Anda di halaman 1dari 88

i

BUKU PANDUAN
SKILLS LAB
TA : 2021/2021

SEMESTER III

PEMERIKSAAN FISIK LANJUTAN


DAN
PENUNJANG

©2021, MEDICAL EDUCATION UNIT


LABORATORIUM KETERAMPILAN MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Darussalam – Banda Aceh 23111
Telepon / Fax: (0651) 7551843
Home Page : www.fk.unsyiah.ac.id
Email : unitmeufkunsyiah@yahoo.com

ii
Copyright@2021 Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Dicetak di percetakan Unsyiah Darussalam Banda Aceh

Cetakan Pertama : Agustus 2021

Diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala


Semua Hak Cipta terpelihara

Penerbitan ini dilindungi oleh Undang-undang Hak Cipta dan harus ada izin oleh
penerbit sebelum memperbanyak, disimpan,
atau disebarluaskan dalam bentuk elektronik, fotocopy
dan rekaman atau bentuk lainnya.

EDITOR

iii
Dr.dr. Hasanuddin, SpOG (K)
Bagian Ilmu Kebidanan dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

dr. Syahrial, SpKJ


Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ BPK-RSJ Banda Aceh

Dr.dr. Iskandar Zakaria, SpR


Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

Dr.dr. Dahril, SpU


Bagian Urologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

dr. Masna Dewi Abdullah, Sp.Rad


Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

dr. Mirnasari Amirsyah, Sp.BP-RE


Bagian Bedah
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

dr. Syamsul Rizal, Sp.BP-RE


Bagian Bedah
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

Dr.dr. Zafrullah Khany Jasa, Sp.An, KNA


Bagian Anestesiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

dr. Kulsum, M.Ked(An), Sp.An


Bagian Anestesiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

PENANGGUNG JAWAB SKILL

iv
Dr.dr. Hasanuddin, SpOG (K)
Bagian Ilmu Kebidanan dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

dr. Syahrial, SpKJ


Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ BPK-RSJ Banda Aceh

Dr.dr. Iskandar Zakaria, SpR


Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

Dr.dr. Dahril, SpU


Bagian Urologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

dr. Masna Dewi Abdullah, Sp.Rad


Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

dr. Mirnasari Amirsyah, Sp.BP-RE


Bagian Bedah
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

dr. Syamsul Rizal, Sp.BP-RE


Bagian Bedah
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

Dr.dr. Zafrullah Khany Jasa, Sp.An, KNA


Bagian Anestesiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

dr. Kulsum, M.Ked(An), Sp.An


Bagian Anestesiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

v
KATA PENGANTAR

Buku panduan Skills Lab Semester III ini merupakan revisi dan adaptasi
dari buku panduan sebelumnya, sebagai implementasi revisi kurikulum TA
2013/2014.
Buku panduan ini berisikan materi keterampilan yang akan dilatihkan pada
Laboratorium Keterampilan Medik. Materi keterampilannya terdiri dari ANC,
Pelvimetri Klinis, Leopold’s Maneuvers, Persalianan Normal, Pemeriksaan
Neonatus, Pemeriksaan Tumbuh Kembang Anak, Antropometri, Teknik Injeksi,
Anamnesis Kasus Sensitif, IV Line, Pemeriksaan Foto Thorak, Pembacaan Foto
Polos Abdomen, Pemeriksaan khusus Geriatri,dan Pemasangan Kateter.
Dengan menguasai keterampilan di atas, diharapkan dapat menjadi
pondasi dasar mahasiswa dalam memahami dan menguasai keterampilan medik
lanjutan.
Kami berharap buku ini akan bermanfaat bagi mahasiswa dan juga
instruktur yang terlibat dalam latihan keterampilan medik ini.

Banda Aceh, Agustus 2021

Editor

vi
DAFTAR ISI

Editor................................................................................................... Iii

Penanggung Jawab Skills…………………………………………….. Iv

Kata Pengantar........................................................................................ V
Daftar Isi ................................................................................................ Vi
I........ Pembacaan Foto Thorax.......................................................... 1
II....... Anamnesis Kasus Sensitif............................................................. 14
III......Pemeriksaan Foto x ray Extremitas.............................................. 22
1V. Pemasangan Kateter..................................................... . 28
V. Breast Exam ...................................................................... 35
VI. BLS ................................................................................... 46
VII. Anestesi Blok dan Infiltrasi................................................ 60
VIII. IVA.................................................................................... 73

vii
1. PEMERIKSAAN FOTO THORAK
Dr.dr. Iskandar Zakaria, SpR
Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

Tujuan Belajar :
 Mahasiswa mampu membaca foto rontgen toraks PA normal
 Mahasiswa mengerti teknik pembuatan foto rontgen khususnya foto toraks PA
dan Lateral

Prior Knowledge
Sebelum mempelajari keterampilan ini, mahasiswa harus menguasai:
 Anatomi Paru
 Fisiologi Paru

Pendahuluan
Suatu penilaian yang tepat dan teliti terhadap foto toraks memerlukan
pengetahuan yang mendalam mengenai anatomi normal toraks. Dalam keadaan
normal pun anatomi seseorang itu mungkin sangat berbeda satu dengan yang
lainnya, sedangkan batas-batas antara yang sehat dan sakit kadang sangat samar.
Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui apa yang sakit, terlebih dahulu perlu
dimiliki pengetahuan-pengetahuan dasar tentang apa yang masih termasuk dalam
batas-batas normal.

Toraks Orang Dewasa


Foto torakas pada orang dewasa memperlihatkan tulang-tulang toraks
termasuk tulang rusuk, diafragma, jantung, paru-paru, klavikula, skapula, dan
jaringan lunak dinding toraks.
Toraks terbagi dua oleh mediastinum. Di sebelah kiri dan kanan
mediastinum terdapat paru-paru yang berisi udara, yang relatif radiolusen (hitam)
bila dibandingkan dengan mediastinum, dinding toraks dan bagian atas abdomen
relatif radio-opak (putih).

Tulang-tulang Toraks
Walaupun pemeriksaan roentgenologik dada terutama dimaksudkan untuk
menyelidiki organ intratorakal seperti jantung dan paru-paru, namun semua
tulang-tulang kerangka toraks juga dapat dilihat dengan jelas, sehingga dapat pula
diketahui bila terdapat kelainan pada tulang-tulang tersebut. Tulang-tulang ini
termasuk : kedua tulang skapula, klavikula, sternum, vertebra servikal & torakal,
dan iga-iga.
Bentuk toraks mempunyai variasi yang sangat luas pada keadaan normal dan
bergantung pada umur dan habitus seseorang. Sternum biasanya tidak dapat
dilihat jelas pada foto PA (posteroanterior), karena adanya superposisi dengan
veretebra torakal, tetapi bagian pinggir manubrium sering dapat dilihat dengan

1
baik. Untuk melihat sternum, lebih baik dibuat foto lateral dan foto dengan teknik
khusus dari belakang agak miring kedepan tengah.
Iga-iga yang terletak sebelah anterior lebih tinggi disebelah lateral daripada
disebelah medial, sehingga iga-iga kiri-kanan yang sama nomornya kira-kira
membentuk huruf “V”. Sedangkan iga yang terletak disebelah posterior, sebelah
medial lebih tinggi daripada sebelah lateral, sehingga iga-iga yang sama
nomornya membentuk huruf “A”. Bagian-bagian iga yang terletak paling anterior
dan berhubungan dengan sternum pada orang muda masih merupakan tulang
rawan (kartilago), sehingga tidak terlihat pada foto rontgen. Dengan makin
meningkatnya umur dan pada keadaan-keadaan tertentu, sebagian kartilago akan
mengapur, mengakibatkan bayangan-bayangan dengan densitas tinggi, berbintik
secara tidak teratur.
Sela-sela interkostal diberi angka menurut iga disebelah atasnya. Iga-iga yang
terletak dibawah diaragma tidak terlihat jelas, karena tingginya densitas organ
abdomen.
Kedua skapula sering menyebabkan superposisi pada dinding toraks bagian
atas sehingga margo vertebralis dan margo inferiornya menutup bagian lateral
paru-paru bagian atas. Superposisi ini dapat dihindarkan dengan mengadakan
endorotasi maksimal dipersendian bahu pada waktu foto dibuat.
Pada foto yang dibuat untuk menyelidiki paru, sebagian besar vertebra
torakal tidak dapat dilihat satu persatu karena tertutup oleh bayangan mediastinum
yang sangat radio-opak. Untuk dapat melihat semua vertebra torakal dengan jelas,
perlu dibuat foto yang keras dengan daya tembus yang lebih tinggi, misal pada
skoliosis.

Jaringan-jaringan lunak
Jaringan lunak dinding toraks, baik yang terletak di sebelah depan maupun
dibelakang, mungkin merupakan bayangan luas yang menyelubungi isi toraks,
dan yang terpenting adalah payudara wanita. Bagian-bagian tubuh ini
menyebabkan bayangan-bayangan yang suram, yang luas dan letaknya bergantung
pada besarnya.
Pada laki-laki, khususnya yang berbadan tegap, muskulus pektoralis mayor
mengakibatkan bayangan suram kira-kira dibagian tengah toraks, dimana kiri dan
kanan sering tidak sama besarnya.
Bayangan muskulus sternokleidomastoideus mungkin jelas sekali kelihatan
membujur dari leher diluar toraks sampai ke manubrium sterni; bagian paru yang
tidak tertutup oleh bayangan ini kelihatan amat jelas, radiolusen.
Bayangan lunak lainnya yang mungkin terlihat : papila mammae, tumor
dinding toraks, benjolan dalam kulit seperti neurofibromatosis, dan corpora
aliena ; rambut wanita yang menyebabkan superposisi atas paru-paru (sering
disalah artikan sebagai sarang tuberkulosis).

Bagian Intratorakal
Rongga toraks diisi oleh bangunan-bangunan yang densitasnya satu sama lain
sangat berbeda, yaitu densitas yang tinggi dari jaringan lunak terhadap densitas
yang rendah dari udara, sehingga mudah dilihat. Disebelah bawah rongga toraks
dibatasi oleh kedua diafragma; di bagian tengahnya tampak bayangan padat yang
disebabkan oleh mediastinum, jantung, pembuluh-pembuluh darah besar, apeks

2
paru, trakea dan bronki yang besar. Sebelah kiri dan kanan bayangan padat
tersebut terdapat paru-paru yang berisi udara; bayangannya disebabkan oleh
bangunan-bangunan vaskular, limfatik, bronkial dan endotelial, dikelilingi oleh
udara.
Penelitian yang seksama terhadap suatu foto rontgen toraks memerlukan
pengetahuan yang mendalam tentang anatomi dan histologi paru. Dibagian tengah
terlihat bayangan hilus paru, yang kiri terletak sedikit lebih tinggi daripada yang
kanan. Bayangan hilus ini terutama dibentuk oleh arteri pulmonalis, tetapi secara
anatomis juga terdiri atas vena pulmonalis, bronki besar dan kelenjar limfe hilus
atau peribronkial. Dari akar ini tampak memancar ke segala jurusan diperifer
bayangan-bayangan linier, yang lumennya semakin sempit bila semakin jauh dari
hilus serta semakin dekat ke perifer. Bayangan seperti garis ini terutama dibentuk
oleh arteri pulmonalis, disamping dibentuk pula oleh vena pulmonalis, jaringan
dinding-dinding bronki dan saluran-saluran limfe. Bayangan tersebut sangat jelas
dan menonjol di daerah parakardial kanan dan disebabkan oleh beberapa vena
pulmonalis yang besar. Bayangan suram, yang luas dan letaknya bergantung pada
besarnya. Bayangan juga jelas kelihatan di kedua belah mediastinum, daerah
suprahiler, membujur sampai ke puncak paru-paru. Kadang-kadang pembuluh
darah ini kelihatan sebagai bayangan bundar, homogen, agak dens, yaitu bila
pembuluh darah tersebut kelihatan ortograd, karena panjangnya kolom darah
yang dilalui oleh sinar. Sebaliknya bila bronkus yang letaknya ortograd, maka
akan kelihatan juga bayangan bundar, tapi tidak homogen, dengan pusat yang
berwarna hitam terang yang disebabkan oleh udara yang terkandung didalamnya.

Indikasi Foto Toraks


PA
 Foto toraks sering dilakukan untuk pemeriksaan foto rutin
 Screening TB oleh karena kejadian TB di Indonesia masih tinggi
 Screening pra operasi pada pasien bagian bedah
Lateral
 Indikasi rutin
 melihat kelainan mediastinum
 melihat kelainan yang tidak jelas pada posisi PA
 mencari diagnosis yang masih belum tampak pada posisi PA
 Pemotretan jantung
AP
 Penderita sakit berat, anak kecil dan bayi
 Pada orang yang gemuk/bagian ventral toraks tidak dapat menempel pada
film
 Melihat bayangan yang pada posisi PA mengadakan superposisi dengan
organ lain

Top Lordotik
 Melihat kelainan pada puncak paru dan melihat lobus medius paru
Oblique
 Melihat kelainan yang pada pemotretan posisi PA/lateral masih belum
jelas

3
Lateral Dekubitus
 Melihat cairan dalam cavum pleura yang sedikit jumlahnya, kurang dari
100-200 cc, atau pada posisi PA belum dapat ditentukan adanya cairan
dalam cavum pleura.

PROYEKSI STANDAR:
- Foto Thorax PA
- Foto Thorax Lateral

FOTO THORAX PA
Proyeksi Postero-Anterior (PA) sebagai proyeksi standar yang rutin
dilakukan.
Pasien dalam posisi tegak (erect) dengan dinding anterior dada menempel pada
kaset filem, scapula dirotasikan keluar (supaya tidak overlapping dengan lapangan
paru) dengan cara melipat lengan dan tangan menumpu pada pinggang.

Arah sinar-X dari posterior ke anterior.


Untuk menghindari pembesaran gambar (magnifikasi), atur jarak tabung
sinar-X dengan pasien sejauh 102 cm (40 inc) – 180 cm (72 inc). Beri aba-aba
kepada pasien untuk menarik napas (inspirasi maksimal) kemudian tahan nafas.
Lakukan ekspose.
Film yang telah diekspose telah memiliki bayangan laten. Selanjutnya
diproses di kama gelap (dicuci) yang dapat dilakukan secara manual atau secara
otomatis.
Teknik pencucian secara manual :
 Film dicelupkan ke dalam larutan developer beberapa saat
 kemudian dibilas dengan air
 lalu masukkan ke dalam larutan fixer
 bilas kembali dengan air
 keringkan.
Setelah proses dikamar gelap, dokter ahli radiologi akan melakukan
ekspertise.*

FOTO THORAX LATERAL


Proyeksi lateral diperlukan untuk menambah informasi tentang lokasi, ukuran
dan morfologi atau bentuk terhadap suatu lesi (kelainan) yang tampak pada
proyeksi PA.
Apabila klinisi tidak menuliskan posisi lateral mana yang diminta, maka foto
dibuat dalam posisi lateral kiri. Prinsipnya adalah objek (organ) yang letaknya
mendekati filem akan memberikan gambaran yang lebih jelas. Pemeriksaan foto
thorax selain untuk menilai paru juga menilai jantung dan sebagian besar jantung
letaknya lebih kearah kiri.
Foto dibuat dalam keadaan tegak (erect), jarak tabung sinar-X ke objek
(pasien) 1,02 s/d 1,8 meter, inspirasi maksimal, arah sinar-X dari lateral kanan
menuju ke kiri pasien, dinding thorax lateral kiri menempel kaset filem.

4
Ekspertise : laporan tertulis yang dibuat oleh ahli radiologi terhadap keadaan foto
/ pemeriksaan radiologi yang memuat deskripsi kelainan-kelainan yang ada,
kemudian disimpulkan (diagnosa)
Teknik Pengambilan Foto Thoraks

PA

LATERAL

METODE INVESTIGASI DAN INTERPRETASI DARI FOTO THORAX

Berbagai metode pemeriksaan radiologi thorax dapat dilakukan seperti pada tabel
berikut ini:

5
INTERPRETASI DARI FOTO THORAX

Analisa yang tepat dari foto


thorax seperti tercantum
dalam tabel berikut ini:

Langkah-Langkah Membaca Foto Toraks (PA)


Membaca foto mulai dari jaringan lunak dipinggir kemudian skeletal 
apakah ada kelainan (cara internasional) atau dari tengah ke pinggir (cara RSHS).

6
DATA UMUM
Teliti nama, usia, jenis kelamin dan tanggal pemeriksaan. Hal ini sangat
penting karena beberapa penyakit sangat berhubungan dengan data-data ini.
Perhatikan keterangan klinis, karena sangat menentukan interpretasi dari foto
thorax.

DATA TEKNIS
1. Perhatikan marker L dan R yang menunjukkan sisi kiri atau kanan pasien. Ini
sangat penting pada keadaan kelainan jantung bawaan.
2. Apakah foto sudah simetris? Ujung medial clavicula harus sama jaraknya
dengan garis tengah (midline). Rotasi pasien menyebabkan distorsi bayangan
mediastinum.

7
3. Apakah faktor ekspos yang diberikan sudah tepat? Overexposed menyebabkan
kehitaman filem dan underexposed menyebabkan bayangan overlapping
struktur.
Kondisi suatu foto thorax dikatakan baik apabila corpus vertebra thoracal
hanya terlihat jelas sampai T4 – T5, sebelum percabangan trachea. Vertebra
thoracal VI (T6) kebawah terlihat samar.
4. Apakah foto sudah dibuat dalam keadaan inspirasi penuh? Midpoint
hemidiafragma kanan harus berada diantara ujung anterior costa 5 dan 7.
Foto yang dibuat dalam keadaan ekspirasi menyebabkan interpretasi yang
keliru terhadap Cardiomegali dan abnormalitas bayangan basal paru

BAGIAN-BAGIAN FOTO THORAKS YANG HARUS DIPERHATIKAN :


1. Trakea, harus terlihat (luscen berarti berisi udara) dan harus ditengah. Lihatlah
apakah ada pendorongan trakea. Bifurcatio trakea (carina) normal < 90°,
bila > 90° berarti atrium terangkat.
2. Bandingkan ICS kiri dan kanan : harus sejajar, apakah ada penyempitan.
Adanya desakan atau tarikan, dapat dicurigai adanya suatu proses patologis.
3. Jantung : perhatikan besar, bentuk dan posisi jantung. Ada tidaknya
pembesaran jantung dapat ditentukan dengan rumus :
A+B
CTR (Cardio-Thoracis Ratio) = C x 100%
Keterangan :A : bagian terlebar dari jantung kanan ke garis tengah
B : bagian terlebar dari jantung kiri ke garis tengah
C : lebar toraks terlebar

Bila CTR > 50% : Kardiomegali

Pembesaran jantung
a. Atrium kiri: pinggang jantung menghilang terlihat pada posisi PA disisi
kanan dan double contour (bayangan ganda) pada sisi kiri jantung.
b. Atrium kanan: batas jantung lebih dari sepertiga clavicula dextra
c. Ventrikel kiri: apeks tertanam pada diafragma
d. Ventrikel kanan: apeks terangkat dan membulat diatas diafragma.
Jantung tear drops : jantung mengantung, ukuran (CTR) kecil, misal pada
emfisema paru.

8
4. Aorta : apakah melebar/tidak, apakah ada kalsifikasi dindingnya (bayangan
lebih radio-opak), diameter normal aorta 4 cm, dilatasi aorta: jika diameter
aorta > 4 cm, elongatio aorta: jika jarak antara puncak arcus aorta dengan
ujung medial clavicula < 1 cm. Bagian atas kanan jantung ditempati oleh aorta,
kalsifikasi aorta : bayangan radioopak sejajar permukaan aorta.
5. Menilai ke 2 sinus costophrenicus (bentuk sinus normal: tajam. Adanya efusi
pleura: sinus akan tampak tumpul. Pada superposisi mammae, gambaran sinus
dapat tertutup) dan ke 2 sinus cardiophrenicus (bentuk sinus normal : tajam.
Jika sinus cardiophrenivus tertutup perselubungan, biasanya disebabkan
karena adanya bantalan lemak pericardial atau superposisi mammae)
6. Diafragma, normal diafragma kanan lebih tinggi dari kiri. Perbedaannya 4 cm.
Bila > 4 cm: abnormal. Bentuk diafragma :
 Diafragma scalloping (berlobus-lobus)
 Diafragma bulging
 Diafragma tenting
Scalloping dan bulging bisa variasi normal atau patologi. Bila tidak normal :
pada fibrosis dan atelektasis.
Letak diafragma meninggi : hepatomegali, asites, paralisis N. Phrenicus
7. Pulmo : terdiri dari udara yang merupakan kontras negatif akan terlihat
sebagai bayangan radiolusen yang berwarna hitam. Bandingkan paru kiri dan
kanan.
Batas paru normal :
 Apex : puncak paru (atas costae) sampai clavicula (batas bawah)
 Atas : clavicula sampai costa II depan
 Tengah : costae II-IV
 Bawah : costae IV-diafragma

Hillus :
 Pada hillus terdapat : pembuluh darah, bronkus dan lymph
 KGB : putih besar, kadang bulat
 Pembuluh darah : arteri pulmonalis akan terlihat, vena pulmonalis
biasanya tidak tampak, bronkus akan tampak berwarna hitam (radiolusen)
dan bulat jika terpotong melintang.
 Normal hillus paru kiri lebih tinggi dari kanan (beda 1 kosta). Biasanya
berukuran 1,5 cm.
 Hillus melebar (bila diameternya lebih dari diameter trakea). Pada
hipertensi pulmonal : arteri melebar. Istilah kranialisasi : vena-vena yang
melebar dari hilus menuju ke apex (kranial) pada fase awal edema paru.
 Hillus kabur (tidak terlihat) : pada edema paru lanjut.
 Cuffing sign : bronkus yang terpotong tangensial, biasanya khas pada
bronkitis. Dindingnya irreguler dengan warna luscen.

Corakan Paru = corakan bronkhovasvular


 Corakan yang dibentuk oleh bayangan dinding bronkus/cabang-cabangnya
dan vaskuler yang menyebar dari hillus, makin ke lateral makin kabur.
Corakan paru bertambah bila >2/3 dari lebar paru pada paru kanan, dan >
1/3 dari lebar paru pada paru kiri.

9
8. Scapula, sanggul wanita, logam-logam yang berada dalam kantong baju dsb,
tidak boleh superimposed sehingga mengganggu interpretasi.
Baca Foto Lateral

Gambaran yang dilihat :


 Bayangan trakea dan cabang bronkus utama
 Bayangan jantung, ventrikel kanan di depan, ventrikel kiri di belakang, arcus
aorta dan aorta ascenden
 Paru, lihat corakannya
 Retrosternal space, retrocardiac space, dan mediastinum
 Sinus costophrenicus dan sinus cardiophrenicus (normal atau tumpul)

10
DAFTAR PUSTAKA

Sutton D, 1995. Textbook of Clinical Imaging, edisi ke 2. Mosby-Year Book,


Inc. St Louis Missouri.
Meschan I, 1985. Diagnostic Imaging, edisi ke 2. WB Saunders Co. Philadelphia.
Bagian Radiologi FKUI, 1987, Radiologi Diagnostik, FKUI . Jakarta.
Sudarmo SP, 1984, Pemeriksaan Kelainan-Kelainan Kardio Vaskular dengan
Radiografi Polos, UI Press, Jakarta.
Bontrager KL, 1993, Text Book of Radiographic Positioing and Related
Anatomy, Mosby Year Book. Philadelphia.
University of Florida, Anatomic Terminology : Planes of Action
http://medinfo.ufl.edu/year1/rad6190/planes_section.shtml Last Updated:
Aug 21, 2006, © 2006

11
CHECKLIST : PEMERIKSAAN FOTO THORAK
No Aspek yang Dinilai Skor
I Data umum, teliti: 0 1 2
1. Nama
2. Usia
3. Jenis Kelamin
4. Tanggal pemeriksaan
II Data teknis, mencakup:
1. Memperhatikan marker L dan R yang menunjukkan sisi
kiri atau kanan pasien
2. Memperhatikan kesimetrisan foto : ujung medial
clavicula harus sama jaraknya dengan garis tengah
(midline)
3. Memperhatikan ketepatan faktor ekspos : corpus
vertebra thoracal hanya terlihat jelas sampai T4-T5
(sebelum percabangan trachea). Vertebra thoracal VI
(T6) ke bawah terlihat samar.
4. Memperhatikan apakah foto sudah dibuat dalam
keadaan inspirasi penuh ? (Midpoint hemidiafragma
kanan harus berada diantara ujung anterior costa 5 dan
7)
5. Scapula terlempar keluar (tidak overlapping dengan
jaringan paru).
III Memperhatikan bagian foto
1. Memperhatikan keadaan tulang (scapula, clavicula,
vertebra, costae): deformitas, destruksi
2. Memperhatikan gambaran jaringan lunak (soft tissue) :
pembengkakan (swelling), udara
3. Memperhatikan trakea : harus terlihat dan harus
ditengah
4. Memperhatikan ICS kiri dan kanan : sejajar/tidak,
apakah ada penyempitan atau pelebaran.
5. Memperhatikan jantung : perhatikan besar (hitung
CTR), bentuk dan posisi jantung.
6. Memperhatikan Aorta : apakah melebar/tidak,
memanjang/tidak, apakah ada kalsifikasi (bayangan
opak)
7. Memperhatikan :
- sinus costophrenicus : tajam/tumpul
- sinus cardiophrenicus : tajam/tumpul
8. Memperhatikan Diafragma ; bentuk dan letak
9. Memperhatikan pulmo : gambaran pulmo radio lusen/
radioopak (bandingkan kiri-kanan), batas paru,
gambaran hillus, corakan bronkovaskular
IV Menyimpulkan hasil : normal/ada kelainan

12
Keterangan :
0 : tidak dilakukan
1 : dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : dilkukan dengan sempurna

Cakupan penguasaan keterampilan : skor tota/40 x 100% = %

Banda aceh, Agustus 2021

Observer

13
II. ANAMNESIS KASUS SENSITIF
dr. Syahrial, SpKJ
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ BPK-RSJ Banda Aceh

Tujuan Belajar :
Mahasiswa mampu melakukan teknik komunikasi dengan menggali &
mengumpulkan informasi seluas mungkin mengenai perjalanan alamiah penyakit
yang bersifat sensitif, sehingga berlangsung secara efektif & efisien

I. Dalam melakukan Diagnosis Fisik terhadap pasien atau kliennya, dengan


urutan pemeriksaan sebagai berikut : anamnese, palpasi, perkusi, auskultasi,
kalau perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan tambahan, yaitu pemeriksaan
melalui, EKG, laboratorium klinik, roentgen, dan lain- lain sesuai dengan
kebutuhannya.
Tulisan ini hanya membicarakan tentang Anamnese terhadap kasus sensitif
dalam sistem Diagnostik Fisis. Dokter dituntut punya ketrampilan dalam
melakukan komunikasi dan mampu memotivasi pasiennya, sehingga mau
bekerja sama untuk melaksanakan pengobatannya, diet, istirahat, sehingga
waktu penyembuhan menjadi lebih singkat.

II. Anamnese, yaitu usaha untuk mencari dan mengetahui riwayat penyakit pasien,
baik keadaan sekarang, riwayat penyakit masa lalu, maupun Riwayat
Sosialnya. Pekerjaan ini dilakukan melalui wawancara (anamnese) dengan
pasien atau keluarganya, yang terdiri dari Allonamnese dan Heteroanamnese.

Alloanamnese dilakukan melalui tatap muka antara anda sebagai dokter


dengan pasien anda (klien medik). Anda dituntut menjadi pendengar yang baik,
dalam meminta informasi pada pasien anda, anda “bukan sebagai penyidik
perkara”. Pasien harus diberikan waktu yang cukup untuk menjelaskan riwayat
penyakitnya, keluhannya, menggunakan kata-katanya sendiri. Diharapkan
perasaan yang tersembunyi didalam dirinya yang menyangkut tentang rahasia
penyakitnya. Rahasia penyakit pasien dapat terungkap juga melalui ekspresi
wajahnya (wajah sebagai media ekspresi perasaan), kata-katanya yang
digunakannya. Dokter harus mampu mengorek keterangan-keterangan khusus dari
penderita tentang perjalanan penyakitnya. Pertanyaan yang diajukan makin lama
makin mendalam, semakin khusus, sampai mencapai titik klimak. Kemudian
lanjutkan lagi wawancara anda kepada pertanyaan-pertanyaan terbuka dan santai.
Dalam komunikasi ini anda jangan membuat pertanyaan dengan jawaban “ ya atau
tidak”

Menurut Dittman, Saluran Komunikasi Perasaan, manusia menjadikan


wajahnya sebagai media ekspresi perasaan, sebagian kecil manusia juga
menyatakan perasaan melalui perilaku non verbal lainnya, antara lain gerak-gerik
anggota tubuh, ruang antar pribadi, penyuaraan, yang seluruhnya sangat
tergantung dari tingkat partisipasi, situasi dan kondisi serta latar belakang
kebudayaan komunikan (misalnya parasaan malu). Dittman mengatakan ada 3
saluran yang digunakan untuk menyatakan perasaa, yaitu:

14
1. Audible, merupakan saluran pernyataan emosi melalui bahasa dari pralinguistik,
2. Visual, merupakn saluran pernyataan emosi melalui tampilan raut wajah dan
gerakan anggota tubuh.
3. Pycho-psysiological, merupakan saluran pernyataan emosi berupa “tanda” yang
memancar dari dari fungsi gerakan-gerakan tubuh. Contoh, suara terengah-
engah, memukul-mukul kepala (gambaran ketakutan dan kebingungan).

Heteroanamnese, adalah keterangan tentang perjalanan penyakit pasien,


malalui wawancara malalui orang ketiga (orang lain), yaitu orang-orang yang
mengetahui banyak hal ihwal dan perjalanan penyakit si penderita. Pada pasien
anak, mungkin si anak tidak mampu berkomunikasi dengan baik tentang masalah
penyakitnya, maka orang tuanya yang di wawancarai, mungkin juga saudaranya,,
pada pasien dewasa termasuk teman dekatnya. Data yang diperoleh belum tentu
valid, maka perlu diadakan cross-check terhadap hasil wawancaranya dan perlu
konsistensi jawaban yang diberikan.
Pada dasarnya heteroanamnese tidak jauh berbeda dengan anamnese biasa.
Perbedaannya terletak orang atau individu yang di wawancarai atau individu yang
diminta data atau keterangannya, ialah keluarga atau orang terdekat dengan
kliennya dan yang bersangkutan mengetahui benar tentang data penyakit si klien
tersebut. Dalam pemeriksaan anamnese dokter meminta bantuan untuk dapat
mendatangkan keluarga atau temannya si klien yang benar-benar tahu tentang
keadaan si pasien. Hal ini diperlukan untuk kelengkapan data dan penegakan
diagnosis yang tepat dan benar. Heteroanamnese banyak digunakan pada pasien
anak-anak dan pasien gangguan jiwa.
Tahapan-tahapan dalam melakukan heteroanamnese, sama cara melakukan
anamnese biasa, yang perlu ditekankan identitas keduanya dicatat, bagaimana
hubungan antara pasien dengan sipemberi informasi, bagaimana kedekatannya
sehingga keterangan yang didapat betul-betul akurat.

III. ANAMNESIS KASUS SENSITIF


Anamnesis kasus sensitif meliputi anamnesis yang menyangkut informasi
yang berkaitan dengan hal-hal yang tabu, berkaitan dengan hubungan
organ seksual, pekerjaan yang memalukan, perbuatan-perbuatan yang
dilakukan klien melanggar agama atau melanggar kesusilaan, hal-hal yang
tidak umum dibicarakan sehingga dapat menurunkan martabat pribadinya,
sehingga pasien sangat enggan memberikan informasinya, walaupun
informasi tersebut sangat membantu dokter dalam menegakan diagnosisnya.
Dokter maupun pasien sering akan mendapat kesulitan dalam berkomunikasi,
dimana si pasien tidak mengemukakan semua keluhannya atau tanda-tanda
penyakit yang dideritanya, (pasien tidak berterus terang) dokter enggan untuk
menggali informasi lebih lanjut. Pasien dalam menjawab pertanyaan dokter
menggunakan bahasa isyarat yang tidak dapat di mengerti oleh dokter. Hal-hal
diatas akan dapat merugikan kedua belah pihak, dokter tidak mendapat informasi
yang lengkap, sehingga dalam memberi diagnosis tidak tetap, maka terapinya juga
tidak maksimal. Keadaan ini akan menimbulkan biaya pengobatan menjadi lebih
tinggi dan masa penyembuhan penyakit menjadi lebih lama.
Sejak pasien masuk keruang periksa dokter, seharusnya dokter sudah harus
mengetahui kemungkinan akan adanya hal-hal yang sangat sensitip dari si pasien

15
maupun dari pengantar pasien, baik sebagai orang tuanya yang mengantar
anaknya dengan retardasi mental, pasangan muda-mudi yang belum menikah,
sangsi-sangsi dalam mengutarakan keluhannya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan anamnesis pada kasus sensitif,
antara lain adalah,

- Identitas Penderita
Komunikasi antara dokter dengan pasien berlangsung sejak bertemu pertama
di kamar dokter, atau di bangsal, timbul sambung rasa awal sampai akhir
pelaksanaan anamnesis. Identitas yang diperlukan, meliputi : nama, umur, alamat
tempat tinggal, pekerjaan, nama keluarga, serta data pribadi lainnya misalnya
teman sekamar, teman sekantor, teman berkencan, cara memperoleh penghasilan
tambahan dan sebagainya. Dokter sudah harus siap dengan yang berkemungkinan
terhadap hal-hal yang sensitif, keengganan pasien mengungkapkan hal-hal yang
tabu, pasien menggunakan bahasa non verbal, ada rasa malu, berbicara lirih,
ataupun menggunakan istilah khusus. Hal ini menjadi lebih sensitif atau menjadi
lebih peka apabila menyangkut pertanyaan tentang organ kelamin, kemampaun
seksual/impotensi, pernah mengunjungi tempat prostitusi, pernah di rawat di
rumah sakit jiwa, pernah di penjara, pernah menggunakan narkoba, pernah
menggunakan jasa paranormal, penggunaan obat kuat untuk seksual dan
sebagainya.
Nama seseoang dapat menjelaskan tempat asalnya, keturunannya, pangkat
dan keturunannya, sehingga si pasien sering memberi nama samarannya dan
enggan memberikan nama lengkap serta pekerjaannya atau kedudukannya. Doker
harus berprasangka ada sesuatu yang disembunyikan pasiennya. Sering juga
pasien segan menyebutkan umur yang sebenarnya, terutama pada wanita yang
belum kawin ataupun kawin dini, minta hanya ditulis umur dewasa. Keadaan ini
juga menunjukkan sifat terbuka atau tertutup dari si pasien.
Alamat yang disembunyikan si pasien, berkaitan dengan desanya/kampungnya
terkenal kampung kambuh, kotor, banyak pemuda nakal dan sebagainya, tetapi
dapat sebaliknya, kampung muslim/perumahan elite yang bersangkutan merasa
malu atau kampungnya tercemar karena ulahnya. Si pasien memberi alamat lain
atau menyebutkan tinggal di sekitar atau seputar terminal. Informasi tentang
pekerjaan sering juga di sembunyikan, karena pekerjaannya kurang wajar,
misalnya mucikari, pekerja diskotik, wanita penghibur, lelaki penghibur,
pemulung dan sebagainya.
Status perkawinan pasien juga merupakan hal yang sensitif, misalnya kawin
sudah berkali-kali, status janda, duda, atau status pisah ranjang dan sebagainya
termasuk dalam hal yang sensitif.
Untuk mendapat yang konkrit, dokter punya sifat terbuka, mampu
berkomunikasi yang baik dan pasien tidak boleh dihakimi.

- Cara melakukan anamnese


Hambatan komunikasi, dokter sudah harus mampu mengetahui atau
mengidentifikasi sejak awal. Mengatasinya sejak terjalinnya sambung rasa,
terlihat adanya sikap malu-malu dari si pasien, sikap pasien yang berusaha untuk
menutupi informasi, pasien berbicara lirih atau sangsi-sangsi melihat kiri kiri
kanan seakan-akan rahasianya kurang terjamin karena kamar praktek dokter tidak

16
tertutup rapat, mungkin juga menggunakan istilah khusus untuk bagian badannya
yang tabu (organ kelamin). Hal-hal diatas memperlihatkan sebagai suatu isyarat
bahwa pasien mempunyai masalah yang berkaitan dengan hal-hal yang sensitif.
Kalau si dokter telah memutuskan menghadapi pasien dengan kasus sensitif,
maka dokter haruas mampu menyakinkan rahasia yang disampaikan pasien cukup
terjamin, ruang praktek juga terjamin kerahasiaannya. Dokter harus dapat
menunjukkan sikap formal sebagai dokter, berwibawa dan sopan. Dokter harus
serius dalam mendengar keluhan pasien, mampu memperhatikan bahasa non
verbal, bahasa ini dapat lebih jujur dalam menyuarakan isi hati. Dokter harus
mampu memberikan keyakinan pada pasien, data yang diberikan pasien betul-
betul untuk kelengkapan informasi medis, untuk lebih akuratnya diagnosis dan
pengobatannya yang diberikan dokter. Perhatikan pola pasien dalam
berkomunikasi, apakah suka berbicara terus terang, atau suka berbelit-belit dan
sebagainya. Kalau informasi tidak lengkap dokter harus melengkapi pada
kunjungannya yang berikutnya.
Dalam wawancara jangan dokter bertindak menebak informasi dari si kliennya,
biasanya pasien tidak merasa senang bila ditebak, biarkan pasien menjawab
dengan bebas. Gunakan pertanyaan terbuka, kecuali bila melakukan cross-check.
Penguasaan bahasa non verbal dari dokter sangat diperlukan yaitu membantu
dokter dalam menangkap semua informasi yang di sampaikan si pasien. Dokter
pria sangat sulit mendapat informasi dari pasien perempuan kalau menyangkut
informasi tentang kelainan yang menyangkut organ kelamin, juga sebaliknya
kalau dokter perempuan dengan pasien laki-laki. Dokter harus menyampaikan
pada pasiennya informasi dari si pasien sangat diperlukan untuk mampu
menegakkan diagnosa, pengobatan yang tepat, sehingga waktu pengobatan
menjadi lebih singkat.
Istilah-istilah diagnostik kedokteran, juga sering bermasalah, pasien anak yang
dibawa orang tuanya, malahan pasien orang dewasa juga tidak dapat menerima,
kalau di diagnosa sawan atau epilepsy. Orang tua barangkali mengatakan anaknya
kena penyakit santet atau kena guna-guna disetai kejang. Dokter tidak boleh
memvonis si pasien dengan sakit epilepsi atau ayan, tetapi jelaskan tentang
penyakit tersebut dapat diobati, tetapi harus kontrol dan makan obat yang teratur.
Dokter sebaiknya menjelaskan perjalanan penyakit tersebut dengan bahasa yang
di mengerti si pasien.
Istilah atau bahasa-bahasa yang sering dipakai masyarakat, dalam anamnese
keluhan sensitif harus di kuasai oleh dokter, misalnya penyakit TBC dikenal
dengan istilah flek paru, epilepsi dengan sawan/santet, gonorhoe dengan istilah
flek alat kelamin, retardasi mental dengan kurang tanggap atau kurang
perhatian. Istilah tersebut harus di mengerti si dokter, barangkali untuk menjaga
proses komunikasi yang baik dengan pasiennya, tetapi dokter harus mampu
menjelaskan pada kliennya tentang segala resiko dari penyakit tersebut, apalagi
kalau pengobatannya tidak benar karena dokter tidak mendapat informasi yang
benar dari si pasien.

- Penggalian riwayat penyakit dengan kasus sensitif


Usaha untuk mengetahui riwayat penyakit yang diderita pasien, terutama
penyakit-penyakit yang sensitif dan stressor, harus di anamnesis dengan hati-hati,
tidak mengganggu perasaan pasien. Penyakit yang masuk dalam kelompok ini

17
antara lain, anak retardasi mental, epilepsi, kasus-kasus depresi, penyakit kelamin,
gangguan seksual, deviasi seksual (lesbian, homoseksual), HIV/AIDS dan lain-
lain. Dokter sangat mengharapkan keterbukaan pasien sehingga ada kerelaan si
pasien dalam memberikan informasi. Dokter harus mampu menyakinkan pasien,
semua informasi untuk membantu menegakkan diagnostik penyakitnya, sehingga
pengobatan tetap sasaran, waktu penyembuhan/perawatan menjadi singkat,
semua informasinya adalah kerahasiaan pasien.

- Permohonan pemeriksaan bagian tubuh yang dianggap sensitif


Sebagai kelanjutan dari anamnese, dokter perlu memeriksa bagian tubuh
tertentu dari pasien yang merupakan daerah tubuh yang dianggap sangat sensitif
oleh si pasien, yang meliputi organ vital/kelamin, mammae, dubur dan
sebagainya. Dokter harus memberikan penjelasan yang tepat dan pasien harus
memberikan persetujuan sebelum tindakan dilaksanakan, beritahukan juga kadang
kala pemeriksaan ini menimbulkan rasa sakit, untuk itu si pasien diajak terus
berbicara ringan untuk mengalihkan perhatian si pasien

- Penyampaian diagnosis kasus sensitif


Dalam menginformasikan prognosis penyakit pada si pasien, barangkali
dapat menyinggung perasaan pasien, dokter seharusnya mengetahui tingkat
sensitivitas pasien dalam menerima diagnostik penyakitnya. Dokter harus mampu
menggunakan bahasa yang dipakai masyarakat tentang istilah penyakit tersebut.
Yang termasuk kelompok penyakit sensitif, antara lain retardasi mental,
epilepsi, gangguan jiwa, kelompok penyakit kelamin, TBC dll.

- Penyampaian informasi kasus sensitif


Dokter harus mampu berkomunikasi, memotivasi pasien dengan baik. Apabila
sudah terjalin sambung rasa yang mantap, biasanya pasien akan mampu menerima
dan mau melakukan dengan rela apa yang diminta dokter, untuk kesembuhan
penyakitnya. Ajak pasien mau berdiskusi tentang penyakit yang dideritanya,
dengan harapan pasien dapat membantu dalam menyelesaikan masalahnya.
Dengan pemberian informasi yang jelas serta tidak menyinggung perasaan dan
tidak mengganggu pola sentra si pasien diharapkan menimbulkan ketentraman
dalam keluarga si pasien. Hindari hal-hal yang dapat mencetuskan keributan
dalam keluarga atau pasangan suami isteri yang berkaiatan dengan terinfeksinya
salah seorang dari mereka dengan infeksi penyakit kelamin, misalnya terkena
infeksi gonorhoea, jelaskan bagaimana kemungkinan terifeksinya dan karena
adanya perselingkuhan. Kasus anak dengan retardasi mental, penyakit ini bukan
karena faktor keturunan saja, tetapi juga dapat disebabkan faktor eksternal diluar
kemampuan suami-isteri, juga dapat terjadi karena proses pertumbuhan janin
dalam kandungan. Konselor (dokter) harus mempunyai sifat kepekaan dalam
menerima dan memberi informasi dan penjelasan yang baik pada kasus-kasus
sensitif.

18
Referensi

Adams, (1995) Diagnosis Fisik, Jakarta, EGC


Alo Leliweri, (1997) Komunikasi Antarpribadi, Bandung, Citra Aditya Bakti
Delp & Manning (1996) Diagnosis Fisik, Jakarta, EGC
Gerungan, WA (1994) Psikologi Sosial, Bandung, Eresco
M.Jusuf Hanafiah & Amri Amir (1999), Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan,
Jakarta, EGC
Parsons, RD (1994) Counseling Strategies And Intervention Techniques For The
Human Services, Boston. Allyn and Bacon

19
CHECKLIST: ANAMNESIS KASUS SENSITIF
Skor
No Aspek yang dinilai 0 1 2
I Aspek keterampilan komunikasi :
1. Membina sambung rasa
- Memperlihatkan sikap menerima
- Mempersilahkan duduk
- Menyebutkan nama pasien pada awal anamnesis
2. Keterampilan mengumpulkan informasi :
- Melakukan cross check
- Menggunakan bahasa verbal yang dipahami dan non
verbal
- Mengajukan pertanyaan yang tepat
- Mampu mencatat/mengutarakan kembali secara
sistematis & benar
3. Keterampilan menjaga proses anamnesis :
- Menjadi pendengar yang baik
- Penampilan baik, ramah, berwibawa
4. Keterampilan menggali dan mendiskusikan hal yang
sensitif :
- Menunjukkan empati
- Menjelaskan kepentingan penggalian data yang sensitif

- Meyakinkan kerahasiaan data tersebut


- Memberikan informasi dengan bahasa yang mudah
dipahami terhadap hal-hal yang bersifat sensitif

20
II Aspek keterampilan menggali informasi :
5. Menanyakan identitas :
- Menanyakan nama, umur
- Menanyakan alamat dan pekerjaan
6. Menanyakan keluhan utama
7. Menggali riwayat penyakit sekarang :
- Kapan mulai
- Frekuensi
- Sifat
- Lama diderita
- Letaknya
- Penyebaran
- Akibatnya
- Pengobatannya
8. Menggali riwayat penyakit dahulu
- Ada/tidaknya penyakit sebelumnya, khususnya
berkaitan dengan keluhan
- Penyakit lain yang pernah diderita
9. Menggali penyakit keluarga dan lingkungan
- Menanyakan apakah ada anggota keluarga/tetangga
yang sakit serupa
10. Melakukan anamnesis sistem
- Keluhan sistem yang berkaitan dengan keluhan utama
- Sistem lain yang ada
Keterangan :
0 = tidak melakukan
1 = dilakukan tetapi kurang sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna
Cakupan Penguasaan Ketrampilan : Skor total ...../58 x 100% = %

Banda Aceh,……………2021

Observer

21
III. PEMERIKSAAN FOTO X RAY EKSTREMITAS
dr. Masna Dewi Abdullah, SpRad
Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUDZA

Tujuan belajar:
1. Mahasiswa mampu membuat permintaan foto ekstremitas
2. Mahasiswa mampu mengenali foto ekstremitas layak baca atau tidak
3. Mahasiswa mampu membaca foto ekstremitas normal
4. Mahasiswa mampu membaca foto ekstremitas abnormal

Prior Knowledge:
Sebelum mempelajari keterampilan ini, mahasiswa harus menguasai:
1. Anatomi ekstremitas
2. Kelainan (abnormality) pada ekstremitas

Pendahuluan
Pada pemeriksaan x-ray ekstremitas dapat memberikan informasi tentang :
1. Lesi tulang dan jaringan lunak sekitarnya
2. Adanya fracture
3. Asal / Sifat suatu lesi ( jinak/ganas)
4. Sebagai guide utk biopsy
5. Follow up perjalanan penyakit

Pemeriksaan radiologik x-ray konventional masih memegang peranan utama.


Pemeriksaan radiologi merupakan kunci diagnosis dari berbagai kelainan skeletal.
Data berupa umur, jenis kelamin, gejala, riwayat penyakit merupakan hal yang
penting dalam menginterpretasikan hasil pencitraan. Untuk mencapai hal tersebut,
diperlukan pemahaman pencitraan baik secara normal maupun yang tidak normal
(patologis, cedera )

Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya fraktur. Kadang perlu dilakukan
CT scan atau MRI untuk bisa melihat dengan lebih jelas daerah yang mengalami
kerusakan. Jika tulang mulai membaik foto rontgen juga dapat digunakan untuk
memantau penyembuhan.

Bila secara klinis ada atau diduga ada fraktur, harus dibuat 2 foto tulang yang
bersangkutan ( rule of two ), yakni
1. Two view : proyeksi anteroposterior ( AP ) dan lateral pada tulang panjang
atau proyeksi anteroposterior ( AP ) dan obliq pada manus dan pedis. Perlu
diingat bahwa bila hanya satu proyeksi yang dibuat, ada kemungkinan fraktur
tidak dapat dilihat, dan adakalanya diperlukan proyeksi khusus.
2. Two joint : gambaran yang diperoleh harus memuat dua sendi di proksimal
dan distal fraktur
3. Two extremities : khusus pada anak dibuat gambaran foto dua ekstremitas
yaitu ektremitas yang terkena cedera dan yang tidak terkena cedera
4. Two time : sebelum dan sesudah tindakan

22
Intepretasi Foto X-Ray Pada Kasus Fraktur
Untuk membaca foto rontgen ekstremitas maka terlebih dahulu harus mempunyai
pengetahuan tentang anatomi dari tulang .

Tulang panjang terbagi menjadi 3 bagian :


1. 1/3 proksimal
2. 1/3 tengah
3. 1/3 distal

Pada kasus fraktur hal yang perlu diperhatikan :


 Fracture line (bentuk garis patahan) : transversal, obliq, segmental, avulsi,
dan bentuk-bantuk patahan lainnya.
 Luas fraktur : fraktur inkomplit jika meliputi hanya sebagian retakan pada
sebelah sisi tulang. Fraktur komplit jika garis fraktur menyilang atau
memotong seluruh tulang.
 Relationship (hubungan): bergeser atau tidak. Kalau bergeser
disebut displaced, kalau tidak bergeser disebut non displaced.

Interpretasi Foto Extremitas Posisi Ap Dan Lateral

DATA UMUM
Teliti nama, usia, jenis kelamin dan tanggal pemeriksaan.
Perhatikan keterangan klinis, karena sangat menentukan interpretasi dari foto.

DATA TEKNIS
1. Perhatikan marker R dan L yang menunjukkan ekstremitas kanan atau kiri.
2. Apakah faktor expose sudah tepat? Overexposed menyebabkan kondisi
ekstremitas menjadi hyperradioopaque sehingga menyulitkan evaluasi soft
tissue sedangkan pada kondisi underexposed menyebabkan kondisi film
menjadi kehitaman sehingga kesulitan mengevalusi pada tulang (hard
tissue).
3. Gambaran yang diperoleh harus memuat dua sendi di proksimal dan distal
fraktur.

BAGIAN BAGIAN FOTO YANG HARUS DIPERHATIKAN


1. Alignment : menilai kesegarisan antara tulang satu dengan yang lain pada
persendian, kesegarisan yang dilihat tidak semata pada tulang tetapi pada
gambaran ekstremitas secara menyeluruh. Alignment tidak dianggap sebagai
garis lurus semata melainkan memperhatikan kontur ekstremitas yang dinilai
seperti foto femur dari proyeksi lateral memiliki kelengkungan tertentu dan
tidak merupakan garis lurus. Maka alignment pada femur adalah kesegarisan
femur berserta konturnya. Perubahan alignment dalam klinis dikenal sebagai
deformitas. Sehingga pada pasien dengan deformitas abnormal secara klinis,
maka gambaran radiologinya juga akan memperlihatkan perubahan alignment.

23
A B
Gambar 5.1 Foto Femur (A) alignment baik, (B) Malalignment

2. Bone (tulang)
Gambaran tulang pada foto ekstremitas selalu memperlihatkan radiopaque
dan bila diperhatikan maka radiopaque pada tulang tidak tersebar rata
tergantung dari kepadatan tulang makin padat tulang maka makin opak
gambarannya. Tepi tulang (kortek) yang keras dan padat di pinggiran tulang
terlihat lebih putih, sementara bagian tengah atau medulla lebih lucen atau
agak kehitaman. Evaluasi pada tulang meliputi penusuran dari proksimal ke
distal untuk mencari adanya diskotinuitas (terputusnya) jaringan tulang yang
merupakan gambaran fraktur atau pun adanya defek pada tulang yang
mengambarkan adanya proses lain dapat berupa neoplasma, infeksi dan lain
lain.

Gambaran kalus sering ditemukan pada foto radiologi terutama pada kasus
lama, kalus terdiri dari hard kalus dan soft kalus. Hard kalus mulai terlihat
pada minggu ke 4 sedangkan soft kalus yang dilihat berupa lintas trabekulasi
digaris fraktur terlihat pada awal minggu ke 2
3. Cartilage
Cartilage pada tulang berada di ujung distal atau proksimal yang selalu
berhadapan dengan sendi. Evaluasi pada cartilage meliputi pencarian
diskontinuitas cartilage dan adanya defek cartilage serta permukaan sendi.
Adanya diskontinuitas menandakan fraktur, adanya defek menandakan
kemungkinan neoplasma, degenaratif dan infeksi. Adanya perubahan
permukaan sendi mengambarkan proses fraktur intra artikuler, fraktur lama
atau degeneratif.
4. Soft tissue
Evaluasi pada soft tissue meliputi bagian proksimal, distal medial dan lateral
dari tulang. Pada soft tissue normal tampak gambaran radiolusen yang merata
sesuai alur tulang, sedangkan pada soft tissue yang tidak normal meliputi
swelling (pembengkakan) atau massa, gambaran ireguler dari soft tissue
menandakan kerusakan kulit dari jaringan lunak, sedangkan adanya gambaran

24
radiolusen di soft tissue menandakan adanya udara di jaringan lunak yang
sering dikaitan dengan gas ganggren dan emfisema.

KESIMPULAN :
Berdasarkan temuan pada Alignment, Bone, Cartilage dan Soft tissue ( ABCS ).

25
REFERENSI

1. Greenspan, Adam : Orthopedic Imaging, A. Practical Approach, 4th Edition,


Lippincot Williams & Wilkins, 2004
2. Meschan I : Rontgen Sign in Diagnostic Imaging, Volume 2, 1987
3. Torsten B Moeller, Pocket Atlats of Radiographic Positioning, 2nd edition,
Thieme, 2009

26
CHECKLIST :PEMERIKSAAN FOTO X RAY EKSTREMITAS

Skor
No Aspek yang dinilai
0 1 2
I Data umum, teliti :
1. Nama
2. Usia
3. Jenis kelamin
4. Tanggal pemeriksaan
II Data teknis mencakup
1. Marker L dan R sebagai pertanda kiri atau kanan
2. Ketepatan tehnik Pengambilan meliputi proyeksi
AP, Lat, Oblique,
tampak 2 sendi proksimal dan distal tidak ada
bagian yang terpotong .
3. Kondisi foto : dapat membedakan tulang dengan
jaringan lunak
III Memperhatikan bagian foto
1.Alignment (kesegarisan) menilai gambaran
perubahan ekstremitas dari kesegarisan sesuai
keadaan normalnya. Perubahan Alignment yang
terlihat difoto secara klinis dikenal dengan
deformitas
2. Bone (tulang), memperhatikan kontinuitas dan
defek tulang dari mulai kortex proksimal ke distal
dilanjutkan medulla mulai dari proksimal ke distal
Perhatikan adanya kemungkinan gambaran kalus
(pada fraktur lama) atau gambaran lintasan
trabekulasi yang menandakan adanya soft kalus
3. Cartilage (Tulang rawan) perhatikan perubahan
yang terjadi pada tulang rawan yang terdapat
diproksimal dan distal ekstremitas tersebut berupa
kontinuitas tulang dan defect yang mungkin di
temukan
4. Soft tissue atau jaringan lunak diperhatikan dari
proksimal ke distal melihat apakah ada oedema
atau tidak, selanjutnya apakah ada gambaran gas
(bayangan radiolucent) atau kalsifikasi (gambaran
radioopague) pada soft tissue dan sebagainya.
5. Buat kesimpulan akhir berdasarkan temuan pada
alignment, bone, cartilage dan soft tissue (ABCS)
IV Memberikan informasi hasil pemeriksaan dan follow
up lebih lanjut.
Keterangan :
0 : Tidak melakukan
1 : Dilakukan tapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total//26x100%= ....%
Banda Aceh,…..2021
Instruktur

27
IV. PEMASANGAN KATETER
Dr. dr. Dahril, SpU
Bagian Urologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

Tujuan Belajar :
Mahasiswa mampu melakukan pemasangan kateter urine secara aseptik dan tepat

Kateterisasi uretra adalah tindakan memasukkan kateter ke dalam buli-buli


melalui uretra sampai ke dalam vesica urinaria
Tujuan kateterisasi :
1. Tujuan diagnosis :
- Kateterisasi pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urine untuk
pemeriksaan kultur urine. Tindakan ini diharapkan dapat mengurangi
resiko terjadinya kontaminasi sample urine oleh bakteri komensal
Mengukur residu (sisa) urine yang dikerjakan sesaat setelah pasien
miksi
- Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi antara lain :
sistografi atau pemeriksaan adnya refluks vesico-ureter melalui
pemeriksaan voiding cysto-urethrography (VCUG)
- Pemeriksaan urodinamik untuk menilai tekanan intra vesika dan flow
urin
- Menilai produksi urine pada saat dan setelah operasi besar serta pasien
shock
2. Tujuan terapi :
- Mengeluarkan urine dari buli-buli pada keadaan obstruksi infravesikal
baik yang disebabkan oleh hiperplasi prostat maupun oleh benda asing
(bekuan darah) yang menyumbat uretra
- Mengeluarkan urine pada disfungsi buli-buli (neurogenic bladder)
- Diversi urine setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian bawah yaitu
pada prostektomi, vesikolitotomi
- Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi
uretra dan untuk evakuasi buli dengan kombinasi irigasi ketika urin
mengandung bahan-bahan partikel ( post transurethral resection, evakuasi
clot/ material purulent).
- Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain : sitostatika atau
antiseptik untuk buli-buli

Kateter yang dipasang untuk tujuan diagnostik secepatnya di lepas setelah


tujuan selesai, tetapi yang ditujukan untuk terapi, tetap dipertahankan hingga
tujuan terpenuhi.

Indikasi kateterisasi :
1. Retentio urine

28
2. Monitoring ketat produksi urin
3. Operasi urethra / bladder outlet
4. Buli-buli neuropathy
5. Urine sampling
6. Instilasi ke dalam buli-buli
7. Spalk urethra

Indikasi kontra :
Radang akut urethra
Trauma uretra

Komplikasi
Infeksi saluran kemih
Hematuria
Batu vesica
Striktur uretra

Macam-macam kateter
Kateter dibedakan menurut ukuran, bentuk, bahan, sifat pemakaian, system
retaining (pengunci) dan jumlah percabangan.

Keterangan :
A, B : kateter Nelaton
C, D : kateter Tiemann
E : kateter Malecot empat sayap
F : kateter Malecot dua sayap
G : kateter Pezzer (cystotomy)
H : Foley two way catheter
I : Folley three way catheter

Ukuran kateter
Ukuran kateter dinyatakan dalam skala Cheriere’s (French). Ukuran ini
merupakan ukuran diameter luar kateter. 1 Cheriere (Ch) atau 1 French (Fr) =
0,33 mm, atau 1 mm = 3 FR

Kateter yang berukuran 18 Fr artinya diameter luar kateter tersebut adalah 6


mm. Kateter yang mempunyai ukuran sama belum tentu mempunyai diameter
lumen yang sama karena perbedaan bahan dan jumlah lumen pada keteter itu.

29
Bahan kateter
Bahan kateter dapat berasal dari logam (stainless), karet (lateks), lateks
dengan lapisan silicon (siliconized) dan silikon (untuk pemasangan kateter jangka
panjang). Perbedaan bahan kateter menentukan biokompatibilitas kateter di dalam
buli-buli, sehingga akan mempengaruhi daya tahan kateter yang terpasang di buli-
buli.

Persiapan kateterisasi
1. Informasi lengkap dan informed consent (jelaskan dasar pemasangan kateter
kepada pasien)
2. Memperhatikan prinsip pemasangan kateter :
- Dilakukan secara aseptik dengan melakukan desinfeksi di meatal dan
genitalia secukupnya memakai bahan yang tidak menimbulkan iritasi pada
kulit genetalia
- Diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit pada pasien, dapat memakai gel
yang mengandung lidocaine 2% (kateter dipasang 15 menit setelah
pemberian gel)
- Dipakai kateter dengan ukuran terkecil yang masih cukup efektif untuk
melakukan drainase urine, yaitu untuk orang dewasa ukuran 16Fr-18Fr.
Kateter logam tidak digunakan pada tindakan kateterisasi pada pria karena
akan menimbulkan kerusakan uretra
- - Jika dibutuhkan pemakaian kateter menetap, diusahakan memakai sistem
tertutup yaitu dengan menghubungkan kateter pada saluran penampung
urine (urine bag)
- Kateter menetap dipertahankan sesingkat mungkin sampai dilakukan
tindakan definitif terhadap penyebab retensi urine. Makin lama kateter
dipasang, penyulit berupa infeksi atau cedera uretra semakin mungkin
terjadi.

Teknik Kateterisasi
1. Pada Pria
- Baringkan pasien
- Dokter berdiri disebelah kiri pasien
- Dokter memakai sarung tangan steril
- Setelah dilakukan desinfeksi pada penis dan daerah sekitarnya, daerah
genetalia dipersempit dengan kain steril (doek steril)
- Dimasukkan jelly yang mengandung lidocain 10 cc melalui muara uretra
externa
- Kateter dipegang seperti memegang pensil, kemudian dimasukkan ke
dalam muara uretra eksterna

30
- Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah
bulbomembranasea (daerah sfingter uretra eksterna) akan terasa tahanan,
dalam hal ini terus dorong kateter tanpa tenaga yang berlebihan, dan
pasien diperintahkan untuk mengambil napas dalam/menelan supaya
sfingter uretra eksterna menjadi lebih relaks. Kateter terus di dorong secara
lembut hingga masuk ke dalam buli-buli yang ditandai dengan keluarnya
urine dari lubang kateter. Bila urin tidak keluar, lakukan penekanan di
daerah suprapubis, dan bila tetap tidak keluar lakukan spooling dengan 20
mL saline kemudian aspirasi. Perhatikan urine : jernih, keruh, merah,
volume total (dicatat). Bila keadaan buli sebelumnya sangat distensi (pada
pasien BPH) dan urine inisial keluar secara cepat, sebaiknya pengosongan
dilakukan secara bertahap (selama 30 – 60 menit) untuk menghindari
terjadinya hematuria akibat dekompresi cepat atau ex vacuo hematuria.
- Kateter terus di dorong hingga masuk ke buli-buli lagi hingga percabangan
kateter menyentuh meatus uretra eksterna
- Balon kateter dikembangkan dengan 5-10 ml air steril
- Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan urine bag
- Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha bagian
proksimal. Fiksasi kateter yang tidak tepat, yaitu yang mengarah ke kaudal,
akan menyebabkan terjadinya penekanan pada uretra bagian peno skrotal
sehingga terjadi nekrosis. Selanjutnya di tempat ini akan timbul striktura
uretra atau fistel uretra.

31
2. Pada Wanita
Berbeda dengan pria, teknik pemasangan kateter pada wanita jarang
menjumpai kesulitan, karena uretra wanita lebih pendek. Pada pemasangan kateter
pada wanita, operator berdiri di sebelah kanan pasien. Kesulitan yang sering
dijumpai adalah pada saat mencari muara uretra karena terdapat stenosis muara
uretra atau tertutupnya muara uretra oleh tumor uretra/tumor vagina/serviks dan
obesitas atau pun perubahan-perubahan anatomis akibat penuaan.

Kesulitan dalam memasukkan kateter :


- Pada pria kateter sering tertahan di uretra pars bulbosa yang bentuknya seperti
huruf “S”
- Ketegangan dari sfingter uretra eksterna karena pasien merasa kesakitan dan
ketakutan

32
- Terdapat sumbatan organik di uretra yang disebabkan batu uretra, striktur
uretra, kontraktur leher buli-buli, atau tumor uretra

Ketegangan sfingter uretra eksterna dapat diatasi dengan :


- Menekan tempat itu selama beberapa menit dengan ujung kateter sampai
terjadi relaksasi sfingter dan diharapkan kateter dapat masuk dengan lancar ke
buli-buli
- Pemberian anastesi topikal berupa campuran lidokain hidroklorida 2% dengan
jelly 10-20 ml yang dimasukkan per-uretram, sebelum dilakukan kateterisasi
- Pemberian sedatif per enteral sebelum kateterisasi
Pemakaian kateter menetap akan mengundang timbulnya beberapa penyulit
jika pasien tidak merawatnya dengan benar. Karena itu beberapa hal yang perlu
dijelaskan pada Pasien adalah :
Pasien harus banyak minum untuk menghindari terjadinya enkrustasi pada
kateter dan tertimbunnya debris/kotoran dalam buli-buli
1. Selalu membersihkan nanah, darah dan getah/sekret kelenjar periuretra yang
menempel pada meatus uretra/kateter dengan kapas basah
2. Jangan mengangkat/meletakkan kantong penampung urine karena dapat
terjadi aliran balik urine ke buli-buli
3. Jangan sering membuka saluran penampung yang dihubungkan dengan kateter
karena akan mempermudah masuknya kuman
4. Mengganti kateter setiap 2 minggu sekali dengan yang baru untuk kateter jenis
lateks atau 4 minggu sekali untuk jenis silikon.

Penyulit yang bisa terjadi pada tindakan kateterisasi :


- Lesi mukosa
- False route
- Hematuria
- Uninhibitory detrusor contraction
- Infeksi
- Bakteriuria persisten
- Uretritis, abses, fistel
- Batu buli-buli
Kateter tidak dapat dibuka, mungkin diakibatkan oleh :
- kesalahan pabrik, pernah di klem (dijepit) atau karena pemasangan terlalu
lama. Dapat diatasi dengan : isi eter ± 10 ml atau tusuk jarum dengan USG.
Kateterisasi gagal mungkin diakibatkan :
- Salah teknik
- Striktura uretra
- Batu “impacted”
- Kontraktur leher buli-buli

Apabila kateterisi gagal, maka indikasi untuk dilakukannya sistotomi


(pembuatan lubang di daerah buli).

33
CHECKLIST : PEMASANGAN KATETER

No Aspek yang dinilai Skor


0 1 2
1. Persiapan
a. Memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap dan jujur
tentang cara dan tujuan pemeriksaan & efek yang
ditimbulkan, serta meminta persetujuan pasien
b. Mempersiapkan alat dan bahan: kateter urine dengan ukuran
sesuai, urine bag, spuit 5 cc/10cc, akuades & NaCl 0,9%,
doek steril, sarung tangan steril, pinset, jelly yang
mengandung obat anestesi, povidone iodine
c. Meminta pasien untuk berbaring
d. Dokter berdiri disebelah kiri pasien (pasien laki-laki)
(kecuali kidal)
e. Dokter mencuci tangan dan memakai sarung tangan steril
secara aseptik
f. Mengetes bahan kateter
2. Teknik
a. Melakukan desinfeksi area muara uretra eksterna sampai
perineum, kemudian membatasi dengan menggunakan doek
steril
b. Membuat larutan lubricant (2cc lidocaine + 8cc gelly) dalam
spuit 10cc lalu menyemprotkan secara gentle kedalam
uretra : dewasa (10cc), anak-anak (3-5cc) dan biarkan selama
3-5 menit
c. Memasukkan kateter dengan menggunakan pinset secara
perlahan
d. Pada saat terasa tahanan (daerah bulbomembranasea),
meminta pasien untuk rileks misalnya dengan menelan atau
menarik napas dalam agar sfingter uretra eksternal relaks
e. Mendorong terus kateter hingga percabangan kateter
menyentuh meatus uretra eksterna
f. Bila urin keluar dari lubang kateter, ditampung dengan
kidney basin dan diukur jumlahnya. Perhatikan urine :
volume, dan warna (jernih, keruh, merah)
g. Mengembangkan balon kateter sesuai volume kateter
bersangkutan (5-10 ml) dengan aquades steril, memasang
urin bag lalu kateter ditarik mundur sampai tertahan oleh
balon
h. Bila urine tidak keluar, uji coba dengan memasukkan NaCl
0,9 % 10 cc, kemudian tarik kembali. Apabila gagal,
kateterisasi dihentikan

34
i. Membersihkan kembali area genetalia dan doek steril dibuka
j. Daerah antara ujung penis dan kateter ditutup dengan kasa
k. Memfiksasi kateter menggunakan plester di daerah inguinal
atau perut bagian bawah (suprapubik)
3. Memberikan informasi bahwa pemasangan telah selesai
dan follow up lebih lanjut
4. Menuliskan laporan pemasangan dalam rekam medik
(termasuk berapa volume aquades yang dipakai untuk
mengembangkan balon)

Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi kurang sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna
Cakupan penguasaan keterampilan: Skor total ......../36 x 100% = %

Banda Aceh,………………2021

Observer

35
V. PEMERIKSAAN PAYUDARA (BREAST EXAM)

dr. Mirnasari Amirsyah, Sp.BP-RE


dr. Syamsul Rizal, Sp.BP-RE
Bagian/SMF Bedah
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA

Tujuan Belajar :
Mahasiswa mampu melakukan teknik pemeriksaan payudara (Breast Exam)
secara sistematis dan benar.

Prior Knowledge
Sebelum mempelajari keterampilan ini, mahasiswa harus menguasai:
 Anatomi Payudara
 Fisiologi Payudara
 Patofisiologi Payudara

PENDAHULUAN
A. ANATOMI
Payudara perempuan dewasa terletak antara iga II sampai dengan VI dari sternum
sampai garis aksilaris anterior, diselimuti oleh fascia pektoralis superfisialis. Tiap
payudara terdiri dari 15-20 lobus dan tiap lobus terdiri dari sejumlah lobulus dan
asini. Lobulasi terjadi setelah ovulasi pertama. Duktus dan salurannya akan
mengalirkan isinya ke puting susu.

Secara embriologis terdapat garis susu yang dimulai dari ketiak dan berlanjut ke
pubis dan bagian dalam paha. Perpanjangan dari jaringan payudara ke ketiak
disebut tail of spence, yang harus dibedakan dengan kelenjar limfe ketiak. Bentuk
payudara tergantung dari jenis kelamin, usia dan tipe seseorang. Puting susu pada
laki-laki kurus terlentang setentang iga IV dan laki-laki gemuk pada iga V,
sedangkan pada wanita letaknya 1 iga lebih rendah.

Diantara usia 10-12 tahun tidak jarang ditemukan payudara yang asimetris namun
tidak berbahaya dan dapat menjadi simetris kembali. Pada wanita dewasa dapat
pula ditemukan payudara yang sangat besar (hipertrofi virginal) yang terasa berat
dan sakit. Pada laki-laki prapubertas dapat ditemukan pembengkakan dibawah
areola (hiperplasia diskoid), yang terasa sakit tetapi akan menghilang sendiri.

Arteri payudara berasal dari arteri mammaria interna, torakalis lateral, dan cabang
pektoral dari arteri akromiotorakalis. Vena-vena subkutan superfisial masuk ke
vena mammaria interna atau vena-vena leher, sedangkan vena-vena profunda
berhubungan dengan arterinya. Aliran limfe payudara pada prinsipnya melalui
limfe pektoral lateral ke kelenjar ketiak dan dari bagian medial ke kelenjar
mammaria interna. Jaringan limfe ini memasuki seluruh dinding dada dan
berhubungan dengan jaringan limfe payudara sisi lain.

36
B. HISTOLOGI
Payudara terdiri dari kelenjar alveolar multiple, yang membentuk lobulus.
Duktus terminalis dilapisi epitel kolumnar. Sinus laktiferus di daerah subareolar
dilapisi epitel skuamosa.

C. FISIOLOGI DAN FUNGSI

 Fisiologi
Payudara ini merupakan sasaran kelenjar endokrin. Perubahan kadar
hormon akan merubah bentuk makro dan mikroskopisnya.
1. Masa pubertas
Dapat dikatakan bahwa estrogen merupakan satu-satunya hormon yang
berpengaruh sampai 1-2 tahun setelah menarce pada saat belum ada ovulasi.
Fungsi estrogen ini adalah memperbesar payudara melalui perpanjangan
duktus dan perbanyakan sel sehingga lobus membesar; memperbanyak
vaskularisasi; memperbesar isi dan elastisitas; dan merangsang penempatan
lemak. Pada wanmita dewasa dan matang, payudara akan dipengaruhi juga
oleh progesteron.
2. Masa siklus haid
Selama siklus haid, bentuk dan kekenyalan payudara akan berubah-ubah.
Tiga-empat hari menjelang haid, estrogen dan progesteron meninggi sehingga
semua organ membesar dan air tertahan. Setelah haid ia akan kembali seperti
semula walaupun tidak persis benar karena beberapa bagian kecil terus
berkembang ke arah noduler. Perubahan keadaan payudara tersebut di atas
mempengaruhi saat yang baik untuk pemeriksaan.
3. Masa hamil dan melahirkan
Pada masa hamil perubahan fisiologisnya lebih besar. ASI mulai dibentuk dan
hormon-hormon lain (laktogen plasenta, prolaktin, khorionik gonadotropin)
mulai dikeluarkan disamping estrogan dan progesteron yang memegang
peranan penting dalam mempersiapkan payudara untuk siap disusui. Setelah
melahirkan, hormon estrogen dan progesteron menghilang, sebaliknya
prolaktin meninggi dengan akibat jumlah sel ASI meninggi. Tiga bulan
setelah ASI berhenti, payudara akan kembali ke bentuk semula dengan sedikit
pembesaran.
 Fungsi
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa fungsi payudara adalah untuk
menyusui dan juga berfungsi sebagai sex appeal.

D. TEKNIK PEMERIKSAAN PAYUDARA.

1. INSPEKSI
Anamnesa harus dilanjutkan dengan inspeksi visual. Untuk menghindari
kecanggungan dan kesalahpahaman, pemeriksa harus memberitahu pasien bahwa
inspeksi akan dilakukan dan menjelaskan apa-apa saja yang dinilai selama
pemeriksaan. Pasien harus duduk dengan kedua tangan : (1) Disamping, (2)
menekan pinggang dengan kuat, untuk mengkontraksikan otot pektoralis mayor
sehingga bila ada asimetri atau benjolan akan terlihat dengan jelas, (3) ke atas

37
kepala, sehingga benjolan bagian interior akan terlihat.

Insfeksi dari semua sisi dan harus:


 Diperiksa asimetri pada bentuk dan kontur (termasuk perubahan yang tak
kentara)
 Diperiksa perubahan kulit, berupa eritema, retraksi atau cekungan, dan
perubahan putting susu. Tanda-tanda fisik yang berhubungan kanker payudara
disingkat BREAST, yaitu Breast mass,Retraction, Edema, Axillarymass, Scaly
nipple (putting bersisik), dan Tender breast (nyeri).

Teknik Inspeksi Payudara


Melakukan Inspeksi payudara (pasien dalam posisi duduk dan meminta pasien
untuk membuka pakaiannya)
 pasien diminta untuk duduk dengan kedua tangan dalam posisi: (1) disamping,
(2) menekan pingang lebih kuat, dan (3) ke atas kepala.
 Pemeriksaan dilakukan dari arah depan dan samping.
 Lakukan penilaian terhadap ukuran, simetris atau tidak, bentuk, kulit
sekitarnya, jaringan parut serta puting dan areola apakah terdapat perubahan
kulit yang dapat berupa eritema, retraksi, perubahan puting susu maupun
discharge.

Temuan pada inspeksi dapat dibandingkan dengan data di masa lalu. Inspeksi
memakan waktu yang paling singkat dari seluruh pemeriksaan.

2. PALPASI
Setelah diinspeksi, setiap payudara dipalpasi beserta nodus limfe di sekitarnya.
Untuk menghindari kecanggungan dan kesalahpahaman, pemeriksa harus
memberitahu pasien bahwa palpasi akan dilakukan dan menjelaskan apa-apa saja
yang dinilai selama pemeriksaan. Palpasi memberi kesempatan untuk diskusi
tentang variasi normal dari karakteristik payudara dan pentingnya seorang wanita
untuk terbiasa dengan karakteristik payudaranya. Ketelitian sangat penting;
seluruh jaringan payudara harus diperiksa beserta nodus limfe di sekitarnya.
Palpasi yang benar mencakup lima karakteristik kunci:
1. Posisi: pasien harus duduk untuk palpasi limfonodus aksilar, supraklavikular,

38
dan infraklavikular. Pasien harus duduk lalu berbaring untuk palpasi payudara,
dengan tangan ipsilateral di atas kepala dan meletakkan bantal kecil di bawah
bahu/punggung bawah pada sisi payudara yang diperiksa. Pemeriksa harus
bisa melihat seluruh daerah yang diperiksa.
2. Perimeter: setiap jaringan payudara terbentang dengan bentuk pentagon
(berlawanan dengan persepsi tradisional bahwa payudara berbentuk kerucut).
Pemeriksa harus menggunakan tanda-tanda berikut sebagai patokan area:
mengarah ke bawah dari garis mid-aksiler, melintasi bukit payudara pada iga
ke-5 atau 6, ke atas sisi lateral sternum, melintasi clavicula, dan kembali ke
mid-aksilla.
3. Pola: keseluruhan jaringan payudara harus dipalpasi dengan pola “bidang
vertikal”. (sebuah analisis yang sistematik menunjukkan kelebihan pola
bidang vertikal dibandingkan pola lingkaran konsentris dan pola jari-jari radial
dalam hal ketelitian dan cakupan). Jika telah dilakukan mastektomi, maka
dinding dada, kulit, dan insisi harus diperiksa.
4. Teknik : pemeriksa harus menggunakan ujung tiga jari tengah untuk
memeriksa setiap payudara. Palpasi dengan gerakan sirkular searah jarum jam.
Jaringan dekat puting harus dipalpasi, jangan diremas untuk menghindari
keluarnya cairan dan ketidaknyamanan. bila keluar cairan berwarna merah
atau darah harus dievaluasi lebih lanjut. Jaringan payudara di kuadran atas-
luar dan di bawah areola dan puting harus diperiksa seksama, karena
merupakan tempat tersering timbulnya kanker.

5. Penekanan: ada tiga tipe penekanan: ringan, sedang, dan kuat, sesuai
jaringan subkutan, medium dan dalam pada dinding dada. Sesuaikan
palpasi dengan bentuk, ukuran, dan konsistensi jaringan, dan sesuaikan
penekanan dengan faktor-faktor lain seperti ukuran payudara ataupun ada-
tidaknya implan payudara. Implan yang benar dipasang di belakang
jaringan payudara, maka teknik pemeriksaannya sama seperti pada
payudara tanpa implan.

Teknik Palpasi Payudara


i. Pasien dalam posisi berbaring
 Meminta pasien untuk berbaring, bahu diganjal dengan bantal, tangan
diletakkan dibelakang kepala, pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien.

39
 Melakukan palpasi pada payudara yang sehat terlebih dahulu.
 Melakukan palpasi payudara dengan menggunakan ujung tiga jari tengah
bagian palmar dengan gerakan memutar searah jarum jam, nilai
konsistensinya, elastisitas, kekenyalan, nodul ataupun massa.
 Melakukan palpasi nipple dan areola, nilai : elastisitas, discharge, retraksi,
pendataran, dan apakah terdapat edema.
 Pemeriksaan dilakukan pada kedua payudara dengan cara yang sama.

ii.Tehnik palpasi kelenjar limfe


 Pasien dalam posisi duduk berhadapan dengan pemeriksa.
 Melakukan palpasi kelenjar limfe axilla, letakkan lengan ipsilateral pasien di
atas bahu pemeriksa. Dengan jari tangan yang berlawanan raihlah sejauh
mungkin puncak dari axilla dan palpasi dari atas sampai ke bawah, daerah
anterior sepanjang M.pectoralis dan daerah posterior sepanjang M.Latissimus
(sehingga membentuk segitiga dengan puncaknya bagian atas axilla).
Beberapa nodul kecil (<1 cm) dapat teraba terutama pada pasien yang kurus.
Nilai apakah terdapat pembesaran, kekenyalannya dll.
 Melakukan palpasi kelenjar limfe supraklavikular, nilai apakah terdapat
pembesaran, kekenyalannya dll.
 Melakukan palpasi kelenjar limfe infraklavikular, nilai apakah terdapat
pembesaran, kekenyalannya dan lain-lain.
 Melakukan palpasi kelenjar limfe mammaria interna, nilai apakah terdapat
pembesaran, kekenyalannya dan lain-lain

40
Lokasi kelenjar limfe payudara dan jaringan sekitarnya

Teknik palpasi kelenjar limfe axilla, supraklavikular, dan infraklavikular

Lamanya pemeriksaan tidak ditentukan untuk beberapa alasan. Pertama,


ketelitian lebih penting daripada efisiensi waktu. Sebagai tambahan, variasi
faktor-faktor seperti ukuran payudara, keempukan, kekenyalan, berat badan, dan
faktor-faktor resiko dapat mempengaruhi waktu yang dibutuhkan untuk
pemeriksaan.

41
6. PENAFSIRAN DAN PELAPORAN
Laporan harus berisi ringkasan riwayat pasien dan deskripsi atas penafsiran
hasil pemeriksaan, apakah normal atau tidak. Jika abnormal, harus dicantumkan
temuan-temuan pada inspeksi dan palpasi, termasuk perubahan pada kulit dan
putting, ada/tidaknya cairan puting, ada/tidaknya massa atau asimetri, dan
ada/tidaknya limfonodus yang teraba.

Tanggung jawab utama untuk implementasi pada klinisi dan organsisasi


pelayanan kesehatan. .
Fungsi utama pemeriksaan klinis payudara adalah untuk mengidentifikasi
abnormalitas yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut; pemeriksaan klinis
saja tidak cukup untuk membedakan kelainan jinak atau ganas. Penafsiran hasil
pemeriksaan klinis cukup rumit. Variasi karakteristik pasien dapat mempengaruhi
penafsiran, yaitu usia, paritas, kepadatan jaringan dan nodularitas, status
menopause, fase siklus haid, dan riwayat penyakit.
Sebagai contoh,
keluarnya cairan bercampur darah dari putting susu adalah normal selama
trimester terakhir kehamilan dan tiga bulan pertama menyusui, namun pada
wanita yang tidak hamil atau tidak menyusui lain ceritanya. Demikian pula
eritema kulit atau limfedema pada wanita yang mendapat radioterapi tidak
membutuhkan follow up serius, namun pada wanita yang lain maka lain pula
ceritanya. Tantangan yang serius ada pada temuan nodularitas dan kekenyalan
payudara, yang bervariasi menurut individu atau bahkan menurut waktu pada satu
indvidu. Sebagai contoh, peningkatan nodularitas bisa jadi normal selama fase
luteal dari siklus haid, namun pada saat lain bisa berarti patologis yang harus
difollow up serius.

Interpretasi
Interpretasi mencakup tiga unsur: identifikasi karakteristik payudara dan
limfonodus yang dapat dilihat dan dipalpasi; penggunaan istilah yang tepat untuk
masing-masing karakteristik; dan pemilihan follow-up yang tepat untuk setiap
temuan. Unsur-unsur interpretasi dan pelaporan yang dijelaskan berikut adalah
kerangka kerja umum, yang menjelaskan temuan inspeksi dan palpasi, dan
melaporkannya dalam bentuk rekomendasi untuk follow-up. Interpretasi dan
pelaporan tidak selamanya mudah dilakukan, sebagai contoh pada wanita dengan
payudara yang sangat noduler. Peranan pemeriksaan klinis ini adalah untuk
identifikasi temuan yang dapat dilihat atau diraba; jinak atau ganasnya hanya
dapat ditentukan dengan evaluasi lebih lanjut.
Secara umum, hasil pemeriksaan dapat dilaporkan dalam dua cara:
 Normal/negatif: tidak ada abnormalitas pada temuan inspeksi dan palpasi.
 Abnormal: perbedaan hasil pemeriksaanantara payudara kiri dan kanandapat
menjadi dasar rekomendasi untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Pelaporan
Pelaporan harus mencakup deskripsi dari setiap temuan dengan bahasa yang tepat,
jelas dan spesifik. Positif atau negatifnya interpretasi dari setiap temuan
menentukan langkah-langkah lebih lanjut.

42
Pelaporan harus disusun menurut urutan pemeriksaan. Sebagai contoh dapat
dilihat sebagai berikut.

Hasil Pemeriksaan Normal/Negatif


 Riwayat klinis – jelaskan:
o Screening yang telah dilakukan.
o Perubahan pada payudara.
o Ada-tidaknya resiko kanker payudara.
o Faktor hormonal pada saat pemeriksaan (cth: siklus haid, kehamilan,
menyusui, kontrasepsi hormonal, dan terapi hormonal).
 Inspeksi payudara – jelaskan:
o Simetris-tidaknya bentuk payudara dan ada-tidaknya perubahan putting
dan areola.
o Jaringan parut.
 Palpasi payudara – jelaskan:
o Nodularitas:
 Nodularitas normal bukanlah kondisi fibrokistik.
 Keempukan payudara siklik yang normal bukanlah kondisi
patologis.
o Simetri.
o Keempukan (fokal vs general dan konstan vs intermitten).
 Palpasi limfonodus – jelaskan:
o Nodus axilla
o Nodul supraklavikular dan infraklavikular
o Nodus mammaria interna.
 Follow-up.

Temuan Abnormal :
 Riwayat klinis – jelaskan :
o Screening yang telah dilakukan.
o Perubahan pada payudara.
o Ada-tidaknya resiko kanker payudara.
o Faktor hormonal pada saat pemeriksaan (cth: silus haid, kehamilan,
menyusui, kontrasepsi hormonal, dan terapi hormonal).
 Inspeksi – jelaskan:
o Kontur (retraksi kulit, cekungan). .
o Warna (eritema).
o Tekstur (penebalan kulit atau limfedema).
o Sisik atau retraksi pada putting.
o Inversi putting (usia atau onset pada usia dewasa).
o Lokasi temuan abnormal atau massa menurut arah jarum jam dan pada
sisi mana.
o Ukuran abnormalitas.

43
 Palpasi payudara – jelaskan (untuk setiap temuan abnormal):
o Massa tiga dimensi atau penebalan dua dimensi.
o Niple
 Lokasi tiga dimensional (subkutan, medium, dekat dinding dada,
menurut arah jarum jam).
 Ukuran.
 Bentuk (bundar, bujur, irreguler, lobular, atau penojolan dari massa
sentral).
 Mobilitas (mobil, terfiksir pada kulit atau dinding dada).
 Konsistensi (lunak, sama seperti jaringan sekitarnya, keras).
 Tekstur eksternal (lembut, irreguler, benjolan di permukaan luar
massa).
o Niple discharge.
 Spontaneous.
 Warna.
 Sisi sebelah mana.
o Follow up
Harus ada follow-up standar yang menghasilkan penanganan yang
kontinyu sehingga didapat hasil yang beresolusi tinggi. Follow up adalah
komponen final sekaligus penting dilakukan pada pemeriksaan klinis
payudara; setiap temuan membutuhkan follow up yang berbeda-beda.

44
Checklist :Breast Exam
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Mempersiapkan perasaan pasien untuk menghindari rasa
takut dan stres sebelum melakukan pemeriksaan
payudara :
i. Memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap dan jujur
tentang cara dan tujuan pemeriksaan.
ii. Memberitahukan kemungkinan adanya rasa sakit atau tidak
nyaman yang timbul selama pemeriksaan dilakukan.
iii. Meminta pasien untuk membuka pakaian bagian atas
2 Pemeriksaan dalam posisi duduk
a. Melakukan inspeksi payudara
 Pasien meletakkan kedua tangan : (1) disamping, (2)
menekan pinggang dengan siku ditarik ke arah belakang,
(3) ke atas kepala.

 Pemeriksaan dilakukan dari arah depan dan samping

 Lakukan penilaian terhadap ukuran, simetris atau tidak,


bentuk, kulit sekitarnya, jaringan parut serta puting dan
areola apakah terdapat perubahan kulit yang dapat berupa
eritema, retraksi, perubahan puting susu maupun
discharge.

b. Melakukan palpasi kelenjar limfe

 Posisi pasien dan pemeriksa duduk saling berhadapan

 Melakukan palpasi kelenjar limfe axilla, nilai apakah


terdapat pembesaran, kekenyalannya dll.

 Melakukan palpasi kelenjar limfe supraklavikular, nilai


apakah terdapat pembesaran, kekenyalannya dll.

 Melakukan palpasi kelenjar limfe infraklavikular, nilai


apakah terdapat pembesaran, kekenyalannya dll.

 Melakukan palpasi kelenjar limfe mammaria interna, nilai


apakah terdapat pembesaran, kekenyalannya dll.

3 Pemeriksaan dalam posisi berbaring


a. Meminta pasien untuk berbaring di atas tempat tidur, bahu
diganjal dengan bantal, tangan diletakkan dibelakang

45
kepala dan pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien.

b. Melakukan Inspeksi payudara, lakukan penilaian terhadap


ukuran, simetris atau tidak, bentuk, kulit sekitarnya,
jaringan parut serta puting dan areola apakah terdapat
perubahan kulit yang dapat berupa eritema, retraksi,
perubahan puting susu maupun discharge.

c. Melakukan palpasi pada sisi payudara yang sehat terlebih


dahulu

d. Melakukan palpasi payudara dengan menggunakan ujung


tiga jari tengah dengan gerakan sirkular, nilai
konsistensinya, elastisitas, kekenyalan, nodul ataupun
massa.

e. Melakukan palpasi nipple dan areola, nilai : elastisitas,


discharge, retraksi, pendataran, dan apakah terdapat
edema.

f. Pemeriksaan dilakukan pada kedua payudara dengan cara


yang sama.

6 Memberikan informasi hasil pemeriksaan dan follow up


lebih lanjut.

Keterangan :
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi kurang sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna

Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total ...../36 x 100% = %

Banda Aceh,………..2021

Instruktur

46
VI. BASIC LIFE SUPPORT
Dr.dr. Zafrullah Khany Jasa, SpAn., KNA
Bagian Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

Tujuan Belajar : Mahasiswa mampu melakukan basic life support (BLS)

Basic Life Support (BLS) adalah tingkat pertolongan yang dapat diberikan
pada pasien dengan masalah yang mengancam nyawanya sebelum pasien tersebut
mendapat pertolongan medis yang lebih lengkap. BLS dapat dilakukan oleh
tenaga medis yang terlatih termasuk personil lapangan atau oleh siapapun yang
telah memperoleh pelatihan BLS. BLS umumnya diterapkan pada fase pra-rumah
sakit dan dapat dilakukan tanpa instrument khusus.

Pendahuluan

Banyak negara yang memiliki protap tentang bagaimana penerapan BLS


yang sesuai untuk negara tersebut. Pada umumnya BLS tidak menggunakan obat-
obatan dan prosedur invasif, yang merupakan salah satu perbedaan BLS dari
Advanced Life Support (ALS). Karena prosedurnya yang relatif sederhana, BLS
selayaknya dapat dikuasai oleh berbagai profesi, seperti polisi, pemadam
kebakaran, dsb.

Resusitasi yang dilakukan pada BLS dapat mempertahankan kondisi pasien


sebelum mendapatkan pertolongan yang lebih lanjut lewat ALS. Atas dasar itulah,
petugas yang melakukan BLS harus juga menguasai teknik komunikasi dengan
petugas yang akan melakukan ALS.

Basic Life Support terdiri atas sejumlah teknik assessment (penilaian) dan
resusitasi yang difokuskan pada “ABC” untuk fase pra-rumah sakit:

 Airway: Melakukan pengamanan dan kemudian mempertahankan jalan


nafas, termasuk penggunaan jalan nafas bantuan seperti oral-pharyngeal
airway atau nasa-laryngeal airway

47
 Breathing: aliran udara selama pernafasan, baik alami maupun artifisial,
atau dibantu dengan pernafasan darurat
 Circulation: perfusi darah ke seluruh tubuh, dibantu dengan resusitasi
jantung dan paru (RJP)

BLS juga mencakup teknik transportasi pasien, seperti perlindungan


vertebra servikal maupun di bawahnya dan pencegahan cedera tambahan akibat
kesalahan prosedur.

Airway

Gangguan airway (jalan nafas) dapat timbul secara perlahan atau mendadak
dan dapat bersifat total atau sebagian (parsial). Walaupun bukan merupakan tanda
pasti, adanya takipnea harus dipikirkan juga sebagai tanda adanya adanya
gangguan jalan nafas. Sedangkan tanda-tanda objektif sumbatan jalan nafas
adalah sebagai berikut:

1. Lihat (Look) apakah pasien mengalami agitasi (kesan hipoksia) atau tampak
bodoh (kesan hiperkarbia). Selain itu dapat pula dilihat adanya tanda-tanda
sianosis sentral atau perifer, serta adanya penggunaan otot-otot pernafasan
tambahan baik pada otot-otot leher, maupun otot dinding dada (retraksi
interkostal).
2. Dengar (Listen) adanya suara nafas abnormal, seperti mendengkur (snoring),
berkumur (gargling), bersiul (crowing sound, stridor), atau parau (hoarseness,
dysphonia) yang mungkin disebabkan sumbatan faring atau laring. Pasien
gaduh-gelisah atau delirium mungkin juga disebabkan oleh hipoksia akibat
gangguan jalan nafas.
3. Raba (Feel) lokasi trakea.

Adapun cara mempertahankan jalan nafas yang adekuat adalah sebagai berikut;
1. Pada pasien yang telentang, jalan nafas dibuka dengan metode chin-lift
(mengangkat dagu) dan head-tilt (kepala tengadah). Letakkan satu tangan
pada dahi pasien, tekan ke bawah-belakang untuk mendongakkan kepala
pasien. Jari-jari tangan yang lain diletakkan di bawah mandibula dan
digunakan untuk mengangkat dagu pasien. Dapat pula diakukan jaw-thrust
dengan memegang angulus mandibula kiri dan kanan, dan mendorong
mandibula ke depan. Head-tilt tidak dilakukan pada kasus trauma, terutama
pada trauma yang dicurigai adanya cidera vertebra servikal. Kecurigaan
tersebut harus muncul pada kasus-kasus berikut; cedera/fraktur multipel,
penurunan kesadaran tanpa sebab yang jelas dan adanya tanda-tanda cedera di
atas klavikula. Hal ini penting dipahami untuk mengantisipasi akibat lebih
buruk lagi apabila terjadi cedera vertebra servikal.

2. Pada kasus sumbatan jalan nafas oleh benda asing, yang ditandai oleh sesak
nafas, batuk, dan tanda khas berupa “mencengkeram” leher, tindakan yang
dilakukan didasarkan pada tingkat sumbatan. Bila pasien asianotik, mampu
batuk dengan kuat, tidak dijumpai retraksi atau penggunaan otot-otot nafas
tambahan, dan bisa bicara, berarti sumbatan yang terjadi bersifat parsial

48
dengan respirasi yang masih adekuat. Pada pasien ini cukup dievaluasi, tidak
perlu segera dilakukan intervensi.
Jika dijumpai pasien dengan kondisi berlawanan dengan yang disebutkan di
atas, berarti terjadi sumbatan parsial namun dengan respirasi yang tidak
adekuat, atau bahkan terjadi sumbatan total. Pada pasien ini harus segera
dilakukan intervensi untuk membebaskan jalan nafas.

3. Pada pasien yang sadar, dapat dilakukan intervensi berupa Heimlich


manuevre, yang dilakukan dengan cara berdiri memeluk rapat pasien dari
belakang, kedua tangan penolong dikatupkan dengan kepalan tangan
ditempelkan di atas umbilikus pasien. Kepalan ditekan kuat kearah belakang
lalu ke atas dengan cepat, sampai benda asing keluar. Prosedur dihentikan bila
pasien mengalami penurunan kesadaran.

Breathing
Apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya jalan nafas (Airway),
penyebab lain harus dicari. Ventilasi mungkin terganggu oleh gangguan
pergerakan nafas (ventilator mechanics) atau depresi Sistim Saraf Pusat oleh
berbagai sebab. Tanda-tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat adalah sbb.

1. Lihat (Look), nilai adakah jejas, luka, pembengkakan, asimetri gerakan nafas
ataupun pergerakan dinding dada yang tidak adekuat, di mana ada satu
hemithoraks yang tertinggal dibanding sisi satunya serta pernafasan yang
dilakukan dengan susah payah (labored breathing).
2. Dengar (Listen), nilai pergerakan udara (suara udara pernafasan) dan
bandingkan pada kedua sisi hemithoraks dan lakukanlah pada beberapa titik
dan kalau perlu dengan merubah posisi (bila memungkinkan atau hasilnya
meragukan).
3. Raba (Feel), nilai dengan meraba kedua hemithoraks, adakah krepitasi, nyeri
tekan lalu dilanjutkan pemeriksaan perkusi yang harus dilakukan dengan hati-
hati dan nilai suara yang terdengar, apakah sonor, hipersonor (udara
berlebihan, pneumothoraks) ataukah redup (adanya cairan, hemothoraks
ataupun efusi pleura)
4. Lakukan evaluasi keberhasilan bantuan ventilasi yang dilakukan dan bila
memungkinkan, gunakan pulse oxymeter.

Adapun teknik-teknik resusitasi ventilasi adalah sebagai berikut:

1. Mouth to mouth – Airway dipertahankan dengan metode head-tilt dan chin-


lift. Hidung pasien ditutup, mulut penolong diposisikan sedemikian rupa
sehingga menutupi mulut pasien. Penolong menghembuskan nafas ke dalam
mulut pasien secara biasa sambil mengamati gerakan dinding dada pasien.
Bila tidak dijumpai gerakan dinding dada pasien yang sesuai dengan
hembusan nafas penolong, pasien harus direposisi dan prosedur diulangi
kembali. Bila gerakan dinding dada tetap tidak dijumpai, pasien harus
dicurigai mengalami sumbatan airway.

49
2. Mouth to mask – Pada prinsipnya sama seperti mouth to mouth, namun disini
digunakan masker dan pompa udara sebagai pengganti mulut penolong. Ada
dua cara yang dapat dilakukan:
a. Teknik sefalik – Dilakukan bila ada lebih dari satu penolong. Penolong
yang berada di posisi kepala pasien memompa dengan sebelah tangan, dan
yang lain memegang masker menutupi mulut dan hidung pasien sambil
melakukan jaw-thrust.
b. Teknik lateral – Dilakukan bila hanya ada satu orang penolong. Dengan
berada di sebelah lateral pasien, penolong dapat memompa dengan sebelah
tangan dan memegang masker dengan tangan yang lain, atau memegang
masker dengan kedua tangan sambil melakukan head-tilt dan chin-lift
sementara udara dihembuskan dari mulut penolong ke dalam masker.
3. Penekanan krikoid – Penekanan kartilago krikoid ke arah posterior dapat
menutup esofagus, sehingga meminimalisir udara yang masuk ke lambung
selama ventilasi. Prosedur ini hanya dilakukan pada pasien yang tidak sadar,
dengan cara menekan kartilago krikoid dengan jempol dan jari telunjuk ke
arah posterior.
Circulation

Sirkulasi dinilai dengan meraba pulsasi arteri karotis. Perabaan dilakukan


maksimal selama 10 detik. Jika pulsasi teraba, bantuan pernafasan dapat
diteruskan dengan frekuensi 1 kali pernafasan per 4-5 detik. Bila pulsasi tidak
teraba, maka harus segera dimulai kompresi jantung.

Kompresi jantung dilakukan pada ½ bawah sternum pasien yang


terlentang. Sambil berlutut di samping pasien, tumit salah satu tangan penolong
ditempelkan di atas sternum di atas xiphisternal junction, sedangkan tangan
satunya diletakkan di atas tangan yang pertama. Jari-jari tangan penolong tidak
boleh menempel di dada pasien. Posisi lengan penolong tegak lurus terhadap
sternum pasien. Kompresi dilakukan sedalam 1/3 sampai ½ jarak antero-posterior
dada dengan siku penolong yang terkunci dan momentum bobot tubuh penolong
yang ditumpukan pada sternum pasien. Kompresi harus ritmik, dengan frekuensi
100 kali kompresi per menit, atau dengan rasio kompresi : ventilasi 15 : 2 pada
pasien yang tidak diintubasi.

Pada balita, kompresi dilakukan dengan cara yang berbeda. Kedua tangan
penolong melingkari dada pasien dengan kedua jempol melakukan kompresi pada
sternum. Cara lainnya adalah dengan melakukan kompresi menggunakan jempol
dan telunjuk penolong pada sternum pasien. Rasio kompresi : ventilasi pada
balita adalah 5 : 1.

Pada keadaan biasa dan bukan sebagai kelanjutan dari resusitasi jalan
nafas maupun breathing (ventilasi), sirkulasi akan menggambarkan kecukupan
oksigen yang dihantarkan melalui aliran darah dengan kebutuhan oksigen di
tingkat sel. Adanya ketidakcukupan tersebut (gangguan perfusi) disebut syok yang
dapat disebabkan oleh berbagai sebab, baik pada jalan nafas, proses ventilasi,
kelainan jantung, paru, pembuluh darah, perdarahan maupun kehilangan plasma
darah oleh berbagai sebab. Syok merupakan proses dan tidak selalu merupakan

50
hasil akhir, karenanya mengenali secara dini proses syok sangatlah penting.
Tanda-tanda awal syok adalah, peningkatan frekwensi nadi diikuti vasokonstriksi
perifer (akral dingin dan pucat), tekanan darah menurun, jumlah urin berkurang
dalam satuan waktu dan pada tahap akhir atau syok berat, akan terjadi gangguan
kesadaran sampai koma.

Immobilisasi dan Transport

Immobilisasi terutama ditujukan untuk mengantisipasi kemungkinan


adanya fraktur dan khususnya fraktur vertebra, immobilisasi dilakukan pada posisi
supine maupun lateral dengan tujuan terpenting adalah, mempertahankan vertebra
pada posisi segaris (in-line).

Pada posisi supine, pasien dibaringkan telentang di atas permukaan yang


rata dan keras (biasanya digunakan spinal board atau long spine board), tanpa
bantal, dan dibatasi gerakan kepala dan leher dengan cervical collar, dahi pasien
juga diikat ke spinal board.

Pada keadaan khusus, di mana pasien tidak bisa dibaringkan pada posisi
supine, misalnya pada pasien yang muntah-muntah, jangan sekali-kali
memiringkan kepala saja sebagai upaya menghindarkan terjadinya aspirasi. Pasien
seperti ini dapat dibaringkan pada posisi lateral, dengan tetap menjaga posisi in-
line vertebra.

Bila pasien harus dipindahkan dari spinal board, posisi in-line vertebra
harus tetap dijaga. Caranya adalah dengan mengangkat atau memindahkan seluruh
tubuh pasien – dari kepala sampai kaki – secara serentak (logroll).

51
52
53
Rencana Materi Skill Lab Blok Emergensi
Peralatan
Bentuk
No Materi Kajian Tujuan pada Ket
Penyajian
peragaan
1 Pendahuluan Pembukaan Memahami Contoh
keadaan Algoritme
emergensi penatalaksan
Definisi Mengetahui aan, Struktur
langkah pengorganisa
pelaporan sian
Konsep Pembagian Nomor-
penatalaksanaa tugas & nomor tlp
n wewenang penting
2 Triage & Penyajian Mampu Penggunaan Skenario
Initial Keracunan melakukan kartu triage, praktek
Assessment massal asesmen cepat Daftar
Assessmen Mampu tindakan,
cepat memilah pasien monitoring &
a d masalah formulir
Bertindak Mampu rujukan
berdasar melakukan call
prioritas for help
3 Manajemen Assessmen Mengetahui Kanul, Face Skenario
jalan nafas anatomi jalan mask & Praktek
nafas AMBU,
Resusitasi Mampu deteksi Suction rigid
jenis kegawatan & soft,
airway Gudel, Naso-
Monitoring Mampu endotrakheal
meringankan tube, Kanul
kegawatan trakheostomi,
airway Alat peraga
Re-evaluasi Mampu menilai jalan nafas
perbaikan atau
perburukan
4 Manajemen Assessmen Mengenal Kanul Skenario
breathing anatomi dinding oksigen, face Praktek
dada mask,
Resusitasi Mengenal AMBU,
peranan paru- Abbocath
paru dan pleura besar, Chest
Monitoring Mengenal tanda Tube, NGT
kegawatan dan botol
breathing WSD,
Re-evaluasi Mampu Oksimetri,
memberikan O2 alat peraga
dg benar breathing

54
5 Manajemen Assessmen Mengenal tanda- Venocath, Skenario
sirkulasi tanda & proses spuit, infus Praktek
syok set, blood set,
Resusitasi Mampu cairan infus
menemukan titik (kristaloid,
penilaian koloid, cairan
Monitoring Mampu hiperosmoloa
menemukan r), kateter,
akses resusitasi stopcock,
Re-evaluasi Mampu menilai triway
respon resusitasi

6 Manajemen Assessmen Menilai ada Spalk, ellastis Skenario


immobilisasi tidaknya fraktur verband, Praktek
dan dan dislokasi gips, skin
transportasi Immobilisasi Mampu memilih traksi, spine
dan melakukan board, screw
immobilisasi stratcher,
Monitoring & Penilaian pra brankard,
evaluasi dan pasca form rujukan
immobilisasi
Evakuasi Mampu
evakuasi pasien
dengan benar

55
References

1. Valenzuela TD, Roe DJ, Nichol G, Clark LL, Spaite DW, Hardman RG.
Outcomes of rapid defibrillation by security officers after cardiac arrest in
casinos. N Engl J Med. 2000; 343: 1206–1209
2. Stone CK, Humphries RL. Lange’s Current Emergency Diagnosis and
Treatment. McGraw-Hill 2004: 147-163
3. Advanced Trauma Life Support for Doctors: Student Course Manual 7th.
Edition. IKABI 2004

56
CHECKLIST SKILLS LAB : Basic Life Support (BLS)
SEMESTER GANJIL, TA 2018/2017

Group : Instruktur : Hari/Tanggal : Waktu :


No Aspek yang dinilai
0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 2
1 Menilai keamanan diri dan situasi sekitarnya
2 Memeriksa kesadaran pasien dengan memanggil nama atau
menepuk bahu
3 Bila tidak sadar, segera memanggil bantuan (berteriak,
menelpon gawat darurat atau aktifkan METS/Medical
Emergency Team System)
4 Nilai airway : untuk menentukan adanya obstruksi jalan
napas ?
a. Look : Jejas, darah, cairan atau benda asing lainnya
diwajah atau mulut
Bila ada cairan atau benda asing segera dikeluarkan dengan
apusan jari, sedotan atau suction
b. Listen : Snoring, gargling, crowing, hoarness
Bila ada salah satu diatas lakukan head tilt, chin lift, jawthrust
atau heimlich manuever
c. Feel : merasakan adanya aliran udara dari hidung atau
mulut dengan tangan diatas wajah
5 Nilai breathing : untuk menentukan adanya apnoe atau
distress nafas

57
a. Look : lihat gerakan dada, keseimbangan kiri dan kanan
Bila abnoe segera beri ventilasi buatan 2x dengan mouth to
mouth atau mouth to mask
b. Listen : dengarkan suara nafas, perbedaan kanan dan kiri
Bila ada tanda-tanda pneumothorax segera lakukan needle
thoracosintesis
c. Feel : rasakan dengan kedua telapak tangan pergerakkan
dinding dada perkusi dinding dada bila diperlukan
6 Nilai sirkulasi : untuk menentukan cardiac arrest atau shock
hipovolemik
a. Raba nadi a. carotis atau nadi a. bracialis/a. femoralis pada
bayi/anak
Bila tidak teraba nadi segera pijat jantung 100x permenit.
Setiap 30 pijatan 2x ventilasi
b. Nilai akral : dingin, pucat atau basah / berkeringat,
capillary refill time
Bila ada tanda-tanda shock segera posisi shock
7 Evaluasi ulang kembali airway, breathing dan sirkulasi
8 Bila pasien menunjukkan tanda-tanda ROSC (Return of
Spontaneus Circulation), lanjutkan dengan pemberian obat-
obatan, cairan dan modifikasi lainnya
9 Bila pasien tetap tidak sadar/cardic arrest maka basic life
support diteruskan sampai bantuan datang

58
10 Menghentikan resusitasi/basic life support bila tidak
bermanfaat lagi
% Cakupan Keterampilan: Skor Total /42 x 100% = % % % % % % %
Keterangan : 0 = Tidak Dilakukan
1 = Dilakukan tetapi
Kurang Benar
2 = Dilakukan dengan
Benar

`
Banda Aceh, ……………2021
`

Observer

59
VII. ANESTESI BLOK DAN INFILTRASI
dr. Kulsum, M.Ked (An).Sp.An
Bagian Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

1. Tujuan Belajar
Mahasiswa mampu melakukan tindakan anestesi infiltrasi dan blok
secara benar dan sistematis

2. ANESTESI INFILTRASI
Pendahuluan
Infiltrasi anestesi atau anestesi lokal adalah memasukkan obat ke dalam
jaringan tubuh. Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa
adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada
jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian
susunan saraf. Obat bius lokal bekerja merintangi secara bolak-balik penerusan
impuls-impuls saraf ke susunan saraf pusat (SSP) dan dengan demikian
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau rasa
dingin. Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf.
Disamping itu, anestesia lokal mengganggu fungsi semua organ dimana terjadi
konduksi/transmisi dari beberapa impuls.Artinya, anestesi lokal mempunyai efek
yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang neuromuskular dan
semua jaringan otot.

Persyaratan obat yang boleh digunakan sebagai anestesi lokal:


1. Tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen
2. Batas keamanan harus lebar
3. Efektif dengan pemberian secara injeksi
4. Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu
yang yang cukup lama Dapat larut air dan menghasilkan larutan yang
stabil, juga stabil terhadap pemanasan

Definisi
Infiltrasi anestesi adalah pemberian obat untuk menimbulkan anestesi ujung
saraf melalui injeksi pada atau sekitar jaringan yang akan dianestesi sehingga
mengakibatkan hilangnya rasa di kulit dan jaringan yang terletak lebih dalam,
misalnya daerah kecil di kulit atau gusi (pada pencabutan gigi)

60
Obat Infiltrasi Anestesi
Yang banyak digunakan adalah Lidokain HCl 2%, baik yang ditambah
adrenalin (Pehacain) ataupun tidak. Untuk infiltrasi anes-tesi dapat diencerkan
sampai 0,5% dengan aquabides, dimaksudkan untuk mengurangi resiko
intoksikasi obat.
Dapat pula lidokain dioplos dengan markain. Pada anastesi infiltrasi
biasanya digunakan larutan 0,25-0,50% dengan atau tanpa epinefrin. Dosis total
obat bius lokal tanpa epinefrin tidak boleh melebihi 200 mg dalam waktu 24 jam,
dan dengan epinefrin tidak boleh melebihi 500 mg untuk jangka waktu yang sama.

Teknik Pemberian
1. Cuci tangan dan pakai sarug tangan steril secara aseptik
2. Bersihkan daerah yang akan dianestesi dengan menggunakan desinfektan
dari luar ke dalam.
3. Batasi daerah yang akan dilakukan tindakan dengan kain steril
4. Ambil obat anestesi dari vial atau ampul dengan spuit secara aseptik
(dibantu asisten bila perlu)
5. Bila dalam spuit masih terdapat udara, maka udara dikeluarkan
6. Pegang spuit dengan salah satu tangan antara jempol dan jari-jari pada area
yang akan diinjeksi dengan telapak tangan menghadap ke arah samping
atau ke atas dengan kemiringan 45°.
7. Beritahu lagi ke pasien bahwa kita akan melakukan penyuntikan
8. Gunakan tangan yang tidak memegang spuit untuk mengangkat dan
merentangkan kulit, lalu secara hati-hati dan dengan mantap tangan yang
lain menusukkan jarum ke dalam jaringan subkutan
9. Jarum ditusukkan sambil mendorong obat anestesi
10. Luas daerah/banyaknya penyuntikan obat anestesi disesuaikan dengan
kebutuhan : dapat berbentuk garis atau berbentuk belah ketupat
11. Cabut spuit lalu usap dan pijat area injeksi. Bila tempat pe-nusukan
mengeluarkan darah maka tekan area penusukan de-ngan kasa steril kering
sampai perdarahan berhenti.
12. Tunggu beberapa saat, kemudian cek kerja obat anestesi
13. Letakkan spuit pada tempatnya, lalu lakukan tindakan operasi atau yang
lainnya

Contoh Anestesi Infiltrasi (Sirkumsisi )


Memotong preputium sehingga glans penis terbuka
 Guilotine
 Diseksi preputium / sleeve
 Dorsosirkumsisi
 Alat cincin / Gomco / Plastibel
A. Indikasi Medis
 Fimosis / parafimosis
 Balanitis rekurens
 Smegma
 Kondiloma akuminata
B. Kontraindikasi
 Hipospadia

61
 Epispadia
 Khorda
 Webbed penis

C. Persiapan
 Sarung tangan steril
 Kasa steril
 Desinfektan
 Klem desinfeksi
 Kain berlubang steril
 Spuit 2.5 atau 5 cc steril
 Lidokain 1% atau lainnya, tanpa vasokontriktor
 3 klem lurus
 3 atau 4 klem arteri kecil
 Gunting jaringan
 Gunting benang
 Benang diserap ukuran 3/0
 Jarum jahit : cutting, lengkungan ½ ; lebih baik atraumatic
 Needle holder
 Pinset anatomis
 Jarum

D. Pada Dorsosirkumsisi
 Cuci tangan dan pakai sarung tangan steril
 Desinfeksi penis dan sekitarnya
 Persempit lapangan operasi dengan doek steril
 Tusuk jarum pada pangkal (dorsum) penis, lakukan penghisapan dan bila
darah tidak keluar maka obat dimasukkan. Dianjurkan juga memasukkan
obat ke lateral kiri dan kanan pada pangkal penis dan daerah frenulum.
Tunggu 2-3 menit dan cek kerja obat anestesi
 Apabila terdapat fimosis, preputium dibuka sampai tampak sulkus
koronarius. Smegma dibersihkan
 Jepit frenulum sampai kira-kira 0,5 cm dari sulkus koronarius dengan klem
lurus dan kemudian jepit preputium pada jam 11.30 dan 12.30 dengan
klem panjang
 Gunting preputium dorsal pd garis median (antara 2 klem) sampai 1-2 cm
dari sulkus koronarius. Jepit ujung jaringan dengan klem
 Lanjutkan memotong melingkar ke ventral. Makin ke ventral kulit
preputium yang dibuang makin sedikit
 Cari perdarahan, klem dan ikat
 Jahit daerah frenulum dengan bentuk jahitan X, untuk menghentikan
perdarahan
 Jahit kulit dan mukosa, mulai dari arah pukul 12, lalu 2-3 jahitan lagi di
lateral masing-masing sisi
 Luka ditutup dengan kasa / penutup lain. Lubang uretra harus bebas
 Lakukan fiksasi

62
EKomplikasi
 Alergi terhadap obat anestesi (biasanya prokain)
 Perdarahan : bagian ventral / frenulum. Gangguan pembekuan darah
 Infeksi : kurang steril dan terkena urin
 Pengangkatan kulit kurang adekuat dan glans masih tertutup preputium
 Glans ikut terpotong (pada teknik guilotine)

63
3. ANESTESI BLOK

Pendahuluan
Anestesi blok dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal di daerah
perjalanan saraf yang menginervasi daerah yang akan dieksplorasi. Kita harus
sangat memperhatikan resiko potensial untuk berkembangnya nyeri akut yang
hebat menjadi nyeri yang kronis. Salah satu cara untuk menghindari hal tersebut
adalah melakukan teknik anestesi blok yang dapat memblok rangsang nyeri dekat
dengan sumbernya, hal ini sangat berguna baik pada saat operasi ataupun setelah
operasi.

Definisi
Anestesi blok (blok saraf) adalah suatu teknik anestesi yang digunakan untuk
mendapatkan anestesia dan analgesi dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal
di daerah perjalanan saraf yang menginervasi regio tertentu yang menyebabkan
hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer. Melalui cara ini yang
dituju langsung saraf bagian proksimal. Kita harus memahami anatomi dan daerah
persarafan yang bersangkutan untuk melakukan cara ini.

Obat Anestesi Blok


Obat yang digunakan sama dengan yang digunakan untuk obat infiltrasi anestesi,
yaitu obat anestesi lokal.
Berdasarkan ikatan kimia, obat anestesi lokal dibagi menjadi:
1. Derivat ester, terdiri dari:
- Derivat asam benzoat, misalnya: kokain
- Derivat asam para amino benzoat, misalnya: prokain dan klorprokain
2. Derivat amida: lidokain, prilokain, mepivakain, bupivakain, dan etidokain

Berdasarkan potensi dan lama kerjanya obat, dibagi menjadi:


1. Potensi rendah dan durasi singkat
- Prokain : potensi 1dan durasi 60 90 menit
- Klorprokain : potensi 1 dan durasi 30-60 menit
2. Potensi dan durasi sedang
- Mepivakain : potensi 2 dan durasi 120-240 menit
- Prilokain : potensi 2 dan durasi 120-240 menit
- Lidokain : potensi 2 dan durasi 90-200 menit
3. Potensi kuat dan durasi panjang
- Tetrakain : potensi 8 dan durasi 180-600 menit
- Bupivakain : potensi 8 dan durasi 180-600 menit
- Etidokain : potensi 6 dan durasi 180-600 menit

Berdasarkan berat jenis (konsentrasi) dan penggunaannya, dibagi menjadi:


1. Isobarik, digunakan untuk: infiltrasi lokal, blok lapangan, blok saraf, blok
fleksus dan blok epidural, misalnya: lidokain 1-2%, bupivakain 0,05%, dll.
2. Hipobarik, digunakan untuk anestesi regional intravena. Konsentrasi obat
dibuat separuh dari konsentrasi isobarik.

64
3. Hiperbarik, digunakan khusus untuk injeksi intra tekal atau blok sub
arakhnoid. Konsentrasi obat dibuat lebih tinggi, misalnya: lidokain 5%
hiperbarik, bupivakain 0,5%.

Regio Anestesi Blok Saraf


1. Kepala dan leher
- Nervus trigeminus dan cabang-cabangnya. Untuk blok jenis ini,
diindikasikan 2 sampai 4 ml lidokain atau mepivakain 2% dengan atau
tanpa epinefrin. Contohnya:
 Nervus mandibularis
Pedoman : suntikan anestesi intraoral tepat di sebelah medial
ramus mandibularis sekitar 1 cm di sebelah posterior posisi
molar III. Blok ini memberikan anestesia pada dua pertiga
anterior lidah, regio temporalis dan mandibularis wajah, bibir
bawah, gigi serta gusi bawah. Parestesi lidah atau rahang sering
terjadi.
 Nervus mentalis
Pedoman intraoral : suntikan dilakukan pada pertemuan
permukaan bukal bibir bawah dan gusi pada gigi bicuspid II.
Pedoman ekstraoral : suntikan dilakukan perkutan pada tempat
gigi bikuspid II, sekitar 1 cm di atas margo inferior mandibulae
dan 2,5 cm dari garis pertengahan mandibula.
 Nervus infraorbitalis
Pedoman intraoral : suntikan dilakukan pada perbatasan gusi
atas dengan mukosa bukalis bibir atas pada tempat gigi taring.
Jarum ditusukkan pada sekitar 1 cm di sebelah inferior tepi
bawah orbita. Blok ini memberikan anestesi pada bibir atas,
sisi-sisi hidung, bagian medial pipi, dan kelopak mata bawah
Pedoman ekstraoral : suntikan dilakukan sekitar 1 cm di
sebelah inferior tepi bawah orbita pada garis pertengahannya.

Gambar 1. Daerah distribusi sensorik cabang-cabang nervus trigeminus

65
2. Ekstremitas Atas
- Blok nervus digitalis
 Larutan anestetik yang mengandung epinefrin jangan pernah
digunakan untuk blok jari karena dapat menyebabkan
vasokontriksi berat dan nekrosis.
 Salah satu dari beberapa teknik yang dapat dilakukan :
digunakan larutan lidokain hidroklorida dan jarum hipodermik
No.25. Jarum ditusukkan di sela jari dan dimasukkan ke arah
telapak tangan dengan sudut 200 terhadap sumbu panjang jari
yang akan dianestesia. Jarum dimasukkan perlahan-lahan
sampai menemukan phalanx proksimal. Kemudian jarum
ditarik sedikit, dan aspirasi sedikit untuk meyakinkan jarumnya
tidak masuk ke pembuluh darah. Dua atau 3 ml larutan
kemudian disuntikkan yang akan menggembungkan ruang
antar jari. Prosedur ini diulang dengan tusukan jarum lain di
sisi sebelah jari tersebut. Larutan ditempatkan dengan posisi
seperti pada suntikan sela jari untuk nervus digitalis radialis jari
telunjuk dan nervus digitalis ulnaris jari kelima.

Gambar 2. Lokasi-lokasi untuk blok saraf

Contoh Anestesi Blok


Roser Plasty
Roser plasty adalah tindakan membuang tepi kuku (kira-kira 1/3 bagian) dengan
tujuan tertentu. Dilakukan atas indikasi adanya unguis inkarnatus (tepi kuku
tumbuh masuk ke dalam daging). Gejala unguis inkarnatus nyeri pada kuku yang
terkena, tepi yang terlibat membengkak, terdapat tanda-tanda radang.
Alat-alat Yang Diperlukan
Instrumen :
1. Gunting diseksi Mayo (lurus) 1 buah
2. Sonde beralur 1 buah
3. Klem arteri pean (lurus) 2 buah
4. Gagang pisau no.3 + mata pisau yang sesuai 1 buah
5. Wound curret 1 buah

66
6. Pinset anatomis 1 buah
7. Pinset chirurgis 1 buah
8. Spuit 5 cc 1 buah

Anestesi lokal:
Dipakai prokain atau lidokain tanpa adrenalin.
Bahan-bahan rutin:
1. Doek berlubang
2. Sarung tangan steril 1 pasang
3. Kasa steril secukupnya
4. Cairan antiseptik

Teknik Operasi
1. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada jari yang terkena
2. Pasang doek berlubang
3. Lakukan tindakan anestesi pada pangkal jari di sebelah dorso-lateral kiri dan
kanan untuk memblok saraf yang menginervasi jari tersebut. Bila perlu
lakukan ring block.
4. Masukkan sonde beralur pada 1/3 lateral kuku yang akan dibuang hingga
mencapai matriks kuku.
5. Gunting kuku di atas sonde.
6. Masukkan klem, jepit bagian kuku yang akan dibuang, putar ke arah sisi jari
hingga kuku terlepas dari dasarnya, kuku ditarik hingga terlepas.
7. Kemudian keroklah dasar kuku yang telah dibuang dengan kuret.
8. Gunting matriks bekas tempat kuku tertanam pada sisi jari.
9. Bila perlu kulit penutup matriks dijahit.
10. Luka ditutup dengan salep atau povidon iodine, kemudian tutup dengan kasa
steril. Penderita diberi antibiotika, analgetik, serta vitamin.

Gambar 3. Anestesi blok pada pangkal jari (tanda silang) kiri dan kanan
Ekstraksi Naegel
Ekstraksi naegel adalah pencabutan kuku dengan tujuan tertentu. Indikasi untuk
melakukan ekstraksi Naegel yaitu paronikia, trauma pada kuku, dan tinea
unguinum.
Teknik Operasi:

67
1. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada jari yang terkena.
2. Pasang doek berlubang
3. Lakukan tindakan anestesi blok pada pangkal jari
4. Masukkan sonde tepat di tengah-tengah kuku, gunting kuku di atas sonde, dan
klem kedua kuku yang telah terpisah, masing-masing diputar ke sisi lateral
hingga kuku terlepas.
5. Bila terdapat jaringan nekrotik, keroklah dengan wound curret.
6. Kemudian tutup luka dengan kasa steril yang telah dilapisi povidone iodine.
Penderita diberi antibiotika, analgetik, serta vitamin.

68
REFERENSI

1. Bresler MJ, Sterrnbach GL. Manual Kedokteran Darurat. Edisi ke-6 Jakarta:
penerbit buku kedokteran EGC ; 2007. Hlm 95-9.
2. Mangku G, Senapathi TGA. Buku ajar ilmu anastesia dan reanimasi . jakarta :
PT. Indeks ;2010.hlm 70-4.
3. Karakata S, bachsinar B. Bedah minor. Jakata : penerbit hipokrates: 1996. Hlm
155-7.

69
CHECK LIST : ANESTESI INFILTRASI DAN BLOK
No Aspek yang dinilai Nilai
0 1 2
PERSIAPAN
1 Memberi penjelasan kepada pasien tentang
tindakan yang akan dilakukan, tujuan, efek yang
ditimbulkan (rasa sakit)/ informed consent,
termasuk pembiusan
2 Menanyakan kepada pasien apakah punya riwayat
penyakit hepar, ginjal, hamil, serta riwayat
pemakaian obat anestesi sebelumnya
3 Siapkan obat anestesi (cek kadaluarsa obat, isi zat
anestesi : dengan atau tanpa vasokontriktor,
kosentrasi zat anestesi), peralatan yang diperlukan
serta obat-obat emergensi (epinefrin, sulfas
atropine, O2, dan cairan)
4 Cuci tangan kemudian pakai sarung tangan secara
aseptik
5 Desinfeksi daerah yang akan dilakukan tindakan
operasi
6 Batasi daerah yang akan dilakukan tindakan
dengan kain/doek steril
7 Pilih jarum/needle yang sesuai dengan lokasi yang
akan dianestesi
8 Ambil obat anestesi dari vial/ampul dengan spuit
secara aseptik dengan bantuan asisten
9 Bila dalam spuit masih terdapat udara, maka udara
harus dikeluarkan
ANESTESI INFILTRASI
10 Pegang spuit dengan salah satu tangan antara
jempol dan jari-jari pada area injeksi dengan
telapak tangan menghadap kearah samping atau ke
atas untuk kemiringan 45o (disesuaikan dengan
lokasi penyuntikan)
11 Beritahu lagi pasien bahwa kita akan melakukan
penyuntikan
12 Menusukkan jarum sampai subdermal, lakukan
aspirasi, bila tidak keluar darah, dorong obat
anastesi. Jangan lupa memonitor cardiovascular
dan SSP. Segera hentikan penyuntikan bila terjadi
reaksi sistemik akibat toksitas obat
13 Luas daerah/banyak penyuntikan obat anastesi
disesuaikan dengan kebutuhan
14 Cabut spuit lalu usap dan massage pada area
injeksi. Bila tempat penusukan mengeluarkan
darah maka tekan area tusukan dengan kasa steril

70
kering sampai perdarahan berhenti
15 Tunggu beberapa saat kemudian cek kerja obat
anastesi sambil tetap memonitor cardiovascular
dan SSP
16 Letakkan spuit pada tempatnya
ANESTESI BLOK
17 Pegang spuit dengan salah satu tangan antara
jempol dan jari-jari pada area injeksi dengan
telapak tangan menghadap ke arah samping atau
ke atas dengan kemiringan 200 (roser plasty dan
ekstraksi Naegel)
18 Beritahu lagi pasien bahwa kita akan melakukan
penyuntikan
19 Menusukkan jarum sampai menyentuh phalanx
proksimal, lakukan aspirasi, bila tidak keluar
darah, dorong obat anestesi. Jangan lupa
memonitor kardiovaskular dan SSP. Segera
hentikan penyuntikan bila terjadi reaksi sistemik
akibat toksisitas obat.
20 Luas daerah/ banyak penyuntikan obat anestesi
disesuaikan dengan kebutuhan
21 Cabut spuit lalu usap dan massage pada area
injeksi. Bila tempat penusukan mengeluarkan
darah maka tekan area tusukan dengan kasa steril
kering sampai perdarahan berhenti
22 Tunggu beberapa saat , kemudian cek kerja obat
anestesi sambil tetap memonitor kardiovaskular
dan SSP
23 Tutup spuit dengan benar

Keterangan :
0 : Tidak melakukan
1 : Dilakukan tapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna

Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total …../46 x 100% = %

Banda Aceh,............................2021

Observer

71
Keterangan :
0 : Tidak melakukan
1 : Dilakukan tapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna

Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total …../32 x 100% = %

Banda Aceh,..................2021

Observer

72
VIII. Pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat)
Dr.dr. Hasanuddin, SpOG, K(Onk)
Bagian Ilmu Kebidanan dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUDZA

Tujuan pembelajaran:
- Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan
Asam Asetat) secara sistematis dan benar

Prior knowledge:
- Anatomi genitalia eksterna dan interna wanita

Pendahuluan
Lesi Prakanker
Tujuan utama skrining pada serviks adalah menemukan adanya lesi
prakanker yang bila mendapat penatalaksanaan yang tepat dapat mencegah
terjadinya kanker serviks. Kemampuan untuk melakukan deteksi lesi prakanker
ditentukan oleh kemudahan untuk melakukan akses ke daerah serviks dan
kemampuan untuk melakukan penilaian patologi yang ditemukan. Untuk hal
tersebut diperlukan pengertian tentang proses karsinogenesis dan perubahan dari
lesi prakanker menjadi lesi kanker. Kemampuan untuk melakukan deteksi lesi
prakanker ditentukan oleh kemudahan untuk melakukan akses ke daerah serviks
dan kemampuan untuk melakukan penilaian patologi yang ditemukan. Untuk hal
tersebut diperlukan pengertian tentang proses karsinogenesis dan perubahan dari
lesi prakanker menjadi lesi kanker.
Meskipun dikenalkan lebih dahulu oleh Pappinicolaou dan Traut,
Reagan dan Hamonic telah membedakan karsinoma insitu dengan lesi anaplastik
lain yang dikenal sebagai displasia. Menurut WHO, displasia didefinisikan
sebagai sebuah lesi yang ditandai dengan terjadinya perubahan atipik pada
permukaan epitel. Displasia dibagi menjadi 3 bagian yaitu: displasia ringan,
sedang dan berat. Tapi panduan klinis pastinya belum jelas.
Klasifikasi lesi yang dimulai dari displasia ringan hingga karsinoma insitu
tidak merefleksikan progresivitas penyakit. Diagnosis ini sangatlah subjektif dan
sangat tergantung dari pemeriksa. Sarjana Richart mengenalkan terminologi
Neoplasia Intraepitelial Serviks (NIS/CIN) untuk menggambarkan kelainan sel
skuamosa serviks prainvasif, terdapat 3 derajat perubahan yaitu, NIS 1(displasia
ringan), NIS 2 (displasia sedang), dan NIS 3 (displasia berat/karsinoma insitu).
Proses perubahan serviks ini, terjadi pada zona transformasi.

Infeksi Human Papilloma Virus (HPV)


Virus adalah materi yang dapat menimbulkan infeksi dan terdiri dari
genome asam nukleat yang dibungkus protein. Dari penelitian epidemiologi
terutama menggunakan CPR, infeksi HPV sangat mungkin merupakan penyebab
kebanyakan lesi neoplasia intraepitel serviks (NIS). Data-data yang menunjukkan
kuatnya hubungan HPV dengan kanker serviks, dan telah memenuhi Bradford
Hill criteria of casuality, yaitu: 1. asosiasi sangat kuat yaitu odd ratio> 15 pada
studi kasus kelola, 2. konsisten di negara dimana risiko kanker serviks tinggi

73
maupun yang risioko rendah, 3. spesifik untuk HPV risiko tinggi (HPV 16)
penyebab terbanyak diikuti oleh HPV 18, 4. disokong studi dimana infeksi HPV
mendahului perkembangan NIS 2/3, dan 5. secara biologik sesuai dengan bukti-
bukti laboratorium potensi onkogenik gen jenis HPV risiko tinggi (virus onkogen
E6 dan E7).
HPV termasuk golongan papovirus yang merupakan virus DNA yang
dapat bersifat mutagen. HPV telah dibuktikan dapat menyebabkan lesi prakanker,
kondiloma akuminata dan kanker. Meskipun pada umumnya menyerang wanita,
tapi virus ini juga mempunyai peranan dalam timbulnya kanker pada anus, vulva,
vagina, penis dan beberapa kanker orofaring. Terdapat 138 strain dari HPV, dan
30 diantaranya dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kebanyakan HPV juga
dapat mengalami remisi setelah beberapa tahun. Beberapa diantaranya akan
menetap tanpa atau dengan menyebabkan abnormalitas pada sel.

Pemeriksaan Visual Serviks dengan Menggunakan Asam Asetat


Definisi
Pemeriksaan visual dengan asam asetat (VIA/Visual Inspection with Acetic
Acid) merupakan pemeriksaan pada mulut rahim (serviks) dengan mengoleskan
asam asetat 3-5% pada serviks dan mengamati selama lebih kurang1-2 menit. IVA
merupakan suatu tes yang secara visual digunakan untuk mendeteksi lesi praganas
pada serviks. Pada pemeriksaan IVA, lesi pra kanker akan tampak putih setelah
aplikasi asam asetat selama beberapa waktu (temporer). IVA dilakukan dengan
menggunakan speculum untuk melihat seviks dan ostium serviks. Adanya daerah
abnormal akan memberikan penampakan putih.
IVA dapat diterapkan pada berbagai situasi dan kondisi, karena tidak
memerlukan pemeriksaanlaboratorium, dan hasilnya akan cepat didapat. Terapi
dapat langsung dilakukan bersama dengan pemeriksaan.
IVA pertama kali diperkenalkan oleh sarjana Hinselman (1925), dengan
memberikan larutan asam asetat 3-5% pada serviks dengan menggunakan lidi
kapas. Tes ini mudah dilaksanakan, dan dapat dilaksanakan oleh dokter umum,
bidan dan paramedis yang telah dilatih pemeriksaan IVA. Pemeriksaan IVA
memiliki tingkat spesifisitas 54-96% dan sensitivitas 65-96%.

Anatomi Serviks Uteri


Serviks uteri, dilapisi oleh 2 macam sel epitel, epitel skuamous bertatah
dan epitel kolumnar, dimana kedua macam sel epitel ini bertemu pada sambungan
skuamo-kolumnar (SSK). Sebagian besar dari epitel ektoserviks dilapisi oleh
epitel skuamous bertatah, non keratinizing, mengandung glikogen. Terdiri dari
lapisan multipel (15-20 lapis) dan berwarna merah muda pada pemeriksaan visual.
Sel basalnya terbagi menjadi parabasal, intermediat dan superfisial yang
mengandung banyak glikogen pada sitoplasmanya. Sehingga bila diberi cairan
lugol, epitel ini akan berwarna coklat atau kehitaman.
Kanalis endoserviks dilapisi oleh epitel kolumnar, yang terdiri dari satu
lapis sel epitel. Pada pemeriksaan secara visual, akan nampak keabu-abuan.
Pertemuan antara kedua macam epitel ini berada di Sambungan Skuamo-
Kolumnar (SSK). SSK merupakan suatu garis tegas, dan lokasinya tergantung
dari usia, status hormon, trauma persalinan dan kehamilan. Padaumumnya, pada
masa anak akan berada didalam/dekat dengan ostium serviks. Sedangkan pada

74
masa pubertas akan berada di ektoserviks yang pada pengamatan visual tampak
berwarna kemerahan. Sedangkan saat menopause akan berada didalam kanalis
endoserviks karena penyusutan dari serviks uteri.

Gambar 1. Anatomi Cervix Uteri

Prinsip Dasar Pemeriksaan IVA


Pemeriksaan dengan mata telanjang pada serviks setelah penggunaan asam
asetat 3-5% merupakan prosedur yang mudah untuk mendeteksi adanya lesi
praganas serviks. Semakin putih dan jelas, semakin tinggi tingkat abnormalitasnya.
Dibutuhkan 1-2 menit untuk melihat perubahan pada epitel. Dengan
menggunakan asam asetat 5% memberikan respon lebih cepat dibanding 3%. Efek
ini akan menghilang dalam waktu 50-60 detik kemudian dan akan nampak seperti
semula. Lesi putih yang nampak sebelum pemakaian asam asetat bukan
merupakan epitel putih, tapi disebut sebagai leukoplakia, yang biasanya
disebabkan oleh proses keratosis.
Asam asetat akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler pada
epitel yang abnormal. Cairan ekstraseluler menjadi hipertonis dan menyebabkan
cairan intraseluler berpindah ke ekstraseluler, hal ini menyebabkan terjadinya
koagulasi dan presipitasi dari protein sel dan kolaps dari membran sel dan jarak
antar sel akan memendek. Hasilnya, jika sel epitel ini menerima cahaya (sinar
lampu), maka sinar ini tidak dapat menembus tapi akan direfleksikan kembali dan

75
menyebabkan permukaan sel epitel berwarna putih, karena itu disebut sebagai
epitel putih (white epithelium). Sel yang normal akan berwarna merah muda
(epitel skuamous) dan epitel kolumnar akan berwarna merah, akibat refleksi dari
stroma yang mengandung banyak pembuluh darah.

Identifikasi Zona Transformasi dan Sambungan Skuamo-Kolumnar


SSK nampak sebagai garis melingkar yang terjadi akibat perbedaan ketebalan
antara epitel skuamous dan epitel kolumnar. Secara morfologi, ada 2 macam SSK.
Pertama adalah SSK yang asli, merupakan pertemuan (fusi) dari epitel skuamous
yang melapisi ektoserviks dengan epitel kolumnar dari endoserviks. Kedua adalah
SSK fungsional atau psikologikal, berada pada pertemuan dari epitel skuamous
baru pada zona transformasi dengan epitel kolumnar dari endoserviks. Zona
transformasi merupakan daerah yang dibatasi SSK asli dan SSK fungsional,
dimana merupakan daerah yang sering mengalami metaplasi (perubahan epitel).
I. Persiapan alat:
- Meja periksa (meja ginekologi)
- Sumber cahaya yang baik, tersedia lampu halogen yang terang
yang dengan mudah dapat diarahkan pada serviks
- Desinfektan
- Sarung tangan
- Lidi kapas, Kassa
- Tampon kassa
- Larutan asam asetat 5%
II. Pelaksanaan IVA
- Ibu pada posisi litotomi
- Desinfeksi
- Menggunakan spekulum untuk melihat serviks
- Evaluasi serviks, bila perlu dilakukan pap tes
- Pemberian asam asetat 5%, evaluasi perubahan yang terjadi pada
serviks
Secara teliti, memeriksa:
1. Intensitas warna putih dari lesi acetowhite
2. Batas dari lesi
3. Warna uniform/bervariasi
4. Lokasi lesi
5. Ukuran
6. Jika masih ragu, ulangi prosedur awal
7. Kesimpulan dari pemeriksaan
8. Dekontaminasi alat yang telah digunakan

76
Cara membuat asam asetat 5% dan 3% :

Pelaporan Hasil Pemeriksaan IVA :


1. IVA Negatif
- tidak ada lesi acetowhite pada serviks
- tampak polip keluar dari serviks dengan daerah yang putih
- kista Nabothi
- area sepertititik (dot-like area) padaendoserviks

2. IVA positif
- tampakareaacetowhitedenganjelas, dense, batas regular/iregular
- area acetowhite dengan jelas tampak pada epitelkolumnar
- seluruh lapisanser viks menjadi dense setelah aplikasi asam asetat
- Kondiloma/leukoplakia dekat SSK, berubah menjadi putih setelah
aplikasi asam asetat.

Bercak acetowhite

Gambar 2. Gambaran sebelum dan sesudah pemberian asamasetat


Penatalaksanaan
I. Lesi Prakanker
Sarjana Kolstad dan Klem memperlihatkan bahwa biopsi kerucut
memberikan harapan yang sama dalam mencegah terjadinya
progresivitas kanker serviks pada karsinoma insitu. Stafl dan
Mattingly mengemukakan bahwa biopsi langsung dalam arahan
kolposkopi akan memberikan ketepatan yang samadengan biopsi
kerucut jika dilakukan ahlinya. Angka penyembuhan yang tinggi juga
diperlihatkan pada tindakan cryosurgery, electrosurgical diatermi dan
laser. Pada tahun 1990 mulai dikenalkan Loop Electrosurgical
Excision Procedures (LEEP). Cryotherpy merupakan salah satu

77
metode terapi efektif pada lesi derajat rendah tetapi tidak pada derajat
tinggi.

Lesi pada serviks terlihat Biopsi


jelas

Sitologi serviks atau Frekuensi skrining


papsmear negatif berdasar standar

Sitologi serviks atau hasil Ulangi pemeriksaan


tes pap tidak memuaskan setelah 3 bulan dan
obati infeksi bila ada
indikasi

Gambar 3.Teknik penelusuran pada pemeriksaan skrining

78
REFERENSI

Putra AD, Moegni EM. Lesi prakanker serviks. Dalam Buku Acuan Nasional
Onkologi Ginekologi. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta,
2006:399-412

Edianto D. Kanker serviks. Dalam Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi.


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2006: 442-455

Reference Book, Management Training of Pre-cervical Cancer Lession. FCP-Asia


Link, 2006

Mahendra, I.N.B., Julianti RA., Loho DA., Buku Panduan Belajar Kursis Pra
Konggres Manajemen Lesi Prakanker Pada Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-21,
HOGI-INASGO, Jakarta, 2014: 103-105

79
Checklist: Pemeriksaan IVA(Inspeksi Visual dengan Asam asetat)

No Aspek yang dinilai Nilai


0 1 2
A. KONSELING PRA PEMERIKSAAN IVA
1. Menyapa dan memperkenalkan diri.
2. Menanyakaan kesiapan Ibu untuk diperiksa IVA.
3. Memastikan identitas, memeriksa status dan
kelengkapan informed consent klien.
B. PERSIAPAN
1. Mengecek apakah alat dan instrumen sudah tersedia.
2. Meminta Ibu mengosongkan kandung kencing dan
membilas daerah genitalnya
3. MemintaIbu untuk menanggalkan pakaiannya dari
pinggang hingga lutut dan menggunakan kain yang
sudah disediakan
4. Mempersilahkan ibu untuk berbaring dalam posisi
litotomi.
5. Menutup area pinggang hingga lutut Ibu dengan
kain.
6. Dokter mencuci tangan dengan air dan sabun,
keringkan dan kemudian memakai sarung tangan
steril
C. PROSEDUR PEMERIKSAAN IVA
1. Membersihkan genitalia eksterna dengan air DTT
2. Melakukan inspeksi dan palpasi genitalia eksterna.
3. Mengoleskan jeli pada spekulum, kemudian
masukkan spekulum.
4. Memperlihatkan serviks hingga terlihat dengan jelas.
5. Membersihkan serviks dari cairan, darah dan sekret
dengan kasa steril.
6. Melakukan pemeriksaan serviks :
a. Terdapat kecurigaan Kanker atau tidak :
Jika ya, Ibu dirujuk, pemeriksaan IVA tidak
dilanjutkan
b. Jika tidak, identifikasi Sambungan Skuamo
Kolumnar (SSK)
 Jika SSK tampak, lakukan IVA dengan
mengoleskan kapas lidi yang sudah
dicelupkan ke dalam asam setat 3-5% ke
seluruh permukaan serviks.
 Jika SSK tidak tampak, maka :
- Dilakukan pemeriksaan mata telanjang tanpa
asam asetat (downstaging).
- Beri kesimpulan sementara, misalnya hasil
negatif namun SSK tidak tampak
- Ibu disarankan untuk melakukan pemeriksaan

80
selanjutnya lebih cepat atau pap smear
maksimal 6 bulan lagi.
c. Tunggu hasil IVA selama 1 menit :Perhatikan
apakah ada bercak putih (acetowhite epithelium) atau
tidak. Tentukan batas, reguler/irregular
7. Mengeluarkan spekulum.
8. Membuang sarung tangan, kasa dan bahan sekali
pakailainnya kedalam kontainer (tempat sampah)
yang tahan bocor sedangkan untuk alat-alat yang
dapat digunakan kembali rendam dengan larutan
klorin 0.5% selama 10 menit untuk dekontaminasi.
9. Mencuci tangan dengan air dan sabun.
10. Mempersilahkahkanibukembali duduk
D. KONSELING PASCA PEMERIKSAAN IVA
1. Jika hasil IVA negatif : Memberitahukan ibu kapan
harus kembali untuk pemeriksaan selanjutnya (6-12
bulan)
2. Jika hasil IVA positif :
 Memberitahukan dan menjelaskan mengenai hasil
IVA positif
 Memberikan informasi dan penjelasan rencana
rujuk
3. Memberikan kesempatan pada ibu untuk bertanya
mengenai hasil pemeriksaan dan rencana tindakan
selanjutnya

Keterangan :
0 : tidak dilakukan
1 : dilakukan tapi kurang sempurna
2 : dilakukan dengan sempurna

Cakupan penguasaan ketrampilan : skor total : ……/44 x 100 = ....%

Banda Aceh, .................2021

Observer

81

Anda mungkin juga menyukai