Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS

SEORANG PASIEN TUBERKULOSIS PARU


TERKONFIRMASI BAKTERIOLOGIS DENGAN
HIV STADIUM III

Hans Otto Pratama Yohan

Pembimbing :

dr. Efata Polii, Sp.PD

DIPENTASKAN DI DEPAN FORUM ILMIAH

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI

BLU RSUP PROF DR. R. D. KANDOU MANADO

2020
PENDAHULUAN
Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mikobakterium Tuberculosis (M-TB). Kuman M-TB ini dikenal juga sebagai bakteri
tahan asam (BTA).1 Kuman ini dapat menginfeksi di semua bagian tubuh, akan tetapi karena
sifat bakteri ini adalah bakteri aerob obligat, maka paru merupakan organ yang paling banyak
terinfeksi.2
Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab terbanyak dari kematian seluruh
dunia dengan daerah terbanyak diderita oleh Asia Tenggara, Afrika dan Pasifik Barat secara
berurutan prevalensinya 30 %, 28 % dan 19 % untuk semua kasus TB di tahun 2014. 2 World
Health Organization (WHO) melaporkan pada tahun 2013 bahwa terdapat 8,6 juta kasus TB
pada tahun 2012 di Afrika sendiri dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah TB
dengan Human Immunodeficieny Virus (HIV). 3
Infeksi HIV meningkatkan kerentanan seseorang terhadap infeksi M-TB. Human
Immunodeficieny Virus (HIV) meningkatkan risiko terjadinya progresivitas infeksi M-TB
menjadi TB aktif. Risiko ini meningkat sesuai dengan meningkatnya imunosupresi. Infeksi
HIV berpengaruh terhadap risiko berkembangnya penyakit TB pada seseorang yang terifeksi
kuman M-TB Pasien dengan status HIV negatif dan terinfeksi kuman TB memiliki risiko
seumur hidup untuk berkembang menjadi penyakit TB sebesar 5-10%. Sementara pada
pasien HIV positif, risikonya menjadi 50%. 3,4
Gambaran klinis TB pada pasien HIV tidak berbeda dengan gambaran TB secara
umum, namun dapat berbeda tergantung pada kekebalan tubuh pasien HIV. Pada tahap awal
infeksi HIV, gambaran klinis sering menyerupai pasca-TB paru primer, dengan hasil
pemeriksaan dahak yang seringkali positif, dan gambaran radiologis umumnya berupa kavitas
sedangkan tahap lanjut, gambaran klinis lebih sering menyerupai TB paru primer, dengan
hasil pemeriksaan dahak yang lebih sering negatif, dan gambaran radiologis yang seringnya
tanpa kavitas.5
Berikut ini dilaporkan sebuah kasus seorang pasien tuberkulosis paru dengan penyakit
HIV yang dirawat di Irina C5 ruang RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado.
KASUS
Seorang pasien Sdr. M. F, usia 21 tahun, suku Minahasa, pendidikan SLTA,
datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada tanggal 23 Oktober 2020 dengan keluhan
sesak nafas yang memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan batuk
dirasakan sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, dahak kental, warna putih, dahak sulit
dikeluarkan, leher terasa gatal. Batuk dialami terus-menerus sampai tidak dapat beristirahat.
Saat sesak pasien mengeluhkan adanya nyeri dada seperti terikat dan keluhan mereda setelah
di uap. Keluhan demam sumer-sumer sejak 2 minggu yang lalu ada, mual +, muntah + sejak
3-4 hai lalu, kunsi 3-4 kali/hai, isi caian dan sisa makanan, nyeri ulu hati +, leher pasien
bengkak sejak Desember 2019. Riwayat buang air besar cair ada dialami selama 1 bulan
dengan frekuensi 4x kali/hari, ampas +, saat ini BAB sudah seperti biasanya dan buang air
kecil normal. Penurunan berat badan ada, nafsu makan menurun, keringat malam ada sejak 1
bulan terakhir ini. Riwayat penyakit dahulu, HIV AIDS baru diketahui dan belum
mendapatkan pengobatan. Riwayat hipertensi, diabetes, sakit ginjal, sakit liver, TB disangkal.
Riwayat minum alkohol dan merokok disangkal pasien. Riwayat penyakit keluaga ibu pasien
sudah meninggal dengan pnyakit ginjal dan komplikasi. Pasien rujukan dari RSUP Ratatok
Buyat dengan diagnosa TB paru diperoleh dari hasil gene expert MTB detected high.
Hasil pemeriksaan fisik tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis. Tekanan
darah 100/60 mmHg, nadi 90 kali per menit, teratur, isi cukup, pernapasan 20 kali per menit,
suhu badan 36,90C, saturasi 95%. Tinggi badan 165 cm dan berat badan 55 Kilogram (Kg),
Indeks Masa Tubuh (IMT) 20.22 kg/m2. Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik. Tidak
teraba struma dan ada pembesaran kelenjar getah bening di leher. Thorax simetris pada
keadaan statis dan dinamis, fremitus raba kanan dan kiri normal, sonor di kedua lapangan
paru, suara pernapasan vesikuler kiri dan kanan, ditemukan adanya ronki di kdua paru, tidak
ditemukan adanya wheezing pada paru kanan dan kiri. Pemeriksaan abdomen, datar, lemas,
bising usus normal. Pemeriksaan ekstremitas atas dan ekstremitas bawah, pada bagian sendi-
sendi lengan dan kaki tidak didapatkan tanda-tanda radang, akral hangat.
Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 8,0 g/dL; eritrosit 3,26x106/mm3; leukosit 12.500
/mm3; hematokrit 23,2 %; trombosit 217,000/mm3; MCH 24,5 pg; MCHC 34,5 g/dL; MCV
71,2 fl; SGOT 34 U/L; SGPT 18 U/L; ureum 22 mg/dL; kreatinin 0,6 mg/dl; gula darah
sewaktu 94 mg/dL; Natrium 123 mEq/L; Kalium 3,45 mEq/L; Chlorida 87,5 mEq/L, Anti
HCV non reakif, HbSAg non reaktif, Anti HIV reaktif. Hasil elektrokardiografi (EKG)
didapatkan irama sinus takikardi 125 kali per menit, nomoaxis.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, sta pemeriksaan pnunjang diagnosis
sementara pasien saat itu adalah TB Paru + sekunder infeksi, suspek limfadenitis TB, HIV-
AIDS stadium III dengan infeksi opurtunistik TB paru, anemia ec chronic disease,
hipokalemia, hiponatremia. Direncanakan pemeriksaan gene expert, ontgnt. Pasien
dikonsulkan ke VCT dan jawaban konsul adalah pada saat ini akan ditindaklanjutkan oleh
pak Made.
Pada hari kedua perawatan, pasien mengatakan sesak napas +, nyeri ulu hati +, nyeri
dada +. Tekanan darah 110/70, laju nadi 88 kali per menit, laju pernapasan 24 kali per menit,
dan suhu 36,5OC. Pada pemeriksaan paru didapatkan ronki pada kedua lapang paru. Pasien
didiagnosis sebagai TB paru dan infeksi sekunder, HIV-AIDS stadium 3 dengan infeksi
opportunistik candidiasis oral, suspek limfadenitis TB, anemia ec chronic disease, syndrome
dyspepsia, hipokalemia, hiponatremia. Pasien direncanakan terapi dengan pemberian IVFD
NaCl 0.9 % : Aminofluid = 2:1 = 20 tts p mnit, Ceftriaxone injeksi 2 gram tiap 24 jam
intravena, lansoprazol 30 mg tiap 12 jam per oral, domperidone 10 mg tiap 8 jam per oral, n-
asetilsistein 200 mg tiap 8 jam per oral, paracetamol 500 mg tiap 8 jam per oral, bicnat 500
mg tiap 8 jam per oral cotrimoksasol 960 mg tiap 24 jam per oral, nystatin drop 1cc tiap 8
jam per oral, OAT FDC 3 tablet tiap 24 jam per oral.
Pada hari ketiga perawatan, pasien mengatakan masih sesak naas. Tekanan darah
110/70, laju nadi 88 kali per menit, laju pernapasan 20 kali per menit, dan suhu 36,7OC. Pada
pemeriksaan paru didapatkan ronki pada kedua lapang paru.
Pada pemeriksaan laboratorium hari ketiga didapatkan Hb 5.5 g/dL; eritrosit
2.16x106/mm3; leukosit 8.600/mm3; hematokrit 15.8 %; trombosit 88.000/mm3; MCH 25.5
pg; MCHC 34.8 g/dL; MCV 73.1 fl; Clorida 117.2 mEq/L, Kalium 2.08 mEq/L, Natrium 141
mEq/L.
Pasien didiagnosis sebagai TB paru + infeksi sekunder, HIV-AIDS stadium 3 dengan
infeksi opportunistik candidiasis oral + suspek limfadenitis TB + anemia ec chronic disease +
syndrome dyspepsia + hipokalemia + hiponatremia. Pasien direncanakan terapi dengan IVFD
NaCl 0.9 % : Aminofluid = 2:1 = 20 gtt/mnt, Ceftriaxone injeksi 2 gram tiap 24 jam
intravena, lansoprazol 30 mg tiap 12 jam per oral, domperidone10 mg tiap 8 jam per oral, n-
asetilsistein 200 mg tiap 8 jam per oral, paracetamol 500 mg tiap 8 jam per oral, bicnat 500
mg tiap 8 jam per oral, cotrimoksasol 960 mg tiap 24 jam per oral, nystatin drop 1cc tiap 8
jam per oral, OAT FDC 3 tablet tiap 24 jam per oral, sucralfat syrup 4 x10 ml per oral dan
direncanakan transfuse PRC 230cc per hari dengan target Hb > 10 gr/dL.
Pada hari keempat perawatan, pasien mengatakan sesak napas mulai berkurang dan
nyeri ulu hati berkurang. Tekanan darah 110/70, laju nadi 88 kali per menit, laju pernapasan
20 kali per menit, dan suhu 36,7OC. Pada pemeriksaan paru tidak didapatkan wheezing dan
rhonki pada kedua lapang paru. Pasien didiagnosis sebagai TB paru + infeksi sekunder, HIV-
AIDS stadium 3 dengan infeksi opportunistik candidiasis oral + suspek limfadenitis TB +
anemia ec chronic disease + syndrome dyspepsia + hipokalemia + hiponatremia. Rencana
pemberian terapi masih sesuai instruksi farmakologis dan direncanakan transfusi PRC 230cc
per hari dengan target Hb > 10 gr/dL.
Pada hari kelima perawatan, pasien mengatakan tidak ada sesak napas dan nyeri ulu
hati. Tekanan darah 90/60, laju nadi 82 kali per menit, laju pernapasan 20 kali per menit, dan
suhu 36,8OC. Pada pemeriksaan paru tidak didapatkan wheezing dan ronki ada pada kedua
lapang paru. Pasien didiagnosis sebagai TB paru dan infeksi sekunder, HIV-AIDS stadium 3
dengan infeksi opportunistik candidiasis oral + suspek limfadenitis TB+ anemia ec chronic
disease + syndrome dyspepsia + hipokalemia + hiponatremia. Rencana pemberian terapi
masih sesuai instruksi farmakologis dan direncanakan transfuse PRC 230cc per hari dengan
target Hb > 10 gr/dL.
Pada hari keenam perawatan, pasien mengatakan tidak nyeri ulu hati. Tekanan
darah 110/60, laju nadi 84 kali per menit, laju pernapasan 20 kali per menit, dan suhu 36,3 OC.
Pada pemeriksaan paru didapatkan ronki ada pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan
abdomen didapatkan ada nyeri tekan epigastrium. Pada pemeriksaan laboratorium hari
keenam didapatkan Clorida 100.0 mEq/L, Kalium 3.80 mEq/L, Natrium 126 mEq/L.
Pasien didiagnosis sebagai TB paru + infeksi sekunder, HIV-AIDS stadium 3 dengan
infeksi opportunistik candidiasis oral + suspek limfadenitis TB+ anemia ec chronic disease +
syndrome dyspepsia + hipokalemia (2,08 mEq/L). Rencana pemberian terapi masih sesuai
instruksi farmakologis dan direncanakan transfuse PRC 230cc per hari dengan target Hb >
10 gr/dL.
Pada hari ketujuh perawatan, pasien mengatakan nyeri ulu hati ada. Tekanan darah
110/70, laju nadi 88 kali per menit, laju pernapasan 20 kali per menit, dan suhu 36,8OC. Pada
pemeriksaan paru didapatkan ronki ada pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan abdomen
didapatkan ada nyeri tekan epigastrium. Pasien didiagnosis sebagai TB paru + infeksi
sekunder, HIV-AIDS stadium 3 dengan infeksi opportunistik candidiasis oral + suspek
limfadenitis TB+ anemia ec chronic disease + syndrome dyspepsia + hipokalemia (2,08
mEq/L). Rencana pemberian terapi masih sesuai instruksi farmakologis dan direncanakan
transfuse PRC 230cc per hari dengan target Hb > 10 gr/dL. Direncanakan pemeriksaan DL,
Na, K, Cl control.
Pada hari kedelapan perawatan, pasien mengatakan nyeri ulu hati ada. Tekanan darah
110/70, laju nadi 88 kali per menit, laju pernapasan 20 kali per menit, dan suhu 36,8OC. Pada
pemeriksaan paru didapatkan ronki ada pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan abdomen
didapatkan ada nyeri tekan epigastrium. Pada pemeriksaan laboratorium hari kedelapan
didapatkan Hb 9.3 g/dL; eritrosit 3.72x106/mm3; leukosit 6.500/mm3; hematokrit 27.7 %;
trombosit 169.000/mm3; MCH 25.0 pg; MCHC 33.6 g/dL; MCV 74.5 fl; Clorida 106.0
mEq/L, Kalium 3.80 mEq/L, Natrium 132 mEq/L, serum iron 30g/dL, TIBC 144 g/dL,
saturasi tranferin 21. Pasien didiagnosis sebagai TB paru + infeksi sekunder, HIV-AIDS
stadium 3 dengan infeksi opportunistik candidiasis oral + suspek limfadenitis TB+ anemia ec
chronic disease + syndrome dyspepsia + hipokalemia terkoreksi (3,80 mEq/L). Rencana
pemberian terapi masih sesuai instruksi farmakologis dan direncanakan transfusi PRC 230cc
per hari dengan target Hb > 10 gr/dL.
Pada hari kesembilan perawatan, pasien mengatakan nyeri ulu hati berkurang.
Tekanan darah 110/80, laju nadi 84 kali per menit, laju pernapasan 20 kali per menit, dan
suhu 36,5OC. Pada pemeriksaan paru didapatkan ronki ada pada kedua lapang paru. Pada
pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium berkurang. Pasien didiagnosis
sebagai TB paru + infeksi sekunder, HIV-AIDS stadium 3 dengan infeksi opportunistik
candidiasis oral + suspek limfadenitis TB+ anemia ec chronic disease + syndrome dyspepsia.
Rencana pemberian terapi masih sesuai instruksi farmakologis dan direncanakan transfuse
PRC 230cc per hari dengan target Hb > 10 gr/dL.
Pada hari kesepuluh perawatan, pasien mengatakan nyeri ulu hati tidak ada. Tekanan
darah 110/80, laju nadi 88 kali per menit, laju pernapasan 20 kali per menit, dan suhu 36,1 OC.
Pada pemeriksaan paru didapatkan ronki ada pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan
abdomen didapatkan tidak ada nyeri tekan epigastrium. Pasien didiagnosis sebagai TB paru +
infeksi sekunder, HIV-AIDS stadium 3 dengan infeksi opportunistik candidiasis oral +
suspek limfadenitis TB + anemia ec chronic disease + syndrome dyspepsia. Rencana
dipulangkan dan diberikan lansoprazol 30 mg tiap 12 jam per oral, n-asetylsistein 200 mg
tiap 8 jam per oral, paracetamol 500 mg tiap 8 jam per oral, cotrimoksasol 960 mg tiap 24
jam per oral, nystatin drop 1cc tiap 8 jam per oral, OAT FDC 3 tablet tiap 24 jam per oral,
sucralfat syrup 4 x10 ml per oral.
PEMBAHASAN
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman M-
TB. Sebagian besar dari kasus TB (95%) terjadi di negara-negara yang sedang berkembang,
dimana 75% diantaranya berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Meningkatnya beban
TB global khusunya di Indonesia disebabkan antara lain faktor sosial ekonomi, perubahan
demografik, fasilitas kesehatan dan epidemi infeksi HIV terutama di Asia dan Afrika. 2,4
Menurut Wodl Halth Oganization (WHO) 2016, tidak ada perbedaan bermakna jenis kelamin
pada penyakit TB. Pada tahun 2016 juga diperkirakan terdapat 1,4 juta kasus baru TB pada
orang dengan Humman Immunodicincy Vius (HIV) positif. 3 Pada pasien ini adalah seorang
laki-laki usia 21 tahun dengan ko-infeksi HIV.
Tuberkulosis merupakan penyakit oportunistik yang sering dijumpai pada penderita
HIV. Di samping itu, TB merupakan penyebab utama kematian pada penderita dengan HIV
(sekitar 40-50%). Kematian yang tinggi ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB
ekstraparu yang kemungkinan besar disebabkan oleh keterlambatan diagnosis dan terapi TB.
Sebagian besar orang yang terinfeksi dengan kuman M-TB tidak menjadi sakit TB karena
mereka memiliki sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai
infeksi TB laten. Namun pada orang-orang dimana sistem imunitasnya menurun, misalnya
pada ko-infeksi HIV, maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi
sakit TB aktif.6 Pada pasien ini didapatkan TB paru dengan ko-infeksi HIV.
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal yang terlihat adalah gejala
respiratorik seperti batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Bila
organ yang terkena adalah organ selain paru maka gejala yang terlihat tergantung dari organ
yang terlibat. Gejala sistemik yang timbul seperti demam subfebril, berkeringat malam,
penurunan nafsu makan dan berat badan menurun.7,8 Pada pasien ini ditemukan gejala batuk 1
bulan, demam sumer-sumer, penurunan nafsu makan dan berat badan menurun.
Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam membantu diagnosis TB
dengan ko-infeksi HIV dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto
toraks pada penderita HIV umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut. Pada
pemeriksaan foto toraks infiltrat umumnya terdapat di apeks, namun pada pasien TB-HIV
infiltrat seringkali ditemukan di basal, terutama pada HIV stadium lanjut. Pada HIV stadium
awal gambaran foto toraks dapat sama dengan gambaran foto toraks pada pasien TB
umumnya.9 Pada pasien ini ditemukan gambaran TB Paru aktif lesi luas.
Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman M-
TB dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Dalam upaya pengendalian TB secara
nasional, maka diagnosis TB paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu
dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah
pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat. Untuk kepentingan diagnosis
dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa
contoh uji dahak sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Ditetapkan sebagai pasien TB apabila
minimal 1 dari pemeriksaan dahak SPS hasilnya BTA positif. 10 Pada pasien ini ditemukan
hasil pemeriksaan dahak positif pada 3 kali pemeriksaan.
Berdasarkan rekomendasi WHO semua pasien HIV yang telah terdiagnosis TB
sebagai salah satu infeksi oportunistik harus diberikan kotrimoksazol sebagai pencegahan
infeksi lain tanpa menilai jumlah CD4 atau berapapun nilai CD4. 11 Pada kasus ini belum
dilakukan pemeriksaan CD4.
Gejala klinis infeksi HIV dapat berupa pembesaran kelenjar getah bening, penurunan
berat badan, infeksi saluran napas atas berulang, kelainan kulit, keluhan di rongga mulut dan
saluran makan atas, keluhan di gigi geligi, diare kronik, demam berkepanjangan, nafsu makan
menurun, gejala infeksi TB paru dan ekstra paru, infeksi berat, kelainan darah, infeksi jamur,
gangguan penglihatan, infeksi menular seksual.12 Pada pasien ini memiliki gejala penurunan
berat badan, demam berkepanjangan, nafsu makan menurun, gejala infeksi TB paru.
Stadium klinis infeksi HIV terbagi menjadi 4 stadium. Stadium 1 tidak ada gejala atau
terdapat limfadenopati generalisata persisten. Stadium 2 terdapat penurunan berat badan
bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya yaitu <10% dari perkiraan berat badan atau
berat badan sebelumnya, infeksi saluran pernapasan yang berulang, herpes zoster, keilitis
angularis, ulkus mulut yang berulang, ruam kulit berupa papul yang gatal yaitu papular
pruritic eruption, dermatitis seboroik, dan infeksi jamur pada kuku, hepatosplenomegali
persisten yang tidak dapat dijelaskan, eritema linea gingiva, infeksi virus wart luas,
moluskum kontagiosum, pembesaran kelenjar parotis yang tidak dapat dijelaskan. Stadium 3
terdapat penurunan berat badan yang tak diketahui penyebabnya yaitu lebih dari 10% dari
perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya, diare kronis yang tak diketahui
penyebabnya selama lebih dari 1 bulan, demam menetap yang tak diketahui penyebabnya,
kandidiasis pada mulut yang menetap, oral hairy leukoplakia, tuberkulosis paru, infeksi
bakteri yang berat, stomatitis, nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis,
anemia yang tak diketahui penyebabnya dimana Hb <8g/dL, netropenia yaitu <1000/ mm3
dan/atau trombositopenia kronis yaitu <50.000/ mm3, malnutrisi sedang yang tidak dapat
dijelaskan, TB kelenjar, pneumonitis interstisial limfoid simtomatik, penyakit paru
berhubungan dengan HIV (bronkiektasis). Stadium 4 terdapat sindrom wasting HIV,
Pneumocystis jiroveci, pneumonia bakteri berat yang berulang, infeksi herpes simpleks
kronis, kandidiasis esofageal, TB ekstra paru, sarkoma kaposi, penyakit cytomegalovirus,
toksoplasmosis di sistem saraf pusat, ensefalopati HIV, pneumonia kriptokokus
ekstrapulmoner, infeksi mikobakterium non tuberkulosis yang menyebar, leukoensefalopati
multifokal progresif, kriptosporidiosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis diseminata,
septikemi yang berulang, limfoma, karsinoma serviks invasif, leishmaniasis diseminata
atipikal, nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatis. 13,14 Pada pasien ini
didapatkan gejala penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya yaitu
>10% dari berat badan sebelumnya, keringat malam, demam menetap yang tak diketahui
penyebabnya dan tuberkulosis paru sehingga didiagnosis sebagai HIV stadium klinis 3.
Penyakit HIV sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Tetapi
data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat menyakinkan bahwa pengobatan
dengan ARV bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV.
Penatalaksanaan Orang Dengan HIV AIDS (AIDS) terdiri dari pengobatan untuk menekan
replikasi virus HIV dengan obat ARV, pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi
dan kanker yang menyertai infeksi HIV, dan pengobatan suportif. 14,15 Ko-infeksi TB sering
terjadi pada penderita HIV dan mempunyai kemungkinan sekitar 30 kali lebih berisiko untuk
sakit TB dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Dari 9,6 juta kasus baru TB
di Amerika pada tahun 2014, diperkirakan 1,2 juta diantaranya adalah HIV positif. Lebih dari
25% kematian pada penderita HIV disebabkan oleh TB. Menurut Global Report 2013, sekitar
320.000 orang meninggal karena HIV terkait dengan TB di tahun 2012. 16,17 Pada pasien ini
didapati terdiagnosa dengan HIV yang baru diketahui saat masuk RS Prof DR. R. D. Kandou
Manado. Untuk penegakkan diagnosa TB paru diperoleh dari hasil gene expert MTB detected
high yang sudah dilakukan di RSUD Ratatok Buyat.
Tuberkulosis meningkatkan morbiditas dan mortalitas dengan HIV. Penyakit HIV
merupakan faktor penting terjadinya epidemi TB pada populasi dengan HIV yang tinggi.
Kolaborasi antara program TB dan HIV adalah penting untuk mendukung pelayanan
kesehatan dan bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dan
HIV di masyarakat. Semua pasien TB ditawarkan untuk melakukan pemeriksaan diagnosis
HIV tanpa melihat faktor risiko. Tatalaksana pengobatan TB pada ODHA adalah sama
seperti pasien TB lainnya. Terapi ARV diketahui dapat menurunkan laju TB sampai sebesar
90% pada tingkat individu dan sampai sekitar 60% pada tingkat populasi, dan menurunkan
rekurensi TB sebesar 50%. Rekomendasi terapi ARV pada ko-infeksi TB yaitu mulai terapi
ARV pada semua individu HIV dengan TB aktif, berapapun jumlah CD4, terapi ARV
sesegera mungkin setelah terapi pemberian OAT, secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8
minggu. Rekomendasi tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kematian ko-infeksi TB-
HIV, potensi menurunkan transmisi bila semua pasien HIV memulai terapi ARV lebih cepat,
dan meningkatkan kualitas hidup, menurunkan kekambuhan TB dan meningkatkan
manajemen TB pada pasien ko- infeksi TB-HIV.18,19 Pada pasien ini baru diberikan OAT FDC
3 tablet tiap 24 jam per oral dan direncanakan akan diberikan ARV 2 minggu kemudian.
Prognosis pasien TB paru umumnya baik terutama pada pasien dengan komplikasi
minimal. Prognosis kurang baik bilamana terdapat keterlibatan organ diluar paru dan pasien
immunocompromised.
KESIMPULAN
Telah dilaporkan sebuah kasus TB paru dengan ko-infeksi HIV pada seorang laki-laki
21 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya gejala batuk, sesak napas,
demam sumer-sumer, keringat malam, penurunan nafsu makan dan berat badan menurun.
Pasien baru terdiagnosa HIV pada awal perawatan di RS Prof DR. R. D. Kandou dan belum
diberikan ARV. Pada pemeriksaan penunjang, hasil foto toraks mengesankan TB paru aktif
lesi luas, hasil uji dahak sputum BTA ditemukan positif 3. Pengobatan dilakukan dengan
memberikan OAT FDC 3 tablet tiap 24 jam per oral yang terdiri dari rifampicin, Isoniazid,
pirazinamid, etambutol. Direncanakan pemberian paket obat ARV yang terdiri dari
efavirenz, lamivudine, dan tenofovir disoproxil fumarat yang akan di konsumsi dua minggu
kemudian.

CONCLUSION
It had been reported a case, 21 years old man with pulmonary TB with co infection
HIV/AIDS. The diagnosis was made through anamnesis history of cough, breathlessness,
subfebril fever, night sweating, decreased appetite and weight loss. The patient was
diagnosed with HIV at the beginning of treatment at Kandou Hospital and had not been
given ARV. Chest X-ray showed active pulmonary TB with extensive lesions and sputum test
result was found to be positive 3. Treatment was started by giving OAT FDC 3 tablets every
24 hours which consist of rifampicin, Isoniazid, pyrazinamide, ethambutol. ARV drugs, which
consist of efavirenz, lamivudin, and tenofovir disproxil fumarat, would had been given to
patient two weeks late
DAFTAR PUSTAKA
1. Dinihari T, Siagian V, editor. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan; 2014.
2. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam:Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam JilidVI.Ed:
Setiati S,Alwi I,Sudoyo A,Simadibrata M,Setiyahadi B,Syam AF(editors).
Jakarta:Interna Publishing;2014: 863-72.
3. World Health Organization. Indonesia TB situation update 2016 internet. Jakarta :

WHO Indonesia; 2016 cited 2017 August 7. Available from :


http://www.searo.who.int/indonesia/topics/tb/IndonesiaTBSituation2016/en/.
4. Kamenju P, Aboud S. Tuberculosis-HIV Co-Infection Among Patients Admitted at
Muhimbili National Hospital in Dar es Salaam, Tanzania. Tanzania Journal of Health
Research 2015; 13(1): 25-31.
5. World Health Organization. Multi Drug Resistant Tuberculosis: Fact Sheet2015 update.
2015.
6. Mesfin Y M, Heilemariam D, Biadglign S, Kibret K T. Association between HIV/AIDS
and Multi-Drug Resistance Tuberculosis: A systematic review and meta-analysis. PLos
One. 2014; 9(1).
7. Wani RS. Clinical Manifestations of Pulmonary and Extra-Pulmonary Tuberculosis. South
Sudan Medical Journal 2013; 6(3): 52-6.
8. Raviglione MC, Tuberculosis. Dalam: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL,
Longo DL, Jameson JL, et al, editor. Harrison's principles of internal medicine 19th
edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2015: 1102-20
9. Chamie G, Luetkemeyer A, Walusimbi-Nanteza M, et al. Significant variation in
presentation of pulmonary tuberculosis across a high resolution of CD4 strata. Int J
Tuberc Lung Dis 2015;14(10):1295-302.
10. Getahun H, Gunneberg C, Granich R, Nunn P. HIV Infection–Associated Tuberculosis:
The Epidemiology and the Response. Clinical Infectious Diseases 2015; 50(3): 201–7
11. Kasper DL, Tuberkulosis. Dalam: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL, ed. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. New

York Mc Graw-Hill; 2012.


12. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk teknis manajemen terpadu pengendalian
tuberkulosis resisten obat. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2018.
13. Steingart KR, Schiller I, Horne DJ, Pai M, Boehme CC, Dendukuri N. Xpert® MTB/RIF
assay for pulmonary tuberculosis and rifampicin resistance in adults. Cochrane:
JohnWiley & Sons, Ltd2014; 21(1).
14. Chang K, Lu W, Wang J, Zhang K, Jia S, Deng S, et al. Rapid and effective diagnosis of
tuberculosis and rifampicinresistance with Xpert MTB/RIF assay: A meta-analysis. J
Infect 2012; 64(6): 580-8.
15. Rasaki SO, Ajibola A, Musa SA, Mroade AK, Odeiga LO, Sule GA, et al. Rifampicin
Resistant Tuberculosis in a Secondary Health Institution in Nigeria, West Africa. J Infect
Dis Ther 2014; 2: 139.
16. Nelwan EJ, Wisaksana R. Gejala dan Diagnosis HIV. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi VI, Jilid
I. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2014: 910-15.
17. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam: Panduan Praktik Klinis. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam; 2015: 794-801.
18. Aditama TY et al. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta:Kementerian Kesehatan RI 2012:1-75.
19. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AID di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi VI, Jilid I.
Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2014: 887-97.

20. Kendall AE. The Global Challenge of HIV/AIDS, Tuberculosis, and Malaria.
Congressional Research Service 2012: 14-18.
21. Harries AD, et al. The HIV-associated Tuberculosis Epidemic-When Will We Act? The
Lancet 2016; 375: 1906-19.
22. Tiwaria BR, Karkib S, Ghimirec P, Sharmad B, Malla S. Factors Associated with High
Prevalence of Pulmonary Tuberculosis in HIV-Infected People Visiting for Assessment of
Eligibility for Highly Active Antiretroviral Therapy in Kathmandu, Nepal. WHO South-
East Asia Journal of Public Health 2016;1(4):404-11.
23. Padmapriyadarsini C, Narendran G, Swaminathan S. Diagnosis & Treatment of
Tuberculosis in HIV Co-Infected Patients. Indian J Med Res 2017; 134: 850-865.
24. World Health Organization. Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and
Adolescents 2010; 45-50.
25. Gupta K B, Gupta R, Atreja A, Verma M, Vishvkarma S. Tuberculosis and nutrition.
Lung India 2015; 26(1):9-16.
26. Olalekan A W, Oluwaseun F A, Oladele H A, Akeem A D. evaluation of electrolyte
imbalance among tuberculosis patients receiving treatment in Southwestern Nigeria.
Alexandria Journ Med 2015; 51(3):255-60.
27. Meressa D, Hurtado R M, Andrews J R, Diro E, Abato K, Daniel T. Achievng high
treatment success for multidrug-resistant TB in Africa : initiation and scale up of MDR-
TB care in Ethiopia- an observational cohort study. BMJ 2015; 70:1181-8.

Anda mungkin juga menyukai