Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN PERSEPSI SENSORI HALUSINASI

Oleh:

I DEWA AYU AGUNG YULI PARAMITA

2114901208

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI

2021
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI

I. Kasus (masalah utama)


Halusinasi pendengaran
II. Proses terjadinya masalah
a. Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien
mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaaan atau penghiduan.
Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Damaiyanti,
2012).
b. Tanda-gejala
Beberapa tanda dan gejala perilaku halusinasi adalah :
1) Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
2) Menggerakkan bibir tanpa suara, bicara sendiri,
3) Pergerakan mata cepat, diam, asyik dengan pengalaman sensori,
4) Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realitas,
rentang perhatian yang menyempit hanya beberapa detik atau
menit, kesukaran berhubungan dengan orang lain, tidak mampu
merawat diri.
c. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari:
1) Faktor biologis
Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
(herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat
penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain (NAPZA).
2) Faktor psikologis
Memiliki riwayat kegagalan yang berulang. Menjadi korban,
pelaku maupun saksi dari perilaku kekerasan serta kurangnya kasih
sayang dari orang-orang disekitar atau overprotektif
3) Faktor sosial dan budaya
Sebagian besar pasien halusinasi berasal dari keluarga dengan
sosial ekonomi rendah, selain itu pasien memiliki riwayat
penolakan dari lingkungan pada usia perkembangan anak, pasien
halusinasi seringkali memiliki tingkat pendidikan yang rendah
serta pernah mengalami kegagalan dalam hubungan sosial
(perceraian, hidup sendiri), serta tidak bekerja.
d. Faktor presipitasi
Stressor presipitasi pasien gangguan persepsi sensori halusinasi
ditemukan adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau
kelainan struktur otak, adanya riwayat kekerasan dalam keluarga, atau
adanya kegagalan-kegagalan dalam hidup, kemiskinan, adanya aturan
atau tuntutan di keluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai
dengan pasien serta konflik antar masyarakat.
e. Penyebab
Proses terjadinya halusinasi menurut Yosep (2014) diawali
dengan seseorang yang menderita halusinasi akan menganggap sumber
dari halusinasinya berasal dari lingkungannya atau stimulus eksternal.
Padahal sumber itu berasal dari stimulus internal yang berasal pada
dirinya tanpa ada stimulus dari luar. Stimulus internal itu merupakan
suatu bentuk perlindungan diri dari psikologi yang mengalami
trauma sehubungan dengan penolakan, stress, kehilangan, kesepian,
serta tuntutan ekonomi yang dapat meningkatkan kecemasan. Pada
fase awal masalah itu menimbul peningkatan kecemasan yang terus-
menerus dan system pendukung yang kurang akan membuat persepsi
untuk membeda–bedakan apa yang dipikirkan dengan perasaan sendiri
menurun, klien sulit tidur sehingga terbiasa mengkhayal dan klien
terbiasa menganggap lamunan itu sebagai pemecah masalah.
Meningkat pada fase comforting, klien mengalami emosi yang
berkelanjutan seperti adanya cemas, kesepian, perasaan berdosa dan
sensorinya dapat diatur, pada fase ini klien cenderung merasa nyaman
dengan halusinasinya. Halusinasi menjadi sering datang, klien tidak
mampu lagi mengontrolnya dan berupaya menjaga jarak dengan
objek lain yang dipersepsikan.
Pada fase condemning, klien mulai menarik diri dari orang lain.
Pada fase controlling dimulai klien mencoba melawan suara – suara
atau bunyi yang datang dan klien dapat merasa kesepian jika
halusinasinya berhenti, maka dari sinilah dimulai fase gangguan
psycotik. Pada fase conquering panic level of anxiety, klien lama
– kelamaan pengalaman sensorinya terganggu,klien merasa terancam
dengan halusinasinya terutama bila tidak menuruti perintah yang
dari halusinasinya.
f. Akibat
Akibat dari perubahan sensoori persepsi halusinasi adalah resiko
mencederai diri sendiri,orang lain dan lingkungan adalah suatu suatu
perilaku maladaptive dalam memanifestasikan perasaan marah yang
dialami oleh sesorang. Perilaku tersebut dapat berupa menciderai diri
sendiri, melalukan penganiayaan terhadap orang lain dan merusak
lingkungan.
Marah sendiri merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai
respon terhadap kecemasan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang
dirasakan sebagai suatu ancaman (Stuart dan Sundeen,1995). Perasaan
marah sendiri merupakan suatu hal yang wajar sepanjang perilaku
yang dimanifestasikan berada pada rentang adaptif.
III. Pohon masalah
Effect Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

Core problem
Perubahan sensori perseptual: halusinasi

Cause Isolasi sosial : menarik diri


a. Masalah keperawatan yang perlu dikaji
Masalah keperawatan dan data keperawatan yang perlu dikaji menurut
keliat (2010) :
1) Resiko tinggi perilaku kekerasan
2) Gangguan persepsi sensori:halusinasi
3) Isolasi sosial
b. Data yang perlu dikaji
1) Resiko tinggi perilaku kekerasan
Data subjektif
a) Klien mengatakan kesal karena mendengar suara-suara yang
ingin memarahinya
Data objektif
a) Perilaku hiperaktif
b) Mudah tersinggung
c) Perilaku menyerang seperti panik
d) Ansietas
2) Perubahan sensori septual: halusinasi
Data subjektif
a) Klien mengatakan mendengar bunyi yang
tidak berhubungan dengan stimulus nyata
b) Klien mengatakan melihat gambaran
tanpa ada stimulus yang nyata
c) Klien mengatakan mencium bau tanpa
stimulus
d) Klien merasa makan sesuatu
e) Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya
f) Klien takut pada suara/bunyi/gambar
yang dilihat dan didengar
g) Klien ingin memukul/melempar barang-
barang
Data objektif
a) Klien berbicara dan tertawa sendiri
b) Klien bersikap seperti mendengar/melihat
sesuatu
c) Klien berhenti bicara ditengah kalimat
untuk mendengarkan sesuatu
d) Disorientasi
3) Isolasi sosial
Data objektif
a) Kesulitan berinteraksi dengan orang lain
b) Menarik diri
c) Kurangnya kontak mata dan komunikasi
IV. Diagnosa keperawatan
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Gangguan persepsi sensori: halusinasi
c. Isolasi sosial
V. Rencana tindakan keperawatan
a. Tujuan Umum :
Klien dapat mengenal halusinasi yang dialami
b. Tujuan Khusus :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
2) Klien dapat mengenal halusinasinya
3) Klien dapat mengontrol halusinasinya
4) Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol
halusinasinya
5) Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik
Diagnosa
Pasien Keluarga
Keperawatan

Halusinasi SP I SP I

1. Mengidentifikasi jenis 1. Mendiskusikan


halusinasi pasien masalah yang dirasakan
2. Mengidentifikasi isi halusinasi keluarga dalam merawat
pasien pasien
3. Mengidentifikasi waktu 2. Menjelaskan
halusinasi pasien pengertian, tanda dan gejala
4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi, dan jenis
halusinasi pasien halusinasi yang dialami
5. Mengidentifikasi situasi yang pasien beserta proses
menimbulkan halusinasi terjadinya
6. Mengidentifikasi respons 3. Menjelaskan cara-
pasien terhadap halusinasi cara merawat pasien
7. Melatih pasien cara kontrol halusinasi
halusinasi dengan menghardik
8. Membimbing pasien
memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.

SP II SP II

1. Memvalidasi masalah dan 1. Melatih keluarga


latihan sebelumnya. mempraktekkan cara
2. Melatih pasien cara kontrol merawat pasien dengan
halusinasi dengan berbincang halusinasi
dengan orang lain 2. Melatih keluarga
3. Membimbing pasien melakukan cara merawat
memasukkan dalam jadwal kegiatan langsung kepada pasien
harian. halusinasi

SP III SP III

1. Memvalidasi masalah dan 1. Membantu keluarga


latihan sebelumnya. membuat jadual aktivitas di
2. Melatih pasien cara kontrol rumah termasuk minum
halusinasi dengan kegiatan (yang obat (discharge planning)
biasa dilakukan pasien). 2. Menjelaskan
3. Membimbing pasien follow up pasien setelah
memasukkan dalam jadwal kegiatan pulang
harian.
SP IV

1. Memvalidasi masalah dan


latihan sebelumnya.
2. Menjelaskan cara kontrol
halusinasi dengan teratur minum
obat (prinsip 5 benar minum obat).
3. Membimbing pasien
memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.

VI. Diagnosa medis


a. Pengertian
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak mampu
menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) dengan baik dan
pemahaman diri (self insight) yang buruk (Hawari, 2014).
Skizofrenia memiliki dua gejala yaitu gejala positif dan gejala
negatif. Gejala positif seperti delusi (waham), halusinasi, kekacauan
alam pikir, gaduh, merasa dirinya serba bisa, curiga, dan menyimpan
rasa permusuhan sedangkan gejala negatif adalah berkurangnya
ekspresi emosi, menarik diri, pendiam, apatis, sulit berpikir abstrak,
pola pikir sterotip dan berkurangnya minat untuk melakukan apapun
(Hawari, 2014).
b. Etiologi
Faktor-faktor yang berperan terhadap kejadian skizofrenia menurut
Zahnia (2016) antara lain:
a) Faktor Genetik
Faktor genetik turut menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini
telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga
penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar monozigot.
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk
mendapatkan skizofrenia melalui gen yang resesif. Potensi ini
mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung
pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi manifestasi
skizofrenia atau tidak.
b) Auto imunne
Penyakit autoimun merupakan salah satu faktor risiko skizofrenia.
Skizofrenia meningkat pada satu tahun setelah penyakit autoimun
terdiagnosis. Adanya infeksi berat juga meningkatkan risiko
skizofrenia secara signifikan. Peningkatan inflamasi pada
penyakit auto imun dan infeksi dapat mempengaruhi otak melalui
jalur yang berbeda.
c) Faktor Psikososial
Faktor psikososial terdiri atas interaksi pasien dengan keluarga
dan masyarakat. Timbulnya tekanan dalam interaksi pasien
dengan keluarga, misalnya pola asuh orang tua yang terlalu
menekan pasien, kurangnya dukungan keluarga terhadap
pemecahan masalah yang dihadapi pasien, pasien kurang
diperhatikan oleh keluarga didukung oleh dengan pasien tidak
mampu berinteraksi dengan baik di masyarakat menjadikan faktor
stressor yang menekan kehidupan pasien. Ketika tekanan tersebut
berlangsung dalam waktu yang lama sehingga mencapai tingkat
tertentu, maka akan menimbulkan gangguan keseimbangan
mental pasien dan salah satunya adalah timbulnya gejala
skizofrenia.
c. Klasifikasi
Menurut Hawari (2014) skizofrenia dibagi menjadi 5 kelompok yang
mempunyai spesifikasi masing-masing, yang kriterianya didominasi
hal-hal berikut:
a) Skizofrenia tipe Hebefrenik disebut juga disorganized type,
ditandai dengan gejala-gejala:
1) Inkoherensi, yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat
dimengerti maksudnya. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata
yang diucapkan tidak ada hubungannya satu dengan yang lain.
2) Alam perasaan (mood, affect) yang datar tanpa ekspresi.
3) Perilaku dan tertawa kekanak-kanakan, senyum yang
menunjukan rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati
sendiri.
4) Waham (delusion) tidak jelas dan tidak sistemik (terpecah-
pecah) tidak terorganisir sebagai suatu kesatuan.
5) Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak
terorganisir sebagai suatu kesatuan.
6) Berperilaku aneh, seperti menyeringai sendiri, menunjukan
gerakan-gerakan aneh, pengucapan kalimat berulang-ulang
dan kecenderungan untuk menarik diri secara ekstrim dari
hubungan sosial.
b) Skizofrenia tipe Katatonik, dengan ditandai gejala-gejala, seperti:
1) Stupor katatonik, yaitu suatu pengurangan hebat dalam
reaktivitas terhadap lingkungan dan atau pengurangan dari
pergerakan atau aktivitas spontan sehingga nampak seperti
“patung” atau diam membisu.
2) Negativisme Katatonik, yaitu suatu perlawanan yang
nampaknya tanpa motif terhadap semua perintah atau upaya
untuk menggerakan dirinya.
3) Kekakuan (rigidity) Katatonik, yaitu mempertahankan suatu
sikap kaku tehadap semua upaya untuk menggerakan dirinya.
4) Kegaduhan Katatonik, yaitu kegaduhan aktivitas motorik,
yang nampaknya tak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh
rangsangan dari luar.
5) Sikap Tubuh Katatonik, yaitu sikap yang tidak wajar.
c) Skizofrenia tipe Paranoid, menunjukan gejala-gejala sebagai
berikut:
a) Waham kejar atau waham kebesaran, waham cemburu juga
sering ditemukan.
b) Halusinasi yang mengandung isi kejaran atau kebesaran.
c) Gangguan alam perasaan dan perilaku, misalnya kecemasan
yang tidak menentu, kemarahan, suka bertengkar atau
berdebat dan tindak kekerasan.
d) Skizofrenia tipe Residual
Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) yang tidak menonjol.
Misalnya alam perasaan yang tumpul dan mendatar serta tidak
serasi, penarikan diri dari pergaulan sosial, tingkah laku yang
eksentrik, pikiran tidak logis dan tidak rasional atau pelonggaran
asosiasi pikiran.

e) Skizofrenia tipe Tidak tergolongkan


Tipe ini tidak dapat dimasukan dalam tipe-tipe yang sudah
diuraikan, hanya gambaran klinisnya terdapat waham, halusinasi,
inkohorensi atau tingkah laku kacau.
c. Penatalaksanaan skizofrenia
Menurut Hawari (2014) pengobatan skizofrenia antara lain:
a) Psikofarmaka
Pada skizofrenia terdapat gangguan pada fungsi penghantar
saraf (neurotransmitter) yaitu sel-sel susunan saraf pusat pada otak
merupakan pelepasan zat dopamine dan serotin yang
mengakibatkan gangguan pada alam pikir, alam perasaan, dan
perilaku. Oleh karena itu, obat psikofarmaka ditujukan pada
gangguan fungsi neurotransmitter sehingga gejala-gejala klinis
dapat dihilangkan.
Masing-masing jenis obat psikofarmaka meiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing selain efek samping. Terdapat obat
psikofarmaka yang lebih berkhasiat menghilangkan gejala negatif
skizofrenia daripada gejala postif skizofrenia atau sebaliknya, ada
juga yang lebih cepat menimbulkan efek samping dan lain
sebagainya.
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar di pasaran
yang hanya bisa diperoleh dengan resep dokter dapat dibagi
menjadi dua golongan yaitu golongan generasi pertama (typical)
dan golongan kedua (atypical). Adapun contoh obat jenis golongan
pertama dengan nama generic, antara lain: chlorpromazin HCL,
trifluoperazine HCL, thioridazine HCL, dan haloperidol. Contoh
obat golongan kedua dengan nama generic antara lain: risperidone,
paliperidone, clozapine, quetiapine, olanzapine dan aripiprazole.
b) Psikoterapi
Psikoterapi dapat diberikan apabila penerita dengan terapi
psikofarmaka sudah mencapai tahap yang mana kemampuan
menilai (Reality Testing Ability/RTA) sudah kembali pulih dan
pemahaman diri (insight) sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan
catatan penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka.
Ada banyak macam psikoterapi, biasanya diberikan sesuai
kebutuhan dan latar belakang sebelum sakit (Pramorbid), misalnya:
1) Psikoterapi suportif
Memberikan dorongan atau motivasi agar penderita tetap
semangat dan tidak putus asa dalam menghadapi penyakitnya.
2) Psikoterapi Re-edukatif
Memberikan pendidikan ulang untuk memperbaiki kesalahan
pendidikan masa lalu agar dapat mengubah pola pendidikan
masa lalu dengan yang baru sehingga penderita lebih adaptif
terhadap dunia luar.
3) Psikoterapi Re-konstruktif
Memperbaiki kepribadian yang telah mengalami keretakan
menjadi kepribadian yang utuh seperti semula sebelum sakit.
4) Psikoterapi Kognitif
Memulihkan kembali fungsi kognitif yang rasional sehingga
penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika.
5) Psikoterapi Psiko-dinamik
Menganalisis dan menguraikan proses dinamika kejiwaan yang
dapat menjelaskan seorang jatuh sakit dan upaya dalam
mencari jalan keluarnya. Terapi ini diharapkan penderita
mampu memahami kelebihan dan kekurangan yang
dimilikinya dan mampu menggunakan mekanisme pertahanan
diri dengan baik.
6) Psikoterapi Perilaku
Memulihkan gangguan perilaku yang terganggu menjadi
perilaku yang adaptif.
7) Psikoterapi Keluarga
Dengan terapi ini diharapkan dapat memulihkan hubungan
yang terjalin yaitu penderita dengan keluarganya.
c) Terapi psikososial
Terapi psikososial dimaksudkan agar penderita mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dan mampu merawat diri,
mandiri, dan tidak menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat.
1) Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan latihan ketrampilan sosial untuk
meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri
sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku
adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat
ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa.
Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau
menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di
masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat diturunkan.
2) Terapi berorientasi keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, pasien skizofrenia
kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga
yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode
pemulangan segera,topik penting yang dibahas didalam terapi
keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan
kecepatannya. Sering kali anggota keluarga dengan jelas
mendorong sanaksaudaranya yang terkena skizofrenia untuk
melakukan aktivitas teratur.
Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti
tentang skizofrenia. Sejumlah penelitian telah menemukan
bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam menurunkan relaps.
4) Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata.
Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi
secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi
kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial,
meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas
bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan
cara suportif sangat baik dilakukan untuk memulihkan kondisi
pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, M., & Iskandar.(2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung : Refika


Aditam
Hawari, D. (2014). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Edisi
3)
Keliat, Budi Anna (2016). Principles and Practies of Phsychiatri Nursing.
(Stuart, Gail W.) Singapore: Elsevier. (Buku asli diterbitkan pada tahun
(2013)
Saktian, Yusuf. (2016). Laporan Pendahuluan Halusinasi. Diakses melalui:
https://www.academia.edu/28333404/laporan_pendahuluan_halusinasi
pada 1 Desember 2020.

Stuart dan Sundeen .(1995). Buku Saku Keperawatan Jiwa. E disi 3. EGC.Jakarta

Yosep,I.,&Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung


:RefikaAditama.
Zahnia, Siti & Dyah Wulan Sumekar. (2016). Kajian Epidemiologi Skizofrenia.
Lampung: Medical Journal of Lampung University. Diakses pada 228
Desember 2020 melalui:
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/904
Zelika, Alkhosiyah A. Dermawan, Deden. (2015). Kajian Asuhan Keperawatan
Jiwa Halusinasi Pendengaran Pada Sdr. D Di Ruang Nakula Rsjd
Surakarta. Jurnal Poltekkes Bhakti

Anda mungkin juga menyukai