Anda di halaman 1dari 7

PEMBELAJARAN HARI INI

POKOK BAHASAN:
A. RESPON BIOLOGIS IMUNITAS
B. RESPONS ADAPTIF PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL,
C. RESPONS ADAPTIF SOSIAL

A. Respons biologis imunitas,


DEFINISI HIV &AIDS
HIV-AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus dari keluarga Retrovirus,
anggota genus Lentivirus. Terdapat dua spesies HIV yang menginfeksi manusia yaitu
HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih banyak menyebabkan infeksi dibandingkan HIV-2. HIV
memiliki tonjolan eksternal yang dibentuk oleh dua protein utama envelope virus, gp120
di sebelah luar dan gp41 yang terletak di transmembran. Gp120 memiliki afinitas tinggi
terutama terhadap reseptor CD4+ sedangkan gp41 berperan dalam proses internalisasi
virus.
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh infeksi HIV, ditandai dengan penurunan sistem kekebalan tubuh sehingga
mengakibatkan infeksi-infeksi oportunistik, neoplasma sekunder dan manifestasi
neurologi (Nasronudin, 2014).

PATOGENESIS INFEKSI HIV


Siklus Hidup HIV-AIDS Seperti halnya virus lain, virus HIV hanya dapat bertahan hidup
dan memperbanyak diri di dalam sel. Dengan demikian daur hidup virus HIV dapat
dibedakan dalam 4 tahap.
1. Tahap masuknya virus dalam sel
Tahap ini diawali dengan masuknya virus dalam sel inang berkaitan dengan struktur
permukaan virus dan inangnya, penempelan berlangsung karena adanya muatan listrik
yang berlawanan antara molekul gp120 yang memiliki muatan positif dengan
proteoglikan dari lektin permukaan sel yang bermuatan negatif, setelah terjadi
penempelan, gp120 akan melakukan ikatan spesifik dengan molekul CD4 yang dimiliki
sel inang, ikatan ini akan memicu berbagai perubahan struktur molekul (konformasi)
gp120, diantaranya membentuk tempat ikatan untuk molekul koreseptor kemokin dari
jenis C-C Chemokine Receptor type 5 (CCR5) atau C-X-C Chemokine Receptor type
4 (CXCR4), koreseptor dibutuhkan untuk menginduksi konformasi gp41 yang berada
dalam membran dwilapis virus, dan struktur tersebut akan memaparkan peptida fusi dari
molekul gp41 yang akan disusul penyisipan peptida tersebut dalam membran sel inang
(sel TCD4+).
2. Tahap transkripsi
genom virus harus digabungkan dengan genom sel inang dengan cara diintegrasikan
melalui penyisipan dalam molekul DNA yang dimiliki inti sel inang. Tetapi karena genom
retrovirus dalam bentuk RNA, maka sebelum diintegrasikan dalam genom sel inang,
molekul RNA harus ditranskripsi mundur menjadi molekul DNA. Itulah sebabnya dalam
inti retrovirus dilengkapi dengan enzim reverse transcriptase yang diperlukan untuk
transkripsi mundur. Dua untaian RNA virus ditranskripsi mundur menjadi dua untaian
complementary Deoxyribonucleic Acid (cDNA). Pasangan DNA virus ini kemudian
pindah dari sitoplasma sel kedalam intinya dan disisipkan kedalam DNA inang dengan
bantuan enzim integrase. Genom virus yang telah menyatu dengan genom sel inang
dapat berada dalam keadaan laten atau aktif. cDNA yang aktif disebut sebagai provirus.
Provirus digunakan sebagai pola cetakan transkripsi menjadi untainan RNA dalam
proses replikasi atau biosintesis protein virus yang diperlukan dalam pertikel virus baru.
3. Tahap replikasi
Replikasi salinan virus dimulai dengan proses transkripsi, splicing messenger
Ribonucleic Acid (mRNA) dalam inti, dan translasi pada ribosom dari rough endoplasmic
reticulum (rER) menjadi peptida yang diselesaikan dalam kompleks golgi.
4. Tahap perakitan dan pendewasaan virus
Perakitan partikel virus baru pada prinsipnya berlangsung pada membran sel inang yang
terinfeksi. Perakitan komponen-komponen virus bergantung pada protein sel inang yang
disebut HBG8 yang akan mengikat protein p55 dan mendorong pembentukan inti virus
yang belum dewasa. 15 Protein struktural lain dari virus berkumpul di membran sel
bersama dua untaian genom RNA. Enzim reverse transcriptase, protease dan integrase
diintegrasikan menjadi virus yang belum dewasa. protein struktural utama yaitu p6,
menghubungkan daerah membran plasma yang merupakan tempat berlangsungnya
pembentukan partikel virus baru. Sebelum berlangsungnya pembentukan partikel virus,
beberapa faktor restriksi virus dalam sitoplasma seperti APOBEC3G dapat digabungkan
dalam virion. Bersamaan dengan pembentukan partikel virus muda dari membran sel,
terjadi proses proteolisis kapsid untuk pengembangan virus menjadi dewasa

Mekanisme Imunitas Normal


Respon pertma adalah, Aktivasi sel Th (T-helper) dalam keadaan normal terjadi pada
awal terjadinya respon imunitas. Th dapat teraktivasi melalui dua sinyal, sinyal pertama
yaitu pertama terikatnya reseptor Ag-TCR (Antigen-T Cell Receptor) dengan kompleks
antigenmolekul MHC (Mayor Histocompability Complex) Class II yang dipresentasikan
oleh makrofag sebagai APC (Antigen Presenting Cell) yang teraktivasi oleh antigen.
Sinyal kedua berasal dari sitokin IL-1 yang dihasilkan oleh APC yang teraktivasi. Kedua
sinyal tadi akan merangsang Th mengekspresikan reseptor IL-2 dan produksi IL-2 serta
sitokin lain yang dapat mengaktivasi makrofag, T limfosit sitotoksik (Tc) dan sel limfosit
B. IL-2 juga akan berfungsi autoaktivasi terhadap sel Th semula dan sel Th lainnya yang
belum memproduksi IL-2 untuk berploriferasi. Dengan demikian akan terjadi amplifikasi
respons yang diawali oleh kontak APC dengan sel Th awal. Aktivasi sel Tc berfungsi
untuk membunuh benda asing atau non self antigen seperti mikroba, virus, fungi,
parasit.
Respon Tc, Tc dibedakan dari Th karena memiliki 11 molekul CD8+ yang mengenali
antigen asing melalui MHC class I. Seperti sel Th, Tc juga teraktivasi melalui dua sinyal,
yaitu sinyal pertama adalah interaksi reseptor Ag-TCR dengan dengan kompleks epitop
benda asing dan molekul MHC Class I. Sel tersebut bisa berupa sel tumor atau jaringan
asing. Sinyal kedua adalah rangsangan dari sitokin IL-2 yang diproduksi oleh sel Th
tersebut.
Respon ketiga dari imunitas seluler dilakukan oleh sel NK (Natural Killer), yaitu sel
limfosit dengan granula kasar dengan penanda CD16 dan CD56. Fungsinya secara non
spesifik menghancurkan sel-sel asing, sel tumor, atau sel yang terinfeksi virus tetapi
dapat juga menghancurkan sel asing dengan cara yang spesifik yaitu melalui antibody
dependent cell mediated cytoxicity (ADCC).
Respon yang terakhir adalah respon imunitas humoral yang diperantarai oleh sel B.
Aktivasi sel ini memerlukan sinyal yang terikat pada reseptor antigen dan sinyal yang
diproduksi oleh sel Th yang teraktivasi. Setelah itu akan terjadi pertumbuhan dan
diferensiasi sel limfosit B menjadi sel plasma yang nantinya memproduksi antibodi baik
itu IgM, IgG, IgA, atau IgE (Broere, 2011).

Pengaruh Infeksi HIV terhadap Sistem Imun


HIV terutama menginfeksi sel limfosit T-helper CD4 dan sel yang mengekspresikan
reseptor CD4 seperti makrofag dan sel dendritik sehingga makin lama jumlah dan
fungsinya akan menurun. Bila sel Th berkurang jumlahnya dan fungsinya juga menurun
makan respon imunitas seluler dan humoral juga akan terganggu sehingga
memudahkan timbulnya berbagai infeksi, salah satunya adalah infeksi oportunistik.
Sistem imun untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti
parasit, fungi, dan bakteri intraseluler didominasi oleh respon imunitas seluler. Respon
imunitas ini dilakukan oleh makrofag dan sel NK. Namun pada infeksi HIV, fungsi
makrofag, sel NK dan sel Tc berubah. Fungsi sel makrofag seperti fagositosis dan
kemotaksis menurun, termasuk juga kemampuan untuk menghancurkan organisme
intraseluler, misalnya kandida. Kemampuan sel Tc untuk menghancurkan sel yang
terinfeksi virus juga menurun, sehingga terjadi reaktivasi virus yang tadinya laten seperti
herpes zooster dan retinitis sitomegalovirus. Selain itu kemampuan sel NK untuk
menghancurkan antigen asing juga menurun (Huber, 2007).
Infeksi HIV juga menyebabkan abnormalitas imunitas humoral. Imunitas humoral adalah
imunitas dengan pembentukan antibodi oleh sel plasma yang berasal dari limfosit B,
akibat rangsangan sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4+ yang teraktivasi. Sitokin
IL-2, BCGF (B Cell Growth Factor) dan BCDF (B Cell Diffrentiation Factor) akan
merangsang limfosit B tumbuh dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Dengan adanya
antibodi diharapkan akan meningkatkan daya fagositosis dan daya bunuh sel makrofag
dan neutrofil melalui proses opsonisasi (Merati, 2014). Infeksi HIV menyebabkan
stimulasi limfosit B secara poliklonal dan non spesifik, sehinga terjadi
hipergammaglobulinemia terutama IgA dan IgG. Selain itu respon yang dihasilkan oleh
immunoglobulin ini tidak tepat sehingga tetap tidak mampu mengeliminasi
mikroorganisme. Selain respon imunitas humoral yang berlebihan dan tidak tepat,
infeksi HIV menyebabkan penurunan jumlah limfosit CD4+ sehingga terjadi suatu
keadaan disregulasi imun. Oleh karena itu bila terdapat infeksi dari bakteri, fungi, atau
parasit, tidak mampu direspon dengan baik oleh sistem imun penderita HIV sehingga
timbullah infeksi oportunistik (Moir, 2009).
CD4+ merupakan suatu glikoprotein yang terdapat di permukaan sel imun seperti sel T-
helper, monosit, makrofag dan sel dendritik. CD4+ dan sel T helper memainkan peran
penting dalam sistem imun karena memberi sinyal ke sel imun lain misalnya CD8+ untuk
menghancurkan partikel-partikel infeksius. Sel T helper merupakan regulator primer
untuk sel T dan sel B, dimana sel ini membantu limfosit sel B yang terstimulasi antigen
untuk membentuk antibodi. Terdapat dua subset fungsional dari T helper yaitu Th1 dan
Th2. Th1 berperan dalam sistem imunitas seluler sedangkan Th2 berperan dalam
pembentukan immunoglobulin (Goldman, 1996). Dalam pembentukan antibodi, sel B
harus distimulasi oleh antigen. Antigen diproses menjadi beberapa fragmen dan
sebagian bergabung ke molekul kelas II MHC dan dipresentasikan ke permukaan sel
CD4+ dan mengaktivasi sel T. Sel T yang teraktivasi selanjutnya akan mengaktivasi sel
B yang telah tersensitisasi antigen untuk berploriferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang memproduksi antibodi (Goldman, 1996).

 RESPONS ADAPTIF PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL,

Ketika seseorang mengalami/didiagnosa HIV, selain terjadi perubahan respon imun


secara biologis juga terjadi respon psikologis, respon tersebut, dijelaskan dalam table
dibawah ini:
Hal-hal yang biasa
Reaksi Proses Psikologis
dijumpai
1. Shock (kaget, Merasa bersalah Rasa takut, hilang akal,
guncangan dan tidak frustasi, rasa sedih, susah,
batin) berdaya. acting out
2. Mengucilkan Merasa cacat, tidak Khawatir menginfeksi orang
diri berguna dan lain, murung.
menutup diri.
3. Membuka status Ingin tahu reaksi orang Penolakan, stres,
secara terbatas lain, pengalihan stress, dan
ingin dicintai. konfontrasi.
4. Mencari orang Berbagi Ketergantungan, campur
lain yang HIV rasa,pengenalan, tangan, tidak percaya
positif kepercayaan, penguatan pada pemegang rahasia
dan dukungan sosial. dirinya.
5. Status Khusus Perubahan Ketergantungan, dikotomi
keterasingan menjadi kita dan mereka (semua
manfaat khusus, orang dilihat sebagai
perbedaan menjadi hal terinfeksi HIV dan direspon
yang istimewa, seperti itu).
dibutuhkan yang lainnya. Over identification.
6. Perilaku Komitmen dan Pemadaman, reaksi,
kesatuan kelompok, dan
mementingkan
kepuasan memberi dan kompensasi yang berlebihan.
orang lain.
berbagi, perasaan
sebagai
kelompok.
7. Penerimaan Integrasi status positif Apatis dan sulit berubah.
HIV dengan identitas
diri, keseimbangan
antara kepentingan
orang lain dengan diri
sendiri, bisa
menyebutkan
kondisi seseorang.

Kubler-Ross (dalam Sarafino, 2006) melakukan wawancara terhadap 2000 individu yang
mengalami teminal illnes dan mengatakan bahwa penyesuaian individu biasanya mengikuti
pola-pola yang dapat diprediksi dalam 5 tahapan
yang tersusun secara hirarkhi. Tahapan tersebut adalah:
a. Denial (Pengingkaran)
Pada tahap pertama, ODHA menunjukkan karakteristik perilaku pengingkaran, mereka
gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosis.
Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap sakitnya atau
sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya. Pengingkaran dapat berlalu sesuai
dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima bahwa alat yang tidak
berfungsi dengan baik, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih mungkin perkiraan dokter
atau perawat yang tidak kompeten Pengingkaran diri yang mencolok tampak menimbulkan
kecemasan. pengingkaran ini merupakan buffer untuk menerima kenyataan yang sebenarnya.
Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera berubah menjadi fase lain dalam
menghadapi kenyataan (Achir Yani dalam Nursalam, 2007).
b. Anger
Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase pertama berubah
menjadi kemarahan. Perilaku ODHA secara karakteristik dihubungkan dengan
rasa bersalah dan marah pasien akan mengalihkan kemarahan pada segala
sesuatu yang ada disekitarnya, biasanya kemarahan akan ditujukan pada diri sendiri
kemudian timbul penyesalan.
c. Bergaining (Tawar Menawar)
Setelah fase marah-marah berlalu, ODHA akan berpikir dan merasakan bahwa
protesnya tidak berarti. ODHA mulai timbul rasa bersalah dan mulai membina
hubungan dengan Tuhan. ODHA berdoa, meminta dan berjanji pada Tuhan,
tindakan ini merupakan ciri yang jelas, yaitu pasien menyanggupi akan menjadi
lebih baik bila dia dapat sembuh (Achir Yani, dalam Nursalam, 2007).
d. Depression (Depresi)
Selama fase ini ODHA sedih dan berkabung mengesampingkan rasa marah dan
sikap pertahanannya, serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. ODHA
mencoba perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat
emosional adalah kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah,
penyesalan yang dalam, kesepian, dan waktu untuk menangis berguna pada saat
ini. Perilaku fase ini termasuk di dalamnya adalah ketakutan akan masa depan,
bertanya peran baru dalam keluarga intensitas depresi tergantung pada makna
dan beratnya penyakit (Netty, dalam Nursalam, 2007).
e. Acceptance (Penerimaan)
Seiring dengan berlalunya waktu ODHA mulai dapat beradaptasi, kepedihan yang
menyakitkan berkurang, dan bergerak menuju identifikasi sebagai seseorang yang
memiliki keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai seorang yang cacat.
Pasien mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak membutuhkan
dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan keterbatasan atau
ketidakadekuatan (Hudak &Gallo, dalam Nursalam, 2007).
C. RESPONS ADAPTIF SOSIAL
Aspek psikososial menurut Stewart (1997) dibedakan menjadi 3 hal, yaitu:
a. Stigma sosial dapat memperparah depresi dan pandangan yang negatif tentang harga
diri ODHA.
b. Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja dan hidup
serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan. Penggunaan obat-obat
narkotika akan berakibat terhadap kurangnya dukungan sosial, hal ini akan memperparah
stres pada ODHA.
c. Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai penolakan, marah-
marah, tawar-menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan
dan pengobatan. Pasien akhirnya mengonsumsi obat-obat terlarang untuk menghilangkan
stres yang dialami.
Respons adaptif sosial dikembangkan peneliti berdasarkan konsep dari Pearlin
&Aneshense (dalam Nursalam, 2007) meliputi tiga hal, yakni: 1. Emosi. 2. Cemas. 3.
Interaksi sosial

Anda mungkin juga menyukai