281
*MATERI MUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN”!)
oleh:
A Hamid S. Attamimi, SH.
(Beberapa catatan dalam pengembangan ilmu hukum berdasarkan pengalaman
dalam kegiatan ”Legislative drafting”)
"De Grondwet ontleent het begrip van wet enkel van den persoon,
die haar maakt. Zij heeft de vraag opengelaten, wat moet bij ons door eene
wet, en wat kan op eene andere wijze worden vastgesteld? Even als andere
Gronwetten, heeft zij zich onthouden het eigenaardig onderwerp der
wet te omschrijven.”
(Thorbecke: Aanteekening op de Grondwet I3))
1, Berdasar pengalaman bekerja di bidang perundang-undangan4), penulis
merasakan perlunya kejelasan mengenai materi peraturan tertentu yang harus
dimuat dalam tiga jenis peraturan perundang-undangan. Mengenali berbagai
jenis dan bentuk peraturan perundang-undangan, memahami tata urutan atau
tata susunannya, dan memahami proses pembentukannya rasanya tidak
terlalu sulit, tetapi mengetahui dengan baik materi mana yang harus dimuat
dalam masing-masing jenis peraturan perundang-undangan terasa tidak mu-
dah. Ilmu hukum tatanegara sudah lama menyoroti pengertian undang-
undang, baik dalam arti. formal maupun dalam arti material, menyoroti
kedudukannya, kekuatan berlakunya dan laindainnya serta apa saja yang
termasuk pengertian undang-undang dalam arti material. Juga ilmu hukum
tata usaha negara telah jauh mempersoalkan kaedah-kaedah bagi teknik dan
proses pembentukan berbagai jenis peraturan perundang-undangan. Namun
demikian keduanya belum menyinggung secara mendalam dan membiarkan-
nya tanpa kejernihan mengenai masalah materi muatan peraturan yang semes-
tinya dimuat dalam tiap jenis peraturan perundang-undangan.
2. Apakah yang disebut peraturan perundang-undangan? Pada umumnya
kita masih belum sepaham dalam menetapkan jenis-jenis peraturan mana
yang disebut peraturan perundangundangan, Membicarakan masalah ini
berarti kita segera memasuki sebuah bidang yang masih samar-samar karena
1) _Isi tulisan ini disampaikan secara lisan dalam Lokakarya mengenai Pengembangen
Imu Hukum, di Fakuitas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 22 Pebruari 1979.
Naskahnya diselesaikan sesudahnya,
2) —-Untuk menghindari keluasan pengertian yang tidak mampu dijangkau, dengan
sengaja tidak dipergunakan istilah "law drafting” sebagaimana dimintakan Loka-
karya, melainkan "legislative drafting”, i
3) _Dikutip dari Bohtlingk/Logemann: Het wetsbegrip in Nederland, 1966 h, 47.
4) 1968 - 1973 sebagai Kepala Biro Hukum dan Hubungan dengan Lembaga-Lemba-
ga Tertinggi/Tinggi Negara, Departemen Perdagangan; 1973 sampai sekarang
sebagai Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan (namanya mula-mula
Biro Analisa dan Perundang-undangan), Sekretariat Kabinet-Sekretariat Negara
RA282 hukum dan pembangunan
selain Undang-undang Dasar 1945 tidak menjelaskannya, di kalangan para
ahli juga timbul pendapat yang berbeda-beda. Dan “repotnya” pendapat-
pendapat itu dihadapkan langsung kepada wibawa sebuah Ketetapan Lembaga
Tertinggi Negara, yakni Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Semen-
tara No. XX/1966 yang dalam Lampirannya angka II menggariskan ”Tata
Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang
Dasar 1945”.
Sebagaimana kita ketahui Lampiran TAP MPRS No. XX/1966 dimaksud me-
nyebutkan bentuk dan tata urutan peraturan perundang-undangan secara
berturut-turut: Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan MPR; Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; Peraturan Peme-
rintah; Keputusan Presiden; Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti
Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan laindainnya,
(Menurut TAP MPR No. V/1973, TAP MPRS No. XX/1966 tersebut masih
perlu disempurnakan. Hal itu diulangi lagi dengan TAP MPR No.IX/1978.
Sayang masih belum jelas bagian mana dari TAP MPRS itu yang perlu disem-
pumakan.)
3. Kata perundang-undangan apabila merupakan terjemahan “wetgeving”,
berarti a) perbuatan membentuk peraturan-peraturan negara tingkat pusat
atau tingkat daerah menurut tatacara yang ditentukan; b) keseluruhan per-
aturan-—peraturan negara tingkat pusat dan tingkat daerah. Jadi "peraturan
perundang-undangan” ialah peraturan dimaksud pada huruf b)5)-
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 (R.1. Yogyakarta) menyebutkan per-
aturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah: Undangundang dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerinfah, dan Peraturan
Menteri. Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat No.2262/
HK/59 tanggal 20 Agustus 1959 yang dijelaskan dengan Surat Presiden No.
3639/HK/59 tanggal 26 Nopember 1959, menyebutkan peraturan-peraturan
negara ialah: UU, PP, Perpu, Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, PP
untuk melaksanakan Perpres, Keputusan Presiden, dan Peraturan/Keputus-
an Menteri 9).
Pada zaman Hindia Belanda yang tergolong ”wettelijke regelingen” ialah:
“internationale tractaten”, ”Politieke contracten”, ”algemene verordeningen”
"locale verordeningen”, “waterschapsverordeningen”, dan ”verordeninggen
van hoofden van gewestelijk bestuur””). Indische Staatsregeling Pasal 95
ayat (1) memperinci “algemene verordeningen” dengan ”regeringsverorde-
ningen”, ’ordonnanties”, ”algemene maatregelen van bestuur”, dan ”wet-
ten”.
5). Fockema Andreae: Rechtsgeleerd Handwoordenboek; Wetgeving = I, De hande-
ling van het wetgeven in formele zin; II, Het resultaat, het geheel der gestelde
wetten nopens enig onderdeel van het recht.
Black’s Law Dictionary: Legislation = the act of giving or enacting laws; munici-
pal ordinances,
Encyclopaedia Americana: Letislation = 1. restrictive sense: the enactment of
a legislative body; 2. larger sense: a totality of general rules of law bunding the
community; 3. special sense; judge made law.
6). Beberapa Departemen menggunakan istilah Peraturan Menteri, sebagian besar
lJainnya Keputusan Menteri.
7). Bezeemer: Beknopte Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie.Perundang-undangan 283
Maka apabila peraturan perundang-undangan merupakan terjemahan ”wet-
telijke regelingen” ternyata ia lebih sempit, dan apabila terjemahan ”algeme-
ne verordeningen” ia lebih luas.
4, Dalam Lampiran TAP MPRS No. XX/1966 angka II dicantumkan antara
lain, bahwa ”*Undang-undang adalah untuk melaksanakan Undang-Undang
Dasar atau Ketetapan MPR”; ’Peraturan Pemerintah adalah memuat aturan-
aturan umum untuk melaksanakan Undang-undang”; ”Keputusan Presiden
berisi keputusan yang bersifat khusus (einmahlig) adalah untuk melaksanakan
ketentuan Undang-Undang Dasar yang bersangkutan, Ketetapan MPR dalam
bidang eksekutif atau Peraturan Pemerintah”,
Apakah dari definisi-definisi tersebut sudah jelas materi muatan bagi Undang-
undang, bagi Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden? Apabila dika-
takan Undang-undang “adalah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar”
apakah itu berarti hanya melaksanakan kedelapan belas8) ketentuan yang
dalam Undang-Undang Dasar 1945 tegas-tegas disebut ”ditetapkan dengan
Undangundang” atau "diatur dengan undang-undang” dan sebagainya?
Adakah dalam Undang-Undang Dasar 1945 ketentuan-ketentuan lain yang
harus juga diatur dengan Undang-undang? kemudian lebih lanjut, apakah di
samping memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan Undang-undang,
Peraturan Pemerintah dapat juga melaksanakan ketentuan Ordonansi misal-
nya yang dibentuk zaman Hindia Belanda? Apakah Peraturan Pemerintah
sama benar kedudukan dan nilainya dengan ”Regeringsverordening”? Berla-
kukah bagi Peraturan Pemerintah apa yang berlaku bagi ’Regeringsverorde-
ning”, misalnya Staatsblad 1927-346, sebuah ”blanket-staatsblad” untuk
»Regeringsverordeningen”9)? Kemudian lebih lanjut lagi, apakah Keputusan
Presiden hanya yang bersifat “einmahlig” saja, atau yang ”beschikking”
saja, tidak yang ”regelgevend”? Definisi-definisi itu ternyata masih memerlu-
kan penjelasan...
5. Sebelum melangkah lebih jauh kiranya selayang pandang perlu disoroti
beberapa bagian penting dari sendi-sendi sistem pemerintahan negara menurut
Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan erat dengan sistem perundang-
undangan. Yang pertama ialah wawasan negara hukum (rechtsstaatsgedach-
te”) dan yang kedua ialah sistem konstitusional (konstitusionalisme)! 0),
Wawasan yang pertama mengandung beberapa konsekwensi di bidang perun-
dang-undangan oleh karena intinya menyangkut masalah pembagian kekua-
saan negara dan perlindungan terhadap hak-hak (asasi) manusia!!), wawasan
yang kedua oleh karena intinya mengarah tindakan negara sesuai peraturan-
8), Undang-Undang Dasar 1945 Pasal-pasal 2 (1), 12, 16 (1) 18, 19 (1), 23 (1),
23 (20, 23 (3) 23 (4), 23 (5), 24 (1), 24 (2), 25 , 26 (2), 28, 30 (2), dan 31 (2).
9). Staatsblad 1927-346 menetapkan, bahwa kecuali apabila ditentukan lain dalam
Ordonansi, dalam Regeringverordening dapat ditentukan hukuman terhadap
pelanggaran ketentuan-ketentuannya berupa kurungan selamadtamanya tiga bulan
atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus "gulden”, dengan disertai perampasan
barang-barang tertentu ataupun tidak.
10), Lihat Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai Sistem Pemerintahan
Negara.
11), Meskipun substansinya sama, namun istilah hak asasi manusia mengasosiaikan
kita kepada "Die Vertragstheorien”, sedangkan di Republik Indonesia berlaku
asas kekeluargaan dengan hak-hak anggota keluarga di dalam keluarga,284 hukum dan pembangunan
peraturan. Kedua wawasan itu menempatkan kekuasaan perundang-undangan
dalam kedudukan yang khusus. Wawasan negara hukum yang lama mem-
punyai kecenderungan untuk mengikat secara ketat setiap tindakan pemerin-
tah dengan berbagai undang-undang sehingga undang-undang selain jumlahnya
banyak, isinyapun lengkap pula. Dalam wawasan negara hukum yang lama
undang-undang memang merupakan satu-satunya titian tempat melangkah-
nya pemerintahan negara. Sedangkan dalam wawasan negara hukum yang
baru keketatan itu sudah lebih dilonggarkan dengan pengakuan terhadap
adanya kebijaksanaan (""freies Emersson”) bagi tindakan pemerintahan
negara meskipun dengan disertai imbangan dalam bentuk peradilan adminis-
trasi 12). Beberapa pengaturan tidak lagi harus ditetapkan dengan undang-
undang seluruhnya melainkan dapat didelegasikan kepada peraturan yang
lebih rendah, Semua ini berarti bahwa dari segi materi muatan undang-
undang terjadi perpindahan titik berat “dari atas ke bawah”, terjadi pelim-
pahan beberapa materi undang-undang kepada jenis peraturan yang lebih
rendah, Secara singkat dapat dikatakan, bahwa dengan berubahnya wawasan
negara hukum yang lama kepada yang baru telah digantilah keterikatan dan
pengawasan ketat terhadap pemerintahan negara yang dilakukan dengan
undangundang dengan kebijaksanaan dan pengarahan dan dapat dilakukan
dengan peraturan yang lebih rendah dari undang-undang.
6. Sistem konstitutional atau konstitusionalisme biasanya merupakan ”pa-
sangan” logis akibat dianutnya wawasan negara hukum. K onstitutionalisme
adalah wawasan keterbatasan tindakan pemerintah dalam melakukan tugas-
tugasnya!3). Konstitusionalisme yang dianut oleh Republik Indonesia seba-
gaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah mendampingi
wawasan negara hukum yang baru. Ketentuan bahwa pemerintahan negara
hamus didasarkan atas sistem konstitusi dan tidak boleh sewenang-wenang
telah disertai dengan keluasaan bergerak yang diberikan oleh konstitusi itu
sendiri, yakni dengan sifatnya yang singkat dan luwes serta isinya yang me-
muat aturan-aturan pokok dan garis besar sebagai instruksi kepada para
penyelenggaraan kekuasaan negara. Undang-Undang Dasar 1945 melimpah-
kahkan kepada Undang-undang untuk mengatur hal-hal yang diperlukan bagi
penyelenggaraan lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar. Selain itu
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kewenangan juga kepada Presiden
untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai penjalankan” Undang-
undang, sebagai pengaturan lebih lanjut ketentuan Undang-undang yang
memerlukan perinciannya. Dan di samping itu Presiden sebagai penyeleng-
gara pemerintah negara juga memegang kekuasaan pemerintahan yang dilihat
dari segi perundang-undangan menempati kedudukan tersendiri pula.
7. Kecuali sistem perundang-undangan sebagaimana diuraikan di atas, masih
terdapat satu sistem pengaturan penting yang dimungkinkan oleh Undang-
Undang Dasar 1945, yakni pengaturan yang berada dalam lingkungan hukum
dasar tertulis selain Undang-Undang Dasar: pengaturan dengan Ketetapen
12). Bohtlingk/Logemann ibid., h. 4
13), de Smith: Constitutional and administrative law, 1973, h. 21 (“the idea of limited
government”),
Juga Wheare: Modern Constitutions, ketika mengupas ”Prospects for Constitu-
tional Government”, 1951, cet. 1975, h. 137.perundang-undangan 285
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sebagaimana diketahui tugas MPR ialah
menetapkan Undang-Undang Dasar, menetapkan garis-garis besar dari pada
haluan negara, dan memilih serta mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.
Dari ketiga tugas tersebut ternyata dalam menetapkan garis-garis besar dari
pada haluan negara MPR dapat menetapkan peraturan-peraturan yang bersifat
dasar. Peraturan dasar yang bernama TAP MPR ini dapat diperinci lebih
lanjut dengan Undang-undang yang selanjutnya dapat diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
8. TAP MPRS No. XX/1966 menetapkan, bahwa mulai Undang-Undang
Dasar 1945 (yang paling tinggi) sampai Peraturan Pelaksanaan (yang paling
rendah), semuanya adalah peraturan perundang-undangan ! 4), Benarkah?
Mengenai Undang-Undang Dasar, Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945
menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar adalah ”hukum dasar yang tertu-
lis”, Di samping itu Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai Pembukaan yang
oleh TAP MPRS No.XX/1966 dikatakan "merupakan dasar dan sumber
hukum dari Barang Tubuhnya”, sedangkan Pancasila yang terdapat dalam
Pembukaan ialah ”sumber dari segala sumber hukum”. Dengan demikian ma-
ka Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar
tertulis dan Pembukaan yang mengandung Pancasila itu berisikan norma-
norma dasar sedangkan Pancasila sendiri adalah norma dasar yang lebih
tinggi kedudukannya daripada norma dasar lainnya yang terdapat dalam Pem-
bukaan.
Ke nudian, sebuah TAP MPR dapat mengandung peraturan yang bersifat
me aksanakan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. (TAP
ME RS No. XX/1966 menyebutkan ”Ketentuan-ketentuan yang tercantum
di lalam pasal Undang-Undang Dasar adalah ketentuan-ketentuan yang ter-
tinggi yang pelaksanannya dilakukan dengan Ketetapan MPR, Undang-undang
atau Keputusan Presiden”, dan lebih lanjut ”Ketetapan MPR yang memuat
garis-garis besar dalam bidang legislatif dilaksanakan dengan Undang-un-
dang”.) Maka jelaslah TAP MPR yang mengandung peraturan-peraturan itu
adalah peraturan dasar tertulis.
9. Apabila kita menoleh kepada teori "die Stufenordnung der Rechtsnor-
men” yang dikembangkan oleh Hans Nawiasky!5)» kita mendapatkan per-
bedaan yang pokok antara teori jenjang normanorma hukum ini dengan
tata susunan peraturan perundang-undangan yang digariskan oleh TAP MPRS
No.XX/ 1966. Nawiasky memperinci jenjang tersebut berturut-turut dari
atas ke bawah sebagai berikut: “Grundnormen” (Norma Dasar), "Grundge-
setzes” (Peraturan Dasar), ”formelle Gesetzes” (Undang-undang), dan ”Ve-
rordnungen/autonome Satzungen” (Peraturan Pelaksanaan). Meskipun ke-
dudukannya lebih tinggi dari *formelle Gesetzes” namun ”Grundnormen”
dan ”Grundgesetzes” bukanlah norma-norma hukum yang siap dilaksanakan
dengan segala macam sanksi pidana bagi pelanggaran-pelanggarannya seperti
halnya dengan Undang-undang. Dengan lain perkataan, meskipun pelanggaran
terhadap Norma Dasar dan terhadap Peraturan Dasar di ”ancam” dengan
14), TAP MPRS No. XX/1966 menyebutkannya “peraturan perundangan”.
15). Hans Naviasky: Allgemeine Rechtslehre, als System der rechtlichen Grundbergrif-
fe, 1948, h. 43,286 hukum dan pembangunan
sanksi moral yang sebenarnya terasa lebih berat, ternyata pelanggaran terha-
dap Undang-undang yang diancam dengan sanksi pidana atau denda terasa
lebih kongkrit, Oleh karena itu meskipun Norma Dasar dan Peraturan Dasar
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, namun dalam membicarakan ma-
teri muatan peraturan perundang-undangan materi muatan Undang-undang
terasa lebih mendesak dan lebih diperlukan secara praktis.
(Di belakang kami lampirkan bagan perbandingan jenjang jenis peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia menurut TAP MPRS No. XX/1966
dan menurut teori "die Stufenaufbau der Rechtsordnung”.)
10. Undang-Undang Dasar 1945 hanya mencantumkan delapan belas hal
yang secara tegas disebut perlu diatur dengan Undang-undang, yang lebih
lanjut dapat dikelompokkan sebagai berikut: delapan untuk hak-hak (asasi)
manusia, lima untuk pembagian kekuasaan negara, dan lima untuk organisasi
dan alat kelengkapan negara!®). Selain dari Penjelasan UUD 1945, dari sini
pula dapat ditarik kesimpulan bahwa Negara Republik Indonesia menganut
wawasan negara hukum dan konstitusionalisme; dan dari Pembukaan serta
Bab XIII dan XIV ternyata wawasan negara hukum tersebut dalam arti yang
baru (luas, material).
Apabila kita perinci kedelapan belas hal dalam Undang-Undang Dasar 1945
yang perlu diatur atau ditetapkan dengan Undang-undang maka kita menda-
patkan muatan Undangundang yang materi-materinya dapat dirumuskan
sebagai beikut:
a. yang secara tegas diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar untuk diatur
dengan Undang-undang;
b. yang mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang
Dasar dan dalam Ketetapan MPR;
c. yang mengatur hak-hak (asasi) manusia, terlepas dari kedudukannya se-
bagai warganegara atau bukan;
d. yang mengatur hak dan kewajiban warganegara;
e. yang mengatur pembagian kekuasaan negara, termasuk kekuasaan pera-
dilan dan hakim yang bebas;
f. yang mengatur organisasi pokok lembagalembaga tertinggi dan tinggi
negara;
g. yang mengatur pembagian. daerah negara atas daerah besar dan kecil;
h. yang mengatur siapa warganegara dan cara memperoleh atau kehilangan
kewarganegaraan;
i. hal-hal lain yang oleh ketentuan suatu Undang-undang ditetapkan untuk
diatur lebih lanjut dengan Undang-undang lain.
Dari apa yang tercantum di atas ternyata materi muatan dalam huruf c ke-
mudian d ialah yang paling luas, karena didalamnya termasuk hal-hal yang
menyangkut pengaturan dengan disertai sanksi pidana, pencabutan hak milik,
dan sebagainya yang berkaitan dengan ”terganggu”nya hak-hak (asasi) manu-
sia dan warganegara. .
(Khusus mengenai Undang-undang formal yang tidak memuat materi pera-
turan seperti pengesahan perjanjian dan juga penatapan anggaran pendapatan
16). Wan Halidin SH dalam Kekuasaan Pemerintah Negara berdasarkan UUD 1945,
1975, mengelompokkannya dalam empat kategori; h.9 dan 10,perundang-undangan 287
dan belanja negara, haruslah diakui bahwa Karena sifatnya itu maka tidak
diperlukan adanya pengaturan lebih lanjut, baik dengan Peraturan Pemerintah
maupun dengan Keputusan Presiden !7).
Masalah yang timbul ialah sampai berapa jauh materi muatan suatu Undang-
undang masih harus tetap tercantum meskipun hanya prinsip-prinsipnya dan
sampai berapa jauh pula materi muatan itu dapat dilimpahkan kepada per-
aturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dengan perkataan lain, sam-
pai berapa jauh isi suatu Undang-undang masih mencerminkan disatu pihak
adanya wawasan negara hukum dan sampai berapa jauh pula sudah mencer-
minkan di lain pihak adanya perbedaan bahwa wawasan negara hukum itu
tidak lagi formal melainkan sudah material.
Apabila dalam penetapan sanksi pidana kita sudah terbiasa melihat rumusan
Undangundang yang mencantumkan ukuran maksimum, dan kita menge-
tahui penerapannya dalam kenyataan dilimpahkan kepada ”kebijaksanaan”
hakim, maka kita belum biasa melihat ramusan Undang-undang yang me-
netapkan beban suatu pajak dengan jumlah maksimum dan minimum misal-
nya, yang penerapannya dilimpahkan kepada kebijaksanaan pejabat Pemerin-
tah yang bersangkutan. Bukankah sebagaimana disinggung dalam No.5
untuk pengawasan kebijaksanaan itu ada imbangannya: peradilan admii
trasi? Apabila Undang-undang mempunyai peraturan pelaksanaannya agaknya
perlu dipertimbangkan kemungkinan-kemungkinan tersebut di atas sampai
berapa jauh kita dapat menerapkan prinsip wawasan negara hukum material
itu dengan tetap mempertahankan prinsip konstitusionalisme sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.
11, Sesudah Undang-undang ialah Peraturan Pemerintah, Mengenai Peratur-
an Pemerintah ini Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan Presiden me-
netapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang”, demi-
kian bunyi Pasal 5 ayat (2). (Konstitusi RLS. dalam pasal 141 ayat (1)
menyebutkan: ”Peraturan Pemerintah penjalankan undang-undang ditetapkan
oleh Pemerintah. Namanya yalah Peraturan Pemerintah”; dan UUD sementa-
ra 1950 Pasal 89 ayat (1) menyebutkan sama kecuali kata ”penjalankan”
diganti *penyelenggara”’.)
Jadi Peraturan Pemerintah ialah peraturan yang diciptakan semata-mata
untuk menjalankan/menyelenggarakan Undang-undang. Dengan demikian
maka materi muatan Peraturan Pemerintah ialah semua materi Undang-
undang yang perlu *dijalankan/diselenggarakan” lebih lanjut, atau dengan
kata lain yang perlu “diatur” lebih lanjut.
Catatan-catatan mengenai Peraturan Pemerintah ialah antara lain sebagai
berikut: a) Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meski Undang-undang
yang bersangkutan tidak tegas-tegas memintanya!8); b) Muatan Peraturan
Pemerintah tidak boleh lebih luas daripada atau menambah materi Undang-
undang!%); c) Batas-batas hukuman (sanksi pidana) yang dimuat dalam
17). Keputusan-Keputusan Presiden yang sebelum adanya Keputusan Presiden Nomor
12 Tahun 1977 mengenai Pedoman Pelaksanaan A,P.B.N, pada hakekatnya bukan
pelaksanaan Undang-undang A.P.B.N, melainkan penerapan 1LC.W. pada A.P.B.N.
yang bersangkutan,
18). Logemann: Het staatsrecht van Indonesia, 1954, h. 90
19) Ibid.288 hukum dan pembangunan
Peraturan Pemerintah harus diatur dengan Undang-undang.
Mengenai a) perlu ditegaskan, karena banyak di antara kita meragukannya
apabila Undang-undang yang bersangkutan tidak tegas-tegas menyebutnya.
Mengenai b) sering timbul keraguan mengenai pengertian perincian lebih
lanjut, penjabaran, dan penguraian; asal saja dalam pemahamannya tidak
menimbulkan arti memperluas (yakni memasukkan ke dalam lingkungannya
apa yang tidak semestinya), maka dibolehkan. Dan akhirnya mengenai c);
maksud “undang-undang di sana ialah atau Undang-undang yang menjadi
*induk”-nya atau satu Undang-undang tersendiri (semacam ”blanketwet”)
yang khusus mengatur sanksi umum bagi pelanggaran ketentuan Peraturan
Pemerintah yang Undang-undang induknya tidak menetapkan sanksi pidana.
(Berlainan dengan Logemann?9) yang membuka kemungkinan penggunaan
Staatsblad 1927 - 346 berdasarkan ketentuan-ketentuan peralihan UUD 1945
dan Konstitusi RIS. (tentunya juga UUD Sementara 1950), penulis berke-
beratan karena sejak masa berlakunya Konstitusi R.1.S. Staatsblad tersebut
tidak dapat digunakan lagi disebabkan Konstitusi R.I.S. sudah menegaskan,
bahwa sanksi pidana hanya ditetapkan dengan Undang-undang (Pasal 141
ayat (2) alinea 2), dan Staatsblad tersebut bukanlah Undang-undang yang
dimaksudkan.).
12. Mengenai materi muatan Keputusan Presiden, terlebih dulu diperlukan
sekedar penjelasan.
Kata “keputusan” yang dipakai disini digunakan dalam arti ”penetapan”
(*beschikking”) dan ”peraturan” (”regeling”)?1), Apabila dalam tulisan ini
digunakan kata-kata ”Keputusan Presiden”, maka yang dimaksud ialah ”pe-
raturan” yang dibentuk oleh Presiden.
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan, bahwa "Presiden Republik Indone-
sia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Sistem Peme-
rintahan Negara terdiri dari tujuh sendi, yakni: Wawasan Negara Hukum,
Sistem Konstitusional, Kekuasaan Negara Tertinggi di tangan MPR, Presi-
den ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi, Presiden tidak bertang-
gung jawab kepada DPR, Menteri ialah Pembantu Presiden, dan kekuasaan
Kepala Negara tidak tak terbatas. Mengingat luasnya kekuasaan pemerintah-
an yang ada dalam kewenangan Presiden, dapatkah materi muatan Kepu-
tusan Presiden dirumuskan dengan sistim ”sisa”, yakni ialah apa yang tidak
termasuk materi muatan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah? Apa-
bila pemikiran ini diterima, maka ini berarti Keputusan Presiden dapat
20) Ibid.
21), TAP MPRS No. XX/1966 Lampiran Il menyebutkan ”Keputusan Presiden”,
karena mungkin dipandangnya bersifat "einmahlig”, jadi sebagai "beschikking”;
di samping itu digunakan Peraturan Menteri” untuk regeling” Dari pengalaman
selama ini Keputusan Presiden dapat berupa “beschikking” dan dapat berupa
"regeling”. Oleh karena itu "keputusan” sebaiknya digunakan dalam arti kata
yang merangkum keduanya, sehingga ada Keputusan Presiden (Peraturan) untuk
"regeling”. (Atau “terpaksa” harus digunakan kembali *Penetapan Presiden”
dan “Peraturan Presiden”, asal tidak mengasosiasikan kita kepada Penpres dan
Perpres yang sudah menimbulkan kesukaran-kesukaran di bidang perundang-
undangan.perundang-undangan 289
mempunyai daya laku ke luar mengenai hal-hal yang kewenangan pengaturan-
nya tidak menjadi porsinya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. (Ma-
sih banyak di antara kita yang berpendapat bahwa Keputusan Presiden hanya
mempunyai daya laku ke dalam sebagai ”maatregelen van witvoerend gezag”
saja, setaraf "instructies voor ambtenaren”.)
Dapatkah Keputusan Presiden mengatur hal-hal yang dilimpahkan oleh Un-
dang-undang dan Peraturan Pemerintah, yakni mengatur lebih lanjut yang
secara tegas dimintakan oleh Undang-undang dan Peraturan Pemerintah?
Undang-undang telah mempunyai Peraturan Pemerintah yang merupakan
tempat khusus bagi pengaturan ketentuan-ketentuannya lebih lanjut. De-
ngan demikian meskipun Undang-undang dapat saja melimpahkan pengaturan
lebih lanjut kepada Keputusan Presiden namun dengan demikian Undang-
undang telah ”melampaui” apa yang semestinya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah yang memang khusus diadakan untuk mengatur lebih
Janjut Undang-undang. Sebaliknya, Peraturan Pemerintah seyogyanya telah
cukup merupakan tempat bagi pengaturan lebih lanjut ketentuan-ketentuan
Undang-undang. Namun demikian, Peraturan Pemerintah dapat saja melim-
pahkan perincian lebih lanjut ketentuan-ketentuannya kepada Keputusan
Presiden apabila dianggapnya perlu, Tetapi apabila Peraturan Pemerintah itu
sudah cukup, Keputusan Presiden yang bersangkutan seyogyanya tidak di-
perlukan lagi. Dengan demikian masing-masing jenis peraturan perundang-
undangan dapat menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik.
13. Keputusan Menteri (juga disini kata *keputusan” digunakan dalam arti
yang sama seperti digunakan dalam Keputusan Presiden) mempunyai tempat
yang agak tersendiri dalam sejarah sistem pemerintahan negara Republik
Indonesia. Pengaruh sistem pemerintahan parlementer baik sejak tumbuh
di bawah UUD 1945 dalam kurun waktu 1945 - 1949 dan lebihdebih sejak
masa Konstitusi R.I.S. dan terutama dibawah UUD Sementara, telah banyak
mempengaruhi kedudukan Menteri yang semula bertanggungjawab kepada
Presiden beralih menjadi bertanggungjawab kepada DPR; dan karena itu
konotasi pengertian Keputusan Menteri beralih pula dari pada yang semes-
tinya menjadi seperti yang berlaku sekarang ini.
Mengirigat kedudukan Menteri menurut Undang-Undang Dasar 1945 merupa-
kan Pembantu Presiden dan tidak bertanggungjawab kepada DPR, maka se-
gala kewenangan Menteri semestinya berasal dari kewenangan Presiden,
sehingga kewenangan Menteri di bidang pembentukan peraturan perundang-
undangan juga semestinya berasal dari kewenangan Presiden. Dengan demi-
kian beberapa hal dapat dibulatkan sebagai berikut : a) Kewenangan Menteri
dalam mengeluarkan Keputusan Menteri adalah selalu bersifat derivatif
dari kewenangan Presiden; b) Undang-undang seyogyanya tidak akan mene-
tapkan bahwa ketentuan-ketentuannya akan diatur lebih lanjut dengan Kepu-
tusan Menteri kecuali apabila memang tidak akan dapat atau tidak akan wa-
jar apabila diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau Keputusan
Presiden; c) Selanjutnya Peraturan Pemerintah tidak akan mendelegasikan
pengaturan lebih lanjut ketentuan-ketentuan kepada Keputusan Menteri
kecuali apabila memang tidak akan dapat atau tidak akan wajar apabila diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Presiden,
Dengan demikian maka Keputusan Menteri sebaiknya pada dasarnya merupa-290 hukum dan pembangunan
kan peraturan ”ke dalam” kecuali ditugaskan untuk memerinci lebih lanjut
suatu ketentuan Keputusan Presiden.
14, Pada waktu ini di dalam masyarakat terdapat badan-badan hukum selain
aparatur negara yang dapat mengeluarkan peraturan-peraturan yang berlaku
ke luar dan mengikat rakyat banyak, Banyak di antara badan-badan tersebut
telah ada sejak zaman Hindia Belanda dan beberapa di antaranya setelah
Indonesia merdeka. Badan yang mempunyai:kewenangan pengaturan yang
berlaku umum itu untuk sementara waktu dinamakan saja "Badan Negara”.
(Mungkin ada yang mengusulkan nama "Badan Usaha Negara” karena se-
bagian besar kegiatannya bergerak di bidang perekonomian negara dan ke-
pentingan kesejahteraan rakyat.)
Badan Negara ini memperoleh kewenangan perundangundangannya berda-
sarkan pelimpahan Undang-undang yang bersangkutan dan semua usahanya
berdasar dan bersumber pada Undang-undang tersebut. Kewenangannya
dalam bidang hukum publik menyebabkan peraturan-peraturan yang dike-
luarkannya berfungsi seperti peraturan di bidang pemerintahan22). Badan-
Badan Negara itu yang sejak Hindia Belanda sudah ada antara lain Bank
Indonesia (De Javasche Bank”), Badan Negara Perkeretaapian (”Spoor-
en tramwegen”), Badan Negara yang ditunjuk untuk mengusahakan garam,
dan laindainnya, Pada waktu sesudah Indonesia merdeka badan negara
yang besar ialah Pertamina. (Sayang Badan Negara seperti Jatiluhur (dan
mungkin laindainnya) hanya memperoleh kedudukan sebagai badan usaha
biasa, yakni Perusahaan Negara berdasarkan UU No. 19 Prp, Tahun 1960
tanpa suatu kekuasaan hukum publik.)
15, Terakhir mengenai materi yang dapat merupakan muatan Peraturan
Daerah, Sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 7 dan 12 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, ma-
teri muatan Peraturan Daerah meliputi hal-hal tentang a) Otonomi (Pasal 7:
Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus ru-
mah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”), dan b) Tugas Pembantuan atau "medebewind” (Pasal 12 : (1)
Dengan peraturan perundang-undangan, Pemerintah dapat menugaskan ke-
pada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan”
dan ”(2) Dengan Peraturan Daerah, Pemerintah Daerah Tingkat I dapat
menugaskan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II untuk melaksanakan
urusan tugas pembantuan”)23), Ada semacam pembatasan umum terhadap
materi muatan Peraturan Daerah sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 39
UU 5/1975, yakni: tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum
dan peraturan perundang-undangan atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi,
dan tidak boleh mengatur hal yang telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi. Sebetulnya dengan adanya
pembatasan umum tersebut maka kelihatannya lebih mudah untuk menetap-
kan materi muatan Peraturan Daerah: sebuah “sistim sisa” terhadap materi
22). Nawiesky Ibin, h..77 menyebutkannya *Rechtsvorschriften ... von offentlichen
Korperschaften
23). » Irawan Soejito: SAri Kuliah tentang Teknik Membuat Peraturan Daerah, 1974,
h.6perundang-undangan 291
muatan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Akan tetapi apabila
kita memperhatikan betul-betul isi Pasal 39 UU 5/1974 tersebut, kita akan
menjumpai kesulitan dan ketidak-pastian dilihat dari segi penetapan materi
muatan peraturan perundang-undangan, baik tingkat Pusat maupun tingkat
Daerah, Pertama ialah tentang tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum: kepentingan umum di Daerah yang bersangkutankah atau lebih luas
lagi? Kedua ialah tentang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perun-
dang-undangan yang lebih tinggi: mengetahuikah Daerah tentang semua
peraturan perundang-undangan tingkat Pusat yang sudah atau akan dikeluar-
kan? Apabila Peraturan Daerah yang bersangkutan itu ternyata bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan Pusat, haruskah Peraturan Daerah itu
dibatalkan atau batal dengan sendirinya? Ketiga ialah tentang tidak boleh
mengatur hal yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan Pusat:
adakah sudah ”pembagian” materi muatan antara peraturan perundang-
undangan tingkat Pusat dan tingkat Daerah? Apakah sistem pengesahan (”Pe-
raturan Daerah berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang”)
dimaksudkan sebagai ”alat kontrol” pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam
Pasal 39 yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri terhadap Peraturan
Daerah Tingkat I dan oleh Gubernur Kepala Daerah terhadap Peraturan
Daerah Tingkat II?
Untuk menghindarkan kesimpang siuran *pembagian” materi muatan antara
peraturan perundang-undangan Pusat dan Daerah sebaiknya ada ketentuan
dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974 yang khusus mengaturnya dan
tidak diserahkan kepada “pejabat yang berwenang”.
16, Akhirnya, setelah menelusuri muatan berbagai jenis peraturan perundang-
undangan di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, terasa perlu adanya
sebuah sistematika dalam menertibkan materi muatan peraturan perundang-
undangan Republik Indonesia yang dapat memberikan kejelasan dan kete-
raturan bagi para penyelenggara dan peminat bidang perundang-undangan,
Dan apa yang dikemukakan dibawah ini hanyalah sebuah konsep gagasan
yang masih terbuka lebar untuk disetujui, disempumakan, ataupun ditolak,
L Prinsip-prinsip yang mendasari ialah:
— Wawasan Negara Hukum material (luas);
— Wawasan Konstitusionalisme,
Il. Undang-Undang Dasar hendaknya tetap merupakan pegangan pokok
dengan Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
menyangkut garis-garis besar dari pada haluan negara dan bersifat me-
ngatur ialah sebagai pelengkapnya.
Ill, Undang-undang tidak perlu banyak jumlahnya dan tidak perlu terpe-
tinci isinya, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden (Peraturan)
hendaknya dipakai sebagai tempat pengaturan lebih lanjut ketentuan
Undang-undang, Keputusan Menteri (Peraturan) hanya dipergunakan
untuk pengaturan lebih lanjut sebagai peraturan pelimpahan dan per-
aturan teknis,
IV, Karena Undang-undang merupakan jenis peraturan perundang-undangan
yang paling pokok dan paling penting dan mempunyai kedudukan
sentral dalam politik perundang-undangan, maka materi muatannya292
hukum dan pem bangunan
supaya dirumuskan dengan jelas dan tegas. Perumusan yang jelas itu
perlu selain untuk Undang-undang sendiri, juga untuk perundang-
undangan pelimpahannya dan perundang-undangan otonomi.
Sesuai dengan prinsip wawasan negara hukum material (luas), dalam
Undang-uundang cukup diatur materi pokok saja, sedangkan materi
muatan perkisaran, fleksibilitas, dan variasinya dapat dilimpahkan kepa-
da Peraturan Pemerintah, kalau perlu juga kepada Keputusan Presiden.
VI. Sesudah materi muatan Undang-undang, diperlukan perincian dan ke-
jelasan materi muatan Keputusan Presiden, Keputusan Badan Negara,
dan Peraturan Daerah Tingkat I dan Tingkat II.
LAMPIRAN
TNooNesta
tarwrns, a. keteape UP, Noor XX/966 “sTUFENA UFBAU"
NOrib66 oslo the Yor dm Salento de Reshdaang AMIASEY
a tens 3 = ee
= | GRUNDNORMEN
luwpanc-unpanc} ne
DASAR IBS IL fry !
Tar
7 ty in FORMELLE.
= ‘Cwm | GESETZES
”
ie lpn aes
i
men, a,
war) [eat veKonoxuncesy
[DIRIEN TONOME
TenaTuRaN atc
FELARSANAAN
a
aR
Da
i | peearuran |
e— reRATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TK, PUSAT —ale—PERUNDANG al
monn}
1 . i
fe rematumaw renusDanc-uNpANcan———f
Alamat Redaksi: Jl. Dr. Abdulrachman Saleh 26, Jakarta Telpon: 361261