga terlihat sangat antusias dan tampak saling membantu
dalam bercocok tanam.

Menurut penelitian (Mamnu’ah, 2013) Penurunan tanda dan gejala Harga Diri
Rendah juga dipengaruhi oleh faktor pendidikan, usia, lama sakit, dan lama

14
pengobatan. Menurutnya responden yang pendidikannya tinggi bisa dikatakan
harga diri responden tersebut lebih baik. Menurut Soetjiningsih (2010), Harga diri
rendah seseorang dapat menurun karena dipengaruhi oleh status bekerja.
Seseorang dipengaruhi oleh status bekerja. Seseorang yang bekerja, harga dirinya
lebih bagus dibandingakan seseorang yang tidak bekerja. Karena seseorang yang
bekerja merasa memiliki keahlian maupun kemampuan yang bermanfaat untuk
orang lain. Dapat disimpulkan bahwa penurunan tanda dan gejala harga diri
rendah kronik dipengaruhi oleh status perkawinan, dukungan sosial, pendidikan,
usia, lama sakit, lama pengobatan dan status bekerja. Peran kader penting untuk
pemberdayaan masyarakat (Eni Hidayati, Khoiriyah Khoiriyah, 2015). Menurut
penelitian (Handayani et al., 2013) peningkatan kemampuan seseorang itu
dipengaruhi oleh dukungan keluarga dan orang terdekat untuk proses
penyembuhannya. Peningkatan kemampuan seseorang dalam melakukan terapi
okupasi juga dipengaruhi oleh status pekerjaan. Status ekonomi juga
mempengaruhi peningkatan kemampuan seseorang dalam penelitian (Wijianto,
2016). Adapun hasilnya setiap terapi memiliki tingkat keberhasilan dan
kekurangan masing-masing. Terapi okupasi harus memiliki kemauan dari pasien
dan kesepakatan tanpa paksaan antara pasien dan perawat sebagai pelaksana agar
tercipta pelaksanaan yang kondusif serta berjalan sesuai rencana yang sudah
dibuat. Selain itu perlu keterlibatan keluarga terdekat sebagai pengawas dan
pendamping kegiatan pasien selama di rumah

15
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Terapi okupasi (berkebun) terbukti dapat dilakukan pada pasien dengan
masalah harga diri rendah. Kemampuan dan keberhasilan dalam
melakukan tindakan tersebut merupakan aspek positif bagi pasien dan
akan meningkatkan harga dirinya. Pentingnya peran perawat dan klien
untuk bekerja sama agar terciptanya keberhasilan dalam melakukan
asuhan keperawatan pada klien HDR, tentunya akan lebih maksimal jika
adanya dukungan dari keluarga terdekat.
B. Saran
1. Masyarakat
Sebagai suatu masyarakat yang baik dan bertanggung jawab, hendaknya
setiap keluarga untuk meningkatkan harga diri seorang anak sejak usia
dini dengan memberikan motivasi-motivasi positif, pujian, serta tidak
sering menyalahkan anak.
2. Mahasiswa
Sebagai seorang mahasiswa diharapkan agar lebih menambah
pengetahuan dan memahami mengenai pelaksanaan asuhan
keperawatan pada klien dengan gangguan konsep diri : harga diri
rendah khususnya dengan terapi modalitas (berkebun) dengan membaca
dan mempelajari berbagai penelitian.
3. Perawat
a. Sebagai seorang perawat kita harus dapat menyusun jadwal
kegiatan untuk melibatkan klien dalam kegiatan sehari-hari dengan
hal-hal yang positif agar klien terus termotivasi.
b. Dapat meningkatkan komunikasi teraupetik, koping stres individu
dan keluarga dengan baik.
c. Perawat dapat berkerjasama dengan tim kesehatan lain dalam
melaksanakan asuhan keperawatan agar tidak terjadi pengulangan

16
dalam melakukan tindakan dan terciptanya kolaborasi yang
bertujuan untuk meningkatkan kesembuhan pada pasien dengan
masalah HDR.

17
DAFTAR PUSTAKA

Astriyana. (2019). Penerapan Terapi Okupasi : Berkebun untuk Meningkatkan


Harga Diri pada Pasien Harga Diri Rendah di Wilayah Puskesmas
Sruweng. 630–636.

Eni Hidayati, Khoiriyah Khoiriyah, M. F. M. (2015). Pelatihan Siaga Sehat Jiwa


Terhadap Pengetahuan Kader di Rw 06 Dan Rw 07 Desa Rowosari
Kecamatan Tembalang Kota Semarang | Hidayati | Jurnal Keperawatan
Komunitas. https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKK/a rticle/view/3996

Ermanza, G. H. (2008 ). Hubungan antara Harga Diri dan Citra Tubuh Pada
Remaja Putri yang Mengalami Obesitas dari Sosial Ekonomi Menengah
Atas. Diunduh pada tanggal 20 Agustus 2016, dari : http://lib.ui.ac.id/file?
file=digital/125339-155.533%20ERM%20h%20-%20Hubungan
%20Antara%20-%20Literatur.pdf

Handayani, M. M., Ratnawati, S., Helmi, A. F., & Mada, U. G. (2013). Efektifitas
Pelatihan Pengenalan Diri Diri Dan Harga Diri. 2, 47–55

Hidayat, N. O. (2009). Pengaruh emosional-literatur. Diunduh pada 20 Agustus


2016, dari: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/125189 TESIS0647%20Nur
%20N09p-Pengaruh%20Emosional-Literatur.pdf

Kaplan dan Sadock. (2010). Buku Ajar Psikiatri Klinis (Edisi II).

Khoirah umah. (2012). Terapi Okupasi: Training Ketrampilan Pengaruh Tingkat


Derpesi Pada Lansia. 3(1), 86–91.

Kristyaningsih, Tjahjanti, Keliat, B.A., & Dauliam, N.H., C. (2009). Pengaruh


Terapi Kognitif Terhadap Perubahan Harga Diri Rendah Dan
Kondisi Depresi Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Ruang Haemodialisa
RSUP Fatmawati Jakarta. Tesis FIK - UI. Tidak Dipublikasikan.

18
Miftachul jannah. (2016). Asuhan Keperawatan Terapi Aktifitas Kelompok
Peningkatan Harga Diri Rendah pada Klien Gangguan Jiwa di Ruang
Kakak Tua RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang-Malang

Puji, S, dkk. (2019). Plant Therapy Untuk Meningkatkan Harga Diri Pada Klien
Harga Diri Rendah Di Panti Rehabilitasi Pengemis, Gelandangan Dan
Orang Terlantar (PRPGOT). 2 (1) 39-46.

Purwanto, R. dan. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa.

Rokhimmah & Desi. (2020). Penurunan Harga Diri Rendah dengan menggunakan
Penerapan Terapi Okupasi ( Berkebun )

Setyaningsih, T., Mustikasari., & Nuaraini, T. (2011). Pengaruh Cognitive


Behavior Therapy (CBT) Terhadap Perubahan Diri Pasien GGK Di
Unit Hemodialisia RS. Husada JakartaTesis FIK -UI. Tidak
Dipublikasikan.

Simanjorang, R. A. (2011). Pengaruh Strategi Pelaksanaan Komunikasi Terhadap


Kemampuan Pasien Harga Diri Rendah Dalam Meningkatkan Harga Diri
di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Diunduh pada
tanggal 20 Agustus 2016, dari :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27527/4/Chapter
%20II.pdf

Stuart, G.W and Laraia, M.T (2005) Principles and practice of psychiatric nursing
(8th ed). St Louis : Mosby Year Book

Suerni, T., Keliat, Budi A., Helena, Novy. (2013). Penerapan terapi kognitif dan
psikoedukasi keluarga pada klien harga diri rendah di ruang Yudistira
rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor tahun 2013. Diakses pada
tanggal 20 Agustus 2016, dari:
http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/978/1027

19
Wijianto. (2016). Pengaruh Status Sosial dan Kondisi Ekonomi Keluarga. 2(2),
190–210.

20

Anda mungkin juga menyukai