Dosen Pengampu :
Dr. Nurul Iman, Lc. MH.I
Disusun Oleh :
Saied Al-Makhtum
NIM : 21160247
A. Pendekatan Bahasa
Memahami hadis tidak akan lepas dari penelitian matan hadis. Dan pemahaman hadis
dengan berbagai pendekatan sangat dibutuhkan. Agar hadis bisa dipahami lebih luas dan
mendalam. Salah satunya adalah pendekatan bahasa. Hadis turun dengan berbahasa arab
karena memang turun di Mekah. Bahasa Arab memiliki susunan kata yang rapi dengan
kandungan makna yang dalam sehingga dibutuhkan pendekatan bahasa dalam memahami
hadis. Metode ini akan sangat membantu untuk menemukan makna matan hadis.
Pendekatan bahasa dalam memahami hadis dilakukan apabila dalam sebuah matan hadis
terdapat aspek-aspek keindahan bahasa (balaghoh) yang memungkinkan mengandung
pengertian majazi (metafora) sehingga berbeda dengan pengertian yang sebenarnya.
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺbersabda:
َع ْن َأيِب ُموىَس َع ْن النَّيِب ِ ّ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ قَا َل َّن الْ ُم ْؤ ِم َن ِللْ ُم ْؤ ِم ِن اَك لْ ُبن ْ َي ِان يَشُ ُّد ب َ ْعضُ ُه ب َ ْعضً ا َو َشبَّ َك َأ َصا ِب َع ُه
ِإ
“Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti satu bangunan yang tersusun rapi.
Sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” Dan beliau ﷺmerekatkan jari-
jemarinya.”(Al-Bukhari, 2004).
Hadis di atas selain dipahami melalui aspek keindahan bahasa, juga dipahami karena
aspek semakna. Sekalipun terjadi perbedaan lafadz pada matan, tapi sanadnya sama-sama
sahih, menurut ulama hadis ini bisa ditoleransi. Dan disinilah penelitian hadis dengan
pendekatan bahasa menjadi sangat penting.
ِ َح َّدثَنَا َع ْبدُ اهَّلل ِ ْب ُن ُم َح َّم ٍد َح َّدثَنَا ُم َعا ِوي َ ُة ْب ُن مَع ْ ٍرو َحدَّ ثَنَا َأبُو حْس ََاق َع ْن ُموىَس ْب ِن ُع ْق َب َة َع ْن َسا ِل ٍم َأيِب النَّرْض ِ َم ْوىَل مُع َ َر ْب ِن ُع َب ْي ِد اهَّلل
ِإ
َواَك َن اَك ِت َب ُه قَا َل َك َت َب ل َ ْي ِه َع ْبدُ اهَّلل ِ ْب ُن َأيِب َأ ْوىَف َريِض َ اهَّلل ُ َعهْن ُ َما َأ َّن َر ُسو َل اهَّلل ِ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ قَا َل َوا ْعلَ ُموا َأ َّن الْ َجنَّ َة حَت ْ َت
ِإ
وف اَت ب َ َع ُه اُأْل َويْيِس ُّ َع ْن ا ْب ِن َأيِب ّ ِالزاَن ِد َع ْن ُموىَس ْب ِن ُع ْق َب َةِ الس ُي ُّ ِِظاَل ل
Telah bercerita kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad telah bercerita kepada kami
Mu’awiyah bin ‘Amru telah bercerita kepada kami Abu Ishaq dari Musa bin ‘Uqbah] dari
Salim Abi An-Nadhar, mantan budak (yang telah dimerdekakan oleh) ‘Umar bin ‘Ubaidillah
-dia adalah juru tulisnya- berkata; ‘Abdullah bin Abi Aufaa radliallahu ‘anhuma menulis urat
kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ketahuilah oleh kalian
bahwa surga itu berada dibawah naungan pedang”. Hadits ini ditelusuri pula oleh Al Uwaisiy
dari Ibnu Abu Az Zanad dari Musa bin ‘Uqbah (Al-Bukhari, 2004).
Kalimat ini tidak bisa tidak, harus dipahami sebagai kiasan, pendekatan bahasa. Tidak
bisa dipahami secara tekstual semata. Bisa dibayangkan kalau dipahami secara teks saja,
seakan-akan surga hanya bisa dicapai dengan jalur peperangan. Akan tetapi, maksud hadis ini
adalah kerja keras, kesungguhan, serta kegigihan. Maknanya, perjuangan di jalan Allah
penuh tantangan dan resiko, bahkan nyawa pun kadang harus dipertaruhkan.
B. Pendekatan Tekstual
Pendekatan tekstual adalah pendekatan yang paling awal digunakan dalam memahami
hadis-hadis Nabi Saw. Memahami sebuah teks dimulai dengan mencoba menangkap makna
asalnya, kemudian mencari makna yang populer dan mudah ditangkap. Bila tidak dapat
dipahami, karena berbagai alasan, baru kemudian digunakan pendekatan lainnya. Kata teks
bermakna “kata-kata asli dari pengarangnya” atau “sesuatu yang tertulis”. Kata tekstual
adalah kata sifat dari kata teks, sehingga bermakna bersifat teks atau bertumpu pada teks.
Dari sini maka secara istilah pendekatan tekstual berkaitan dengan pemahaman hadis untuk
memahami makna dan maksud yang terkandung dalam hadis-hadis Nabi Saw dengan cara
bertumpu pada analisis teks hadis (Badruddin, 2020).
Contoh sebagai berikut,
ُ َح َّدثَنَا َأبُو بَ ْك ٍر بُ ُور ْب ُن َأرْص َ َم َأ ْخرَب َ اَن َع ْبدُ اهَّلل ِ َأ ْخرَب َ اَن َم ْع َم ٌر َع ْن مَه َّا ِم ْب ِن ُمنَ ِ ّب ٍه َع ْن َأيِب ه َُر ْي َر َة َريِض َ اهَّلل ُ َع ْن ُه قَا َل مَس َّى النَّيِب ُّ َصىَّل اهَّلل
عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ الْ َح ْر َب َخدْ عَ ًة
Artinya: "Abu Bakar bin Ashram telah bercerita kepada kami, ‘Abdullah telah memberi
kabar kepada kami, Ma’mar telah mengabarkan kepada kami dari Hammam bin Munabbih
dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw. berkata: ”Perang itu adalah tipu daya" (Al
Asqolani, 2000).
Dari teks hadis di atas bisa dipahami bahwa setiap perang itu adalah siasat. Perang tanpa
siasat sama dengan cari mati. Artinya, untuk memahami hadis ini tidak perlu lagi mengaitkan
dengan latar belakang terjadinya hadis, karena hadis sudah bisa dipahami melalui teksnya.
C. Pendekatan Kontekstual
Yang dimaksud pemahaman kontektual hadis ialah pemaknaan dengan melihat
keterkaitan antara zaman dan situasi ketika hadis ini terjadi dengan melihat keterkaitannya
dengan masa sekarang. Setidaknya ada tiga arti kontekstual. Pertama, kontekstual diartikan
sebagai upaya pemaknaan menanggapi masalah kini yang umumnya mendesak, sehingga arti
kontekstual sama dengan situasional; kedua, pemaknaan kontekstual disamakan dengan
keterkaitan masa lampau, kini, dan mendatang. Sesuatu akan dilihat makna historik lebih
dahulu, makna fungsional sekarang, dan memprediksikan atau mengantisipasi makna di
kemudian
hari; ketiga, pemaknaan kontekstual berarti mendudukkan keterkaitan antara yang sentral (al-
Qur’an) dan yang perifer (terapan) (Noeng Muhajir, 1998).
Tidak semua hadis bisa dipahami secara tekstual, ada sebagian hadis yang
mengharuskan dipahami secara kontekstual, dikarenakan terkadang jika dipahami secara
tekstual terjadi penyimpangan makna dari maksud yang sesungguhnya. Tujuan pendekatan
secara kontekstual ini agar tidak terjadi kesalahapahaman dalam memahami makna hadis.
Contoh sebagai berikut,
“Orang mukmin makan dengan satu usus manakala orang kafir makan dengan tujuh usus”
(Al-Bukhari, 2004).
Secara tekstual hadis tersebut menjelaskan bahwa usus orang beriman berbeda dengan
orang kafir. Padahal pada kenyataannya yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak
disebabkan oleh perbedaan iman seseorang. Dengan demikian pernyataan hadis itu
merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti hadis diatas harus dipahami secara kontekstual.
Bukan maksud hadis bahwa orang kafir ususnya lebih banyak tujuh kali lipat dari
orang mukmin. Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan,
فليس املراد حقيقة األمعاء وال خصوص األلك وإ منا املراد التقلل من ادلنيا والاستكثار مهنا
“Bukanlah maksudnya adalah makna hakiki berupa usus bukan juga pengkhususan makan.
Maksudnya adalah sedikit keinginan terhadap dunia dan tidak memperbanyaknya.” (Ibnu
Hajar Al-Asqalani, n.d.)
D. Pendekatan Sosial
Yang dimaksud dengan pendekatan sosial dalam pemahaman hadis adalah memahami
hadits Nabi dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan kondisi dan situasi
masyarakat pada saat munculnya hadis (Drs. Nizar Ali, 2001). Pemahaman terhadap hadis
dapat juga menggunakan pendekatan sosial. Keadaan sosial kemasyarakatan dan tempat serta
waktu terjadinya, memungkinkan utuhnya gambaran pemaknaan hadis yang disampaikan,
dimana dan untuk tujuan apa ia diucapkan, sekiranya dipadukan secara harmoni dalam suatu
pembahasan.
Contohnya tentang kepemimpinan keturunan quraisy,
قَا َل َال يَ َز ُال ه ََذا اَأل ْم ُر يِف قُ َري ٍْش َما ب َ ِق َي ِمهْن ُ ُم اثْنَ ِان، َ هللا عَلَ ْي ِه َو َسمَّل
ُ َع ِن النَّيِب ِ ّ َصىَّل
Dalam urusan (beragama, bermasyarakat dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi
pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang saja (Al-Bukhari,
2004).
Para ulama telah menjelaskan panjang lebar hadis ini, diantaranya Imam Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Imam Al-Qurthubi dan ulama lainnya yang menganjurkan bahkan mewajibkan
seorang pemimpin dari keturunan quraisy. Memang kalau dilihat dari sanad dan matan, hadis
ini shahih. Hanya saja, dalam pengamalan hadis tersebut dalam konteks masyarakat modern
perlu kontekstualisasi, sehingga spirit dan substansinya akan tetap berlaku dalam kehidupan
sosial masyarakat.
Ibnu Khaldun pada akhirnya mengkritik secara besar-besaran konsep kepemimpinan
demikian. Ia berpendapat bahwa konsep sebenarnya ialah bukan berarti suku Quraisy yang
harus memegang suatu kepemimpinan, namun lebih pada model kepemimpinannya yang
tegas, kuat, kharismatik, dan tangguh. Substansi mengenai kepemimpinan pada dasarnya
bukan terdapat pada suku Quraisy, akan tetapi lebih mengarah pada karakteristik yang
memungkinkan seseorang pantas untuk dijadikan sebagai pemimpin sama halnya dengan
karakteristik suku Quraisy pada masa itu (Al-Qardhawi, 2000).
E. Pendekatan Kultural
Yang dimaksud dengan pemahaman hadis dengan pendekatan kultural adalah
memahami hadis dengan cara melihat tradisi, budaya dan praktek keagamaan dalam
kehidupan masyarakat saat hadis tersebut disabdakan oleh Rasulullah SAW. Sebab
munculnya hadis tidak akan lepas dari keadaan masyarakat saat itu.
Sebagai contoh hadis larangan menggambar atau melukis sebagi berikut,
َ إ َّن َأشَ دَّ النَّ ِاس عَ َذااًب ِع ْندَ اهَّلل ِ ي َ ْو َم الْ ِق َيا َم ِة الْ ُم َص ّ ِو ُر
ون
“Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat
adalah para penggambar.” (Al Asqolani, 2000).
Setelah kita pelajari hadis ini, mengapa Rasulullah SAW keras dalam menyikapi para
pelukis, ternyata di tengah budaya Arab jahiliyah saat itu ada keyakinan bahwa orang yang
menggambar binatang dapat memberi nyawa kepadanya, sehingga mampu melakukan
aktifitas sesuai kehendak pemiliknya. Keyakinan ini sangat berbahaya bagi pada akidah
seseorang, karena adanya pencipta selain Allah SWT. Sehingga pantas bila Rasulullah
mengancam keras para pelukis saat itu.
Pendekatan kultural dalam mengkaji berbagai fenomena kehidupan masyarakat
dilakukan para pengkaji sosial dan budaya di barat. Pada gilirannya pendekatan ini juga
dimanfaatkan dalam memahami agama (Arfa Faishal Ananda, 2015).
F. Pendekatan Sejarah
Salah satu langkah yang dilakukan muhadditsin untuk melakukan
penelitian matan hadis adalah mengetahui peristiwa yang melatar belakangi
munculnya suatu hadits (asbab al-wurud al-hadis). Mengetahui asbab al-wurud
mempermudah memahami kandungan hadis. Dengan asbab al-wurud al-hadis. dalam
melakukan kritik hadits yang diketahui memakai asbab wurud, maka akan sangat membantu
untuk memahami maksud hadis. Oleh karena itu, tema pembahasan ini dinamakan
pendekatan sejarah (Shamad A, 2016).
Diantara tujuan memahami hadis dengan pendekatan sejarah adalah mengetahui latar
melakang munculnya hadis, juga pada saat hadis disabdakan apakah Rasulullah sebagai
Rasul, sebagai mufti, sebagai masyarakat atau manusia biasa.
ِ ( ُك ْن ُت هَن َ ْي ُتمُك ْ عن ِزاَي َر ِة ال ُق ُب: قَا َل رسول هللا ﷺ: قَا َل- ريض هللا عنه- عن بُ َريْدَ ة
ور فَ ُزوروها) رواه
)مسمل
Hadis ini sebagai bukti adanya aspek sosial pada masyarakat Arab di zaman
Rasulullah SAW. Rasulullah pernah melarang para sahabat ziarah kubur, dikarenakan
keimanan para sahabat belum stabil. Mereka saat berziarah cenderung berprilaku
sebagaimana kebiasaan orang-orang jahiliyah, Ketika mereka ziarah kubur mereka meratap di
kuburan. Kemudian nabi melarang ziarah kubur untuk menghindari kebiasaan jahiliyah itu
terjadi.
Setelah Nabi melihat kondisi keislaman para sahabat yang mulai stabil lalu Nabi
membolehkan ziarah kubur.
BAB III
PENUTUP