Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA PADA TN.

A
DENGAN CIDERA KEPALA BERAT DI RSD MAYJEND
HM RYACUDU KOTABUMI

Disusun Oleh :
KELOMPOK 2 ICU

PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
TA. 2021/2022

32
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
(Mansjoer, 2007). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya dan lebih
dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan dirumah
sakit, dua pertiga berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak
dibandingkan jumlah wanita, lebih dari setengah semua pasien cedera kepala
mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainya. (Smeltzer and Bare,
2012 ).

Ada beberapa jenis cedera kepala antara lain adalah cedera kepala ringan, cedera
kepala sedang dan cedera kepala berat. Asuhan keperawatan cedera kepala atau
askep cedera kepala baik cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera
kepala berat harus ditangani secara serius.Cedera pada otak dapat mengakibatkan
gangguan pada sistem syaraf pusat sehingga dapat terjadi penurunan
kesadaran.Berbagai pemeriksaan perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya trauma
dari fungsi otak yang diakibatkan dari cedera kepala.

Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah


sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.Tindakan resusitasi, anamnesis dan
pemeriksaan fisik umum serta neurologis harus dilakukan secara
serentak.Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya
evaluasi unsur vital.Tingkat keparahan cedera kepala, menjadi ringan segera
ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit.(Sjahrir, 2014).

Menurut WHO setiap tahun di Amerika Serikat hampir 1.500.000 kasus cedera
kepala. Dari jumlah tersebut 80.000 di antaranya mengalami kecacatan dan 50.000
33
orang meninggal dunia.Saat ini di Amerika terdapat sekitar 5.300.000 orang dengan
kecacatan akibat cedera kepala (Moore & Argur, 2016). Penyebab cedera kepala
yang terbanyak adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh (21%), dan cedera
olahraga (10%). Angka kejadian cedera kepala yang dirawat di rumah sakit di
Indonesia merupakan penyebab kematian urutan kedua (4,37%) setelah stroke, dan
merupakan urutan kelima (2,18%) pada 10 penyakit terbanyak yang dirawat di
rumah sakit di Indonesia (Depkes RI, 2016).

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada Tn “A” dengan
gangguan sistem neurologi: cedera kepala berat di RSD Ryacudu.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian pada Tn “A” dengan gangguan sistem neurologi :
cedera kepala berat di RSD Ryacudu.
b. Merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn “A” dengan gangguan sistem
neurologi : cedera kepala berat di RSD Ryacudu.
c. Merencanakan tindakan asuhan keperawatan pada Tn “A” dengan gangguan
sistem neurologi: cedera kepala berat di di RSD Ryacudu.
d. Melaksanakan implementasi keperawatan pada Tn “A” dengan Gangguan
sistem Neurologi: cedera kepala berat di RSD Ryacudu.
e. Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang dilakukan pada Tn “A”
dengan gangguan sistem neurologi : cedera kepala berat di RSD Ryacudu.

34
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. KONSEP PENYAKIT
1. Pengertian
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu penyebab yang dapat
menimbulkan gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstil dalam substansi otak atau tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Muttaqin, 2011).

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dai fungsi otak yang di sertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Tarwoto, 2013).

Cedera kepala berat yaitu terjadinya kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial yang diikuti dengan kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam dengan GCS 3-8 (Morton, 2012).

2. Etiologi
a. Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury) atau
pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam
tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup injury).
b. Rotasi/deselerasi
Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang
menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari
tulang sfenoid).Rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma robekan di
dalam substansi putih otak dan batang otak, menyebabkan cedera aksonal
dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.
c. Tabrakan
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama
pada anak-anak yang elastis)
35
d. Peluru
Cenderung menimbulkan hilangnya jaringan seiring dengan
trauma.Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi. Terngkorak
yang secara otomatis akan menekan otak
e. Oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak misalnya
kecelakaan, dipukul dan terjatuh
f. Trauma saat lahir misalnya sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum
g. Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak, efek percepatan dan
perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.

3. Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
a. Minor
1) SKG 13 – 15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang
1) SKG 9 – 12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1) SKG 3 – 8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

36
4. Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena
kena lemparan benda tumpul.Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil
atau tanah.Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat
gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi
badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan
pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan
robekan pada substansi alba dan batang otak.

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai
akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral
dikurangi atau tak ada pada area cedera.Konsekuensinya meliputi hiperemi
(peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan
akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK).Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan
hipotensi.

37
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan
yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson
menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi
kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan
karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer
serebral, batang otak, atau dua-duanya.

5. Manifestasi Klinis
a. GCS 3-8
b. Penurunan kesadaran dan atau mengalami amnesia lebih dari 24 jam
c. Contusion serebral
d. Laserasi
e. Hematoma
f. Perubahan ukuran pupil
g. Adanya cedera terbuka
h. Nyeri
i. Fraktur

6. Pathway
Trauma kepala

Ekstra kranial Tulang


kranial Intra kranial

Terputusnya kontinuitas
jaringan kulit, otot dan 38
vaskuler
Terputusnya kontinuitas Jaringan otak rusak
jaringan tulang (kontusio, laserasi)

Gangguan suplai darah -Perubahan outoregulasi


Resiko Nyeri -Odem cerebral
infeksi
-Perdarahan
Iskemia
-Hematoma
Kejang
Perubahan
Hipoksia perfusi jaringan

Perubahan sirkulasi CSS Gangg.fungsi otak 1. Bersihan


Gangg. Neurologis jln. nafas
fokal 2. Obstruksi
jln. nafas
3. Dispnea
Peningkatan TIK Mual – muntah
4. Henti nafas
Papilodema
Pandangan kabur Defisit Neurologis 5. Perub.
Penurunan fungsi Pola nafas
pendengaran
Girus medialis lobus Nyeri kepala
temporalis tergeser Gangg.persepsi Resiko tidak
sensori efektifnya jln.nafas
Resiko kurangnya
volume cairan
Herniasi unkus
Tonsil cerebelumtergeser Kompresi medula oblongata

Mesesenfalon tertekan Resiko injuri


Resiko
gangg.integritask
ulit
Immobilisasi

Gangg.kesadaran Kurangnya
Cemas perawatan diri

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT), elektrolit: untuk
mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrakranial.
b. Spinal X ray
39
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang
terjadi(perdarahan atau ruptur atau fraktur)
c. CT Scan
Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
d. Myelogram
Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal
aracknoid jika dicurigai.
e. MRI (magnetic imaging resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta
besar/ luas terjadinya perdarahan otak.
f. Thorax X ray
Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
g. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting
diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan
(medulla oblongata).
h. Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.

8. Komplikasi

a.Epilepsi pasca trauma


Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa
waktu setelah otak mengalami cedera karena 15 benturan di kepala. Kejang
bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera.
Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami cedera kepala
hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita
yang memiliki luka tembus di kepala.

b. Afasia

40
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena
terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu
memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang
mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan
bagian lobus frontalis disebalahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari
area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi akan
mempengaruhi beberapa aspek dan fungsi bahasa.

c.Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk
mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama
berlalu. Cedera pada otak biasa menyebabkan hilangnya ingatan akan
peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi
retrograde) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan
(amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit
sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan
menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa
bersifat menetap.

d. Kebocoran cairan serebrospinal

Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya


leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien cedera kepala tertutup.
Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari
pada 85 % pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini.
Walaupun pasien ini memiliki risiko meningitis yang meningkat, pemberian
antibiotic profilaksis masih kontroversial. Otorea atau rinorea cairan
serebrospinal yang menetap atau mengitis berulang merupakan indikasi
untuk reparative.

e.Edema serebral dan herniasi


Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, puncak edema terjadi 72 jam
setelah cedera. Perubahan TD, frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur
41
merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK. Penekanan dikranium
dikompensasi oleh tertekannya venosus dan ciran otak bergeser.Peningkatan
tekanan terus-menerus menyebabkan aliran darah otak menurun dan perfusi
tidak adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak.Lama-lama terjadi
pergeseran supratentorial dan menimbulkan herniasi. Herniasi akan
mendorong hemisfer otak kebawah/lateral dan menekan di enchephalon dan
batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf
oculamotor, jalur saraf corticospinal, serabut RES. Mekanisme kesadaran
TD, nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.

9. Penatalaksanaan
a. Medis
1) Bedrest total
2) Pemberian obat-obatan
3) Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.
4) Konkusio biasanya diterapi dengan observasi dan tirah baring.
5) Kraniotomi.
6) Ventrikulustomi.
7) Kranioplasti.
8) Oksigenasi.
9) Pengobatan: antikonvulsan, diuretik, analgetik, barbiturat,
kortikosteroid.

b. Perawatan
1) Memaksimalkan perfusi/fungsi otak
2) Mencegah komplikasi
3) Pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.
4) Mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga
5) Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana
pengobatan, dan rehabilitasi.

42
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
b. Pemeriksaan fisik
1) Sistem respirasi: suara nafas, perubahan pola nafas (apnea yang
diselingi dengan hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, ronkhi (+)
2) Kardiovaskuler: Sirkulasi: Perubahan tekanan darah (hiper/normotensi),
perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi, disritmia), pengaruh
perdarahan organ atau pengaruh PTIK
3) Sistem saraf :
a) Kesadaran  GCS (Glasgow Coma Scale):
- Reaksi Membuka Mata.
1. Buka mata spontan.
2. Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara.
3. Buka mata bila dirangsang nyeri.
4. Tidak reaksi dengan rangsangan apapun
- Reaksi Berbicara
1. Komunikasi verbal baik, jawaban tepat.
2. Bingung, disorentasi waktu, tempat dan person.
3. Dengan rangsangan, reaksi hanya berupa kata tidak
membentuk kalimat.
4. Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun.
- Reaksi Gerakan Lengan / Tungkai
1. Mengikuti perintah.
2. Dengan rangsangan nyeri dapat mengetahui tempat
rangsangan.
3. Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan.
4. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal.
5. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi extensi abnormal.
43
6. Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
b) Fungsi saraf kranial :trauma yang mengenai/meluas ke batang otak
akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
c) Fungsi sensori-motor: adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri (Sakit
kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, wajah
menyeringai, respon menarik pada rangsang nyeri yang hebat,
gelisah), gangguan regulasi suhu tubuh (dapat terjadi karena adanya
infeksi atau rangsangan terhadap hipotalamus sebagai pusat
pengatur suhu tubuh), hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang,
Gangguan/penurunan kesadaran, amnesia, vertigo, sinkop, gangguan
pendengaran dan penglihatan, gangguan pengecapan dan
penciuman, perubahan status mental, perubahan pada pupil,
genggaman lemah, tidak seimbang, refleks tendon lemah,
hemiparese,dekortikasi, deserebrasi, kehilangan sensasi sebagian
tubuh
4) Sistem pencernaan
a) Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak.
b) Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
c) Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
5) Kemampuan bergerak: kerusakan area motorik  hemiparesis/plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot, fraktur /
dislokasi,gangguan penglihatan, multiple laserasi, gangguan kognitif,
gangguan rentang gerak,
6) Kemampuan komunikasi: kerusakan pada hemisfer dominan: disfagia
atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
7) Psikososial, dimana pasien dengan tingkat kesadarannya menurun,
maka untuk data psikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada
pasien yang tingkat kesadarannya agak normal akan terlihat adanya
gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel,
apatis, delirium, dan kebingungan keluarga pasien karena mengalami
44
kecemasan sehubungan dengan penyakitnya. Data ini penting untuk
mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas berhubungan dengan spasme jalan napas
b. Resiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan cedera kepala
c. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan dengan
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan dibuktikan dengan
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
f. Resiko jatuh dibuktikan dengan kekuatan otot menurun
g. Defisit perawatan diri: Makan berhubungan dengan kelemahan

45
3. Intervensi keperawatan
Tindakan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan Rasional
Rencana Intervensi
(Smart)
1. Bersihan jalan napas Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor bunyi napas tambahan 1. Mengetahui adanya sumbatan pada jalan
berhubungan dengan keperawatan selama 2x24 jam, 2. Monitor sputum (jumlah, napas
spasme jalan napas bersihan jalan napas meningkat warna, aroma) 2. Mengetahui produksi sputum untuk
dengan kriteria hasil: 3. Lakukan penghisapan lendir < menentukan intervensi selanjutnya
1. Produksi sputum menurun 15 detik 3. Mencegah obstruksi atau aspirasi
2. Ronchi menurun 4. Kolaborasi pemberian obat 4. Mengencerkan sputum sehingga melancarkan
pengencer lendir jalan napas
1. Resiko perfusi serebral Setelah dilakukan intervensi 1. Monitor tanda / gejala 1. Memantau TIK untuk mencegah adanya
tidak efektif dibuktikan keperawatan selama 2 x 24 jam, peningkatan TIK (kesadaran, gangguan aliran darah serebral dan iskemik
dengan cedera kepala diharapkan perfusi serebral tekanan darah, pola nafas, serebral.
meningkat, dengan kriteria hasil: nadi) 2. MAP merupakan gambaran perfusi darah ke
1. Tingkat kesadaran meningkat : 2. Monitor MAP jaringan, untuk mengetahui status
GCS: 15 3. Monitor intake-output cairan hemodinamik tubuh.
E: 4 V: 5 M: 6 4. Berikan posisi semi fowler 3. Intake cairan yang berlebihan dapat
2. Tekanan darah Sistol 5. Hindari cairan hipotonik tertimbun pada otak yang dapat
membaik : 120-130 mmHg 6. Kolaborasi pemberian obat menyebabkan edema serebral.
Tekanan darah Diastol perdarahan 4. Pemberian posisi semi fowler dapat
membaik : 80-90 mmHg membuat ekspansi paru maksimal sehingga
3. Refleks saraf membaik oksigen yang masuk saat inspirasi maksimal
dan oksigen yang masuk dalam pembuluh
darah meningkat untuk mengurangi iskemia.
5. Pemberian cairan hipotonik dapat
mengakibatkan efek dilusi pada plasma
sehingga menyebabkan pergerakan air dari
intravaskuler ke intertisial.
6. Pemberian obat untuk menghentikan
perdarahan

3. Hipertermia Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor suhu tubuh 1. Gejala infeksi sangat bervariasi, atau malah
berhubungan dengan keperawatan selama 2x24 jam, tidak terjadi sama sekali. Sebagian penderita
32
proses penyakit diharapkan hipertermia membaik 2. Sediakan lingkungan yang mengalami demam, menggigil, atau
dengan kriteria hasil: dingin kelelahan.
1. Suhu tubuh membaik 3. Lakukan pendinginan 2. Lingkungan yang dingin memperlambat
2. Suhu kulit membaik eksternal (kompres pada dahi, proses evaporasi sehingga pembuluh darah
3. Takikardi menurun leher, dada, abdomen, aksila) vasokonstriksi.
4. Kolaborasi pemberian 3. Kompres hangat dapat mengurangi panas
antipiretik melalui intravena dengan prinsip perpindahan panas secara
induksi. Lipatan ketiak dan selangkangan
merupakan tempat pembuluh darah yang lebar
sehingga lebih mudah vasodilatasi.
4. Antipiretik bekerja menghambat sintesa
prostaglandin dan menyebabkan hipotalamus
bekerja menurunkan suhu tubuh dengan
vasodilatasi perifer.

4. Defisit perawatan diri: Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi diet yang 1. Menyediakan asupan makanan dan cairan diet
makan/minum keperawatan selama 3x24 jam, dianjurkan yang tepat
berhubungan dengan diharapkan perawatan diri: 2. Lakukan oral hygiene 2. Mengurangi kepahitan selera dan menambah
kelemahan makan/minum meningkat dengan rasa nyaman di mulut
kriteria hasil: 3. Memberikan nutrisi yang adekuat pada pasien
1. Kebersihan mulut pasien yang tidak mampu makan secara mandiri
terjaga 3. Berikan bantuan saat
2. Kemampuan makan meningkat makan/minum (sonde)
3. Kemampuan ke toilet
(BAB/BAK) meningkat
4. Kebersihan pasien terjaga

33
BAB III
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN ICU PADA TN.A DENGAN TRAUMA KEPALA
CKB DI RSD MAYJEND HM RYACUDU
KOTABUMI

I. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS MAHASISWA
Nama : Dio Hartono Tgl Praktek :19 November 2021
NIM : 2021207209099

2. IDENTITAS PASIEN
Nama :Tn. A Umur : 46 Tahun
No RM : 5544 JenisKelamin : Laki - Laki
Tanggal : 01 Juli 1975 Hari rawatke :3
Agama : Islam Status : Menikah
Alergi : Tidak ada BB : 67 kg
Alamat rumah : Kotabumi
Tgl masuk RS : 16 Nopember 2021
Diagnosis Md : CKB Post KLL

3. ALASAN DIRAWAT DI ICCU/ICU/HCU


Pada pukul 08.00 WIB pasien dibawa ke IGD RSD Mayjend HM Ryacudu
akibat kecelakaan motor, lalu dilakukan pemeriksaan pasien membuka mata
dengan rangsangan nyeri, tidak mampu berbicara hanya mengerang saja,
saat anda mencubit tangannya ia hanya mampumenarik lengannya
menghindari nyeri. Nilai GCS E2 V2 M4 = 8, dengan kesadaran somnolen.
Klien terjatuh dengan posisi kepala membentur aspal, klien muntah yang
berisi sisa makanan. TD140/100mmHg, HR 108x/menit, RR : 28x/menit,
suhu 38ºC. Terpasang IV line, NGT, dan DC, O2 4lt.. Klien mengalami
penurunan kesadaran dan di pindahkan ke ruang ICU.

4. PENGKAJIAN PRIMER
AIRWAY
Stridor, terdapat sputum berlebih.

BREATHING

34
Klien sesak, frekuensi napas 30 x/menit, irama napas tidak teratur, cepat, dangkal,
dan terdengar bunyi napas ronchi.

CIRCULATION
TD : 110/70 mmHg, nadi teraba cepat dengan frekuensi 110 x/menit dengan irama
tidak teratur, kulit pucat dan ekstrimitas akral hangat.

DISABILITY
Nilai GCS E2 V2 M4 = 8, dengan kesadaran somnolen.

5. PENGKAJIAN SEKUNDER
Pengkajian lanjutan yang dilakukan setelah Primary Survey atau masa kritis sudah
terlewati dan keadaan pasien stabil . Pengkajian sekunder meliputi semua sistem
tubuh antara lain sbb :
Kardiovaskuler : tidak ada bunyi Muskuloskeletal : tidak ada fraktur
jantung tambahan
Pernapasan : 28x/menit dan Genitourinaria :Urine bag terisi
terdengar suara napas 300 ml, pasien
ronchi memakai pampers
Neurologi dan :E2 V2 M4 Integumen : terdapat lecet
sensori dikepala, tangan
dan kaki
Gastriintestinal :bunyi peristaltik Endokrin : GDS 130
usus normal.
Nutrisi :melalui NGT Psikososial : klien tidak sadar
Cairan : terpasang IV line Istirahattidur : klien tidak sadar
RL

6. MONITORING TIAP JAM


H 250 Temp X Biru
200 MAP
E
M
HIJAU 150
O
D
BP HITAM 100
I
N
HR 50 MERAH
A
M
I

35
K
Kesadaran
Irama EKG
Nyeri
CVP
SaO2/SPO2
R Tipe Vent
E PEEP/CPAP
S RR
P TV
I
R
A FiO2
S
I
N Mata
E Ukuran
Reaksi
U Kaki
R Tangan
O GCS
M Line 1
A Line 2
Line 3
S Line 4
U Enteral
K Total
K NGT
E Urin
BAB
L
Drain
U
A Total
R

7. PemeriksaanPenunjang (Lab dan Diagnostik)


1. Sero-Imunologi
Anti-SARS Cov-2: non reaktif
2. Pemeriksaan Rapid Antigen
Antigen SARS Cov-2: negatif

36
3. Foto thorak
Kesan: pulmo tak tampak kelainan, besar cor normal, fraktur completa collum
humeri dekstra, aposisi dan alignment kurang
4. Foto vert. cervical lateral
Kesan: paraspinal muscukospasme
5. CT-Scan Kepala
Kesan: soft tissue swelling extracranial regio frontal, akut subarrachnoid
haemorrhagic, oedem serebri, tak tampak fraktur calvaria
6. Pemeriksaan darah
PEMERIKSAAN HASIL RUJUKAN SATUAN
Hematologi
Hemoglobin 10.8 12.0-16.0 g/dL
Leukosit 24.20 4.00-11.00 10^3/uL
Eritrosit 3.75 4.00-5.00 10^3/uL
Trombosit 322 150-450 10^3/uL
Hematokrit 32.1 36.0-46.0 vol%
Hitung Jenis
Eosinofil 1 2-4 %
Basofil 0 0-1 %
Batang 0 2-5 %
Segmen 77 51-67 %
Limfosit 18 20-35 %
Monosit 4 4-8 %
Gol. Darah
Golongan darah A
Hemostasis
PPT 14.4 12.0-16.0 Detik
APTT 34.5 28.0-38.0 detik
Control PPT 13.6 11.0-16.0 detik
Control APTT 30.7 28.0-36.5 detik
Kimia Klinik
Fungsi Hati
SGOT 46 <31 U/L
SGPT 22 <31 U/L
Fungsi Ginjal
Ureum 25 17-43 mg/dl
Creatinin 0.64 0.60-1.10 mg/dl
Diabetes
GDS 130 80-200 mg/dl
Elektrolit
Natrium 136.0 137.0-145.0 mmol/l
Kalium 2.97 3.50-5.10 mmol/l
Klorida 103.3 98.0-107.0 mmol/l
Sero-Imunologi

37
Hepatitis
HbsAg Negatif Negatif
Infeksi Lain
Hiv Screening Non reaktif Non reaktif
8. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
a. Pemasangan O2 4lt
b. Pemasangan IV line
c. Pemberian obat obatan via IV Line
d. Pemasangan NGT
e. Pemasangan DC

II. ANALISA DATA


No. Data Masalah Etiologi
1. DS: tidak terkaji Bersihan jalan napas Spasme jalan napas
DO: tidak efektif
- RR 28x/menit
- Sputum berlebih
- Tidak mampu batuk
- Suara napas rochi
2. DS: tidak terkaji Resiko perfusi serebral Cedera kepala
DO: tidak efektif
- Kesadaran: somnolen
- GCS E2 V2 M4
- Hasil CT Scan: akut subarachnoid
haemorrhagic, oedema cerebri

3. DS: tidak terkaji Gangguan mobilitas Penurunan kekuatan


DO: fisik otot
- Kekuatan otot menurun
1 2

2 2

- ROM menurun
4. DS: tidak terkaji Hipertermi Proses penyakit
DO:
- Suhu: 380C
- Takikardi
- HR: 110x/menit
- Kulit terasa hangat

5. DS: tidak terkaji Defisit perawatan diri: Kelemahan


DO: Toileting
- Tidak mampu ke toilet
- Pasien terpasang kateter
- Pasien menggunakan diapers
- Pasien bedrest
6. DS: tidak terkaji Resiko jatuh Kekuatan otot menurun
DO:
- Kekuatan otot menurun
1 2

38
2 2

- Penurunan tingkat kesadaran


- ROM menurun
- GCS: 8
- Kekuatan otot menurun
7. DS: tidak terkaji Defisit perawatan diri: Kelemahan
DO: makan
- Pasien tidak mampu makan secara
mandiri
- Pasien terpasang NGT

III. DIAGNOSA KEPERAWATAN


No
DIAGNOSA SESUAI PRIORITAS
.
1. Bersihan jalan napas berhubungan dengan spasme jalan napas
2. Resiko perfusi serebral tidak efektif berhuugan dengan cedera kepala
3. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan dibuktikan dengan
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
6. Resiko jatuh dibuktikan dengan kekuatan otot menurun
7. Defisit perawatan diri: Makan berhubungan dengan kelemahan

39
IV. RENCANA KEPERAWATAN
Tindakan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan Rasional
Rencana Intervensi
(Smart)
1. Bersihan jalan napas berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor bunyi napas tambahan 1. Mengetahui adanya sumbatan pada
spasme jalan napas selama 2x24 jam, bersihan jalan napas 2. Monitor sputum (jumlah, warna, jalan napas
meningkat dengan kriteria hasil: aroma) 2. Mengetahui produksi sputum untuk
1. Produksi sputum menurun menentukan intervensi selanjutnya
2. Ronchi menurun 3. Lakukan penghisapan lendir < 15 detik 3. Mencegah obstruksi atau aspirasi
4. Kolaborasi pemberian obat pengencer 4. Mengencerkan sputum sehingga
lendir melancarkan jalan napas

2. Resiko perfusi serebral tidak efektif Setelah dilakukan intervensi 1. Monitor tanda / gejala peningkatan TIK 1. Memantau TIK untuk mencegah
dibuktikan dengan cedera kepala keperawatan selama 2 x 24 jam, (kesadaran, tekanan darah, pola nafas, adanya gangguan aliran darah
diharapkan perfusi serebral meningkat, nadi) serebral dan iskemik serebral.
dengan kriteria hasil: 2. Monitor MAP 2. MAP merupakan gambaran perfusi
1. Tingkat kesadaran meningkat : 3. Monitor intake-output cairan darah ke jaringan, untuk mengetahui
GCS: 15 4. Berikan posisi semi fowler status hemodinamik tubuh.
E: 4 V: 5 M: 6 5. Hindari cairan hipotonik 3. Intake cairan yang berlebihan dapat
2. Tekanan darah Sistol membaik : 6. Kolaborasi pemberian obat perdarahan tertimbun pada otak yang dapat
120-130 mmHg menyebabkan edema serebral.
Tekanan darah Diastol membaik : 4. Pemberian posisi semi fowler dapat
80-90 mmHg membuat ekspansi paru maksimal
3. Refleks saraf membaik sehingga oksigen yang masuk saat
inspirasi maksimal dan oksigen yang
masuk dalam pembuluh darah
meningkat untuk mengurangi
iskemia.
5. Pemberian cairan hipotonik dapat
mengakibatkan efek dilusi pada
plasma sehingga menyebabkan
pergerakan air dari intravaskuler ke
intertisial.
6. Pemberian obat untuk menghentikan
perdarahan

3. Hipertermia berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor suhu tubuh 1. Gejala infeksi sangat bervariasi, atau
proses penyakit keperawatan selama 2x24 jam, 2. Sediakan lingkungan yang dingin malah tidak terjadi sama sekali.
diharapkan hipertermia membaik 3. Lakukan pendinginan eksternal Sebagian penderita mengalami
dengan kriteria hasil: (kompres pada dahi, leher, dada, demam, menggigil, atau kelelahan.
1. Suhu tubuh membaik abdomen, aksila) 2. Lingkungan yang dingin

40
2. Suhu kulit membaik 4. Kolaborasi pemberian antipiretik memperlambat proses evaporasi
3. Takikardi menurun melalui intravena sehingga pembuluh darah
vasokonstriksi.
3. Kompres hangat dapat mengurangi
panas dengan prinsip perpindahan
panas secara induksi. Lipatan ketiak
dan selangkangan merupakan tempat
pembuluh darah yang lebar sehingga
lebih mudah vasodilatasi.
4. Antipiretik bekerja menghambat
sintesa prostaglandin dan
menyebabkan hipotalamus bekerja
menurunkan suhu tubuh dengan
vasodilatasi perifer.

4. Defisit perawatan diri: makan/minum Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Identifikasi diet yang dianjurkan 1. Menyediakan asupan makanan dan
berhubungan dengan kelemahan selama 3x24 jam, diharapkan perawatan 2. Lakukan oral hygiene cairan diet yang tepat
diri: makan/minum meningkat dengan 3. Berikan bantuan saat makan/minum 2. Mengurangi kepahitan selera dan
kriteria hasil: (sonde) menambah rasa nyaman di mulut
1. Kebersihan mulut pasien terjaga 3. Memberikan nutrisi yang adekuat pada
2. Kemampuan makan meningkat pasien yang tidak mampu makan
3. Kemampuan ke toilet (BAB/BAK) secara mandiri
meningkat
4. Kebersihan pasien terjaga

41
V. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
Nama dan
No. Dx Tgl/Jam Implementasi dan Evaluasi
TTD
1. Dx 1 19 Nopember IMPLEMENTASI
2021  Melakukan suction Dio
07.40 DS: tidak terkaji
DO:
- Sputum banyak di mulut pasien
- Suara nafas ronchi
- RR: 28x/menit
09.15 - Pasien tidak mampu batuk
 Memberi obat pengencer lendir
DS: tidak terkaji
DO: obat sudah diberikan
10.00
EVALUASI
S: tidak terkaji
O:
- Sputum masih banyak di mulut pasien
- Suara nafas ronchi
- RR: 26x/menit
- Pasien tidak mampu batuk
A: Masalah bersihan jalan napas belum teratasi
P: Lanjutkan intervensi
1. Monitor bunyi napas tambahan
2. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
3. Lakukan penghisapan lendir < 15 detik
4. Kolaborasi pemberian obat pengencer lendir
2. Dx 2 19 Nopember IMPLEMENTASI Dio
2021  Memonitor kesadaran
08.00 DS: tidak terkaji
DO: - Kesadaran: sopor
- GCS: 8 (E:2, V:2, M:4)
08.05  Memonitor TD
DS: tidak terkaji
DO: - TD: 110/80 mmHg
 Pemberian obat perdarahan
DS: tidak terkaji
DO: asam tranexamat masuk melalui IV

EVALUASI
09.00 S: tidak terkaji
O:
- Kesadaran: somnolen
- GCS: 8 (E:2, V:2, M:4)
- TD: 120/60 mmhg
A: Masalah perfusi serebral belum teratasi
P: Lanjutkan intervensi
1. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK
(kesadaran, tekanan darah, pola nafas, nadi)
2. Monitor MAP
3. Monitor intake-output cairan
4. Berikan posisi semi fowler
5. Hindari cairan hipotonik

32
6. Kolaborasi pemberian obat perdarahan
3. Dx 3 19 Nopember INTERVENSI Dio
2021  Memonitor suhu tubuh
07.40 DS: tidak terkaji
DO: Suhu: 380C, tubuh teraba panas
 Pemberian paracetamol
08.30 DS: tidak terkaji
DO: paracetamol 500 mg masuk melalui IV

EVALUASI
S : Tidak terkaji
10.00 O:
- Suhu: 37, 50C
- Tubuh teraba panas
A: masalah hipertermia belum teratasi
P: lanjutkan intervensi
1. Monitor suhu tubuh
2. Sediakan lingkungan yang dingin
3. Lakukan pendinginan eksternal (kompres
pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila)
4. Kolaborasi pemberian antipiretik melalui
intravena
4. DX 4 19 Nopember IMPLEMENTASI Dio
2021  Melakukan oral hygiene
08.00 DS: Tidak terkaji
DO:
- Terdapat luka di bibir
- Pembersihan menggunakan cairan
pembersih mulut
- Mukosa bibir kering
- Area mulut dan gigi kotor dan bau

09.50 EVALUASI
S : Tidak terkaji
O:
- Pasien terpasang NGT
- Pasien belum diberi makan melalui NGT
karna program puasa pemasangan TT
- Terdapat luka di bibir
- Mukosa mulut sedikit lembab
A: masalah defisit perawatan diri: makan
belum teratasi
P: Lanjutkan intervensi
1. Identifikasi diet yang dianjurkan
2. Lakukan oral hygiene
3. Berikan bantuan saat makan/minum (sonde)

33
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu penyebab yang dapat menimbulkan
gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan
interstil dalam substansi otak atau tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak
(Muttaqin, 2011).

Manifestasi klinis yang iasanya terjadi diantaranya GCS 3-8, penurunan kesadaran
dan atau mengalami amnesia lebih dari 24 jam, contusion serebral, laserasi,
hematoma, perubahan ukuran pupil , adanya cedera terbuka, nyeri, dan fraktur.

Diagnosa prioritas yang muncul dalam kasus kelompok diantaranya bersihan jalan
napas, resiko perfusi serebral tidak efektif, dan hipertermia yang telah dilakukan
implementasi sesuai intervensi yang sudah disusun, dan didapatkan hasil evaluasi
masalah belum teratasi hingga perlunya dilakukan intervensi kembali.

B. SARAN

Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat sebagai bahan tambahan dalam

memberikan pelayanan asuhan keperawatan pada klien dengan cidera kepala berat.

34
DAFTAR PUSTAKA

Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC;

2000.

Grace, A. Pierce. Borley, R. Nier. (2011). At a Glance Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: PT

Gelora Aksara Pratama

Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC;

1996.

Morton. G. P. (2012). Keperawatan Kritis. Edisi 2. Jakarta: EGC

Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika

Muttaqin, Arif. (2011). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem

Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: CV Sagung

Seto; 2001.

Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta:

EGC; 1999.

35

Anda mungkin juga menyukai